BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Isu global yang saat ini banyak dibicarakan adalah tentang isu lingkungan dimana banyak masyarakat yang mulai merasakan dampaknya adalah perubahan suhu secara global. Suhu bumi berpotensi naik sebanyak 4 derajat di akhir abad ini jika komunitas global gagal menanggapi isu perubahan iklim. Kegagalan ini akan dapat serangkaian perubahan drastis yang membahayakan, termasuk gelombang panas ekstrim, turunnya pasokan pangan global dan meningkatnya permukaan air laut, mempengaruhi ratusan juta orang. Dampak peningkatan suhu akan terasa di seluruh kawasan dunia; dampak di beberapa kawasan akan lebih parah dari kawasan lainnya. Turn Down The Heat merupakan kajian perubahan iklim yang disiapkan untuk Bank Dunia oleh Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) dan Climate Analytics. Laporan ini menyebutkan, suhu bumi akan meningkat 4 derajat Celsius (4°C) pada akhir abad ini, dan berbagai janji untuk menurunkan emisi gas rumah kaca tidak akan berdampak signifikan. Namun laporan ini menyimpulkan golongan miskin akan merasakan dampak terbesar. Peningkatan suhu 4°C berpotensi menciptakan skenario-skenario cukup mematikan seperti kota-kota pesisir terancam banjir, produksi pangan terancam turun dan berpotensi meningkatkan kasus malnutrisi, banyak kawasan kering yang akan semakin kekeringan dan kawasan basah menjadi lebih basah, banyak kawasan akan mengalami gelombang panas, terutama di daerah tropis; banyak 1 kawasan akan mengalami kelangkaan air; siklon tropis akan semakin intens; dan keanekaragaman hayati terancam punah, termasuk sistem terumbu karang. (Bank Dunia, 2012) Untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim, dunia harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan pada tahun 2050 dan kemudian menjadi karbon netral pada tahun 2100. Dibutuhkan berbagai teknologi yang pada tahun 2100 untuk dapat menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer, termasuk penangkapan dan penyimpanan karbon, teknologi berkembang yang dapat mengubur karbon dioksida tetapi beresiko. Laju peningkatan efisiensi energi perlu ditingkatkan jauh lebih cepat, dan pangsa energi rendah karbon dari sumber yang terbarukan harus tiga kali lipat atau empat kali lipat pada tahun 2050. Kedepannya, akan ada kesempatan bagi tenaga nuklir dan untuk bioenergi atau energi fosil, tetapi hanya dengan penangkapan dan penyimpanan karbon. (Kepala IPCC: Rajendra Pachauri, 2014) 2 I. 1. Peta Emisi CO2 di negara-negara G-20 Sumber: IEA Di peta tersebut dapat kita lihat bahwa Cina berada di peringkat pertama untuk emisi CO2 terbanyak di dunia yaitu sekitar 6284 juta ton CO2. Lalu disusul oleh Amerika Serikat dan Rusia yang masing-masingnya menghasilkan 6007 juta ton CO2 dan 1673 juta ton CO2. Dan di peringkat keempat dan kelima terdapat India dan Jepang. CO2 (karbon dioksida) termasuk salah satu gas yang menyebabkan efek rumah kaca karena jumlahnya paling melimpah dan menyerap puncak gelombang panjang. Penyerapan inilah yang menyebabkan pemanasan dan air akan menguap. Biasanya jika kita melepaskan karbon dioksida maka kita membakar sesuatu yang mengandung karbon. Semua yang mengandung karbon adalah bahan bakar, seperti kayu, batu bara, gas alam, dan minyak dimana reaksi karbon dan oksigen akan menghasilkan karbon dioksida yang merupakan suatu reaksi untuk menghasilkan energi. Setiap tahunnya manusia membuang 8 milyar metrik ton 3 CO2 ke dalam atmosfer, 6,5 milyar ton dari bahan bakar fosil, dan 1,5 milyar ton dari pembabatan hutan, tapi 3,2 milyar ton tetap berada di atmosfer untuk memanaskan suhu planet bumi. Pada tahun 1960-an hingga 1990-an, perekonomian Asia Timur dan Pasifik tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kawasan negara lainnya di dunia. Sebagian besar dari pencapaian tersebut ditunjang oleh pertumbuhan yang mengesankan dari delapan negara Asia Timur (High Performing East Asian Economies/ HPEAs), yaitu Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, dengan rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita lebih dari 4 persen per tahunnya. Pencapaian kinerja pertumbuhanekonomi negara-negara HPAEs tersebut didorong oleh kinerja ekspornya yang terus meningkat sejalan dengan liberalisasi ekonomi yang dilakukannya pada era 1980-an. Pangsa ekspor HPAEs terhadap ekspor dunia terus meningkat selama tiga dekade yaitu, dari 8 persen tahun 1965 menjadi 13 persen pada tahun 1980, meningkat kembali hingga 18 persen pada tahun 1990 (World Bank, 1996). Sektor manufaktur menjadi mesin pertumbuhan ekspor pada era tersebut. Faktor yang lainnya adalah pesatnya investasi, khususnya investasi swasta, yang pada periode 1960-1990 rata-rata mencapai lebih dari 20 persen dari PDB. 4 I. 1. Grafik Pertumbuhan PDB per kapita yang diukur dari PPP pada negara-negara di Asia Timur pada tahun 1981-2010 50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 China Hong Kong Japan Korea 10000 5000 0 Sumber: Bank Dunia, 2014 diolah Jika dilihat pada gambar grafik diatas, maka semua negara-negara di Asia Timur memiliki pertumbuhan ekonomi yang terus membaik jika dilihat dari tren PDB per kapita yang meningkat sejak tahun 1981 hingga tahun 2010. Dari keempat negara tersebut, pada tahun 2010 dapat disimpulkan bahwa Hong Kong memiliki PDB per kapita yang paling tinggi. Lalu disusul oleh Jepang, Korea Selatan, dan yang terendah adalah Cina. 5 I. 2. Grafik Tingkat Emisi CO2 per kapita negara-negara di Asia Timur pada tahun 1981-2010 14 metric tons per capita 12 10 8 6 China Hong Kong Japan 4 Korea 2 0 Sumber: Bank Dunia, 2014 diolah Jika dilihat pada gambar grafik diatas, maka semua negara-negara di Asia Timur mengalami degradasi lingkungan yang terus memburuk jika dilihat dari tren emisi CO2 per kapita yang meningkat sejak tahun 1981 hingga tahun 2010. Dari keempat negara tersebut, pada tahun 2010 dapat disimpulkan bahwa Korea Selatan memiliki tingkat emisi karbon dioksida per kapita yang paling tinggi. Lalu disusul oleh Jepang, Cina, dan yang terendah adalah Hong Kong. Penelitian yang telah dilakukan oleh Stern dkk.(1996) dan Ekins (1997) memberikan beberapa bukti empiris bahwa efek dari pertumbuhan ekonomi terhadap kualitas lingkungan masih dalam kontroversi. Satu sisi mendukung hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan tekanan terhadap lingkungan berkurang. Sedangkan 6 pendapat yang lain adalah pertumbuhan ekonomi akan meyebabkan daya lingkungan menurun kualitasnya. Dalam hipotesis EKC disebutkan bahwa terjadi take off sebagai konsekuensi dari pembangunan dan kemajuan industrilisasi yang dapat merusak lingkungan karena penggunaan sumber daya alam yang lebih besar, emisi polutan yang berlebih, pengoperasian teknologi yang kurang efisien dan relatif kotor, dan mengabaikan lingkungan (Shafik dan Bandyopadhyaya, 1992). Hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) pertama kali dikembangkan oleh Grossman dan Krueger di tahun 1900-an dengan bukti empiris bahwa pertubuhan ekonomi akan memberikan dampak pada degadrasi kualitas lingungan pada tahap awal pembangunan sampai batas tertentu tercapai, meskipun setelah mencapai batas tertentu tersebut kondisi akan lebih mengarah pada perbaikan lingkungan. (Puspitasari, 2013) Namun pendapat tersebut mendapat kritikan baik secara konsep antara lain oleh Beghin dan Portier (1997), mereka menyatakan bahwa reaksi polutan tersebut hanya dalam jangka pendek tidak dalam akumulasi stok polusi seperti karbon dioksida. Pencemaran di air juga tidak sesuai dengan teori EKC ini (Hettige dkk.). Banyak yang menguji hipotesis EKC ini dan hasil yang diberikan pun berbeda-beda. Adanya hasil yang bervariasi ini cukup membingungkan pengambil kebijakana dalam menemukan hubungan U-terbalik untuk emisi CO2, dimana CO2 sering disebut sebagai penyebab utama pemanasan global. Selain itu ditemukan 7 hasil yang menemukan hubungan N-shape sebagai variasi dari hasil yang sebelumnya. (Grossman dan Krueger, 1995 ; Dinda et. al, 2000) I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan: 1. Apakah hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) terbukti di kawasan Asia Timur? 2. Berapa nilai PDB per kapita yang merupakan titik balik peningkatan CO2 di kawasan Asia Timur? 3. Apakah variabel intensitas perdagangan, tingkat investasi, dan penggunaan energi berpengaruh dengan emisi CO2 di kawasan Asia Timur? 8 I.3. Tujuan Penelitian Berikut adalah tujuan yang hendak dicapai adalah: 1. Untuk menganalisis hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) di kawasan Asia Timur. 2. Untuk menganalisis nilai PDB per kapita yang merupakan titik balik peningkatan CO2 di kawasan Asia Timur. 3. Untuk menganalisis pengaruh variabel intensitas perdagangan, tingkat investasi, dan penggunaan energi dengan emisi CO2 di kawasan Asia Timur. I.4. Manfaat Penelitian 1. Diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang pertumbuhan ekonomi dan keadaan lingkungan negara-negara di kawasan Asia Timur sehingga bisa memberikan referensi untuk para pengambil kebijakan dalam mengambil kebijakan lebih baik ke depannya. 2. Memberikan referensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan tentang pertumbuhan ekonomi dan degadrasi lingkungan. 9