ijtihâd muhammadiyah dalam menentukan ke

advertisement
IJTIHÂD MUHAMMADIYAH DALAM MENENTUKAN
KE-HUJJAH-AN HADIS BIDANG AQIDAH DAN IBADAH
Kasman
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember
Jl. Jum’at 94 Mangli Jember
Email: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ijtihâd Muhammadiyah dalam menentukan ke-hujjah-an hadis, baik dalam tataran
teoritis maupun praktis sebagaimana yang terdapat dalam putusan
Majelis Tarjih tahun 1929-1972, dengan fokus pada bidang ibadah
dan aqidah. Dengan metode analisis intertektualitas, takhrîj alhadîts dan koherensi, diperoleh hasil: Pertama, secara teortis,
Muhammadiyah ber-hujjah terhadap khabar mutawâtir dalam
persoalan aqidah, dan al-sunnah al-shahîhâh (maqbûlah) dalam persoalan ibadah, dengan corak yang lebih ketat dalam persoalan
ketersambungan sanad, tawassuth dalam persoalan ke-‘âdil-an dan
ke-dlâbith-an periwayat, dan kurang perhatian terhadap kritik
matn. Kedua, ditemukan beberapa redaksi matn al-hadîts yang
berbeda dari kitab mukharrij yang namanya disebutkan oleh
Majelis Tarjih dalam hadis tersebut; dalam kitab Iman ditemukan
6 hadis yang berstatus âhâd, tetapi tidak ada yang berstatus dla‘îf;
sedangkan dalam persoalan ibadah, ditemukan setidaknya 2 hadis
yang dinilai dla‘îf menurut kriteria yang dibuatnya. Ketiga, dalam
tataran teori, kaidah-kaidah yang dirumuskannya terlihat konsistensi, meskipun mengandung kelemahan dalam operasionalisasinya, karena masih bersifat umum. Dalam tataran praktek, jika
dilihat dari tata kerjanya, ijtihâd yang dilakukan Muhammadiyah
dalam bidang hadis masih bercorak tarjîhî dan bahkan taqlîdî;
sedangkan jika dilihat dari hasilnya, masih belum benar-benar
konsisten, karena masih ada hadîts âhâd dalam Kitab Iman, dan
hadîts dla‘îf dalam persoalan ibadah.
Kata kunci: ijtihâd, hadîts, Muhammadiyah, shahîh, dla‘îf,
mutawâtir, âhâd
275
MUHAMMADIYAH IJTIHÂD
IN DETERMINING AUTHORITATIVE HADÎTH
ABOUT THEOLOGY AND WORSHIP
Kasman
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember
Jl. Jum’at 94 Mangli Jember
Email: [email protected]
Abstract: The research analyzes ijtihâd (legal reasoning) of
Muhammadiyah in determining the hujjiyat al-hadîts (the prophetic
tradition as authoritative source) in the Majelis Tarjih Decisions
from 1929 to 1972, pertaining to ‘aqîdah (theology) and ‘ibâdah
(worship). Building on inter-textual analysis, Takhrîj (verification)
al-hadîts and coherence analysis, the study finds three important
things: First, Muhammadiyah employed two different strategies
in holding the hadis as authoritative source; regarding theology, it
uses khabar mutawatir, and al-sunnah al-shahîhah concerning
worship. It emphasizes on continuation of transmission and criteria
of transmitters as ‘adl (just) and dlabit (entrusted), but less on the
critics of matn (substance) of tradition. Second, there are some
differences of matn al-hadîts in the collection used by Tarjih
Decisions. In Kitab Iman, 6 traditions are classified as âhâd
(transmitted only through one companion), but none of them is
dla‘îf (weak). Meanwhile, regarding the issue of worship, there
are 2 weak traditions. Third, theoretically, the Muhammadiyah
legal reasoning produces sound legal rules despite the fact that
these are too general to use and thus less useful in some respects.
The Muhammadiyah ijtihâd in the field of hadîts can be classified
into tarjîhî (selection), or even taqlîdî (blind acceptance). This lead
into inconsistency as it was seen in the use of weak traditions
regarding the issues of worship and tradition transmitted through
one companion as found in Kitab Iman.
Keywords: ijtihâd, hadîth, Muhammadiyah, shahîh, dla‘îf,
mutawâtir, âhâd
276
Ijtihad Muhammadiyah (Kasman)
PENDAHULUAN
Muhammadiyah sering disinyalir sebagai gerakan pembaharuan (tajdîd), 1 yang menyerukan tetap terbukanya pintu
ijtihâd, dengan kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah.2 Pembentukan Majelis Tarjih pada kongres Muhammadiyah XVII tahun
1928 di Yogyakarta, merupakan bagian dari tekad Muhammadiyah tersebut. Banyak putusan yang telah dikeluarkan oleh majlis
ini. Putusan Majlis Tarjih selama kurun waktu sejak berdiri hingga
tahun 1972 telah dibukukan dengan judul “Himpunan Putusan
Majelis Tarjih Muhammadiyah.” Buku ini banyak dikaji dan menjadi rujukan warga Muhammadiyah. Sementara putusan-putusan
Majlis Tarjih setelah tahun 1972, meskipun sudah di-tanfîdz-kan
dan dimuat dalam “Berita Resmi Muhammadiyah,” masih belum
banyak beredar di kalangan warga Muhammadiyah.
Selain persoalan fiqh dan aqidah, Majlis Tarjih juga merumuskan kaidah-kaidah tata cara ber-istidlâl. Pada Muktamar Khususi antara tahun 1929 sampai dengan 1940, Majelis Tarjih memutuskan “Kitab Beberapa Masalah” yang di dalamnya, yakni
nomor 21, berisi masalah “Ushul Fiqh”, dan pada Muktamar
Khususi Majlis Tarjih di Yogyakarta pada 29 Desember 1954
sampai dengan 3 Januari 1955 memutuskan “Masalah Lima” yang
baru di-tanfîdz-kan pada 1964.3 Hal yang menarik, dalam kitab
“Masalah Lima” terdapat definisi agama yang dirumuskan sebagai
1
Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 1980). Sebagian penulis menghubungkan gerakan Muhammadiyah
dengan pembaharuan Muhammad Abduh, antara lain, A. Mukti Ali dan Hamka.
Baca Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 132. Namun, menurut
Achmad Jainuri, sebenarnya Muhammadiyah secara formal tidak mengklaim
dirinya sebagai gerakan tajdîd sejak awal. Demikian pula, Muhammadiyah tidak
pernah mengaitkan dirinya dengan orientasi ideologi keagamaan tertentu, yang
berbeda dengan beberapa gerakan Islam di Indonesia lainnya yang muncul pada
awal abad ke-20, seperti Al-Irsyad, Persis dan NU. Muhammadiyah baru secara
resmi membuat rumusan tajdîd pada muktamar tarjih XXII di Malang tahun 1989,
dan menyatakan bahwa tajdîd merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Lihat Achmad Jainuri, “Muhammadiyah dalam Dimensi Tajdid: Tinjauan
Pemikiran Keagamaan,” dalam Maryadi dan Abdullah Aly (ed.), Muhammadiyah
dalam Kritik (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), 23-24.
2
John O. Voll, “Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Islah,”
dalam John L. Esposito (ed), Voices of Resurgent Islam (New York: Oxford University
Press, 1983), 35.
3
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan
Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 11. Lihat pula lampiran Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2003).
277
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294
berikut: “Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad, ialah apa yang diturunkan di dalam al-Qur’an dan
yang tersebut dalam Sunnah Shahîhah, berupa perintah-perintah
dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia
di dunia dan di akhirat.” 4 Dengan rumusan ini, tampak sekali
bahwa Muhammadiyah hanya ber-hujjah pada hadîs shahîh dan
menolak ke-hujjah-an hadîs dla‘îf. Pandangan seperti ini demikian
kuat menghuncam dalam pikiran sebagian besar warga Muhammadiyah. Banyak dari kalangan Muhammadiyah, terutama pada
tataran ‘akar rumput’, yakin betul bahwa semua dalil yang
digunakan dalam putusan-putusan tarjih memiliki akurasi yang
dapat diterima (maqbûl), sehingga pandangan-pandangan yang
berbeda dari apa yang diputuskan oleh Majlis Tarjih dianggap
didasarkan pada dalil yang lemah.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa hadishadis yang digunakan sebagai dasar putusan Majelis Tarjih tidak
benar-benar bebas dari hadis dla‘îf. Penelitian Chudhori pada tahun
1988 terhadap 50 hadis dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah yang dilakukan dengan tehnik proporsional random
sampling menunjukkan bahwa 15 hadis (30%) berkualitas shahîh,
19 hadis (38%) berkualitas hasan, dan 16 hadis (32%) berkualitas
dla‘îf. 5 Penelitian yang dilakukan oleh Agung Danarta terhadap
23 hadis yang terdapat dalam “Kitab Thaharah Himpunan Putusan
Tarjih Muhammadiyah” juga menemukan tiga buah hadis di
antaranya memiliki sanad dla‘îf, satu buah hadis memiliki sanad
yang marjûh (yang berarti kualitasnya juga dla‘îf), satu buah hadis
memiliki kualitas yang diperdebatkan, tetapi memiliki jalur sanad
yang banyak, satu buah hadis berkualitas hasan dan sisanya (17
buah hadis) berkualitas shahîh.6 Sementara Syamsurizal Yazid yang
meneliti 32 buah hadis dalam Himpunan Putusan Tarjih pada
Kitab Iman, Shalat dan Zakat berkesimpulan 26 buah hadis
berkualitas shahîh, 4 buah hadis berkualitas hasan dan 2 buah hadis
diperselisihkan ke-shahîh-annya.7
4
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih, 276.
Chudhori, “Hadis-Hadis Nabi dalam Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah: Sebuah Upaya Purifikasi Hadis-Hadis Nabi,” Tesis (Yogyakarta:
Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1988), 297.
6
Agung Danarta, “Cara Berwudlu Menurut Rasulullah” Jurnal Studi Ilmuilmu Al-Qur’an dan Hadis, vol. 3, no. 1, Juli 2002, http://uin-suka.info/ ejurnal/index.php?
7
Syamsurizal Yazid, Analisis Otentitas Hadis dalam Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah (Malang: Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah, 2006).
Tiga penelitian di atas terlihat sama dengan penelitian ini, tetapi sesungguhnya
berbeda. Setidaknya ada dua hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian di atas. Pertama, penelitian ini secara khusus akan menganalisis kaidah-kaidah
5
278
Ijtihad Muhammadiyah (Kasman)
Sehubungan dengan temuan di atas, ada beberapa kemungkinan. Bisa jadi, hadis yang dinilai oleh peneliti sebagai dla‘îf, ternyata termasuk hadis yang statusnya masih diperselisihkan, karena
perbedaan kriteria ke-shahîh-an hadis yang digunakannya, atau
bisa jadi pula hadis yang dinilai dla‘îf tersebut, masih dapat ditoleransi menurut kaidah ke-hujjah-an hadis yang dipeganginya, atau
bisa terjadi sebaliknya, yakni Muhammadiyah memang benarbenar tidak konsisten menerapkan kaidah ke-hujjah-an hadis yang
dirumuskannya.
Untuk itu, putusan-putusan Majlis Tarjih yang menyangkut
ke-hujjah-an hadis dan hadis-hadis yang digunakannya sebagai
dasar dalam putusan-putusan tersebut menarik untuk diteliti, khususnya putusan-putusan tarjih antara tahun 1929-1972. Putusanputusan tarjih pada masa awal tersebut perlu mendapat perhatian,
karena telah menjiwai pandangan keagamaan sebagaian besar
warga Muhammadiyah. Dengan meniliti hadis-hadis dalam
putusan-putusan Majlis Tarjih, sebagai lembaga resmi Muhammadiyah, diharapkan dapat menguak corak ijtihâd Muhammadiyah dalam persoalan hadis.
Dengan latar belakang demikian, penelitian ini akan difokuskan pada tiga persoalan: pertama, bagaimana manhaj Muhammadiyah untuk menentukan hadis yang dapat dijadikan sebagai
hujjah bidang aqidah dan ibadah. Kedua, bagaimana keadaan hadis
bidang aqidah dan ibadah dalam Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah dalam Kitab Himpunan Putusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah. Ketiga, bagaimana konsistensi Muhammadiyah
dalam merumuskan dan menerapkan kaidah ke-hujjah-an hadis
bidang aqidah dan ibadah.
ke-hujjah-an hadis yang telah dirumuskan oleh Majelis Tarjih sebagai bagian dari
upaya memahami secara konprehensif terhadap posisi manhaj Muhammadiyah
dalam menentukan ke-hujjah-an hadis. Hal ini tidak dilakukan oleh penelitian
sebelumnya. Kedua, upaya-upaya takhrîj dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
mencari data-data yang lebih mendalam dalam upaya menemukan model ijtihâd
Muhammadiyah dalam menggunakan hadis-hadis Nabi Saw. pada tataran praktis.
Dalam konteks kedua ini, analisis hadis tidak hanya berhenti pada kuantifikasi
keadaaan hadis yang ada dalam Himpunan Putusan Tarjih, sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, tetapi lebih jauh akan dilihat keterkaitannya dengan manhaj yang dibuatnya, dan adanya kemungkinan adanya
pengaruh-pengaruh tertentu dalam menentukan ke-hujjah---an hadis pada tataran
praktis.
279
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research), karena yang dijadikan obyek penelitian adalah bahanbahan pustaka. Sebagai sumber primer digunakan Himpunan
Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Sumber ini memuat putusan-putusan Majelis Tarjih sejak 1929-1972. Sedangkan sumber
sekundernya ialah buku-buku kemuhammadiyahan, kitab-kitab
ilmu hadis, dan kitab-kitab hadis untuk mempertajam dalam
menganalisis perkembangan pemikiran hadis di Muhammadiyah.
Dalam penelitian ini, digunakan tiga metode, yakni intertekstualitas, takhrîj al-hadîts dan koherensi. Untuk menjelaskan
manhaj Muhammadiyah dalam menentukan ke-hujjah-an hadis,
digunakan metode intertekstualitas, suatu metode analisis teks
yang berupaya memahami dan menjelaskan teks dalam kaitan
dengan teks-teks lain, karena sebuah teks dan ungkapan dibentuk
oleh teks yang datang sebelumnya.8 Dalam metode demikian,
kaidah-kaidah tentang ke-hujjah-an hadis yang dirumuskan oleh
Muhammadiyah dipahami dan dijelaskan dengan cara menghubungkannya dengan teks-teks yang mendahuluinya, yang
dalam hal ini adalah tulisan para ahli hadis, ahli ushûl dan pembaru.
Sementara itu, untuk melakukan penelitian terhadap karakteristik hadis, digunakan metode takhrîj al-hadîts, dalam arti: upaya
mencari kesumberan hadis, dan juga upaya mencari derajatnya.9
Mengingat hampir semua hadis yang terdapat dalam Himpunan
Putusan Tarjih telah dicantumkan mukharrij-nya, maka upaya
mencari kesumberan hadis dalam penelitian ini, dilakukan untuk
menemukan kitab yang menjadi rujukan Putusan Tarjih periode
itu, dengan cara mencocokkan redaksi matn hadis dan cara
pencantuman takhrîj-nya dengan kitab-kitab hadis yang telah ada,
baik kitab hadis primer maupun sekunder. Sedangkan upaya
mencari derajat hadis (kedaan kualitas hadis) lebih diarahkan
kepada hadis-hadis yang terindikasi dla‘îf dan menyangkut
persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan di masyarakat.
Khusus kitab Iman, juga ditelusuri keadaan hadis dari sudut
kuantitas periwayatnya, untuk memilah antara al-hadîts mutawâtir
dengan al-hadîts âhâd, dengan cara mengkomfirmasinya dalam
kitab-kitab yang berisi hal itu. Dalam meneliti kualitas hadis-hadis
8
Eriyanto, Analisis Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2006), 305-306.
Takhrîj al-hadîts ialah upaya mencari kesumberan hadis, dan juga upaya
mencari derajatnya. , sanad dan râwî hadis yang ada dalam suatu kitab yang tidak
diberi keterangan oleh penyusunnya perihal ketiga hal tersebut. Lihat, Muhammad
Ahmad dan Mudzakkir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka setia, 1998), 131-2.
9
280
Ijtihad Muhammadiyah (Kasman)
tersebut, dilakukan dengan melalui empat tahap: melakukan
takhrîj (dalam arti terbatas), melakukan i’tibar al-hadîts, melakukan
kritik terhadap hadis, baik kritik ekstern maupun intern, dan
menyimpulkan hasil penelitian.
Sedangkan metode analisis koherensi digunakan untuk
meneliti konsistensi Muhammadiyah dalam merumuskan kaidahkaidahnya dan dalam memilih hadis-hadis sebagai rujukan
terhadap persoalan yang diputuskannya. Analisis koherensi
mengasumsikan bahwa pemahaman dikatakan benar, jika semua
unsur-unsur struktural dilihat dalam satu struktur yang konsisten,
sehingga benar-benar merupakan internal structures, atau internal
relations.10 Di sini, hasil penelitian melalui takhrîj di atas kemudian
didialogkan dengan kaidah-kaidah ke-hujjah-an hadis yang telah
dibuat oleh Muhammadiyah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Majelis Tarjih telah memutuskan beberapa kaidah dan
rumusan yang bersinggungan dengan penggunaan suatu hadis
sebagai hujjah bagi ajaran agama. Kaidah dan rumusan tersebut
adalah sebagai berikut: (1) Agama, yakni agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, ialah apa yang diturunkan di
dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah Shahîhah, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk
kebaikan manusia di dunia dan di akhirat; (2) Dalam kitab Iman
disebutkan: “Kita wajib percaya akan hal yang dibawa oleh Nabi
SAW., yakni Al-Qur’an dan berita dari Nabi SAW yang mutawâtir
dan memenuhi syarat-syaratnya.” Pernyataan ini kemudian
dipertegas dengan rumusan manhaj Majelis Tarjih yang berbunyi:
“Di dalam masalah aqidah (tawhîd), hanya dipergunakan dalildalil mutawâtir”; (3) Hadîts mawqûf belaka tidak dapat dijadikan
hujjah; (4) Hadîts mawqûf yang dihukumi marfû‘ dapat dibuat hujjah;
(5) Hadîts mawqûf yang dihukumi marfû‘, apabila terdapat qarînah
yang bisa difahami ke-marfû‘an-nya kepada Rasulullah; (6) Mursal
tâbi‘î belaka tidak dapat dibuat hujjah; (7) Mursal tâbi‘î dapat dibuat
hujjah, apabila hadis itu besertakan qarînah yang menunjukkan
persambungannya; (8) Mursal shahâbî dapat dibuat hujjah, apabila
padanya terdapat qarînah yang menunjukkan persambungannya;
(9) hadis-hadis dla‘îf yang menguatkan satu pada lainnya tidak
dapat dijadikan hujjah, kecuali apabila banyak jalannya dan
terdapat padanya qarînah yang menunjukkan ketetapan asalnya,
10
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), 45.
281
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294
dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadîts shahîh; (10)
Jarh itu didahulukan daripada ta‘dîl sesudah keterangan yang jelas
dan sah menurut anggapan syara‘; (11) Riwayat orang yang telah
terkenal suka melakukan tadlîs dapat diterima bila ia menerangkan
bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersanad-sambung, sedang
tadlîs-nya itu tidak sampai tercela ke-‘âdil-annya; (12) Faham shahâbî akan perkataan musytarak pada salah satu artinya wajib
diterima.11
Dari kaidah-kaidah di atas, tampak bahwa Muhammadiyah
dalam menentukan ke-hujjah-an hadis tidak terikat dengan satu
madzhab tertentu, tetapi memilih pendapat-pendapat yang dipandangnya lebih kuat, dan kemudian merumuskan kaidahnya.
Dengan meminjam istilah dalam ilmu ushûl al-fiqh, dapat dikatakan
bahwa corak ijtihad yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam
menentukan kaidah-kaidah ke-hujjah-an hadis adalah jenis ijtihâd
tarjîhî.12
Dalam hal penentuan hadis yang dapat dijadikan hujjah
pada bidang aqidah, Muhammadiyah tampaknya terpengaruh
oleh pemikiran ketidak-hujjah-an hadîts âhâd yang disuarakan kembali oleh para pembaharu, semisal Muhammad ‘Abduh. Pemikiran
semacam ini sejatinya telah banyak berkembang di kalangan
ulama rasionalis klasik, seperti kelompok mutakallimîn Mu‘tazilah
dan ushûlîyîn Hanafîyah.13 Dalam pandangan Muhammadiyah,
11
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih, 276
dan 300-301
12
Menurut Muhammad Abû Zahrah, ada empat macam mujtahid. Pertama,
mujtahid mustaqill, yakni mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari AlQur’an dan al-Sunnah, melakukan qiyas, memberikan fatwa atas dasar kemaslahatan, dan ber-istihsân. Mereka menempuh segala cara ber-istidlâl (pengambilan
dalil) yang ditentukan sendiri dan tidak mengikuti pendapat siapa pun. Kedua,
mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang
imam pada hal-hal pokok (ushûl) dan berbeda pendapat dengan mereka dalam
hal-hal cabang (furû‘) walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil yang
serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut. Ketiga, mujtahid fi al-madhhab,
yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat imam maddhab, baik dalam hal-hal pokok
(ushûl) maupun cabang (furû‘). Usahanya hanya terbatas dalam meng-istinbâthkan atau menyimpulkan hukum-hukum bagi persoalan-persoalan yang belum
ditemui hukumnya dalam pendapat imam madhhab. Keempat, mujtahid murajjih,
yaitu mujtahid yang tidak meng-istinbâth-kan hukum-hukum, tetapi mereka hanya
melakukan tarjîh (mencari pendapat imam madhhab yang lebih kuat). Lihat,
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th), 389-396.
13
Tokoh Mu‘tazilah yang menolak ke-hujjah-an hadîth âhâd adalah ‘Abd alJabbâr, Abû al-Husayn al-Bashri. Pemikiran mereka ini kemudian mempengaruhi
mutakallimîn asy‘arîyah, seperti Al-Bâqilânî, ‘Abd al-Qâhir Al-Baghdâdî, Al-Juwaynî,
Al-Ghazâlî, Al-Râzî, dan Al-Îjî. Lihat, Munîf b. ‘Âyisy al-‘Utaybî, “Atsar al-Fikr alI‘tizâlî fî ‘Aqâid al-Asyâ‘ìrah”, Disertasi (Saudi Arabia: Jâmi‘at Umm al-Qurâ, 1999).
282
Ijtihad Muhammadiyah (Kasman)
hadis-hadis âhâd, meskipun shahîh, tidak dapat dijadikan dasar
untuk mengkonstruk ajaran bidang aqidah, karena hanya dalildalil yang mutawâtir yang dapat mengkonstruk ajaran Islam dalam
masalah aqidah (tauhîd). Pandangan ini banyak menunai kritik,
karena hal itu dapat mengeliminir terhadap beberapa persoalan
aqidah yang telah diyakini oleh mayoritas umat, termasuk sebagian besar warga Muhammadiyah, seperti siksa kubur, syafa’at, dan
lain-lain.
Sementara dalam memahami konsep al-sunnah al-shahîhah,
Muhammadiyah lebih condong pada konsep muhadditsîn mutaqaddimîn (ulama hadis sebelum tahun 400 H), yang memasukkan
hadîts hasan ke dalam hadîts shahîh. Bahkan hadîts dla‘îf yang
memiliki pendukung (awâdlid) juga dapat dinilai sebagai al-sunnah
al-shahîhah.14 Konsep sunnah juga tidak meliputi qaul dan tindakan
shahâbah (hadîts mauqûf). Dalam hal terakhir ini dapat dijadikan
hujjah, jika telah mencapai derajat ijmâ‘ atau dihukumi marfû‘.
Demikian pula, pada sebagian pemikirannya dalam menentukan ke-shahîh-an hadis, Muhammadiyah terlihat ketat, tetapi
pada sebagian pemikiran lainnya terlihat tawassuth, dan bahkan
terlihat longgar. Ketetatan itu terlihat pada persoalan yang menyangkut persyaratan ketersambungan sanad. Penolakan Muhammadiyah terhadap ke-hujjah-an hadîts mursal, termasuk mursal
shahâbî, yang tidak ditemukan qarînah yang menunjukkan ketersambungannya pada Nabi SAW, mengindikasikan hal ini. Demikian pula, persyaratan adanya qarînah yang menunjukkan
ketetapan asalnya pada hadîts dla‘îf yang memiliki banyak jalur
yang dapat dijadikan hujjah, menunjukkan ketatan. Ke-tawassuthSedang di antara ushûlîyîn Hanafîyah adalah ‘Alâ’ al-Dîn al-Samarqandî (w. 539
H), Abû al-Thanâ’ Mahmûd al-Mâturîdî (hidup pada peralihan abad ke-4 dan ke-5
H), Muhammad al-Asmandî (w. 552 H), Fakhr al-Islâm al-Bazdawî (400-482 H),
Abû Mahmûd al-‘Aynî (762-855 H) dan Al-Mullâ ‘Alî al-Qârî. Baca: Muhammad alSamarqandî, Mîzân al-Wushûl fî Natâ’ij al-‘Uqûl fî Ushûl al-Fiqh, tahqîq ‘Abd al-Malik
‘Abd al-Rahmân As‘ad al-Sa‘dî (Saudi Arabia: Jâmi‘ah Umm al-Qurâ, 1984), 632633; Mahmûd al-Mâturîdî, Kitâb fî Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Maghrib al-Islâmi,
1995), 148; Muhammad al-Asmandi, Badhl al-Nazhar fi al-Ushûl (Kaero: Maktabah
Dâr al-Turâth, 1992), 406; ‘Abd al-Azîz al-Bukhârî, Kasyf al-Asrâr ‘an Ushûl Fakhr alIslâm al-Bazdawî, vol. 3 (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, t.th.), 27; Mahmûd al-‘Aynî,
‘Umdat al-Qârî Syarh SHahîh al-Bukhârî, vol. 25 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah,
2001), 18; dan ‘Alî al-Qârî, “Adillat Mu‘taqad Abî Hanîfah al-Imâm fî Abaway
Rasûl Allâh,” dalam ‘Abd Allâh al-Ghâmidî (ed), ‘Aqîdat al-Muwahhidîn wa al-Radd
‘alâ al-DLulâl wa al-Mubtadi‘în (Ta’if: Dâr al-Tharfayn, t.th), 497.
14
Muhammad b. Ahmad al-Dhahabî, Siyar A‘lâm al-Nublâ’, vol. 7 (Beirut:
Mu’assasah al-Risâlah, 1985), 339; baca pula, Ahmad b. ‘Alî b. Hajar al-‘Asqalânî,
Al-Nukat ‘Alâ Kitâb Ibn al-Shalâh, vol. 1 (Madinah: Al-Majlis al-‘Ilmî Ihyâ’ al-Turâth
al-Islâmî al-Jâmi‘ah al-Islâmîyah Madinah, 1984), 290.
283
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294
an pandangan Muhammadiyah dalam menentukan kualitas hadis
terlihat pada persoalan yang menyangkut persyaratan ke-‘âdil-an
dan ke-dlâbith-an periwayat. Muhammadiyah tidak memandang
sikap tadlîs sebagai hal yang serta merta dapat merusak ke-‘âdilan periwayat hadis sehingga periwayatan mereka dapat diterima
sepanjang terdapat keterangan bersambung-sanad dan tindakan
tadlîs-nya tidak sampai mencederai ke-‘âdil-an periwayat tersebut.
Demikian pula, ketika terdapat perbedaan penilaian di kalangan
kritikus terhadap diri priwayat, Muhammadiyah lebih berpegang
pada penilaian yang baik, kecuali jika penialian yang mencacat
periwayat tersebut disertai dengan sebab-sebabnya. Sedangkan
sikap longgar Muhammadiyah dalam men-tashhîh hadis terlihat
dari tiadanya kaidah yang dirumuskan oleh Muhammadiyah yang
berisi kritik matn pada satu sisi, dan adanya indikasi matn hadis
yang ganjil (syudzûdz) pada sisi yang lain.
Teori-teori yang telah dirumuskan oleh Muhammadiyah
tidak keluar dari konsep al-sunnah al-shahîhah, sehingga kaidahkaidah yang dirumuskan Muhammadiyah mengenai ke-hujjah-an
hadis tidak mengandung pertentangan antara satu dengan yang
lain, atau tegasnya terdapat konsistensi.
Namun, kaidah-kaidah dimaksud tidak lepas dari kekurangan atau kelemahan. Kekurangan yang utama adalah sifatnya yang
terlalu umum. Hal ini menyebabkan kaidah-kaidah yang
dirumuskannya mengalami kesulitan dalam operasionalisasinya.
Beberapa persoalan yang menjadi “hambatan” bagi operasionalisasi kaidah-kaidah tersebut adalah:
1. Tiadanya penjelasan dan batasan tentang maksud ber-hujjah
pada dalîl mutawâtir dalam persoalan aqidah.
2. Tiadanya penjelasan tentang kriteria hadis mawqûf yang
dihukumi marfû‘.
3. Tidanya penjelasan tentang kriteria ijmâ‘ shahâbî.
4. Tidanya penjelasan tentang kriteria suatu qarînah yang dapat
digunakan untuk menyambungkan sanad hadîts mursal.
5. Tidanya penjelasan tentang kriteria tadlîs yang dapat
mencederai ke-‘âdil-an seorang mudallis.
Selain hal-hal di atas, kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh
Muhammadiyah hanya terbatas pada persoalan sanad. Kaidahkaidah yang berhubungan dengan kritik matn tidak disentuh sama
sekali oleh manhaj Majelis Tarjih.
Selanjutnya, secara praktis, Muhammadiyah juga tidak
melakukan ijtihâd sendiri untuk menentukan kualitas suatu hadis.
Muhammadiyah hanya mengandalkan terhadap penelitian284
Ijtihad Muhammadiyah (Kasman)
penelitian yang dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya terhadap
kualitas suatu hadis. Dengan demikian, ijtihad Muhammadiyah
dalam menentukan kualitas hadis juga dapat dimasukkan ke
dalam corak ijtihâd tarjîhî dan bahkan taqlîdî. Dalam hal corak
pertama, Muhammadiyah hanya memilih hadis-hadis atas dasar
penelitian ulama-ulama sebelumnya dengan tetap memperhatikan
atas kesesuaiannya terhadap kaidah-kaidah yang telah dirumuskannya.
Proses ijtihâd tarjîhî dalam menentukan kualitas hadis juga
menghadapi kendala. Kesulitan utama dalam proses ijtihad yang
bercorak demikian adalah ketika menghadapi hasil penilaian kualitas hadis yang tidak disertai argumentasi atas kesimpulannya.
Banyak kitab-kitab hadis yang hanya mencantumkan bahwa hadis
ini berkualitas dla‘îf, hasan dan shahîh, tanpa mencantumkan
argumentasi atau penjelasan mengapa hadis itu dla‘îf , hasan atau
shahîh. Dalam kasus demikian dan tidak ditemukan dalil lain,
Muhammadiyah tampaknya lebih bersikap taqlîdî, tanpa memperhatikan kaidah yang dibuatnya. Hal ini tercermin dari keputusan
Majelis Tarjih dalam persoalan salat safar, sebagaimana yang akan
dijelaskan nanti.
Kaidah ke-hujjah-an hadis yang dirumuskan oleh Muhammadiyah yang dinilai sangat ketat adalah berkenaan dengan penggunaan hadis dalam persoalan aqidah. Dalam kaidahnya, Muhammadiyah menetapkan bahwa dalam persoalan aqidah hanya berdasarkan pada khabar mutawâtir. Kaidah ini membawa konsekuensi
atas sedikitnya pembahasan persoalan aqidah oleh Majelis Tarjih,
terutama pembahasan yang dirancang sebagai putusan. Dalam
Himpunan Putusan Tarjih, hanya terdapat dua tempat yang membahas persoalan aqidah, yakni kitab iman dan hukum orang yang
mengimankan kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad
SAW.
Kitab Iman membahas persoalan rukun iman secara agak
luas dan mencerminkan pandangan teologis Muhammadiyah.
Meskipun pembahasannya agak luas, tetapi Majelis Tarjih tidak
banyak mengutip hadis sebagai dasar bagi putusannya. Tercatat
hanya terdapat sebelas hadis saja yang dikutip oleh Majelis Tarjih
sebagai dasar dalam masalah ini. Dari sebelas hadis itu, lima hadis
dapat dinilai mutawâtir, sedangkan enam di antaranya tidak
mutawâtir.
Enam hadis yang termasuk hadîts âhâd adalah sebagai
berikut:
285
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294
‫عن ابن عباس أن قوما تفكروا في ﷲ عز وجل فقال النبي صلى ﷲ عليه وسلم تفكروا‬
(‫في خلق ﷲ وال تفكروا في ﷲ فإنكم لن تقدروا قدره )رواه أبو الشيخ‬
‫ تفكروا في الخلق وال تفكروا في الخالق فإنكم ال تقدرون‬:‫عن ابن عباس أيضا بلفظ آخر‬
(‫قدره )رواه أبو الشيخ‬
‫ وأما ھذه الدار فدار الشھداء وأنا جبريل وھذا مكيائيل )رواه‬... ‫عن سمرة بن جندب‬
(‫البخاري‬
‫ بيھودى محمما مجلودا فدعاھم‬-‫صلى ﷲ عليه وسلم‬- ‫عن البراء بن عازب قال مر النبي‬
:‫ فدعا رجال من علمائھم فقال‬.‫ قالوا نعم‬.«‫فقال »ھكذا تجدون حد الزانى في كتابكم‬
‫ فقال‬.«‫ الذى أنزل التوراة على موسى ھكذا تجدون حد الزانى فى كتابكم‬Q‫»أنشدك با‬
‫اللھم ال ولوال أنك نشدتنى بھذا لم أخبرك نجد حد الزانى فى كتابنا الرجم )رواه أحمد‬
(‫وأبو داود ومسلم وابن جرير وابن المنذر‬
‫ كان خلقه القرآن‬:‫عن عائشة قالت‬
‫عن ابن عمر قال قال رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم إذا صار أھل الجنة إلى الجنة وأھل‬
‫النار إلى النار جيء بالموت حتى يجعل بين الجنة والنار فيذبح ثم ينادي مناد يا أھل‬
‫الجنة خلود فال موت ويا أھل النار خلود فال موت فيزداد أھل الجنة فرحا إلى فرحھم‬
(‫ويزداد أھل النار حزنا إلى حزنھم )أخرجه الشيخان‬
.١
.٢
.٣
.٤
.٥
.٦
Hadis ke-1 dan ke-2 dijadikan dasar oleh Majelis Tarjih untuk melarang memikirkan Dzât Allah, karena akal manusia tidak
mungkin mengetahui pengertian tentang Dzât Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Dua hadis ini
dikuatkan dengan Qs. Thâhâ ayat 110:
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang
ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi
ilmu-Nya.
Hadis ke-3 dijadikan dasar adanya malaikat yang mengemban tugas khusus, seperti malaikat Jibril dan Mîkâ’îl. Hadis ini
dijadikan dasar bersama dengan Qs. al-Baqarah ayat 98:
Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya,
rasul-rasul-Nya, Jibrîl dan Mîkâ’îl, Maka Sesungguhnya Allah
adalah musuh orang-orang kafir.
Hadis ke-4 dijadikan dasar untuk meyakini terhadap kitabkitab Allah, yang di antaranya adalah Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabî Mûsâ. Meskipun Majelis Tarjih tidak menyebutkan dalil lain yang mutawâtir, tetapi diturunkannya kitab
Taurat kepada Nabî Mûsâ telah menjadi khabar yang mutawâtir.
Hadis ke-5 dijadikan dasar bahwa al-Qur’an adalah Firman
Allah dan kitab terakhir yang diturunkan, yang memuat apa yang
286
Ijtihad Muhammadiyah (Kasman)
tidak termuat pada lainnya, mengenai syari’at, budi luhur dan
kesempurnaan hukum. Hadis ini dihadirkan sebagai penegas atas
Firman Allah dalam Qs. al-Qalam ayat 4:
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Sedangkan hadis ke-6 dijadikan dasar atas kekalnya orangorang kafir dan orang-orang musyrik dalam api neraka. Hadis ini
dijadikan penguat terhadap Firman Allah Qs. al-Bayyinah ayat 6:
Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab, dan orang-orang
yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.
Disebutkannya hadis-hadis ini bersama-sama dengan ayat
al-Qur’an, menunjukkan bahwa pokok-pokok aqidah yang diputuskan oleh Majelis Tarjih dalam Kitab Iman tidak ada yang berdasarkan khabar wâhid semata. Semuanya memiliki landasan pada
nash mutawâtir. Penyebutan hadis-hadis âhâd tersebut dimaksudkan
sebagai penguat dan penjelas terhadap ayat al-Qur’an yang disebutkannya. Meskipun demikian, keberadaan hadis-hadis yang berstatus âhâd sebagai dasar persoalan aqidah dalam Kitab Iman tetap
tidak sesuai dengan kaidah “Di dalam masalah aqidah (tawhîd),
hanya dipergunakan dalil-dalil mutawâtir.” Jadi, dapat dikatakan
bahwa Muhammadiyah belum benar-benar konsisten dalam
menerapkan kaidahnya.
Dalam menggunakan nash sebagai dasar bagi persoalan
ibadah, Muhammadiyah tidak menetapkan persyaratan yang
sangat ketat. Bagi Muhammadiyah, hadis yang dapat dijadikan
hujjah dalam masalah ibadah minimal harus al-sunnah al-shahîhah,
menurut muhadditsîn mutaqaddimîn. Dalam konsep ini, hadîts hasan
dapat dimasukkan ke dalam al-sunnah al-shahîhah, baik hasan li
dzâtih maupun hasan li ghayrih. Majelis Tarjih juga telah menetapkan kaidah atas beberapa persoalan yang diperselisihkan di
kalangan ulama hadis, seperti periwayatan seorang mudallis,
ta‘ârudl al-jarh wa al-ta‘dîl, dan lain-lain.
Meneliti terhadap hadis-hadis dalam Kitab Iman, Kitab
Shalat Jamâ‘ah dan Jum‘ah dan putusan tentang shalat-shalat
tathawwu‘, yang terdapat dalam Kitab Shalat-shalat Tathawwu’ dan
Kitab Keputusan Tarjih di Wiradesa, ternyata sebagian besar hadishadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan atau Muslim. Dari
171 hadis, 108 di antaranya dinyatakan diriwayatkan oleh Imam
287
‫‪Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294‬‬
‫‪Mâlik, al-Bukhârî dan atau Muslim, baik secara sendiri-sendiri atau‬‬
‫‪bersama dengan yang lain. Dalam ilmu hadis, periwayatan al‬‬‫‪Bukhârî dan atau Muslim dalam kitab Shahîh mereka dan Imam‬‬
‫‪Mâlik dalam kitab Muwaththa’ dinilai sebagai pernyataan ke‬‬‫‪shahîh-an hadis, yang berarti 108 hadis dari 171 hadis yang dijadi‬‬‫‪kan dasar bagi keputusan Majelis Tarjih sudah dapat dinilai shahîh.‬‬
‫‪Selanjutnya, penelusuran terhadap hadis-hadis yang dijadikan‬‬
‫‪dasar oleh Majelis Tarjih dalam kitab-kitab tahqîq dan takhrîj 15‬‬
‫‪ditemukan hanya 24 hadis yang berindikasi dla‘îf (dalam arti ada‬‬
‫)‪yang menilainya sebagai hadîts dla‘îf‬‬
‫‪Dari 24 hadis yang berindikasi dla’îf tersebut, 11 di antara‬‬‫‪nya menyangkut persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan‬‬
‫‪di masyarakat. Sebelas hadis dimaksud ialah sebagai berikut:‬‬
‫ﷲِ ْب ِن َع ْم ٍرو قَا َل قَا َل َرسُو ُل ﱠ‬
‫‪ .١‬ع َْن َع ْب ِد ﱠ‬
‫ﷲِ صلى ﷲ عليه وسلم‪ :‬لَيَأْ ِتيَ ﱠن َعلَى أُ ﱠمتِى َما أَتَى َعلَى بَنِى‬
‫ك‬
‫إِ ْس َرائِي َل َح ْذ َو النﱠ ْع ِل بِالنﱠ ْع ِل َحتﱠى إِ ْن َكانَ ِم ْنھُ ْم َم ْن أَتَى أُ ﱠمهُ َعالَنِيَةً لَ َكانَ فِى أُ ﱠمتِى َم ْن يَصْ نَ ُع َذلِ َ‬
‫َوإِ ﱠن بَنِى إِ ْس َرائِي َل تَفَ ﱠرقَ ْ‬
‫ت َعلَى ثِ ْنتَ ْي ِن َو َس ْب ِعينَ ِملﱠةً َوتَ ْفت َِر ُ‬
‫ث َو َس ْب ِعينَ ِملﱠةً ُك ﱡلھُ ْم فِى‬
‫ق أُ ﱠمتِى َعلَى ثَالَ ٍ‬
‫ار إِالﱠ ِملﱠةً َوا ِح َدةً قَالُوا َو َم ْن ِھ َى يَا َرسُو َل ﱠ‬
‫ﷲِ قَا َل َما أَنَا َعلَ ْي ِه َوأَصْ َحابِى‪ .‬قَا َل أَبُو ِعي َسى ھَ َذا‬
‫النﱠ ِ‬
‫ٌ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫ٌ‬
‫َ‬
‫يبٌ‬
‫ٌ‬
‫ﱠ‬
‫ْرفُهُ ِم ْث َل ھَ َذا إِالﱠ ِم ْن ھَ َذا ْال َوجْ ِه )رواه الترمذي(‪.‬‬
‫م‬
‫يث‬
‫َح ِد‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ال‬
‫َر‬
‫غ‬
‫ن‬
‫س‬
‫ح‬
‫ر‬
‫س‬
‫ف‬
‫َ‬
‫َ‬
‫ُ‬
‫ِ‬
‫ِ‬
‫ق‬
‫‪ .٢‬عن ابن عباس أن قوما تفكروا في ﷲ عز وجل فقال النبي صلى ﷲ عليه وسلم‪ :‬تَفَ ﱠكرُوا فِى الخ َْل ِ‬
‫ق فَإِنﱠ ُك ْم الَ تَ ْق ِدرُون قَ ْد َرهُ )رواه أبى الشيخ(‬
‫َوالَ تَفَ ﱠكرُوا فِى الخَالِ ِ‬
‫‪ .٣‬ع َْن أَبِى أُ َما َمةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل ﱠ‬
‫صفُوفَ ُك ْم َو َحا ُذوا بَ ْينَ َمنَا ِكبِ ُك ْم‬
‫ﷲِ ‪-‬صلى ﷲ عليه وسلم‪َ :-‬س ﱡووا ُ‬
‫َولَيﱢنُوا فِى أَ ْي ِدى إِ ْخ َوانِ ُك ْم َو ُس ﱡدوا ْال َخلَ َل فَإ ِ ﱠن ال ﱠش ْي َ‬
‫ف‪ .‬يَ ْعنِى أَوْ الَ َد‬
‫طانَ يَ ْد ُخ ُل فِي َما بَ ْينَ ُك ْم بِ َم ْن ِزلَ ِة ْال َح َذ ِ‬
‫صغَا َر )رواه أحمد(‬
‫الضﱠأْ ِن ال ﱢ‬
‫صلﱠى َرسُو ُل ﱠ‬
‫ﷲِ ‪-‬صلى ﷲ عليه وسلم‪ -‬الصﱡ ْب َح فَثَقُلَ ْ‬
‫ت َعلَ ْي ِه ْالقِ َرا َءةُ‬
‫ت قَا َل‪َ :‬‬
‫‪ .٤‬ع َْن ُعبَا َدةَ ْب ِن الصﱠا ِم ِ‬
‫َ‬
‫ْ‬
‫ﱠ‬
‫ْ‬
‫ُ‬
‫ْ‬
‫ُ‬
‫ُ‬
‫ُ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫َ‬
‫صرَفَ قَا َل‪ :‬إِنﱢى أ َراك ْم تق َرءُونَ َو َرا َء إِ َما ِمك ْم قا َل‪ :‬قلنَا يَا َرسُو َل ﷲِ اي َو ﷲِ‪ .‬قا َل ال تف َعلوا‬
‫فَلَ ﱠما ا ْن َ‬
‫ُ‬
‫إِالﱠ بِأ ُ ﱢم ْالقرْ آ ِن )رواه أحمد و الدارقطني و البيھقي(‬
‫‪ .٥‬ع َْن أَبِى ھُ َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل ﱠ‬
‫ﷲِ ‪-‬صلى ﷲ عليه وسلم‪ :-‬إِ َذا ِج ْئتُ ْم إِلَى ال ﱠ‬
‫صالَ ِة َونَحْ نُ ُسجُو ٌد‬
‫َ‬
‫ك ال ﱠ‬
‫صالَةَ‪).‬رواه أبو داود و الحاكم وابن‬
‫ك ال ﱠر ْك َعةَ فَقَ ْد أ ْد َر َ‬
‫فَا ْس ُجدُوا َوالَ تَ ُع ﱡدوھَا َش ْيئًا َو َم ْن أَ ْد َر َ‬
‫خزيمة(‬
‫‪َ .٦‬ع ْن أَبِى ھُ َر ْي َرةَ أَ ﱠن َرسُو َل ﱠ‬
‫ك َر ْك َعةً ِمنَ ال ﱠ‬
‫صالَ ِة قَ ْب َل أَ ْن يُقِي َم‬
‫ﷲِ صلى ﷲ عليه وسلم قَا َل‪َ :‬م ْن أَ ْد َر َ‬
‫ا ِإل َما ُم ص ُْلبَهُ فَقَ ْد أَ ْد َر َكھَا )رواه الدارقطني وصححه ابن حبان(‬
‫‪ .٧‬ع َْن َ‬
‫ب َع ِن النَبِي صلى ﷲ عليه وسلم ْال ُج ُم َعةُ َح ﱞ‬
‫ق َوا ِجبٌ َعلَى ُك ﱢل ُم ْسلِ ٍم فِى َج َما َع ٍة‬
‫ارق ْب ِن ِشھَا ٍ‬
‫ط ِ‬
‫إِالﱠ أَرْ بَ َعةً َع ْب ٌد َم ْملُو ٌ‬
‫صبِ ﱞى أَوْ َم ِريضٌ )رواه أبو داود(‬
‫ك أَ ِو ا ْم َرأَةٌ أَوْ َ‬
‫صالَ ِة َرسُو ِل ﱠ‬
‫‪َ .٨‬ح ِدي ُ‬
‫ْث ُز َرا َرة ْب ِن أَوْ فَى ‪ :‬أَ ﱠن عَائِ َشةَ رضى ﷲ عنھا ُسئِلَ ْ‬
‫ﷲِ ‪-‬صلى ﷲ عليه‬
‫ت ع َْن َ‬
‫‪ْ Chudlori,‬‬
‫ف اللﱠ ْي ِل فَقَالَ‬
‫صالَةَ‬
‫‪ Kitab-kitab‬فَ‪15‬يَرْ َك ُع أَرْ بَ َع‬
‫‪tahqîq‬يَرْ ِج ُع إِلَى أَ ْھلِ ِه‬
‫‪dan‬ا َع ٍة ثُ ﱠم‬
‫‪takhrîj‬ى َج َم‬
‫‪ْ dimaksud‬ال ِعشَا ِء ِف‬
‫ج‬
‫ى‬
‫ف‬
‫‬‫ت ‪َ :‬كانَ‬
‫َوْ‬
‫‪“Hadis-Hadis‬‬
‫صلﱢى َ‬
‫‪adalah:‬يُ َ‬
‫ِ‬
‫وسلم ِ‬
‫داود(‪Nabi Dalam Himpunan Putusan Tarjih‬‬
‫;”‪Muhammadiyah‬‬
‫‪ِ Muhammad‬ش ِه َويَنَا ُم )رواه أبو‬
‫‪ al-Tibrîzî,‬ثُ ﱠم يَأْ ِوى إِلَى فِ َرا‬
‫ت‬
‫َر َك َعا ٍ‬
‫‪Misykât al-Mashâbîh, tahqîq Nâshir al-Dîn al-Albânî; Muhammad Nâshir al-Dîn al‬‬‫ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ‬
‫;‪Ziyâdatuh‬لﱠى‪ wa‬ﱠ‬
‫‪َ Ahmad‬رسُو ِل ﱠ‬
‫‪Dla‘îf‬ل ﱠ‬
‫ص‬
‫‪ .٩‬ع َْن‬
‫ﷲِ‪ ،‬إِنﱢي‬
‫‪Hanbal,‬ا َء‪َ b.‬ر ُج ٌل إِلَى‬
‫‪ٍ Musnad,‬د‪ ،‬قَا َل‪َ :‬ج‬
‫‪ tahqîq‬اب ِن َم ْسعُوْ‬
‫ﷲِ َ‬
‫‘‪al-Jâmi‬ا َرسُو َ‬
‫‪َ al-Shaghîr‬م‪ ،‬فَقَا َل‪ :‬يَ‬
‫‪Albânî,‬‬
‫ﱠ‬
‫ﱠ‬
‫ﱠ‬
‫ﱠ‬
‫ُ‬
‫ْ‬
‫َ‬
‫صلى ﷲُ َع‬
‫;;‪ al-Arna’ûd‬ﱢل َرك َعتَ ْي ِن‪.‬‬
‫ص‬
‫;’‪al-Dlu‘afâ‬سُو ُل‬
‫‪َ Ibn‬جا َر ٍة‪ ،‬فَقَا َل َر‬
‫‪Talkhîsh‬بَحْ َر ْي ِن‬
‫;‪ُ al-Habîr‬ر َج إِلَى ْال‬
‫‪dan‬أُ ِري ُد أَ ْن أَ ْخ‬
‫ﷲِ َ‬
‫‪Al-‘Uqaylî,‬ل ْي ِه َو َسل َم‪:‬ق ْم َ‬
‫‪Hajar,‬فِي تِ‬
‫‪Syu‘ayb‬‬
‫‪Kitâb‬‬
‫‪Nâshir‬موثقون(‬
‫‪ al-Dîn‬ورجاله‬
‫‪ al-Albânî,‬الزوائد‬
‫وقال في مجمع‬
‫‪Dla‘îf‬الكبير‬
‫الطبراني في‬
‫)رواه‬
‫‪kitab-kitab Takhrîj Muhammad‬‬
‫‪yakni‬‬
‫‪Sunan al-Nasâ’î,‬‬
‫‪Silsilat al-Ahâdîth‬‬
‫‪al-Dla‘îfah‬‬
‫‪wa‬‬
‫‪al-Mawdlû‘ah,‬‬
‫’‪Irwâ‬‬
‫‪al-Ghalîl‬‬
‫‪fî‬‬
‫‪Takhrîj‬‬
‫‪Ahâdîth‬‬
‫‪Manâr‬‬
‫‪al‬‬‫‪َ .١٠‬ع ِن ال ُم ْ‬
‫ي صلى ﷲ عليه و سلم قَا َل َما َخلَ‬
‫ض َل ِم ْن‬
‫‪Dla‘îf‬لِه أَ ْف‬
‫‪ِ Sunan‬ع ْن َد أَ ْھ‬
‫‪Abî‬فَ أَ َح ٌد‬
‫‪َ dan,‬‬
‫ط ِع ِم ب ِن ال ِم ْقد َِام أَ ﱠن النَبِ ﱠ‬
‫;‪Sabîl‬‬
‫‪Dâwud.‬‬
‫َر ْك َعتَ ْي ِن يَرْ َك ُعھُ َما ِع ْن َدھُ ْم ِح ْينَ ي ُِر ْي ُد َسفَرًا )رواه الطبراني(‬
‫‪ .١١‬ع َْن عَائِ َشةَ قَالَ ْ‬
‫ص ُل فِ ْي ِھ ﱠن )رواه أحمد‬
‫ت‪َ :‬كانَ َرسُوْ ُل ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم يُوْ تِ ُر بِثَالَ ٍ‬
‫ث الَ يَ ْف ِ‬
‫‪288‬‬
‫والنسائي والبيھقي والحاكم وقال صحيح على شرط مسلم(‬
‫ َع ْن أَبِى ھُ َر ْي َرةَ أَ ﱠن َرسُو َل ﱠ‬.٦
‫ك َر ْك َعةً ِمنَ ال ﱠ‬
‫صالَ ِة قَ ْب َل أَ ْن يُقِي َم‬
َ ‫ َم ْن أَ ْد َر‬:‫ﷲِ صلى ﷲ عليه وسلم قَا َل‬
(‫ا ِإل َما ُم ص ُْلبَهُ فَقَ ْد أَ ْد َر َكھَا )رواه الدارقطني وصححه ابن حبان‬
َ ‫ ع َْن‬.٧
‫صلى ﷲ عليه وسلم ْال ُج ُم َعةُ َح ﱞ‬
‫ق َوا ِجبٌ َعلَى ُك ﱢل ُم ْسلِ ٍم فِى َج َما َع ٍة‬
‫النَبِي‬Muhammadiyah
‫ب َع ِن‬
‫ط‬
Ijtihad
ٍ ‫ارق ْب ِن ِشھَا‬
ِ (Kasman)
َ
َ
َ
َ
ُ
ً
ٌ
ٌ ‫إِالﱠ أَرْ بَ َعة َع ْب ٌد َم ْملو‬
(‫صبِ ﱞى أوْ َم ِريضٌ )رواه أبو داود‬
َ ْ‫ك أ ِو ا ْم َرأة أو‬
‫صالَ ِة َرسُو ِل ﱠ‬
ُ ‫ َح ِدي‬.٨
ْ َ‫ أَ ﱠن عَائِ َشةَ رضى ﷲ عنھا ُسئِل‬: ‫ْث ُز َرا َرة ْب ِن أَوْ فَى‬
‫صلى ﷲ عليه‬- ِ‫ﷲ‬
َ ‫ت ع َْن‬
ْ َ‫ف اللﱠ ْي ِل فَقَال‬
‫صالَةَ ْال ِعشَا ِء فِى َج َما َع ٍة ثُ ﱠم يَرْ ِج ُع إِلَى أَ ْھلِ ِه فَيَرْ َك ُع أَرْ بَ َع‬
َ ‫صلﱢى‬
َ ُ‫ َكانَ ي‬: ‫ت‬
ِ ْ‫ فِى جَو‬-‫وسلم‬
(‫ت ثُ ﱠم يَأْ ِوى إِلَى فِ َرا ِش ِه َويَنَا ُم )رواه أبو داود‬
ٍ ‫َر َك َعا‬
‫صلﱠى ﱠ‬
‫ َجا َء َر ُج ٌل إِلَى َرسُو ِل ﱠ‬:‫ قَا َل‬،‫ ع َْن اب ِن َم ْسعُوْ ٍد‬.٩
‫ يَا َرسُو َل ﱠ‬:‫ فَقَا َل‬،‫ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم‬
‫ إِنﱢي‬،ِ‫ﷲ‬
َ ِ‫ﷲ‬
‫ﱠ‬
‫ﱠ‬
‫ﱠ‬
‫ﱠ‬
ُ
ْ
َ
.‫ص ﱢل َرك َعتَ ْي ِن‬
َ ِ‫ فَقَا َل َرسُو ُل ﷲ‬،‫أُ ِري ُد أَ ْن أَ ْخ ُر َج إِلَى ْالبَحْ َر ْي ِن فِي تِ َجا َر ٍة‬
َ ‫ق ْم‬:‫صلى ﷲُ َعل ْي ِه َو َسل َم‬
(‫)رواه الطبراني في الكبير وقال في مجمع الزوائد ورجاله موثقون‬
ْ ‫ َع ِن ال ُم‬.١٠
‫ض َل ِم ْن‬
َ ‫ي صلى ﷲ عليه و سلم قَا َل َما َخلَفَ أَ َح ٌد ِع ْن َد أَ ْھلِه أَ ْف‬
‫ط ِع ِم ب ِن ال ِم ْقد َِام أَ ﱠن النَبِ ﱠ‬
(‫َر ْك َعتَ ْي ِن يَرْ َك ُعھُ َما ِع ْن َدھُ ْم ِح ْينَ ي ُِر ْي ُد َسفَرًا )رواه الطبراني‬
ْ َ‫ ع َْن عَائِ َشةَ قَال‬.١١
‫ص ُل فِ ْي ِھ ﱠن )رواه أحمد‬
ٍ َ‫ َكانَ َرسُوْ ُل ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم يُوْ تِ ُر بِثَال‬:‫ت‬
ِ ‫ث الَ يَ ْف‬
(‫والنسائي والبيھقي والحاكم وقال صحيح على شرط مسلم‬
Analisis terhadap 11 hadis tersebut ditemukan hasil bahwa
secara sendirian terdapat satu hadis dapat dinilai shahîh, satu hadis
belum dapat dinilai kualitasnya dan 9 hadis dapat dinilai dla‘îf
menurut manhaj Muhammadiyah.
Satu hadis yang berkualitas shahîh tersebut adalah hadis
ke-3, yang dijadikan dasar bagi keharusan ma’mûm mengisi shaff
yang masih terluang. Dalam perspektif muhadditsîn muta’akhkhirîn,
secara sendirian hadis ini termasuk hadis hasan, tetapi dengan
mengikutsertakan jalur-jalur lainnya dapat dinaikkan derajatnya
menjadi hadîts shahîh li ghayrih.
Sedangkan satu hadis yang belum dapat dinilai kualitasnya
menurut manhaj Muhammadiyah adalah hadis ke-8, yang dijadikan dasar mengenai tata cara shalat sunnah ba’da al-‘Isyâ’. Hadis
tersebut dari sudut sanad tidak bermasalah, tetapi dari sudut matn
berbeda dengan hadis yang lebih kuat. Dalam perspektif muhadditsîn, hadis ini dinilai syâdz. Dalam konteks manhaj Majelis Tarjih,
jenis hadis ini tidak disinggung sama sekali dalam kaidah-kaidah yang
dibuatnya. Karena itu, hadis ini belum dapat dinilai ke-hujjah-annya.
Selanjutnya, dari sembilan hadis yang secara sendirian
berstatus dla‘îf tersebut, tujuh di antaranya masih dapat diterima
menurut manhaj yang dibuat oleh Muhammadiyah, karena:
1. Hadis tersebut memiliki banyak jalur, sehingga kualitasnya
dapat menaik. Dari sembilan hadis yang secara sendirian
berkualitas dla‘îf, enam hadis di antaranya memiliki banyak
jalur, sehingga menjadi hadîts hasan dalam versi muhadditsîn
muta’akhkhirîn, dan bahkan salah satunya mencapai derajat
mutawâtir. Yang mencapai derajat mutawâtir adalah hadis ke1 (hadis tentang adanya kelompok yang terjamin keselamatannya/al-firqah al-nâjiyah). Sedangkan yang menjadi hasan (hasan
li ghayri) adalah hadis ke-2 (hadis larangan berbicara tentang
Dzât dan Sifat-Sifat Allah), hadis ke-4 (hadis tentang keharu289
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294
san ma’mûm membaca al-Fâtihah), hadis ke-5 (hadis tentang
keterhitungan ma’mûm masbûq yang mendapati rukû‘-nya imam
sebagai rakaat penuh), hadis ke-7 (hadis tentang kewajiban
melaksanakan salat Jum‘ah bagi beberapa kelompok umat Islam), dan hadis ke-11 (hadis tentang pelaksaan witir 3 raka‘at).
2. Hadis tersebut dijadikan dasar bersama dengan hadis lain yang
berkualitas shahîh. Dalam hal ini, dasar utama bagi keputusan
Majelis Tarjih adalah hadis yang berkualitas shahîh. Hadis yang
berkualitas dla‘îf ini hanya berfungsi sebagai penguat atau
penjelasan tambahan. Hadis dalam kategori ini ialah hadis ke6, yang bersama dengan hadis ke-5 dijadikan dasar oleh Majelis
Tarjih bahwa ma’mûm masbûq yang mendapati rukû‘-nya imam
telah terhitung pada raka‘at tersebut. Di samping berdasarkan
dua ini (hadis ke-5 dan ke-6), Majelis Tarjih juga mendasarkan
keputusannya pada hadis yang berkualitas shahîh, yakni hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim:
Disebutkannya hadis yang diriwayatkan oleh al-Dâruquthnî
di atas untuk menegaskan maksud hadis yang diriwayatkan
oleh al-Syaykhân ini. Dengan adanya hadis yang diriwayatkan
oleh al-Dâruquthni dan ditambah dengan hadis yang diriwayatkan Abû Dâwud, al-Hakim dan Ibn Khuzaymah di atas,
maksud kata rak‘ah dalam hadis yang diriwayatkan oleh alBukhârî dan Muslim menjadi lebih tegas, yakni bermakna rukû‘,
bukan raka‘ah.
Model pencantuman hadîts dla‘îf semacam ini dapat
ditemui dalam kitab-kitab hadis yang disusun oleh muhadditsîn
mutaqaddimîn. Dalam kitab SHâhîh Muslim, misalnya, ditemukan model seperti ini. Imam Muslim beberapa kali meriwayatkan hadis yang dalam sanadnya terdapat orang yang
dla‘îf, seperti Mathar al-Warâq, Baqîyah b. al-Walîd,
Muhammad b. Ishâq b. Yasâr, ‘Abd Allâh b. ‘Umar al-‘Umarî
dan al-Nu‘mân b. Râsyid. Hal itu dilakukan oleh Imam Muslim,
di antaranya, dimaksudkan sebagai syawâhid dan mutâbi‘ât.
Dalam kasus semacam ini, biasanya Imam Muslim pertamatama menyebutkan hadis yang shahîh, kemudian diikuti dengan
hadis yang bersanad dla‘îf, sebagai penguat dan tambahan
penjelasan atas hadis yang pertama.16
16
Abû ‘Amr ‘Uthmân b. ‘Abd al-Rahmân al-Syahrazûri Ibn Shalâh, SHiyânat
Shahîh Muslim min al-Ikhlâl wa al-Ghalath wa Himâyatuhu min al-Isqâth wa al-Saqath
(t.tp.: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1984), 95.
290
Ijtihad Muhammadiyah (Kasman)
Sementara dua hadis dla‘îf lainnya tidak layak dijadikan
hujjah bagi keputusan Majelis Tarjih menurut kaidah yang ditetapkannya. Dua hadis dimaksud adalah hadis ke-9 dan ke-10, yang
dijadikan dalil atas di-sunnah-kannya shalat dua raka‘at ketika
hendak bebergian. Analisis terhadap hadis ke-9 ini menunjukkan
bahwa hadis ini dla‘îf, karena dalam sanadnya terdapat nama ‘Abd
Allâh b. Sufyân al-Wâsithî, seorang yang dla‘îf. Sedangkan hadis
ke-10 adalah hadîts mursal.
Selanjutnya, dalam perspektif kriteria fuqahâ’, dari 11 hadis
yang dianalisis, hanya terdapat satu yang secara sendirian berkualitas dla‘îf, yakni hadis ke-2. Satu hadis inipun, jika jalur-jalur
lain diikutsertakan, dapat menguatkan hadis ini sehingga derajatnya naik menjadi hadîts shahîh. Ini artinya, sebelas hadis yang ditakhrîj dan dianalisis dalam penelitian ini semuanya berkualitas
shahîh.
Dengan analisis ini dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar hadis-hadis yang ada dalam Himpunan Putusan Tarjih sesuai dengan Manhaj Majelis Tarjih, dan hanya sebagian kecil yang
tidak konsisten dengan manhaj-nya. Realitas ini menimbulkan dugaan bahwa Majelis Tarjih dalam tataran praktis dipengaruhi oleh
pandangan fuqahâ’ dalam menentukan ke-hujjah-an hadis. Beberapa indikasi yang dapat memperkuat dugaan tersebut adalah:
1. Adanya hadis-hadis yang menurut kaidah yang ditetapkan oleh
Majelis ini tidak dapat dijadikan hujjah, seperti dalam kasus
hadis kesembilan dan kesepuluh yang dijadikan dasar bagi
shalat safar.
2. Adanya hadis yang syâdz, seperti dalam kasus hadis kedelapan
3. Banyaknya hadis yang hanya disebutkan salah seorang
mukharrij saja, padahal jalur sanad yang dipakai oleh mukharrij
itu terdapat periwayat mudallis yang meriwayatkan hadis
secara ‘an‘anah atau periwayat tersebut dinilai dengan penilaianpenilaian yang masuk dalam kategori tingkatan ketiga dan
keempat dalam tingkatan-tingkatan al-jarh wa al-ta‘dîl.
4. Sumber-sumber bacaan yang banyak beredar di Indonesia pada
waktu itu adalah sumber bacaan kitab fiqh. Tidak dipungkiri,
bahwa ada kitab-kitab hadis yang meredar pada saat itu, tetapi
kitab-kitab hadis yang beredar kebanyakan bukan kitab hadis
primer, tetapi kitab hadis sekunder sebagai hasil kontruksi
ulama fiqh.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diberikan bagan
temuan tentang Ijtihad Muhammadiyah dalam menentukan
kehujjahan hadis bidang aqidah dan ibadah:
291
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294
Tabel. Teori dan Praktek Ijtihad Muhammadiyah
dalam Menentukan Kehujjahan Hadis bidang Aqidah dan Ibadah
SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, secara teoritis, Muhammadiyah menyatakan hanya menggunakan hadîts
mutawâtir dalam menkonstruk ajaran bidang aqidah; dan mensyaratkan minimal ber-hujjah pada al-sunnah al-shahîhah (almaqbûlah) pada persoalan ibadah, dengan corak yang lebih ketat
pada kriteria ketersambungan sanad, tawassuth dalam kriteria ke‘âdil-an dan ke-dlâbith-an periwayat, dan kurang memperhatikan
pada persoalan kritik matn. Sedangkan secara praktis, Muhammadiyah tidak mengutip langsung (melakukan takhrîj) dari sumber
primer kitab hadis. Pada kitab Iman juga ditemukan 6 hadis ber292
Ijtihad Muhammadiyah (Kasman)
status hadîts âhâd. Sedangkan menyangkut kualitas hadis, tidak
ditemukan hadîts dlâ‘îf dalam kitâb Iman, tetapi ditemukan setidaknya 2 hadîts dla‘îf dalam persoalan ibadah.
Pada tataran teori, kaidah-kaidah ke-hujjah-an hadis yang
dirumuskan oleh Majelis Tarjih dapat dinilai konsisten, karena
tidak mengandung pertentangan antara satu dengan yang lain,
meskipun kaidah-kaidah tersebut masih mengandung kelemahan
dalam operasionalisasinya, karena masih bersifat umum. Pada
tataran praktek, jika dilihat dari segi prosesnya, ijtihâd Muhammadiyah dalam bidang hadis belum bercorak istiqlâlî, tetapi masih
bercorak tarjîhî dan bahkan taqlîdî; sedangkan jika dilihat dari segi
hasilnya, ijtihâd Muhammadiyah masih belum benar-benar
konsisten dalam menerapkan kaidahnya, karena masih ditemukan
hadis-hadis âhâd pada kitab Iman dan hadîth dla‘îf pada kitab
Ibadah dengan jumlah yang sangat kecil.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi
dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ahmad, Muhammad dan Mudzakkir. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka setia, 1998.
Al-Albânî, Muhammad Nâshir al-Dîn. Irwâ’ al-Ghalîl fî Takhrîj
Ahâdîts Manâr al-Sabîl. Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1979.
________. Silsilat al-Ahâdîts al-Dla‘îfah wa al-Mawdlû‘ah. Riyad:
Maktabat al-Ma‘ârif, 2004.
________. Dla‘îf al-Jâmi‘ al-Shaghîr wa Ziyâdatuh. Beirut: al-Maktab
al-Islâmî, 1988.
________. Dla‘îf Sunan Abî Dâwud. Riyad: Maktabat al-Ma‘ârif, 1998.
________. Dla‘îf Sunan al-Nasâ’î. Riyad: Maktabat al-Ma‘ârif, 1998.
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian
Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.
Chudhori. “Hadis-Hadis Nabi dalam Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah: Sebuah Upaya Purifikasi Hadis-Hadis Nabi,”
Tesis. Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1988.
Danarta, Agung. “Cara Berwudlu Menurut Rasulullah” Jurnal
Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, no. 1, Juli 2002. http:/
/uin-suka.info/ejurnal/ index.php?. 20 Mei 2010.
Eriyanto. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Ahmad b. ‘Alî. Al-Nukat ‘Alâ Kitâb Ibn alShalâh. Madinah: Al-Majlis al-‘Ilmî Ihyâ’ al-Turâts al-Islâmî
al-Jâmi‘ah al-Islâmîyah Madinah, 1984.
293
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 275-294
______. Tahdzîb al-Tahdzîb. Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, t.th.
Ibn Manshûr, Khâlid. “Ârâ’ al-Muhadditsîn fî al-Hadîts al-Hasan li Dzâtih
wa li Ghayrih,”. Disertasi, Universitas Umm al-Qurâ, 1420 H.
Ibn al-Shalâh, Abû ‘Amr ‘Utsmân b. ‘Abd al-Rahmân al-Syahrazûrî.
Shiyânat Shahîh Muslim min al-Ikhlâl wa al-Ghalath wa Himâyatuhu
min al-Isqâth wa al-Saqath. t.tp.: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1984.
‘Itr, Nûr al-Dîn. Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts. Damaskus: Dâr alFikr, 1988.
Jainuri, Achmad. “Muhammadiyah dalam Dimensi Tajdid: Tinjauan
Pemikiran Keagamaan,” dalam Maryadi dan Abdullah Aly.
ed. Muhammadiyah dalam Kritik. Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2000.
______. Ideolgi Kaum Reformis, terj. Ahmad Nur Fuad. Surabaya: lpam,
2002.
John O. Voll. “Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and
Islah,” dalam John L. Esposito. ed., Voices of Resurgent Islam.
New York: Oxford University Press, 1983.
Al-Kattânî, Muhammad Ja‘far. Nazhm al-Mutanâtsir min al-Hadîts
al-Mutawâtir. http://www. Maktabah.com. 15 Mei 2010.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta:
Pustaka LP3ES, 1980.
Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam: dalam Perspektif Historis dan Ideologis.
Yogyakarta: LPPI, 2000.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tim Majlis Tarjih dan Tajdid. Fatwafatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama, vol. 1-5. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2004.
______. “Tanfidz Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII,”
Berita Resmi Muhammadiyah nomor khusus, 1990.
______. Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2003.
______. Muqaddimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005.
______. Kepribadian Muhammadiyah. Hasil Keputusan Muktamar
Muhammadiyah, 1962.
______. Qa’idah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2000.
______. Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Majlis Tarjih, 1971.
Al-‘Utaybî, Munîf b. ‘Âyisy. “Atsar al-Fikr al-I‘tizâlî fî ‘Aqâid al-Asyâ‘ìrah”,
Disertasi . Saudi Arabia: Jâmi‘at Umm al-Qurâ, 1999.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Yazid, Syamsurizal. Analisis Otentitas Hadis dalam Himpunan Putusan
Tarjih Muhammadiyah. Malang: Lembaga Penelitian Universitas
Muhammadiyah, 2006.
Zahrah,Muhammad Abû. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî,
t.th.
294
Download