BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teknologi penginderaan jauh memiliki keunggulan mengkaji suatu objek tanpa harus turun langsung ke lapangan (survei terestris) sehingga pekerjaan menjadi lebih efisien baik waktu, biaya, dan tenaga. Berdasarkan Danoedoro (2012), analisis menggunakan citra satelit tidak serta merta dapat menghasilkan hasil yang lebih baik dibandingkan survei terestris dan penggunaan foto udara. Danoedoro (2012) juga menyatakan bahwa pengolahan citra secara murni dan lengkap belum mampu menyajikan fenomena di permukaan bumi yang kompleks sehingga citra satelit bukan digunakan sebagai pengganti survei terestris melainkan sebagai alternatif baru dengan beberapa keunggulan. Karakteristik citra yang bervariasi baik karakteristik spektral, spasial, dan temporal dapat diaplikasikan untuk mengidentifikasi beberapa karakteristik utama pesisir dan lautan baik fisik, kimia, geologi maupun biologi (Lo, 1986). Salah satu parameter terkait kualitas air yang dalam penelitian ini yaitu MPT (muatan padat tersuspensi) dapat di ekstraksi melalui citra satelit dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu. Selain itu, analisis objek dengan menggunakan citra satelit memiliki referensi spasial sehingga hubungan antara objek-objek tertentu juga dapat dikorelasikan secara spasial. Berbagai kombinasi saluran dan transformasi citra dapat mengekstraksi informasi terkait parameter-parameter tersebut. Wilayah Pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan, ke arah daratan meliputi bagian daratan (kering maupun terendam air dan masih terpengaruh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin), ke arah lautan meliputi bagian laut yang masih terpengaruh oleh prosesproses alami yang terjadi di daratan (sedimentasi, aliran air tawar) maupun kegiatan yang disebabkan oleh manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976). Zona utama dalam wilayah pesisir meliputi zona daratan seperti pantai, lahan basah (wetlands), rawa, dsb, serta zona perairan pesisir seperti laguna, muara sungai, estuarin dan laut dangkal. Perairan di 1 wilayah pesisir memiliki karakteristik yang unik karena terpengaruh oleh prosesproses pada dua wilayah yang berbeda (daratan dan lautan). Keunikan dari wilayah pesisir salah satunya memiliki potensi sumber daya yang melimpah baik dari sektor ekologi, ekonomi, dan sosial. Terdapat banyak ekosistem yang hanya dapat ditemui di wilayah pesisir seperti estuarin, padang lamun, terumbu karang, dan Mangrove. Menurut Bengen (2001), fungsi utama wilayah pesisir bagi kehidupan manusia adalah (1) sebagai penyedia sumber daya alam, (2) penerima limbah, (3) penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan manusia (life support services), (4) penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenity services). Potensi permasalahan yang dapat terjadi diantaranya menipisnya sumber daya alam, pencemaran, bencana alam, meningkatnya permukaan air laut, erosi pantai dan erosi di bagian hulu sistem DAS (Daerah Aliran Sungai). Pengelolaan wilayah pesisir yang tepat dan terintegrasi perlu diperhatikan untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkunganseperti yang disebutkan pada UU No 27 tahun 2007 pasal 1 ayat 1 terkait pengelolaan pesisir yaitu “ Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”. Pertemuan antara air laut dan air tawar terjadi di wilayah pesisir pada muara sungai. Sedimentasi merupakan salah satu yang dapat berpotensi menjadi masalah di wilayah pesisir terutama di muara sungai. Material yang terbawa oleh sungai tidak hanya berupa air tetapi juga membawa material-material baik muatan padat tersuspensi (MPT) maupun non padat. Sedimen yang tertransport oleh sungai berasal dari erosi batuan, tanah, dan dekomposisi tumbuhan dan hewan (UNEP & Gems Water Programme, 2006). Menurut UNEP (2015), peningkatan sedimentasi dapat berpotensi menimbulkan (1) kerusakan pada ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove (2) berkurangnya penetrasi sinar matahari pada perairan sehingga menghambat pertumbuhan makro alga dan macropytes, meningkatkan suhu perairan dan menghambat pertumbuhan vegetasi alami (3) 2 berkurangnya kandungan oksigen, (4) kerusakan pada insang ikan akibat gesekan material yang padat, mengurangi penglihatan predator visual dan membahayakan habitat bentik makroinvertebrata (5) pendangkalan muara sungai, waduk, dan danau (6) peningkatan bahan kimia beracun, logam berat, dan zat gizi yang dampak lanjutannya eutrofikasi. Penurunan sedimentasi dapat menimbulkan degradasi ekosistem karena penurunan pasokan mineral dan nutrisi. Meskipun hayati perairan pesisir beranekaragam, namun karena merupakan pertemuan antara air laut dan air tawar, serta adanya pengaruh aktivitas manusia, iklim, dan arus membuat perairan ini sangat dinamis dan rentan (Daniel, 2007). Biota yang tinggal di perairan pesisir memiliki tingkat adaptasi yang tinggi salah satunya fitoplankton yang memiliki fungsi sebagai produsen primer. Fitoplankton merupakan organisme laut yang memiliki pigmen klorofil-a sehingga mampu berfotosintesis untuk mengubah senyawa anorganik menjadi senyawa organik sebagai sumber makanan dan energi bagi biota-biota laut lain. Kelimpahan fitoplankton yang cukup banyak dapat mengindikasikan kelimpahan ikan pada area tersebut. Berdasarkan Moisan et al. (2002), keanekaragaman fitoplankton secara global dianggap memiliki peran penting dalam mengatur iklim dengan cara memproduksi dan mengkonsumsi gas rumah kaca seperti uap air dan karbondioksida. Banyak gas rumah kaca yang tersebar pada antar muka laut dan udara yang disentesis dan diemisikan oleh beberapa spesies tertentu. Keanekaragaman fitoplankton tersebut dapat mempengaruhi pembentukan iklim melalui hamburan balik radiasi sinar matahari. Beberapa faktor fisik yang paling utama mempengaruhi keberadaan fitoplankton adalah suhu dan kecerahan perairan (Daniel, 2007). Perairan yang cerah dapat memudahkan fitoplankton untuk berfotosintesis karena sinar matahari mampu menembus ke bawah permukaan air. Perairan yang keruh yang dapat diindikasikan dengan banyaknya MPT dapat menghambat penetrasi sinar matahari. Disamping itu, seperti yang telah dijelaskan dalam UNEP (2015) dampak yang dapat terjadi jika MPT mengandung nutrisi yang berlebih sebagai contoh limbah fosfat (PO3-) yang berasal dari pupuk dapat menyebabkan blooming fitoplankton maupun alga. 3 Perairan Segara Anakan terletak di Kabupaten Cilacap merupakan perairan semi tertutup dan membentuk ekosistem estuari dan laguna yang terlindung oleh Pulau Nusa Kambangan. Sungai yang bermuara di Segara Anakan yaitu Citanduy, Cibeureum, Cimeneng, dan Cikonde. Keempat sungai tersebut merupakan penyumbang utama material-material dari hulu dan tengah. Sehingga kualitas perairan di Segara Anakan juga dapat dipengaruhi oleh material yang terbawa oleh kelima sungai tersebut. Luas keseluruhan Segara Anakan sebesar 24.000 ha meliputi perairan, Mangrove, dan daratan-daratan lumpur akibat sedimentasi (Yuliarko, 2010). Perairan Segara Anakan memiliki ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang melimpah. Dengan seluruh kekayaannya, berdasarkan sebuah riset oleh peneliti asing dalam Yuliarko (2010) menyebutkan Segara Anakan telah menyumbang produksi perikanan pantai lebih dari 6,2 milyar/tahun dengan kekayaan mencapai 8,3 juta/tahun. Selain itu, setiap hektar mangrove memiliki nilai ekonomis hingga 1.400 dolar AS (Yuliarko, 2010). Segara Anakan memiliki peran yang paling penting sebagai tempat pembiakan beragam biota laut. Sehingga kelestarian kualitas perairannya sangat penting untuk dijaga untuk kelangsungan hidup biota yang hidup di dalamnya. Salah satu permasalahan di Segara Anakan yang dapat berdampak pada kualitas air yaitu sedimentasi yang tinggi yang menyebabkan berkurangnya luasan Segara Anakan yang ditunjukan pada Gambar 1.1. dan Gambar 1.2. yang menyebabkan penurunan luas Segara Anakan. Sedimentasi yang tinggi dapat mengindikasikan erosi yang ada di wilayah hulu dan tengah tinggi. Erosi di wilayah hulu dan tengah yang tinggi, dapat meningkatkan kekeruhan air dan berpengaruh pada kualitas air dan perkembangan biota-biota yang hidup di dalamnya (UNEP, 2015). Data dan informasi terkait karakteristik komponen pesisir dan laut tentang sedimentasi dapat mendukung pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir yang tepat. Data dan informasi tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk mengontrol aktivitas di pesisir untuk mengoptimalkan potensi dan meminimalisir maupun mencegah permasalahan yang dapat terjadi. 4 Gambar 1.1. Laju Penurunan Luas Segara Anakan (Yuliarko, 2010) SPOT-6 dan SPOT-7 merupakan generasi terbaru dari sistem satelit SPOT yang memiliki spesifikasi yang sama. SPOT 6/7 dapat dianggap cukup sesuai untuk memetakan MPT pada kajian pesisir. Karakteristik baik fisik, biologi, maupun kimia pada kawasan pesisir memiliki kerentanan dan kedinamisan tinggi akibat lokasinya yang berada pada pertemuan lautan dan daratan. SPOT-6/7 memiliki resolusi temporal yang cukup baik untuk kajian tersebut yaitu 26 hari. Resolusi temporal tersebut cukup mampu memberikan variasi karakteristik MPT untuk mengetahui trend tiap bulan maupun musim. SPOT-6/7 membawa sensor NAOMI (AstroSat Optical Modular Instrument) dengan resolusi spasial yang paling tinggi diantara generasi-generasi sebelumnya yaitu 6 m untuk sensor multispektral dan 1,5 untuk pankromatik (LAPAN, 2014). Luas area kajian Segara Anakan semakin menyusut yang saat ini tinggal 400 ha. Resolusi spasial 6 m cukup baik digunakan untuk luas kajian tersebut. Jike menggunakan citra dengan resolusi spasial menengah variasi distribusi MPT kurang bisa terlihat. Disamping itu, terdapat tambahan saluran biru pada generasi ini yang dapat digunakan untuk kajian perairan. Saluran spektral yang dibutuhkan untuk pemetaan MPT tersedia pada sistem SPOT-6/7 yaitu saluran biru, hijau, merah, dan inframerah dekat. 5 Penelitian terkait pemetaan konsentrasi MPT sudah banyak dilakukan dengan berbagai metode dan algoritma. Penelitian Iswari (2014) juga memetakan MPT dengan menggunakan algoritma NDSSI (Normalized Difference Suspended Solid Index) yang dikembangkan oleh Hossain et al. (2010). Zheng (2015) melakukan pemetaan untuk monitoring MPT menggunakan citra Landsat dengan penggunaan saluran tunggal inframerah dekat. Sedangkan Hung (2014) melakukan pemetaan dengan menggunakan band ratio saluran inframerah dekat dan hijau Landsat 7 ETM+. Namun penelitian terkait korelasi antara total MPT dengan distribusi klorofil-a secara spasial belum banyak dilakukan 1.2. Perumusan Masalah Perairan Segara Anakan merupakan perairan tertutup dan tempat bermuara empat sungai besar yaitu Citanduy, Cibeureum, Cimeneng, dan Cikonde. Keempat sungai tersebut membawa material-material hasil erosi sehingga ekosistem di muara terancam oleh sedimentasi yang tinggi. Berdasarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2013 luas Segara Anakan tinggal 400 ha yang 15 tahun sebelumnya seluas 6.500 ha (SKDI, 2013). Hal tersebut menunjukan bahwa Segara Anakan mengalami penurunan luas yang drastis selama 20 tahun terakhir. Penurunan luas Segara Anakan juga ditunjukan pada Gambar 1.1dengan mengalami penurunan luas yang drastis pada tahun 1980 hingga 2010.Penurunan luas Segara Anakan ini mengindikasikan adanya permasalahan sedimentasi pada wilayah ini. Sedimentasi yang tinggi di muara sungai dapat disebabkan oleh erosi yang tinggi pada lahan di bagian hulu maupun tengah. Material hasil erosi yang terbawa oleh sungai nantinya dapat terakumulasi di muara berupa sedimen tersuspensi yang kemudian terendapkan menjadi sedimen dasar. Banyaknya material yang tersuspensi dapat menyebabkan kekeruhan semakin tinggi dan mempengaruhi perkembangan biota-biota laut yang pertumbuhannya membutuhkan sinar matahari seperti fitoplankton. Fitoplankton memiliki peran yang penting dalam rantai makanan ekosistem ini karena berperan sebagai produsen dengan melakukan fotosintesis. Fotosintesis memerlukan sinar matahari dalam prosesnya, ketika material tersuspensi pada muara semakin banyak maka dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan 6 dapat mengganggu perkembangan fitoplankton. Ketika material tersuspenisi mengandung nutrisi yang berlebih juga dapat menyebabkan blooming fitoplankton dan alga. Disamping permasalahan penyempitan luas Segara Anakan, sedimentasi yang tinggi ini juga dapat menyebabkan celah yang menghubungkan laguna dan laut lepas dan sebagai pintu gerbang biota-biota laut yang melakukan pemijahan juga dapat menyempit bahkan tertutup. Ketersediaan data terkait komponen-komponen perairan di pesisir penting adanya sebagai referensi dalam pengelolaan kawasan pesisir dan kelautan yang tepat.Data terdiri dari berbagai jenis baik data spasial maupun non spasial.Data spasial memiliki keunggulan dapat merepresentasikan data secara spasial sehingga posisi dan distribusi objek yang dipetakan dapat terlihat karena memiliki referensi koordinat. Ekstraksi MPT dari penginderaan jauh dapat menghasilkan peta distribusi MPT. Seperti yang sudah dijelaskan, tingginya MPT dapat mempengaruhi kualitas air. Dengan adanya peta distribusi MPT dapat merepresentasikan variasi tinggi rendahnya MPT pada suatu perairan tertentu secara spasial dan kontinu. Kondisi MPT pada suatu perairan memiliki sifat yang sangat dinamis yang dapat dipengaruhi oleh arus, gelombang, angin, curah hujan, dan sebagainya. Pemantauan kondisi MPT secara temporal dapat dilakukan untuk memantau kondisi kualitas air suatu perairan. Kondisi MPT dari waktu ke waktu akan selalu berubah karena kondisi perairan pesisir yang dinamis. Musim juga dapat mempengaruhi karakteristik MPT. Menurut Li (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi MPT adalah debit runoff. Debit runoff salah satunya dipengaruhi oleh curah hujan. Oleh karena itu, faktor musim perlu dipertimbangkan dalam perolehan data dan pemilihan waktu perekaman citra. Ketika musim hujan, debit sungai semakin besar dan dapat memicu erosi yang lebih besar. Sehingga diakhir musim hujan memungkinkan menyumbang sedimen yang lebih banyak di bandingkan ketika musim kemarau.Untuk itu perlu kajian pada dua musim yang berbeda agar perbedaan kondisi MPT pada musim yang berbeda dapat terlihat. Dalam penelitian ini, kajian dilakukan pada akhir musim penghujan dengan asumsi ketika kondisi MPT tinggi, variasi MPT terwakili dari 7 rendah ke tinggi dibandingkan pada musim kemarau yang diasumsikan kondisi MPT lebih rendah. Perolehan data MPT dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dengan pengukuran di lapangan.Teknologi penginderaan jauh juga merupakan alternatif lain untuk mendapatkan informasi terkait MPT. Kedua cara perolehan data tersebut memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Salah satu keunggulan teknik penginderaan jauh dibandingkan dengan pengukuran di lapangan yaitu dapat mengidentifikasi objek tanpa harus turun ke lapangan sehingga mungkin lebih efektif dalam hal waktu dan tenaga. Karakteristik wilayah pesisir sangat dinamis karena dipengaruhi dua proses yang berbeda dari darat dan laut. Oleh karena itu, ketersediaan data secara multitemporal dapat dijadikan sebagai referensi yang lebih variatif untuk menggambarkan kondisi MPT dari waktu kewaktu. Satelit penginderaan jauh tertentu memiliki spesifikasi resolusi temporal yang cukup baik untuk monitoring kondisi MPT suatu perairan. Namun, bukan berarti perolehan data menggunakan teknik penginderaan jauh dapat menghasilkan hasil yang lebih akurat dibandingkan dengan perolehan langsung di lapangan. Penelitian terkait korelasi antara kedua objek tersebut secara spasial belum dilakukan. Pengkajian yang lebih dalam dengan mengkaji korelasi antara kedua komponen tersebut dapat membantu dalam menganalisis permasalahan yang ada di Segara Anakan. Penelitian terkait ekstraksi komponen pesisir seperti MPT dengan teknik penginderaan jauh sudah banyak di lakukan. Algoritma yang digunakan juga bermacam-macam. Setiap algoritma yang berbeda akan menghasilkan estimasi MPT yang berbeda. Karena algoritma tersebut terbentuk pada penelitian yang berbeda dengan lokasi penelitian dan citra yang berbeda. Oleh karena itu, ketika akan memetakan dan mengestimasi MPT pada wilayah yang berbeda, perlu dikorelasikan dengan data lapangan. SPOT-6 memiliki resolusi spasial 6 m untuk saluran multispektral, resolusi spektral empat saluran multispektral, resolusi temporal 26 hari, dan resolusi radiometrik 12 bit per piksel. Dibandingkan generasi sebelumnya yaitu SPOT-4 dan SPOT-5, SPOT 6/7 memiliki beberapa keunggulan terutama pada resolusi spasial dan tambahan saluran biru yang sangat berguna untuk kajian perairan 8 karena pantulan objek air pada saluran ini paling tinggi. Resolusi spasial SPOT6/7 yaitu 6 m dibanding SPOT-4 dan SPOT-5 yaitu 10 m untuk saluran multispektral. Dengan resolusi temporal 26 hari SPOT-6/7 dianggap cukup untuk mengidentifikasi variasi MPT pada perairan pesisir yang dinamis. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Metode manakah yang mampu memetakan distribusi MPT dengan akurasi terbaik diantara citra saluran tunggal (biru, hijau, merah, inframerah dekat), transformasi band rasio, (Normalized Difference Suspended Solid Index (NDSSI), dan Suspended Solid Concentration Index (SSC) di Perairan Segara Anakan menggunakan Citra SPOT-6? 2. Bagaimana distribusi spasial MPT dan berapakah total MPT pada muara Perairan Segara Anakan menggunakan citra SPOT-6? 3. Bagaimana korelasi antara tingkat MPT terhadap konsentrasi klorofil-a di Perairan Segara Anakan? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Menentukan metode terbaik diantara citra saluran tunggal (biru, hijau, merah, inframerah dekat), transformasi band rasio, NDSSI, dan SSC dalam memetakan distribusi MPT di Perairan Segara Anakan menggunakan Citra SPOT-6. 2. Memetakan dan mengestimasi total konsentrasi MPT di Perairan Segara Anakan dengan citra SPOT-6. 3. Mengkaji korelasi antara tingkat MPT dari citra SPOT-6 terhadap konsentrasi klorofil-a di Perairan Segara Anakan. 1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait kondisi di Segara Anakan sebagai referensi dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem di perairan Segara Anakan dengan lebih optimal dan bijaksana. Sebagai referensi dalam membuat kebijakan terkait pengelolaan 9 perairan Segara Anakan untuk meminimalisir segala aktivitas yang dapat berdampak pada kerusakan ekosistem si perairan Segara Anakan. Selain itu, untuk mengetahui kemampuan teknologi penginderaan jauh dalam mengkaji parameterparameter terkait kualitas pesisir. 10