BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buaya (Crocodylus sp.) Buaya adalah jenis satwa yang sangat tergantung pada adanya air. Air berperan sebagai media hidup bagi buaya tersebut. Jenis Crocodilian di berbagai habitat akan memakan jenis mangsa apapun yang tersedia. Idealnya, dengan bertambahnya ukuran tubuh maka buaya tersebut akan memakan jenis mangsa berukuran besar. Namun buaya tersebut tetap tidak kehilangan kemampuannya dalam menangkap mangsa berukuran kecil (Ross, 1989). Buaya muda memakan jenis ikan-ikan kecil, burung, insekta, dan crustacea, sedangkan buaya dewasa memakan jenis ikan, kepiting, reptil, burung, dan mamalia (Elmir, 2008). 2.2 Bulu Ayam Bulu ayam merupakan salah satu hasil samping ternak ayam (petelur, pedaging, dan buras) dari rumah potong dan tempat pemotongan ayam lainnya. Bulu ayam mengandung komposisi nutrien hidrolisat yaitu bahan kering (91,37%), protein kasar (79,88%), lemak kasar (3,77%), serat kasar (0,32%) (Ketaren, 2008). Bulu ayam yang merupakan produk samping dari pemotongan ayam sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Sebagian besar bulu ayam dibuang di sekitar tempat pemotongan dan sebagai akibatnya menyebabkan gangguan lingkungan (polusi). Hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat kemoceng, pengisi jok, pupuk tanaman atau kerajinan tangan/hiasan dan shuttle cock (Adiati et al., 2004). Bulu ayam sangat sulit untuk dicerna oleh hewan non ruminansia karena mengandung proporsi protein keratin yang tinggi yang memiliki ikatan disulfida sistein. Struktur dari bulu tersebut harus dihidrolisis terlebih dahulu untuk digunakan sebagai pakan ternak untuk spesies non ruminan (Kumar et al., 2012). Hidrolisat bulu ayam adalah bahan pakan sumber protein yang dapat di produksi secara lokal dengan kandungan protein kasar sebesar 81% - 90,60% (Sutardi, 5 2001). Protein hidrolisat bulu ayam kaya akan asam amino bercabang yaitu leusin, isoleusin, dan valin dengan kandungan masing-masing sebesar 4,88, 3,12, dan 4,4%, namun defisien akan asam amino metionin dan lisin (Siregar, 2006). Bulu berperan penting dalam proses fisiologis dan banyak fungsional. Unggas yang paling dewasa seluruhnya ditutupi dengan bulu, kecuali pada paruh, mata, dan kaki. Bulu sangat teratur, struktur bercabang hirarkis. Dalam bidang industri pertenakan, bulu ayam akan menjadi limbah yang tidak digunakan. Limbah bulu ayam dapat menimbulkan dampak penurunan kualitas tanah karena bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan akibat adanya keratin atau protein fibrous berupa serat. Oleh sebab itu limbah bulu ayam resisten terhadap perombakkan atau degradasi dan merupakan masalah yang serius di lingkungan (Savitha et al., 2007). Bulu ayam mengandung protein keratin dengan struktur α-helik, material lain yang kaya akan protein α-keratin adalah rambut, wool, sayap, kuku, cakar, duri, sisik, tanduk, kulit penyu, dan lapisan kulit sebelah luar, sedangkan material yang kaya dengan protein β-keratin adalah sutera, bulu, dan jaring laba-laba (Lehninger, 2005). Bulu ayam tersebut perlu diproses terlebih dahulu sehingga dinamakan tepung bulu terhidrolisis atau terproses. Tepung bulu memiliki kandungan leusin dan isoleusin yang baik, tetapi miskin akan metionin dan triptopan. Bulu ayam mengandung 90% protein dengan komponen β-keratin, fibrous dan struktur protein yang kokoh dari sulfida (Savitha et al., 2007). Kandungan asam amino tepung bulu ayam sangat mirip dengan kandungan asam amino pada keratin, seperti jumlah asam amino serin, arginin dan prolin. Keratin pada bulu ayam mengandung beberapa nutrisi yang terdiri atas 81% protein kasar, 7% lemak kasar, 1% serat kasar, 0,33% kalsium dan 0,55% posfor. Tingginya kandungan nutrisi pada bulu ayam dianggap sebagai kandungan makanan yang baik bagi ternak (Lintang, 2003). 2.3 Kegunaan Bulu Ayam Sekarang ini, limbah bulu ayam dimanfaatkan sebagai bahan dasar suplemen protein makanan untuk hewan. Sebelum digunakan, limbah bulu ayam ini direbus terlebih dahulu atau dapat ditambahkan dengan campuran bahan-bahan 6 kimia untuk memudahkan daya cerna hewan, tapi proses pembuatannya membutuhkan perlakuan dan energi yang signifikan. Sementara itu, penggunaan mikroorganisme merupakan salah satu metode alternatif untuk meningkatkan nilai nutrisi dari bulu ayam tersebut (Kim et al., 2001). Perlakuan biologis dengan fermentasi menggunakan mikroba berupa bakteri atau jamur dapat meningkatkan kecernaan suatu bahan ransum, karena dalam fermentasi terjadi suatu proses perombakan atau perubahan kimia dari senyawa organik (karbohidrat, lemak, protein, dan bahan organik lainnya) kompleks, baik dalam keadaan ada udara (aerob) maupun tanpa udara (anaerob) melalui bantuan enzim yang berasal dari mikroba menjadi komponen yang lebih sederhana dan memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi (Nurhayani et al., 2001). Pemrosesan bulu ayam pada prinsipnya untuk melemahkan atau memutuskan ikatan dalam keratin melalui proses hidrolisis. Berbagai metode pemrosesan telah diteliti untuk meningkatkan kecernaan dari bulu ayam. Ada empat metode pemrosesan bulu ayam, yaitu secara fisik dengan tekanan dan temperatur tinggi, secara kimiawi dengan asam, basa atau karbonasi dan secara enzimatis serta secara mikrobiologis melalui fermentasi oleh mikroorganisme (Achmad, 2001). Pemrosesan bulu dengan tekanan dan suhu tinggi telah dilakukan pada skala industri, yaitu dengan tekanan 3 bar, suhu 105°C dan kadar air 40% selama 8 jam. Pemrosesan ini menghasilkan kadar protein bulu ayam sebanyak 76% (Adiati et al., 2004). 2.4 Keratin Komponen utama pada bulu adalah keratin. Keratin adalah serat utama yang memberikan perlindungan eksternal bagi vertebrata (Panuju, 2003). Keratin adalah suatu kelompok protein yang sangat khusus memproduksi sel epitel dari hewan bertulang belakang dan lapisan tanduk kulit luar serta epidermal tambahan seperti rambut, kuku, dan bulu ayam (Ketaren, 2008). Adanya ikatan silang yang terbelit dalam bentuk helix dan saling berhubungan melalui ikatan disulfida, ikatan hidrogen, dan interaksi hidrofobik, menyebabkan keratin sangat stabil, tidak larut dalam air, tahan terhadap asam atau basa kuat dan tahan terhadap enzim proteolitik yang disekresikan oleh kelenjar pencernaan (Lin et al., 7 1992).Menurut Lehninger (2005), α-keratin kaya residu sistin yang dapat memberikan jembatan disulfida di antara rantai polipeptida yang berdekatan. Sistin terdiri atas dua molekul sistein. Keratin memiliki daya tahan yang baik dan tahan terhadap degradasi. Metode yang paling umum untuk melarutkan bulu keratin adalah dengan pemotongan ikatan peptida bersamaan melalui hidrolisis asam dan alkali, pengurangan ikatan disulfida dengan larutan natrium sulfida (Na2S). Teknik ini efektif untuk mengekstraksi keratin 75 % (Kock, 2006). Protein struktural keratin dapat terdegradasi oleh beberapa spesies dari Saprophylic dan jamur parasit, beberapa Actinomycetes, Bacillus strain, dan bakteri termofil Fervidobacterium pennavoran. Stabilitas mekanik keratin dan ketahanan terhadap degradasi mikroba tergantung pada ikatan dari rantai protein α-helix (α-keratin) atau struktur β-sheet (β-keratin). Enzim keratinolitik disebut keratinase yang telah dimurnikan dari berbagai mikroorganisme dan karakterisasinya sampai saat ini. Bertindak sebagai proteinase dan memiliki aktivitas yang sangat tinggi, larut dalam protein substrat seperti keratin. Protein keratinolitik berperan penting dalam aplikasi bioteknologi seperti peningkatan degradasi enzimatik bulu ayam dan produksi asam amino atau molekul peptida yang tinggi dari substrat atau dalam industri kulit (Bockle et al., 1995). 2.5 Degradasi Keratin Degradasi merupakan proses perombakan zat-zat yang ada di lingkungan dengan bantuan pengurai berupa mikroba. Keratin merupakan protein serat yang membentuk rambut, bulu, dan kuku, serta kaya akan sistein dan sistin. Degradasi keratin menjadi molekul yang lebih sederhana merupakan proses yang kompleks dan memerlukan kerja sinergis enzim-enzim keratinolitik. Menurut Bockle & Muller (1997), keratin memiliki struktur yang kaku dan sulit dicerna oleh protease hewan dan manusia. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan silang yang intensif dari jembatan sistin, dimana sistein merupakan asam amino penyusun keratin. Keratinase termasuk enzim protease yang merupakan enzim ekstraseluler, tergolong protease serin (Friedrich & Antranikian, 1996). Enzim ekstraseluler adalah enzim dihasilkan di dalam sel tetapi dikeluarkan ke dalam media untuk menghidrolisis dan mendegradasi komponen kompleks menjadi senyawa 8 sederhana yang mudah larut dan diserap oleh mikroorganisme. Enzim intraseluler dihasilkan di dalam sel dan melakukan aktivitasnya juga didalam sel. Protease berdasarkan cara kerjanya dapat digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu endopeptidase dan eksopeptidase. Enzim keratinase banyak digunakan pada kosmetik dan teknologi kulit. Secara komersial enzim tersebut dapat diekstraksi dari Streptomyces frandiae dan Streptomyces microflavus. Enzim ini baik sekali untuk memecah ikatan disulfida pada keratin (Winarno, 1983). Keratinase atau enzim keratinolitik adalah sebutan bagi enzim protease spesifik yang dapat memecah substrat protease keratin (EC 3.4.21 atau EC 3.4.24 atau EC 3.4.99). Keratinase dihasilkan oleh mikroba baik secara intraseluler maupun ekstraseluler. Sebagian besar protease yang dihasilkan oleh mikroba tergolong protease serin yang memerlukan kofaktor kation Mg dan Ca untuk aktivitasnya dan sebagian lagi merupakan protease alkalin. Protease keratinolitik yang tidak memiliki aktivitas kolagenase namun mempunyai cukup aktivitas elastase dapat membantu proses dehairing dengan memutus secara selektif jaringan keratin pada folikel kulit sehingga rambut akan terlepas tanpa mempengaruhi kekuatan kulit. Penggunaan enzim dalam proses dehairing kulit selain menghasilkan kulit dengan kualitas baik juga dapat mengurangi polutan (Macedo et al., 2004). Berdasarkan tingkat kemudahan hidrolisis, keratin digolongkan menjadi soft keratin dan hard keratin. Kuku, sisik, bulu, atau wool lebih mudah dihidrolisis dibanding rambut manusia, kemudahan tersebut berkaitan dengan kandungan sistinnya (Kunert, 2000). Beberapa peneliti melaporkan bahwa hanya keratinase saja yang berperan dalam degradasi keratin, namun dewasa ini peneliti lain melaporkan adanya peran enzim lain yaitu disulfida reduktase yang meningkatkan efisiensi dan menyempurnakan proses degradasi tersebut. Mekanisme degradasi keratin diduga diawali oleh enzim disulfida reduktase yang beraksi pada ikatan disulfida yang menjaga kestabilan mekanik keratin. Proses tersebut memudahkan keratinase untuk melanjutkan proses degradasi bulu (Rahayu, 2010).