BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Belimbing Wuluh

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Tanaman belimbing wuluh berupa pohon kecil dengan batang yang
tidak begitu besar dan mempunyai garis tengah 30 cm (Lathifah, 2008).
Tanaman ini mudah sekali tumbuh dan berkembangbiak melalui cangkok atau
persemaian biji. Jika ditanam lewat biji, pada usia 3-4 tahun sudah mulai
berbuah. Jumlah setahunnya bisa mencapai 1.500 buah (Mario, 2011).
2.1.1 Habitat
Belimbing wuluh disebut juga belimbing asam adalah sejenis pohon
yang diperkirakan berasal dari kepulauan Maluku. Tanaman ini tumbuh dengan
subur di Indonesia, Filipina, Sri Lanka, Myanmar dan Malaysia. Dapat ditemui
di tempat yang banyak terkena sinar matahari langsung tetapi cukup lembap.
Merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh dipekarangan rumah atau
tumbuh secara liar di ladang dan hutan. Hidup pada ketinggian 5-500 m di atas
permukaan laut (Yuniarti, 2008).
2.1.2 Morfologi
Pohon belimbing bisa tumbuh dengan ketinggian mencapai 5-10 m.
Batang utamanya pendek, berbenjol-benjol, cabangnya rendah dan sedikit.
Batangnya bergelombang atau tidak rata (Masripah, 2009).
Bentuk daunnya majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak
daun. Anak daun bertangkai pendek, berbentuk bulat telur sampai jorong,
Universitas Sumatera Utara
ujung runcing, pangkal membulat, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebarnya 1-3 cm,
berwarna hijau, permukaan bawah hijau muda (Dalimartha, 2008).
Perbungaan berupa malai, bunganya kecil, berkelompok, keluar
langsung pada batang dan cabang-cabangnya dengan tangkai bunga berambut,
menggantung, panjang 5-20 cm, mahkota bunga biasanya berjumlah 5, panjang
kelopak bunga 5-7 mm; helaian mahkota bunga berbentuk elips; panjang
13-20 mm, berwarna ungu gelap dan bagian pangkalnya ungu muda; benang
sari semuanya subur (Masripah, 2009; Mario, 2011).
Buah belimbing wuluh berbentuk elips hingga seperti torpedo dengan
panjang 4-10 cm. Warna buah ketika muda hijau, dengan sisa kelopak bunga
menempel diujungnya. Jika masak buahnya berwarna kuning pucat. Daging
buahnya berair dan sangat asam. Kulit buah berkilap dan tipis. Bijinya kecil
(6 mm) berbentuk pipih dan berwarna coklat, serta tertutup lendir (Mario,
2011).
2.1.3 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan belimbing wuluh (Heyne, 1987) sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Geraniales
Suku
: Oxalidaceae
Marga
: Averrhoa
Spesies
: Averrhoa bilimbi L.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Kandungan kimia
Kandungan kimia pada tanaman belimbing wuluh secara lebih rinci
yaitu pada daunnya mengandung tanin, sulfur, asam format, kalium sitrat dan
kalsium oksalat. Sedangkan ibu tangkai daunnya mengandung alkaloid dan
polifenol. Batang pada tanaman belimbing mengandung senyawa saponin,
tanin, glukosida, kalsium oksalat, sulfur, asam format, peroksidase, dan
buahnya mengandung senyawa flavonoid dan triterpenoid (Permadi, 2006).
Menurut Ardananurdin (2004), bunga belimbing wuluh mengandung golongan
senyawa kimia yang bersifat antibakteri seperi saponin, flavonoid dan
polifenol.
2.1.5 Manfaat
Bunga belimbing wuluh dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk
mengobati batuk, flu dan sariawan pada anak-anak (Heyne, 1987; Das, et al.,
2011). Untuk mengobati batuk pada anak-anak dapat dibuat ramuan dengan
cara, tim segenggam bunga belimbing wuluh, beberapa butir adas, gula
secukupnya dan 1 cangkir air selama setengah jam. Setelah dingin disaring,
kemudian bagi untuk 2 kali minum, pagi dan malam sewaktu perut kosong
(Dalimartha, 2008). Sedangkan untuk mengobati sariawan dibuat ramuan
dengan cara segenggam bunga belimbing wuluh, gula jawa secukupnya, dan 1
cangkir air. Direbus sampai kental, setelah dingin disaring. Dipakai untuk
membersihkan mulut dan dioleskan pada sariawan (Mario, 2011). Bunga
belimbing wuluh juga dapat digunakan untuk mengobati demam tifoid
(Ardananurdin, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Metode Ekstraksi
Ekstraksi merupakan penarikan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan
ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Cara ekstraksi yang
tepat tergantung pada bahan tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa
yang diisolasi (Ditjen POM, 2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau
cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang
cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung, ekstrak kering harus mudah
digerus menjadi serbuk. Sebagai cairan penyari dapat digunakan air, eter atau
campuran etanol dan air (Ditjen POM, 1979).
Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
I. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian dengan merendam simplisia dalam
pelarut yang sesuai dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan
pada temperatur ruangan dan terlindung dari cahaya (Depkes, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan (Depkes, 2000).
II. Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut
Universitas Sumatera Utara
terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes,
2000).
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang dipanaskan hingga
mendidih sehingga uap membasahi serbuk simplisia karena adanya
pendingin balik dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan (Ditjen POM, 2000).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50oC (Depkes, 2000).
d. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan
air pada suhu 90oC selama 15 menit (Depkes, 1986).
e. Dekok
Dekok adalah penyarian dengan menggunakan air pada suhu 90oC
selama 30 menit (Goeswin, 2007).
2.3 Sterilisasi
Sterilisasi berarti membebaskan tiap benda atau substansi dari semua
kehidupan dalam bentuk apapun, tujuannya untuk mendapatkan keadaan yang
steril. Sterilisasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: a) Sterilisasi
pemanasan basah dengan menggunakan uap atau air panas, b) Sterilisasi kering
dalam tanur, dan c) Pembakaran total (incineration).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan dari tiga cara tersebut, sterilisasi dapat dibagi menjadi:
I. Sterilisasi kering
Sterilisasi kering dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pemijaran
Pemijaran digunakan untuk sterilisasi pada ose, ujung-ujung pinset,
dan sudip (spatula) logam.
b. Jilatan api (Flaming)
Jilatan api digunakan untuk sterilisasi pada skalpel, jarum, mulut
tabung biakan, kaca objek, dan kaca penutup. Benda-benda tersebut
dijilatkan pada api bunsen tanpa membiarkannya memijar.
c. Tanur uap panas (Hot-Air Oven)
Sebagian besar sterilisasi kering dilakukan dengan alat ini. Biasanya
digunakan suhu 160-165ºC selama 1 jam. Cara ini baik dilakukan
terhadap alat-alat kering terbuat dari kaca, seperti tabung reaksi,
cawan petri, labu, pipet, pinset, skalpel, gunting, kapas hapus
tenggorok, dan alat suntik dari kaca. Kadang-kadang dilakukan
sterilisasi pada suhu 170ºC selama 2 jam.
II. Sterilisasi basah
Sterilisasi basah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Perebusan dalam air
Cara ini hanya cukup untuk mematikan mikroorganisme yang tidak
berspora. Memang ada spora yang tidak tahan perebusan, tetapi
endospora dari famili Bacillaceae ada yang tahan perebusan selama
Universitas Sumatera Utara
1-3 jam. Efek pensterilan dengan perebusan dapat diperbaiki dengan
penambahan 2% natrium karbonat.
b. Uap mengalir
Uap mengalir bebas digunakan dalam tempat yang tidak tertutup
rapat, yang dapat menahan uap tanpa tekanan. Air mendidih dan uap
bebas tidak pernah mencapai suhu lebih dari 100ºC (212ºF). Uap
bebas ini kadang-kadang digunakan untuk melakukan sterilisasi
bertingkat atau tindalisasi. Cara ini dipelopori oleh John Tyndall
(1820-1893), adalah suatu proses sterilisasi dengan menggunakan uap
pada suhu 100ºC, yang dialirkan pada benda yang akan disterilkan
untuk beberapa menit berkali-kali (tiga sampai empat kali) dengan
selang waktu 24 jam.
c. Uap dalam tekanan
Pensterilan dengan uap dalam tekanan dilakukan dalam autoklaf.
Dalam autoklaf, sterilisasi dilakukan pada suhu 121ºC di bawah
tekanan 15 ib (2 atmosfer) selama 15-20 menit. Dalam suhu dan
waktu tersebut semua mikroorganisme, baik vegetatif maupun spora
dapat dimusnahkan (Irianto, 2006).
2.4 Bakteri
Bakteri merupakan suatu organisme prokariot yang berarti tidak
mempunyai inti sel sejati. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,51,0 µm kali 2,0-5,0 µm (Fardiaz, 1992). Berdasarkan proses pewarnaan gram,
bakteri dibagi menjadi dua golongan yaitu bakteri gram positif dan bakteri
Universitas Sumatera Utara
gram negatif. Bakteri gram positif menyerap zat warna pertama yaitu kristal
violet yang menyebabkan warna ungu, sedangkan bakteri gram negatif
menyerap zat warna kedua yaitu safranin dan menyebabkannya berwarna
merah. Perbedaan hasil dalam pewarnaan gram disebabkan perbedaan struktur,
terutama dinding sel kedua bakteri tersebut (Waluyo, 2010).
2.4.1 Morfologi sel bakteri
Ada beberapa bentuk dasar sel bakteri menurut Fardiaz (1992), yaitu
bulat (tunggal: coccus, jamak: cocci), batang atau silinder (tunggal: bacillus,
jamak: bacilli), dan bentuk spiral.
a. Bentuk bulat (cocci)
Berdasarkan pengelompokkan selnya, bakteri berbentuk bulat dapat
dibedakan atas beberapa jenis, antara lain diplococci (sel yang
berpasangan atau dua sel), streptococci (rangkaian sel yang membentuk
rantai panjang atau pendek), tetrad (empat sel bulat yang membentuk
persegi empat), staphylococci (kumpulan sel yang tidak beraturan seperti
buah anggur), dan sarcina (kumpulan sel berbentuk kubus yang terdiri
dari 8 sel atau lebih).
b. Bentuk bacilli
Sebagian besar bacilli tampak sebagai batang tunggal. Terbagi dalam dua
bentuk yaitu diplobacilli (bentuk berpasangan) dan streptobacilli
(membentuk rantai).
Universitas Sumatera Utara
c. Bentuk spiral
Bakteri berbentuk spiral (tunggal, spirilium; jamak, spirila) terdapat
secara terpisah-pisah (tunggal), tetapi masing-masing spesies berbeda
dalam panjang, jumlah, dan lekukan spiralnya. Bakteri yang ukurannya
pendek dengan spiral yang tidak lengkap disebut bakteri koma atau
vibrio.
2.4.2 Fase pertumbuhan mikroorganisme
Fase pertumbuhan mikroorganisme menurut Pratiwi (2008) terbagi
menjadi empat macam fase yaitu fase lag, fase log (fase eksponensial), fase
stasioner, dan fase kematian.
I.
Fase lag (fase adaptasi), merupakan fase penyesuaian mikroorganisme
pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya
peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama
fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan
media pertumbuhan.
II.
Fase log (fase eksponensial), merupakan fase dimana mikroorganisme
tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada
genetika mikroorganisme, sifat media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru
terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara
eksponensial.
III.
Fase stasioner, merupakan fase dimana pertumbuhan mikroorganisme
berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah
dengan jumlah sel yang mati.
Universitas Sumatera Utara
IV.
Fase kematian, merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat.
Faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi
produk buangan yang toksik.
2.4.3 Pengaruh faktor lingkungan pada pertumbuhan
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat
dibedakan menjadi faktor fisik dan faktor kimia. Faktor fisik meliputi
temperatur, pH, dan tekanan osmosis. Faktor kimia meliputi karbon, oksigen,
trace element dan faktor-faktor pertumbuhan organik termasuk nutrisi yang
terdapat dalam media pertumbuhan (Pratiwi, 2008).
A. Pengaruh faktor fisik pada pertumbuhan
I. Temperatur
Temperatur menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas
kimia. Peningkatan temperatur sebesar 10ºC dapat meningkatkan aktivitas
enzim sebesar dua kali lipat. Pada temperatur yang sangat tinggi dapat
menyebabkan denaturasi protein yang tidak dapat balik (irreversible)
sedangkan pada temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan
berhenti. Pada temperatur pertumbuhan optimal akan terjadi kecepatan
pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal.
Berdasarkan kisaran temperatur tumbuh, mikroorganisme dibagi atas
empat golongan:
a. Psikrofil, tumbuh pada temperatur maksimal 20oC dengan suhu
optimal 0 sampai 15oC.
Universitas Sumatera Utara
b. Psikrofil fakultatif/ psikotrof, tumbuh pada temperatur maksimal 30ºC
dengan suhu optimal 20 sampai 30ºC, dapat tumbuh pada 0ºC.
c. Mesofil, tumbuh pada temperatur 15 sampai 45oC dengan suhu
optimal 20 sampai 40oC.
d. Termofil, tumbuh pada temperatur 45 sampai 100oC dengan suhu
optimal 55 sampai 65oC.
II. pH
pH merupakan indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan dan
penurunan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan ionisasi gugusgugus dalam protein, amino dan karboksilat. Hal ini dapat menyebabkan
denaturasi protein yang mengganggu pertumbuhan sel. Kebanyakan
bakteri memiliki pH optimum terletak antara 6,5 dan 7,5.
III. Tekanan osmosis
Tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan akibat adanya
proses osmosis. Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran
semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media.
Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel mikroorganisme,
sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari dalam sel
mikroorganisme sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari
dinding sel (plasmolisis), serta menyebabkan sel secara metabolik tidak
aktif (Pratiwi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
B. Pengaruh faktor kimia pada pertumbuhan
I. Nutrisi
Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan
pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan
menjadi dua yaitu makroelemen, yaitu elemen yang diperlukan dalam
jumlah banyak dan mikroelemen yaitu elemen nutrisi yang diperlukan
dalam jumlah sedikit (Pratiwi, 2008).
II. Media kultur
Bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme
di laboratorium disebut media kultur.
III. Oksigen
Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan kebutuhan oksigen dibagi
menjadi 4 golongan, yaitu:
a. Aerob mutlak, oksigen sebagai syarat utama metabolisme.
b. Anaerob mutlak, tidak mentoleransi adanya oksigen atau akan mati
bila ada oksigen.
c. Anaerob fakultatif, mampu tumbuh baik dalam suasana dengan
atau tanpa oksigen.
d. Mikroaerofilik, hanya tumbuh baik pada konsentrasi oksigen yang
rendah yaitu kurang dari 20%, pada konsentrasi oksigen yang
tinggi menyebabkan toksik (Pratiwi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Staphylococcus aureus
Berikut sistematika Staphylococcus aureus (Dwidjoseputro, 1994):
Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Micrococaceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk bulat (kokus) dengan
diameter 0,7-0,9 µm yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad,
atau berkelompok seperti buah anggur. Nama bakteri ini berasal dari bahasa
latin “staphele” yang berarti anggur. Staphylococcus aureus merupakan bakteri
gram positif, tumbuh secara anaerobik fakultatif, tumbuh dengan cepat pada
temperatur 37ºC namun pembentukan pigmen yang terbaik yaitu pada
temperatur kamar (25-30ºC), patogen utama pada manusia, biasanya
membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas (Fardiaz, 1992; Jawetz, et al.,
2001).
2.4.5 Klebsiella pneumoniae
Berikut sistematika Klebsiella pneumoniae (Dwidjoseputro, 1994):
Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Enterobacteriales
Suku
: Enterobacteriaceae
Universitas Sumatera Utara
Marga
: Klebsiella
Jenis
: Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu jenis bakteri dari famili
enterobacteriaceae. Dengan ciri-ciri: basil, bergerak dengan flagel yang peritrik
atau tidak bergerak, gram negatif, memiliki kapsul polisakarida yang besar dan
memfermentasikan laktosa dengan menghasilkan gas. Klebsiella pneumoniae
berada dalam sistem pernafasan sehingga bakteri ini dapat menyebabkan
infeksi saluran pernafasan. Nama bakteri ini Klebsiella pneumoniae karena
dapat menyebabkan penyakit pneumonia. Klebsiella pneumoniae dapat dikultur
pada media lempeng agar darah dan media differensial seperti MacConkey
agar. Pada media lempeng agar darah, bakteri Klebsiella pneumoniae tidak
bersifat menghemolisis, sedangkan pada media MacConkey agar membentuk
koloni berwarna merah (Dwidjoseputro, 1994; Jawetz, et al., 2001; Tim
Mikrobiologi FK Unibraw, 2003; Yolanda, 2011).
2.5 Media Biakan Mikroba
Berdasarkan sifat keheterotrofan mikroba, media dapat digolongkan
menjadi beberapa kelompok besar, yaitu:
I. Media hidup
Media hidup pada umumnya dipakai dalam laboratorium virologi untuk
pembiakan berbagai virus, sedangkan dalam laboratorium bakteriologi
hanya beberapa kuman tertentu saja, dan terutama pada hewan
percobaan. Contoh media hidup adalah hewan percobaan, manusia, telur
berembrio dan biakan jaringan.
Universitas Sumatera Utara
II. Media mati
Media mati disebut juga sebagai media sintetis. Media sintetis
merupakan media yang memiliki kandungan dan isi bahan yang telah
diketahui secara terperinci.
Berdasarkan konsistensinya, media mati terbagi menjadi beberapa
kelompok yakni:
a) Media padat
Media padat diperoleh dengan cara menambahkan agar-agar. Agar
berasal dari ganggang/ alga yang berfungsi sebagai bahan pemadat.
Media padat biasanya digunakan untuk mengamati penampilan
atau morfologi koloni dan untuk mengisolasi biakan murni.
b) Media setengah padat (semi solid medium)
Media setengah padat dibuat dengan bahan yang sama seperti
media padat, akan tetapi yang berbeda adalah komposisi agarnya.
Media ini digunakan untuk melihat gerak kuman secara
mikroskopik dan kemampuan fermentasi.
c) Media cair
Secara umum media cair adalah media berbentuk cair yang dapat
digunakan untuk berbagai tujuan seperti pembiakan mikroba dalam
jumlah besar, pengamatan fermentasi, dan berbagai macam uji.
Berdasarkan susunan kimianya, media mati dapat digolongkan
menjadi beberapa kelompok yakni:
Universitas Sumatera Utara
a) Media non sintetik
Media non sintetik merupakan media yang susunan kimianya tidak
dapat ditentukan dengan pasti. Media ini banyak digunakan untuk
menumbuhkan dan mempelajari taksonomi mikroorganisme.
Misalnya kaldu nutrien, serum, plasma dan lain-lain.
b) Media sintetik
Media sintetik merupakan media yang susunan kimianya dapat
diketahui dengan pasti. Media ini biasanya digunakan untuk
mempelajari kebutuhan makanan mikroorganisme. Contohnya
cairan Hanks, Locke, Thyrode, Eagle.
c) Media semi sintetik
Media semi sintetik merupakan campuran media sintetik dengan
media non sintetik. Misalnya cairan Hanks yang ditambah serum.
Berdasarkan fungsinya, media mati dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:
a) Media selektif
Media ini ditambah zat kimia tertentu yang bersifat selektif untuk
mencegah pertumbuhan mikroba lainnya.
b) Media differensial
Media ini mengandung zat-zat kimia tertentu yang memungkinkan
membedakan berbagai macam tipe mikroba.
Universitas Sumatera Utara
c) Media eksklusif
Merupakan media yang hanya memungkinkan tumbuhnya satu
jenis mikroba tertentu, sedangkan mikroba lainnya dihambat atau
dimatikan.
d) Media penguji
Merupakan media dengan susunan kimia tertentu yang digunakan
untuk pengujian vitamin, asam amino, antibiotika dan sebagainya.
e) Media diperkaya
Media
ditambah
mikroorganisme
zat-zat
tertentu
untuk
heterotrof
tertentu.
Zat-zat
menumbuhkan
tertentu
yang
ditambahkan seperti serum, darah, ekstrak tumbuh-tumbuhan.
f)
Media khusus
Media ini untuk menentukan tipe pertumbuhan mikroorganisme
dan kemampuannya untuk mengadakan perubahan-perubahan
kimia tertentu.
g) Media persemaian
Media ini yang sangat kaya akan zat makanan dan mempunyai
susunan bahan sedemikian rupa sehingga hanya menyuburkan satu
jenis mikroba yang dicari saja.
h) Media serbaguna
Media ini merupakan media yang paling umum digunakan dalam
mikrobiologi (dapat menunjang pertumbuhan sebagian besar
mikroba) (Waluyo, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Pengujian Aktivitas Antimikroba
Komponen antimikroba dihasilkan oleh tumbuhan dan aktif terhadap
mikroorganisme yang bersifat patogenik terhadap tumbuhan maupun manusia
(Das, et al., 2011). Beberapa bahan antimikrobial tidak bersifat membunuh,
tetapi hanya menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Bahan antimikrobial
bersifat menghambat apabila digunakan dalam konsentrasi kecil, namun bila
digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat mematikan mikroorganisme.
Berdasarkan ini, perlu diketahui Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) yaitu
konsentrasi terendah bahan antimikrobial yang menghambat pertumbuhan dan
Konsentrasi
Bunuh
Minimum
(KBM)
bahan
antimikrobial
terhadap
mikroorganisme. KHM didefinisikan sebagai konsentrasi terendah bahan
antimikrobial yang menghambat pertumbuhan, sedangkan KBM adalah
konsentrasi terendah bahan antimikrobial yang mematikan (Lay, 1994).
Ada beberapa metode yang digunakan untuk uji aktivitas antimikroba,
antara lain:
a. Metode dilusi
Metode ini digunakan untuk menentukan KHM dan KBM dari zat
antimikroba. Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth
dilution) dan dilusi padat (solid dilution). Untuk metode dilusi cair yaitu
menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi dengan media cair dan
sejumlah tertentu mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing tabung
diuji dengan zat antimikroba yang telah diencerkan secara serial. Seri
tabung diinkubasi pada suhu ± 36oC selama 18-24 jam dan diamati
Universitas Sumatera Utara
terjadinya kekeruhan pada tabung. Selanjutnya biakan dari semua tabung
yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan pada suhu
± 36oC selama 18-24 jam. Lalu diamati ada tidaknya koloni bakteri yang
tumbuh (Pratiwi, 2008).
b. Metode difusi
Metode ini merupakan metode yang umum digunakan di laboratorium
dimana didapat kepekaan suatu organisme terhadap senyawa atau obat. Zat
yang akan diuji berdifusi dari pencadang (reservoir) kedalam medium agar
yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji. Diinkubasi selama waktu
tertentu dan amati adanya hambatan pertumbuhan bakteri uji. Prinsip
penetapannya yaitu mengukur luas diameter daerah hambatan pertumbuhan
bakteri.
Sebagai cadangan larutan uji dapat digunakan:
a) Silinder gelas atau logam
Silinder yang dipakai terbuat dari gelas atau logam tahan karat
dengan diameter 6-8 milimeter. Keuntungannya jumlah larutan uji
dalam silinder dapat diperbanyak untuk menjamin ketersediaan
larutan uji dalam cadangan selama waktu inkubasi. Kerugiannya
adalah sukar mengatur kedalaman silinder secara manual, sehingga
difusi yang terjadi ada kemungkinan tidak homogen yang ditujukan
oleh diameter hambatan yang tidak berupa lingkaran.
Universitas Sumatera Utara
b) Cakram kertas (Paper Disc)
Dengan menggunakan cakram kertas ini, jumlah larutan uji yang
diserap dapat diatur homogen sesuai dengan kapasitas dan daya
serap kertas yang tergantung pada diameter dan ketebalan cakram.
c) Cetak lubang
Dilakukan dengan cara melobangi medium agar dengan alat
penghisap agar atau pelobang gabus. Keuntungannya yaitu jumlah
larutan yang berdifusi dapat terukur jumlahnya dan medium yang
digunakan tidak terlalu tebal, namun bila mencetak lubang kurang
sempurna akan mempengaruhi difusi zat uji (Masripah, 2009).
c. Metode turbidimetri
Metode turbidimetri dilakukan berdasarkan hambatan pertumbuhan
mikroba dalam media cair yang mengandung zat antimikroba. Hambatan
pertumbuhan mikroba ditentukan dengan mengukur serapannya dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm (Ditjen
POM, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Download