Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 AGRESI MILITER JEPANG KE CINA PADA TAHUN 1931-1937: DARI INSIDEN MUKDEN SAMPAI PERTEMPURAN SHANGHAI Novita Raini Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail : [email protected] Abstrak Fokus dari makalah ini adalah mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi selama agresi militer oleh Jepang ke Cina pada tahun 1931-1937. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peristiwa apa saja yang terjadi ketika Jepang melancarkan agresi militer di Cina pada tahun 1931-1937. Landasan teori yang digunakan dalam makalah ini antara lain teori dari Marjorie Dryburgh dan Usui Katsumi. Teori dari para ahli sejarah tersebut menjadi dasar untuk mengetahui secara lebih jelas seperti apa situasi pertempuran antara Cina dan Jepang pada tahun 1931-1937, dan motif apa saja yang melatarbelakangi terpicunya pertempuran tersebut. Ada dua kesimpulan yang diperoleh penulis dari penulisan makalah ini. Pertama adalah bahwa pengambilalihan manchuria pada tahun 1931 lebih tepat dikatakan sebagai titik awal dari Perang Dunia II. Kedua, bahwa faktor yang sesungguhnya menjadi pemicu dari perang CinaJepang pada tahun 1937 merupakan invasi Jepang terhadap Cina, pada tahun 1937 yakni insiden Jembatan Marco Polo. JAPAN’S MILITARY AGRESSION AGAINST CHINA IN 1931-1937: FROM MUKDEN INCIDENT TO THE BATTLE OF SHANGHAI The Focus of this paper is about the events that took place in Japan’s military agression against China in 1931-1937. Whereas the purpose of this research was to determine the events that happened when Japan’s military agression against China in 1931-1937 occured. This research employs the theoretical basis of Historist like Marjorie Dryburgh and Usui Katsumi. These theories form the basis for analyzing more clearly what situation that occured in the war between China and Japan in 1931-1937, and what are the motives behind it that triggering the war. There are two conclusions obtained by the author from the writing of this paper. First, the take over of Manchuria in 1931 by Japanese army more appropriately described as the starting point of World War II. Secondly, the real factor that trigger the China-Japan War in 1937 is the Japan invasion of China in 1937, that is known as The Marco Polo Bridge Incident. Keywords: Japan’s Military Agression, Mukden Incident, Marco Polo Bridge, Battle of Beijing-Tianjin, Battle of Shanghai 1. Pendahuluan Dalam sejarah Cina pada era pasca dinasti banyak terjadi pergolakan militer baik karena faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor eksternal adalah pertempuran Cina dengan pihak luar demi mempertahankan wilayahnya. Salah satu pihak luar yang merupakan musuh besar Cina pada masa itu adalah Jepang. Perang antara Cina dan Jepang, atau lebih dikenal sebagai Sino-Japan War dimulai pada tahun 1937. Namun, penyebab dari perang itu sendiri dimulai kira-kira 20 tahun sebelumnya. Marius Jansen menjelaskan bahwa sampai pada akhir Perang Dunia I, yakni tahun 1918, Jepang bersama negara-negara lain melakukan pembagian wilayah Cina ke dalam ‘spheres of influence’1 2. 1 Jansen, Marius B. "Japanese Imperialism: Late Meiji Perspectives," dalam The Japanese Colonial Empire, oleh Ramon H. Myers dan Mark R. Peattie Hal. 61-79. Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 Antara tahun 1918 dan 1930, populasi Jepang telah berkembang secara dramatis dan jumlah sumber daya Jepang tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang membengkak akibat ledakan populasi, impor pangan yang cukup besar dilakukan, namun tarif asing yang dikenakan untuk ekspor barangbarang manufaktur dari luar negeri yang tinggi membatasi Jepang untuk membayar impor makanan. Dengan Cina terpecah belah oleh revolusi pada tahun 1920, kaum militeris Jepang melihat Cina, khususnya wilayah utara Manchuria yang kaya akan sumber daya alam, sebagai wilayah incaran Jepang untuk memperluas sekaligus menyelesaikan permasalahan tentang meningkatnya kebutuhan dan kependudukan. Namun, pemerintah kekaisaran Jepang saat itu tidak responsif terhadap proposal untuk agresi militer terhadap Cina tersebut. Selama tahun 1920-an, militer Jepang menjadi semakin tidak percaya kepada pemerintahan sipil. Pada tahun 1922, Konferensi Angkatan Laut Washington telah mengurangi kapasitas angkatan laut Jepang menjadi lebih kecil dibandingkan dengan Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan kemarahan di Jepang, khususnya di jajaran tentara dan kaum militeris sipil yang melihat hal tersebut sebagai sebuah penghinaan bagi Jepang. Pada tahun 1925, pemerintah kekaisaran memotong anggaran tentara dan angkatan laut, serta mengurangi jumlah tentara Jepang sebanyak empat divisi3. Antara 1925 dan 1928, Partai Nasionalis Cina (PNC) atau Guomindang mulai menyatukan semua wilayah Cina hingga ke daerah terpencil bawah pemerintahannya Guomindang. Kaum militeris Jepang khawatir bahwa Cina yang bersatu di bawah pemerintahan PNC akan memblokir perluasan wilayah Jepang ke Manchuria di mana Jepang memiliki kepentingan komersial besar dan telah mencapai pengaruh politik yang signifikan. Pada tahun 1927, militer Jepang menuntut tindakan oleh pemerintah kekaisaran untuk memblokir gerakan PNC untuk mencapai Manchuria. Perdana Menteri Militer, Tanaka kemudian menanggapi dengan mengirimkan pasukan Jepang ke provinsi Shandong di Cina pada tahun 1928 untuk memblokir wilayah Manchuria dari pengaruh PNC. Di tahun yang sama Manchuria mulai mendapat pengaruh dari PNC dan pasukannya. Gesekan kemudian berkembang di antara PNC dan birokrat Jepang di Manchuria. Rakyat Manchuria ingin mengurangi pengaruh politik Jepang di wilayah mereka. Mereka juga mulai mengembangkan kereta api milik Cina untuk bersaing dengan Kereta Api di Manchuria yang dikendalikan oleh Jepang. Kaum militeris Jepang memandang perkembangan ini sebagai ancaman terhadap "posisi khusus" Jepang di Manchuria dan rencana mereka untuk merebut sebagian besar wilayah utara Cina. Ekstremis Tentara Guangdong 4 di Manchuria kemudian mengambil langkah-langkah yang dimaksudkan untuk mengurangi antusiasme rakyat terhadap kaum Nasionalis dengan membunuh penguasa panglima perang Cina di Manchuria pada tahun 1928, tapi tanpa Jepang menduga penggantinya adalah seorang pendukung Nasionalisme Cina yang lebih kuat daripada sebelumnya. Pembunuhan tersebut bukanlah atas perintah kekaisaran, melainkan atas inisiatif sendiri. Namun, ketika pemerintahan Tanaka mencoba untuk menghukum pelaku dan membangun kembali kedisiplinan dalam tentara, mereka diblokir oleh Staf Umum Angkatan Darat Jepang. Keraguan dan perbedaan pandangan yang terjadi di Jepang menyebabkan imobilitas sampai pada akhir tahun 1930-an. Sebagian diplomat Jepang, bersatu dalam mendukung peningkatan kontrol ekonomi dan politik atas Cina, demi memenuhi kebutuhannya5. Jepang kemudian melancarkan imperialismenya dan melakukan pencarian pasar monopoli dan investasi di Cina. Depresi Besar dan diplomasi ekonomi pada masa itu juga memberikan kontribusi terhadap agresi Jepang ke Cina. Akira Iriye menggambarkan bagaimana kekhawatiran pemimpin Jepang yang mulai merasa dikelilingi oleh kekuatan Barat6. 2 Spheres of Influence adalah Sebuah wilayah spatial di mana sebuah negara atau organisasi memiliki pengaruh budaya, ekonomi, militer, atau politik yang signifikan. Meskipun mungkin ada aliansi formal atau perjanjian lainnya antara pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi, pengaturan formal tersebut tidak diperlukan. Dalam kasus yang lebih ekstrim, sebuah negara di dalam Spheres of Influence yang lain dapat menjadi anak negara itu dan melayaninya sebagai negara satelit atau koloni de facto. (disadur dari www.thefreedictionary.com) 3 Jansen, Marius B. "Japan and China: From War to Peace" 4 Tentara Guangdong pertama kali dibentuk sebagai pasukan ekspedisi untuk melawan tentara Rusia di Manchuria. Tentara kebanggaan Kaisar itu awalnya merupakan kekuatan divisi berukuran sekitar 10.000 tentara. Mereka memiliki peralatan terbaik dan pelatihan yang tersedia, dan ditugaskan untuk melindungi nyawa dan properti Jepang di Manchuria. Di tahun 1931 ketika Insiden Mukden terjadi, anggota Tentara Guangdong meninggkat menjadi 200.000 orang Jepang, dan 1.000.000 orang Korea. (disadur dari http://www.globalsecurity.org/military/world/japan/ija-kwantung.htm) Farnswoth, Lee. “The Diplomacy of Expansionism” dalam “Diplomats in Crisis” oleh Burns and Bennett, hal. 227 Iriye, Akira. "The Failure of Economic Expansionism, 1918-1931," dalam “Japan in Crisis,” oleh Bernard Silberman dan Harry Harootunian, hal. 269. 5 6 Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 Firasat baru yang mengancam keamanan nasional tersebut mempengaruhi baik kehidupan politik dan perencanaan militer Jepang. Hal tersebut kemudian memicu Jepang pergi melancarkan agresi militer ke Cina untuk mengamankan negara tersebut yang dianggap sebagai satu pasar asing yang masih tersedia dan bisa menyelamatkan Jepang. Agresi militer Jepang atas Cina yang berlangsung pada tahun 1931-1937 tersebutlah yang kemudian memicu terjadinya Perang Cina-Jepang yang salah satunya diawali dengan Pertempuran Shanghai. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode ekspositoris yaitu penelitian yang memberikan informasi, penjelasan, keterangan, atau pemahaman terhadap suatu hal tertentu. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data sekunder melalui telaah kepustakaan. Bahan-bahan bacaan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, buku-buku pribadi penulis, materi kuliah Sejarah Cina Era Pasca Dinasti yang diperoleh di kelas, dan berbagai jurnal dan sumber dari media internet baik yang berbahasa Inggris maupun Indonesia. Data yang terkumpul berupa data kualitatif. 3. Analisis 3.1. Invasi Jepang ke Manchuria (1931-1932) Salah satu awal dari Perang Dunia II adalah invasi Manchuria pada tahun 1931 oleh Jepang. Tindakan Jepang berperang habis-habisan dengan Cina di Manchuria pada tahun 1931-1937 sangat mendukung gagasan ini. Tentara Guangdong yang awalnya ditempatkan untuk melindungi rel kereta api di Manchuria Selatan yang dikendalikan oleh Jepang, menyerbu Manchuria. Pimpinan pasukan Jepang di Manchuria yakin Cina memiliki kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh Jepang. Pimpinan militer Jepang percaya bahwa pembentukan Manchukuo akan mendorong Jepang untuk menjadi penguasa dunia7. Michael Barnhart mengatakan bahwa rencana para pemimpin Jepang untuk menjadikan Manchukuo sebagai pendorong bagi Jepang untuk menjadi kekuatan dunia membuat pembentukan Manchukuo menjadi fokus utama pemimpin Jepang. Ishiwara Kanji, salah satu teoritisi Tentara Guangdong yang paling berpengaruh, yakin bahwa perpecahan di Cina akan mempermudah Jepang untuk menduduki Manchuria 8. Perekonomian Jepang yang terpengaruh oleh krisis yang dimulai pada tahun 1929, mendorong para pemimpin Jepang untuk mendirikan Manchukuo sebagai tanah harapan bagi perekonomian Jepang. Namun, pada saat yang sama, Jepang merasa terancam oleh PNC yang terus berkembang. Hal ini membuat kaum ekstrimis militer dan sipil berhasil membujuk pemerintah kekaisaran Jepang hingga bersedia untuk mendengarkan tuntutan mereka dan mengambil langkah terhadap Manchuria. Pada tahun 1931, kaum militeris mendominasi pemerintah kekaisaran Jepang, dan yang mereka perlukan hanya tinggal alasan yang masuk akal untuk melakukan aksi militer di Manchuria. Namun para ekstrimis Tentara Guangdong memutuskan untuk bertindak lebih awal daripada menunggu saat yang tepat. Pada malam 18 September 1931, mereka meledakkan bom di jalur rel kereta api Manchuria Selatan milik Jepang. Ledakan itu menyebabkan kerusakan yang sangat sedikit, dan tidak memakan korban jiwa. Kolonel Itagaki Seishiro, Letnan Kolonel Ishiwara Kanji, Kolonel Doihara Kenji dan Mayor Tanaka Takayoshi telah membuat rencana atas insiden tersebut pada tanggal 31 Mei 1931 9 . Salah satu hal utama dalam skema ini adalah pembangunan kolam renang di Klab Pegawai Jepang di Mukden. “Kolam renang” tersebut sebenarnya adalah lubang perlindungan yang memuat dua buah artileri sebesar 9,2 inch secara diam-diam10. Rencana tersebut dijalankan ketika Letnan 1 Komoto Suemori dari Barisan Unit Independen menjaga Jalur Kereta Api Selatan Manchuria, dan menempatkan bahan peledak di posisi yang tepat sehingga ledakan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Pada 18 September pukul 22:20, bom tersebut diledakkan. Namun, kerusakan yang disebabkan oleh ledakan tersebut tidaklah berarti, sesuai dengan rencana hanya 1,5m dari bagian rel kereta api yang rusak. Burns and Bennet. “Diplomats in Crisis” Barnhart, Michael A. “Japan Prepares for Total War: The Search for Eco-nomic Security, 1919-1941” 9 Behr, Edward. The Last Emperor, hal. 180. 10 Duus and Hall. The Cambridge History of Japan: The Twentieth Century, hal. 294 7 8 Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 Tentara Guangdong melanjutkan skenario mereka dengan segera menyalahkan "teroris Cina" sebagai pelaku ledakan tersebut. Kemudian tanpa menunggu persetujuan dari pemerintah kekaisaran di Tokyo, mereka memalsukan bukti atas kejadian tersebut sehingga Jepang dapat bebas dari tuduhan dan mengarahkan bukti-bukti palsu tersebut kepada teroris Cina sebagai kambing hitam11. Sehari setelah Insiden tersebut, Markas Umum Kekaisaran Jepang memutuskan agar Tentara Guangdong segera kembali karena telah melakukan pelanggaran perintah dari Tokyo. Namun, Panglima Jenderal Tentara Guangdong, Honjo Shigeru memerintahkan pasukannya segera melanjutkan untuk memperluas operasi militer sepanjang rel Kereta Api di Manchuria Selatan. Di bawah perintah dari Letnan Jenderal Tamon Jiro, pasukan dari Divisi 2 pindah jalur rel dan menduduki hampir setiap kota dalam jangkauan 730 mil dalam hitungan hari, menduduki Anshan, Haicheng, Kaiyuan, Tiehling, Fushun, Szeping-chieh, Changchun , Kuanchengtzu, Yingkou, Antung, dan Penhsihu. Demikian juga pada tanggal 19 September, dalam menanggapi permintaan Jenderal Honjo itu, Angkatan Darat Chosun di Korea di bawah Jenderal Hayashi Senjuro telah memerintahkan Divisi Infanteri ke-20 untuk membagi kekuatannya, membentuk Brigade Campuran ke-39, yang berangkat pada hari itu menuju Manchuria tanpa adanya perintah resmi dari Kaisar Hirohito di Jepang. Antara 20 September dan 25 September 1931, pasukan Jepang menduduki Hsiungyueh, Changtu, Liaoyang, Tungliao, Tiaonan, Kirin, Chiaoho, Huangkutun dan Hsin-min. Tindakan inisiatif oleh Hayashi merupakan bentuk pembangkangan yang kemudian membuat pemerintah sipil Jepang berada dalam kekacauan, tetapi kemenangan Hayashi membuat pemerintah pusat Angkatan Darat di Jepang tidak bisa menolak, dan memutuskan untuk segera mengirim tiga divisi lebih infanteri Jepang dengan dalih untuk melindungi kebutuhan hidup dan properti Jepang. Tanpa persetujuan dari Tokyo, sekali lagi Tentara Guangdong melakukan penaklukan penuh terhadap Manchuria di Cina. Tentara Guangdong mengabaikan upaya oleh pemerintah kekaisaran di Tokyo untuk menghentikan agresi militernya di Manchuria. Ketika Perdana Menteri Inukai mencoba untuk menjalankan misi dari Kaisar Hirohito yaitu membawa Tentara Guangdong kembali di bawah kendali pemerintah, ia dibunuh oleh petugas angkatan laut Jepang pada Mei 1932. Salah satu hal yang paling mengherankan dari politik Jepang pada periode ini adalah ketidakmampuan pemerintah dan Staf Umum kekaisaran Jepang untuk mengontrol Tentara Guangdong. Kaum ekstrimis dalam Tentara Guangdong terus menuntut adanya keputusan untuk menyerbu Manchuria dan membentuk Manchukuo di wilayah itu, serta ekspansi ke wilayah selatan Cina setelah dibangunnya Manchukuo pada bulan September 1932. Menurut Nakamura Yoshihisa dan Tobe Ryoichi, Pembangkangan ini dicipu oleh adanya perbedaan antara urusan nasional dan urusan politik yang diciptakan oleh pihak militer Jepang. Ketika pemerintah parlementer menjadi lebih kuat pada tahun 1920-an, perwira militer reformis merasa mereka sendiri bisa berbicara dan bertindak menurut kehendak mereka sendiri bagi kepentingan bangsa12. Ketika Tentara Guangdong telah menyelesaikan penaklukkan atas Manchuria, mereka mengubahnya menjadi negara boneka Jepang yang disebut Manchukuo pada bulan September tahun 1932. Kemudian kaisar Cina yang terakhir, Henry Pu Yi, setuju untuk menjadi Raja dari Manchukuo, Ia pun memerintah Manchukuo di bawah kendali Tentara Guangdong. Di saat yang sama, pemerintah Cina disibukkan dengan banyaknya masalah internal, termasuk isu pemerintah Nasionalis di Guangzhou yang baru dibentuk, pemberontakan Partai Komunis Cina (PKC), dan banjir dari Sungai Yangtzi yang mengakibatkan puluhan ribu pengungsi. Karena keadaan ini, pemerintah pusat beralih ke komunitas internasional untuk resolusi damai. Kementerian Luar Negeri Republik Cina mengeluarkan protes keras kepada pemerintah Jepang dan menyerukan untuk segera menghentikan operasi militer Jepang di Manchuria, dan mengajukan banding ke LBB, pada tanggal 19 September. Pada tanggal 24 Oktober, LBB mengeluarkan resolusi yang mewajibkan penarikan pasukan Jepang, dan harus selesai pada 16 November. Namun, Jepang menolak resolusi LBB dan bersikeras melakukan perundingan langsung dengan pemerintah Cina. Negosiasi berlangsung secara bertahap tanpa hasil yang signifikan. Pada tanggal 20 November, diadakan sebuah konferensi pemerintah Nasionalis di Guangzhou dimana faksi Guangzhou bersikeras bahwa Chiang Kai-shek harus mundur sebagai bentuk pertanggung jawabannya atas bencana di Manchuria. 11 12 Behr, Edward. Op. Cit. hal. 182. Yoshihisa Nakamura dan Ryoichi Tobe, “The Imperial Japanese Army and Politics,” dalam “Armed Forces and Society” hal. 511 Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 Dengan selatan Manchuria aman, Jepang berbelok ke utara untuk menyelesaikan pendudukan Manchuria. Sebagaimana negosiasi dengan Jenderal Ma Zanshan dan Ting Chao agar membelot ke pihak Jepang telah gagal, maka pada awal Januari Kolonel Doihara Kenji diminta Jenderal Xi Qia untuk mengirim pasukannya dan merebut Harbin. Kekuatan militer Cina terakhir di utara Manchuria di bawah pimpin Jenderal Ting Chao yang mengorganisir pertahanan Harbin berhasil melawan Xi sampai kedatangan Divisi 2 Guangdong di bawah Jenderal Tamon Jiro. Pasukan Jepang kemudian menguasai Harbin pada tanggal 4 Februari1932. Pada akhir Februari Ma telah bergabung dengan pemerintah Manchukuo dan diberi kedudukan sebagai gubernur provinsi Heilongjiang dan Menteri Perang Manchukuo. Pada tanggal 27 Pebruari 1932, Jepang meminta Jenderal Ting untuk menghentikan permusuhan dan mengakhiri perlawanan resmi Cina di Manchuria. Tetapi Jenderal Ting menolak permintaan Jepang tersebut sehingga Jepang terus melakukan perlawanan terhadap Cina untuk menenangkan Manchukuo 3.2. Invasi Jepang Terhadap Wilayah Cina di Luar Manchuria (1932-1934) Setelah berdirinya Manchukuo, Tentara Guangdong menciptakan rezim boneka tambahan di wilayah selatan dan barat Manchuria. Tujuannya adalah untuk memperpanjang cordon sanitaire13 di sepanjang perbatasan Mongolia untuk membersihkan wilayah utara Cina secara keseluruhan dari komunisme Rusia14. Pemimpin Jepang mengklaim mereka tidak bisa mengabaikan ancaman pasukan Soviet yang begitu dekat dengan Manchuria dan Mongolia. Jepang beranggapan Cina tidak mampu untuk mempertahankan negaranya. Ketidakmampuan tersebut menurut Jepang tampak dari ketidakmampuan pemerintah Cina pada awal tahun 1930 untuk menangani secara efektif gerakan Komunis yang mulai berkembang pesat. Tiga tahun kemudian, Jepang menginvasi seluruh wilayah Cina. Salah satu alasannya adalah keinginan untuk merebut tambang batu bara dan besi di provinsi Shanxi. Alasan lainnya adalah untuk memaksa Chiang Kai-shek agar mengakui kemerdekaan Manchukuo. Pimpinan Angkatan Darat Guangdong dengan angkuh percaya bahwa tentara Cina itu tidak punya wewenang atas Jepang. Pada umumnya Jepang percaya bahwa mereka bisa mengamankan Manchuria dan Cina Utara dengan tiga divisi hanya dalam waktu tiga bulan. Kekuatan untuk menaklukan Manchuria telah diperhitungkan dengan baik-baik oleh pihak militer dan industri Jepang, maupun para lawannya. Setelah penaklukan Manchuria, Jepang tidak memperhitungkan lebih lanjut dampak yang akan timbul dari kebijakan yang mereka terapkan. Pada saat yang sama, terjadi ketidakseimbangan antara pendapatan yang diperoleh dari produksi pertanian di Manchuria dengan biaya peperangan yang dikeluarkan Jepang untuk menghadapi Cina. Pemerintah Jepang tampak tidak mempertimbangkan strategi perang yang harus mereka gunakan. Edward Drea percaya pertempuran di Mukden dan Tsushima dalam Perang Rusia-Jepang (1904-1905) memiliki pengaruh yang fatal terhadap perencanaan perang Jepang di masa mendatang dengan pihak Barat15. Permusuhan Cina dengan Jepang yang disebabkan oleh penaklukan Manchuria telah menimbulkan aksi boikot terhadap barang-barang Jepang di wilayah lembah sungai Yangtzi pada tahun itu16. Angkatan Laut Jepang kemudian mendaratkan pasukannya di Shanghai pada tahun 1932. Mereka berpikir bahwa hal tersebut cukup untuk mengancam pemerintahan di Nanjing dan memaksa Chiang Kai-shek untuk mengakhiri kegiatan anti-Jepang. Dengan serangan dari Jepang pada Februari 1932, maka pertahanan dan sabotase Chiang Kai-shek pun runtuh. Utusan Chiang akhirnya menandatangani gencatan senjata di Shanghai pada 5 Mei 1932, yang memuat perihal demiliterisasi zona sepanjang 20 kilometer di sekitar kota Shanghai. Manuver diplomatik Chiang sebelum perang untuk menghentikan Jepang juga telah berakhir dengan kegagalan. Dia berharap Barat akan bergabung dengan Cina dalam menentang Jepang, karena Inggris adalah kekuatan Barat dengan kepentingan terbesar di Cina. Namun, kekhawatiran Inggris akan ancaman Jepang di Cina tidaklah seberapa. Pemerintah Inggris menganggap remeh Jepang dan yakin bahwa pada saat itu Jepang tidak akan mampu membangun hegemoni regional. Oleh karena itu mereka tetap berada pada posisi netral. Namun, setelah merasa terancam oleh para agitator Guomindang sejak tahun 1920-an, pengusaha Inggris yang datang dan tidak tahan lagi dengan tuntutan Pemerintah Cina, akhirnya mendukung aksi militer Jepang terhadap Cina. 13 Cordon Sanitaire adalah sebuah garis batas yang dibuat di sekitar perbatasan negara yang dianggap memiliki ideologi berbahaya atau berpotensi bermusuhan dengan negara tersebut. (disadur dari www.thefreedictionary.com) 14 Gordon, David M. “The China-Japan War, 1931-1945” dalam “The Journal of Military History, Vol. 70, No. 1” oleh Society for Military History hal. 142 15 Drea, Edward J. "Chasing a Decisive Victory: Emperor Hirohito and Japan's War with the West (1941-1945)," dalam “The Service of the Emperor: Essays on the Imperial Japanese Army” Hal. 169 16 Jordan, Donald A. dalam Chinese Boycotts versus Japanese Bombs: The Failure of Cina's "Revolutionary Diplomacy" 1931-1932. Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 Setahun kemudian, ketika pasukan Jepang menyerang Jehol mereka menemukan kenyataan bahwa tidak ada pertahanan dari pihak pemerintah Nanjing. Cina meminta kepada LBB agar mendesak Jepang supaya mengakui bahwa Jepang-lah yang telah meledakan rel kereta dalam Insiden Mukden dengan maksud merebut Manchukuo. Jepang kemudian menarik diri dari LBB, sehingga terbebas dari kekangan Piagam LBB. Tentara Jepang kemudian menyerang wilayah Cina utara yang berbatasan dengan Manchuria. Tentara Jepang menduduki provinsi Jehol di utara Cina dan singgah di Beijing (bekas Ibukota Cina) ketika sedang dilakukan pengaturan mengenai gencatan senjata. Ketika Jepang bergerak menuju gerbang Beijing, perwakilan Chiang Kai-shek menandatangani gencatan senjata. Demiliterisasi wilayah dilaksanakan sejauh 5.000 mil persegi dari selatan gerbang Beijing dan Jepang memberi izin pendirian perusahaan di Cina Utara. Pada tahun 1934 perjanjian yang ditandatangani berturut-turut tersebut juga membicarakan perihal dimulainya kembali lalu lintas kereta api dan koneksi pos antara Cina Utara dan Manchukuo dan pembentukan kembali stasiun bea cukai Cina di sepanjang perbatasan provinsi Hebei. Jepang secara resmi memasukkan provinsi Jehol milik Cina ke dalam wilayah Manchukuo. Dengan dua pasukan yang bermusuhan saling berhadapan di wilayah Cina, militer Jepang telah membuka peluang untuk konflik lebih jauh dengan Cina. 3.3. Insiden Jembatan Marco Polo (1937) Ketegangan antara Kekaisaran Jepang dan Cina semakin menyebar luas. Di bawah ketentuan Protokol Boxer 7 september 190117, Cina telah diberikan hak oleh Aliansi 8 Negara dan kedutaan mereka di Beijing untuk menjaga stasiun di dua belas titik-titik tertentu di sepanjang jalur kereta api yang menghubungkan Beijing dengan Tianjin18. Hal ini dibuat untuk memastikan komunikasi terbuka antara ibu kota dan pelabuhan di Cina. Dengan perjanjian tambahan pada tanggal 15 Juli 1902, kekuatan-kekuatan ini diizinkan untuk melakukan manuver tanpa memberitahu pihak berwenang dari negara-negara lain di Cina. Pada bulan Juli 1937, Jepang telah memperluas kekuasaannya sampai keluar Manchuria dengan menambah kekuatan militernya sejumlah 7000-15.000 pasukan, sebagian besar ditempatkan di sepanjang jalur kereta api. Jumlah pasukan dan senjata yang dibawa oleh Jepang pada saat itu berada jauh di luar batas yang ditetapkan oleh Protokol Boxer19. Jembatan Marco Polo, yang terletak di luar kota Wanping di barat daya Beijing merupakan titik dimana pasukan Cina mulai terdesak oleh gerak pasukan Jepang. Bagi pasukan Cina wilayah ini merupakan bagian yang penting karena menghubungkan Beijing dengan wilayah-wilayah di selatan Cina. Sebelum Juli 1937, militer Jepang telah berulang kali menuntut penarikan semua pasukan Cina yang ditempatkan di daerah ini, dan telah berusaha untuk membeli tanah terdekat untuk membangun sebuah lapangan terbang. Pihak Cina menolak, karena kontrol Jepang atas jembatan dan kota Wanping benar-benar akan mengisolasi Beijing dari kendali Guomindang di selatan20. Sejak Juni 1937, pasukan Jepang melakukan manuver pelatihan militer secara intensif di sekitar ujung barat Jembatan Marco Polo. Ini diadakan setiap malam, dan pemerintah Cina meminta agar dilakukan pemberitahuan terlebih dahulu sehingga penduduk setempat tidak akan terganggu. Pihak Jepang menyetujui kondisi ini. Namun, pada malam tanggal 7 Juli 1937, manuver malam dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini sangat mengkhawatirkan pasukan Cina di wilayah tersebut. Pasukan Cina yang berpikir bahwa serangan sedang berlangsung, melepaskan beberapa tembakan senapan, sehingga memicu terjadinya baku tembak sekitar pukul 23:00. Ketika salah seorang tentara Jepang, Kikujiro Shimura, gagal untuk kembali ke posnya, komandannya, yaitu Mayor Ichiki Kiyonao, berpikir bahwa Cina telah berhasil menangkapnya, dan melaporkan kejadian tersebut kepada komandan resimen, Kolonel Mutaguchi Renya. 17 Protokol Boxer adalah protokol yang ditandatangani pada 7 September 1901 antara Kekaisaran Qing dari Cina dengan Aliansi Delapan Negara (Austria-Hongaria, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat) untuk menumpas Pemberontakan Boxer. Pemberontakan Boxer sendiri adalah pemberontakan di Cina terhadap kekuasaan asing di sektor perdagangan, politik, agama dan teknologi. Gerakan pemberontak ini melakukan aksi besar dengan menyerang kota Beijing dan membunuh 230 orang asing. Dengan adanya protokol ini, pemberontakan dapat dihentikan namun sebagai akibatnya Kekaisaran Qing dikenakan sanksi oleh Aliansi Delapan Negara berupa denda yang sangat besar. (disadur dari http://history.cultural-Cina.com/en/34History6706.html) 18 Aliansi Delapan Negara (Austria-Hongaria, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat) adalah Aliansi yang dibangun untuk menghentikan pemberontakan Boxer di Cina. Aliansi ini juga lah yang menandatangani Protokol Boxer bersama dengan Kekaisaran Qing dari Cina (disadur dari http://history.cultural-Cina.com/en/34History6706.html) 19 "HyperWar: International Military Tribunal for the Far East” (Chapter 5) (disadur dari http://www.ibiblio.org/hyperwar/PTO/IMTFE/IMTFE-5a.html) 20 http://www.republicanchina.org/war.shtml Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 Komandan Cina, Ji Xingwen menerima pesan telepon dari Jepang agar mengizinkan tentara Jepang dapat masuk ke Wanping dan mencari anggotanya yang hilang. Pada pukul 23:40, Jenderal Qin Dechun, komandan Angkatan Darat Route 29 dan Ketua Dewan Politik HebeiChahar dihubungi oleh intelijen militer Jepang dengan permintaan yang sama. Dia menjawab bahwa Jepang telah melanggar kedaulatan Cina dengan melakukan manuver tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dan menolak permintaan Jepang untuk masuk ke Wanping. Namun, Qin mengatakan bahwa ia akan memerintahkan pasukan Cina yang ditempatkan di Wanping untuk melakukan pencarian oleh pasukannya sendiri dan mengizinkan seorang perwira Jepang untuk ikut serta dalam pencarian tersebut. Pihak Jepang merasa puas dengan jawabannya, tetapi sementara kedua belah pihak mempersiapkan simpatisan mereka masing-masing, satu unit infantri Jepang berusaha untuk menembus pertahanan Wanping namun kemudian berhasil dipukul mundur oleh pasukan Cina yang tengah bersiaga. Ultimatum oleh Jepang dikeluarkan dua jam kemudian. Sebagai tindakan pencegahan, Qin dihubungi Komandan Divisi 37, yaitu Jenderal Feng Zhian untuk menempatkan pasukannya dalam siaga tinggi. Pada sekitar pukul 03:30 dini hari tanggal 8 Juli 1937, bala bantuan Jepang dalam bentuk empat senjata api dan senapan mesin tiba dari Fengtai. Pihak Cina juga bergegas menambahkan divisi pasukannya di daerah sekitar Wanping. Pada sekitar pukul 4:50, dua peneliti Jepang diizinkan masuk ke Wanping. Namun, terlepas dari kehadiran para peneliti Jepang tersebut, Tentara Jepang tetap melepaskan tembakan dengan senapan mesin sekitar pukul 05:00. Infanteri Jepang didukung dengan kendaraan lapis baja menyerang Jembatan Marco Polo, dan jembatan perlintasan kereta api di sebelah tenggara Wanping. Kolonel Ji Xingwen memimpin sekitar 100 orang pasukan Cina, dengan perintah untuk mempertahankan jembatan dengan mempertaruhkan segalanya. Setelah menimbulkan korban yang luka parah, tentara Jepang terus menyerbu sebagian jembatan dan sekitarnya di sore hari, tetapi Cina yang kalah jumlah dengan Jepang mengambil keuntungan dari cuaca kabut dan hujan pada pagi hari tanggal 9 Juli. Pihak Cina kemudian mampu merebut kembali jembatan tersebut pukul 06:00. Pada titik ini, militer Jepang dan anggota Dinas Luar Negeri Jepang di Beijing mulai bernegosiasi dengan pemerintah Republik Cina. Sebuah kesepakatan verbal dengan Jenderal Qin tercapai, dimana permintaan maaf akan disampaikan ke Cina, hukuman akan diberikan ke mereka yang bertanggung jawab atas penyerangan tersebut, kontrol atas kota Wanping akan diserahkan kepada kepolisian sipil provinsi Hebei dan akan diberlakukan kontrol yang lebih baik dari komunis Cina di sekitar Wanping akan diberlakukan. Tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak, meskipun Komandan Barisan Brigade Infanteri Umum Jepang yaitu Kawabe Masakazu awalnya menolak gencatan senjata dan terus mengepung kota Wanping serta melawan perintah atasannya selama tiga jam berikutnya sampai akhirnya ia menghentikan dan memindahkan pasukannya ke timur laut Cina. Ketegangan akibat Insiden Jembatan Marco Polo ini berakibat langsung terhadap perang berskala besar yang dikenal sebagai Pertempuran Beijing-Tianjin pada akhir Juli dan Pertempuran Shanghai pada bulan Agustus. Beberapa sejarawan seperti Marjorie Dryburgh dan Iriye Akira percaya bahwa insiden tersebut sengaja dibuat oleh Angkatan Darat Jepang sebagai dalih untuk menginvasi Cina. Teroi Dryburgh ini mendukung sentimen umum yang dirasakan oleh banyak orang Jepang pada waktu itu bahwa, "Asia harus diperintah oleh orang-orang Asia sendiri.” Jepang bermaksud untuk mewujudkan sentimen umumnya ini21. 3.4. Pertempuran Beijing-Tianjin (1937) Setelah insiden Marco Polo, Jepang kemudian melancarkan serangannya ke Beijing. Sementara itu, pemerintah sipil Jepang di bawah Perdana Menteri Konoe di Tokyo mengadakan pertemuan kabinet pada 8 Juli 1937, dan memutuskan untuk mencoba meredakan permusuhan antara Cina dan Jepang serta menyelesaikan masalah secara diplomatis. Namun, Staf Umum Tentara Kekaisaran Jepang juga menyetujui penempatan sebuah divisi infanteri dari Tentara Terpilih, dua brigade gabungan independen dari Tentara Guangdong dan pasukan udara sebagai bala bantuan. Penempatan ini dibatalkan pada tanggal 11 Juli di tengah berita bahwa negosiasi sedang dilaksanakan oleh komandan Cina Utara di Wilayah Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang di Cina, dengan diplomat Jepang di ibukota Cina, Nanjing. Namun, bahkan setelah Jenderal Song Zheyuan, yaitu Panglima Tentara dan kepala Dewan Politik Hebei-Chahar, dilaporkan telah datang untuk berdamai pada tanggal 18 Juli, tentara Jepang terus 21 Dryburgh, Marjorie. “North China and Japanese Expansion, 1933-1937: Regional Power and the National Interest” hal. 147 Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 mendorong maju penempatan bala bantuan karena Jepang mengatakan bahwa tidak ada ketulusan dari pemerintah pusat Cina. Mobilisasi ini ditentang keras oleh Jenderal Kanji Ishihara dengan alasan bahwa eskalasi jumlah pasukan yang tidak perlu dalam konflik dengan Cina dapat membahayakan posisi Jepang di Manchukuo. Meskipun didesak oleh pasukannya, Ishihara telah memutuskan untuk menunda penempatan tentara bala bantuan. Sementara itu Konoe menggunakan kontak pribadi dengan kenalan Sun Yat-sen di Jepang dalam upaya untuk membangun hubungan diplomatik langsung dengan pemerintah pusat Guomindang di Nanjing. Diplomasi rahasia tersebut gagal ketika unsur-unsur dalam militer Jepang ditahan oleh utusan Konoe pada 23 Juli, dan mobilisasi bantuan dimulai kembali pada tanggal 29 Juli. Satu minggu kemudian, Komandan Angkatan Darat Wilayah Utara Jepang di Cina melaporkan bahwa, setelah mengupayakan segala cara penyelesaian damai, ia memutuskan untuk menggunakan kekuatan untuk "menghukum" Tentara Cina dan meminta persetujuan dari Tokyo. Pada 25 Juli, bala bantuan Jepang datang dan letusan pertama antara kompi pasukan Jepang dan Cina terjadi di Langfang, sebuah kota di sepanjang rel kereta api antara Beijing dan Tianjin. Bentrokan kedua terjadi pada tanggal 26 Juli, ketika brigade Jepang berusaha untuk memaksa pembukaan jalan melalui Gerbang Guanghuamen di Beijing dengan dalih untuk melindungi warga negara Jepang yang ada di sana. Namun, pada hari yang sama pesawat Jepang mengebom kota Langfang. Pihak Jepang kemudian mengeluarkan ultimatum yang menuntut penarikan semua pasukan Cina dari pinggiran Beijing di sebelah barat Sungai Yongding dalam waktu 24 jam. Pihak Cina menolak, dan kemudian memerintahkan pasukannya untuk mempersiapkan serangan, dan meminta bala bantuan besar dari pemerintah Nasionalis Cina, namun sayangnya bala bantuan tersebut tidak pernah datang. Pada tanggal 27 Juli, untuk mengepung Jepang, satu batalyon pasukan Cina bertempur di Dongzhou dan mundur ke Nanyuan. Pesawat Angkatan Udara Jepang kemudian membom pasukan Cina di luar Beijing, Kaifeng, Zhengzhou dan Luoyang.Pada tanggal 28 Juli, pasukan Jepang melancarkan serangan terhadap Beijing, didukung dengan serangan udara jarak dekat. Serangan utama adalah terhadap Nanyuan dan serangan kedua terhadap Beiyuan. Pertempuran sengit pun terjadi yang menyebabkan komandan pasukan Cina yaitu Jenderal Tong Linge dan Jenderal Zhao Dengyu terbunuh, dan unit mereka menderita luka berat. Namun, brigade ke-38 Divisi Cina di bawah Jenderal Liu Chensan berhasil memukul kembali Jepang di daerah Langfang sementara brigade dari Korps 53 Cina dan sebagian dari Divisi ke-37 Cina kembali ke stasiun kereta api di Fengtai. Namun, kemenangan Cina hanya bersifat sementara. Pihak Cina yang merasa pertempuran tersebut sia-sia kemudian menarik kekuatan pasukan utama Cina ke selatan. Mayor Jenderal kota Tianjin, Zhang Zizhong dengan sisa sedikit pasukan yang berada di Beijing mengambil alih urusan politik di provinsi Hebei dan Chahar. Jenderal Liu Ruzhen dengan sisa pasukannya yang terpisah dari pasukan Zhang Zizhong diperintahkan untuk menjaga ketertiban umum di Beijing. Sementara itu pada tanggal 29 Juli 1937, pasukan Jepang secara terpisah menyerang Tianjin dan pelabuhan di Tanggu. Brigade Jenderal Huang Weikang menyerang lapangan terbang pasukan Jepang yang terdekat, dan menghancurkan banyak pesawat militer Jepang. Namun, dengan meningkatnya bala bantuan Jepang pada malam 30 Juli 1937 pihak Cina semakin terdesak. Zhang Zizhong diperintahkan untuk menarik diri menuju Machang dan Yangliuching di selatan Tianjin, meninggalkan kota Beijing dan menyerahkan benteng Taku (dikenal juga sebagai benteng Baihe) ke tangan Jepang. Pada tanggal 4 Agustus, pasukan Jenderal Liu Ruzhen yang tersisa mundur ke Chahar. Beijing yang terisolasi pun dambil alih oleh Jepang tanpa perlawanan lebih lanjut dari Cina pada tanggal 8 Agustus 1937. Jendral Kawabe Masakazu memasuki kota Beijing pada tanggal 18 Agustus dengan parade militer, dan kemudian mengumumkan bahwa dia adalah gubernur militer kota Beijing yang baru. Zhang diizinkan untuk mempertahankan posisinya sebagai walikota, tapi diam-diam ia meninggalkan kota seminggu kemudian. 3.5. Pertempuran Shanghai (1937) Meskipun Jepang tidak secara resmi menyatakan perang terhadap Cina, namun setelah Insiden Jembatan Marco Polo pada Juli 7 1937 dan invasi Jepang berikutnya di Cina Utara, secara de facto pecahlah perang antara Cina dan Jepang. Perlawanan Cina yang mantap di Shanghai bertujuan untuk menahan laju dari pasukan Jepang, dan memberikan waktu yang dibutuhkan bagi pemerintah Cina untuk memindahkan industri penting mereka ke pedalaman. Pada saat yang sama, Cina juga mencoba untuk memperoleh rasa simpati dari negara-negara Barat. Selama pertempuran sengit yang berlangsung dari September sampai November 1937 ini, tentara Cina dan Jepang Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 bertempur di pusat kota Shanghai, di kota-kota terpencil, dan di pesisir pantai provinsi Jiangsu, dimana Jepang telah melakukan pendaratan amfibi22. Pada tanggal 9 Agustus, Letnan Ōyama Isao dari Angkatan Laut Jepang ditembak mati oleh pasukan Cina di dekat Bandara Hongqiao. Belum diketahui apakah peristiwa tersebut disebabkan oleh upaya Ōyama yang mencoba untuk memasuki landasan udara militer Cina. Apapun penyebabnya, Insiden Ōyama tersebut meningkatkan ketegangan di Shanghai. Pada tanggal 10 Agustus, Konsul Jenderal Jepang menuntut agar Cina menarik pasukannya dan membongkar pertahanan mereka yang ada di sekitar kota. Dia juga menyatakan bahwa penembakan seorang perwira Jepang dianggap oleh Tentara Kekaisaran sebagai sebuah bentuk provokasi yang dapat menyebabkan meledaknya perang secara besar-besaran. Insiden ini juga mendorong Jepang untuk mengirim bala bantuan ke daerah Shanghai pada 10 Agustus 1937. Dalam menanggapi gerak pasukan Jepang, Chiang Kai-shek mulai mengerahkan pasukan Cina ke wilayah Shanghai pada 11 Agustus 1937. Pada tanggal 12 Agustus 1937, pertemuan antara Cina-Jepang serta perwakilan dari negara-negara barat diselenggarakan dan Jepang menuntut kuasa untuk menegaskan penarikan pasukan Cina dari Shanghai. Namun walikota Yu Hong-chun memprotes bahwa Jepang telah melanggar kesepakatan dengan menginvasi jembatan Marco Polo. Negara-negara barat tidak ingin melihat peristiwa yang kemudian dapat menganggu kegiatan ekonomi asing di Shanghai terulang kembali. Di sisi lain, warga tergesa-gesa menyambut kehadiran pasukan Cina di kota tersebut. Di Nanjing, perwakilan Cina dan Jepang bertemu untuk terakhir kalinya sebagai bagian dari negosiasi. Pihak Jepang menuntut agar Cina menarik semua pasukannya dari sekitar Shanghai. Pihak Cina bersikeras bahwa permintaan Jepang yang meminta penarikan pasukan Cina secara sepihak tidak dapat diterima karena kedua negara sudah berperang di Utara Cina. Negosiasi tersebut tidak membuahkan apapun selain menyebabkan semakin menyebar luasnya perang ke wilayah tengah Cina. Pertempuran kemudian berlanjut, Jepang meluncurkan serangan kedua di kota Shanghai di pantai timur Cina. Meskipun terjadi perlawanan oleh tentara Cina, pada akhirnya Shanghai jatuh, dan Cina kehilangan sebagian besar pasukan terbaiknya. Cina juga gagal untuk memperoleh intervensi internasional. Jepang akhirnya berhasil menduduki Shanghai pada bulan November 1937. Namun, biar bagaimanapun juga hambatan yang dilakukan pasukan Cina terhadap pasukan Jepang dalam pertempuran Shanghai merupakan kejutan besar untuk pihak Jepang yang menganggap remeh Cina pada masa itu. Meskipun pertempuran Shanghai hanyalah salah satu dari 22 pertempuran besar yang terjadi antara Cina dan Jepang, keputusan Chiang Kai-shek untuk mengirim pasukan terbaiknya telah menimbulkan kerugian yang signifikan bagi pihak Jepang. Ketika pertempuran pecah, pasukan Cina menyatakan jumlah pasukannya sebanyak 1,7 juta orang, tetapi pada kenyataanya kekuatan militer Cina lebih rendah dibandingkan angka tersebut 23 . Hal ini dikarenakan nyaris semua pasukan Cina tidak terlatih dan tidak dipersenjatai dengan baik. Mereka sebenarnya hanyalah petani yang dibekali dengan konsep pertempuran tanpa kemampuan berperang yang nyata. Hanya sekitar 300.000 pasukan yang terlatih dengan baik, dan hanya sekitar 80.000 orang diantaranya merupakan tentara Chiang Kai-shek yang dilatih oleh Jerman24. Namun, kemampuan pasukan tersebut juga tidak sebanding dengan kemampuan tempur pasukan Jepang yang lebih terlatih. Keputusan Chiang Kai-shek untuk mengirim pasukan elitnya mengakibatkan berkurangnya jumlah pasukan elit tersebut sebanyak 60% dari jumlah awal hanya dalam kurun waktu tiga bulan25. Pada saat yang sama, Chiang juga kehilangan pasukan mudanya sebanyak 10.000 orang dari total jumlah pasukan 25.000 orang, yang telah dilatih oleh Central Military Academy. Tentara pusat Chiang Kai-shek tidak pernah bangkit kembali dari keterpurukan ini 26 . Berkurangnya jumlah pasukan-pasukan terbaik di Cina juga membuat operasi militer sulit untuk dijalankan karena sebagian besar dari tentara adalah anggota baru yang direkrut untuk menggantikan veteran yang gugur Setelah mengamankan kontrol atas kota Shanghai, tentara Jepang mulai maju menuju Nanjing yang menjadi ibu kota dari pemerintah Nasionalis Cina. Pada tanggal 11 November 1937, Jepang mendekati kota Nanjing dari arah yang berbeda. Gerakan Jepang ke Nanjing dapat dianggap merupakan desakan terhadap Cina untuk menyerahkan Nanjing. Hampir semua unit pasukan Jepang menjangkau jarak hampir 400 kilometer dalam waktu sekitar satu bulan. Di 22 Hsiung, James. China's Bitter Victory hal. 143 Hsiung. Op. Cit. (Hal. 143) 24 Ibid (Hal. 144) 25 Ibid (Hal. 144-145) 26 Ibid (Hal. 146) 23 Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 mata Jepang penaklukan ibukota Cina ini diasumsikan merupakan titik yang sangat menentukan dalam perang CinaJepang tersebut, diamana Jepang ingin tampil sebagai pihak penakluk Pendaratan Jepang di Nanjing mengisyaratkan bahwa tentara Cina harus segera mundur dari Shanghai. Namun, Chiang Kai-shek masih menaruh harapan bahwa Jepang akan memperoleh sanksi dari negara-negara Barat. Namun pada 8 November pemerintah pusat Republik Cina mengeluarkan perintah agar seluruh pasukan menarik diri dari Shanghai. Semua unit pasukan Cina diperintahkan untuk bergerak menuju kota-kota di barat Cina seperti Kunshan. Dari sanalah baru pasukan Cina masuk ke garis pertahanan akhir untuk menghentikan gerak Jepang menuju Nanjing. Pada saat itu, tentara Cina benar-benar sudah lelah. Kurangnya amunisi dan perlengkapan semakin menggoyahkan pertahanan mereka. Kunshan jatuh hanya dalam dua hari, dan pasukan yang tersisa mulai bergerak menuju benteng Jalur Wufu pada 13 November 1937. Tentara Cina bertempur dengan sisa-sisa kekuatannya walau garis depan berada di ambang kehancuran. Dalam kekacauan yang terjadi unit pasukan Cina banyak yang dipecah dan kehilangan kontak dengan petugas komunikasi mereka yang memiliki peta dan layout dari benteng pertahanan di Shanghai. Selain itu, begitu mereka tiba di Jalur Wufu, pasukan Cina menemukan bahwa beberapa pejabat sipil tidak lagi ada di sana untuk menerima mereka karena mereka telah melarikan diri. Pasukan Cina yang sudah babak belur akibat pertumpahan darah di Shanghai ini berharap bisa mendapat perlindungan dalam benteng yang dijaga oleh rekan-rekannya sendiri. Namun pada kenyataannya, rekan-rekan mereka telah melarikan diri sehingga pasukan Cina ini tidak dapat mempertahankan diri dari serangan Jepang. Pasukan Jepang menembus garis Wufu pada tanggal 19 November, dan pasukan Cina kemudian bergerak menuju Jalur Xicheng, dimana mereka dipaksa untuk menyerah pada tanggal 26 November 1937 di tengah-tengah gencarnya pertempuran. Garis pertahanan Cina yang menghabiskan biaya pembangunan yang luar biasa dan bisa disejajarkan dengan Garis Hindenburg 27 milik Jerman, runtuh hanya dalam dua minggu bersama dengan garis akhir pertahanan antara Shanghai dan Nanjing. Runtuhnya garis akhir pertahanan tersebut mengisyaratkan berakhirnya pertempuran Shanghai. Ahli sejarah Jepang Usui Katsumi percaya bahwa di satu sisi keengganan Chiang untuk mencapai kompromi dengan Jepang juga merupakan salah satu faktor penyebab meluasnya perang antara kedua negara tersebut. Sebagai pemimpin dari suatu bangsa yang sangat memiliki banyak suku dan daerah yang luas, Chiang suka menggunakan konflik untuk melarikan diri dari tekanan politik dalam negeri. Di sisi lain Usui juga mengakui kesalahan pihak Jepang. Arogansi Jepang di bidang pemerintahan dan militer jugalah yang menyebabkan terjadinya perang CinaJepang28. Pertempuran Shanghai merupakan kekalahan secara militer bagi pihak Cina namun padda saat yang sama merupakan poin yang tinggi untuk PNC. Pertahanan penuh dari pasukan Cina juga menunjukkan bahwa Cina tidak lagi tunduk begitu saja kepada Jepang seperti di masa lalu. Hal ini juga menunjukkan tekad kuat Cina yang tidak mau mundur begitu saja di depan kekuatan yang lebih besar. Namun, perintah Chiang Kai-shek kepada tentaranya dianggap sebagai langkah yang keliru yang membawa kehancuran besar bagi pasukan Cina. Kehancuran tersebut bahkan membuat pasukan Cina tidak mampu mempertahankan Nanjing lebih dari dua minggu. Walaupun Cina tidak berhasil mengalahkan Jepang tetapi, Chiang yakin bahwa keberanian pasukan Cina dalam pertempuran Shanghai merupakan opsi terbaik untuk menarik simpati kekuatan Barat kepada Cina. Namun Chiang Kai-Shek tidak menyangka bahwa keputusannya itu akan membuat perang Cina dengan Jepang berlangsung selama 8 tahun tanpa ada bantuan berarti dari pihak Barat, hingga akhirnya Jepang menyerah mundur karena dibomnya Hiroshima dan Nagasaki oleh pihak Sekutu. 4. Kesimpulan Agresi Militer Jepang ke Cina dilatarbelakangi oleh ledakan populasi serta meningkatnya kebutuhan penduduk dan krisis ekonomi di Jepang. Jepang melakukan pencarian terhadap wilayah yang dapat mereka jadikan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup mereka, dan menetapkan wilayah Manchuria milik Cina sebagai sasarannya. Jepang kemudian secara bertahap melakukan serangan-serangan terhadap Cina. Dimulai dari pengambil alihan wilayah Manchuria dan pembentukan negara boneka Manchukuo. 27 Garis Hindenburg adalah garis pertahanan militer milik Jerman pada masa Perang Dunia I yang dibangun pada tahun 1916-1917 . Garis tersebut disebut sebagai garis pertahanan kuat milik Jerman ketika melawan Inggris dan Prancis dalam Perang Dunia I. (disadur dari http://www.awm.gov.au/exhibitions/1918/battles/hindenburg.asp ) 28 Usui, Katsumi. “Japanese Approaches to Cina in the 1930s: Two Alternatives,” dalam “American, Chinese, and Japanese Perspectives on Wartime Asia,” oleh Iriye dan Cohen, hal. 93 Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013 Penulis beranggapan bahwa Insiden Mukden sebagai titik awal pengambil alihan wilayah Manchuria lebih tepat dikatakan sebagai titik awal dari Perang Dunia II dan pemicu atas konflik antara Cina dan Jepang. Namun, yang sesungguhnya menjadi pemicu dari perang Cina-Jepang pada tahun 1937 merupakan insiden lain yang juga merupakan akibat invasi Jepang, yakni insiden Jembatan Marco Polo. Penulis mendapatkan bahwa berbagai invasi Jepang terhadap Cina seringkali didasarkan pada fakta-fakta palsu yang dibuat oleh Jepang agar mereka dapat dengan leluasa menekan dan mengambil alih wilayah Cina. Selain Insiden Mukden invasi Jepang lainnya adalah Insiden Jembatan Marco Polo yang kemudian memicu terjadinya 22 buah pertempuran antara Cina dan Jepang. Diasumsikan bahwa Perwira Angkatan Darat Guangdonglah yang mengatur invasi-invasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa arogansi Jepang di bidang pemerintahan dan militerlah yang menjadi penyebab pecahnya perang Cina-Jepang. Namun, keengganan Chiang untuk mencapai kompromi juga merupakan salah satu faktor penyebab meluasnya perang antara kedua negara tersebut. Langkah-langkah politik yang keliru yang diambil oleh Chiang Kai-shek juga tidak berhasil membawa kemenangan untuk Cina, bahkan membuat perang antara Cina dan Jepang berlangsung lebih lama lagi. Ironisnya, langkah Chiang yang diharapkan dapat mengambil simpati pihak Barat terhadap nasib Cina juga tidak membuahkan hasil. Pihak Barat baru bersimpati kepada Cina ketika Nanjing diambil alih oleh Jepang dan penduduk-penduduk sipil diakhiri nyawanya dengan cara yang tidak manusiawi. Pada titik ini barulah pihak Barat benar-benar memperhatikan apa yang terjadi di Cina dan menetapkan Jepang sebagai penjahat perang. Daftar Acuan Barnhart, Michael A. 1988. Japan Prepares for Total War: The Search for Eco-nomic Security, 1919-1941. Cornell University Press Behr, Edward. 1987. The Last Emperor. Bantam Press. Burns, Richard D. dan Bennet, Erdward M. 1974. Diplomats in Crisis. ABC-Clio. Drea, Edward J. 2003. In The Service of the Emperor: Essays on the Imperial Japanese Army. University of Nebraska Press. Dryburgh, Marjorie. 2000. North China and Japanese Expansion, 1933-1937: Regional Power and the National Interest. Routledge. Hsiung, James C. 1192. Cina's Bitter Victory. M.E. Sharpe. Iriye, Akira; Cohen, Warren I. 1990. American, Chinese, and Japanese Perspectives on Wartime Asia. SR Books. Jansen, Marius B. 1975. Japan and China: From War to Peace 1894-1972. Rand McNally College Pub. Co. Marshall, George C. 2008. The Journal of Military History, Vol. 70, No. 1. Society for Military History. Myers, Ramon H.; Peattie, Mark R. 1984. The Japanese Colonial Empire. Princeton University Press. Silberman, Bernard S; Harootunian, Harry D; Bernstein Gail Lee .1999. Japan in Crisis. Center for Japanese Studies, the University of Michigan. Teow, See H. 1999. Japan's Cultural Policy Toward Cina, 1918-1931. Harvard Univ Asia Center Van Doom, Jacobus Adrianus Antonius. 1968. Armed Forces and Society. Mouton http://www.awm.gov.au/exhibitions/1918/battles/hindenburg.asp (terakhir diakses pada tanggal 20 Desember 2012, pukul 11:13 WIB) http://www.ibiblio.org/hyperwar/PTO/IMTFE/IMTFE-5a.htm (terakhir diakses pada tanggal 19 Desember 2012, pukul 22:03 WIB) http://www.globalsecurity.org/military/world/japan/ija-Guangdong.htm (terakhir diakses pada tanggal 13 Desember 2012, pukul 18:22 WIB) http://www.republicanchina.org/war.shtml (terakhir diakses pada tanggal 19 Desember 2012, pukul 21:19 WIB) htp://www.thefreedictionary.com/ (terakhir diakses pada tanggal 14 Desember 2012, pukul 19:25 WIB) Agresi militer ..., Novita Raini, FIB UI, 2013