Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Dari

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi JATI (Tectona grandis Linn. f.)
Klasifikasi
Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini
mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Secara historis, nama tectona
berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki
kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak nama
daerah, seperti ching-jagu (di wilayah asam); saigun, segun (Bengali); tekku
(Bombay); kyun (Burma); saga sagach (Gujarat); sagun, sagwan (India); jadi,
saguan, ntega, tiayagadamara, sag, saga, sgwan (Manthi); singuru (Oriya);
bardaru, bhumisah, dwardaru, kaharachchad, saka (Sangskrit). Tanaman ini
dalam bahasa Jerman dikenal dengan nama teck atau teakbaum, sedangkan di
Inggris dikenal dengan nama teak (Sumarna 2005).
Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai
berikut.
Divisi
: Spermathophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub-kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Verbenales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Species
: Tectona grandis Linn. f.
Penyebaran dan Habitat
Di lihat dari penyebarannya, tanaman jati tersebar di garis lintang 90 LS
hingga 250 LU, mulai dari benua Asia, Afrika, Amerika dan Australia bahkan
sampai ke Selandia Baru (Tini dan Amri 2002). Areal penyebaran alaminya
terdapat di India, Myanmar, Thailand dan bagian Barat Laos. Di Indonesia, jati
bukan tanaman asli tetapi sudah tumbuh sejak beberapa abad lalu di Pulau
Kangean, Muna, Maluku, Sumbawa, dan Jawa (Rachmawati et al. 2002).
Secara umum, tanaman jati membutuhkan iklim dengan curah hujan
minimum 750 mm/th, optimum1000-1500 mm/thn, dan maksimum 2500 mm/thn
(walaupun demikian, jati masih dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan
7
3750 mm/th). Suhu udara yang dibutuhkan tanaman jati minimum 13-170 C dan
maksimum 39-430 C. Adapun kelembaban lingkungan tanaman jati yang optimal
sekitar 80% untuk fase vegetatif dan antara 60-70% untuk fase generatif.
Intensitas cahaya yang dibutuhkan cukup tinggi antara 75-100% (Mahfudz 2004;
Sumarna 2005).
Secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk
berasal dari formasi limestone, granite, gneis, shale, clay dan lain-lain.
Pertanaman jati akan tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi
lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Sesuai sifat fisiologis
untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati memerlukan kondisi solum lahan
yang dalam dan keasaman tanah (pH) optimum sekitar 6,0. Namun, ada kasus
pada beberapa kawasan pertanaman jati dengan tingkat pH rendah (4-5),
dijumpai tanaman jati dengan pertumbuhan yang baik. Karena tanaman jati
sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah maka pada
lahan dengan berporositas dan memiliki drainase baik akan menghasilkan
pertumbuhan baik pula karena akar akan mudah menyerap unsur hara
(Sumarna 2005).
Morfologi Tanaman
Tinggi pohon antara 25-30 m, namun di daerah yang subur, tinggi pohon
bisa mencapai 50 m dengan diameter ± 150 cm. Batang umumnya bulat dan
lurus,
kulit
kayu
agak
tipis
beralur
dalam
sampai
agak
dalam
(Departemen Kehutanan 1991).
Menurut Sutisna et al. (1998) pada tapak bagus, batang bebas cabang
15-20 m atau lebih, percabangan kurang dan rimbun. Daun lebar 15-35 cm,
letak daun bersilang, bentuk daun ellips atau bulat telur, bagian bawah berwarna
abu-abu, tertutup bulu berkelenjar warna merah. Ukuran bunga kecil, diameter
6-8 mm, keputih-putihan dan berkelamin ganda terdiri dari benang sari dan putik
yang terangkai dalam tandan besar. Benih berbentuk oval, ukuran kira-kira
6 x 4 mm. buah jati keras, terbungkus kulit berdaging lunak dan tidak merata.
Ukuran buah bervariasi 5-20 mm, umumnya 11-17 mm. Struktur buah terdiri dari
kulit luar tipis yang terbentuk dari kelopak, lapisan tengah (mesokarp) tebal
seperti gabus, bagian dalamnya (endokarp) keras terbagi menjadi 4 ruang biji.
Secara fenologis, tanaman jati tergolong tanaman yang menggugurkan
daun (deciduous) pada saat musim kemarau. Setelah gugur daun akan tumbuh
8
lagi pada bulan Januari atau Maret.
Masa pembungaan akan berlangsung
antara bulan Juni-Agustus atau September. Buah yang terbentuk akan masak
sekitar bulan November dan akan jatuh sekitar bulan Februari atau April. Buah
jati termasuk ringan, antara 1,1-2,8 g (Sumarna 2005).
Buah jati mengandung biji yang bervariasi antara 1-4 butir. Namun pada
umumnya buah jati berisi 1-2 biji yang sempurna sehingga secara normal setiap
buah jati pada dasarnya dapat diharapkan menghasilkan minimum satu anakan
jati baru hasil pembibitan generatif (Tini dan Amri 2002).
Kegunaan
Jati merupakan jenis kayu yang paling banyak untuk berbagai keperluan,
terutama di pulau Jawa. Kayu jati praktis sangat cocok untuk segala jenis
kontruksi seperti tiang, balok, gelagar pada bangunan rumah dan
jembatan,
rangka atap, kosen pintu dan jendela, kereta, bantalan kereta api.
Meskipun kayu jati mempunyai kegunaan yang luas, tetapi karena sifatnya
agak rapuh, kurang baik untuk digunakan sebagai bahan yang memerlukan
kekenyalan tinggi seperti tangkai perkakas, peti dan sebagainya. Daunnya
dimanfaatkan untuk membungkus makanan, juga untuk memberi warna pada
kulit telur rebus. Kulit akar dan daun mudanya dipergunakan untuk memberikan
warna pada barang anyaman, selain itu daunnya dapat dimanfaatkan pula untuk
obat-obatan seperti obat kolera dan kejang usus (Martawijaya et al. 1989).
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Istilah mikoriza pertama kali dipublikasikan oleh Frank (Tahun 1885) pada
suatu komposit antara jamur dengan organ akar dari Cupufelirae (Harley dan
Smith 1983). Selanjutnya Harley (1972), diacu dalam Nuhamara (1994)
menyatakan bahwa nama mikoriza sah diberikan pada asosiasi-asosiasi dari
organ penyerap dan fungsi yang struktur dan perkembangannya tetap dan
secara terus menerus ada dan berfungsi dalam kondisi-kondisi alamiah.
Mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu
myces (fungi) dan rhyza (akar). Jadi mikoriza adalah suatu bentuk simbiosis yang
saling menguntungkan antara akar tanaman dan fungi. Mikoriza untuk tumbuh
dan
berkembang
memerlukan
karbohidrat
dari
tanaman
dan
tanaman
memerlukan unsur hara dan air dari dalam tanah melalui hifa selama siklus
hidupnya.
9
Mikoriza dapat dikelompokan menjadi 2 tipe berdasarkan bentuk dan cara
infeksi funginya
terhadap tumbuhan inangnya,
yaitu
endomikoriza
dan
ektomikoriza (Smith dan Read 1997). Sedangkan berdasarkan struktur tubuh
dan cara infeksinya terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokan
menjadi 3 (tiga) golongan besar, yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan
ektendomikoriza (Imas et al. 1989).
Karakteristik yang membedakan endomikoriza adalah 1) perakaran yang
terkena infeksi tidak membesar, 2) fungi tidak membentuk struktur lapisan hifa
pada permukaan akar, 3) hifa menginfeksi sel korteks secara intra dan
interseluler, 4) adanya struktur khusus sistem percabangan yang disebut
arbuskula dan pada sub ordo tertentu juga membentuk struktur oval yang disebut
vesikula (Harley dan Smith 1983).
Berbeda dengan yang lainnya, endomikoriza atau fungi mikoriza arbuskula
adalah cendawan yang bersifat obligat dan memiliki toleransi yang luas di
ekosistem.
FMA dapat berasosiasi dengan sebagian besar tumbuhan yang
termasuk Angiospermae, Gymnospermae, Pteridophyta, dan Bryopita. Tanaman
kelompok
dicotyledonous
83%
dan
kelompok
monocotyledonous
79%
berasosiasi dengan CMA (Smith dan Read 1997; Sieverding 1991).
Fungi mikoriza arbuskula termasuk kedalam kelas klasifikasi filum
Glomeromycota yang memiliki 4 ordo, 9 suku (famili) dan 13 marga (genus)
antara lain yaitu 1) Glomales memiliki 2 famili Glomeraceae (Glomus Group A),
Glomeraceae (Glomus Group B); 2) Archaeosporales memiliki 3 famili
Archaeosporaceae, Geosiphonaceae, Appendicisporaceae; 3) Paraglomales
memiliki Paraglomaceae; 4) Diversisporales dengan famili Gigasporaceae,
Acaulosporaceae, Diversisporaceae, Pacisporaceae, dan Entrophosporaceae.
Sedangkan 13 genus yang telah ditemukan sampai saat ini yaitu Gigaspora,
Scuttelospora dari famili Gigasporaceae, Glomus dari famili Glomeraceae,
dari
Geosiphom
famili
Geosiphonaceae,
Acaulospora
dari
famili
Acaulosporaceae, Entrophospora dari famili Entrophosporaceae (Morthon &
Benny
1990),
Archaeospora
dari
famili
Archaeosporaceae,
Paraglomus
dari famili Paraglomaceae (Morton & Redecker 2001), Diversipora dari
famili Diversisporaceae (Walker & Schubler 2004), Pacispora dari famili
Pacisporaceae (Oehl & Sieverding 2004; Walker et al. 2007), Kuklospora
dari
famili
Acaulosporaceae,
Intraspora
dari
famili
Archaeosporaceae
10
(Sieverding & Oehl 2006) dan Appendicispora dari famili Appendicisporaceae
(Spain et al. 2006; Walker et al. 2007) diacu dalam Nusantara (2007).
Bentuk, ukuran, dan warna spora FMA juga bervariasi yaitu globose, oval,
oblong, dengan atau tanpa hifa substending. Ukuran spora bervariasi
dari yang terkecil antara 20-50 μm hingga yang terbesar 200-1000 μm
(Brundrett
et
al.
1994)
tetapi
menurut
Sylvia
(2004)
diameter
spora
Glomus tenue berkisar 10 μm dan beberapa spora genus Scutellospora lebih
dari 1000 μm.
Warna spora Ordo Glomales sangat beragam mulai dari hyaline sampai
hitam (Sylvia 2004) yang meliputi: merah, coklat, kuning, hitam, atau warna
lainnya, dengan atau tanpa ornamen seperti spot. Secara anatomi spora
berbeda-beda dalam hal jumlah dan ketebalan lapisan dinding sel spora maupun
isi sel (Brundrett et al. 2004).
Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula Bagi Tanaman
Mikoriza arbuskula telah diketahui memberikan sumbangan yang sangat
besar terhadap pertumbuhan tanaman, serapan hara dan juga produksinya.
Dalam mendapatkan sumber karbohidrat, FMA memberikan kuntungan pada
nitratnya. Hifanya menyebar dalam tanah menyerap air, fosfor dan hara lainnya
(Alexopoulus et al. 1996).
Tanaman bermikoriza umumnya tumbuh lebih baik daripada yang tidak
bermikoriza. Hal ini karena mikoriza secara efektif dapat meningkatkan
penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur mikro. Selain itu, akar
bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia
untuk tanaman (Serrano 1985), diacu dalam (Setiadi 1989).
Hasil penelitian Coryanti dan Rohayati (2000) menunjukkan bahwa terdapat
respon pertumbuhan tanaman jati yang relatif lebih baik dapat terlihat dari
peningkatan tinggi, diameter dan berat keringnya. Namun terdapat perbedaan
respon yang disebabkan oleh perbedaan isolat FMA yang diinokulasikan, yaitu
pertumbuhan terbaik dihasilkan oleh tanaman yang diinokulasi dengan
Glomus aggregatum, Mycofer, Acaulospora sp dan Glomus manihotis.
Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi terhadap serangan
infeksi patogen akar. Mekanisme perlindungannya adalah sebagai berikut
(Zak 1967), diacu dalam (Setiadi 1989); 1) adanya lapisan hifa sebagai pelindung
fisik terhadap masuknya patogen, 2) mikoriza menggunakan hampir semua
11
kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta kondisi
lingkungan yang tidak cocok untuk patogen, 3) mikoriza dapat menghasilkan
antibiotik.
Menurut Imas et al. (1988) menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan
penyerapan P pada tanaman bermikoriza ditentukan oleh spesies tanaman,
kandungan P dalam tanah, serta infeksi mikoriza yang bergantung pada
tanaman, adaptasi fungi pada lingkungan, dan efisiensi spesies cendawannya.
Unsur P merupakan bahan pembentuk inti sel, dan berperan penting bagi
pembelahan sel serta perkembangan jaringan meristematik. Akar tanaman
bermikoriza akan terlindung dari serangan patogen akar karena terhalang hifa,
selain itu secara kimiawi terlindung karena mempunyai anti serangan patogen
(Fakuara et al. 1986).
Peranan FMA dalam menekan perkembangan patogen tanah terutama
disebabkan kolonisasi awal pada perakaran tanaman sehingga mampu
meningkatkan ketahanan tanaman. Secara normal FMA mampu meningkatkan
penyerapan fosfor dan mineral hara lainnya sehingga peningkatan ketahanan
tanaman merupakan efek tidak langsung pada peningkatan ketersediaan hara.
Dengan demikian penurunan serangan penyakit diduga terdapat hubungan
dengan peningkatan ketersediaan fosfor (Setiadi 2000).
Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula Bagi Pertumbuhan Anakan Jati
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan FMA dapat
membantu
meningkatkan
pertumbuhan
anakan
jati.
Hasil
penelitian
Arifanti (1999) menunjukkan bahwa inokulasi Glomus etunicatum dapat
meningkatkan pertumbuhan tinggi rata-rata anakan jati sebesar 35.9% terhadap
kontrol. Selain itu inokulasi G. etunicatum dapat meningkatkan pertumbuhan
diameter anakan jati yaitu sebesar 8.1% terhadap kontrol, dapat meningkatkan
berat kering total anakan jati sebesar 23.1%, dan dapat meningkatkan nisbah
pucuk akar anakan jati sebesar 7.4% terhadap kontrol.
Hasil penelitian Budiyanto (2003) menunjukkan bahwa inokulasi FMA pada
bibit jati yang tidak dipangkas akarnya cenderung dapat meningkatkan
pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 34% dan 22%.
Sedangkan hasil penelitian Susanti (2004) menunjukkan bahwa rata-rata
pertumbuhan yang dinokulasi FMA tegakan jati Cepu dan FMA Mycofer bila
dibandingkan dengan kontrol nilainya secara berurutan lebih besar 31% dan
12
11%, rata-rata pertambahan diameter FMA Mycofer Bogor 28,1% dan FMA
tegakan jati Cepu sebesar 23,1% dibanding kontrol sedangkan berat kering total
anakan jati yang diinokulasi dengan FMA tegakan jati cepu 45,04% dan FMA
Mycofer Bogor sebesar 21,5% dibanding dengan kontrol.
Hasil penelitian Umam (2005) menunjukkan bahwa inokulasi FMA dan
penambahan tepung tulang pada semai jati dapat meningkatkan pertambahan
tinggi semai 36%, diameter semai 57%, berat kering pucuk 110%, berat kering
akar 108% dan berat kering total 118% terhadap kontrol.
Hasil penelitian Arif (2006) menunjukkan bahwa secara umum inokulasi
semai dengan FMA mampu meningkatkan respon pertumbuhan terhadap semai
jati Muna. Formulasi inokulum G. etunicatum dengan vermikompos 40%
menghasilkan peningkatan bobot kering semai sebesar 529% dan serapan hara
P sebesar 11,43 mg P/semai. Sedangkan Glomus sp. dengan vermikompos 40%
menghasilkan peningkatan bobot kering semai sebesar 500% dan serapan hara
P sebesar 9,67 mg P/semai dibandingkan dengan kontrol.
Hasil penelitian Alimuddin (2006) menunjukkan bahwa inokulasi FMA pada
stek pucuk jati Muna dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit, jumlah daun,
jumlah akar, panjang akar adventif, berat kering total bibit, indeks kekokohan
bibit, dan indeks mutu bibit dengan masing-masing nilai sebesar 48,92%; 8%;
27%; 66,87%; 6,73%; 65,97% dan 57,14% terhadap kontrol.
Inokulum Tanah
Tanah yang berasal dari bawah tegakan pohon bermikoriza, lazim disebut
inokulum tanah, merupakan bentuk inokulum yang pertama kali dimanfaatkan.
Teknik inokulasinya sangat sederhana yaitu dengan mencampur inokulum tanah
dengan media semai (lazim 5-10% volume media), diberikan sekeliling batang
semai pada pada kedalam 0,5-1 cm (Marx & Kenny 1982).
Inokulum FMA terdapat dalam empat bentuk yaitu tanah terinfeksi, akar
tanaman terinfeksi, kultur murni fungi, dan spora (Mosse 1981). Ciri dan
kemelimpahan propagul mikoriza dalam tanah akan berbeda-beda bergantung
kepada kemampuannya dalam menanggapi perubahan yang terjadi pada tanah.
Inokulum tanah merupakan inokulum alami yang paling murah harganya dan
teknologinya juga paling sederhana. Keuntungan dengan menggunakan
inokulum tanah adalah kadangkala terikut jasad renik tanah lainnya. Selain itu,
13
inokulum tanah juga berisi spora, akar, dan hifa yang semuanya dapat
menginokulasikan bibit tanaman (Helm & Carling 1990).
Hasil penelitian Nova (2005) menunjukkan bahwa inokulum tanah FMA dari
bawah tegakan jati Muna yang berasal dari Wakuru, Matakidi, Raha, Sampolawa
dan Ewa dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit jati Muna dengan
peningkatan sebesar (142,82%; 147,37%; 143,95%; 134,42%; 93,49%), diameter
(196%; 192%; 173%; 134%; 53,85%), jumlah daun (95,60%; 77,60%; 68,80%;
66,80%; 60,00%), BKT (140%; 117%; 109%; 112%; 105%), sedangkan NPA
(892,06%; 893,65%; 1025,40%; 900%; 487,30%) terhadap kontrol.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Mikoriza
Brundrett et al. (1994) menyatakan keberhasilan pembentukan mikoriza
tergantung dari interaksi tiga faktor antara tanah, fungi, dan tanaman inang.
Menurut Hetrick (1984) menyatakan bahwa kolonisasi akar dan produksi spora
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jenis fungi dan lingkungan. Faktor jenis fungi
dibedakan menjadi faktor kerapatan inokulum dan persaingan antara jenis fungi,
sedangkan faktor lingkungan yaitu:
Suhu
Respon
menurut
tanaman
spesies
bermikoriza
fungi
yang
terhadap
mengoloninya
suhu
(Bowen
juga
berbeda-beda
2000).
Kolonisasi
0
miselium pada permukaan akar paling baik pada suhu antara 28 C-340 C
(Tumerup 1983), diacu dalam (Bowen 2000). Pada suhu tinggi mengakibatkan
penurunan viabilitas spora dan bahkan kematian spora. Sedangkan suhu rendah
dilaporkan oleh Suhardi (1997) sangat dibutuhkan oleh mikoriza pada fase awal
kehidupannya. Suhu tanah < 170 C dapat menurungkan keefektifan dan
perkembangan CMA (Sieverding 1991). Menurut Daniel dan Trappe (1981)
spora
Glomus
epigaens
berkecambah
pada
suhu
18-250 C
dengan
0
suhu optimum 23 C.
Cahaya Matahari
Pada prinsipnya cahaya terutama intensitasnya mempengaruhi FMA
karena berhubungan dengan suplai fotosintat yang dibutuhkan oleh fungi.
Tumbuhan dengan laju fotosintesis tinggi juga cenderung memperbaiki suplai
14
fotosintat bagi FMA, akibat pada meningkatnya konsentrasi karbohidrat di dalam
akar.
pH Tanah
Setiap jenis fungi pembentuk mikoriza arbuskula mempunyai kisaran pH
masing-masing, ada yang kisarannya luas dan ada yang sempit. Spora Glomus
mossae dan Gigaspora margarita tidak ditemukan pada tanah tropis alam
dengan
pH
<
5,5,
adapaun
spora-spora
Acaulospora
scrobiculata,
A. morrawai, A. spinosa, Glomus agregatum, G. versiforme dan Scutellospora
pellucida, mempunyai kisaran pH yang cukup luas untuk perkembangannya
yaitu 3,8-8,0 (Sieverding 1991).
Kemasaman tanah sangat mempengaruhi kolonisasi dan perkembangan
FMA dalam hal proses infeksi dan proses pertumbuhan hifa. Umumnya FMA
berkecambah baik pada pH 5-8 (Bowen 2000), sedangkan Gunawan (1993)
menyatakan bahwa pH optimum untuk Glomus sp. antara 5,5-9,5 dan
Gigaspora sp. berkisar antara pH 4-6.
Aerasi dan Air
Di dalam tanah yang tergenang air, kekurangan oksigen menghambat
perkembangan baik tumbuhan maupun simbiosis mikorizanya.
Read (1971),
diacu dalam (Nova 2005) melaporkan bahwa produksi spora FMA sangat baik
jika tanaman disiram setiap hari. Sedangkan Sieverding (1991) melaporkan
bahwa kadar air 40-80% dari kapisitas cekapan maksimum merupakan kondisi
yang optimum untuk perkembangan dan keefektifan FMA.
Download