Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016

advertisement
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
SUSUNAN PENGURUS JURNAL LUXNOS
STT PELITA DUNIA
PEMBINA
Ketua STT PELITA DUNIA
Yunus Selan, M.Th.
PENANGGUNG JAWAB
Adi Putra, M.Th.
MITRA BESTARI
Dr. Djulius Th. Bilo, M.Th. (STT SETIA Jakarta)
Stenly Paparang, D.Th. (STT SETIA Jakarta)
Decky H.Y. Nggadas, M.Th. (STT GRACIA Batam)
James A. Lola, M.Th. (STAKN Toraja)
EDITOR DAN PENYUNTING AHLI
Adi Putra, M.Th.
KETUA DEWAN REDAKSI
Dr. Kembong Mallisa’, M.Th.
ANGGOTA DEWAN REDAKSI
Sri Dwi Harti, M.Th.
Abraham Tefbana, M.Pd.K.
REDAKSI PELAKSANA
Adi Putra, M.Th.
Alamat Redaksi :
JI. Kelapa Gading Selatan Blok AH 10 No. 24-26; Gading Serpong, Kabupaten
Tangerang Propinsi Banten 15810
Telp. 021-54203719
e-mail redaksi : [email protected]
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Mengapa λύχνος ?
K
ata λύχνος diartikan pelita. Berdasarkan kemunculannya dalam Alkitab, kata ini
digunakan atau dapat dipahami secara literal dan secara metafora. Dalam
konteks Perjanjian Lama, istilah pelita merupakan metafora yang digunakan
secara umum untuk menunjukkan: (1) kehidupan keturunan yang terpelihara (2 Sam.
21:17 - LXX); (2) sumber bantuan ilahi (Ayb. 29: 3 - LXX), dan (3) Hukum (Mzm.
119:105 - LXX).
Sedangkan dalam Perjanjian Baru, Yesus menggunakan kiasan dari sebuah
realitas: untuk memberikan cahayanya, pelita harus diletakkan di atas kaki dian. Pada
Matius 5:15 tampaknya menegaskan tentang para murid harus memberikan kesaksian
di depan umum, meskipun referensi untuk pelayanan Yesus sendiri tidak
dikecualikan. Dalam Lukas 11:34, Yesus menyebut “mata adalah pelita tubuh”. Mata
harus terbuka bersama terang Injil supaya dapat berdampak baik kepada semua
anggota tubuh yang lain. Nasihat dalam Lukas 12:35 menyajikan pelita menyala
sebagai simbol kesiapan. Pada Lukas 15: 8, wanita yang kehilangan sepuluh koin
memerlukan pelita untuk mencarinya. Dalam Yohanes 5:35, Yesus menghormati
Yohanes Pembaptis dengan menyebutnya “pelita yang menyala”; meskipun dia tidak
bisa disebut cahaya itu sendiri (lih. 1: 8), tetapi ia telah memberikan kesaksian tentang
itu. Wahyu 11: 4 menjelaskan dua saksi kaki dian (pelita) (lih. Zak 4:. 2, 11), sedangkan
ketujuh jemaat, tujuh kaki dian (pelita) yang terbuat dari emas di 1: 12-13 dll (lih. Zak
4 dan Gunung 5.: 15), dan Anak Domba sendiri adalah pelita kota surgawi di 21:23. Di
Ibrani 9: 2 mengacu pada kaki dian (pelita) dalam “Kemah Suci”, dan 2 Petrus 1:19
menyebut kata profetik tentang pelita yang bersinar di tempat gelap hingga fajar
menyingsing.
Melihat penggunaan kata λύχνος dalam Alkitab, maka dapat kita mengerti bahwa
kata ini tidak hanya berarti pelita dalam pengertian harfiahnya. Akan tetapi secara
metafora juga dapat berarti Firman Tuhan, Kesaksian, dan hal-hal yang memiliki
kaitan dengan Penyataan Ilahi. Sehingga ketika nama λύχνος dipilih untuk JURNAL
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI PELITA DUNIA, maka diharapkan bahwa setiap
tulisan yang termuat di dalam jurnal ini dapat menjadi kesaksian atau kabar baik bagi
dunia, menjadi peringatan untuk tetap waspada terhadap pengajaran serta ajaran sesat,
menjadi hukum yang akan terus membimbing setiap pembaca untuk berjalan di jalan
yang benar dan menjadi pelita yang senantiasa memancarkan cahayanya di dalam
kegelapan, baik kegelapan rohani maupun kegelapan pengetahuan. Seperti yang
tertulis dalam Lukas 12: 35, “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap
menyala”.
Adi Putra
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
DAFTAR ISI
Susunan Pengurus
Mengapa “Luxnos”?
Daftar Isi
i
ii
iii
Artikel-artikel:
Tafsiran Kitab Yoel
Dr. Sri Dwi Harti, M.Th.
1-4
“Tou.j avgge,louj” dalam 1 Korintus 11:10
Decky H.Y. Nggadas, M.Th.
5-28
Peran Pendidikan Agama Kristen bagi Pertumbuhan Gereja
Abraham Tefbana, M.Pd.K
20-59
Ecclesia via Contemplativa versus Ecclesia via Gratia
Dr. Daud Anfons Pandie, M.Th.
60-75
Berbagai Sistem, Fungsi, Peranan dan Tanggung Jawab Keluarga
Dr. Dyulius Thomas Bilo, M.Th.
76-93
Filsafat Trinitas
Dr. Stenly R. Paparang, M.Th.
94-120
Dekatnya Kedatangan Kristus yang Kedua
Adi Putra, M.Th.
121-133
Hubungan Antara Allah – Manusia – Tanah Berdasarkan Kejadian 2 : 4b-7
Yane Octavia Rismawati Wainarisi, M.Th (c).
135-149
Ulasan Buku
Para Kontributor
Aturan Penulisan
150-156
157-158
159-161
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
FILSAFAT TRINITAS
Eksplanasi Pribadi Allah dalam Ranah Filosofis–Apologetis
Stenly R. Paparang
Abstraksi:
Pengetahuan dan pemahaman akan pribadi Allah merupakan dasar utama dari iman
suatu agama. Semua agama berangkat dari pemahamannya akan suatu bentuk
penyataan personalitas yang “dianggap” ilahi, kuat, perkasa, kekal, berkuasa,
pencipta, dan lain sebagainya. Agama Kristen adalah salah satu agama yang
bermetamorfosis dari bentuk-bentuk pengajaran bahkan iman monotheisme
Yudaisme yang bersumber dari Kitab Suci dan penyataan Allah. Bahkan orang
Kristen memilih jalan lain dalam memahami personalitas Allah yang berseberangan
dengan konsepsi dan iman Yudaisme. Trinitas adalah suatu sistem kepercayaan
yang berkembang dari bentuk-bentuk hermeneutika faktualistik dan biblikalistik.
Dalam ranah filsafat, Trinitas memiliki ruang pemahaman yang lebih luas dan lebih
dapat dipahami secara sederhana maupun kritis. Meskipun konsepsi dan iman
terhadap Trinitas menimbulkan jurang yang dalam bagi status monotheisme
Yudaisme, tetapi Kristen tetap mempertahankan monotheisme dan sekaligus
mengakui kejamakan personalitas Allah yang dijumpai dalam teks-teks Kitab Suci.
Menurut Kristen, Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui Yesus
Kristus.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Pendahuluan
ayoritas pemeluk agama-agama bertanya-tanya tentang seperti apakah Allah itu?
Ada yang bertanya-bertanya berapa sebenarnya pribadi Allah itu. Bahkan setelah
mempertimbangkan dengan logika (rasio), beberapa orang berkesimpulan
bahwa sebenarnya Allah itu tidak ada; Ia hanya dalam pemikiran manusia saja – itu
soal persepsi semata. Ada yang bertanya-tanya mungkinkah Allah itu yang
menciptakan manusia? Ataukah ada semacam fenomena alam yang terjadi dengan
sendirinya. “Allah” hanyalah sebuah ilusi – mungkin itu cocok untuk menggambarkan
alasan dan kesadaran bahkan sistem kepercayaan orang-orang zaman ini (meski tidak
secara masiv). Alasan ini juga telah dikumandangkan sejak dulu. Banyak orang yang
berusaha memahami pribadi (personalitas) Allah dan terjebak dalam kurungan logika
yang dianggap sebagai pencetus ide-ide liberalisme dan siap menjadi alasan bahwa
Allah itu hanyalah suatu omong kosong. Atau bahwa Allah itu adalah “satu” [esa]
secara personalitas–numerik tanpa memperhitungkan konteksnya (situasi dan
kondisi) dan relasi manusiawinya.
Banyak kisah yang terjadi dalam memperebutkan siapa yang dapat menjelaskan
tentang Allah secara benar dan menuntut supaya orang-orang yang dapat
dipengaruhinya untuk ikut mempercayai apa yang diyakininya. Pengkajian secara
cermat, bahkan terkesan ilmiah telah banyak dibahas dari zaman ke zaman dari para
“penyembah-Nya”. Hasilnya, penganut agama tertentu bisa semakin bertambah atau
sebaliknya, berkurang. Alasan orang mempelajari personalitas Allah dikaitkan dengan
sistem kepercayaan yang pada umumnya didasarkan pada narasi Kitab Suci, di mana
Kitab Suci tersebut bermetamorfosis secara alami atau secara (dianggap) ilahi menjadi
bentuknya yang sekarang ini. Kitab Suci adalah kebanggaan bagi setiap penganut
agama-agama di dunia ini. Menurut hemat saya, Kitab Suci adalah pijakan kuat bagi
pengembangan ajaran-ajaran Allah untuk menambah jumlah komunitas agama
meskipun kualitatifnya jarang diperhitungkan. Orientasi kuantitatif menjadi alasan
utama dari agama-agama ketimbang orientasi kualitatif. Berangkat dari hal tersebut,
sering terjadi gejolak dan gesekan di antara penganut agama-agama di dunia ini demi
memperebutkan jumlah penganut agamanya sendiri.
A.
M
Perdebatan yang menghasilkan disparitas tentang personalitas Allah telah
mewarnai pergulatan sosio–teologis dan spiritualitas sepanjang sejarah. Sejak manusia
pertama (Adam dan Hawa) diciptakan, Allah berkehendak memperkenalkan diri-Nya.
Sebelum Hawa, Adam telah mendapatkan hak istimewa karena dialah yang pertamatama menerima bentuk penyataan diri Allah sebagai Penciptanya. Hasilnya, Adam
memberikan hak istimewa itu kepada istrinya dalam konteks menyatakan apa yang
Allah perintahkan kepadanya sebagai sesuatu yang harus dilakukan dan tidak
dilakukan. Meskipun kisah Adam telah banyak diperdebatkan, namun isu-isu
keraguan terhadapnya merupakan bagian penting bagi kekuatan historisitas yang
dapat diandalkan. Secara khusus, banyak ahli meragukan kisah tersebut karena
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
dianggap mitos atau hanya semacam karangan penulis Kitab Suci semata. Namun,
keraguan tersebut patut kita hargai tetapi dengan sikap yang kritis. Di samping itu,
selaras dengan bentuk-bentuk keraguan tentang historisitas Adam (dan Hawa),
personalitas Allah juga ikut diragukan. Pasalnya, dalam bentuk pemikiran yang
meragukan, manusia sering mendasarkan argumentasinya pada logika. Tak jadi soal
mengenai kekuatan logika yang dipakai sebagai senjata untuk meragukan dan
menegasikan personalitas Allah. Akan tetapi, untuk menjawabnya juga dibutuhkan
kekuatan logika dan di sini peran apologetika dirasa sangat krusial dan mendesak.
Dalam elaborasi berikut ini, saya hendak memberikan ruang baru bagi penalaran
tentang personalitas Allah dengan pendekatan filosofis, dalam kaitannya dengan
Trinitas – doktrin yang paling diperdebatkan, paling dihindari, paling tidak diketahui
dan paling dipertahankan di kolong langit ini.
B. Dunia Filsafat adalah Dunia Berpikir
Ranah filsafat merupakan ranah yang cukup rumit. Ranah ini berkutat dalam
persoalan-persoalan pemikiran rasio dan tanggung jawab rasio terhadap sesuatu yang
dipikirkan, entah sebagai bukti atau hanyalah semacam manipulasi fakta untuk
membenarkan sesuatu. Filsafat menghasilkan berbagai macam hal. Namun, hasil-hasil
filsafat ada yang bermanfaat, ada juga yang tidak. Manusia berhak berfilsafat dan
menolak untuk berfilsafat. Yang lain menerima keputusan filsafat dan lainnya juga
menolak. Dunia berpikir adalah dunia menganalisis, dunia menerima, dan menolak
sesuatu.
Begitu pula dengan dunia agama, sebuah dunia yang dianggap terpisah dengan
dunia yang riil; terpisah dari dunia ilmu pengetahuan. Padahal, baik filsafat, ilmu
pengetahuan, dan teologi, semuanya melibatkan cara berpikir yang kritis. Tidak ada
yang dapat mengklaim bahwa kekuatan pikiran terletak hanya dalam dunia filsafat,
teologi, atau ilmu pengetahuan. Semuanya bergerak dan bertumbuh atau bahkan
collapses berdasarkan pemikiran [cara berpikir]. Dari pengertian ini, saya hendak
menganalisis personalitas Allah Trinitas. Artinya, memahami Trinitas dengan cara
berpikir (berfilsafat), dirasa memiliki pengaruh yang sangat signifikan, terutama bagi
keyakinan terhadap Allah itu sendiri berdasarkan fakta [penyataan] bahwa Ia telah
menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya.
Sebagaimana dunia filsafat adalah dunia yang mengandalkan kekuatan dan
ketajaman pikiran, maka Trinitas yang akan dibahas di sini akan melakukan
pendekatan tersebut. Pasalnya, rumusan Trinitas dianggap bertolak belakang dengan
cara berpikir, dengan fakta sejarah, bahkan dianggap sebagai ajaran sesat. Penetapan
Trinitas sebagai ajaran sesat bersumber dari cara berpikir seseorang yang mengkaji
rumusan Trinitas tersebut yang seringkali mengabaikan dunia bukti-bukti Kitab Suci
atau bahkan dunia berpikir itu sendiri. Dengan demikian, gerak pikir terhadap Trinitas
bukanlah menolak cara berpikir kritis melainkan mendasarinya dengan berpikir kritis
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
terhadap segala kemungkinan kesesatan pikiran dan negasi terhadapnya. Oleh sebab
itu, memahami Trinitas dalam bingkai logika, akan menghasilkan sikap ketundukan
kepada Tuhan sebagai Pencipta logika manusia, yang dengannya manusia dapat
mengetahui segala sesuatu yang bisa diketahuinya, bahkan sampai kepada
personalitas Pencipta selaras dengan apa yang diwahyukan-Nya kepada dunia.
C. Trinitas: Sebuah “Episteme” atau “Doxa”?
Dua hal yang disinggung di sini terkait dengan pemahaman akan Trinitas yakni
episteme dan doxa. Secara sederhana, episteme (Yun.) berarti “pengetahuan”, dan doxa
(Yun.) berarti “pendapat”. Episteme merupakan pengetahuan yang telah teruji dan
diterima sebagai kebenaran, sebaliknya doxa merupakan pendapat yang masih terus
diuji kebenarannya.1 Dalam pengertian lain, doxa dapat dikategorikan sebagai opini
atau persepsi – lebih subjektif, sedangkan episteme dapat dikategorikan sebagai
keyakinan terhadap sesuatu yang telah teruji – objektif. Persoalan dalam kedua term
tersebut adalah “jenis” pengetahuan atau “pendapat”. Seolah-olah tidak ada
demarkasi (pembatasan) logis atas sebuah objek yang diteliti.
Dalam hal memahami Trinitas, saya menegaskan bahwa hal itu merupakan
episteme – yang dalam konteks yang lebih sempit dianggap sebagai pengetahuan
berdasarkan penyataan Allah sendiri, yang secara faktual telah dialami oleh umat-Nya.
Itu adalah sebuah kebenaran yang telah dilewati sekian lama, dan telah melewati
pengujian, meskipun hasilnya adalah munculnya disparitas hermeneutika antara
Yudaisme dan Kristen. Sebagai episteme, Trinitas diterima sebagai kebenaran –
sebagaimana ilmu pengetahuan juga dianggap sebagai kebenaran, bagi yang
“menerima” ilmu itu sendiri (kontra Karl Poper). Trinitas diyakini dengan iman bahwa
“Allah telah menyatakan bahwa diri-Nya jamak, ada pribadi-pribadi yang dijelaskan
secara setara, kekal, dan Pencipta, dan lain sebagainya. Itulah episteme Kristen tentang
personalitas Allah.
Trinitas dan Teori Falsifikasi
Menilik teori falsifikasi Karl Poper2, menjelaskan bahwa apa yang benar (dalam
ilmu pengetahuan) harus dipastikan dengan sanggahan (dapat disanggah, falsifiable)
sampai terbukti benar.3 “Keterujian sebuah teori pada prinsipnya mesti membuka
T. M. Soerjanto Poespowardojo & Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakikat Ilmu
Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2015), 134.
2 Poper adalah salah satu filsuf Austria-Inggris yang besar pengaruhnya dalam pemikiran
mengenai filsafat ilmu pengetahuan dalam abad XX. Kemasyhurannya diperoleh dari pendiriannya
yang kuat dalam usahanya menolak positivisme logis. Ia mengajukan metode falsifikasi empirik untuk
menggantikan apa yang oleh positivisme logis disebut metode verifikasi empirik. Poespowardojo &
Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 71.
3 Poespowardojo & Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 80.
1
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
ruang untuk dapat disalahkan (be falsifiable).”4 Menurut Poper, When we prefer one theory
to others because we conjecture that it is a better or closer approximation to the truth. 5 Jadi ia
mengusulkan: ketika kita lebih menyukai sebuah teori daripada teori-teori lainnya, itu
karena kita telah menduga bahwa teori tersebut perkiraannya lebih baik atau lebih
mendekati kebenaran.6
Istilah “difalsifikasi” tidak dimaksudkan bahwa sesuatu sudah salah dari awal,
tetapi bahwa suatu kesimpulan yang ditemukan/dihasilkan ada kemungkinan (dapat
disanggah) salah. Kesimpulan yang dapat (disanggah) salah mendorong pembuktian
dengan pengamatan atau eksperimen.7 Teori falsifikasi juga menyatakan, suatu teori
setelah diuji tetap tahan, maka itu berarti bahwa kebenarannya diperkukuh
(corroboration). Makin besar kemungkinan untuk menyangkal suatu teori, makin kukuh
pula kebenarannya, jika teori-teori itu tahan terus. Secara singkat itulah yang disebut
Poper the thesis of refutability: suatu ucapan atau hipotesis bersifat ilmiah kalau secara
prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability).8
Namun, kelemahan teori ini adalah bahwa: pertama, siapa saja dapat mengajukan
kemungkinan dapat salah kepada semua teori, sehingga terkesan tidak ada kebenaran
mutlak; kedua, tidak ada demarkasi teori-teori apa saja yang perlu dikritisi; ketiga,
kebenaran suatu teori bukanlah didasarkan pada bertahannya atau semakin
banyaknya sanggahan dan keraguan atau penyangkalannya. Kebenaran historis tidak
bergantung kepada berapa banyaknya kritikan dan kepada sedikitnya dukungan
terhadapnya; dan keempat, teori falsifikasi tidak menghargai bukti faktual dan
kebenaran mutlak, karena di dalam dirinya sendiri tidak melakukan demarkasi teori
dan demarkasi kritikan sebagaimana semua orang dapat dengan bebas mengkritisi
sesuatu tanpa melihat apakah sebuah teori itu dibangun berdasarkan fakta atau hanya
persepsi, bahkan opini liar dan tak berdasar.
Doktrin Trinitas juga mengalami problem yang sama dalam teori falsifikasi.
Doktrin ini telah bertahan ribuan tahun. Bertahannya teori ini bukanlah didasarkan
pada “doxa” melainkan pada “episteme”, bukti-bukti faktual, bukan karangan para
murid atau Bapa-bapa Gereja awal. Kelihatannya doktrin ini dengan mudah untuk
disingkirkan, namun justru yang mau menyingkirkan, justru yang tersingkirkan.
Dalam perjalanan historisnya, doktrin Trinitas banyak mendapat pertentangan
dan berdebatan, sampai kepada penegasian. Pihak Yudaisme dan Islam (atau siapa
saja) menganggap atau bahkan mengklaim kesimpulan Kristen bahwa “Allah itu satu,
tetapi terdiri dari tiga Pribadi: Bapa, Yesus [Anak], dan Roh Kudus” ada kemungkinan
Ian G. Barbour, Issue in Science and Religion (New York: Harper Torchbook, 1971), 148. Dikutip oleh
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), 131.
5 Karl R. Poper, Realism and The Aim of Science (New York: Routledge, 2000), 20, 67. Dikutip oleh
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 132.
6 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 132.
7 Poespowardojo & Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 72-73.
8 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 139.
4
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
salah atau salah total. Maka, pembuktian benar tidaknya melalui teori falsifikasi
dianggap tidak memadai. Sebabnya adalah Trinitas merupakan faktualitas penyataan
diri Allah kepada manusia sebagaimana disebutkan dalam Alkitab, yang tak mungkin
salah, dan tidak perlu dianggap sebagai bisa mengandung kesalahan karena hal itu
telah terjadi (fakta sejarah). Yang dapat salah hanya terkait dengan metamorfosis
sesuatu dan interpretasi sesuatu, yang dalam pemikiran Poper disebut asimptotis
(asymptotic, mendekati tetapi tidak akan pernah bertemu) untuk menunjuk kepada
realitas independen. Bagi Poper, realitas independen bisa dipandang sebagai sesuatu
yang berbeda dari hal yang dipahami oleh pengetahuan manusia. 9 Realitas
independen adalah benar (berdasarkan faktanya), tetapi pemahaman terhadapnya bisa
salah. Ini sama saja dengan istilah Historie dan Geschichte.
Allah tidak bermetamorfosis tetapi menyatakan diri secara gradual. Tidak ada
perubahan pada diri-Nya jika dibanding dengan metamorfosis. Para nabi dan rasul
tidak melakukan metamorfosis terhadap penyataan Allah dengan menafsirkan
melampaui dari apa yang dinyatakan. Mereka yang mempertahankan dan menuliskan
apa yang difirmankan Allah kepada mereka secara gradual.
Teori falsifikasi perlu melihat uraian berikut ini bahwa fakta sejarah – histori –
merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi tanpa ada interpretasi bahwa itu salah
atau tidak, sedangkan yang dapat salah adalah “arti/makna” dari sejarah itu. Sebagai
contoh, berikut uraian Linda Smith dan William Raeper,
Orang Jerman mempunyai dua kata untuk sejarah. Teolog menggunakan dua kata
itu untuk menunjuk Kitab Suci: Historie adalah apa yang terjadi: kenyataan,
tanggal dan peristiwa. Historie tidak memuat interpretasi. Geschichte adalah “arti”
dari apa yang terjadi. Geschichte mencari pola di dalam peristiwa-peristiwa, cerita.
Para teolog Jerman mulai menulis mengenai “Heilgeschichte” atau “Sejarah
Keselamatan”. Mereka menyatakan bahwa Kitab Suci merekam Allah yang
bertindak di dalam pengalaman manusiawi. Bagaimana orang mengalami Allah
penting, bukan apa yang dilakukan Allah di dalam arti historis, objektif. 10
Kutipan ini yang saya jadikan sebagai contoh, saya anggap telah meruntuhkan
teori-teori atau tafsir-tafsir yang keliru (tidak berdasarkan fakta) tentang Trinitas,
sebagai teori falsifikasi, sebab teori falsifikasi harus tunduk pada “fakta sejarah”.
Trinitas adalah fakta sejarah, bukan karangan gereja mula-mula atau para Bapa Gereja.
Kutipan ini juga akan dipertentangkan dengan pemahaman Imannuel Kant tentang
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 146.
Linda Smith dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, diterjemahkan oleh
P. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 168. Judul asli A Beginner’s Guide to Ideas, (Oxford,
England: Lion Publishing, 1991), 170.
9
10
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
filsafat fenomenologi yang akan saya bahas setelah filsafat positivisme logis dalam
hubungannya dengan Trinitas.
Trinitas dan Positivisme Logis
Terkait dengan episteme, memahami Trinitas dalam bingkai positivisme logis
mengalami jalan buntu. Menurut Poespowardojo & Seran,
apa yang dipahami sebagai positivisme adalah pandangan bahwa ilmu alam
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar. Aktivitas akal budi
yang bersifat spekulatif menghasilkan pernyataan-pernyataan yang tidak dapat
dibuktikan secara empiris, dan karena itu tidak bersifat ilmiah karena tidak bisa
dibuktikan secara empiris, benar atau salah. Jadi, positivisme menekankan
pengalaman dan kehendak bebas.11
Dalam konteks pengalaman atau empiris, Poespowardojo & Seran menjelaskan
bahwa pengalaman merupakan data inderawi yang bisa dibuktikan; jika bukan data
indrawi, maka tidak bisa dibuktikan sebagai fakta. Melalui penekanan terhadap
pengalaman dan kehendak bebas, positivisme menolak teologi dan metafisika sebagai
pengetahuan ilmiah karena keduanya bersifat spekulatif dan preskriptif. 12 Positivisme
logis menekankan bahwa pengetahuan dan kebenaran ilmiah bersifat sintetis a
posteriori yang bisa diverifikasi dan dikonfirmasi melalui pembuktian empiris. 13
Jika positivisme logis menekankan “empiris” dan “data indrawi”, maka negasi
positivisme logis terhadap teologi mengalami standar ganda. Konteks teologi justru
melibatkan empiris dan data indrawi. Musa menerima firman dari TUHAN, begitu
juga para Bapa-bapa leluhur dan para nabi. Bukankah mereka telah memiliki empiris
dan data indrawi? Jika “positivisme merupakan empirisme yang menekankan
pengalaman empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan”14, maka apakah
seseorang yang merasakan hembusan angin tetapi tidak dapat melihat angin, dapat
disebut sebagai data indrawi?
Jika standar ganda juga digunakan oleh pengikut positivisme dengan mengatakan
bahwa “jika orang Kristen percaya bahwa Allah adalah Trinitas padahal mereka tidak
melihatnya, apakah hal itu dapat disebut data indrawi? Jawaban kita adalah: benar, itu
adalah data indrawi. Standar gandanya adalah bahwa: sejak dulu tidak ada seorang
pun yang pernah melihat angin, sehingga jika tidak pernah melihatnya, maka itu
bukanlah data indrawi. Sedangkan keyakinan Kristen bahwa Allah itu adalah Trinitas,
pernah dirasakan dan dilihat secara langsung oleh orang-orang pilihan-Nya. Musa
pernah melihat bagian belakang Allah – ia melihat kemuliaan-Nya.
Poespowardojo & Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 55.
Poespowardojo & Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 55.
13 Poespowardojo & Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 62.
14 Poespowardojo & Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 57.
11
12
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Tetapi jawabnya: “Perlihatkanlah kiranya kemuliaan-Mu kepadaku.” Tetapi
firman-Nya: “Aku akan melewatkan segenap kegemilangan-Ku dari depanmu dan
menyerukan nama TUHAN di depanmu: Aku akan memberi kasih karunia kepada
siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihani siapa yang Kukasihani.” Lagi
firman-Nya: “Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang
yang memandang Aku dapat hidup.” Berfirmanlah TUHAN: “Ada suatu tempat
dekat-Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu; apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk gunung itu dan Aku
akan menudungi engkau dengan tangan-Ku, sampai Aku berjalan lewat.
Kemudian Aku akan menarik tangan-Ku dan engkau akan melihat belakang-Ku,
tetapi wajah-Ku tidak akan kelihatan.”
Keluaran 33:18-23
Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Pahatlah dua loh batu sama dengan yang
mula-mula, maka Aku akan menulis pada loh itu segala firman yang ada pada loh
yang mula-mula, yang telah kaupecahkan. Bersiaplah menjelang pagi dan naiklah
pada waktu pagi ke atas gunung Sinai; berdirilah di sana menghadap Aku di
puncak gunung itu. Tetapi janganlah ada seorangpun yang naik bersama-sama
dengan engkau dan juga seorangpun tidak boleh kelihatan di seluruh gunung itu,
bahkan kambing domba dan lembu sapipun tidak boleh makan rumput di sekitar
gunung itu.” Lalu Musa memahat dua loh batu sama dengan yang mula-mula;
bangunlah ia pagi-pagi dan naiklah ia ke atas gunung Sinai, seperti yang
diperintahkan TUHAN kepadanya, dan membawa kedua loh batu itu di
tangannya. Turunlah TUHAN dalam awan, lalu berdiri di sana dekat Musa serta
menyerukan nama TUHAN. Berjalanlah TUHAN lewat dari depannya dan
berseru: “TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar,
berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada
beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi
tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang
membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada
keturunan yang ketiga dan keempat.” Segeralah Musa berlutut ke tanah, lalu sujud
menyembah serta berkata: “Jika aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu,
ya Tuhan, berjalanlah kiranya Tuhan di tengah-tengah kami; sekalipun bangsa ini
suatu bangsa yang tegar tengkuk, tetapi ampunilah kesalahan dan dosa kami;
ambillah kami menjadi milik-Mu.”
Keluaran 34:1-9
Para murid telah melihat “Bapa” melalui Yesus Kristus. Rasul Yohanes menulis,
“Kata Yesus kepadanya: ‘Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa;
bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.’” (Yoh. 14:9). Lalu
bagaimana dengan Roh Kudus? Bukankah Dia tidak dapat dilihat karena Ia adalah
Roh? Alkitab menjelaskan bahwa Roh Kudus disamakan dengan Roh Kristus atau Roh
Yesus Kristus. Dengan demikian, siapa yang melihat Yesus, dapat berarti telah
“melihat” Roh Kudus.
karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu
dan pertolongan Roh Yesus Kristus. (Flp. 1:19)
Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh
Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan
milik Kristus. (Rm. 8:9)
Dan mereka meneliti saat yang mana dan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh
Roh Kristus, yang ada di dalam mereka, yaitu Roh yang sebelumnya memberi
kesaksian tentang segala penderitaan yang akan menimpa Kristus dan tentang
segala kemuliaan yang menyusul sesudah itu. (1 Ptr. 1:11)
Semua kesaksian Alkitab adalah bukti faktual, sedangkan opini yang dibangun
oleh positivisme logis terkait dengan bukti indrawi khususnya “angin” yang tidak
dapat dilihat, tidak memberikan jalan keluar rasionalitas yang rasional. Sedangkan
doktrin Trinitas, memiliki serangkaian bukti faktual, dapat dirasakan, dapat dilihat,
dan dapat diresapi.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh positivisme logis bahwa kebenaran ilmiah
bersifat sintetis a posteriori yang bisa diverifikasi dan dikonfirmasi melalui pembuktian
empiris, jika diperhatikan dengan mengaitkan hal-hal tertentu, akan mengalami jalan
buntu. Misalnya, jika para ahli mengatakan bahwa bumi ini telah berusia jutaan tahun
yang lalu, maka pertanyaannya adalah apakah para ahli memiliki pembuktian empiris
bahwa usia bumi setua itu? Jika para ahli mengatakan bahwa ada binatang dinosaurus
di zaman dulu, apakah para ahli memiliki pembuktian empiris bahwa ia pernah
melihat dinosaurus tersebut? Jika para ahli mengatakan bahwa jarak matahari dari
bumi adalah 25 triliun kilometer, maka apakah para ahli memiliki pembuktian empiris
bahwa mereka pernah mengukurnya? Mungkin mereka menyanggah bahwa benar,
kami telah mengukurnya. Tetapi pertanyaannya: apakah ukuran tersebut benar-benar
pas? Para ahli tidak memiliki pembuktian empiris bahwa mereka pernah benar-benar
mengukur jarak matahari ke bumi yang dimulai dari bumi ke matahari (pergi ke
matahari) secara faktual.
Dalam ranah teologi, Tuhan tidak bisa dibuktikan secara empiris: Ia benar-benar
ada di depan mata kita, baru kita percaya! Jika hukum ini dipakai, maka kita juga bisa
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
meminta orang tersebut untuk membuktikan “pikirannya sendiri” ada di depan mata
kita.
Memang pembuktian empiris bisa menjadikan sesuatu itu ilmiah. Akan tetapi,
problem utama dari hal ini adalah kenaifan dan ketidakjujuran “orang tertentu” yang
mengklaim bahwa Ia telah melihat Tuhan. Ketidakjujuran tersebut dapat dibuktikan
dari tindakannya: apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan perintah Tuhan. Ini
perlu mendapatkan demarkasi sehingga tidak menjadi sesuatu penentu yang liar tanpa
arah yang jelas. Lalu bagaimana membuktikan empirisisme seseorang itu benar
adanya? Hal ini tergantung pada konteksnya. Misalnya Musa menerima firman dari
TUHAN, dan tidak ada orang yang menjadi saksi bahwa ia telah menerima firman dari
TUHAN, maka apakah Musa benar? Musa benar jika ia konsisten dengan apa yang
difirmankan oleh TUHAN. Lalu apa buktinya bahwa Musa benar telah menerima
firman dari TUHAN? Buktinya adalah tulisan-tulisan tentang Musa menerima firman
dari TUHAN sebagaimana kita jumpai di Alkitab. Di sini dibutuhkan kekonsistenan
konteks dan bukan kesemberawutan konteks.
Trinitas dan Aposteriorisme15
Aposteriorisme atau posteriorisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman tentang sesuatu yang (sudah) terjadi (fakta). 16
Secara sempit, Trinitas dapat dipahami sebagai aposteriorisme: bahwa pengetahuan
tentang Allah adalah jamak (dalam diri-Nya) berasal dari pengalaman yang faktual.
Para Bapa leluhur, para nabi, dan para rasul telah memiliki serangkaian empiris
bersama dengan TUHAN yang telah menyatakan diri dan memberikan perintah (dan
aspek lainnya) melalui komunikasi yang intens.
Dalam konteks empiris, orang-orang yang dipilih TUHAN untuk diberikan
perintah dan aspek lainnya, memiliki pengenalan tersendiri tentang siapa TUHAN itu.
Perbedaan empiris (dari para nabi dan rasul dan orang-orang pilihan Tuhan) tentang
pengenalan personalitas Tuhan, merupakan pembelajaran gradual bagi generasi ke
generasi hingga sekarang ini. Trinitas yang dipahami Kristen adalah bersifat progresif
atau gradual (bertingkat, bertahap), dan menghasilkan aposteriorisme–spiritualistik
atau rasionalistik–religius. Trinitas aposteriorisme berangkat dari fakta bahwa
tindakan mengetahui personalitas Allah berawal dari inisiatif Allah sendiri untuk
menyatakan diri-Nya. Hal inilah yang membedakan pemahaman tentang pengenalan
tentang Allah dibanding dengan agama-agama lain. Sebut saja Islam, suatu agama
yang tidak memiliki bentuk-bentuk penyataan diri Allah melainkan hanya
“mengambil bentuk yang sudah ada” dengan cara melakukan “homogenisasi” wahyu
dan mencoba menciptakan iman kepada Allah yang Esa tanpa tahu bahwa “keesaan
15
16
Aposteriorisme masuk dalam kategori positivisme logis (kekhususan).
Poespowardojo & Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 60.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Allah” sebenarnya tidak berbicara soal “berapa diri Allah” melainkan “esa sebagai
satu-satunya Allah yang harus disembah”.
Perbedaan mencolok soal konsepsi personalitas Allah memungkinkan sejumlah
klaim-klaim yang kurang etis. Misalnya Islam menuduh kafir bagi yang menyebut Isa
Almasih sebagai “Allah”:
Surat al-Ma’idah [5]:17 Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
“Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam.” Katakanlah: “Maka
siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia
hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh
orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?” Kepunyaan Allahlah kerajaan
langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Surat al-Ma’idah [5]:72 Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
“Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam,” padahal Al Masih (sendiri)
berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.”
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.
Kelemahan dari teks-teks Al-Qur’an di atas adalah personalitas “Allah” yang
dinyatakan sebagai lawan dari Isa Al Masih yang berujung pada kesimpulan jika ada
orang yang menganggap Isa Al Masih itu “Allah” maka mereka adalah kafir dan
penghuni neraka Jahanam. Alasan ini menjadi kekuatan Islam untuk menuduh Kristen
sebagai orang kafir. Akan tetapi, ada beberapa hal yang menjadi keberatan, dan
klarifikasi terhadap teks-teks Al-Qur’an di atas.
Pertama: Konsepsi “Allah” yang dipahami Muhammad tidaklah menjadikan hal itu
sebagai tindakan mengakomodasi personalitas “Allah” dalam pandangan Kristen.
Kedua: Tuduhan kafir kepada Kristen benar, jika itu diukur dari konsepsi “Allah”
versi Muhammad.
Ketiga: Tuduhan kafir bisa juga diberikan kepada Muhammad dan pengikutnya
jika mereka menyebutkan Isa sebagai “Allah” yang bukan “Allah” dalam
pemahaman Kristen.
Keempat: Lagi pula, “Allah” yang mana yang dijukstaposisikan dengan Isa Al
Masih yang berujung pada penyebutan kafir jika Isa disebut sebagai “Allah”
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
tersebut? Di sini Muhammad sedang melakukan sepsis, memasukan sesuatu
konsepsi yang tidak jelas ke dalam sesuatu yang sudah jelas. Yang tidak jelas
adalah personalitas “Allah” yang diyakini Muhammad, dan sesuatu yang sudah
jelas adalah bahwa Isa Al Masih adalah Anak Allah, Allah yang berinkarnasi
menjadi daging (Yoh. 1:14).
Kelima: Secara episteme, keilahian Yesus telah dibuktikan jauh sebelum klaim-klaim
doxa versi Muhammad didengungkan di tanah Arab; dan
Keenam: Bukti-bukti keilahian atau ke-Tuhan-an Yesus begitu melimpah dalam
Perjanjian Baru dan hal itu telah diakui sejak gereja mula-mula berdiri. Pengakuan
akan keilahian Yesus juga diakomodasi oleh para murid-Nya yang merupakan
saksi mata, orang terdekat Yesus. Jika ini ukurannya, maka Muhammad tidak
memiliki hak untuk menyatakan bahwa Isa Al Masih bukanlah “Allah” dalam
konsepsinya sendiri karena hal itu sama sekali tidak memberikan arah teologi yang
orisinal terkait dengan personalitas “Allah” Kristen. Dengan demikian, klaim
dalam teks-teks Al-Qur’an di atas hanya benar berdasarkan konsepsi Muhammad
tentang “Allah” yang ia yakini, dan tidak benar menurut konsepsi “Allah” yang
diyakini dan diimani Kristen.
Sebagai kekuatan historis (aposteriorisme), Trinitas telah membuktikan dirinya
sendiri sebagai doktrin yang fundamental dan krusial, juga mengandung misteri.
Mengapa misteri? Pasalnya, manusia yang logikanya terbatas tak mungkin memahami
Yang Tak Terbatas [Tuhan Allah]. Alasan inilah, Kristen memiliki iman yang rumit
sekaligus unik. Dengan begitu, Trinitas sebagai aposteriorisme–spiritualistik atau
rasionalistik–religius, menghadirkan relasi sosial yang saling mengisi dan saling
memberi sebagai tercipta dalam personalitas Allah Trinitas yang berperikoresis di
dalam kekekalan.
Trinitas dan Fenomenologi
Fenomenologi masuk dalam dunia filsafat. Fenomenologi merupakan salah satu
aliran filsafat yang berupaya menelisik dari segala sesuatu yang hadir ke dalam ranah
kesadaran manusia.17 Fenomenologi hendak menepis secara total semua asumsiasumsi filosofis apa pun agar sampai pada hakikat pengetahuan.18 Dengan demikian,
Zaprulkhan menguraikan bahwa dengan esensi pengetahuan yang pasti dan absolut,
Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading (New York: Wadsworth Publishing Company,
1999), 216. Dikutip oleh Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015), 221. Bapak Fenomenologi, Edmund Husserl merasa yakin bahwa metodenya ini dapat
diterapkan untuk semua ilmu pengetahuan. Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 221.
18 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 221.
17
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
segala praduga yang berasal dari mana pun harus disaring, dikesampingkan, dan
dienyahkan dari setiap ranah kesadaran manusia. 19 Istilah fenomenologi berasal dari
kata Yunani fenomenon, yang berarti sesuatu yang tampak, yang terlihat karena
bercahaya. Dalam bahasan Indonesia disebut “gejala”. Fenomenologi adalah suatu
aliran yang membicarakan fenomena, atau gejala yang menampakkan diri.20
Kata fenomenon (disingkat: fenomen) dapat dipertentangkan dengan “kenyataan”:
fenomen bukanlah hal yang nyata, tetapi hal yang semu. Misalnya penyakit (bendanya
sendiri) menampakkan diri pada deman, pilek, dan sebagainya, yang adalah fenomen
atau gejala dari penyakit itu sendiri. 21 Menurut para pengikut filsafat fenomenologi
fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang
menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita.22 Pengertian
fenomena memiliki alasan yang berbeda, setidaknya dua alasan tersebut tampak
dalam pemahaman Imanuel Kant (yang menggunakan term fenomena sebelum
Husserl) dan Husserl. Menurut Kant,
kita sebagai manusia hanya mampu mengenal fenomena-fenomena, bukan hakikat
realitas (noumena) itu sendiri (das Ding an sich). Bagi Kant, yang tampak bagi kita
ialah semacam tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya. Kita hanya
mengenal pengalaman batin kita sendiri yang – entah bagaimana – diakibatkan
oleh realitas di luar yang tetap tinggal suatu x yang tidak kita kenal. Fenomena
adalah sesuatu yang menunjuk kepada realitas, yang tidak dikenal in se (pada
dirinya).23
Dalam perspektif ini, menurut K. Bertens sebagaimana dikutip oleh Zaprulkhan
bahwa kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas.24 Akan tetapi, fenomena
menurut Husserl, adalah realitas itu sendiri yang tampak. Realitas itu sendiri tampak
bagi kita.25 Dua perspektif ini akan dibahas kemudian terkait dengan Trinitas. Menurut
Zaprulkhan, tidak ada pandangan manusia mana pun yang dapat bersifat objektif
seratus persen tanpa dipengaruhi endapan-endapan prasangka historisnya masingmasing: kultur, pendidikan, keyakinan, politik, sosial, ekonomi, agama, bahkan bahasa
yang digunakannya dan tetap terselip unsur-unsur subjektivitas yang tidak pernah
bisa dielakkan.26
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 221.
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 222.
21 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 222.
22 Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 140. Dikutip oleh
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 222-23.
23 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 225.
24 K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris–Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), 109-10. Dikutip
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 225.
25 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 225.
26 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 240.
19
20
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Bercermin dari filsafat fenomenologi, maka untuk mendapatkan gambaran yang
memadai tentang Trinitas, semua asumsi filosofis, liar, tendensi kekafiran, tendensi
sosio-politik dan lain sebagainya perlu disingkirkan agar pemahaman tentang hakikat
personalitas Allah menemui penalaran yang sah. Trinitas Fenomenon menegaskan
bahwa kejamakan diri Allah merupakan hal yang tampak. Bukankah Allah sendiri
yang menyatakan diri-Nya dalam tiga Pribadi yang berdistingsi? Bergerak dari posisi
ini, orang Kristen “tahu” bahwa hal itu sulit dipahami tetapi dapat diterima. Yang sulit
dipahami akal bukan berarti hal itu tidak dapat diterima. Persoalannya adalah yang
dipahami adalah “Yang Tak Terbatas” tetapi menyatakan diri secara terbatas. Tidak
ada “Yang Ilahi” dalam rumpun agama manapun yang menyatakan diri-Nya secara
gamblang atau total. Semua pemahaman tentang “Yang Ilahi” bersumber dari apa
yang tampak, yang terbatas, namun tetap dipercayai sebagai kebenaran dari masingmasing pemeluk agama.
Jika mengikuti gambaran tentang kata fenomenon (disingkat: fenomen) yang berarti
hal yang semu yang dipertentangkan dengan kenyataan layaknya penyakit yang
menampakkan diri pada deman atau pilek adalah fenomen atau gejala dari penyakit
itu sendiri, maka pemahaman akan personalitas Tuhan atau Yang Ilahi merupakan
gambaran yang sama. Apa yang dinyatakan oleh-Nya bukanlah kenyataan dalam arti
diri-Nya sendiri terbuka lebar untuk dilihat dan dipahami melainkan penyataan itu
sendiri adalah gambaran atau refleksi (pantulan) dari diri-Nya sendiri. Pantulan
bukanlah diri Allah melainkan bentuk penyataan. Misalnya Musa mau melihat
kemuliaan TUHAN dan TUHAN mengatakan bahwa tak seorang pun yang melihatNya dapat hidup, tetapi Musa hanya bisa melihat bagian belakang TUHAN. Dengan
demikian, Trinitas tidak dapat digambarkan sebagaimana yang dipahami oleh orangorang yang tidak memahaminya seolah-olah ada tiga pribadi yang duduk
berdampingan, padahal, dari aspek fenomen, itu bukanlah sesuatu yang faktual dan
tidak pernah dinyatakan demikian. Kegagalan metode berpikir seperti ini apalagi
menyimpulkan sesuatu yang bukanlah legal-argumentation, menimbulkan
kesimpangsiuran doktrin dan pemahaman Trinitas.
Di samping itu, sebagaimana yang diyakini oleh para pengikut filsafat
fenomenologi bahwa fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya
sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan
kita, yang telah saya uraikan di atas, mendorong kita untuk berpikir bahwa Trinitas
yang diimani oleh Kristen berdiri dalam ranah ini. Allah telah menyatakan diri-Nya
seperti apa adanya dalam PL, dan secara jelas di dalam PL dalam wujud personalitas
Yesus Kristus. Kristus adalah “Allah yang berinkarnasi”, yang secara faktual dilihat
oleh mata orang-orang sezaman-Nya. Dan kita yang hidup di zaman sekarang, tidak
melihat-Nya, namun bukti-bukti faktual tentang-Nya telah diwariskan kepada kita
dalam bentuk Kitab Suci yang ditulis oleh para saksi mata, orang-orang terdekat-Nya.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Dari pemahaman ini, setidaknya pandangan Kant, bahwa yang tampak bagi kita
ialah semacam tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya, dan kita hanya
mengenal pengalaman batin kita sendiri yang – entah bagaimana – diakibatkan oleh
realitas di luar yang tetap tinggal suatu x yang tidak kita kenal, dapat diterima
sekaligus ditolak berdasarkan kontekstualisasinya masing-masing. Pandangan Kant
sepertinya masuk dalam kategori yang disebutkan Smith dan Raeper mengenai Historie
(yang tidak memuat interpretasi) dan Geschichte (arti dari apa yang terjadi, alias
interpretasi). Sehebat-hebatnya Geschichte, tidak sehebat Historie. Di antara keduanya
seolah-olah ada tirai yang menyelubungi realitas. Itu sebabnya, fakta sejarah tidak
pernah salah, tetapi interpretasi terhadap fakta sejarah bisa salah.
Trinitas sebagai fakta sejarah tidak bisa salah, tetapi cara memahami dan
menginterpretasikannya bisa salah. Allah menyatakan diri-Nya secara terselubung
dalam diri Yesus Kristus dan personalitas Yesus tidak dapat dipahami sepenuhnya dan
ada faktor “x” yang belum terpecahkan. Akan tetapi, seperti dalam kasus Musa, ia
sendiri melihat TUHAN dan kemuliaan-Nya. Tidak ada tirai yang menyelubungi Musa
untuk melihat-Nya. Di sini, pandangan fenomenologi Husserl, realitas itu sendiri yang
tampak, dan realitas itu sendiri tampak bagi kita, dapat diterima sejauh realitas itu
yang menyatakan diri-Nya sendiri dan secara faktual dapat dilihat.
Menyimak pendapat Zaprulkhan bahwa tidak ada pandangan manusia mana pun
yang dapat bersifat objektif seratus persen tanpa dipengaruhi endapan-endapan
prasangka historisnya masing-masing seperti kultur, pendidikan, keyakinan, politik,
sosial, ekonomi, agama, bahkan bahasa yang digunakannya, maka dalam konteks ini
pendapat tersebut sedang menyingkirkan bukti faktual terhadap kejadian yang terjadi.
Mungkin sebaiknya pendapat itu dibuat kategori-kategori khusus yang akan lebih
dipahami bahwa dalam konteks kategori khusus itu, seseorang bisa tidak secara
objektif menafsirkannya karena dipengaruhi endapan-endapan prasangka historisnya.
Namun, tidak demikian dengan Trinitas. Tidak ada prasangka yang liar di dalamnya.
Semuanya didasarkan pada bukti-bukti dan Kristen tidak sedang dipengaruhi oleh
endapan-endapan prasangka historis melainkan historisitas itu sendiri yang diterima
dari para saksi mata. Prasangka-prasangka logis dapat saja merasuk ke dalam tubuh
Trinitas, tetapi perlu diketahui bahwa personalitas Allah tidaklah bisa dipahami secara
total. Maka prasangka-prasangka logis tersebut perlu disingkirkan.
Trinitas dan Hermeneutika
Dapat dikatakan bahwa selain dunia berpikir, dunia filsafat adalah dunia
hermeneutika. Dengan pikiran, manusia menginterpretasikan sesuatu di balik sesuatu.
Ini semacam sepsis: memasukan sesuatu ke dalam sesuatu; memasukkan makna
kepada sesuatu yang perlu dimaknai. Istilah hermeneutika secara longgar dapat
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interpretasi makna. 27 Dalam
bahasa Inggris disebut dengan hermeneutics yang berarti ilmu penafsiran, atau
menangkap makna kata-kata dan ungkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada
orang lain.28 Secara etimologis, akar kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani
dengan kata kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan” dan kata benda hermeneia
yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau “interpretasi”.29
Richard E. Palmer memberikan perspektif hermeneutika yang diasosiasikan
kepada Hermes (seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter
kepada manusia)30, sebagai pembawa pesan, merangkum tiga bentuk makna dasar.
Pertama, mengekspresikan (to express), menegaskan (to assert) atau mengatakan (to
say). Di sini, seorang pembawa pesan bukan hanya menjelaskan tetapi juga
mendeklarasikan (to proclaim). Kedua, menjelaskan (to explain). Artinya, hal yang
terpenting bukanlah mengatakan sesuatu saja, melainkan menjelaskannya,
merasionalisasikannya serta menjadikannya jelas dan terpahami (make it clear).
Ketiga, menerjemahkan (to translate) yang maknanya identik dengan menafsirkan
(to interpate). Menerjemahkan dalam arti, seseorang membawa apa yang asing, jauh
dan tak dapat dipahami ke dalam media bahasanya sendiri. 31
Dengan menelisik argumentasi dan deskripsi hermeneutika di atas, maka
pemahaman Trinitas termasuk dalam dunia hermeneutika. Selain Trinitas dipahami
sebagai fenomenologi, fenomenologi itu sendiri perlu diinterpretasikan sesuai dengan
faktanya. Di sini, interpretasi Kristen bersumber dari teks-teks biblikal. Sikap kritis
dalam melakukan intepretasi teks-teks biblika menjadi dasar dan acuan mengapa
Trinitas menjadi iman yang kokoh, meskipun kicauan-kicauan sumbang yang
mencoba mengganggu atau bahkan meruntuhkan argumentasi–interpretatif biblikal.
Sebagaimana hermeneutika menginterpretasikan sesuatu di balik sesuatu, maka
Kristen menafsirkan perkataan Yesus tentang adanya pribadi-pribadi lain yang kekal
dan berkuasa yang setara dan beresensi sama, serta mencari makna yang
sesungguhnya di balik perkataan Yesus itu. Dalam konteks ini, sepsis dikontekskan
pada makna teks-teks Trinitarian. Artinya memasukan sesuatu makna kepada teks
Josef Bleicher, Contemporary Heremeneutics: Hermeneutics As Method, Philosophy and Critique
(London: Routledge, 1990), 1. Dikutip Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 244.
28 Noah Webster’s, New Twentieth Centuey Dictionary (The United State of America: William Collins
Publishers, 1974), 851. Dikutip Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 244.
29 E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 23. Dikutip
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 244.
30 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 245.
31 Richarh E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer
(Evanston: Northwesten University Press, 1969), 14-32. Dikutip Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 245. Dalam
pengkajian hermeneutika kontemporer, Zaprulkhan menyebutkan tiga paradigma hermeneutika
kontemporer, yakni: hermeneutika teoretis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Hermeneutika
Teoretis setidaknya dicetuskan oleh Friedrich Schleiermacher.
27
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
bukanlah berarti sebuah eisegesis (memasukan sesuatu makna), melainkan sebuah
eksegetis (mengeluarkan sesuatu makna), lalu memahaminya berdasarkan makna
orisinal, kemudian setelah memahami makna orisinal (eksegesis), maka seseorang
perlu memasukan sesuatu yakni makna aplikatif. Ini dinamakan dengan hermeneutika
ganda: memahami makna teks (mengeluarkan makna original) dan memasukan
makna aplikatif ke dalam makna teks. Trinitas juga demikian. Ketika Yesus
mengatakan: “... baptislah mereka dalam nama [bentuk tunggal] Bapa, Anak, dan Roh
Kudus”, makna orisinalnya menjadi jelas bahwa ketiga pribadi yang disebut-Nya
adalah setara dan satu (penggunaan term ‘nama’ dalam bentuk tunggal), maka sepsis
aplikatifnya, menurut saya adalah kesetaraan personalitas Mereka tidak menjadi
semacam pertentangan satu dengan lainnya, atau penekanan pada suprematif dari
salah satu pribadi melainkan karena kesetaraan esensialitas ke-Allah-an Mereka, diikat
oleh sifat “kasih” dalam konteks perikoresis (saling mengasihi) tanpa ada demarkasi
suprematif personalitas dari salah satu pribadi dalam Trinitas.
Di samping itu, Yesus juga mengatakan, “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang
akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu
kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan
kepadamu”32 dan “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh
Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku” 33, makna original
adalah ada kesetaraan identitas yakni identitas kekekalan antara Yesus, Bapa, dan Roh
Kudus. Sebagaimana Yesus diutus Bapa, bahwa Yesus berpraeksistensi sebelum
inkarnasi-Nya (yang mengutus kekal dan yang diutus juga kekal), tampak dalam
tulisan Rasul Yohanes 1:1-3. Perkataan Yesus bahwa Roh Kudus diutus oleh Bapa dan
diutus oleh diri-Nya sendiri, membuktikan bahwa kesetaraan tersebut (Yesus dan
Bapa) disebabkan oleh karena Yesus sendiri mengatakan bahwa Dia keluar dan datang
dari Allah (εγω γαρ εκ του θεου). Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri,
melainkan Dialah yang mengutus Aku.34 Itu berarti, esensi Yesus didapatkan dari Bapa
dan esensi Bapa tidak lebih tinggi dari esensi Yesus sebagai jika esensi Bapa lebih
tinggi, maka Bapa sedang merendahkan esensi-Nya sendiri yang ada dalam diri Yesus.
Dari teks-teks di atas, maka sepsis aplikatifnya adalah jika manusia memiliki
kesetaraan dalam hal esensialitas, maka tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah
di antara mereka, sebagaimana Yesus, Bapa, dan Roh Kudus tidak mengungkapkan
hal tersebut. Mereka setara dan kekal, beresensi sama.
Kembali ke soal hermeneutika, saya merumuskan Trinitas berdasarkan tiga bentuk
makna dasar hermeneutika Palmer.
Pertama, mengekspresikan (to express), menegaskan (to assert) atau mengatakan (to
say). Trinitas mengekspresikan “cinta kasih” yang berperikoresis di antara personalYohanes 14:26.
Yohanes 15:26.
34 Yohanes 8:42.
32
33
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
personal Trinitas. Teks-teks berikut ini menjelaskan ekspresi sifat kasih: Bapa mengasihi
Anak dan telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya (Yoh. 3:35).35 Sebab Bapa
mengasihi Anak dan Ia menunjukkan kepada-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya
sendiri.... (Yoh. 5:20). Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku
untuk menerimanya kembali (Yoh. 10:17). Tetapi supaya dunia tahu, bahwa Aku
mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan
Bapa kepada-Ku.... (Yoh. 14:31). Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga
Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu (Yoh. 15:9). Aku di dalam
mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia
tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka,
sama seperti Engkau mengasihi Aku (Yoh. 17:23). Ya Bapa, Aku mau supaya, di
manapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang
telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah
Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia
dijadikan (Yoh. 17:24).
Kasih yang kekal termanifestasi dalam dunia yang riil dan diekspresikan: manusia
dengan manusia, manusia terhadap Tuhan dan Tuhan kepada manusia. “Aku
memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama
seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan
demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau
kamu saling mengasihi (Yoh. 13:34-35). “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan
menuruti segala perintah-Ku” (Yoh. 14:15). “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan
melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan
dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku
kepadanya” (Yoh. 14:21). “Jawab Yesus: ‘Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti
firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan
diam bersama-sama dengan dia’” (Yoh. 14:23). “Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia
tidak menuruti firman-Ku; dan firman yang kamu dengar itu bukanlah dari pada-Ku,
melainkan dari Bapa yang mengutus Aku” (Yoh. 14:24). “Inilah perintah-Ku, yaitu
supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh. 15:12).
Konsepsi Trinitas juga menegaskan (to assert) atau mengatakan (to say) kepada
dunia bahwa dunia tak mungkin tanpa “kasih” Allah Trinitas, di mana kasih yang
kekal36 itu terjadi sejak kekal di antara pribadi-pribadi Trinitas (lihat teks-teks di atas).
Penegasan tersebut merupakan langkah-langkah pemahaman memadai tentang diri
Allah yang jamak. Bagaimana bisa jamak? Karena hal itu adalah penyataan-Nya
sendiri. Allah yang esa secara numerik juga menimbulkan pertanyaan: bagaimana bisa
esa? Apakah TUHAN ketika menyatakan diri-Nya “esa” sedang menunjuk pada diriBdk. Matius 28:18, “...Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.”
Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal,
sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu (Yer. 31:3).
35
36
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Nya sendiri sebagai pribadi yang satu tanpa ada relasi konteks ketika Ia mengatakan
bahwa Dia adalah “esa”? Saya rasa tidaklah demikian. Keesaan Allah tampak di dalam
relasi penyembahan dan bukan relasi dengan personalitas diri-Nya. Artinya, Allah itu
“esa” [satu penyembahan yang harus ditujukan kepada-Nya] di antara ilah-ilah lain
yang eksis. Hukum pertama jelas menegaskan hal ini: “Jangan ada padamu ilah lain di
hadapan-Ku”. Hukum ini menegaskan keesaan bukan pada diri Allah tetapi pada
relasi penyembahan yang hanya dan mutlak ditujukan kepada-Nya.
Kedua, menjelaskan (to explain). Trinitas sebagaimana yang diimani Kristen telah
melewati serangkaian eksplanasi ilmiah dengan didasari pada teks-teks biblika.
Sedangkan para lawan Trinitarianisme mencoba merumuskan tiang-tiang argumentasi
bukan dengan teks-teks biblika yang kredibel tetapi lebih mengarah kepada sistem
logika yang sederhana. Yang dianggap tidak masuk akal dikategorikan salah. Padahal
dalam dunia logika ada tiga hal mendasar yang perlu dicermati yaitu: rasional (masuk
akal), irasional (tidak masuk akal), dan supra-rasional (melampaui rasio). Trinitas
mengandung rasional dan supra-rasional. Memang benar, memahami Trinitas dirasa
sulit untuk diterima. Tetapi sulit diterima bukan berarti itu salah atau bukanlah suatu
kebenaran fenomenologi. Trinitas yang disalahpahami bersumber dari kesalahan
metodologi dan kesalahan hermeneutika. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
Trinitas tidaklah pernah tuntas di sepanjang sejarah hingga hari ini. Padahal, konsepsi
Trinitas dalam PB telah tuntas tetapi terbatas, karena keterbatasan manusia dalam
memikirkan Yang Tak Terbatas itu. Trinitas telah dirasionalisasikan dan telah jadikan
jelas dan terpahami (make it clear).
Ketiga, menerjemahkan (to translate) yang maknanya identik dengan menafsirkan
(to interpate). Trinitas secara sederhana dapat diterjemahkan ke dalam bentuk relasi
kasih yang kekal di antara pribadi-pribadi Trinitas seperti penjelasan saya sebelumnya.
Penerjemahan Trinitas ke dalam bentuk yang lebih riil telah dibuktikan oleh Alkitab,
ketimbang menerjemahkan Unitarian ke dalam bentuk yang lebih riil yakni
personalitas “Allah” yang kosong, Allah yang terisolasi, tak memiliki relasi kasih, egois
(tidak ada objek kasih selain diri-Nya sendiri sebelum dunia diciptakan).
D. Memahami Identitas Pribadi Allah
1. Sebuah Inisiatif
Tak ada hal yang melampaui penyataan diri Allah dari sebuah inisiatif-Nya. Dalam
inisiatif Allah, terdapat hal-hal yang penting seperti kehendak-Nya, kuasa-Nya,
rencana-Nya, dan kedaulatan-Nya. Nilai sebuah inisiatif untuk menyatakan diri,
dimungkinkan oleh Allah bagi tercapainya bentuk-bentuk pengenalan manusia –
makhluk ciptaan-Nya – akan personalitas-Nya meskipun hal itu sering tidak masuk
akal. Hasil yang didapatkan manusia tentang pribadi dan karya Allah meskipun masih
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
dalam taraf yang terbatas, dimungkinkan Allah untuk menjadi “media” bagi
pengenalan akan diri-Nya. Inisiatif Allah dalam menyatakan diri-Nya kepada manusia
telah dimulai sejak di Taman Eden, kepada Adam ketika Allah memberikan perintah
soal makan dan tidak boleh makan buah-buah di dalam Taman Eden. Inisiatif
menghasilkan penyataan. Inilah landasan iman Kristen. Allah berinisiatif memberikan
perintah atau lainnya kepada manusia, dan secara langsung Ia juga sedang
menyatakan bahwa “diri-Nya ada” sebagai Pencipta dan Yang Berdaulat.
2. Sebuah Penyataan Gradual
Dalam PL, ada beberapa landasan Trinitas sebelum konsep itu secara gradual
menjadi lebih jelas. Kejadian 1:1 menyebutkan: “Pada mulanya Elohim menciptakan
langit dan bumi.” Kata Elohim, akhiran “im” adalah bentuk jamak. Lalu di ayat 2 dan 3
muncul dua hal yakni: Roh Allah dan Firman. Secara garis besar ini adalah landasan
awal. Kemudian di ayat 26 ada kata “Kita”; Kejadian 3:22, “Kita”; Kejadian 11:7.,
“Kita”. Kata “Roh Kudus” juga muncul di PL (selain sebutan “Roh Allah): “Tetapi
mereka memberontak dan mendukakan Roh Kudus-Nya; maka Ia berubah menjadi
musuh mereka, dan Ia sendiri berperang melawan mereka. Lalu teringatlah mereka
kepada zaman dahulu kala, zaman Musa, hamba-Nya itu: Di manakah Dia yang
membawa mereka naik dari laut bersama-sama dengan penggembala kambing dombaNya? Di manakah Dia yang menaruh Roh Kudus-Nya dalam hati mereka (Yes. 63:1011).
Kemudian di dalam PB, konsepsi Trinitas mengalami puncaknya. Selain dari
konsep rangkap tiga, PB juga kental dengan nuansa Binitarianisme (penyebutan Yesus
dan Bapa lebih domain). Yesus menegaskan kesetaraan diri-Nya dengan Bapa. Bahkan
Yesus mengakui bahwa Ia diutus dan keluar dari Bapa. Yesus adalah puncak
penyataan diri Allah. Penyataan gradual ini menjadi jelas dan terang ketika Yesus
mengatakan bahwa Ia diutus oleh Bapa ke dalam dunia yang berdosa.
Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan
menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga (Mat. 10:33);
Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut
Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku (Mat. 10:40);
Supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa.
Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa, yang
mengutus Dia (Yoh. 5:23);
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku
dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup
(Yoh. 5:24);
Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian
juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku (Yoh. 6:57);
Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di
situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati
Bapa (Yoh. 12:26);
Tetapi Yesus berseru kata-Nya: Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya
kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku (Yoh. 12:44);
Dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku (Yoh.
12:45);
Kata Yesus kepadanya: Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus,
namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah
melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami
(Yoh. 14:9);
Barangsiapa membenci Aku, ia membenci juga Bapa-Ku (Yoh. 15:23)
3. Tunduk Pada Sang Penyata
Kesulitan memahami Trinitas merupakan natur dari logika yang terbatas. Kita
harus merumuskan bahwa apa yang telah dinyatakan oleh Allah, apa adanya
penyataan itu, kita harus tunduk pada Sang Penyata, sebab Ia-lah yang berinisiatif
menyatakan diri-Nya. Menurut A. W. Tozer, dalam The Knowledge of the Holy,
sebagaimana dikutip oleh Kenneth R. Samples, “Doktrin Trinitas ... adalah kebenaran
bagi hati. Fakta bahwa dokrin ini tidak bisa dijelaskan secara memuaskan, tidak
bertentangan dengan doktrin itu sendiri, melainkan justru mendukungnya. Kebenaran
semacam itu harus diberitakan, tak seorang pun dapat membayangkannya. 37
Kelompok Saksi Yehuwah sangat menolaknya. Menurut mereka, “menyembah Allah
menurut ketentuan-Nya berarti menolak doktrin Trinitas. Doktrin ini bertentangan
dengan apa yang dipercayai dan diajarkan oleh para nabi, Yesus, para rasul, dan umat
Kristen mula-mula. Doktrin ini bertentangan dengan apa yang Allah katakan tentang
diri-Nya dalam firman yang diinspirasikan-Nya sendiri.38
Kenneth R. Samples, Without a Doubt: Menjawab 20 Pertanyaan Tersulit tentang Iman. Alih bahasa
Ellen Hanafi (Malang: Literatur SAAT, 2014), 77.
38 Should You Believe in the Trinity? (Brooklyn: Wathtower Bible and Tract Society, 1989), 31. Dikutip
Samples, Without a Doubt, 77.
37
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Kita dapat memaklumi penolakan Saksi Yehuwah, karena memang Alkitabnya
lain dengan Alkitab yang kita miliki. Ketidaktuntasan memahami makna teks-teks
Alkitab membuat kelompok ini mengambil jalan pintas untuk menolak doktrin
Trinitas yang begitu gamblang dituliskan Kitab Suci. Perbedaannya terletak pada
interpretasi biblikal, tuntutan rasio, dan ketidaknyamanan iman terhadap tiga pribadi
dalam Trinitas. Mayoritas penentang Trinitas menganggap terlalu sulit dan tidak
masuk akal memahami Trinitas, padahal mereka lupa bahwa memahami Unitarian
juga mengalami kesulitan yang sama. Pasalnya, mereka tidak dapat memahami
bagaimana Allah bisa sampai “satu” personalitas. Apa yang ada di dalam diri Allah
yang ‘satu’ itu. Sejak kekal, Dia mengasihi siapa? Kelemahan Saksi Yehuwah, Islam,
dan lainnya, adalah memahami Allah yang esa, merujuk pada berapa diri-Nya, dan
bukan pada siapa yang harus disembah. Allah itu “esa” bahwa Diala satu-satunya
yang harus disembah. Esa dalam konteks tersebut tidak berbicara “Aku [Allah] ada
berapa” tetapi “Aku adalah satu yang harus disembah” di antara ilah-ilah lain,
sebagaimana nyata dari bunyi hukum pertama: “Jangan ada padamu ilah lain di
hadapan-Ku.”
Tunduk kepada Sang Penyata adalah langkah iman. Meskipun sulit diterima akal,
Trinitas memungkinkan adanya relasi kasih yang kekal dan kasih yang kekal
termanifestasi ke dalam dunia. Allah yang mutlak “satu” tanpa terkait dengan relasi
penyembahan, adalah “Allah” buatan pikiran manusia. Ia adalah allah yang kosong,
kesepian, dan tak memiliki kasih yang kekal. Allah tersebut dapat mewujudkan dirinya
kepada manusia yang memproyeksikannya dengan tindakan-tindakan brutal,
kekosongan kasih, dan tanpa pengampunan. Trinitas adalah Allah yang penuh dan
kasih dan pengampunan, serta menebus dengan cara yang unik dan aneh. Tidak ada
Allah seperti Trinitas di dalam agama-agama di luar Kristen.
Term Trinitas merujuk pada “tiga [pribadi] kesatuan [satu dalam esensi Mereka]”
(tiga [pribadi] dalam satu [esensi: Allah]. Konsep ini hendak “menyampaikan
kebenaran alkitabiah bahwa pluralitas dalam kesatuan natur Allah.” 39 Ketiga pribadi
dalam ketuhanan-Nya, atau keilahian-Nya memiliki satu natur Ilahi yang sama dan
utuh. Ketiganya adalah Allah [esensi] yang sama – sama kedudukannya dalam
karakteristik, natur, dan kemuliaan.40 Rasul Yohanes memberikan gambaran
kesetaraan esensi ketiga pribadi Trinitas.
Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang
Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh
Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan
tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan
akan diam di dalam kamu (Yoh. 14:16-17)
39
40
Samples, Without a Doubt, 79.
Samples, Without a Doubt, 79.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang
keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. (Yoh. 15:26)
Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam
seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi
segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan
memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku,
sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.
Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia
akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku. (Yoh. 16:1315)
Teks-teks di atas menjelaskan secara jelas adanya kesetaraan personalitas Yesus,
Bapa, dan Roh Kudus. Samples menjelaskan secara baik mengenai kesulitan Trinitas,
Allah telah mengungkapkan diri-Nya sebagai satu dalam esensi dan substansi
(keberadaan) namun tiga dalam subsistensi (kepribadian). Sehubungan dengan
apa Allah itu (esensi), Allah hanya ada satu; sehubungan dengan siapa Allah itu
(subsistensi), Allah adalah tiga. Jadi, secara filosofis, Allah adalah “satu Apa” dan
“tiga Siapa.”41
Samples menambahkan,
Bila disusun dalam struktur kalimat negatif, maka ketiga pribadi itu bukan tiga
Allah yang berbeda (triteisme) sebab hal itu akan memisahkan esensi, melainkan
hanya satu Allah (monoteisme). Dan juga bukan satu pribadi tunggal
(monarkianisme, modalisme) karena hal itu akan mencampuradukkan atau
membaurkan pribadi-pribadi itu, melainkan juga pribadi yang berbeda dan dapat
dibedakan (Trinitas).42
Dalam penelusuran Trinitas, Samples menguraikan Trinitas dalam Injil Yohanes.
Injil Yohanes merupakan Injil yang paling domain membicarakan Trinitas (meskipun
konsep binitarianisme juga cukup domain). Ini menarik untuk disimak.
Bapa dan Firman (Anak) bersama-sama dalam persekutuan sejak kekekalan (1:1)
Bapa dan Firman (Anak) adalah dua pribadi yang berbeda namun sama-sama Ilahi
(1:1)
Bapa menciptakan dunia melalui Anak [logos] (1:3)
Bapa mengutus Anak ke dalam dunia (14:24)
41
42
Samples, Without a Doubt, 79.
Samples, Without a Doubt, 79.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Anak berinkarnasi ke dalam dunia (1:14)
Kedudukan Anak dan Bapa setara (5:18)
Anak adalah AKU yang agung (8:58)
Bapa dan Anak adalah satu (10:30)
Anak berbagi kemuliaan dengan Bapa (17:5)
Anak adalah jalan dan kebenaran dan hidup (14:6)
Mengenal Anak sama dengan mengenal Bapa (14:7)
Melihat Anak sama dengan melihat Bapa (14:9)
Anak di dalam Bapa dan Bapa di dalam Anak (14:10)
Perkataan Anak berasal dari perkataan Bapa (14:10)
Membenci Anak sama dengan membenci Bapa (15:23)
Barangsiapa mengasihi Anak sama dengan mengasihi Bapa (14:21)
Anak membawa kemuliaan kepada Bapa (14:13)
Anak berdoa bagi kedatangan Roh Kudus (14:16)
Roh adalah Penolong yang lain seperti Anak (14:16; lih. 1 Yoh. 2:1)
Anak pergi untuk mengutus Roh (16:7)
Anak kembali kepada Bapa (16:28)
Bapa mengutus Roh (14:16)
Bapa mengutus Roh dalam nama Anak (14:26)
Roh Kebenaran membimbing kita ke dalam seluruh kebenaran (16:13)
Pelayanan Roh merupakan kelanjutan dari pelayanan Anak (16:13-14)
Roh membawa kemuliaan Anak (16:14)
Roh bersaksi tentang Anak (15:26)
Semua yang menjadi milik Bapa adalah milik Anak juga (16:15) 43
Dari teks-teks di atas, ada satu teks yang dilupakan Samples, yaitu teks dalam
Yohanes 8:42, “Kata Yesus kepada mereka: ‘Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan
mengasihi Aku, sebab Aku keluar [εκ του θεου] dan datang dari Allah. Dan Aku datang
bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku.’” Teks ini,
sama halnya dengan teks Yohanes 15:2644 menyebutkan Roh Kudus keluar [berasal]
dari Bapa [παρα45 (from, with) του πατρος], maka esensi Anak dan Roh Kudus berasal
dari esensi Bapa. Dengan demikiran, baik Bapa, Anak, dan Roh Kudus, ketiga-Nya
adalah setara karena esensi-Nya sama. Beberapa terjemahan Alkitab menyebutnya
secara variatif untuk dua teks tersebut: for I proceeded and came forth from God (RSV);
for I proceeded forth and came from God (AV & NKJV); for God is the source of my
being, and from him I come (REB); who proceeds from the Father (NKJV, RSV, ESV);
proceedeth from the Father (AV).
Samples, Without a Doubt, 85-86.
Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa,
Ia akan bersaksi tentang Aku.
45 Preposisi.
43
44
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Jika demikian, konsepsi Trinitas begitu jelas dalam Injil Yohanes, maka
mengimaninya, meskipun masih menimbulkan tanda tanya, tidaklah menjadi
halangan yang cukup berarti. Allah menyatakan diri-Nya apa adanya diri-Nya. Entah
bagaimana personalitas-Nya, Kristen tetap yakin dan beriman kepada-Nya, karena
semua yang didapatkan berasal dari penyataan diri-Nya.
Dengan demikian, kita harus menempatkan posisi doktrin ini pada ketundukan
logika dan bukan pemberontakan logika. Tuhan ada dan bagaimana model
personalitas-Nya tidaklah meminta persetujuan kita untuk setuju atau tidak dengan
model personalitas-Nya sendiri. Ia ada sebagaimana Ia ada. Dan kita tidak memiliki
hak untuk mengatur atau memprotes mengapa diri Allah seperti apa adanya diri-Nya.
Tugas kita adalah tunduk pada-Nya meskipun masih ada ketidakterpahaman
tentang diri-Nya. Ini juga tidak berarti bahwa kita harus mengenal Allah secara tuntas
personalitas-Nya, karena bentuk-bentuk penyataan Allah kepada manusia sifatnya
terbatas karena diakomodasi oleh pra-pengetahuan Allah bahwa pikiran manusia
memang terbatas. Seperti pengakuan Daud:
Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku
dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku
Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya,
semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN ... Dan bagiku, betapa sulitnya pikiranMu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! (Mzm. 139:2-4, 17)
4. Meninggalkan Tanda Tanya yang Harus Dipertahankan
Penegasan saya bahwa: Tidak ada seorang pun atau agama apa pun yang dapat
mengklaim bahwa ia telah sepenuhnya dan secara total telah mengenal “Tuhan”,
“Allah”, “Dewa”, “Yang Ilahi”, “Yang Transenden”, “Yang Kekal”, “Yang Ada”, dan
lain sebagainya. Dari aspek doktrin, Trinitas masih meninggalkan tanda tanya tetapi
hal itu tetap saja terus dipertahankan. Kesulitan-kesulitan dan tanda tanya adalah
unsur-unsur normal dari rasio manusia ketika diperhadapkan dengan “sesuatu” yang
transenden, abstrak, dan ada demarkasi lokatif antara pribadi manusia dengan pribadi
Sang Pencipta.
E. Penutup
Penelusuran Trinitas secara masiv di dasarkan pada Kitab Suci. Penelusuran
tersebut melibatkan pemikiran kritis dan analisis kritis dalam ranah filosofis–
apologetis. Doktrin Trinitas disebut sebagai sebuah episteme, pengetahuan yang telah
teruji dan diterima sebagai kebenaran. Trinitas adalah pengetahuan berdasarkan
penyataan Allah sendiri, yang secara faktual telah dialami oleh umat-Nya.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Dalam alam filsafat, Trinitas dapat dengan kritis mengkritisi teori-teori yang tidak
mendukung bukti-bukti faktual, dengan mengandalkan penalaran kritis yang tidak
kritis karena masih meninggalkan gap-gap yang lebar bagi kekeliruan logika dan
melakukan kesesatan logika. Doktrin Trinitas yang bertahan selama ribuan tahun
mengalami tantangan yang sangat besar. Tetapi, sebagai sebuah episteme yang
menghasilkan iman, Trinitas tetap menjadi kokoh dan mendapatkan sisi aplikatifnya
dalam relasi manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan Tuhan dengan
manusia.
Para nabi dan rasul telah mendapat hak istimewa di mana Tuhan mau berbicara
(berkomunikasi) dengan mereka terkait dengan rencana keselamatan kepedulian-Nya,
sesuai dengan konteksnya masing-masing (PL dan PB). Di zaman mereka, mereka
secara langsung dapat berbicara dan bertemu Tuhan, sedangkan di zaman sekarang,
kita hanya berada pada posisi, yang disebut Poper sebagai asimptotis (asymptotic,
mendekati tetapi tidak akan pernah bertemu). Kita hanya dapat mendekati Trinitas
melalui Kitab Suci, tetapi kita akan pernah bertemu (di dunia) seperti yang terjadi di
dalam PL dan PB. Di kemudian hari, semua orang percaya akan bertemu dengan
Tuhan, muka dengan muka.
Trinitas sebagaimana disebutkan dalam Alkitab adalah bukti faktual. Trinitas
dapat dipahami sebagai aposteriorisme: bahwa pengetahuan tentang Allah yang jamak
(di dalam diri-Nya) berasal dari pengalaman yang faktual, dan penyataan itu
dinyatakan secara gradual. Trinitas Fenomenon menegaskan bahwa kejamakan diri
Allah merupakan hal yang tampak (menyatakan diri-Nya dalam tiga Pribadi yang
berdistingsi). Trinitas mengekspresikan “cinta kasih” yang berperikoresis di antara
personal-personal Trinitas dan kasih yang kekal termanifestasi dalam dunia yang riil
dan diekspresikan: manusia dengan manusia, manusia terhadap Tuhan dan Tuhan
kepada manusia. Trinitas menegaskan (to assert) atau mengatakan (to say) kepada dunia
bahwa dunia tak mungkin tanpa “kasih” Allah Trinitas, di mana kasih yang kekal itu
terjadi sejak kekal di antara pribadi-pribadi Trinitas. Trinitas menjelaskan (to explain),
bahwa “kasih” memungkinkan adanya perikoresis di dalam Trinitas. Bahwa
penciptaan rangkap tiga menjadi sesuatu yang unik. Trinitas menerjemahkan (to
translate) relasi kasih yang kekal di antara pribadi-pribadi Trinitas dan luapan kasihNya yang besar kepada manusia yang berdosa. Penerjemahan kasih Allah
membuktikan bahwa Allah begitu peduli dan mengasihi umat-Nya. Trinitas adalah
rumusan dari apa yang telah dinyatakan oleh Allah, apa adanya penyataan itu, dan
kita harus tunduk pada Sang Penyata, sebab Ia-lah yang berinisiatif menyatakan diriNya, dengan cara yang telah diperlihatkan oleh Kitab Suci berdasarkan kesaksian para
saksi mata. 
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
ULASAN BUKU
Hoekema, Anthony A. Diselamatkan Oleh Anugerah. Surabaya: Penerbit Momentum,
2010.
Berbicara tentang pokok keselamatan, maka dapat dipastikan bahwa hanya di
dalam kekristenan sebuah konsep yang berbeda bahkan unik. Mengapa? Oleh karena
mayoritas agama di dunia mempercayai bahwa keselamatan seseorang hanya
dimungkinkan melalui perbuatan baik manusia atau amal ibadah. Tentunya, hal ini
tidak sama dengan pandangan iman Kristen. Karena iman Kristen meyakini bahwa
keselamatan mutlak inisiatif Allah Tritunggal. Inisiatif yang dipahami berawal dari
pemilihan, pengutusan Yesus Kristus untuk mati di salib, dan pemateraian
keselamatan itu di dalam setiap hati orang pilihan oleh Roh Kudus. Apabila
keselamatan merupakan inisiatif Allah, maka keselamatan harus dipahami sebagai
sebuah anugerah. Bahkan manusia tidak memiliki kekuatan untuk menolak (irresistible
grace) apabila keselamatan tersebut dianugerahkan kepada-Nya. Itulah sebabnya
setiap orang yang telah ditetapkan untuk selamat, pasti akan selamat.
Dalam buku ini, Anthony A. Hoekema sebenarnya hendak mempertegas tentang
kehendak dan kedaulatan Allah dalam keselamatan manusia berdosa. Maksudnya,
semata-mata karena anugerah sajalah manusia dapat diselamatkan atau beroleh
keselamatan. Meskipun memang harus diakui bahwa posisi teologi yang ditawarkan
oleh Hoekema dalam buku ini adalah berdasarkan kekristenan Injili atau perspektif
Reformed atau Calvinis. Hoekema tidak membedakan pandangan Injili dengan
pandangan Reformed, meskipun pada penekanannya memiliki perbedaan pada
beberapa aspek, yakni:
1. Faktor utama yang menentukan siapa yang akan diselamatkan dari dosa bukanlah
keputusan orang yang bersangkutan, melainkan kedaulatan anugerah Allah –
walaupun keputusan manusia itu memainkan peranan yang signifikan dalam
proses tersebut.
2. Penerapan keselamatan kepada umat Allah berakar di dalam ketetapan kekal
(eternal decree) Allah, di mana berdasarkan hal tersebut Ia telah memilih umat-Nya
untuk memperoleh hidup yang kekal, bukan berdasarkan kebaikan manusia itu,
tetapi semata-mata berdasarkan kerelaan kehendak-Nya.
3. Walaupun semua manusia yang telah mendengar berita Injil diundang untuk
menerima Kristus dan keselamatan-Nya, dan dengan sungguh-sungguh dipanggil
untuk menerimanya, tetapi anugerah Allah yang menyelamatkan dalam arti yang
sebenarnya tidak bersifat universal, tetapi partikuler (tertentu), yaitu dikaruniakan
hanya kepada kaum pilihan Allah (mereka yang telah dipilih-Nya di dalam Kristus
untuk beroleh keselamatan).
4. Karena itu, anugerah keselamatan Allah bersifat efektif dan tidak akan hilang. Akan
tetapi hal itu bukan berarti orang-orang percaya, jika dibiarkan bersandar pada
kemampuan mereka sendiri,tidak akan pernah menjauh dari Allah, tetapi apa yang
dimaksudkan adalah bahwa Allah tidak akan membiarkan kaum pilihan-Nya
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
kehilangan keselamatannya. Karena itu, jaminan rohani orang-orang percaya
tergantung terutama pada pegangan Allah terhadap mereka, dan bukannya atas
pegangan mereka pada Allah.
5. Walaupun penerapan keselamatan dalam diri umat Allah meliputi berbagai aspek
kehendak dan karya manusia – selain regenerasi dalam pengertian sempit – akan
tetapi penerapan ini terutama adalah karya Roh Kudus.
Dalam buku ini, Hoekema melihat dan menjelaskan doktrin keselamatan
berdasarkan perspektif biblika. Itulah sebabnya tidak terelakkan bahwa kita nantinya
akan diperhadapkan pada konsep yang paradoks. Bahkan Hoekema merasa seolah-olah
mustahil untuk menyelaraskan dua konsep yang paradoks ini. Akan tetapi kemudian
dia mengajak kita untuk meyakini bahwa kedua-duanya benar, oleh karena keduaduanya diajarkan dalam Alkitab. Alkitab mengajarkan mengenai kedaulatan Allah
tentang keselamatan. Namun di sisi yang lain, Alkitab juga dengan jelas mengajarkan
mengenai tanggung jawab manusia di dalamnya.
Bagi Hoekema, kedua konsep di atas benar. Bahkan menurutnya, apabila hendak
memahami Alkitab, kita harus menerima konsep paradoks ini, mempercayai bahwa
apa yang tidak dapat kita selaraskan dalam otak kita yang terbatas ini mendapatkan
keselarasannya di dalam pikiran Allah. Hoekema menambahkan,
Karenanya kita harus menegaskan baik kedaulatan Allah maupun tanggung
jawab manusia; baik anugerah Allah yang berdaulat maupun partisipasi aktif kita
di dalam proses keselamatan. Kita baru dapat dikatakan bersikap setia kepada
ajaran Alkitab jika kita dengan tegas berpegang kepada kedua sisi yang paradoks.
Tetapi karena Allah adalah Pencipta dan kita adalah ciptaan-Nya, maka Allah
pasti lebih utama. Karenanya kita harus mempertahankan bahwa faktor yang
paling menentukan di dalam proses keselamatan kita adalah anugerah Allah
yang berdaulat.
Itulah sebabnya dalam buku ini, Hoekema membahas tentang ordo keselamatan
tersebut secara gamblang, sistematis, biblis dan sangat baik. Diawali dengan
menjelaskan tentang ordo keselamatan itu sendiri. Dan kemudian secara berturut-turut
membahasa tentang: Peran Roh Kudus, Kesatuan dengan Kristus, Panggilan Injil,
Panggilan Efektif, Regenerasi, Konversi, Pertobatan, Iman, Pembenaran, Pengudusan,
dan Ketekunan Orang-orang Percaya Sejati.
Menurut Hoekema, panggilan efektif adalah panggilan Injil yang dijadikan efektif
di dalam hati dan kehidupan umat Allah bagi keselamatan mereka. Atau dapat
didefinisikan sebagai tindakan Allah yang berdaulat melalui Roh Kudus-Nya, di mana
Dia memampukan pendengar panggilan Injil untuk menanggapi panggilan-Nya
dengan pertobatan, iman, dan ketaatan.
Sedangkan regenerasi dipahami oleh Hoekema dalam tiga komentar berikut ini:
(1) Regenerasi merupakan perubahan yang terjadi secara seketika; (2) Regenerasi
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
merupakan perubahan supranatural; (3) Regenerasi merupakan perubahan yang
radikal. Pada poin yang ketiga dipahami dalam dua hal, yakni: (a) Regenerasi berarti
pemberian atau ‘penanaman’ kehidupan rohani yang baru; (b) Regenerasi merupakan
suatu perubahan yang mempengaruhi keseluruhan pribadi.
Konversi mencakup sikap berbalik ganda: menjauhi dosa dan mengarahkan diri
kepada Allah dalam pelayanan. Di dalam pengertiannya yang paling penuh, konversi
seharusnya mencakup unsur-unsur berikut: (1) iluminasi pada pikiran, di mana dosa
dikenali dalam pengertian yang sesungguhnya, sebagai perilaku yang tidak
dikenankan oleh Allah; (2) penyesalan yang sungguh atas dosa, bukan sekadar
kesedihan karena akibat dosa yang pahit; (3) pengakuan yang rendah hati akan dosa,
baik kepada Allah maupun kepada sesama yang dilukai karena dosa kita; (4)
membenci dosa, yang mencakup keputusan yang tegas untuk meninggalkannya; (5)
kembali kepada Allah yang adalah Bapa yang penuh rahmat di dalam Kristus, dalam
iman bahwa Dia dapat dan akan mengampuni dosa; (6) sukacita yang penuh di dalam
Allah melalui Kristus; (7) kasih yang murni kepada Allah dan sesama beserta kesukaan
di dalam di dalam melayani Allah.
Pertobatan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang secara sadar dilakukan oleh
seorang yang telah diregenerasikan untuk berbalik dari dosa kepada Allah di dalam
suatu perubahan kehidupan sepenuhnya, yang dinyatakan di dalam bentuk suatu cara
berpikir, merasa, dan berkehendak yang baru.
Iman adalah sarana yang dengannya kita diselamatkan, dan jalan menuju
pengharapan yang pasti. Sampai saat kebangkitan kita, kita dijaga oleh kuasa Allah
melalui iman. Paulus mengatakan, di dalam kehidupan Kristen satu-satunya hal yang
berharga adalah iman yang berkarya melalui kasih (Gal. 5:6). Lukas menggarisbawahi
arti penting dari iman dengan menggunakan satu kata untuk mendeskripsikan orangorang Kristen: “orang-orang percaya” (Kis.2:44).
Pembenaran harus dipahami dengan beberapa penjelasan berikut ini: (1)
Pembenaran mempresuposisikan adanya pengakuan atas realitas dari murka Allah; (2)
Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif atau yudisial dari Allah dan bukan
merupakan suatu proses; (3) Pembenaran diterima hanya oleh iman, dan tidak pernah
merupakan pahala bagi perbuatan kita; (4) Pembenaran berakar dalam kesatuan
dengan Kristus; (5) Pembenaran didasarkan kepada karya subtitusi Kristus bagi kita;
(6) Pembenaran meliputi pengimputasian kebenaran Kristus kepada kita; (7) Di dalam
pembenaran, kasih karunia dan keadilan Allah dinyatakan bersama-sama.
Pengudusan merupakan karya yang penuh anugerah diri Roh Kudus, yang
melibatkan tanggung jawab kita untuk berpartisipasi, yang dengannya Roh Kudus
melepaskan kita dari pencemaran dosa, perbarui keseluruhan natur kita menurut
gambar Allah, dan memampukan kita untuk menjalankan kehidupan yang diperkenan
oleh Allah.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Ketekunan Orang-orang Percaya Sejati adalah mereka yang memiliki iman sejati
tidak akan kehilangan iman itu secara total atau pada akhirnya. Orang-orang percaya
sejati bertekun bukan karena kekuatan mereka sendiri, melainkan karena kasih setia
Allah yang tidak berubah.
Pokok-pokok inilah yang saya jumpai ketika membaca buku ini, dan kemudian
saya laporkan sebagai tugas wajib untuk mengikuti mata kuliah ini. Buku ini sangat
bagus karena memberikan kepada kita pemahaman yang biblis tentang doktrin
keselamatan.
Ridolf R. Manggoa
Pratt, Richard L., Dirancang Bagi Kemuliaan (Designed For Dignity).
Surabaya: Momentum 2002. 235 halaman
Richard L. Pratt adalah seorang Profesor Perjanjian Lama dari Reformed Theological
Seminary di Orlando. Setelah membaca beberapa buku yang telah ditulis oleh Pratt,
maka disimpulkan bahwa penulis sangat baik dalam memaparkan setiap narasi dalam
Alkitab khususnya setiap narasi dalam Perjanjian Lama. Sehingga walaupun penulis
adalah seorang akademisi akan tetapi setiap tulisannya, termasuk buku ini disajikan
dengan bahasa yang relatif ‘ringan’ serta dengan contoh-contoh yang praktis. Hal ini
sangat jelas dijumpai dalam buku ini.
Pada bagian pertama buku ini, penulis menjelaskan tentang posisi kita dalam
Kerajaan Allah. Menurutnya, manusia diciptakan untuk menjadi sarana utama yang
melaluinya Kerajaan Allah akan dinyatakan di atas bumi. Manusia memiliki peran
yang unik dalam menghadirkan Kerajaan Allah dan manusia juga telah ditetapkan
untuk berbagi di dalam kemuliaan ini. Berdasarkan peran manusia untuk
menghadirkan kemuliaan Allah di dunia ini, maka Allah menciptakan manusia
menurut gambar dan rupa-Nya. Menurutnya, kita adalah gambar Allah yang hina
sekaligus yang mulia. Sebagai gambar Allah yang hina mengindikasikan bahwa
manusia bukanlah Allah serta manusia hanyalah ciptaan yang memiliki keterbatasan.
Namun manusia juga adalah ciptaan yang mulia, oleh karena manusia menjadi
representatif pemerintahan Allah di bumi. Bahkan menurutnya, manusia merupakan
simbol kehadiran Allah di bumi. Meskipun pada akhirnya, itu dirusak oleh dosa.
Sehingga membuat gambar itu rusak total dan tidak lagi dengan sempurna dapat
mewakili Allah di dunia.
Dalam bagian kedua, penulis mendeskripsikan tugas manusia di bumi sebagai
gambar dan rupa Allah. Menurutnya, manusia memiliki tugas ganda, yakni: berlipat
ganda dan menguasai bumi. Berlipat ganda bukan hanya berkaitan dengan pelipatgandaan secara fisik, meskipun hal ini juga merupakan panggilan kita yang mulia.
Oleh karena pelipat-gandaan dalam hal ini juga menyangkut tentang pelipat-gandaan
secara spiritual – sehingga klimaksnya nanti adalah Amanat Agung. Sedangkan
berkuasa berarti menguasai dunia demi kemuliaan Allah. Manusia harus memiliki relasi
yang baik dengan alam sekitar, sesama, dan diri sendiri. Sehingga kemuliaan bagi
Allah dapat terwujud melalui penaklukan bumi dengan kehadiran gambar-gambar
Allah yang baik.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Bagian ketiga penulis mendeskripsikan tentang kejatuhan manusia yang
merupakan gambar Allah ke dalam dosa. Menurut penulis, keputusan manusia untuk
memberontak melawan Allah didahului oleh sebuah proses muslihat yang licik dari
Iblis. Dan strategi Iblis adalah menyerang atau fokus kepada ‘kebanggaan manusia’.
Namun meskipun manusia telah jatuh dalam dosa sama sekali tidak merubah manusia
menjadi binatang. Manusia tetaplah menjadi gambar dan rupa Allah yang telah rusak.
Sehingga gambar yang rusak inilah nantinya akan dikonstruksi ulang oleh Yesus
Kristus melalui pengorbanan-Nya di salib.
Pada bagian keempat, penulis mendeskripsikan tentang situasi dunia pasca
kejatuhan manusia dalam dosa. Kejahatan menjadi sebuah ancaman bagi bumi ini.
Mengapa? Oleh karena seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa semua ciptaan
Allah bertujuan untuk mempermuliakan-Nya. Namun sekarang hal itu tidak kelihatan
lagi oleh karena kejahatan yang semakin merajalela di bumi. Dalam bab ini, penulis
mengambil contoh dari kisah Nuh untuk menjelaskan bahwa sebenarnya Allah sudah
memberikan banyak waktu kepada manusia untuk bertobat. Akan tetapi manusia
tidak menggunakan kesempatan itu, sehingga Allah harus menghukum manusia
karena dosa.
Bagian kelima penulis mendeskripsikan tentang pokok-pokok yang harus
diperhatikan guna dapat kembali meraih tujuan hidup kita. Menurut penulis, dalam
hal ini kita harus memperhatikan tiga pokok, yakni: (1) beriman kepada kuasa Allah
yang sedang memimpin kita ke sana; (2) bersabar menantikan waktu Allah; dan (3)
bertekun dengan setia kepada Tuhan. Untuk menjelaskan ketiga pokok di atas, maka
penulis mengambil contoh dari kehidupan Abraham dalam pergumulan iman untuk
meyakini dan menantikan realisasi janji Allah.
Bagian keenam penulis membawa kita untuk melihat situasi pada zaman Musa
guna kita dapat menggali setiap berkat Tuhan yang ada di sana. Dahulu Tuhan
mengutus Musa dan umat-Nya untuk berperang agar bisa merebut tanah perjanjian.
Akan tetapi sekarang kita harus melakukan perang rohani dengan senjata Firman
Allah, oleh karena dalam Firman Allah dapat ditemukan kekuatan dan keteguhan
untuk menghadapi peperangan melawan Iblis. Semua ini harus kita lakukan guna
membawa pemulihan gambar dan rupa Allah dalam diri manusia supaya dapat masuk
ke dalam Kerajaan Sorga.
Pada bagian ketujuh, penulis mendeskripsikan tentang gambar Allah yang telah
jatuh dan rusak total, diberikan oleh Allah kemuliaan yang lebih tinggi. Hal ini tampak
dengan jelas dalam kerajaan Daud. Penulis mendeskripsikan bahwa sama seperti Daud
yang diliputi oleh kegirangan dan syukur yang luar biasa kepada Allah atas berkatberkat-Nya yang melimpah, maka demikian juga kita yang telah memperoleh berkat
yang luar biasa dalam Kristus harus lebih bersyukur lagi bahkan lebih dari pada
syukur Daud. Oleh karena melalui kebangkitan Kristus, memungkinkan kita untuk
mengecap mahkota kemuliaan bersama dengan Kristus.
Pada bagian kedelapan, penulis menjelaskan tentang dua efek dari berkat Allah. Di
mana menurutnya, apabila berkat tersebut digunakan seturut dengan maksud dan
rencana Allah maka hal itu akan berdampak positif bagi hidup kita. Namun apabila
dipergunakan dengan tidak benar maka hal itu akan berdampak secara negatif kepada
kita. Hal ini dijelaskan penulis berkaitan dengan Hukum Taurat. Hukum Taurat dapat
menolong kita untuk mengenal dosa sehingga kita merasa perlu seorang juruselamat.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Akan tetapi Hukum Taurat sendiri bukanlah juruselamat. Sehingga apabila kita sudah
mengenal dosa melalui Hukum Taurat, maka kita menghindari dosa. Namun justru
membuat kita semakin giat melakukannya. Bukankah hal ini menjadi lumrah dalam
kehidupan gereja Tuhan?
Dalam bagian sembilan dan sepuluh, penulis mendeskripsikan tentang peran
sentral dari Yesus Kristus sendiri dalam pemulihan gambar dan rupa Allah itu.
Sehingga pemulihan yang utuh terhadap gambar dan rupa Allah dalam diri manusia
tergantung pada upaya satu orang yang kepada-Nya kita menyandarkan segala
harapan kita – Yesus Kristus. Ia menjadi langkah terakhir menuju kemuliaan. Namun
dalam menunggu kondisi tersebut, terlebih dahulu kita dipanggil untuk menderita
bagi-Nya. Setiap orang percaya menanggung penderitaan dan kesukaran demi Kristus.
Kelebihan. Penulis mendeskripsikan buku ini dengan sangat sistematis, bahasa yang
mudah dipahami, meskipun nilai akademis dan alkitabiahnya tetap tinggi. Sehingga
menjadi kerugian besar bagi setiap orang Kristen yang tidak membaca buku ini. Oleh
karena buku ini dapat menghantar kita mengerti ‘siapakah kita?’, ‘apa yang
seharusnya kita perbuat?’, dan ‘mengapa kita harus eksis di dunia ini?’
Pekerjaan yang sulit adalah mencari kelemahan buku ini. Buku ini nyaris sempurna.
Meskipun sudah dua kali selesai membaca habis buku ini, akan tetapi kelemahan isi
nyaris tidak ada. Richard L. Pratt memang seorang ahli Perjanjian Lama yang extra
ordinary.
Buku ini sangat bagus, serta pesan yang disampaikan sangat urgen, sehingga
menurut saya buku ini dibaca semua kalangan orang percaya. Sangat disayangkan
apabila dibaca oleh kelompok mahasiswa teologi saja. Oleh karena bahasanya pun
sangat mudah dipahami.
Adi Putra
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
PARA KONTRIBUTOR:
1. Dr. Sri Dwi Harti, M.Th., menyelesaikan Studi Doktoral pada bidang Teologi di
Sekolah Tinggi Agama Kriten Apollos Manado (STAKAM). Sekarang menjabat
sebagai Puket III Bidang Kemahasiswaan dan Pelayanan di STT Pelita Dunia, dan
sebagai dosen tetap pada Program Studi Teologi.
2. Abraham Tefbana, M.Pd.K., menyelesaikan Studi Magister Pendidikan Agama
Kristen (M.Pd.K) pada STT IKAT tahun 2012. Sekarang menjabat sebagai Puket 1
Bidang Akademik STT Pelita Dunia dan dosen Tetap pada Program Studi PAK.
3. Adi Putra, M.Th., menyelesaikan Studi Magister Teologi (M.Th.) keahlian Biblika
Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Teologi Injili Arastamar (SETIA) Jakarta pada
tahun 2014. Sekarang menjadi dosen tetap pada STT Pelita Dunia.
4. Deky Hidnas Yan Nggadas, M.Th., Meraih gelar Sarjana Teologi dari SETIA
Jakarta (2003); gelar Magister Divinitas dari STT Amanat Agung Jakarta (2008); dan
gelar Master of Theology in Theological and Biblical Studies dari Institut Injil
Indonesia Batu, Malang, setelah mempertahankan tesis berjudul: “Dari ‘Mesir’ ke
Mesir: Analisis terhadap Penggunaan Hosea 11:1 dalam Matius 2:15 dengan
Pendekatan Kristotelik” (2013). Beliau adalah penulis buku-buku: Pengantar
Praktis Studi Kitab-kitab Injil (2011); Paradigma Eksegetis: Penting dan Harus
(2013); dan Dari ‘Mesir’ ke Mesir: Telaah Kristotelik Hosea 11:1 dalam Matius 2:15
(2015). Saat ini beliau bekarja sebagai dosen Biblika PB di Gracia Theological
Seminary dan anggota Komisi Pengajaran di GBI Mandarin Service.
5. Dr. Dyulius Thomas Bilo, M.Th., lahir 15 Maret 1975 di Tala, Mamuju-Sulawesi
Barat. Menyelesaikan studi Sarjana Teologi konsentrasi PAK pada tahun 2003 dan
Magister Teologia konsentrasi PAK tahun 2006 di Sekolah Tinggi Theologia Injili
Arastamar (SETIA) Jakarta dan Doktor Teologi konsentrasi PAK pada tahun 2011
di Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia (STBI) Semarang. Saat ini menjadi
Dosen Tetap di SETIA Jakarta. Ditabiskan menjadi Pendeta Sinode Gereja Kristen
Setia Indonesia (GKSI) Jakarta pada November 2013. Menikah dengan Lisna
Novalia 8 Desember 2012 dan sekarang dikaruniai putra dan putri yang diberi
nama Great Heart dan Shine Heart Hephzibah Octaviani.
6. Stenly R. Paparang, D.Th., Ketua Departemen Literatur dan Media Arastamar
(DELIMA) STT Injili Arastamar Jakarta; Pendeta Sinode Gereja Kristen Setia
Indonesia (GKSI); Kepala Departemen Literatur dan Penerbitan BPS-GKSI periode
2011-2016; Ketua Tim Editor Jurnal Arastamar STT Injili Arastamar Jakarta;
Sekretaris Program Pascasarjana STT Injili Arastamar Jakarta; Dosen Tetap
Pascasarjana STT Injili Arastamar Jakarta; Menyelesaikan S-1 Teologi di STT Injili
Arastamar Jakarta tahun 2007; Menyelesaikan S-2 Teologi di STT Injili Arastamar
Jakarta tahun 2012; Menyelesaikan S-3 Teologi di STT Injili Arastamar Jakarta tahun
2015.
7. Dr. Daud Alfons Pandie, M.Th. menyelesaikan S3 pada tahun 2011 di STAKN
Sulawesi Utara. Saat ini menjabat sebagai Ketua STT Apolos Jakarta dan sekaligus
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
menjadi dosen tamu di STT Pelita Dunia. Melayani di IECC gereja bagian mandiri
dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI AM).
8. Yane Octavia Rismawati Wainarisi, M.Th.(c), Asisten Dosen di STT Pelita Dunia.
Sementara menyelesaikan studi Magister Teologi spesifikasi Perjanjian Lama di STT
Cipanas.
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
ATURAN PENULISAN
JURNAL LUXNOS STT PELITA DUNIA
A. Syarat Penulisan:
1. Penulis harus mengikuti format penulisan yang diberikan dari Tim Redaksi.
2. Untuk menjaga kualitas Jurnal, penulis harus mengikuti kaidah penulisan
ilmiah: sesuai antara judul dan isi tulisan; menggunakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar serta mudah dipahami; menggunakan bahasa Inggris (bila ada)
yang baik dengan memperhatikan grammar dan spelling kata dengan cermat
sebelum memasukan tulisan ke meja redaksi.
3. Tulisan bukan duplikasi dan belum pernah dimuat atau dipublikasikan.
4. Referensi harus jelas (nama, tahun dan dicantumkan dalam daftar referensi)
untuk menghindari tuduhan plagiat (pencurian tulisan).
5. Redaksi Jurnal memiliki hak dan wewenang penuh untuk: mengoreksi;
mengembalikan untuk diperbaiki; dan menolak tulisan yang masuk meja
redaksi bila dirasa perlu. Penilaian akan dilakukan secara objektif.
6. Tulisan yang dikembalikan untuk diperbaiki kalau mau diterbitkan harus
diperbaiki terlebih dahulu sesuai dengan koreksi yang dilakukan oleh Redaksi.
7. Tulisan yang diterbitkan menjadi milik STT Pelita Dunia selaku penerbit Jurnal
Luxnos.
8. Tulisan dan gambar dibuat dalam hitam putih.
9. Tulisan yang dimasukkan untuk diseleksi oleh Redaksi dalam bentuk hard copy
dan bila tulisan terpilih untuk diterbitkan harus memberikan flashdisc yang
berisi tulisan tersebut.
10. Untuk dapat diterbitkan pada edisi terdekat, tulisan harus masuk paling lambat
dua bulan sebelumnya.
11. Penulis harus menuliskan biodata penulis secara singkat dan jelas.
B. Format Penulisan:
1. Judul (center, bold, Font 14, Book Antiqua, semua huruf capital)
2. Gunakan kertas A4 dengan margin sebagai berikut: Atas 2 cm dan Bawah 2 cm
Kiri 3 cm; dan Kanan 2 cm. Badan tulisan ditulis dalam satu kolom dan line
spacing adalah satu.
3. Penulis (center, Italic, Font 10, Book Antiqua, bukan huruf capital semua, dua
spasi di bawah judul).
4. Footnote menggunakan font Book Antiqua dengan ukuran 9.
5. Tulisan: maksimal 10 halaman per penulis dengan format dua kolom.
6. Abstract (center, bold, font 10, Book Antiqua, tiga spasi di bawah penulis).
7. Abstract tulisan maksimum 100-250 kata (Justified, italic, font 10, Book
Antiqua). Untuk memenuhi aturan dari LIPI, abstrak ditulis dalam dua bahasa
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
8.
9.
yaitu Inggris dan Indonesia. Bila makalah ditulis dalam bahasa Indonesia,
Abstract dalam bahasa Inggris. Jika makalah dalam bahasa Inggris, Abstrac
dalam bahasa Indonesia.
Kata Kunci : Tulis kata kunci yang berhubungan dengan tulisan maksimum 5
kata kunci (Justified, normal, font 10, Book Antiqua, tiga spasi dibawah
abstract).
Isi Tulisan:
a. PENDAHULUAN (Semua judul Chapter/Bab ditulis dengan format seperti
ini, Justified, Bold, font 12, Book Antiqua, huruf kapital semua). Jumlah
Chapter/Bab disesuaikan dengan kebutuhan tulisan.
Isi tulisan ditulis dengan format Justified, normal, font 12, Book Antiqua,
dan dimulai satu spasi dibawah judul chapter/bab. Jika memungkinkan,
judul chapter/bab mempunyai urutan sebagai berikut:
1) Pendahuluan
2) Metode Penelitian
3) Isi
4) Pembahasan
5) Kesimpulan
a) Sub Chapter/Bab (Justified, Bold italic, font 12, Book Antiqua, dua spasi
di bawah akhir kalimat). Isi tulisan ditulis dengan format Justified,
normal, font 10, Book Antiqua, dan dimulai satu spasi di bawah judul
sub chapter/bab.
b) Sub Sub Chapter/Bab (Justified, italic, font 12, Book Antiqua, dua spasi
di bawah kalimat terkahir). Isi tulisan ditulis dengan format Justified,
normal, font 10, Book Antiqua, dan dimulai satu spasi dibawah judul
sub-sub chapter/bab.
b. GAMBAR DAN TABEL:
Jika Gambar atau Tabel cukup dalam format dua kolom, gambar atau tabel
harus diletakkan dekat dengan tulisan yang menjelaskan gambar atau tabel tersebut.
Jika gambar atau tabel yang akan ditampilkan cukup banyak, maka gambar atau tabel
sebaiknya diletakan di akhir tulisan secara terpisah. Keterangan gambar di letakan di
bawah gambar, sedangkan keterangan tabel diletakan di atas tabel.
Jika gambar atau tabel tidak cukup dalam format dua kolom, gambar atau tabel
dapat dibuat dalam satu kolom dan diletakkan di bagian bawah halaman atau di
bagian atas halaman sehingga tidak mengganggu alur tulisan.
c. DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI
1) Buku/Jurnal
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Bardhan, P dan D. Mookeherjee, 2000. Capture and Government at Local and National
Levels. American Economic Review 90 (2): 135-139.
Booth, A, 2000. Survey of Recent Development. Buletin Kajian Ekonomi Indonesia, 35 (3): 339
Fabozzi, F., da I. Pollack, eds., 1987. The Handbook of Fixed Income Securities. 2d ed.
Homewood, IL: Dow Jones-Irwin.
Kahneman, D., P, Slovic, dan A. Tversky, eds., 1992, Judgment Under Uncertainty:
Heuristic and Biases. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.
2) Tulisan sebagai bagian dari sebuah buku (artikel dalam karya kolektif)
Damury, Y.R, 2003, Indonesia’s New Fiscal Relations: Issues and Problems in a More
Decentralized Fiscal System dalam: Legowo, T. A. dan M. Takahashi , Regional
autonomy and Socio-Economic Development in Indonesia-A Multidimentional
Analysis (Eds), Chiba, Japan: Institute of Developing Economies Japan External
Trade Organisation: 115-145
3) Majalah, media massa (koran)
Untuk majalah, koran, makalah tidak diterbitkan, disertasi/tesis/skripsi, makalah
seminar dan sebagainya, menyesuaikan dengan pedoman di atas.
4) Internet
Copykan alamat website secara lengkap di mana Anda mendapatkan karya acuan
tersebut untuk memudahkan penelusuran. Dan jangan lupa mencantumkan tanggal
dan waktu pengutipan.
http://akta.wordpress.com/2007/06/13/merealisasikan-agenda-mendaulatkanislam-dalam-masyarakat-majmuk/
Jurnal Luxnos Vol.1, No.1, Edisi Januari-Juli 2016
Download