PENDUGAAN KETINGGIAN PLANETARY BOUNDARY LAYER (PBL) DI BEBERAPA LOKASI DI WILAYAH INDONESIA MENGGUNAKAN METODE EMPIRIS MUHAMMAD THAISIR DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia Menggunakan Metode Empiris adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Muhammad Thaisir NIM G24100010 ABSTRAK MUHAMMAD THAISIR. Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia Menggunakan Metode Empiris. Dibimbing oleh AHMAD BEY. Pendugaan ketinggian PBL dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode empiris diantaranya, gradien suhu potensial, kelembaban spesifik, kelembabn relatif, profil refractiviti, elevated inversion (EI) dan Surface-Based Inversion (SBI). Kelima metode (kecuali SBI) tersebut umumnya menghasilkan perkiraan ketinggian yang berbeda sampai beberapa ratus meter. Metode gradien kelembaban spesifik (q) dan kelembaban relatif (RH) secara konsisten menghasilkan perkiraan ketinggian PBL yang lebih tinggi dari yang lainnya sebesar ±3.6 km, sedangkan gradien suhu potensial menghasilkan ketinggian PBL yang lebih rendah dengan nilai rata-rata sebesar ±1.7 km. Pola musiman dan diurnal sering dikaitkan dengan fenomena iklim lokal, seperti radiasi gelombang panjang pada malam hari, inversi suhu dan konveksi tropis. Umumnya SurfaceBased Inversion (SBI) memiliki ketinggian yang lebih rendah dari ketinggian PBL. SBI tidak terjadi di dua lokasi di wilayah Indonesia pada pukul 00.00 UTC sedangkan pada pukul 12.00 UTC, SBI terjadi di delapan lokasi di wilayah indonesia. Menduga ketinggian PBL dengan menggunakan data radiosonde dipengaruhi kepekaan resolusi vertikal data radiosonde. Semakin tinggi resolusi data, ketinggian PBL yang dihasilkan lebih tinggi dan lebih akurat. Ketinggian PBL musiman dan harian antar metode dapat dievaluasi dengan menggunakan uji statistik t dan F. Median pendugaan ketinggian PBL antar metode sekitar 1-2 km. Kata kunci: Palanetary Boundary Layer, metode empiris, Inversi, musiman, diurnal ABSTRACT MUHAMMAD THAISIR. Estimation of Planetary Boundary Layer height (PBL) at Multiple Locations in Indonesia Region Using Empirical Methods. Supervised by AHMAD BEY. PBL heights estimation can be performed using several empirical methods namely gradient of, potential temperature, specific humidity, relative humidity, refractivity profiles, elevated inversion (EI) and Surface-Based Inversion (SBI) from radiosonde data set at 13 locations in Indonesia. The methods (except SBI) generally produce estimates of heights which differ by several hundred meters. Specific humidity and relative humidity gradient methods consistently produce higher PBL estimate, while the potential temperature gradient produces lowest PBL heights with an average value of ± 1.7 km. Seasonal and diurnal patterns are often associated with local climatic phenomena, such as long-wave radiation at night, the temperature inversion and tropical convection. In general, SBI is lower than PBL. Only two locations did not indicate SBI occurrence at 00.00 UTC, while at 12:00 UTC, SBI occurred in eight locations showed SBI occurrence. PBL height estimation using radiosonde data is affected by the sensitivity of vertical resolution radiosonde data. The higher data resolution will produce more accurate of estimation. Seasonal and diurnal PBL height between the methods is evaluated using t and F statistics. The PBL median heights estimated by the methods very by 1-2 km. Keywords: Palanetary Boundary Layer, empirical methods, Inversion, seasonal, diurnal PENDUGAAN KETINGGIAN PLANETARY BOUNDARY LAYER (PBL) DI BEBERAPA LOKASI DI WILAYAH INDONESIA MENGGUNAKAN METODE EMPIRIS MUHAMMAD THAISIR Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Judul Skripsi : Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia Menggunakan Metode Empiris Nama NIM : Muhammad Thaisir : G24100010 Disetujui oleh Prof Dr Ahmad Bey Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah kajian atmosfer, dengan judul Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia Menggunakan Metode Empiris. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku pembimbing yang banyak memberikan masukan arahan serta motivasi dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta Bapak Sonny Setiawan S.si M.si yang telah banyak memberi saran dan semangat. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman GFM 47 yang telah memberikan saran, masukan dan motivasinya khususnya Givo Alsepan dan teman satu atap Ricky vidian, Tengku Haekal serta Rian karida pratama, serta adik-adik GFM 49 atas motivasi dan semangatnya, khususnya buat Ari, Eki dan Benny. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2014 Muhammad Thaisir DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 3 TINJAUAN PUSTAKA 3 Konsep dasar dan struktur PBL 3 Stabilitas Atmosfer 5 Karakteristik iklim/cuaca di Indonesia 7 Pola suhu Indonesia 7 Pola Curah Hujan Indonesia 7 METODE 8 Waktu dan Tempat 8 Bahan 8 Alat 8 Prosedur Analisis Data 8 Uji Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN 11 12 Surface Based Inversions (SBI) 12 Perbedaan sistematis antara metode 13 Pola musiman dan diurnal 17 SIMPULAN DAN SARAN 21 Simpulan 21 Saran 21 DAFTAR PUSTAKA 22 RIWAYAT HIDUP 24 RIWAYAT HIDUP 23 DAFTAR TABEL 1 2 3 Parameter meteorologi yang digunakan untuk menduga ketinggian PBL dan persamaannya. Hasil uji statistik dari ke-lima metode perkiraan ketinggian PBL. Metode untuk memperkirakan tinggi PBL dan persentase kasus dengan signifikan perubahan musiman dan signifikan perbedaan diurnal ketinggian PBL. 9 16 18 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 Peta 13 lokasi stasiun radiosonde dalam penelitian ini (lokasi stasiun ditandai dengan titik-titik hitam), memiliki pengamatan secara vertikal dengan resolusi tinggi dan digunakan untuk menganalisis pengaruh resolusi vertikal penghitungan tinggi PBL. Letak PBL di atmosfer (Modifikasi dari Stull 2000). Komponen PBL pada siang hari dan malam hari (Modifikasi Stull 1999). Karakteristik parameter stabilitas non-lokal berdasarkan suhu potensial virtual (Stull 1999). Kejadian Surface Based Inversion (SBI) secara diurnal pada malam hari pukul 12.00 UTC (a) dan pagi hari pukul 00.00 UTC (b) dengan fungsi dari lintang stasiun. Batas perkiraan ketinggian PBL dengan menggunakan lima metode untuk lokasi Padang (a) & (b) pukul 00.00 UTC 9 Januari & 13 Juni 2011 dan Merauke (c) pukul 00.00 UTC 9 Januari 2011. Nilai rata-rata median tinggi PBL semua stasiun selama satu tahun, diestimasi dengan menggunakan enam metode, pada pukul 00.00 UTC (a) dan pukul 12.00 UTC (b). Nilai pertama q, θ,N,RH & elevated inversion (EI) untuk tinggi PBL dan nilai kedua (SBI) untuk inversi permukaan.Nilai SBI dikali 10 untuk melihat pola ketinggiannya pada diagram (nilai SBI yang dihasilkan terlalu kecil dibandingkan dengan yang lainnya). Nilai kuartil (Q2) musiman dan tahunan tinggi PBL di medan (8.50 S, 140.380 E) berdasarkan data tahun 2011 pada pagi hari waktu lokal (00.00 UTC) (a) dan malam hari waktu lokal (12.00 UTC) (b). Nilai SBI dikali 10 untuk melihat pola ketinggiannya pada diagram (nilai SBI yang dihasilkan terlalu kecil dibandingkan dengan yang lainnya). 2 4 5 6 12 14 15 19 PENDAHULUAN Latar Belakang Atmosfer merupakan lapisan massa udara yang menyelimuti bumi terdiri dari empat lapisan, seperti troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer yang memiliki fungsi masing-masing terhadap kondisi di bumi. Lapisan atmosfer paling bawah adalah lapisan troposfer dimana lapisan ini langsung berbatasan dengan permukaan bumi (lapisan yang paling dekat dengan permukaan bumi). Di antara lapisan troposfer dan permukaan bumi terdapat lapisan perbatas atau yang sering disebut dengan boudary layer. Interaksi permukaan dengan atmosfer lapisan terbawah yang terjadi dalam waktu kurang dari satu hari disebut dengan Atmospheric Boundary Layer (ABL) atau yang biasa dikenal sebagai Planetary Boundary Layer (PBL) ( Tucker et al, 2009). Ketinggian PBL bervariasi terhadap ruang dan waktu, sehingga dalam pendugaan ketinggian PBL digunakan variasi diurnal dari profil vertikal suhu, kelembaban, dan angin. Di daratan, PBL maksimum terjadi pada siang hari, karena konveksi maksimum terjadi pada siang hari. Ketebalan PBL di daratan lebih kecil dibandingkan dengan lautan, disebabkan kapasitas panas lautan yang lebih besar dari pada daratan. Akibatnya suhu yang sangat kecil pada lautan dapat menyerap panas dalam jumlah yang besar ( Medeiros et al, 2005 ). Seibert et al. (2000) dan Affandi (2010) mengemukakan bahwa dalam pendugaan dispersi polutan, kegiatan penerbangan, dan peramalan cuaca diperlukan pendugaan ketinggian PBL. Berdasarkan informasi ketinggian PBL, proses-proses yang terjadi dilautan dan permukaan dapat diketahui seperti pertukaran udara, produktivitas, perubahan iklim jangka panjang dan proses yang terjadi antara permukaan dengan lapisan troposfer, dengan begitu model–model prediksi yang sesuai dapat dirancang (Thomson dan Fine, 2003) .Secara umum, daerah yang beriklim tropis memiliki PBL yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah beriklim subtropis. Wiliyah tropis mengalami penyinaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah subteropis yang menyebabkan suhu permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu parsel udara diatasnya sehingga menyebabkan ketinggian PBL menjadi lebih tinggi. Indonesia merupakan negara tropis yang di lintasi oleh ekuator dengan intensitas penyinaran radiasi surya yang tinggi. Kondisi klimatologi tersebut sangat berpengaruh terhadap ketinggian PBL yang merupakan salah satu dispersi massa udara yang ada di atmosfer. Adanya ketinggian PBL ini dapat digunakan untuk menduga kondisi klimatologi yang akan terjadi di Indonesia dan perubahan klimatologi yang mungkin terjadi. Observasi ketinggian PBL masih jarang dilakukan di Indonesia, karena keterbatasan data observasi. Selain itu, klimatologi Planetary Boundery Layer (PBL) dapat digunakan untuk evaluasi iklim, cuaca dan model kualitas udara untuk karakteristik variabilitas PBL dalam skala ruang dan waktu yang besar. Berdasarkan hal itu, penelitian dilakukan dengan pendugaan (estimasi) ketinggian PBL menggunakan enam metode yaitu gradien suhu potensial, kelembaban spesifik, kelembabn relatif, profil refractiviti, elevated inversion dan Surface-Based Inversion (SBI) dari kumpulan data radiosonde pada 13 lokasi di wilayah Indonesia seperti bagian Indonesia barat (Medan, Padang, 2 P.Pinang, Renai, Cengkareng dan Surabaya), Indonesia tengah (Ambon, Kupang, Makasar, Palu, dan Manado) dan Indonesia timur (Biak dan Merauke). Informasi ketinggian PBL ini dapat digunakan untuk estimasi pendugaan kejadian klimatologi yang kemungkinan terjadi di Indonesia (kondisi-kondisi iklim/cuaca yang kemungkinan terjadi). Gambar 1 Peta 13 lokasi stasiun radiosonde dalam penelitian ini (lokasi stasiun ditandai dengan titik-titik hitam), memiliki pengamatan secara vertikal dengan resolusi tinggi dan digunakan untuk menganalisis pengaruh resolusi vertikal penghitungan tinggi PBL. Tujuan Penelitian 1.Memahami beberapa metode empiris untuk menduga ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL). 2.Mengkaji profil/variasi musiman dan diurnal tinggi Planetary Boundary Layer (PBL). Manfaat Penelitian Mengetahu ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL) secara umum di wilayah Indonesia dan mengaplikasikan beberapa metode untuk menduga ketingggian PBL. Pendugaan ketinggian PBL diperlukan dalam mendukung penelitian/kejadian pendugaan dispersi polutan, kegiatan penerbangan, dan peramalan cuaca pada masa yang akan datang. 3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rdiosonde 13 lokasi di wilayah Indonesia seperti bagian Indonesia barat (Medan 3.570N-98.60E, Padang 0.880S-100.30E, P.Pinang 2170S-106.130E, Renai 3.950N-108.380E, Cengkareng 6.120S-106.650E dan Surabaya 7.370S-112.770E), Indonesia tengah (Ambon 3.70S-128.080E, Kupang 10.170S-123.670E, Makassar 5.070S-119.050E, Palu 0.680S-119.730E, dan Manado 1530N-124.920E) dan Indonesia timur (Biak 1.180S-136.120E dan Merauke 8.470S-140.380E). TINJAUAN PUSTAKA Konsep dasar dan struktur PBL Planetary Boundary Layer (PBL) atau disebut Atmospheric Boundary layer (ABL) merupakan bagian terendah dari atmosfer dan karakteristikya secara langsung dipengaruhi oleh interaksi dengan permukaan bumi. Stull (1999) menjelaskan bahwa PBL adalah bagian dari troposfer yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan merespon gaya-gaya permukaan dalam rentang waktu satu jam atau kurang. Sehingga tingkat kekasaran dan aktivitas yang berlangsung dipermukaan bumi sangat mempengaruhi tinggi PBL. Ketinggian yang rendah terjadi saat pagi dan malam hari sedangkan menjelang siang ketinggian PBL mengalami kenaikan . Ketinggian PBL yang rendah saat pagi dan malam hari dikarena tingkat turbulensi yang terjadi dan berpengaruh terhadap ketinggian PBL sangat rendah jika dibanding dengan turbulensi yang terjadi saat siang hari, kondisi siang hari dengan tingkat penyinaran yang kuat. Perubahan yang terjadi pada lapisan ini terjadi dalam rentang waktu kuran dari satu jam. Setelah melewati puncak PBL merupakan atmosfer bebas dengan kondisi angin merupakan angin geostropik (angin yang sejajar dengan isobar) sementara dalam PBL angin yang terjadi dipengaruhi kekasaran permukaan dan melintasi isobar. Lapisan atmosfer bebas ini biasanya bebas turbulensi dan hanya terjadi golakan yang bersifat insidental. Turbulensi dapat dihasilkan dari gaya apung (bouyancy) dan shear angin yang memiliki interaksi dengan panas permukaan. Adanya turbulensi ini merupakan salah satu karakteristik unik yang dimiliki PBL. Turbulensi semakin kuat jika permukaan lebih panas dibandingkan dengan udara yang ada diatasnya, dan turbulensi akan melemah jika permukaan lebih dingin dibandingkan dengan udara atasnya (Hoffert dan Sud 1976). Seperti yang ditunjukkan Gambar 2, diatas lapisan PBL udara dipengaruhi oleh clear air turbulence (CAT) dan profil suhu sama dengan skenario atmosfer standar, sehingga lapisan ini disebut Free Atmosphere (FA) (Wyngaard 1985). 4 1,5 km Gambar 2 Letak PBL di atmosfer (Modifikasi dari Stull 2000). PBL merupakan lapisan yang sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi. Interaksi antara PBL dan permukaan bumi dapat menyebabkan terjadinya prosesproses unik yang menunjukan karakteristik PBL. Karakteristik PBL tersebut dapat diketahui dari beberapa unsur-unsur meteorologi dan juga kondisi stabilitas atmosfer. Adapun unsur-unsur meteorologi yang mencirikan karakteristik PBL antara lain suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin. Menurut Arya (2001) pada siang hari, terjadi pemanasan secara terus menerus dan pencampuran termal, sehingga ketebalan PBL meningkat sepanjang hari dan akan mencapai ketebalan maksimum ketika sore hari yang besarnya dapat mencapai ±0.2-5 km. Selanjutnya saat matahari terbenam, mulai terjadi pendinginan di daratan yang menyebabkan turbulensi semakin lemah sehingga ketebalan PBL hanya mencapai ±20-500 m. Oleh karena itu, ketebalan PBL sangat dipengaruhi oleh pemanasan dan pendinginan di permukaan secara diurnal (harian). Di daerah lintang tengah, selama musim panas siang harinya akan lebih panjang dibandingkan malam hari, sehingga lebih banyak terjadi pemanasan selama siang hari dibandingkan pendinginan pada malam harinya. Oleh karena itu, ketebalan PBL di musim panas akan lebih tinggi. Sebaliknya, saat terjadi musim dingin malam hari akan lebih panjang dibandingkan siang hari, sehingga pendinginan permukaan akan lebih dominan. Oleh karena itu, ketebalan PBL menjadi lebih rendah pada musim dingin (Stull 2000). Menurut Stull (2000) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, PBL terdiri dari tiga komponen yaitu Mixed Layer (ML) yang terbentuk pada siang hari saat kondisi atmosfer tidak stabil. Sedangkan pada malam hari, terdapat Stable Boundary Layer (SBL) yang terbentuk saat kondisi atmosfer stabil dan Residual Layer (RL) yang terbentuk saat kondisi atmosfer netral. Pada PBL bagian bawah terdapat lapisan yang disebut Surface Layer (SL) dengan ketinggian mencapai 100 meter dari permukaan bumi. Pada lapisan ini gaya gesekan, konduksi panas, dan evaporasi dari permukaan menyebabkan kecepatan angin, suhu, dan kelembaban berubah terhadap ketinggian. Di mana suhu potensial meningkat secara perlahanlahan terhadap ketinggian dan kelembaban meningkat secara cepat terhadap ketinggian (Gupta 1998), tetapi pada lapisan SL aliran turbulen relatif konstan terhadap ketinggian, sehingga lapisan ini dapat disebut juga constant flux layer (Stull 2000). Kaimal et al. (1976) menyatakan bahwa di atas SL terdapat lapisan ML yang terjadi pada siang hari. Pada lapisan ini suhu potensial, kelembaban, dan kecepatan angin cenderung konstan terhadap naiknya ketinggian. Di ML dicirikan 5 dengan adanya turbulensi yang sangat kuat, sehingga lapisan ini sering disebut juga Convective Boundary Layer (CBL) atau Convective Mixed Layer. Entrainment Zone (EZ) merupakan lapisan yang sangat stabil dan berada di antara ML dan FA. Pada malam hari, di lapisan EZ tidak terjadi turbulensi, sehingga ketika malam hari lapisan ini disebut juga Capping Inversion (CI) (Sullivan et al. 1998). Gambar 3 Komponen PBL pada siang hari dan malam hari (Modifikasi Stull 1999). Stabilitas Atmosfer Stabilitas atmosfer adalah kondisi yang menunjukkan kecenderungan parsel udara bergerak secara vertikal (naik atau turun). Stabilitas atmosfer terdiri dari dua macam, yaitu stabilitas statis dan stabilitas dinamis. Pada stabilitas statis, dalam penentuan stabilitas atmosfer hanya mempertimbangkan gaya apung (bouyancy force). Sedangkan pada stabilitas dinamis dipertimbangkan pula faktor shear angin (Stull 2000). Stabilitas statis memiliki tiga kondisi atmosfer, yaitu tidak stabil, netral, dan stabil. Kondisi atmosfer tersebut didasarkan pada laju penurunan suhu terhadap ketinggian (lapse rate). Lapse rate memiliki tiga kategori, yaitu SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate), DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate), dan ELR (Environmental Lapse Rate). Kondisi atmosfer tidak stabil adalah kondisi parsel udara cenderung terus naik atau turun dari posisi awalnya, biasanya terjadi ketika suhu lingkungan lebih cepat dingin dibandingkan suhu parsel atau laju penurunan suhu lingkungan lebih besar dibandingkan laju adiabatik kering (ELR>DALR). Sedangkan kondisi netral adalah kondisi parsel udara tetap pada posisi awalnya, biasanya terjadi ketika laju penurunan suhu parsel sama dengan laju penurunan suhu lingkungan (ELR = DALR). Kondisi stabil adalah kondisi parsel udara cenderung kembali ke posisi awalnya setelah naik atau turun, biasanya terjadi ketika suhu parsel lebih cepat dingin dibandingkan suhu lingkungannya atau laju penurunan suhu lingkungan lebih kecil dibandingkan laju penurunan adiabatik kering (ELR<DALR). Stabilitas statis non-lokal penting dalam menggambarkan stabilitas atmosfer karena stabilitas statis non-lokal merupakan pelengkap dari parameter stabilitas statis lokal yang dianggap kurang relevan dalam menggambarkan 6 stabilitas atmosfer. Pada stabilitas statis lokal, stabilitas atmosfer ditunjukkan dengan parameter stabilitas statis (s) yang dirumuskan sebagai berikut : ππ ππππ π π = ππ × πππππ£π£ (1) π£π£ Dalam menentukan stabilitas atmosfer pada masing-masing lapisan, parsel udara bergerak naik dan turun dari titik asal. Dalam prakteknya, dapat dilihat dari titik maksimum atau minimum suhu potensial virtual. Parsel udara bergerak naik atau turun dari posisi awalnya tergantung pada gaya apung parsel bukan lapse rate lokal. Gaya apung parsel pada setiap ketinggian diketahui dari perbedaan antara suhu potensial virtual parsel dengan suhu potensial virtual lingkungannya pada ketinggian tersebut. Gaya apung parsel udara hangat untuk naik dan gaya apung parsel udara dingin untuk turun. Kemudian parsel udara bergerak dari titik asalnya sampai ketinggian di mana parsel udara tersebut akan neutrally buoyant. Dengan demikian stabilitas statis non-lokal dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu unstable, stable, neutral, dan unknown (Arya 1999). Gambar 4 Karakteristik parameter stabilitas non-lokal berdasarkan suhu potensial virtual (Stull 1999). Stabilitas dinamis dapat ditentukan dengan menggunakan parameter Richardson number (Ri) yang tidak memiliki dimensi. Adapun rumus untuk menghitung Ri yaitu: (2) Di mana θv merupakan suhu potensial virtual, U dan V merupakan kecepatan angin, dan g merupakan percepatan gravitasi. Richardson number (Ri) menunjukkan rasio antara gaya apung dengan shear angin. Menurut Tjernstrom et al. (2008), nilai Ri dapat digunakan untuk mengetahui adanya aliran turbulensi yang terjadi pada suatu lapisan. Apabila Ri bernilai negatif maka turbulensi yang terjadi akan cenderung kuat, sedangkan apabila Ri bernilai positif maka turbulensi yang terjadi akan cenderung melemah. 7 Karakteristik iklim/cuaca di Indonesia Secara umum, Indonesia berada pada zone iklim tropis karena posisi lintangnya yang terletak antara 6°LU–11°LS. Namun karena adanya berbagai faktor geograο¬s, pola iklim negara Indonesia memiliki karakteristik tersendiri. Beberapa faktor yang mempengaruhi pola iklim Indonesia antara lain sebagai berikut: • Letak wilayah Indonesia di sekitar ekuator mengakibatkan rata-rata suhu tahunan senantiasa tinggi (suhu bulan terdingin masih di atas 18°C), karena penyinaran Matahari senantiasa tegak. • Letak kepulauan Indonesia di sekitar ekuator mengakibatkan sebagian besar wilayahnya berada pada kawasan angin tenang (doldrum) sehingga terbebas dari bencana akibat badai tropis (siklon). • Bentuk wilayah Indonesia berupa kepulauan yang dikelilingi laut mengakibatkan rata-rata kelembapan udara tinggi, bahkan pada musim kemaraupun kelembapan relatifnya masih di atas 70%-80%. • Posisi negara Indonesia yang diapit oleh samudra dan benua mengakibatkan pola iklim Indonesia dipengaruhi sirkulasi angin muson yang berembus dari benua Asia atau Australia. Pola suhu Indonesia Kondisi suhu udara di atas kepulauan Indonesia senantiasa berkisar sepanjang tahun rata-rata di atas 18°C. Suhu udara harian biasanya mencapai puncaknya sekitar pukul 14.00-15.00, sedangkan suhu terendah biasanya sekitar pukul 05.00-06.00. Selain itu, rata-rata suhu harian dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian. Pola Curah Hujan Indonesia Curah hujan di wilayah Indonesia berbeda-beda di berbagai tempat. Terdapat daerah-daerah yang memiliki curah hujan sangat tinggi, namun ada pula yang relatif rendah. Secara umum, rata-rata curah hujan kawasan Indonesia bagian barat lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengah dan timur. Oleh karena posisi lintang Indonesia terletak di sekitar ekuator, pola curah hujan di atas wilayah Indonesia dipengaruhi oleh pergeseran Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT). Bulan-bulan yang memiliki curah hujan terbanyak biasanya sesuai dengan posisi DKAT. Sebagai contoh, wilayah Pulau Jawa dilalui oleh garis DKAT sekitar Januari dan Februari. Pada bulan-bulan inilah curah hujan Pulau Jawa mencapai titik tertinggi. Adapun pengaruh DKAT adalah di wilayah tersebut massa udara naik secara vertikal ke atmosfer sehingga banyak membentuk awan dan mengakibatkan turunnya hujan zenithal atau hujan konveksional. Berdasarkan rata-rata curah hujan tahunan, Kepulauan Indonesia dibagi ke dalam empat daerah hujan, yaitu sebagai berikut: 8 1. Daerah curah hujan di atas 3.000 mm/tahun, yaitu wilayah dataran tinggi Sumatra Barat, Kalimantan Tengah, beberapa daerah di Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Lombok, dan dataran tinggi Papua. 2. Daerah curah hujan antara 2.000–3.000 mm/tahun, yaitu sebagian wilayah Sumatra Timur, Kalimantan Selatan dan Timur, sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian besar wilayah Papua dan Maluku. 3. Daerah curah hujan di atas 1.000–2.000 mm/tahun, yaitu sebagian besar wilayah Nusa Tenggara, Kepulauan Aru dan Kepulauan Tanimbar, serta daerah Merauke.Daerah curah hujan kurang dari 1.000 mm/tahun, meliputi wilayah padang rumput di Nusa Tenggara, kota Palu dan Luwuk Sulawesi Tengah. METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Juni 2014 di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB. Bahan Bahan yang digunakan data radiosonde 13 lokasi di Indonesia yaitu Indonesia barat (Medan 3.570N-98.60E, Padang 0.880S-100.30E, P.Pinang 2170S106.130E, Renai 3.950N-108.380E, Cengkareng 6.120S-106.650E dan Surabaya 7.370S-112.770E), Indonesia tengah (Ambon 3.70S-128.080E, Kupang 10.170S123.670E, Makasar 5.070S-119.050E, Palu 0.680S-119.730E, dan Manado 1530N124.920E) dan Indonesia timur (Biak 1.180S-136.120E dan Merauke 8.470S140.380E). Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak Microsoft Office dan Microsoft Excel untuk pengolahan data. Prosedur Analisis Data Penentuan nilai variabel-variabel meteorologi yang menunjukkan karakter PBL. Tabel 1 merupakan beberapa parameter meteorologi yang digunakan untuk menduga ketinggian PBL. Parameter tersebut digunakan untuk mendukung penggunaan medote dalam pendugaan ketinggian PBL. 9 Tabel 1 Parameter meteorologi yang digunakan untuk menduga ketinggian PBL dan persamaannya. Parameter Tekanan uap air Deskripsi Tekanan pada suhu tertentu akibat tekanan uap air suatu larutan. Lambang e Satuan mb Persamaan w e= P w+w Tekanan uap air jenuh Tekanan pada suhu tertentu akibat tekanan uap air jenuh suatu larutan. es mb Suhu virtual Suhu khayal di definisikan sebagai suhu yang harus dimiliki oleh udara kering agar memiliki kerapatan seperti udara lembab pada tekanan yang sama. Tv K Tv=T(1+0.061w) Suhu potensial Suhu udara yang mengembang dan menyusut secara adiabatik ke ketinggian P0=1000mb. θ K 1000mb 0.286 θ=T οΏ½ οΏ½ P Suhu potensial virtual Suhu udara virtual yang mengembang dan menyusut secara adiabatik ke ketinggian P0=1000mb. θv K 1000mb 0.286 θ=Tv οΏ½ οΏ½ P Mixing ratio Perbandingan antara massa uap air dengan massa udara kering. w g/kg w= 0.622eοΏ½(P-e) Kelembaban spesifik Perbandingan antara massa uap air dengan massa total udara lembab. q % q= 0.622eοΏ½(P-0.378e) Kelembaban Relatif Istilah yang digunakan untuk menggambarkan jumlah uap air yang terkandung di dalam campuran air-udara dalam fase gas. RH % Refraktiviti Indeks bias atau pembelokan berkas cahaya dari satu medium ke medium lain yang memiliki densitas yang berbeda. N mb es=e0 exp οΏ½ Lv 1 1 οΏ½ - οΏ½οΏ½ R v T0 T R= wοΏ½ws N=77.6 P e +3.77×105 2 T T 10 Konstanta: a b ε P0 Kd : 7.567 : 239.7 : Rd/Rv = 0.622 : 1000 mb : Rd/Cp = 0.286 dimana a&bο T>0 Metode refraktiviti (N) Ketinggian PBL dapat dilihat dari profil gradien vertikal dari refraktiviti. Refraktiviti (N) berhubungan dengan P, T dan e (tekanan parsial uap air). (Bean and Dutton, 1968) Gradien vertikal minimum refraktiviti dapat dilihat dari: ππππ βͺ0 (3) ππππ Artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian gradien refraktiviti. ππππ ππππ yang bernilai minimum dari nilai Metode suhu potensial (θ) Lokasi dengan gradien vertikal maksimum suhu potensial, menunjukkan transisi dari daerah konveksi kurang stabil di bawa ke daerah yang lebih stabil diatasnya (Oke, 1988; Stull, 1988; Sorbjan,1989; Garratt, 1992). Suhu potensial (ππ) merupakan suhu yang mengembang/menyusut secara adiabatik ke ketinggian Po= 1000 mb. • Suhu potensial virtual : ππv = ππ (1+ 0.61 x rsat – rL) (4) dimana rsat adalah pencampuran (mixing ratio) titik jenuh uap air dari parcel udara dan rL adalah liquid-water mixing ratio. rsat – rL = r = 0.02 (5) ππv = ππ(1+ 0.61 x r) Suhu potensial dapat diturunkan dari hubungan antara P dan T dalam proses adiabatik; ππ= ππ (P,T) δq = 0 = cpdT−∝ dp ο tarik integral dari titik (T,P) ke (θ,Po); θ P0 θ P0 dT dP Cp οΏ½ − RοΏ½ = 0 → Cp οΏ½ ln T − R οΏ½ ln P = 0 P T T ππ T P θ P0 θ R Po Cp ln οΏ½ οΏ½ − R ln οΏ½ οΏ½ = 0 → ln οΏ½ οΏ½ − ln οΏ½ οΏ½ = 0 T P T Cp P π½π½ π·π·π·π· ππππ π»π» − ππππ οΏ½ π·π· οΏ½ πΉπΉοΏ½ πͺπͺπͺπͺ π·π·π·π· = ππ → π½π½ = π»π» οΏ½ π·π· οΏ½ πΉπΉοΏ½ πͺπͺπͺπͺ (6) Ketinggi PBL dapat dilihat dari nilai maksimum dari gradien vertikal suhu potensial, dimana: ππππ β«0 (7) ππππ Artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian nilai gradien suhu potensial. ππππ ππππ yang bernilai maksimum dari 11 Metode kelembaban spesifik (q) Kelembaban spesifik (q) merupakan perbandingan antara massa uap air (mv) dengan massa total udara lembab (mm). Ketinggian PBL dapat dilihat dari nilai minimum dari gradien kelembaban spesifik, dimana: ππππ βͺ0 (8) ππππ ππππ Artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian ππππ yang bernilai minimum dari nilai gradien kelembaban spesifik. Metode kelembaban relatif (RH) Gradien minimum dari kelembaban relatif dapat dilihat dari persamaan di bawah ini: ∂RH βͺ0 (9) ∂Z Artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian nilai gradien kelembaban relatif. ∂RH ∂Z yang bernilai minimum dari Metode Elevated Inversion (EI) Tidak semua sounding mengalami peningkatan inversi,tetapi ketika terdapat inversi, dasar dari lapisan tersebut berfungsi sebagai penutup untuk pencampuran dibawahnya sehingga dapat dianggap ketinggian PBL (Dian J.Seidel et al, 2010). βππ = negatif (10) βππ Elevated inversion dapat dilihat dari perbandingn antara perubahan suhu terhadap ketinggian yang pertama kali bernilai negatif dan bukan terjadi disurface layer . Metode Surface-Based Inversion (SBI) [Bradley et al., 1993]. Surface based inversion merupakan indikator yang jelas dari batas lapisan yang stabil, dimana puncaknya dapat menentukan ketinggian PBL. Jika SBI ditemukan dalam sebuah pengukuran, lima metode lainnya tidak dievaluasi, dengan anggapan struktur PBL berbeda. βππ = negatif (11) βππ SBI dapat dilihat dari perbandingn antara perubahan suhu terhadap ketinggian bernilai negatif yang berada di surface layer. Uji Statistik Uji t-test Independent sample t-test adalah jenis uji statistika yang bertujuan untuk membandingkan rata-rata dua grup yang tidak saling berpasangan yang dapat diartikan bahwa penelitian dilakukan untuk dua subjek sampel yang berbeda. Prinsip pengujian uji ini adalah melihat perbedaan variasi kedua kelompok data, sehingga sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu harus diketahui apakah variannya sama (equal variance) atau variannya berbeda (unequal variance). 12 Uji F Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel terikat. Apabila hasil yang diperoleh signifikan hubungan yang terjadi dapat berlaku untuk populasi. Penggunaan tingkat signifikansi yang digunakan adalah P≤0.05. Data dinyatakan memiliki varian yang sama (equal variance) bila FHitung < F-Tabel, dan sebaliknya, varian data dinyatakan tidak sama (unequal variance) bila F-Hitung > F-Tabel. Bentuk varian kedua kelompok data akan berpengaruh pada nilai standard error yang akhirnya akan membedakan rumus pengujiannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Surface Based Inversions (SBI) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 SBI (m) SBI (m) SBI merupakan lapisan dasar (dangkal) dekat permukaan yang mengalami inversi. Gambar 5 menunjukkan lokasi yang terjadi SBI pada pukul 00.00 UTC dan 12.00 UTC. Pukul 12.00 UTC sekitar 68% SBI memiliki ketinggian 19-140 m pada setiap lokasi dimana ketinggian maksimum adalah 140 m dan minimum 19 m. Pukul 00.00 UTC 93% SBI terjadi pada ketinggian 55-152 m dengan ketinggian maksimum sebesar 152 m dan minimum sebesar 55 m. Rata-rata ketinggian SBI biasanya dalam jarak 200-500 m dari permukaan, dengan demikian SBI merupakan lapisan dangkal yang di deteksi dalam pengamatan radiosonde, dimana sering tergantung pada keberadaan signifikan level data dan umumnya puncak SBI lebih rendah dari dasar-dasar inversi tinggi (Dian J.Seidel et al, 2010). 0 10 Latitude (a) 20 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0 5 10 15 Latitude (b) Gambar 5 Kejadian Surface Based Inversion (SBI) secara diurnal pada malam hari pukul 12.00 UTC (a) dan pagi hari pukul 00.00 UTC (b) dengan fungsi dari lintang stasiun. 13 Kondisi SBI ditandai oleh variabilitas musiman dan diurnal. Hal ini yang menyebabkan perbedaan banyaknya nilai SBI antara pukul 00.00 UTC dan 12.00 UTC. Dari 13 lokasi sounding, 93% SBI terdeteksi pada pukul 00.00 UTC dan 8% SBI tidak terdeteksi pada pukul 00.00 UTC, sedangkan 68% SBI terdeteksi pada pukul 12.00 UTC dan 32% SBI tidak terdeteksi pada pukul 12.00 UTC. SBI cenderung terbentuk berkaitan dengan pendinginan dari radiasi permukaan. Pada kasus ini SBI lebih sering terjadi pada pukul 00.00 UTC (pukul 07.00 waktu setempat) dibandingkan dengan pukul 12.00 UTC (pukul 19.00 waktu setempat). Hal ini dikarenakan pada pukul 12.00 UTC (pukul 19.00 waktu setempat) pengaruh radiasi yang terjadi dari siang sampai sore hari masih cukup tinggi dibandingkan dengan pagi hari yang relatif lebih rendah, tetapi jika pengamatan/sounding dilakukan lebih dari pukul 20.00 waktu setempat kemungkinan nilai SBI yang terdeteksi pada malam hari lebih tinggi dibandingkan dengan pagi hari Perbedaan Sistematis antara Metode Profil meliputi suhu (T), suhu potensial (θ), suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), kelembaban relatif (RH), dan refraktiviti (N). Perkiraan ketinggian PBL ditunjukkan oleh garis putus-putus horizontal. Sounding ini tidak menunjukkan inversi berbasis permukaan. Umumnya metode-metode tersebut menghasilkan ketinggian yang identik seperti yang ditunjukkan dalam kasus Padang pukul 00.00 UTC 9 Januari dan 13 Juni 2011 sebesar masing-masing 5860 m dan 4676 m (Gambar 4 a & b) dan tinggi inversi terdapat di 205 m lebih rendah pada kasus Padang 13 Juni 2011. Nilai tersebut dihasilkan dari empat metode berbasis gradien yang menunjukkan ketinggian PBL identik, seperti yang terjadi pada kasus Padang. Metode gradien suhu potensial menghasilkan tinggi pencampuran dari 90-200 m jauh lebih rendah dari perkiraan lainnya. Sebaliknya, lima nilai berbeda yang dihasilkan dari lima metode pada kasus Merauke pukul 00.00 UTC 9 Januari 2011 dari stasiun yang sama. Nilai tersebut berkisar dari 1700-4800 m untuk kelembaban spesifik, kelembaban relatif dan refraktiviti sedangkan suhu potensial dan suhu potensial virtual memiliki ketinggian di bawah 200 m. Nilai-nilai tertinggi diperoleh dari refraktiviti yang selanjutnya diikuti nilai yang dihasilkan gradien kelembaban spesifik dan kelembaban relatif. Nilai ketinggian PBL yang identik atau tidak, dipengaruhi oleh tinggi rendah awan dan tutupan awan di lokasi sounding, dimana semakin banyak tutupan awan akan menyebabkan nilai yang dihasilkan cenderung tidak identik dan sebaliknya (Dian J.Seidel et al, 2010). 14 (a) (b) (c) Gambar 6 Batas perkiraan ketinggian PBL dengan menggunakan lima metode untuk lokasi Padang (a) & (b) pukul 00.00 UTC 9 Januari & 13 Juni 2011 dan Merauke (c) pukul 00.00 UTC 9 Januari 2011. Gambar 7 menunjukkan perbandingan kasar dalam memperkirakan tinggi PBL dari ke-enam metode. Data dibedakan atas waktu sounding dan setiap batang menunjukkan nilai rata-rata semua stasiun selama setahun. Masing-masing metode memiliki perkiraan ketinggian PBL yang berbeda-beda (median dari semua pengamatan selama 2 bulan yaitu januari dan juni tahun 2011) dengan ratarata perbedaan 500-3000 m. Gradien kelembaban relatif dan elevated inversion cenderung konsisten antara 00.00 UTC dan 12.00 UTC dengan rata-rata ketinggian sebesar ±3 km. Perhatikan bahwa ketinggian SBI didasarkan pada sounding yang berbeda dari semua ketinggian lainnya, dimana tidak semua lokasi memiliki nilai SBI, sehingga data yang digunakan untuk menghitung rata-rata ketinggian SBI lebih sedikit. Selain itu inversi dasar permukaan tidak selalu hadir, dimana rata-rata 35% dari sounding tidak memiliki nilai SBI. 15 6000 SBI(x10) Ketinggian (m) 5000 4000 3000 2000 1000 0 q θ N RH EI SBI (a) 6000 Ketinggian (m) 5000 SBI (x10) 4000 3000 2000 1000 0 q θ N RH EI SBI (b) Gambar 7 Nilai rata-rata median tinggi PBL semua stasiun selama satu tahun, diestimasi dengan menggunakan enam metode, pada pukul 00.00 UTC (a) dan pukul 12.00 UTC (b). Nilai pertama q, θ,N,RH & elevated inversion (EI) untuk tinggi PBL dan nilai kedua (SBI) untuk inversi permukaan.Nilai SBI dikali 10 untuk melihat pola ketinggiannya pada diagram (nilai SBI yang dihasilkan terlalu kecil dibandingkan dengan yang lainnya). Nilai rata-rata yang khas dari ketinggian PBL berkisar antara 200-3000 m dengan SBI menunjukkan nilai terendah seperti yang diharapkan. Ketinggian PBL yang didasari gradien refaraktiviti memiliki tinggi yang konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian PBL berdasarkan gradien suhu potensial. Selisih antara keduanya sekitar ±2.5 km, dengan nilai median yang diperlihatkan dari masing-masing metode relatif konsisten diantara kedua waktu sounding tersebut. Rata-rata selisih median ketinggian PBL yang dihasilkan antara waktu sounding sebesar 100- 1500 m. Nilai dari tabel 2 dapat digunakan untuk memperkirakan ketidakpastian struktural ketinggian PBL terkait pemilihan metode (Dian J.Seidel et al, 2010). Perbedaan rata-rata ketinggian PBL 1-2 km dengan tingkat persentase beda antara satu dengan yang lain 50-100% sehingga rata-rata klimatologis dapat memiliki 16 ketidakpastian struktural (Tabel 2) yang tidak sesuai, berkisar antara 10% -100% dari nilai rata-rata klimatologis, misalnya gambar 7, persentase yang signifikan tinggi secara statistik dari uji t dan F ( tabel a & b) menguatkan dugaan perbedaan yang signifikan antar metode (Dian J.Seidel et al, 2010). Metode garadien kelembaban relatif dan refractiviti menghasilkan tingkat signifikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Hasil yang tidak terlalu tinggi dari hasil uji statistik disebabkan sampel yang tidak terlalu besar. Tabel 2 Hasil uji statistik dari ke-lima metode perkiraan ketinggian PBL. (a) Perbedaan nilai tengah (m) q θ q _ -2155 75 _ θ RH 50 100 100 100 N EI 50 75 (b) Perbandinagn variance q θ 0.6 q _ θ 50 _ RH 75 100 N 75 50 EI 75 50 (c) Koefisien korelasi linier (%) q θ 32 q _ θ 50 _ RH 62 100 N 87 75 62 62 EI RH -672 1483 _ 100 50 N 1313 4061 1985 _ 50 EI -846 1309 -174 -2158 _ RH 1.1 1.1 _ 50 50 N 0.6 0.9 0.9 _ 50 EI 0.3 0.5 0.4 0.5 _ RH 44 54 _ 75 50 N 66 21 51 _ 50 EI 24 14 45 71 _ a Tabel diatas menunjukkan nilai statistik rata-rata tes yang relevan dan persentase kasus yang memberikan hasil tes signifikan secara statistik (P= 0.05). (a) Perbedaan rata-rata ketinggian PBL dievaluasi dengan uji t, (b) perbandingan variance tinggi PBL di evaluasi dengan uji F, (c) koefisien korelasi linier (%). Perhatikan bahwa persentase yang tinggi dari hasil yang signifikan secara statistik menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan disebagian besar kasus untuk uji t dan uji F, sedangkan tingkat korelasi menunjukkan nilai yang signifikan dalam kebanyakan kasus dengan tes korelasi. Tabel 2 menunjukkan hasil dari masing-masing tiga uji statistik yang digunakan untuk membandingkan metode. Setiap bagian dari tabel persentase kasus uji statistik yang menghasilkan nilai yang signifikan secara statistik (P≤0.05) ditunjukkan di sudut kiri bawah, dan nilai rata-rata statistik yang ditampilkan dikanan atas. Hasil SBI tidak digunakan karena populasi sounding yang digunakan berbeda (tidak semua lokasi memiliki nilai SBI). Secara keseluruhan ditemukan perbandingan variance berkisar antara 0.3-1.1 dengan tingkat beda persentase sebesar 50%-100%, sedangkan koefisien korelasi linier 17 berkisar antara 14-71% dengan beda persentase 50%-100%. Hal ini menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan di sebagian besar kasus dengan menggunakan lima metode untuk mengestimasi ketinggian PBL yang dilihat dari relatif tingginya persentase yang dihasilkan disetiap uji statistik yang dilakukan. Perbedaan nilai tengah cukup besar, ada yang bernilai negatif (-) dan ada yang bernilai positif (+). Nilai tengah yang bernilai positif artinya beda nilai tengah antara metode satu dengan yang lainnya tidak terlalu signifikan seperti perbedaan nilai tengah antara metode refraktiviti dengan metode kelembaban spesifik dan sebaliknya, nilai tengah yang bernilai negatif artinya terdapat perbedaan yang signifikan ketinggian PBL antara kedua metode yang dihubungkan seperti pada metode suhu potensial dan kelembaban spesifik, dimana nilai ketinggian PBL yang dihasilkan metode gradien kelembaban spesifik lebih tinggi/besar dibandingkan nilai ketinggian PBLyang dihasilkan metode gradien suhu potensial. Pola Musiman dan Diurnal Enam metode berbeda digunakan untuk mengestimasi tinggi PBL. Berdasrkan yang dirangkum dalam tabel 3, tiga metode merupakan pendekatan tradisional yang sering digunakan dalam pendekatan literatur PBL seperti gradien vertikal maksimum suhu potensial, elevated inversion dan surface-based inversion or SBI. Tabel 3, Menjelaskan tentang perbedaan musiman dalam statistik dan hanya stasiun data dengan data malam hari termasuk dalam perbedaan diurnal secara statistik. Selain itu, ditampilkan juga persentase kasus dengan kondisi musiman dan diurnal yang signifikan, dimana dapat dilihat dari rata-rata nilai ketinggian terendah PBL yang masing-masing ditemukan pada musim kemarau dan malam hari. Nilai SBI tidak ditampilkan karena memiliki nilai yang terlampau kecil, sehingga membuat perbandingan ketinggian rata-ratanya bermasalah. Perbedaan signifikan perubahan musim (%) setiap metode relatif kecil yaitu dibawah 50% dengan rata-rata perbedaan sebesar 23%. Metode yang mengalami perbedaan terbesar yaitu pada gradien kelembaban spesifik sebesar 33% dan metode yang mengalami perbedaan terkecil terdapat pada metode gradien suhu potensial sebesar 16%. Pada kondisi ketinggian PBL terbawah musim kering dan terbawah pada musim hujan memiliki rata-rata perbedaan sebesar 36% dan 39%, dengan nilai tertinggi sebesar 58% yang ditunjukkan metode elevated inversion dan terendah 19% yang ditunjukkan oleh gradien suhu potensial pada kondisi terbawah musim kering. Kondisi terbawah pada musim hujan memiliki nilai teringgi sebesar 54% yang ditunjukkan oleh gradien kelembaban spesifik dan terendah sebesar 8% yang ditunjukkan oleh gradien refraktiviti. Signifikan ketinggian terendah PBL siang hari (%) memiliki rata-rata perbedaan sebesar 47.5% dengan nilai tertinggi sebesar 64% yang ditunjukkan oleh gradien kelembaban spesifik dan terendah sebesar 24% yang ditunjukkan oleh gradien refraktiviti. Pada PBL terendah malam hari memiliki rata-rata perbedaan sebesar 60%, dengan nilai tertinggi sebesar 82% ditunjukkan oleh gradien kelembaban relatif dan terendah sebesar 33 % yang ditunjukkan oleh elevatedin inversion. 18 Tabel 3 Metode untuk memperkirakan tinggi PBL dan persentase kasus dengan signifikan perubahan musiman dan signifikan perbedaan diurnal ketinggian PBL. Abreviation θ q RH N Elvated Inversion Surface- based inversion or SBI metode Lokasi dengan nilai gradien vertikal maksimum suhu potensial Lokasi dengan nilai gradien vertikal minimum kelembaban spesifik Lokasi dengan nilai gradien vertikal minimum kelembaban relatif Lokasi dengan nilai gradien vertikal minimum refractivity Height of the best of an elevated Temperatur inversion Height of the top of a surface-based Temperatur inversion Signifikan PBL PBL terendah Signifikan perubahan PBL terendah PBL terendah musim (%) musim kering(%) musim hujan(%) terendah harian (%) malam hari (%) 16 19 38 44 67 33 35 54 64 75 25 40 42 62 82 17 27 8 24 42 25 58 53 42 33 n/a n/a n/a n/a n/a Perbedaan yang dihasilkan setiap metode pada signifikan perubahan musim, ketinggian PBL terendah musim kering, PBL terendah musim hujan, signifikan PBL terendah siang hari dan PBL terendah malam hari berbeda-beda. Metode gradien refraktiviti secara konsisten menghasilkan nilai terendah dengan rata–rata perbedaan pada semua kasus sebesar 24% dan gradien kelembaban spesifik mengahsilkan rata-rata nilai perbedaan pada semua kasus yang relatif tinggi sebesar 52%. Nilai ketinggian PBL yang identik atau tidak, dipengaruhi oleh tinggi rendah awan dan tutupan awan dilokasi sounding, dimana semakin banyak tutupan awan akan menyebabkan nilai yang dihasilkan cenderung tidak identik dan sebaliknya (Dian J.Seidel et al, 2010). Variasi musiman harus mudah dideteksi dengan menggunakan data radiosonde, karena sampling harian yang dihasilkan sangat baik sepanjang tahun. Tabel 3 menunjukkan persentase kasus dimana ada perbedaan baik secara musiman maupun diurnal, walaupun beda persentase yang dihasilkan masih ratarata dibawah 50 % (berdasarkan uji t). Jika dilihat dari pola musiman di Indonesia nilai yang diperoleh masih relatif kecil. Sample yang diambil setiap lokasi yaitu bulan Januari yang mewakili musim hujan dan bulan Juni yang mewakili musim kemarau menunjukkan perbedaan ketinggian PBL secara keseluruhan yang tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan sifat variasi musiman yang tidak konsisten, baik dari satu stasiun kestasiun lain maupun antara metode satu dengan yang lain. 19 7000 Ketinggian (m) 6000 q 5000 θ x10 4000 N 3000 RH 2000 EI 1000 0 SBI x10 a b c (a) Ketinggian (m) 7000 6000 q 5000 θ 4000 N 3000 RH 2000 EI 1000 0 SBI x10 a b c (b) Gambar 8 Nilai kuartil (Q2) musiman dan tahunan tinggi PBL di medan ( 8.50 S, 140.380 E) berdasarkan data tahun 2011 pada pagi hari waktu lokal (00.00 UTC) (a) dan malam hari waktu lokal (12.00 UTC) (b). Nilai SBI dikali 10 untuk melihat pola ketinggiannya pada diagram (nilai SBI yang dihasilkan terlalu kecil dibandingkan dengan yang lainnya). a=Musim Hujan, b=Musim Kemarau, dan c= Rataan bulan Januari dan Juni Metode kelembaban spesifik (q), suhu potensial (θ), refractiviti (N), kelembaban relatif (RH) elevated inversion (EI) dan Surface-based inversion (SBI) pada umumnya memiliki ketinggian yang berbeda baik secara diurnal maupun musiman. Berdasarkan hasil dari gambar 8, ketinggian PBL berdasarkan metode kelembaban spesifik pada pukul 00.00 UTC memiliki ketinggian PBL pada musim kemarau yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan. Hal ini disebabkan pada pukul 00.00 UTC tingkat kelembaban udara relatif tinggi pada musim kemarau sehingga mengangkat massa udara naik dan menyebabkan tinggi PBL menebal, sedangkan pada pukul 12.00 UTC ketinggian PBL pada musim hujan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh faktor wind shear yang lebih dominan pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau serta kandungan uap air yang cukup tinggi pada musim hujan. Secara diurnal metode kelembaban spesifik memiliki tinggi PBL yang relatif lebih tinggi pada pukul 12.00 UTC dibandingkan dengan pukul 00.00 UTC untuk kedua musim. Hal ini desebabkan, pelepasan panas permukaan pada pukul 12.00 UTC lebih tinggi dibandingkan pukul 00.00 UTC karena pada 20 pukul 12.00 UTC (19.00 waktu setempat) pengaruh radiasi matahari yang terjadi dari siang hingga sore hari masih ada. Seperti halnya metode kelembaban spesifik (q), metode elevated inversian (EI) dan kelembaban relatif (RH) dan Surfacebased inversion (SBI) juga memiliki karakteristik yang sama dengan metode kelembaban spesifik. Namun, pada metode kelembaban relatif pukul 12.00 UTC memiliki tingggi PBL pada musim kemarau yang lebih tinggi dibandingkan musim hujan. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh tingginya kelembaban pada musim kemarau pada pukul 12.00 UTC. Ketinggian PBL berdasarkan metode suhu potensial pada pukul 00.00 UTC memiliki ketinggian PBL musim hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau, sedangkan pada pukul 12.00 UTC ketinggian PBL pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau. Secara diurnal metode suhu potensial memiliki tinggi PBL yang relatif lebih tinggi pada pukul 12.00 UTC dibandingkan dengan pukul 00.00 UTC untuk kedua musim. Karakteristik (pola) yang sama ditunjukkan oleh metode refraktiviti (N). Gambar 8 menunjukkan rata-rata median tinggi PBL dari setiap metode untuk melihat perbedaan secara musiman dan rataan tahunan. Pada pukul 00.00 UTC, nilai rata-rata yang diperoleh pada musim hujan sebesar ±3 km sedangkan pada pukul 12.00 UTC sebesar ±4 km. Sedangkan musim kemarau pukul 00.00 UTC rata-rata ketinggian PBL yang diperoleh sebesar ±3 km dan pukul 12.00 UTC sebesar ±3.5 km. Secara keseluruhan estimasi ketinggian PBL yang diperoleh pada pukul 12.00 UTC lebih tinggi dibandingkan dengan pukul 00.00 UTC. Hal ini disebabkan, karena pukul 12.00 UTC (19.00 waktu setempat/12.00 UTC) pengaruh dari pemanasan permukan akibat radiasi yang diterima sepanjang siang hingga sore hari masih cukup tinggi, sedangkan pukul 00.00 UTC relatif lebih kecil. Secara musiman, ketinggian PBL pada musim penghujan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau yaitu sebesar 3.7 km (musim hujan) dan 3.2 km (musim kemarau). Hal ini disebabkan, karena dasar pada dasar permukaan (pada boundary layer) terdapat turbulen dan pada bagian dasar dalam awan juga terdapat turbulen yang menyebabkan tebal PBL pada musim hujan lebih tebal. Selain itu, tingkat kelembaban di wilayah indonesia yang relatif tinggi mengakibatkan peningkatan tebal PBL. Turbulen dibangkitkan dari dua hal yaitu share angin dan kondisi atmosfer yang tidak stabil. Berdasarkan kasus ini, kondisi atmosfer dominan stabil di lebih dari 80% lokasi, yang artinya penyebab turbulen lebih disebabkan oleh share angin. Menurut Tjernstrom et al. (2008), nilai Ri dapat digunakan untuk mengetahui adanya aliran turbulensi yang terjadi pada suatu lapisan. Turbulensi dapat dihasilkan dari gaya apung (bouyancy) dan share angin yang memiliki interaksi dengan panas permukaan. Adanya turbulensi ini merupakan salah satu karakteristik unik yang dimiliki PBL. Turbulensi semakin kuat jika permukaan lebih panas dibandingkan dengan udara yang ada diatasnya, dan turbulensi akan melemah jika permukaan lebih dingin dibandingkan dengan udara atasnya (Hoffert dan Sud 1976). 21 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penentukan ketebalan PBL dapat dilihat dari profil vertikal gradien dari parameter meteorologi yang digunakan. Kelima metode gradien dari suhu potensial (θ), kelembaban spesifik (q), kelembaban relative (RH), elevated inversion (EI) dan profil refraktiviti (N) umumnya menghasilkan perkiraan tinggi PBL yang berbeda. Nilai rata-rata yang khas dari ketinggian PBL berkisar antara 200-3000 m, dengan SBI menunjukkan nilai terendah seperti yang diharapkan. Ketinggian PBL yang didasari gradien refraktiviti memiliki tinggi yang konsisten (lebih tinggi) dari metode lainnya sekitar ±5 km, tetapi secara khusus tinggi PBL berdasarkan gradient refraktiviti (N) tidak setara dengan garadien parameter meteorologi lainnya (memiliki beda ketinggian ±2 km dari yang lainnya). Metode gradien suhu potensial secara konsisten mengasilkan tinggi yang signifikan lebih rendah dari yang lainnya sebesar ±1.7 km dan lebih konsisten secara diurnal dan musiman, dengan variasi musiman nilai yang lebih rendah pada pukul 00.00 UTC sebesar ±0.9 km dan musim kemarau sebesar ±1.5 km. Metode gradien kelembaban spesifik dan kelembaban relatif secara konsisten menghasilkan perkiraan ketinggian PBL yang lebih tinggi dari yang lainnya sebasar ±3.6 km. Ketinggian PBL pada musim hujan lebih tebal dibandingkan dengan musim kemarau dengan selisih 0.5 km. Rata-rata ketinggian PBL setahun dari nilai median setiap kasus adalah sebesar ± 3.1 km pada pukul 00.00 UTC dan ±3.8 km pada pukul 12.00 UTC, dengan selisih perbedaaan sebesar ±0.7 km. SBI merupakan tipe yang berbeda dari kelima metode lainnya, karena nilainya sangat kecil (rata-rata dibawah 150 m). Nilai SBI lebih sering terjadi pada pukul 00.00 UTC dibandingkan pukul 12.00 UTC dan lebih umum terjadi pada musim hujan. Pada Pukul 12.00 UTC 68% SBI terjadi pada ketinggian 55-152 m dengan ketinggian maksimum sebesar 152 m dan minimum sebesar 55 m sedangkan 32% tidak terjadi SBI. Pukul 00.00 UTC 93% SBI terjadi pada ketinggian 19-140 m dengan ketinggian maksimum sebesar 140 m dan minimum sebesar 19 m sedangkan 8% tidak terjadi SBI. Saran Lokasi pengamatan sounding yang digunakan sebaiknya lebih banyak, untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif di wilayah Indonesia. Penggunaan data untuk uji statistikn lebih diperbanyak untuk mendapatkan tingkat signifikan dan korelasi antar metode lebih tinggi dan akurat. Pengolahan data lebih baik menggunakan perangkat lunak seperti minitab & matlab untuk efisiensi waktu dan hasil yang lebih baik. 22 DAFTAR PUSTAKA Arya PS. 1999. Air Pollution Meteorology and Dispersion. New York: Oxford University Press. Arya PS. 2001. Introduction to Micrometeorology. Second Edition. San Diego, New York, Berkeley, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto: Academic Press, Inc. Bean, B. R., and E. J. Dutton, 1968: Radio Meteorology. Dover, 435 pp. Betts AK dan Bartlo J. 1991. The Density Temperature and the Dry and Wet Virtual Adiabats. Monthly Weather Review 119:169-175. Bradley, R. S., F. T. Keimig, and H. F. Diaz 1993. Recent changes in the North American Arctic boundary layer in winter, J. Geophys. Res., 98,8851– 8858, doi:10.1029/93JD00311. Durre I dan Yin X. 2008. Enhanced Radiosonde Data for Studies of Vertical Structure. Bulletin of the American Meteorology Society 89:1257-1262. Dian J.Saidel, Chi O.Ao dan Kun Li. 2010. Estimating Climatological Planetary Boundary Layer Heights from Radiosonde Observation : Comparison of Methods and Uncertainty Analysis. Journal of Geofhysical Research, vol. 115, D16113, doi:10.1029/2009JD013680. Garratt, J. R. 1992. The Atmospheric Boundary Layer, 335 pp., Cambridge Atmospheric and Space Science Series, Cambridge Univ. Press. Gupta SK dan Ramachandran R. 1998. Tropical Atmospheric Boundary Layer. PINSA 64A (3):267-276. Kaimal JC, Wyngaard JC, Haugen DA, Cote OR, dan Izumi Y. 1978. Turbulence Structure in the Convective Boundary Layer. Atmospheric Sciences 33:2152-2168. Medeiros B, Hall A, dan Stevens B. 2005. What Controls the Mean Depth of the PBL?. Climate 18:3157-3172. Oke, T. R. 1988. Boundary Layer Climates, 2nd ed., 435 pp., Halsted Press, New York. Sullivan PP, Moeng CH, Stevens B, Lenschow DH, dan Mayor SD. 1998. Structure of the Entrainment Zone Capping the Convective Atmospheric Boundary Layer. Atmospheric Sciences 55:3042-3064. Stull, R. B. 1988. An Introduction to Boundary Layer Meteorology, 666 pp., Dordrecht, Kluwer. Stull RB. 1999. An Introduction to Boundary Layer Meteorology. London: Kluwer Academic Publishers. Sorbjan, Z. 1989. Structure of the Atmospheric Boundary Layer, 317 pp., Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J. Tucker SC, Brewer WA, Banta RM, Senff CJ, Sandberg SP, Law DC, Weickmann AM, dan Hardesty RM .2009. Doppler Lidar Estimation of Mixing Height Using Turbulence, Shear, and Aerosol Profiles. Atmospheric and Oceanic Technology. DOI: 10.1175/2008JTECHA1157.1 Tjernstrom M, Balsley BB, Svensson G, dan Nappo CJ. 2008. The Effects of Critical Layers on Residual Layer Turbulence. Atmospheric Sciences 66:468-480. 23 Wyngaard JC. 1985. Structure of the Planetary Baoundary Layer and Implications for its Modelling. Climate and Applied Meteorology 24:1131-1142. 24 RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara yang dilahirkan di Tanjungtiram-Batubara, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 05 Desember 1992 dari pasangan H.Muhammad Yatim Zean dan Hj. Siti Rahma Arma. Penulis menyelesaikan masa sekolah TK Ade Irma tahun 1998, SD 010146 Talawi tahun 2004, dan SMPN 1 Talawi tahun 2007. Tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 2 Plus Sipirok dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur PMDK untuk jurusan Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-IPB. Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam kegiatan organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB & FMIPA pada tahun 2010/2011 & 2011/2012. Pada tahun 2012/2013 terpilih menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO). Pada tingkat akhir penulis menjadi Badan Pengawas (BP) HIMAGRETO dan Himpunan Mahasiswa Meteorologi Indonesia (HMMI). Selain itu, selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif menjadi panitia di berbagai acara yang pernah dilakukan di HIMAGRETO, Fakultas maupun tingkat IPB. Pada tahun terakhir, sebagai syarat lulus dari IPB, penulis melakukan penelitian di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB yang dibimbing oleh Prof Dr Ir Ahmad Bey.