BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian sesuai bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945), yakni ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”1 Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan konsepsi yang menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 18B ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.”2 Konsep tersebut di satu sisi mengukuhkan keberadaan daerah sebagai bagian nasional, tapi di sisi lain memberikan stimulan bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan semua kepentingannya, termasuk masalah otonomi daerah dalam sistem hukum dan kebijakan nasional.3 Pemerintahan dalam susunan daerah besar dan kecil adalah pemerintahan yang disusun atas dasar otonomi, yaitu hak melakukan, mengatur, 1 Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 Hari Sabarno, 2007, Untaian Pemikiran Otonomi Daerah: Memandu Otonomi Daerah, Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 144. 2 1 2 dan mengurus pemerintahan/rumah tangga sendiri sebagai sendi kerakyatan dalam sebuah negara kesatuan (eenheidsstaat).4 Pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah adalah hal yang tidak dapat dipisahkan, di mana dalam hal ini di Indonesia telah melewati tahun-tahun panjang sejak kali pertama ide ini diintrodusir pemerintahan Kolonial Belanda melalui Decentralisatie Wet 23 Juli 1903.5 Ditinjau dari segi historis, yakni dari sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, Moh. Yamin yang pertama kali membahas permasalahan Pemerintahan Daerah dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei 1945 sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda berdasarkan tulisan Moh.Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut: Negeri, Desa, dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan Dalam, Pangreh Raja.6 Fenomena yang mengemuka belakangan adalah bahwa otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan secara tidak seragam, di antaranya diterapkan oleh beberapa daerah seperti Aceh, Papua, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dan Yogyakarta. Apabila dibaca secara utuh risalah perubahan Pasal 18 UUDNRI 4 Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Pratikno, et. al., (Tim Peneliti Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM), 2010, “Desentralisasi Asimetris di Indonesia Praktek dan Proyeksi: Bab II, Asimetrisme dalam Komparisi oleh Cornelis Lay”, Laporan Akhir Penelitian, Yayasan Tifa dan Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 5. 6 Ni’matul Huda, 2013, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 1. 5 3 Tahun 1945 secara eksplisit tidak ditemukan istilah desentralisasi asimetris, namun bukan berarti tidak mengandung konsep tersebut. Pembahasan tentang desentralisasi memperhatikan dan menempatkan kekhasan masing-masing daerah sebagai salah satu roh perubahan Pasal 18, di mana anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) secara implisit membahas pola desentralisasi asimetris dalam desain hubungan pusat-daerah.7 Desentralisasi asimetris menjadi desain desentralisasi yang diterapkan di Indonesia di mana terdapat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak seragam jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, namun memperhatikan karakteristik masing-masing daerah. Paradigma inilah yang dikenal sebagai asymmetrical decentralization yang secara legal konstitusional memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang inherent dalam praktik desentralisasi Indonesia sejak awal kemerdekaan, tetapi tidak dirumuskan secara tajam dalam regulasi-regulasi nasional mengenai desentralisasi.8 Sebagaimana disinggung di atas, salah satu daerah yang mendapatkan keistimewaan lewat Undang-Undang adalah Provinsi Aceh. Provinsi Aceh menjadi salah satu bukti daerah dengan kewenangan khusus yang diberlakukan setelah melalui berbagai konflik dan pergolakan politik sangat panjang. Politik hukum kewenangan khusus termasuk syari’at Islam bagi Provinsi Aceh dimulai setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai turunan dari Memorandum of Understanding Helsinki Saldi Isra, 2013, “Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Kajian dari Aspek Konstitusi”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 42 Tahun 2013, hlm. 55-56. 8 Pratikno, et. al., (Tim Peneliti Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM), Op. Cit., hlm. 7. 7 4 (Nota Perdamaian Aceh). Hal ini tidak lepas dari sejarah konflik antara Aceh dengan Pemerintah Indonesia sejak tahun 1976 yang telah menjadi salah satu cerita fenomenal dari beberapa deretan panjang cerita daerah konflik di Indonesia. Aceh merupakan provinsi yang memiliki Sumber Daya Alam berlimpah, seperti minyak bumi dan gas alam yang terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, sampai Seulawah, Aceh Besar serta sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang terdapat di Aceh Tenggara.9 M.C. Ricklefs sebagaimana dikutip oleh Otto Syamsuddin Ishak menyebut bahwa kebangkitan Aceh, berjayanya Malaka, dan kedatangan orang-orang Eropa terjadi dalam sebuah zaman yang sama, yang dimulai pada akhir abad 15 dan pasang naik ekspansinya pada abad 16-17.10 Sejak abad 16 itulah Aceh berkembang menjadi salah satu kekuatan politik, militer, ekonomi, dan budaya tersendiri di kawasan Selat Malaka.11 Kuatnya pengaruh budaya dan Agama Islam di masa kesultanan juga membuat Aceh sering disebut dengan bumi “Serambi Mekkah”. Aceh merupakan titik silang dunia karena Aceh sebagai titik temu perdagangan internasional dan titik silang budaya aneka bangsa abad 17. Posisi di silang dunia itu juga menempatkan Aceh bergantian bila saatnya sebagai sekutu, lawan atau bila Aceh sebagai sebuah negara yang dihormati kemerdekaannya Departemen Kehutanan, tanpa tahun, “Profil Kehutanan: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” (online), http://dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf, diakses 18 Nopember 2015. 10 Otto Syamsuddin Ishak, 2009, Perdamaian: yang Berikhtiar, yang Menentang (Kronik Perundingan GAM-RI di Helsinki 2005), Achehnese Civil Society Task Force, Aceh, hlm. 2. 11 Ibid. 9 5 dalam kompetisi politik internasional di kawasan Selat Malaka, Asia Tenggara.12 Dari berbagai gelombang perang dan konflik, maka ada satu konflik tak terlupa yang mencuat sejak Hasan Di Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976. Awal mula penyebab munculnya konflik di Aceh disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya adalah ketika abad ke 17 (zaman pra kolonial) terjadi fenomena di mana rakyat Aceh merasa mendapat perlakuan tidak adil dalam bidang politik, ekonomi, hingga dilakukannya penerapan DOM (Daerah Operasi Militer) 1989-1998 yang telah banyak menimbulkan korban sipil. Ketidakpuasan rakyat dan resistensi GAM yang didukung warga Aceh terhadap pemerintah pusat yang dianggap sentralistik dan tidak aspiratif, terjadi karena beberapa hal seperti adanya kekecewaan dari masyarakat lokal terkait identitas lokal, ekonomi, dan harga diri. Ditilik dari sejarahnya, berbagai kekecewaan yang dialami rakyat Aceh pada pemerintah pusat tersebutlah menyebabkan munculnya Gerakan Separatis yang diprakarsai oleh Hasan Tiro yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi Aceh yang terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikianlah pasang surut kondisi Aceh hingga ketidakharmonisan AcehRepublik Indonesia (RI) tergambar melalui rentetan peristiwa penting di Aceh dari waktu ke waktu. Di tengah upaya negosiasi untuk mengembalikan Aceh ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada tahun 2004, terjadi Gempa dan Tsunami di Aceh yang menambah penderitaan rakyat. Meski demikian, Gempa dan Tsunami akhirnya membawa hikmah tersendiri bagi 12 Ibid., hlm. 3-4. 6 perdamaian Aceh selanjutnya. Akan sulit membangun Aceh kembali pasca musibah tersebut bila antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka13 masih belum terwujud perdamaian. Pemerintahan di zaman Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang menginginkan cara persuasif dalam mengembalikan Aceh kembali pangkuan NKRI akhirnya berhasil. Nota perdamaian GAM-RI ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada tanggal 15 Agustus 2005. Memorandum of Understanding Helsinki14 terdiri dari enam bagian, yaitu: (1) Penyelenggaraan pemerintahan Aceh; (2) Hak Asasi Manusia; (3) Amnesti dan Reintegrasi ke dalam Masyarakat; (4) Pengaturan Keamanan; (5) Pembentukan Misi Monitoring Aceh; (6) Penyelesaian Perselisihan. Tercapainya MoU Helsinki tersebut telah melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)15 sebagai turunannya. UUPA tersebut diharapkan mampu menjadi pedoman dan payung hukum bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat Aceh dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di tanah Rencong tersebut. Format kewenangan khusus dalam desain desentralisasi asimetris yang lahir melalui UUPA ini lebih luas dibandingkan format yang pernah diberikan sebelumnya selama pasang surut dinamika hubungan Aceh dan pusat. Format desentralisasi asimetris di Aceh berkembang seiring dinamika politik lokal di Aceh.16 Laporan Tim Peneliti 13 Selanjutnya dalam penulisan tesis ini disebut GAM. Selanjutnya dalam penulisan tesis ini disebut MoU Helsinki. 15 Selanjutnya dalam penulisan tesis ini disebut UUPA. 16 Praktikno, et. al., (Tim Peneliti Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM), Op. Cit., hlm. 23. 14 7 Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam bagian akhirnya memaparkan sebagai berikut: Laporan ini menggarisbawahi bahwa latar belakang gerakan perlawanan Aceh terhadap Jakarta dapat dimaknai sebagai proses politik yang melatarbelakangi kebutuhan hadirnya formulasi penataan pemerintahan dan ketatanegaraan yang lebih berkeadilan. Capaian yang telah dihasilkan melalui UUPA dengan kompleksitas persoalan substansi dan implementasi adalah bagian dari proses perdamaian dan pembangunan di Aceh. Kemudian, hadirnya konstruksi kekuasaan dan pola pemerintahan yang asimetrik telah menjadi milestone yang membutuhkan upaya secara serius segenap pihak untuk mewujudkan proses kenegaraan dan kebangsaan yang lebih berkeadilan.17 Setelah 10 tahun perdamaian tentunya masih banyak permasalahan tersisa yang belum terjawab. Salah satu di antaranya adalah bahwa politik hukum UUPA tak bisa dilepaskan begitu saja dengan eksistensi nota Kesepahaman Helsinki. Sejak UUPA disahkan, eksistensi MoU Helsinki juga menjadi polemik, di mana sebagian pihak seperti akademisi dan anggota parlemen Aceh berpendapat bahwa secara yuridis, referensi utama untuk mengisi perdamaian Aceh bukan lagi MoU Helsinki, melainkan UUPA.18 Bertolak belakang dengan hal itu, JPP dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa aktivis Partai Aceh (yang saat ini didominasi eks kombatan GAM) bersikeras bahwa starting point untuk membayangkan dan mendesain Aceh baru harus dimulai dari kesepakatan yang disetujui dalam MoU Helsinki.19 Terkait hal tersebut, penulis dalam hal ini menemukan hasil temuan yang berbeda-beda berdasarkan masing-masing lembaga/pihak tertentu. Laporan akhir 17 Ibid., hlm. 40. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 2008, Laporan Situasi Politik dan HAM Aceh Tahun 2007: Belum Ada Jaminan Keadilan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Banda Aceh, hlm. 4. 19 Praktikno, et. al., (Tim Peneliti Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM), Op. Cit., hlm. 32. 18 8 Crisis Management Initiative (CMI) yang berjudul Proyek Tindak Lanjut Proses Perdamaian Aceh dalam hasil temuannya menguraikan norma-norma UUPA yang berbeda dengan ketentuan MoU Helsinki, yakni di bidang prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan Aceh, ekonomi, aturan hukum, dan pengaturan keamanan.20 Sedikit berbeda dengan CMI, International Center for Transitional Justice (ICTJ) memasukkan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai poin yang berbeda pengaturannya antara MoU Helsinki dan UUPA, di mana kewenangan pengadilan yang dijamin UUPA dibatasi hanya untuk mengadili kejahatan yang dilakukan setelah MoU ditandatangani.21 Sebagai analisis, penulis dalam hal ini memilih menganalisis pengaturan syari’at Islam Aceh, di mana hal ini juga tidak disebutkan secara eksplisit dan spesifik di dalam MoU Helsinki.22 Berbicara mengenai perubahan masyarakat dan pencapaian tujuan hukum dalam penerapan syari’at Islam di Aceh berarti mengkaji perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat Aceh yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum syari’at Islam dalam pencapaian tujuannya. BBC Indonesia dalam wawancara dengan Jusuf Kalla mengutip ucapan Jusuf Kalla terkait hal tersebut sebagai berikut: Sebenarnya di Helsinki atau di perjanjian MoU sama-sekali tidak ada mengenai syari’at Islam. Itu tercantum terlebih dahulu di UU Khusus Aceh di mana daerah khusus itu dapat memberlakukan hukum-hukum yang khusus yang disetujui oleh DPR Aceh. Karena itu, masalah-masalah peraturan Crisis Management Initiative; Marti Ahtisaari Centre, “Proyek Tindak Lanjut Proses Perdamaian Aceh” (online), http://cmi.fi/aceh/pdf/aceh_report5_indo2.pdf, diakses 7 Januari 2016. 21 International Center for Transitional Justice (ICTJ), “Pentingnya Pertanggungjawaban: 5 Tahun Memorandum of Understanding Helsinki” (online), https://ictj.org/sites/default/files/ICTJIndonesia-Aceh-MoU-2010-Indonesian.pdf, diakses 7 Januari 2016. 22 Lihat Poin 1.1.6. MoU Helsinki: “Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh. “ 20 9 tentang syariah diputuskan oleh DPR Aceh dan itu memang secara hukum, Aceh bisa mengambil itu selama tidak bertentangan dengan hukum nasional yang bersifat umum.23 Harus diakui, pelaksanaan syari’at Islam dengan campur tangan pemerintah bagi sebagian intelektual masih terdapat pro kontra, namun di sini penulis berfokus untuk mendapat solusi berdasarkan studi politik hukum dan analisa implementasi penerapan syari’at Islam di Aceh. Formalisasi syari’at Islam juga memunculkan sikap kontra di mana keberadaan syariah bagi kehidupan manusia adalah sesuatu yang substansial dan karena itu pula ketika dicoba untuk ditransformasikan ke dalam nilai-nilai kehidupan akan mendapat tantangan yang disebabkan oleh keragaman pemikiran dan luasnya wawasan pemaknaan dasar dari syari’at itu sendiri.24 Syari’at Islam juga masih mendapat tantangan di bidang hak asasi manusia di tengah kecenderungan era globalisasi yang menuntut kearifan, toleransi dan kebersamaan untuk menuju kemaslahatan. Suraiya Kamaruzzaman, aktivis perempuan asal Aceh juga mengatakan bahwa setelah sepuluh tahun perdamaian tidak ada grand design penerapan syari’at Islam di Aceh seperti apa.25 Setiap daerah menafsirkan sendiri-sendiri, di mana dalam implementasinya setiap bupati atau wali kota mencoba membuat kebijakan peraturan sesuai tafsirnya masing-masing.26 Sementara bagi yang pro, masih BBC Indonesia, “Wapres: Syari’at Islam di Aceh Tidak Boleh Bertentangan dengan Hukum Nasional” (online), http://bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/08/150821_indonesia_wapres_syariatislam_aceh, diakses 8 Januari 2016. 24 Annisha Putri Andini, “Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Penerapan Syari’at Islam di Aceh”, Rizki Ramadani (Eds.), 2015, Hukum dalam Bunga Rampai Pemikiran, Genta Press, Yogyakarta, hlm. 252. 25 BBC Indonesia (Heyder Affan), “Mereka Menyoroti Penerapan Syari’at Islam di Aceh” (online), http://bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/08/150817_indonesia_gam_syariatislam, diakses 8 Januari 2016. 26 Ibid. 23 10 berharap syari’at Islam di Aceh diterapkan secara kaffah, baik dalam hal ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), muamalah (hukum perdata), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam sebagaimana diatur dalam UUPA. Multiinterpretasi terhadap eksistensi MoU RI-GAM terjadi ketika dihadapkan pada konstitusi dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Pertanyaan kemudian mengapa terdapat perbedaan substansi antara keduanya, dan juga beberapa norma yang diubah bunyinya tidak sama persis dengan MoU Helsinki. Jika melihat perumusannya, memang tidak semua poin pada MoU Helsinki telah diakomodasi oleh UUPA, selain terdapat poin yang telah diakomodasi, dan bahkan yang saling bertentangan antara MoU dan UUPA. Senada dengan hal tersebut, Ni’matul Huda mengatakan bahwa desentralisasi harus dipandang secara lebih realistis, bukan sebagai sebuah pemecahan umum bagi masalah-masalah keterbelakangan, tetapi sebagai salah satu cara yang dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan kepercayaan dari berbagai tingkat pemerintahan dalam kondisi baik.27 Djohermansyah Djohan dalam tulisannya di Jurnal Ilmu Pemerintahan memaparkan bahwa terdapat beberapa permasalahan dan tantangan dalam desentralisasi asimetris Aceh, di antaranya: 1. 2. Kebijakan desentralisasi Aceh bisa terancam gagal apabila formulasinya kabur, tidak jelas, tidak rinci, dan tidak tuntas serta tidak mengakomodasi tuntutan masyarakat dan perjanjian yang disepakati sungguh-sungguh; Pada implementasinya, desentralisasi asimetris bisa terganggu apabila di daerah tersebut masih terdapat kelompok yang tidak tulus menerima kehadirannya; 27 Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 91. 11 3. 4. Desentralisasi asimetris bisa berjalan lamban apabila penyelenggara pemerintahan yang menerimanya tidak kreatif, tidak inovatif, tidak responsif, dan rendah kapasitas SDM aparatur dalam pelaksanaannya, Desentralisasi asimetris bisa berjalan kurang lancar apabila pemerintah pusat kurang serius, kurang ikhlas, kurang memfasilitasi, kurang memiliki bimbingan, kurang melakukan pengawasan dalam penerapannya.28 Secara objektif keilmuan penelitian ini penting di mana studi politik hukum berguna untuk menjawab mengapa sebuah peraturan demikian bunyinya, seperti mengapa terdapat perbedaan substansi antara materi MoU Helsinki dalam politik hukum pembentukan norma-norma UUPA dan bagaimana kemudian implementasi dari norma tersebut dapat berjalan optimal. Penelitian politik hukum ini adalah salah satu cara untuk mengevaluasi, dan bermanfaat menjawab permasalahan yang ada, di antaranya dengan menyelidiki konfigurasi politik yang terjadi dalam pembentukan sebuah peraturan, perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan kenyataan sosial (sociale werkelijkheid). Masing-masing akan mampu memaparkan beberapa hal terkait latar belakang lahirnya sebuah aturan dan perkembangan serta permasalahan hukum tersisa, di antaranya terkait pengaturan syari’at Islam. Syari’at Islam yang sudah disepakati kemudian dapat dievaluasi dan dilakukan pembenahan agar hukum menjadi sarana yang bisa mensejahterakan Aceh dan bukan sebaliknya. Ruang lingkup penelitian yang penulis lakukan adalah terkait pengaturan syari’at Islam Aceh pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dengan terlebih dahulu melakukan analisis pengadopsian Djohermansyah Djohan, 2013, “Desentralisasi Asimetris Aceh dan Permasalahannya”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 42 Tahun 2013, hlm. 134. 28 12 substansi MoU Helsinki ke dalam norma UUPA berdasarkan studi politik hukum. Penelitian ini dilakukan dengan mengulas mendalam latar belakang lahirnya suatu norma, yang salah satunya berlandaskan MoU Helsinki. Latar belakang lahirnya suatu norma dapat dikaji melalui proses pembentukan hukum menuju hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). Hasil penelitian ini menjadi wadah bagi penulis untuk memahami cita-cita hukum dalam UUPA tersebut. Pada akhir tulisan, saran-saran yang penulis tuangkan diharapkan mampu menjawab tantangan normatif empirik ke depan bagi pemberlakuan desentralisasi asimetris Aceh setelah 10 tahun perdamaian Aceh. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah sebagai pembatasan masalah dibutuhkan agar peneliti mendapatkan pencapaian optimal dari tujuan dan manfaat. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa terdapat perbedaan pada perumusan materi Memorandum of Understanding Helsinki ke dalam norma-norma Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh? 2. Bagaimana pengaturan syari’at Islam dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh sebagai salah satu materi muatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang tidak disebutkan secara spesifik di dalam Memorandum of Understanding Helsinki? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dibagi menjadi: 13 1. Tujuan Objektif Penelitian ini secara objektif bertujuan: a. Untuk mendeskripsikan, menganalisis, mengkaji mengapa terdapat perbedaan pada perumusan materi Memorandum of Understanding Helsinki ke dalam norma-norma Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Untuk mendeskripsikan, menganalisis, mengkaji pengaturan syari’at Islam dalam penyelenggaraan pemerintahan asimterik di Aceh sebagai salah satu materi muatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang tidak disebutkan secara spesifik di dalam MoU Helsinki. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subjektif bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum, di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan ilmu hukum dan referensi ilmiah bagi kalangan akademik, khususnya di bidang Ilmu Hukum 14 Tata Negara terkait dengan politik hukum penerapan desentralisasi Asimetris di Aceh pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam kerangka NKRI. Studi politik hukum ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian komprehensif dan mendalam untuk evaluasi serta pemecahan masalah normatif empirik tersisa dalam dinamika menjalankan kewenangan khusus di Aceh, khususnya tentang syari’at Islam di Aceh. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Aceh Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan evaluasi obyektif bagi pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh dalam merumuskan dan menjalankan norma MoU Helsinki dan UUPA terkait dengan desentralisasi asimetris termasuk di antaranya syari’at Islam Aceh agar dapat berjalan optimal sesuai konstitusi. b. Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi legislator dalam menentukan kebijakan atau mengeluarkan undangundang yang berkenaan dengan Otonomi Daerah untuk mengakomodir sistem desentralisasi asimetris yang sesuai aspirasi masyarakat dan berkeadilan, khususnya hal-hal yang masih harus diperbaiki di Aceh, seperti syari’at Islam. c. Bagi Masyarakat Aceh 15 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang objektif dan jelas kepada masyarakat Aceh mengenai politik hukum pemberlakuan UUPA serta membantu masyarakat Aceh dalam meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan partisipasi aktifnya sehingga dapat menjaga perdamaian pasca MoU Helsinki yang dirindukan sejak lama oleh masyarakat Aceh. d. Bagi Mahasiswa Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menjadi referensi mahasiswa khususnya yang sedang menempuh studi di Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik atau lintas ilmu lainnya terkait otonomi daerah untuk menjadi salah satu pihak yang berkontribusi sebagai pemecah masalah terkait isu tersebut. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai “Politik Hukum Pengaturan Syari’at Islam Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Analisis Perbandingan Memorandum Of Understanding Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh)”, sepanjang pengetahuan peneliti melalui penulusuran dan pengamatan bacaan pustaka terdapat beberapa karya tulis berupa laporan penelitian, tesis, dan skripsi berkaitan dengan desentralisasi asimetris. Dari sekian banyak hasil penelitian baik berupa laporan penelitian, skripsi dan tesis, peneliti hanya mengangkat beberapa yang dianggap memiliki substansi yang memiliki kemiripan dengan permasalahan yang dirumuskan peneliti, di antaranya sebagai berikut: 16 1. Djohermansyah Djohan dalam tulisannya di Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2013, dengan judul “Desentralisasi Asimetris Aceh dan Permasalahannya.” Artikel oleh Djohermansyah Djohan tersebut menguraikan perkembangan kebijakan desentralisasi asimetris di Aceh versi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, Nota Kesepahaman MoU Helsinki, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.29 Kesimpulan akhir menurutnya adalah implementasi desentralisasi asimetris di Aceh menemukan titik ideal melalui UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.30 2. Laporan Riset Desentralisasi Asimetris di Indonesia oleh Pratikno, dan kawan-kawan yang tergabung dalam Tim Jurusan Politik dan Pemerintahan bekerjasama dengan Yayasan Tifa Foundation – Jakarta, 2010, dengan judul: “Desentralisasi Asimetris di Indonesia Praktek dan Proyeksi.”31 Khusus untuk Aceh pada bab III: “Aceh, Perdamaian yang Terancam” oleh anggota tim, yaitu: Sigit Pamungkas, Hasrul Hanif, Erwin Endaryanta, dan Sri Djoharwinarlien. 3. Tesis yang ditulis oleh Helmy Boemiya, 2014, dengan judul “Penerapan Desentralisasi Asimetris Terhadap Pemerintahan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta).” Pada tesis tersebut terdapat tiga rumusan masalah, yaitu: 1. 2. 29 Bagaimanakah penerapan desentralisasi asimetris terhadap pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Apakah penerapan desentralisasi asimetris terhadap pemerintahan daerah sesuai bagi NKRI? Djohermansyah Djohan, Op. Cit., hlm. 124-133. Ibid. 31 Praktikno, et. al., (Tim Peneliti Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM), Op. Cit., hlm. 20. 30 17 3. 4. Bagaimanakah latar belakang pengaturan dan implementasi urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam kerangka NKRI?32 Karya tulis skripsi oleh Annisha Putri Andini, 2014, dengan judul “Tanggung Jawab Negara terhadap Penegakan HAM di Aceh Pasca MoU Helsinki.” Pada skripsi tersebut terdapat tiga rumusan masalah, yaitu: 1. 2. 3. 5. Apa saja jenis pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi pada masa konflik di Aceh? Bagaimana tanggung jawab negara terhadap pelanggaran HAM yang terjadi pada masa konflik di Aceh? Apa permasalahan hukum penerapan Memorandum of Understanding Helsinki dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait penyelesaian kasus HAM di Aceh?33 Karya tulis skripsi oleh Fauziah Suci Anggraini, 2013, dengan judul “Politik Hukum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.” Pada skripsi tersebut terdapat dua rumusan masalah, yaitu: 1. 2. Apakah yang melatarbelakangi pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua? Bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia?34 Meski terdapat kemiripan tema dan substansi misalnya terkait latar belakang, konflik Aceh, perdamaian Aceh pasca MoU Helsinki serta permalasahan desentralisasi asimetris Aceh, akan tetapi berdasarkan hasil penelusuran peneliti Helmy Boemiya, 2014, “Penerapan Desentralisasi Asimetris Terhadap Pemerintahan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta)”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8. 33 Annisha Putri Andini, 2014, “Tanggung Jawab Negara terhadap Penegakan HAM di Aceh Pasca MoU Helsinki”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 10. 34 Fauziah Suci Anggraini, 2013, “Politik Hukum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua”, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 6. 32 18 tidak ditemukan hasil penelitian, skripsi maupun tesis yang secara spesifik membahas substansi sebagaimana judul peneliti, yaitu “Politik Hukum Pengaturan Syari’at Islam pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Analisis Perbandingan Memorandum Of Understanding Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh)”. Penelitian tesis ini yang juga menjadi pembeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian ini lebih menitikberatkan pada politik hukum dengan analisis pengaturan syari’at Islam yang diharapkan dapat memperkaya bahasan peneliti. Tulisan Djohermansyah Djohan juga mengkaji mengenai berbagai kebijakan desentralisasi asimetris Aceh namun tidak menguraikan secara jelas perbedaan pengadopsian materi MoU Helsinki ke dalam UUPA berdasarkan studi politik hukum. Penelitian skripsi oleh Fauziah Suci Anggraini juga mengkaji politik hukum dengan judul “Politik Hukum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua”, namun Fauziah Suci Anggraini memilih daerah otonomi khusus Papua. Penelitian tema politik hukum dilakukan dengan menyoroti antara subsistem politik dan subsistem hukum, di mana bahasannya mencakup pula pengaruh konfigurasi politik terhadap pembuatan, karakter, dan pelaksanaan produk hukum terkait kewenangan khusus di Aceh. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari semua penelitian terdahulu perbedaan jelas terlihat pada perumusan masalah, objek penelitian, dan pendekatan penelitian.