Templat tugas akhir S1

advertisement
PENDUGAAN KETINGGIAN PLANETARY BOUNDARY
LAYER (PBL) DI BEBERAPA LOKASI DI WILAYAH
INDONESIA MENGGUNAKAN METODE EMPIRIS
MUHAMMAD THAISIR
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Ketinggian
Planetary Boundary Layer (PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia
Menggunakan Metode Empiris adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Muhammad Thaisir
NIM G24100010
ABSTRAK
MUHAMMAD THAISIR. Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary Layer
(PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia Menggunakan Metode Empiris.
Dibimbing oleh AHMAD BEY.
Pendugaan ketinggian PBL dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode empiris diantaranya, gradien suhu potensial, kelembaban spesifik,
kelembabn relatif, profil refractiviti, elevated inversion (EI) dan Surface-Based
Inversion (SBI). Kelima metode (kecuali SBI) tersebut umumnya menghasilkan
perkiraan ketinggian yang berbeda sampai beberapa ratus meter. Metode gradien
kelembaban spesifik (q) dan kelembaban relatif (RH) secara konsisten
menghasilkan perkiraan ketinggian PBL yang lebih tinggi dari yang lainnya
sebesar ±3.6 km, sedangkan gradien suhu potensial menghasilkan ketinggian PBL
yang lebih rendah dengan nilai rata-rata sebesar ±1.7 km. Pola musiman dan
diurnal sering dikaitkan dengan fenomena iklim lokal, seperti radiasi gelombang
panjang pada malam hari, inversi suhu dan konveksi tropis. Umumnya SurfaceBased Inversion (SBI) memiliki ketinggian yang lebih rendah dari ketinggian PBL.
SBI tidak terjadi di dua lokasi di wilayah Indonesia pada pukul 00.00 UTC
sedangkan pada pukul 12.00 UTC, SBI terjadi di delapan lokasi di wilayah
indonesia. Menduga ketinggian PBL dengan menggunakan data radiosonde
dipengaruhi kepekaan resolusi vertikal data radiosonde. Semakin tinggi resolusi
data, ketinggian PBL yang dihasilkan lebih tinggi dan lebih akurat. Ketinggian
PBL musiman dan harian antar metode dapat dievaluasi dengan menggunakan uji
statistik t dan F. Median pendugaan ketinggian PBL antar metode sekitar 1-2 km.
Kata kunci: Palanetary Boundary Layer, metode empiris, Inversi, musiman,
diurnal
ABSTRACT
MUHAMMAD THAISIR. Estimation of Planetary Boundary Layer height (PBL)
at Multiple Locations in Indonesia Region Using Empirical Methods. Supervised
by AHMAD BEY.
PBL heights estimation can be performed using several empirical methods
namely gradient of, potential temperature, specific humidity, relative humidity,
refractivity profiles, elevated inversion (EI) and Surface-Based Inversion (SBI)
from radiosonde data set at 13 locations in Indonesia. The methods (except SBI)
generally produce estimates of heights which differ by several hundred meters.
Specific humidity and relative humidity gradient methods consistently produce
higher PBL estimate, while the potential temperature gradient produces lowest
PBL heights with an average value of ± 1.7 km. Seasonal and diurnal patterns are
often associated with local climatic phenomena, such as long-wave radiation at
night, the temperature inversion and tropical convection. In general, SBI is lower
than PBL. Only two locations did not indicate SBI occurrence at 00.00 UTC,
while at 12:00 UTC, SBI occurred in eight locations showed SBI occurrence. PBL
height estimation using radiosonde data is affected by the sensitivity of vertical
resolution radiosonde data. The higher data resolution will produce more accurate
of estimation. Seasonal and diurnal PBL height between the methods is evaluated
using t and F statistics. The PBL median heights estimated by the methods very
by 1-2 km.
Keywords: Palanetary Boundary Layer, empirical methods, Inversion,
seasonal, diurnal
PENDUGAAN KETINGGIAN PLANETARY BOUNDARY
LAYER (PBL) DI BEBERAPA LOKASI DI WILAYAH
INDONESIA MENGGUNAKAN METODE EMPIRIS
MUHAMMAD THAISIR
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL) di
Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia Menggunakan Metode
Empiris
Nama
NIM
: Muhammad Thaisir
: G24100010
Disetujui oleh
Prof Dr Ahmad Bey
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
kajian atmosfer, dengan judul Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary Layer
(PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia Menggunakan Metode Empiris.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku
pembimbing yang banyak memberikan masukan arahan serta motivasi dalam
penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta Bapak Sonny Setiawan S.si M.si yang
telah banyak memberi saran dan semangat. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada teman-teman GFM 47 yang telah memberikan saran, masukan dan
motivasinya khususnya Givo Alsepan dan teman satu atap Ricky vidian, Tengku
Haekal serta Rian karida pratama, serta adik-adik GFM 49 atas motivasi dan
semangatnya, khususnya buat Ari, Eki dan Benny. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Muhammad Thaisir
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Konsep dasar dan struktur PBL
3
Stabilitas Atmosfer
5
Karakteristik iklim/cuaca di Indonesia
7
Pola suhu Indonesia
7
Pola Curah Hujan Indonesia
7
METODE
8
Waktu dan Tempat
8
Bahan
8
Alat
8
Prosedur Analisis Data
8
Uji Statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
12
Surface Based Inversions (SBI)
12
Perbedaan sistematis antara metode
13
Pola musiman dan diurnal
17
SIMPULAN DAN SARAN
21
Simpulan
21
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
22
RIWAYAT HIDUP
24
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR TABEL
1
2
3
Parameter meteorologi yang digunakan untuk menduga ketinggian
PBL dan persamaannya.
Hasil uji statistik dari ke-lima metode perkiraan ketinggian PBL.
Metode untuk memperkirakan tinggi PBL dan persentase kasus
dengan signifikan perubahan musiman dan signifikan perbedaan
diurnal ketinggian PBL.
9
16
18
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Peta 13 lokasi stasiun radiosonde dalam penelitian ini (lokasi
stasiun ditandai dengan titik-titik hitam), memiliki pengamatan
secara vertikal dengan resolusi tinggi dan digunakan untuk
menganalisis pengaruh resolusi vertikal penghitungan tinggi PBL.
Letak PBL di atmosfer (Modifikasi dari Stull 2000).
Komponen PBL pada siang hari dan malam hari (Modifikasi Stull
1999).
Karakteristik parameter stabilitas non-lokal berdasarkan suhu
potensial virtual (Stull 1999).
Kejadian Surface Based Inversion (SBI) secara diurnal pada malam
hari pukul 12.00 UTC (a) dan pagi hari pukul 00.00 UTC (b)
dengan fungsi dari lintang stasiun.
Batas perkiraan ketinggian PBL dengan menggunakan lima metode
untuk lokasi Padang (a) & (b) pukul 00.00 UTC 9 Januari & 13
Juni 2011 dan Merauke (c) pukul 00.00 UTC 9 Januari 2011.
Nilai rata-rata median tinggi PBL semua stasiun selama satu tahun,
diestimasi dengan menggunakan enam metode, pada pukul 00.00
UTC (a) dan pukul 12.00 UTC (b). Nilai pertama q, θ,N,RH &
elevated inversion (EI) untuk tinggi PBL dan nilai kedua (SBI)
untuk inversi permukaan.Nilai SBI dikali 10 untuk melihat pola
ketinggiannya pada diagram (nilai SBI yang dihasilkan terlalu kecil
dibandingkan dengan yang lainnya).
Nilai kuartil (Q2) musiman dan tahunan tinggi PBL di medan (8.50
S, 140.380 E) berdasarkan data tahun 2011 pada pagi hari waktu
lokal (00.00 UTC) (a) dan malam hari waktu lokal (12.00 UTC) (b).
Nilai SBI dikali 10 untuk melihat pola ketinggiannya pada diagram
(nilai SBI yang dihasilkan terlalu kecil dibandingkan dengan yang
lainnya).
2
4
5
6
12
14
15
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Atmosfer merupakan lapisan massa udara yang menyelimuti bumi terdiri
dari empat lapisan, seperti troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer yang
memiliki fungsi masing-masing terhadap kondisi di bumi. Lapisan atmosfer
paling bawah adalah lapisan troposfer dimana lapisan ini langsung berbatasan
dengan permukaan bumi (lapisan yang paling dekat dengan permukaan bumi). Di
antara lapisan troposfer dan permukaan bumi terdapat lapisan perbatas atau yang
sering disebut dengan boudary layer. Interaksi permukaan dengan atmosfer
lapisan terbawah yang terjadi dalam waktu kurang dari satu hari disebut dengan
Atmospheric Boundary Layer (ABL) atau yang biasa dikenal sebagai
Planetary Boundary Layer (PBL) ( Tucker et al, 2009). Ketinggian PBL
bervariasi terhadap ruang dan waktu, sehingga dalam pendugaan ketinggian
PBL digunakan variasi diurnal dari profil vertikal suhu, kelembaban, dan angin.
Di daratan, PBL maksimum terjadi pada siang hari, karena konveksi maksimum
terjadi pada siang hari. Ketebalan PBL di daratan lebih kecil dibandingkan
dengan lautan, disebabkan kapasitas panas lautan yang lebih besar dari pada
daratan. Akibatnya suhu yang sangat kecil pada lautan dapat menyerap panas
dalam jumlah yang besar ( Medeiros et al, 2005 ).
Seibert et al. (2000) dan Affandi (2010) mengemukakan bahwa dalam
pendugaan dispersi polutan, kegiatan penerbangan, dan peramalan cuaca
diperlukan pendugaan ketinggian PBL. Berdasarkan informasi ketinggian PBL,
proses-proses yang terjadi dilautan dan permukaan dapat diketahui seperti
pertukaran udara, produktivitas, perubahan iklim jangka panjang dan proses yang
terjadi antara permukaan dengan lapisan troposfer, dengan begitu model–model
prediksi yang sesuai dapat dirancang (Thomson dan Fine, 2003) .Secara umum,
daerah yang beriklim tropis memiliki PBL yang lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah beriklim subtropis. Wiliyah tropis mengalami penyinaran yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wilayah subteropis yang menyebabkan suhu permukaan
lebih tinggi dibandingkan dengan suhu parsel udara diatasnya sehingga
menyebabkan ketinggian PBL menjadi lebih tinggi.
Indonesia merupakan negara tropis yang di lintasi oleh ekuator dengan
intensitas penyinaran radiasi surya yang tinggi. Kondisi klimatologi tersebut
sangat berpengaruh terhadap ketinggian PBL yang merupakan salah satu dispersi
massa udara yang ada di atmosfer. Adanya ketinggian PBL ini dapat digunakan
untuk menduga kondisi klimatologi yang akan terjadi di Indonesia dan perubahan
klimatologi yang mungkin terjadi. Observasi ketinggian PBL masih jarang
dilakukan di Indonesia, karena keterbatasan data observasi. Selain itu, klimatologi
Planetary Boundery Layer (PBL) dapat digunakan untuk evaluasi iklim, cuaca
dan model kualitas udara untuk karakteristik variabilitas PBL dalam skala ruang
dan waktu yang besar. Berdasarkan hal itu, penelitian dilakukan dengan
pendugaan (estimasi) ketinggian PBL menggunakan enam metode yaitu gradien
suhu potensial, kelembaban spesifik, kelembabn relatif, profil refractiviti, elevated
inversion dan Surface-Based Inversion (SBI) dari kumpulan data radiosonde pada
13 lokasi di wilayah Indonesia seperti bagian Indonesia barat (Medan, Padang,
2
P.Pinang, Renai, Cengkareng dan Surabaya), Indonesia tengah (Ambon, Kupang,
Makasar, Palu, dan Manado) dan Indonesia timur (Biak dan Merauke). Informasi
ketinggian PBL ini dapat digunakan untuk estimasi pendugaan kejadian
klimatologi yang kemungkinan terjadi di Indonesia (kondisi-kondisi iklim/cuaca
yang kemungkinan terjadi).
Gambar 1 Peta 13 lokasi stasiun radiosonde dalam penelitian ini (lokasi stasiun
ditandai dengan titik-titik hitam), memiliki pengamatan secara vertikal
dengan resolusi tinggi dan digunakan untuk menganalisis pengaruh resolusi
vertikal penghitungan tinggi PBL.
Tujuan Penelitian
1.Memahami beberapa metode empiris untuk menduga ketinggian Planetary
Boundary Layer (PBL).
2.Mengkaji profil/variasi musiman dan diurnal tinggi Planetary Boundary Layer
(PBL).
Manfaat Penelitian
Mengetahu ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL) secara umum di
wilayah Indonesia dan mengaplikasikan beberapa metode untuk menduga
ketingggian PBL. Pendugaan ketinggian PBL diperlukan dalam mendukung
penelitian/kejadian pendugaan dispersi polutan, kegiatan penerbangan, dan
peramalan cuaca pada masa yang akan datang.
3
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rdiosonde 13 lokasi di
wilayah Indonesia seperti bagian Indonesia barat (Medan 3.570N-98.60E, Padang
0.880S-100.30E, P.Pinang 2170S-106.130E, Renai 3.950N-108.380E, Cengkareng
6.120S-106.650E dan Surabaya 7.370S-112.770E), Indonesia tengah (Ambon
3.70S-128.080E, Kupang 10.170S-123.670E, Makassar 5.070S-119.050E, Palu
0.680S-119.730E, dan Manado 1530N-124.920E) dan Indonesia timur (Biak
1.180S-136.120E dan Merauke 8.470S-140.380E).
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep dasar dan struktur PBL
Planetary Boundary Layer (PBL) atau disebut Atmospheric Boundary layer
(ABL) merupakan bagian terendah dari atmosfer dan karakteristikya secara
langsung dipengaruhi oleh interaksi dengan permukaan bumi. Stull (1999)
menjelaskan bahwa PBL adalah bagian dari troposfer yang secara langsung
dipengaruhi oleh permukaan bumi dan merespon gaya-gaya permukaan dalam
rentang waktu satu jam atau kurang. Sehingga tingkat kekasaran dan aktivitas
yang berlangsung dipermukaan bumi sangat mempengaruhi tinggi PBL.
Ketinggian yang rendah terjadi saat pagi dan malam hari sedangkan menjelang
siang ketinggian PBL mengalami kenaikan . Ketinggian PBL yang rendah saat
pagi dan malam hari dikarena tingkat turbulensi yang terjadi dan berpengaruh
terhadap ketinggian PBL sangat rendah jika dibanding dengan turbulensi yang
terjadi saat siang hari, kondisi siang hari dengan tingkat penyinaran yang
kuat. Perubahan yang terjadi pada lapisan ini terjadi dalam rentang waktu kuran
dari satu jam. Setelah melewati puncak PBL merupakan atmosfer bebas dengan
kondisi angin merupakan angin geostropik (angin yang sejajar dengan isobar)
sementara dalam PBL angin yang terjadi dipengaruhi kekasaran permukaan dan
melintasi isobar. Lapisan atmosfer bebas ini biasanya bebas turbulensi dan hanya
terjadi golakan yang bersifat insidental.
Turbulensi dapat dihasilkan dari gaya apung (bouyancy) dan shear angin
yang memiliki interaksi dengan panas permukaan. Adanya turbulensi ini
merupakan salah satu karakteristik unik yang dimiliki PBL. Turbulensi semakin
kuat jika permukaan lebih panas dibandingkan dengan udara yang ada diatasnya,
dan turbulensi akan melemah jika permukaan lebih dingin dibandingkan dengan
udara atasnya (Hoffert dan Sud 1976). Seperti yang ditunjukkan Gambar 2, diatas
lapisan PBL udara dipengaruhi oleh clear air turbulence (CAT) dan profil suhu
sama dengan skenario atmosfer standar, sehingga lapisan ini disebut Free
Atmosphere (FA) (Wyngaard 1985).
4
1,5 km
Gambar 2 Letak PBL di atmosfer (Modifikasi dari Stull 2000).
PBL merupakan lapisan yang sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi.
Interaksi antara PBL dan permukaan bumi dapat menyebabkan terjadinya prosesproses unik yang menunjukan karakteristik PBL. Karakteristik PBL tersebut dapat
diketahui dari beberapa unsur-unsur meteorologi dan juga kondisi stabilitas
atmosfer. Adapun unsur-unsur meteorologi yang mencirikan karakteristik PBL
antara lain suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin.
Menurut Arya (2001) pada siang hari, terjadi pemanasan secara terus
menerus dan pencampuran termal, sehingga ketebalan PBL meningkat sepanjang
hari dan akan mencapai ketebalan maksimum ketika sore hari yang besarnya dapat
mencapai ±0.2-5 km. Selanjutnya saat matahari terbenam, mulai terjadi
pendinginan di daratan yang menyebabkan turbulensi semakin lemah sehingga
ketebalan PBL hanya mencapai ±20-500 m. Oleh karena itu, ketebalan PBL
sangat dipengaruhi oleh pemanasan dan pendinginan di permukaan secara diurnal
(harian).
Di daerah lintang tengah, selama musim panas siang harinya akan lebih
panjang dibandingkan malam hari, sehingga lebih banyak terjadi pemanasan
selama siang hari dibandingkan pendinginan pada malam harinya. Oleh karena itu,
ketebalan PBL di musim panas akan lebih tinggi. Sebaliknya, saat terjadi musim
dingin malam hari akan lebih panjang dibandingkan siang hari, sehingga
pendinginan permukaan akan lebih dominan. Oleh karena itu, ketebalan PBL
menjadi lebih rendah pada musim dingin (Stull 2000).
Menurut Stull (2000) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, PBL terdiri
dari tiga komponen yaitu Mixed Layer (ML) yang terbentuk pada siang hari saat
kondisi atmosfer tidak stabil. Sedangkan pada malam hari, terdapat Stable
Boundary Layer (SBL) yang terbentuk saat kondisi atmosfer stabil dan Residual
Layer (RL) yang terbentuk saat kondisi atmosfer netral. Pada PBL bagian bawah
terdapat lapisan yang disebut Surface Layer (SL) dengan ketinggian mencapai 100
meter dari permukaan bumi. Pada lapisan ini gaya gesekan, konduksi panas, dan
evaporasi dari permukaan menyebabkan kecepatan angin, suhu, dan kelembaban
berubah terhadap ketinggian. Di mana suhu potensial meningkat secara perlahanlahan terhadap ketinggian dan kelembaban meningkat secara cepat terhadap
ketinggian (Gupta 1998), tetapi pada lapisan SL aliran turbulen relatif konstan
terhadap ketinggian, sehingga lapisan ini dapat disebut juga constant flux layer
(Stull 2000). Kaimal et al. (1976) menyatakan bahwa di atas SL terdapat lapisan
ML yang terjadi pada siang hari. Pada lapisan ini suhu potensial, kelembaban, dan
kecepatan angin cenderung konstan terhadap naiknya ketinggian. Di ML dicirikan
5
dengan adanya turbulensi yang sangat kuat, sehingga lapisan ini sering disebut
juga Convective Boundary Layer (CBL) atau Convective Mixed Layer.
Entrainment Zone (EZ) merupakan lapisan yang sangat stabil dan berada di
antara ML dan FA. Pada malam hari, di lapisan EZ tidak terjadi turbulensi,
sehingga ketika malam hari lapisan ini disebut juga Capping Inversion (CI)
(Sullivan et al. 1998).
Gambar 3 Komponen PBL pada siang hari dan malam hari (Modifikasi Stull
1999).
Stabilitas Atmosfer
Stabilitas atmosfer adalah kondisi yang menunjukkan kecenderungan
parsel udara bergerak secara vertikal (naik atau turun). Stabilitas atmosfer terdiri
dari dua macam, yaitu stabilitas statis dan stabilitas dinamis. Pada stabilitas statis,
dalam penentuan stabilitas atmosfer hanya mempertimbangkan gaya apung
(bouyancy force). Sedangkan pada stabilitas dinamis dipertimbangkan pula faktor
shear angin (Stull 2000). Stabilitas statis memiliki tiga kondisi atmosfer, yaitu
tidak stabil, netral, dan stabil. Kondisi atmosfer tersebut didasarkan pada laju
penurunan suhu terhadap ketinggian (lapse rate). Lapse rate memiliki tiga
kategori, yaitu SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate), DALR (Dry Adiabatic
Lapse Rate), dan ELR (Environmental Lapse Rate).
Kondisi atmosfer tidak stabil adalah kondisi parsel udara cenderung terus
naik atau turun dari posisi awalnya, biasanya terjadi ketika suhu lingkungan lebih
cepat dingin dibandingkan suhu parsel atau laju penurunan suhu lingkungan lebih
besar dibandingkan laju adiabatik kering (ELR>DALR). Sedangkan kondisi netral
adalah kondisi parsel udara tetap pada posisi awalnya, biasanya terjadi ketika laju
penurunan suhu parsel sama dengan laju penurunan suhu lingkungan (ELR =
DALR). Kondisi stabil adalah kondisi parsel udara cenderung kembali ke posisi
awalnya setelah naik atau turun, biasanya terjadi ketika suhu parsel lebih cepat
dingin dibandingkan suhu lingkungannya atau laju penurunan suhu lingkungan
lebih kecil dibandingkan laju penurunan adiabatik kering (ELR<DALR).
Stabilitas statis non-lokal penting dalam menggambarkan stabilitas
atmosfer karena stabilitas statis non-lokal merupakan pelengkap dari parameter
stabilitas statis lokal yang dianggap kurang relevan dalam menggambarkan
6
stabilitas atmosfer. Pada stabilitas statis lokal, stabilitas atmosfer ditunjukkan
dengan parameter stabilitas statis (s) yang dirumuskan sebagai berikut :
𝑔𝑔
πœ•πœ•πœ•πœ•
𝑠𝑠 = 𝑇𝑇 × πœ•πœ•πœ•πœ•π‘£π‘£
(1)
𝑣𝑣
Dalam menentukan stabilitas atmosfer pada masing-masing lapisan, parsel
udara bergerak naik dan turun dari titik asal. Dalam prakteknya, dapat dilihat dari
titik maksimum atau minimum suhu potensial virtual. Parsel udara bergerak naik
atau turun dari posisi awalnya tergantung pada gaya apung parsel bukan lapse rate
lokal. Gaya apung parsel pada setiap ketinggian diketahui dari perbedaan antara
suhu potensial virtual parsel dengan suhu potensial virtual lingkungannya pada
ketinggian tersebut. Gaya apung parsel udara hangat untuk naik dan gaya apung
parsel udara dingin untuk turun. Kemudian parsel udara bergerak dari titik asalnya
sampai ketinggian di mana parsel udara tersebut akan neutrally buoyant. Dengan
demikian stabilitas statis non-lokal dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu
unstable, stable, neutral, dan unknown (Arya 1999).
Gambar 4 Karakteristik parameter stabilitas non-lokal berdasarkan suhu potensial
virtual (Stull 1999).
Stabilitas dinamis dapat ditentukan dengan menggunakan parameter
Richardson number (Ri) yang tidak memiliki dimensi. Adapun rumus untuk
menghitung Ri yaitu:
(2)
Di mana θv merupakan suhu potensial virtual, U dan V merupakan
kecepatan angin, dan g merupakan percepatan gravitasi. Richardson number (Ri)
menunjukkan rasio antara gaya apung dengan shear angin. Menurut Tjernstrom et
al. (2008), nilai Ri dapat digunakan untuk mengetahui adanya aliran turbulensi
yang terjadi pada suatu lapisan. Apabila Ri bernilai negatif maka turbulensi yang
terjadi akan cenderung kuat, sedangkan apabila Ri bernilai positif maka turbulensi
yang terjadi akan cenderung melemah.
7
Karakteristik iklim/cuaca di Indonesia
Secara umum, Indonesia berada pada zone iklim tropis karena posisi
lintangnya yang terletak antara 6°LU–11°LS. Namun karena adanya berbagai
faktor geografis, pola iklim negara Indonesia memiliki karakteristik tersendiri.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pola iklim Indonesia antara lain sebagai
berikut:
• Letak wilayah Indonesia di sekitar ekuator mengakibatkan rata-rata suhu
tahunan senantiasa tinggi (suhu bulan terdingin masih di atas 18°C),
karena penyinaran Matahari senantiasa tegak.
• Letak kepulauan Indonesia di sekitar ekuator mengakibatkan sebagian besar
wilayahnya berada pada kawasan angin tenang (doldrum) sehingga
terbebas dari bencana akibat badai tropis (siklon).
• Bentuk wilayah Indonesia berupa kepulauan yang dikelilingi laut
mengakibatkan rata-rata kelembapan udara tinggi, bahkan pada musim
kemaraupun kelembapan relatifnya masih di atas 70%-80%.
• Posisi negara Indonesia yang diapit oleh samudra dan benua mengakibatkan
pola iklim Indonesia dipengaruhi sirkulasi angin muson yang berembus
dari benua Asia atau Australia.
Pola suhu Indonesia
Kondisi suhu udara di atas kepulauan Indonesia senantiasa berkisar
sepanjang tahun rata-rata di atas 18°C. Suhu udara harian biasanya mencapai
puncaknya sekitar pukul 14.00-15.00, sedangkan suhu terendah biasanya sekitar
pukul 05.00-06.00. Selain itu, rata-rata suhu harian dipengaruhi oleh perbedaan
ketinggian.
Pola Curah Hujan Indonesia
Curah hujan di wilayah Indonesia berbeda-beda di berbagai tempat.
Terdapat daerah-daerah yang memiliki curah hujan sangat tinggi, namun ada pula
yang relatif rendah. Secara umum, rata-rata curah hujan kawasan Indonesia bagian
barat lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengah dan timur. Oleh karena
posisi lintang Indonesia terletak di sekitar ekuator, pola curah hujan di atas
wilayah Indonesia dipengaruhi oleh pergeseran Daerah Konvergensi Antar Tropik
(DKAT). Bulan-bulan yang memiliki curah hujan terbanyak biasanya sesuai
dengan posisi DKAT. Sebagai contoh, wilayah Pulau Jawa dilalui oleh garis
DKAT sekitar Januari dan Februari. Pada bulan-bulan inilah curah hujan Pulau
Jawa mencapai titik tertinggi. Adapun pengaruh DKAT adalah di wilayah tersebut
massa udara naik secara vertikal ke atmosfer sehingga banyak membentuk awan
dan mengakibatkan turunnya hujan zenithal atau hujan konveksional.
Berdasarkan rata-rata curah hujan tahunan, Kepulauan Indonesia dibagi ke
dalam empat daerah hujan, yaitu sebagai berikut:
8
1. Daerah curah hujan di atas 3.000 mm/tahun, yaitu wilayah dataran tinggi
Sumatra Barat, Kalimantan Tengah, beberapa daerah di Pulau Jawa, Pulau
Bali, Pulau Lombok, dan dataran tinggi Papua.
2. Daerah curah hujan antara 2.000–3.000 mm/tahun, yaitu sebagian wilayah
Sumatra Timur, Kalimantan Selatan dan Timur, sebagian besar Jawa Barat
dan Jawa Tengah, sebagian besar wilayah Papua dan Maluku.
3. Daerah curah hujan di atas 1.000–2.000 mm/tahun, yaitu sebagian besar
wilayah Nusa Tenggara, Kepulauan Aru dan Kepulauan Tanimbar, serta
daerah Merauke.Daerah curah hujan kurang dari 1.000 mm/tahun, meliputi
wilayah padang rumput di Nusa Tenggara, kota Palu dan Luwuk Sulawesi
Tengah.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Juni 2014 di laboratorium
Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi
FMIPA-IPB.
Bahan
Bahan yang digunakan data radiosonde 13 lokasi di Indonesia yaitu
Indonesia barat (Medan 3.570N-98.60E, Padang 0.880S-100.30E, P.Pinang 2170S106.130E, Renai 3.950N-108.380E, Cengkareng 6.120S-106.650E dan Surabaya
7.370S-112.770E), Indonesia tengah (Ambon 3.70S-128.080E, Kupang 10.170S123.670E, Makasar 5.070S-119.050E, Palu 0.680S-119.730E, dan Manado 1530N124.920E) dan Indonesia timur (Biak 1.180S-136.120E dan Merauke 8.470S140.380E).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
yang dilengkapi dengan perangkat lunak Microsoft Office dan Microsoft Excel
untuk pengolahan data.
Prosedur Analisis Data
Penentuan nilai variabel-variabel meteorologi yang menunjukkan karakter
PBL.
Tabel 1 merupakan beberapa parameter meteorologi yang digunakan untuk
menduga ketinggian PBL. Parameter tersebut digunakan untuk mendukung
penggunaan medote dalam pendugaan ketinggian PBL.
9
Tabel 1 Parameter meteorologi yang digunakan untuk menduga ketinggian PBL
dan persamaannya.
Parameter
Tekanan uap air
Deskripsi
Tekanan pada suhu tertentu
akibat tekanan uap air suatu
larutan.
Lambang
e
Satuan
mb
Persamaan
w
e=
P
w+w
Tekanan uap air
jenuh
Tekanan pada suhu tertentu
akibat tekanan uap air jenuh
suatu larutan.
es
mb
Suhu virtual
Suhu khayal di definisikan
sebagai suhu yang harus
dimiliki oleh udara kering
agar memiliki kerapatan
seperti udara lembab pada
tekanan yang sama.
Tv
K
Tv=T(1+0.061w)
Suhu potensial
Suhu udara yang
mengembang dan menyusut
secara adiabatik ke
ketinggian P0=1000mb.
θ
K
1000mb 0.286
θ=T οΏ½
οΏ½
P
Suhu potensial
virtual
Suhu udara virtual yang
mengembang dan menyusut
secara adiabatik ke
ketinggian P0=1000mb.
θv
K
1000mb 0.286
θ=Tv οΏ½
οΏ½
P
Mixing ratio
Perbandingan antara massa
uap air dengan massa udara
kering.
w
g/kg
w= 0.622eοΏ½(P-e)
Kelembaban
spesifik
Perbandingan antara massa
uap air dengan massa total
udara lembab.
q
%
q= 0.622eοΏ½(P-0.378e)
Kelembaban
Relatif
Istilah yang digunakan untuk
menggambarkan jumlah uap
air yang terkandung di dalam
campuran air-udara dalam
fase gas.
RH
%
Refraktiviti
Indeks bias atau pembelokan
berkas cahaya dari satu
medium ke medium lain yang
memiliki densitas yang
berbeda.
N
mb
es=e0 exp οΏ½
Lv 1 1
οΏ½ - οΏ½οΏ½
R v T0 T
R= wοΏ½ws
N=77.6
P
e
+3.77×105 2
T
T
10
Konstanta:
a
b
ε
P0
Kd
: 7.567
: 239.7
: Rd/Rv = 0.622
: 1000 mb
: Rd/Cp = 0.286
dimana a&b T>0
Metode refraktiviti (N)
Ketinggian PBL dapat dilihat dari profil gradien vertikal dari refraktiviti.
Refraktiviti (N) berhubungan dengan P, T dan e (tekanan parsial uap air). (Bean
and Dutton, 1968)
Gradien vertikal minimum refraktiviti dapat dilihat dari:
πœ•πœ•πœ•πœ•
β‰ͺ0
(3)
πœ•πœ•πœ•πœ•
Artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian
gradien refraktiviti.
πœ•πœ•πœ•πœ•
πœ•πœ•πœ•πœ•
yang bernilai minimum dari nilai
Metode suhu potensial (θ)
Lokasi dengan gradien vertikal maksimum suhu potensial, menunjukkan
transisi dari daerah konveksi kurang stabil di bawa ke daerah yang lebih stabil
diatasnya (Oke, 1988; Stull, 1988; Sorbjan,1989; Garratt, 1992).
Suhu potensial (πœƒπœƒ) merupakan suhu yang mengembang/menyusut secara
adiabatik ke ketinggian Po= 1000 mb.
• Suhu potensial virtual :
πœƒπœƒv = πœƒπœƒ (1+ 0.61 x rsat – rL)
(4)
dimana rsat adalah pencampuran (mixing ratio) titik jenuh uap air dari parcel
udara dan rL adalah liquid-water mixing ratio.
rsat – rL = r = 0.02
(5)
πœƒπœƒv = πœƒπœƒ(1+ 0.61 x r)
Suhu potensial dapat diturunkan dari hubungan antara P dan T dalam proses
adiabatik; πœƒπœƒ= πœƒπœƒ (P,T)
δq = 0 = cpdT−∝ dp οƒ  tarik integral dari titik (T,P) ke (θ,Po);
θ
P0
θ
P0
dT
dP
Cp οΏ½
− RοΏ½
= 0 → Cp οΏ½ ln T − R οΏ½ ln P = 0
P
T T
𝑝𝑝
T
P
θ
P0
θ
R
Po
Cp ln οΏ½ οΏ½ − R ln οΏ½ οΏ½ = 0 → ln οΏ½ οΏ½ −
ln οΏ½ οΏ½ = 0
T
P
T
Cp
P
𝜽𝜽
𝑷𝑷𝑷𝑷
𝒍𝒍𝒍𝒍 𝑻𝑻 − 𝒍𝒍𝒍𝒍 οΏ½ 𝑷𝑷 οΏ½
𝑹𝑹�
π‘ͺπ‘ͺπ‘ͺπ‘ͺ
𝑷𝑷𝑷𝑷
= 𝟎𝟎 → 𝜽𝜽 = 𝑻𝑻 οΏ½ 𝑷𝑷 οΏ½
𝑹𝑹�
π‘ͺπ‘ͺπ‘ͺπ‘ͺ
(6)
Ketinggi PBL dapat dilihat dari nilai maksimum dari gradien vertikal suhu
potensial, dimana:
πœ•πœ•πœ•πœ•
≫0
(7)
πœ•πœ•πœ•πœ•
Artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian
nilai gradien suhu potensial.
πœ•πœ•πœ•πœ•
πœ•πœ•πœ•πœ•
yang bernilai maksimum dari
11
Metode kelembaban spesifik (q)
Kelembaban spesifik (q) merupakan perbandingan antara massa uap air
(mv) dengan massa total udara lembab (mm).
Ketinggian PBL dapat dilihat dari nilai minimum dari gradien kelembaban
spesifik, dimana:
πœ•πœ•πœ•πœ•
β‰ͺ0
(8)
πœ•πœ•πœ•πœ•
πœ•πœ•πœ•πœ•
Artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian πœ•πœ•πœ•πœ• yang bernilai minimum dari nilai
gradien kelembaban spesifik.
Metode kelembaban relatif (RH)
Gradien minimum dari kelembaban relatif dapat dilihat dari persamaan di
bawah ini:
∂RH
β‰ͺ0
(9)
∂Z
Artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian
nilai gradien kelembaban relatif.
∂RH
∂Z
yang bernilai minimum dari
Metode Elevated Inversion (EI)
Tidak semua sounding mengalami peningkatan inversi,tetapi ketika
terdapat inversi, dasar dari lapisan tersebut berfungsi sebagai penutup untuk
pencampuran dibawahnya sehingga dapat dianggap ketinggian PBL (Dian
J.Seidel et al, 2010).
βˆ†π‘‡π‘‡
= negatif
(10)
βˆ†π‘π‘
Elevated inversion dapat dilihat dari perbandingn antara perubahan suhu
terhadap ketinggian yang pertama kali bernilai negatif dan bukan terjadi
disurface layer .
Metode Surface-Based Inversion (SBI) [Bradley et al., 1993].
Surface based inversion merupakan indikator yang jelas dari batas
lapisan yang stabil, dimana puncaknya dapat menentukan ketinggian PBL. Jika
SBI ditemukan dalam sebuah pengukuran, lima metode lainnya tidak dievaluasi,
dengan anggapan struktur PBL berbeda.
βˆ†π‘‡π‘‡
= negatif
(11)
βˆ†π‘π‘
SBI dapat dilihat dari perbandingn antara perubahan suhu terhadap ketinggian
bernilai negatif yang berada di surface layer.
Uji Statistik
Uji t-test
Independent sample t-test adalah jenis uji statistika yang bertujuan untuk
membandingkan rata-rata dua grup yang tidak saling berpasangan yang dapat
diartikan bahwa penelitian dilakukan untuk dua subjek sampel yang berbeda.
Prinsip pengujian uji ini adalah melihat perbedaan variasi kedua kelompok data,
sehingga sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu harus diketahui apakah
variannya sama (equal variance) atau variannya berbeda (unequal variance).
12
Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara
bersama-sama (simultan) terhadap variabel terikat. Apabila hasil yang diperoleh
signifikan hubungan yang terjadi dapat berlaku untuk populasi. Penggunaan
tingkat signifikansi yang digunakan adalah P≤0.05.
Data dinyatakan memiliki varian yang sama (equal variance) bila FHitung < F-Tabel, dan sebaliknya, varian data dinyatakan tidak sama (unequal
variance) bila F-Hitung > F-Tabel. Bentuk varian kedua kelompok data akan
berpengaruh pada nilai standard error yang akhirnya akan membedakan rumus
pengujiannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Surface Based Inversions (SBI)
160
140
120
100
80
60
40
20
0
SBI (m)
SBI (m)
SBI merupakan lapisan dasar (dangkal) dekat permukaan yang mengalami
inversi. Gambar 5 menunjukkan lokasi yang terjadi SBI pada pukul 00.00 UTC
dan 12.00 UTC. Pukul 12.00 UTC sekitar 68% SBI memiliki ketinggian 19-140 m
pada setiap lokasi dimana ketinggian maksimum adalah 140 m dan minimum 19
m. Pukul 00.00 UTC 93% SBI terjadi pada ketinggian 55-152 m dengan
ketinggian maksimum sebesar 152 m dan minimum sebesar 55 m. Rata-rata
ketinggian SBI biasanya dalam jarak 200-500 m dari permukaan, dengan
demikian SBI merupakan lapisan dangkal yang di deteksi dalam pengamatan
radiosonde, dimana sering tergantung pada keberadaan signifikan level data dan
umumnya puncak SBI lebih rendah dari dasar-dasar inversi tinggi (Dian J.Seidel
et al, 2010).
0
10
Latitude
(a)
20
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
5
10
15
Latitude
(b)
Gambar 5 Kejadian Surface Based Inversion (SBI) secara diurnal pada malam
hari pukul 12.00 UTC (a) dan pagi hari pukul 00.00 UTC (b) dengan
fungsi dari lintang stasiun.
13
Kondisi SBI ditandai oleh variabilitas musiman dan diurnal. Hal ini yang
menyebabkan perbedaan banyaknya nilai SBI antara pukul 00.00 UTC dan 12.00
UTC. Dari 13 lokasi sounding, 93% SBI terdeteksi pada pukul 00.00 UTC dan 8%
SBI tidak terdeteksi pada pukul 00.00 UTC, sedangkan 68% SBI terdeteksi pada
pukul 12.00 UTC dan 32% SBI tidak terdeteksi pada pukul 12.00 UTC. SBI
cenderung terbentuk berkaitan dengan pendinginan dari radiasi permukaan. Pada
kasus ini SBI lebih sering terjadi pada pukul 00.00 UTC (pukul 07.00 waktu
setempat) dibandingkan dengan pukul 12.00 UTC (pukul 19.00 waktu setempat).
Hal ini dikarenakan pada pukul 12.00 UTC (pukul 19.00 waktu setempat)
pengaruh radiasi yang terjadi dari siang sampai sore hari masih cukup tinggi
dibandingkan dengan pagi hari yang relatif lebih rendah, tetapi jika
pengamatan/sounding dilakukan lebih dari pukul 20.00 waktu setempat
kemungkinan nilai SBI yang terdeteksi pada malam hari lebih tinggi dibandingkan
dengan pagi hari
Perbedaan Sistematis antara Metode
Profil meliputi suhu (T), suhu potensial (θ), suhu potensial virtual (θv),
kelembaban spesifik (q), kelembaban relatif (RH), dan refraktiviti (N). Perkiraan
ketinggian PBL ditunjukkan oleh garis putus-putus horizontal. Sounding ini tidak
menunjukkan inversi berbasis permukaan. Umumnya metode-metode tersebut
menghasilkan ketinggian yang identik seperti yang ditunjukkan dalam kasus
Padang pukul 00.00 UTC 9 Januari dan 13 Juni 2011 sebesar masing-masing 5860
m dan 4676 m (Gambar 4 a & b) dan tinggi inversi terdapat di 205 m lebih rendah
pada kasus Padang 13 Juni 2011. Nilai tersebut dihasilkan dari empat metode
berbasis gradien yang menunjukkan ketinggian PBL identik, seperti yang terjadi
pada kasus Padang. Metode gradien suhu potensial menghasilkan tinggi
pencampuran dari 90-200 m jauh lebih rendah dari perkiraan lainnya.
Sebaliknya, lima nilai berbeda yang dihasilkan dari lima metode pada
kasus Merauke pukul 00.00 UTC 9 Januari 2011 dari stasiun yang sama. Nilai
tersebut berkisar dari 1700-4800 m untuk kelembaban spesifik, kelembaban relatif
dan refraktiviti sedangkan suhu potensial dan suhu potensial virtual memiliki
ketinggian di bawah 200 m. Nilai-nilai tertinggi diperoleh dari refraktiviti yang
selanjutnya diikuti nilai yang dihasilkan gradien kelembaban spesifik dan
kelembaban relatif. Nilai ketinggian PBL yang identik atau tidak, dipengaruhi
oleh tinggi rendah awan dan tutupan awan di lokasi sounding, dimana semakin
banyak tutupan awan akan menyebabkan nilai yang dihasilkan cenderung tidak
identik dan sebaliknya (Dian J.Seidel et al, 2010).
14
(a)
(b)
(c)
Gambar 6 Batas perkiraan ketinggian PBL dengan menggunakan lima metode untuk
lokasi Padang (a) & (b) pukul 00.00 UTC 9 Januari & 13 Juni 2011 dan
Merauke (c) pukul 00.00 UTC 9 Januari 2011.
Gambar 7 menunjukkan perbandingan kasar dalam memperkirakan tinggi
PBL dari ke-enam metode. Data dibedakan atas waktu sounding dan setiap batang
menunjukkan nilai rata-rata semua stasiun selama setahun. Masing-masing
metode memiliki perkiraan ketinggian PBL yang berbeda-beda (median dari
semua pengamatan selama 2 bulan yaitu januari dan juni tahun 2011) dengan ratarata perbedaan 500-3000 m. Gradien kelembaban relatif dan elevated inversion
cenderung konsisten antara 00.00 UTC dan 12.00 UTC dengan rata-rata
ketinggian sebesar ±3 km. Perhatikan bahwa ketinggian SBI didasarkan pada
sounding yang berbeda dari semua ketinggian lainnya, dimana tidak semua lokasi
memiliki nilai SBI, sehingga data yang digunakan untuk menghitung rata-rata
ketinggian SBI lebih sedikit. Selain itu inversi dasar permukaan tidak selalu hadir,
dimana rata-rata 35% dari sounding tidak memiliki nilai SBI.
15
6000
SBI(x10)
Ketinggian (m)
5000
4000
3000
2000
1000
0
q
θ
N
RH
EI
SBI
(a)
6000
Ketinggian (m)
5000
SBI (x10)
4000
3000
2000
1000
0
q
θ
N
RH
EI
SBI
(b)
Gambar 7 Nilai rata-rata median tinggi PBL semua stasiun selama satu tahun,
diestimasi dengan menggunakan enam metode, pada pukul 00.00 UTC (a)
dan pukul 12.00 UTC (b). Nilai pertama q, θ,N,RH & elevated inversion
(EI) untuk tinggi PBL dan nilai kedua (SBI) untuk inversi permukaan.Nilai
SBI dikali 10 untuk melihat pola ketinggiannya pada diagram (nilai SBI
yang dihasilkan terlalu kecil dibandingkan dengan yang lainnya).
Nilai rata-rata yang khas dari ketinggian PBL berkisar antara 200-3000 m
dengan SBI menunjukkan nilai terendah seperti yang diharapkan. Ketinggian PBL
yang didasari gradien refaraktiviti memiliki tinggi yang konsisten lebih tinggi
dibandingkan dengan ketinggian PBL berdasarkan gradien suhu potensial. Selisih
antara keduanya sekitar ±2.5 km, dengan nilai median yang diperlihatkan dari
masing-masing metode relatif konsisten diantara kedua waktu sounding tersebut.
Rata-rata selisih median ketinggian PBL yang dihasilkan antara waktu sounding
sebesar 100- 1500 m.
Nilai dari tabel 2 dapat digunakan untuk memperkirakan ketidakpastian
struktural ketinggian PBL terkait pemilihan metode (Dian J.Seidel et al, 2010).
Perbedaan rata-rata ketinggian PBL 1-2 km dengan tingkat persentase beda antara
satu dengan yang lain 50-100% sehingga rata-rata klimatologis dapat memiliki
16
ketidakpastian struktural (Tabel 2) yang tidak sesuai, berkisar antara 10% -100%
dari nilai rata-rata klimatologis, misalnya gambar 7, persentase yang signifikan
tinggi secara statistik dari uji t dan F ( tabel a & b) menguatkan dugaan perbedaan
yang signifikan antar metode (Dian J.Seidel et al, 2010). Metode garadien
kelembaban relatif dan refractiviti menghasilkan tingkat signifikan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Hasil yang tidak terlalu tinggi dari
hasil uji statistik disebabkan sampel yang tidak terlalu besar.
Tabel 2 Hasil uji statistik dari ke-lima metode perkiraan ketinggian PBL.
(a) Perbedaan nilai tengah (m)
q
θ
q
_
-2155
75
_
θ
RH
50
100
100
100
N
EI
50
75
(b) Perbandinagn variance
q
θ
0.6
q
_
θ
50
_
RH
75
100
N
75
50
EI
75
50
(c) Koefisien korelasi linier (%)
q
θ
32
q
_
θ
50
_
RH
62
100
N
87
75
62
62
EI
RH
-672
1483
_
100
50
N
1313
4061
1985
_
50
EI
-846
1309
-174
-2158
_
RH
1.1
1.1
_
50
50
N
0.6
0.9
0.9
_
50
EI
0.3
0.5
0.4
0.5
_
RH
44
54
_
75
50
N
66
21
51
_
50
EI
24
14
45
71
_
a
Tabel diatas menunjukkan nilai statistik rata-rata tes yang relevan
dan persentase kasus yang memberikan hasil tes signifikan secara
statistik (P= 0.05). (a) Perbedaan rata-rata ketinggian PBL
dievaluasi dengan uji t, (b) perbandingan variance tinggi PBL di
evaluasi dengan uji F, (c) koefisien korelasi linier (%). Perhatikan
bahwa persentase yang tinggi dari hasil yang signifikan secara
statistik menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan
disebagian besar kasus untuk uji t dan uji F, sedangkan tingkat
korelasi menunjukkan nilai yang signifikan dalam kebanyakan
kasus dengan tes korelasi.
Tabel 2 menunjukkan hasil dari masing-masing tiga uji statistik yang
digunakan untuk membandingkan metode. Setiap bagian dari tabel persentase
kasus uji statistik yang menghasilkan nilai yang signifikan secara statistik
(P≤0.05) ditunjukkan di sudut kiri bawah, dan nilai rata-rata statistik yang
ditampilkan dikanan atas. Hasil SBI tidak digunakan karena populasi sounding
yang digunakan berbeda (tidak semua lokasi memiliki nilai SBI). Secara
keseluruhan ditemukan perbandingan variance berkisar antara 0.3-1.1 dengan
tingkat beda persentase sebesar 50%-100%, sedangkan koefisien korelasi linier
17
berkisar antara 14-71% dengan beda persentase 50%-100%. Hal ini menunjukkan
perbedaan statistik yang signifikan di sebagian besar kasus dengan menggunakan
lima metode untuk mengestimasi ketinggian PBL yang dilihat dari relatif
tingginya persentase yang dihasilkan disetiap uji statistik yang dilakukan.
Perbedaan nilai tengah cukup besar, ada yang bernilai negatif (-) dan ada yang
bernilai positif (+). Nilai tengah yang bernilai positif artinya beda nilai tengah
antara metode satu dengan yang lainnya tidak terlalu signifikan seperti perbedaan
nilai tengah antara metode refraktiviti dengan metode kelembaban spesifik dan
sebaliknya, nilai tengah yang bernilai negatif artinya terdapat perbedaan yang
signifikan ketinggian PBL antara kedua metode yang dihubungkan seperti pada
metode suhu potensial dan kelembaban spesifik, dimana nilai ketinggian PBL
yang dihasilkan metode gradien kelembaban spesifik lebih tinggi/besar
dibandingkan nilai ketinggian PBLyang dihasilkan metode gradien suhu potensial.
Pola Musiman dan Diurnal
Enam metode berbeda digunakan untuk mengestimasi tinggi PBL. Berdasrkan
yang dirangkum dalam tabel 3, tiga metode merupakan pendekatan tradisional
yang sering digunakan dalam pendekatan literatur PBL seperti gradien vertikal
maksimum suhu potensial, elevated inversion dan surface-based inversion or SBI.
Tabel 3, Menjelaskan tentang perbedaan musiman dalam statistik dan hanya
stasiun data dengan data malam hari termasuk dalam perbedaan diurnal secara
statistik. Selain itu, ditampilkan juga persentase kasus dengan kondisi musiman
dan diurnal yang signifikan, dimana dapat dilihat dari rata-rata nilai ketinggian
terendah PBL yang masing-masing ditemukan pada musim kemarau dan malam
hari. Nilai SBI tidak ditampilkan karena memiliki nilai yang terlampau kecil,
sehingga membuat perbandingan ketinggian rata-ratanya bermasalah.
Perbedaan signifikan perubahan musim (%) setiap metode relatif kecil
yaitu dibawah 50% dengan rata-rata perbedaan sebesar 23%. Metode yang
mengalami perbedaan terbesar yaitu pada gradien kelembaban spesifik sebesar
33% dan metode yang mengalami perbedaan terkecil terdapat pada metode
gradien suhu potensial sebesar 16%. Pada kondisi ketinggian PBL terbawah
musim kering dan terbawah pada musim hujan memiliki rata-rata perbedaan
sebesar 36% dan 39%, dengan nilai tertinggi sebesar 58% yang ditunjukkan
metode elevated inversion dan terendah 19% yang ditunjukkan oleh gradien suhu
potensial pada kondisi terbawah musim kering. Kondisi terbawah pada musim
hujan memiliki nilai teringgi sebesar 54% yang ditunjukkan oleh gradien
kelembaban spesifik dan terendah sebesar 8% yang ditunjukkan oleh gradien
refraktiviti. Signifikan ketinggian terendah PBL siang hari (%) memiliki rata-rata
perbedaan sebesar 47.5% dengan nilai tertinggi sebesar 64% yang ditunjukkan
oleh gradien kelembaban spesifik dan terendah sebesar 24% yang ditunjukkan
oleh gradien refraktiviti. Pada PBL terendah malam hari memiliki rata-rata
perbedaan sebesar 60%, dengan nilai tertinggi sebesar 82% ditunjukkan oleh
gradien kelembaban relatif dan terendah sebesar 33 % yang ditunjukkan oleh
elevatedin inversion.
18
Tabel 3 Metode untuk memperkirakan tinggi PBL dan persentase kasus dengan
signifikan perubahan musiman dan signifikan perbedaan diurnal ketinggian
PBL.
Abreviation
θ
q
RH
N
Elvated Inversion
Surface- based
inversion or SBI
metode
Lokasi dengan nilai gradien vertikal maksimum
suhu potensial
Lokasi dengan nilai gradien vertikal minimum
kelembaban spesifik
Lokasi dengan nilai gradien vertikal minimum
kelembaban relatif
Lokasi dengan nilai gradien vertikal minimum
refractivity
Height of the best of an elevated
Temperatur inversion
Height of the top of a surface-based
Temperatur inversion
Signifikan PBL PBL terendah
Signifikan perubahan PBL terendah PBL terendah
musim (%)
musim kering(%) musim hujan(%) terendah harian (%) malam hari (%)
16
19
38
44
67
33
35
54
64
75
25
40
42
62
82
17
27
8
24
42
25
58
53
42
33
n/a
n/a
n/a
n/a
n/a
Perbedaan yang dihasilkan setiap metode pada signifikan perubahan
musim, ketinggian PBL terendah musim kering, PBL terendah musim hujan,
signifikan PBL terendah siang hari dan PBL terendah malam hari berbeda-beda.
Metode gradien refraktiviti secara konsisten menghasilkan nilai terendah dengan
rata–rata perbedaan pada semua kasus sebesar 24% dan gradien kelembaban
spesifik mengahsilkan rata-rata nilai perbedaan pada semua kasus yang relatif
tinggi sebesar 52%. Nilai ketinggian PBL yang identik atau tidak, dipengaruhi
oleh tinggi rendah awan dan tutupan awan dilokasi sounding, dimana semakin
banyak tutupan awan akan menyebabkan nilai yang dihasilkan cenderung tidak
identik dan sebaliknya (Dian J.Seidel et al, 2010).
Variasi musiman harus mudah dideteksi dengan menggunakan data
radiosonde, karena sampling harian yang dihasilkan sangat baik sepanjang tahun.
Tabel 3 menunjukkan persentase kasus dimana ada perbedaan baik secara
musiman maupun diurnal, walaupun beda persentase yang dihasilkan masih ratarata dibawah 50 % (berdasarkan uji t). Jika dilihat dari pola musiman di Indonesia
nilai yang diperoleh masih relatif kecil. Sample yang diambil setiap lokasi yaitu
bulan Januari yang mewakili musim hujan dan bulan Juni yang mewakili musim
kemarau menunjukkan perbedaan ketinggian PBL secara keseluruhan yang tidak
terlalu signifikan. Hal ini disebabkan sifat variasi musiman yang tidak konsisten,
baik dari satu stasiun kestasiun lain maupun antara metode satu dengan yang lain.
19
7000
Ketinggian (m)
6000
q
5000
θ x10
4000
N
3000
RH
2000
EI
1000
0
SBI x10
a
b
c
(a)
Ketinggian (m)
7000
6000
q
5000
θ
4000
N
3000
RH
2000
EI
1000
0
SBI x10
a
b
c
(b)
Gambar 8 Nilai kuartil (Q2) musiman dan tahunan tinggi PBL di medan ( 8.50 S,
140.380 E) berdasarkan data tahun 2011 pada pagi hari waktu lokal (00.00 UTC)
(a) dan malam hari waktu lokal (12.00 UTC) (b). Nilai SBI dikali 10 untuk
melihat pola ketinggiannya pada diagram (nilai SBI yang dihasilkan terlalu kecil
dibandingkan dengan yang lainnya).
a=Musim Hujan, b=Musim Kemarau, dan c= Rataan bulan Januari dan Juni
Metode kelembaban spesifik (q), suhu potensial (θ), refractiviti (N),
kelembaban relatif (RH) elevated inversion (EI) dan Surface-based inversion
(SBI) pada umumnya memiliki ketinggian yang berbeda baik secara diurnal
maupun musiman. Berdasarkan hasil dari gambar 8, ketinggian PBL berdasarkan
metode kelembaban spesifik pada pukul 00.00 UTC memiliki ketinggian PBL
pada musim kemarau yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan. Hal
ini disebabkan pada pukul 00.00 UTC tingkat kelembaban udara relatif tinggi
pada musim kemarau sehingga mengangkat massa udara naik dan menyebabkan
tinggi PBL menebal, sedangkan pada pukul 12.00 UTC ketinggian PBL pada
musim hujan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini
disebabkan oleh faktor wind shear yang lebih dominan pada musim hujan
dibandingkan dengan musim kemarau serta kandungan uap air yang cukup tinggi
pada musim hujan. Secara diurnal metode kelembaban spesifik memiliki tinggi
PBL yang relatif lebih tinggi pada pukul 12.00 UTC dibandingkan dengan pukul
00.00 UTC untuk kedua musim. Hal ini desebabkan, pelepasan panas permukaan
pada pukul 12.00 UTC lebih tinggi dibandingkan pukul 00.00 UTC karena pada
20
pukul 12.00 UTC (19.00 waktu setempat) pengaruh radiasi matahari yang terjadi
dari siang hingga sore hari masih ada. Seperti halnya metode kelembaban spesifik
(q), metode elevated inversian (EI) dan kelembaban relatif (RH) dan Surfacebased inversion (SBI) juga memiliki karakteristik yang sama dengan metode
kelembaban spesifik. Namun, pada metode kelembaban relatif pukul 12.00 UTC
memiliki tingggi PBL pada musim kemarau yang lebih tinggi dibandingkan
musim hujan. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh tingginya kelembaban pada
musim kemarau pada pukul 12.00 UTC. Ketinggian PBL berdasarkan metode
suhu potensial pada pukul 00.00 UTC memiliki ketinggian PBL musim hujan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau, sedangkan pada pukul
12.00 UTC ketinggian PBL pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan
musim kemarau. Secara diurnal metode suhu potensial memiliki tinggi PBL yang
relatif lebih tinggi pada pukul 12.00 UTC dibandingkan dengan pukul 00.00 UTC
untuk kedua musim. Karakteristik (pola) yang sama ditunjukkan oleh metode
refraktiviti (N).
Gambar 8 menunjukkan rata-rata median tinggi PBL dari setiap metode
untuk melihat perbedaan secara musiman dan rataan tahunan. Pada pukul 00.00
UTC, nilai rata-rata yang diperoleh pada musim hujan sebesar ±3 km sedangkan
pada pukul 12.00 UTC sebesar ±4 km. Sedangkan musim kemarau pukul 00.00
UTC rata-rata ketinggian PBL yang diperoleh sebesar ±3 km dan pukul 12.00
UTC sebesar ±3.5 km. Secara keseluruhan estimasi ketinggian PBL yang
diperoleh pada pukul 12.00 UTC lebih tinggi dibandingkan dengan pukul 00.00
UTC. Hal ini disebabkan, karena pukul 12.00 UTC (19.00 waktu setempat/12.00
UTC) pengaruh dari pemanasan permukan akibat radiasi yang diterima sepanjang
siang hingga sore hari masih cukup tinggi, sedangkan pukul 00.00 UTC relatif
lebih kecil. Secara musiman, ketinggian PBL pada musim penghujan lebih tinggi
dibandingkan dengan musim kemarau yaitu sebesar 3.7 km (musim hujan) dan 3.2
km (musim kemarau). Hal ini disebabkan, karena dasar pada dasar permukaan
(pada boundary layer) terdapat turbulen dan pada bagian dasar dalam awan juga
terdapat turbulen yang menyebabkan tebal PBL pada musim hujan lebih tebal.
Selain itu, tingkat kelembaban di wilayah indonesia yang relatif tinggi
mengakibatkan peningkatan tebal PBL. Turbulen dibangkitkan dari dua hal yaitu
share angin dan kondisi atmosfer yang tidak stabil. Berdasarkan kasus ini, kondisi
atmosfer dominan stabil di lebih dari 80% lokasi, yang artinya penyebab turbulen
lebih disebabkan oleh share angin. Menurut Tjernstrom et al. (2008), nilai Ri
dapat digunakan untuk mengetahui adanya aliran turbulensi yang terjadi pada
suatu lapisan. Turbulensi dapat dihasilkan dari gaya apung (bouyancy) dan share
angin yang memiliki interaksi dengan panas permukaan. Adanya turbulensi ini
merupakan salah satu karakteristik unik yang dimiliki PBL. Turbulensi semakin
kuat jika permukaan lebih panas dibandingkan dengan udara yang ada diatasnya,
dan turbulensi akan melemah jika permukaan lebih dingin dibandingkan dengan
udara atasnya (Hoffert dan Sud 1976).
21
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penentukan ketebalan PBL dapat dilihat dari profil vertikal gradien dari
parameter meteorologi yang digunakan. Kelima metode gradien dari suhu
potensial (θ), kelembaban spesifik (q), kelembaban relative (RH), elevated
inversion (EI) dan profil refraktiviti (N) umumnya menghasilkan perkiraan tinggi
PBL yang berbeda. Nilai rata-rata yang khas dari ketinggian PBL berkisar antara
200-3000 m, dengan SBI menunjukkan nilai terendah seperti yang diharapkan.
Ketinggian PBL yang didasari gradien refraktiviti memiliki tinggi yang konsisten
(lebih tinggi) dari metode lainnya sekitar ±5 km, tetapi secara khusus tinggi PBL
berdasarkan gradient refraktiviti (N) tidak setara dengan garadien parameter
meteorologi lainnya (memiliki beda ketinggian ±2 km dari yang lainnya). Metode
gradien suhu potensial secara konsisten mengasilkan tinggi yang signifikan lebih
rendah dari yang lainnya sebesar ±1.7 km dan lebih konsisten secara diurnal dan
musiman, dengan variasi musiman nilai yang lebih rendah pada pukul 00.00 UTC
sebesar ±0.9 km dan musim kemarau sebesar ±1.5 km. Metode gradien
kelembaban spesifik dan kelembaban relatif secara konsisten menghasilkan
perkiraan ketinggian PBL yang lebih tinggi dari yang lainnya sebasar ±3.6 km.
Ketinggian PBL pada musim hujan lebih tebal dibandingkan dengan musim
kemarau dengan selisih 0.5 km. Rata-rata ketinggian PBL setahun dari nilai
median setiap kasus adalah sebesar ± 3.1 km pada pukul 00.00 UTC dan ±3.8 km
pada pukul 12.00 UTC, dengan selisih perbedaaan sebesar ±0.7 km. SBI
merupakan tipe yang berbeda dari kelima metode lainnya, karena nilainya sangat
kecil (rata-rata dibawah 150 m). Nilai SBI lebih sering terjadi pada pukul 00.00
UTC dibandingkan pukul 12.00 UTC dan lebih umum terjadi pada musim hujan.
Pada Pukul 12.00 UTC 68% SBI terjadi pada ketinggian 55-152 m dengan
ketinggian maksimum sebesar 152 m dan minimum sebesar 55 m sedangkan 32%
tidak terjadi SBI. Pukul 00.00 UTC 93% SBI terjadi pada ketinggian 19-140 m
dengan ketinggian maksimum sebesar 140 m dan minimum sebesar 19 m
sedangkan 8% tidak terjadi SBI.
Saran
Lokasi pengamatan sounding yang digunakan sebaiknya lebih banyak,
untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif di wilayah Indonesia.
Penggunaan data untuk uji statistikn lebih diperbanyak untuk mendapatkan
tingkat signifikan dan korelasi antar metode lebih tinggi dan akurat. Pengolahan
data lebih baik menggunakan perangkat lunak seperti minitab & matlab untuk
efisiensi waktu dan hasil yang lebih baik.
22
DAFTAR PUSTAKA
Arya PS. 1999. Air Pollution Meteorology and Dispersion. New York: Oxford
University Press.
Arya PS. 2001. Introduction to Micrometeorology. Second Edition. San Diego,
New York, Berkeley, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto:
Academic Press, Inc.
Bean, B. R., and E. J. Dutton, 1968: Radio Meteorology. Dover, 435 pp.
Betts AK dan Bartlo J. 1991. The Density Temperature and the Dry and Wet
Virtual Adiabats. Monthly Weather Review 119:169-175.
Bradley, R. S., F. T. Keimig, and H. F. Diaz 1993. Recent changes in the North
American Arctic boundary layer in winter, J. Geophys. Res., 98,8851–
8858, doi:10.1029/93JD00311.
Durre I dan Yin X. 2008. Enhanced Radiosonde Data for Studies of Vertical
Structure. Bulletin of the American Meteorology Society 89:1257-1262.
Dian J.Saidel, Chi O.Ao dan Kun Li. 2010. Estimating Climatological Planetary
Boundary Layer Heights from Radiosonde Observation : Comparison of
Methods and Uncertainty Analysis. Journal of Geofhysical Research, vol.
115, D16113, doi:10.1029/2009JD013680.
Garratt, J. R. 1992. The Atmospheric Boundary Layer, 335 pp., Cambridge
Atmospheric and Space Science Series, Cambridge Univ. Press.
Gupta SK dan Ramachandran R. 1998. Tropical Atmospheric Boundary Layer.
PINSA 64A (3):267-276.
Kaimal JC, Wyngaard JC, Haugen DA, Cote OR, dan Izumi Y. 1978. Turbulence
Structure in the Convective Boundary Layer. Atmospheric Sciences
33:2152-2168.
Medeiros B, Hall A, dan Stevens B. 2005. What Controls the Mean Depth
of the PBL?. Climate 18:3157-3172.
Oke, T. R. 1988. Boundary Layer Climates, 2nd ed., 435 pp., Halsted Press, New
York.
Sullivan PP, Moeng CH, Stevens B, Lenschow DH, dan Mayor SD. 1998.
Structure of the Entrainment Zone Capping the Convective Atmospheric
Boundary Layer. Atmospheric Sciences 55:3042-3064.
Stull, R. B. 1988. An Introduction to Boundary Layer Meteorology, 666 pp.,
Dordrecht, Kluwer.
Stull RB. 1999. An Introduction to Boundary Layer Meteorology. London:
Kluwer Academic Publishers.
Sorbjan, Z. 1989. Structure of the Atmospheric Boundary Layer, 317 pp., Prentice
Hall, Englewood Cliffs, N.J.
Tucker SC, Brewer WA, Banta RM, Senff CJ, Sandberg SP, Law DC,
Weickmann AM, dan Hardesty RM .2009. Doppler Lidar Estimation
of Mixing Height Using Turbulence, Shear, and Aerosol Profiles.
Atmospheric
and
Oceanic
Technology.
DOI:
10.1175/2008JTECHA1157.1
Tjernstrom M, Balsley BB, Svensson G, dan Nappo CJ. 2008. The Effects of
Critical Layers on Residual Layer Turbulence. Atmospheric Sciences
66:468-480.
23
Wyngaard JC. 1985. Structure of the Planetary Baoundary Layer and
Implications for its Modelling. Climate and Applied Meteorology
24:1131-1142.
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara yang dilahirkan di
Tanjungtiram-Batubara, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 05 Desember 1992
dari pasangan H.Muhammad Yatim Zean dan Hj. Siti Rahma Arma. Penulis
menyelesaikan masa sekolah TK Ade Irma tahun 1998, SD 010146 Talawi tahun
2004, dan SMPN 1 Talawi tahun 2007. Tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 2
Plus Sipirok dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur
PMDK untuk jurusan Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam-IPB.
Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam
kegiatan organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB & FMIPA pada
tahun 2010/2011 & 2011/2012. Pada tahun 2012/2013 terpilih menjadi Ketua
Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO). Pada tingkat akhir
penulis menjadi Badan Pengawas (BP) HIMAGRETO dan Himpunan Mahasiswa
Meteorologi Indonesia (HMMI). Selain itu, selama menjadi mahasiswa penulis
juga aktif menjadi panitia di berbagai acara yang pernah dilakukan di
HIMAGRETO, Fakultas maupun tingkat IPB. Pada tahun terakhir, sebagai syarat
lulus dari IPB, penulis melakukan penelitian di Laboratorium Meteorologi dan
Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB yang
dibimbing oleh Prof Dr Ir Ahmad Bey.
Download