BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis (TB) Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil gram-positif yang tahan asam dengan pertumbuhan lamban yaitu Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis sebagian besar (80%) menyerang organ paru-paru dengan gejala batuk kronis, demam, berkeringat malam, keluhan pernafasan, letih dan berat badan yang terus menurun. Penularan TB dapat melalui udara saat orang yang terjangkit TB mengalami batuk dan mengeluarkan droplet (percikan dahak) mengandung basil sehingga akan dengan mudah ditularkan kepada orang lain melalui saluran pernafasan. Bakteri M. tuberculosis dapat bertahan beberapa jam dalam kondisi panas lembab (Tjay dan Rahardja, 2005). Pengobatan TB pada umumnya dibagi menjadi obat-obatan primer dan sekunder. Adapun obat-obatan primer yang digunakan yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamida, dan etambutol. Obat-obat ini merupakan obat yang paling efektif dengan toksisitas rendah, namun sering kali mengalami resistensi jika diberikan secara tunggal. Maka dari itu dilakukan terapi kombinasi 3-4 obat untuk menghindari terjadinya resistensi (Tjay dan Rahardja, 2005). Sedangkan untuk obat sekunder yaitu streptomisin, klofazimin, fluorkinolon dan sikloserin. Namun obat ini memiliki efek yang lemah dan lebih toksik daripada obat primer, sehingga hanya digunakan apabila terjadi resistensi atau intoleransi terhadap obat-obatan primer pada pasien TB (Tjay dan Rahardja, 2005). 9 10 Penggunaan obat yang tidak tepat oleh pasien TB sering kali terjadi, karena mereka merasa telah sembuh dan mengabaikan kewajiban mereka untuk menyelesaikan terapi. Hal ini menyebabkan terapi yang disarankan pada pasien tidak berjalan dengan baik sehingga menyebabkan gagal dalam terapi dan akan memicu terjadinya resistensi (Tjay dan Rahardja, 2005). Multi-Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) merupakan resistensi yang terjadi terhadap OAT lini pertama yang paling efektif yaitu isoniazid dan rifampisin (WHO, 2015). Pengobatan pada pasien dengan MDR-TB membutuhkan waktu terapi yang lama yaitu 2-3 tahun (Dipiro et al., 2008) dengan menggunakan OAT sekunder seperti streptomisin, klofazimin, fluorkinolon dan sikloserin (Tjay dan Rahardja, 2005). 2.2 Genomik M. tuberculosis Genom H37Rv M. tuberculosis terdiri atas 4,4 X 106 bp dan 4000 gen (Gambar 2.1). Genom M. tuberculosis memiliki fitur yang unik dan lebih dari 200 gen yang menyandi enzim untuk metabolisme lemak yang terdiri atas 6% dari totalnya. Sekitar 100 diantaranya diperkirakan berfungsi dalam β-oksidasi dari asam lemak, sedangkan untuk E. coli memiliki 50 enzim yang akan terlibat dalam metabolisme asam lemak. Sejumlah besar enzim M. tuberculosis diduga menggunakan asam lemak untuk tumbuh di dalam jaringan host yang terinfeksi. Hal ini menyatakan bahwa asam lemak merupakan sumber karbon utama bagi patogen (Smith, 2003). 11 Gambar 2.1 Genom Lengkap M. tuberculosis H37Rv (Smith, 2003) 2.3 Mekanisme Resistensi Rifampisin (RIF) Rifampisin merupakan antibiotik semisintetik dari derivat rifamycin yang diperoleh dari Streptomyces mediterranei. Rifampisin merupakan bakterisidal yang dapat membunuh mycobacterium. Antibiotik ini cepat berpenetrasi ke dalam jaringan dan masuk ke dalam sel fagosit. Antibiotik ini juga digunakan untuk membunuh beberapa organisme yang tidak dapat diakses oleh antibiotik lainnya, seperti mikroorganisme intraselular (Katzung, 2006). Berdasarkan hasil uji in vitro yang dilakukan, diketahui bahwa antibiotik ini aktif dalam melawan bakteri gram-negatif maupun gram-positif, seperti beberapa bakteri tifus, mycobacterium dan klamidia. Rifampisin dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme kurang dari 1 µg/ml dan diperkirakan pada frekuensi 1:106 terjadi resistensi pada semua jenis mikroba (Katzung, 2006). 12 Rifampisin mampu berikatan dengan subunit β RNA polimerase DNAdependent sehingga menghambat sintesis rantai RNA. Resistensi dapat terjadi di beberapa poin mutasi pada gen rpoB yang merupakan pengkode sub unit β dari RNA polimerase. Jika terjadi mutasi pada gen ini akan mencegah rifampisin untuk dapat berikatan dengan RNA polimerase (Katzung, 2006). Sebagian besar isolat pada M. tuberculosis resisten pada rifampisin dengan cara menunjukan terjadinya mutasi pada gen rpoB yang mengkode subunit β dari RNA polimerase. Hal ini menyebabkan perubahan konformasi ikatan obat yang akan mempengaruhi afinitas dari obat tersebut, sehingga mengakibatkan resistensi menjadi semakin berkembang (Telenti et al., 1993; Silva dan Palomina, 2011). Beberapa penelitian lain yang berkaitan dengan resistensi rifampisin menyatakan hampir semua strain yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid, sehingga resistensi dari rifampisin dapat dikatakan sebagai surrogate marker untuk MDRTB (Traore, 2000; Silva dan Palomina, 2011). Pada resistensi rifampisin, ditemukan lebih dari 95% mutasi pada M. tuberculosis terjadi di daerah 81 pb yang dikenal dengan daerah Rifampicin Resistant Determining Region (RRDR). Mutasi ini menandakan bahwa level resistensi tertinggi terjadi pada daerah ini (Ramaswamy dan Musser, 1998; Comas et al., 2012). Wilayah RRDR mencakup kodon 507-533 (Ramaswamy dan Musser, 1998; Silva dan Palomina, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Sun et al (2009), menyatakan bahwa terjadi perubahan asam amino pada kodon 526, 531, 516 dan 533 yang berkaitan dengan resistensi rifampisin. Telah dilaporkan bahwa keempat kodon tersebut merupakan titik mutasi mayor yang sering terjadi dengan 13 frekuensi mutasi sebanyak 46,1% pada kodon 526 dan 38,2 % pada kodon 531, sedangkan sisanya pada kodon 516 sebanyak 6,9 % dan 2,9 % pada kodon 533 (Yue, 2004). Beberapa penelitian lain juga menemukan kodon yang sering mengalami mutasi dan berkaitan dengan resistensi rifampisin, yaitu kodon 511, 512, 513, 514, 515, 516, 517, 518, 519, 521, 524 dan 525 (Valim et al., 2000; Mani et al., 2001; Khosravi et al., 2012; Wang et al., 2013; Yasmin et al., 2014). Frekuensi mutasi yang terjadi pada masing-masing kodon tersebut yaitu, pada kodon 511 8,06% merupakan mutasi substitusi (Yasmin et al., 2014), kodon 512 6,8% (Titov et al., 2006), kodon 513 5% (Taniguchi et al., 1996), kodon 514 1,2% yang merupakan mutasi delesi (Valim et al., 2000), kodon 515 1,8 % (Ma et al., 2006), kodon 516 14,2 % (Hirano et al., 1999), kodon 517 2% yang merupakan mutasi delesi (Mani et al., 2001), kodon 518 3,22% yang merupakan mutasi delesi (Yasmin et al., 2014; Mani et al., 2001), kodon 519 merupakan mutasi yang baru ditemukan dan termasuk dalam mutasi delesi (Wang et al., 2013), kodon 524 1,2% merupakan mutasi titik dan kodon 525 sebanyak 2,2% (Titov et al., 2006). Studi yang dilakukan oleh Titov et al (2006) di Belarus melaporkan bahwa jumlah frekuensi mutasi pada kodon 516 lebih kecil dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Hirano et al (1999) untuk isolat di beberapa negara Asia. Studi yang dilakukan di Belarus didapatkan frekuensi mutasi pada kodon 516 sebanyak 9,1%, sedangkan untuk di negara Asia yaitu 14,4%. Penelitian ini menyatakan bahwa telah ditemukan mutasi dengan frekuensi tertinggi untuk kodon 516 di beberapa negara di Asia (Hirano et al., 1999). 14 2.4 Strategi Terapi Pasien dengan Resistensi Rifampisin Implikasi klinis dari resisten pada obat-obat TB bergantung pada agen yang menginfeksi strain tersebut. Resistensi rifampisin terkait dengan hasil klinis yang lebih buruk dan membutuhkan peningkatan durasi terapi dari 6 bulan menjadi 9 bulan, namun beberapa para ahli menyarankan durasi penggunaan obat dilakukan selama 12 bulan. Kehadiran resitensi rifampisin merupakan penanda untuk MDRTB dengan mayoritas dari beberapa isolat tersebut juga resisten terhadap isoniazid bahkan pada agen lainnya. Selain itu isolat yang resisten dengan rifampisin biasanya juga resisten terhadap rifamycins lainnya seperti rifabutin dan rifapentin (Nachega dan Chaisson, 2003; Sharma dan Mohan, 2004). Resistensi rifampisin ditemukan lebih dari 95% mutasi terjadi pada area inti 81 pb yang dikenal sebagai daerah RRDR. Daerah ini mencakup kodon 507-533, mutasi yang terjadi pada kodon tersebut menandakan bahwa level resistensi tertinggi pada daerah ini (Ramaswamy dan Musser, 1998; Silva dan Palomina, 2011; Comas et al., 2012). Terjadinya mutasi pada kodon di dalam area ini (81 pb) merupakan mekanisme utama terjadinya resistensi rifampisin sebanyak 9095% pada strain M. tuberculosis (Ahmad et al., 2012). Selain itu 90% penderita TB yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid, maka dari itu resistensi rifampisin dapat dikatakan sebagai surrogate marker untuk MDRTB (Lewis et al., 2002; Syaifudin dkk., 2007; Silva dan Palomina, 2011). Terapi obat untuk pasien dengan MDR-TB lebih kompleks dibandingkan dengan pasien TB tanpa resistensi. Terapi penggunaan OAT pasien MDR-TB 15 yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI (2014) dapat dilihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Terapi Penggunaan OAT Pasien dengan MDR-TB Jenis Sifat Efek Samping Golongan 1: OAT Lini Pertama Oral Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout artritis Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penghliatan, buta warna, neuritis perifer Kanamycin (Km) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Golongan 3: Fluorokuinolon Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Km, Am, Cm memberikan efek samping yang serupa seperti pada penggunaan Streptomisin Levofloksasin (Lfx) Bakterisidal Mual, muntah, sakit kepala, pusing, sulit tidur, ruptur tendon (jarang) Moksifloksasin (Mfx) Bakterisidal Mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, nyeri sendi, ruptur tendon (jarang) Para-aminosalicylic acid (PAS) Bakteriostatik Cycloserine (Cs) Bakteriostatik Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati dan pembekuan darah (jarang), hipotiroidisme yang reversible Gangguan sistem saraf pusat: sulit konsentrasi dan lemah, depresi, bunuh diri, psikosis. Gangguan lain adalah neuropati perifer, Stevens Johnson syndrome Ethionamide (Etio) Bakterisidal Golongan 2: OAT Suntikan Golongan 4: OAT Lini Kedua Oral Gangguan gastrointestinal, anoreksia, gangguan fungsi hati, jerawatan, rambut rontok, ginekomasti, impotensi, gangguan siklus menstruasi, hipotiroidisme yang reversible Golongan 5: Obat yang masih belum jelas manfaatnya dalam pengobatan TB resisten obat. Clofazimine (Cfz), Linezolid (Lzd), Amoxicillin/Clavulanate (Amx/Clv), Thioacetazone (Thz), Imipenem/Cilastatin (lpm/Cln), Isoniazid dosis tinggi (H), Clarithromycin (Clr), Bedaquilin (Bdq) (Kementerian Kesehatan RI, 2014) 16 Obat antituberkulosis yang biasanya digunakan dalam terapi pasien TB yang resisten obat di Indonesia terdiri atas OAT lini ke-2 yang biasanya digunakan yaitu kanamisin, kapreomisin, levofloksasin, etionamide, sikloserin, moksifiloksasin dan PAS (p-aminosalicylic acid). Untuk obat lini pertama yaitu pirazinamid dan etambutol. Saat dilaporkan adanya resistensi obat pada pasien TB, selama fase awal digunakan terapi obat seperti kombinasi ethionamide, fluoroquinolone, obat bakteriostatik lain seperti ethambutol, pirazinamid dan aminoglikosida (kanamycin, amikacin atau capreomycin) digunakan selama 3 bulan atau sampai konversi sputum. Selama fase lanjutan, digunakan terapi obat seperti ethionamide, fluoroquinolone, obat bakteriostatik lain (ethambutol) yang harus digunakan selama 18 bulan (Sharma dan Mohan, 2004; Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pasien yang diterapi untuk obat-obatan MDR-TB harus di terus diawasi secara klinis, seperti demam, batuk, produksi sputum dan peningkatan berat badan. Pada pengawasan secara radiologi contohnya hasil radiografi pada dada, pengawasan hasil laboratorium seperti sedimentasi eritrosit dan pengawasan mikrobiologi pada hasil sputum smear dan kultur (Sharma dan Mohan, 2004). Maka dari itu deteksi cepat diperlukan untuk mendeteksi mutasi yang menyebabkan resistensi rifampisin, salah satunya yaitu deteksi menggunakan metode real-time PCR dengan bantuan suatu desain DNA probe yang dapat mendeteksi mutasi secara spesifik pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis. Hal ini dapat membantu pemberian terapi yang tepat bagi pasien TB tanpa atau dengan resistensi rifampisin sesegera mungkin (Espasa, 2005). 17 2.5 Mutasi Gen Mutasi merupakan perubahan yang terjadi di dalam urutan basa DNA. Mutasi ini terjadi karena kesalahan spontan dalam replikasi DNA atau rekombinasi miosis. Selain itu perubahan urutan DNA pada suatu organsime yang terjadi juga dapat diakibatkan oleh agen fisika dan kimia (Turner et al., 2005). Mutasi merujuk pada setiap perubahan genetik yang terjadi pada urutan DNA. Urutan normal DNA yang belum mengalami mutasi dinamakan wild-type. Namun wild-type tidak mudah untuk didefinisikan karena di alam terdapat banyak individu dalam populasi dan spesies yang sama tetapi memiliki variasi genetik yang signifikan. Maka dari itu wild-type dipilih untuk dapat digunakan sebagai refrensi dalam menentukan mutasi yang terjadi pada masing-masing individu (Ennis, 2001). Mutasi dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu point mutations (mutasi titik) dan rearrangements mutations. Point mutation merupakan mutasi yang mengalami perubahan urutan DNA dengan melibatkan satu atau beberapa nukleotida, sedangkan rearrangements mutations merupakan mutasi yang lebih luas dibandingkan point mutations, yaitu terjadi perubahan kromosom yang melibatkan ratusan segmen atau bahkan jutaan nukleotida (Ennis, 2001). Beberapa contoh point mutations antara lain mutasi transisi, tranversi, frameshift dan mutasi substitusi yang biasanya disebut silent mutation, missens mutations dan nonsense mutations (Ennis, 2001; Campbell et al., 2002; Turner et al., 2005). Contoh mutasi rearrangements antara lain deletion, inversion, translocation dan dulpications. Berdasarkan klasifikasi mutasi tersebut, mutasi 18 titik merupakan mutasi yang terjadi pada RRDR (Rifampin Resistance Determining Region) gen rpoB bakteri M. tuberculosis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa 90% isolat M. tuberculosis dengan rifampisin fenotip terdapat missens mutations yang mengakibatkan substitusi asam amino Ser-531 (41%), His-526 (40%) dan Asp-516 (5%) (Yue et al., 2003). 2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode untuk membuat salinan segmen yang spesifik dari suatu untai DNA (Campbell et al., 2002). Metode ini digunakan untuk mengamplifikasi urutan DNA menggunakan sepasang primer yang masing-masing komplemen pada satu ujung urutan target DNA (Turner et al., 2005). Metode PCR pertama kali diperkenalkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985 yang digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali dalam waktu beberapa jam saja (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Kelebihan metode ini yaitu lebih cepat dibandingkan pengkloningan gen dengan DNA plasmid ataupun DNA faga yang dilakukan secara in vitro (Campbell et al., 2002), selain itu kelebihan lain yang dimiliki PCR yaitu dapat bekerja menggunakan komponen dalam jumlah yang sedikit (Novel dkk., 2011). Metode PCR memerlukan beberapa komponen dalam reaksinya, antara lain template DNA; sepasang primer; dNTPs (Deoxynucleotida triphosphate); buffer PCR; magnesium klorida dan enzim DNA polimerase. Enzim yang digunakan yaitu DNA polimerase yang diperoleh dari isolasi bakteri termofilik dan hipertermofilik, maka dari itu enzim ini bersifat termostabil sampai suhu 95ºC 19 (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Enzim yang paling sering digunakan yaitu taq polymerase yang diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus, bakteri ini dapat bertahan pada tahap denaturasi dengan temperatur 95ºC dalam waktu 1-2 menit dan memiliki waktu paruh lebih dari 2 jam pada suhu ini (Turner et al., 2005). Langkah awal metode PCR yaitu mengisolasi sampel DNA dari bahan klinis atau menggunakan jaringan yang disimpan pada parafin, kemudian dilakukan proses amplifikasi DNA yang telah diisolasi. Pada prinsip kerja teknik PCR terdapat beberapa tahap amplifikasi, antara lain denaturasi, primer annealing dan elongasi (polimerisasi) (Novel dkk., 2011). Tahap awal amplifikasi yaitu denaturasi, pada tahap ini terjadi proses perubahan untaian DNA ganda menjadi untaian DNA tunggal dengan menggunakan suhu 95ºC dan biasanya dilakukan dalam waktu 60 detik (Turner et al., 2005). Untaian ganda DNA template tersebut dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian dilakukan pendinginan agar mencapai suhu tertentu yang diinginkan, sehingga memberi waktu untuk primer dapat menempel (annealing) pada daerah tertentu dari DNA target (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Penempelan primer merupakan tahap kedua dari prinsip kerja PCR yang dilakukan pada suhu 55ºC dalam waktu 30 detik (Turner et al., 2005). Suhu penempelan primer bergantung pada kandungan GC dan TmºC dari primer yang didesain (Borah, 2011). Tahap ketiga yaitu tahap elongasi atau polimerisasi yang dilakukan pada suhu 72ºC dalam waktu 60-90 detik, agar tahap polimerasi dapat berjalan lebih optimal maka digunakan dNTPs dan Mg2+ dalam campuran reaksinya (Turner et al., 2005). Pada tahap elongasi atau polimerisasi digunakan enzim DNA polimerase yang berfungsi untuk memperpanjang primer dengan 20 adanya dNTPs (dATPs, dCTPs, dGTPs dan dTTPs) dan buffer yang sesuai (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Pada teknik PCR umumnya dilakukan dalam siklus 20-45 sesuai kebutuhan. Kemudian diakhir tahap reaksi dilakukan pendinginan pada suhu kamar 4ºC bergantung pada aplikasi dan jenis cycler yang digunakan (McPherson dan Moller, 2006). Metode PCR tidak sepenuhnya efisien, maka dari itu perlu dilakukan pengembangan variasi metode PCR untuk meningkatkan efisiensinya. Beberapa modifikasi PCR yang dapat dilakukan untuk pengembangannya antara lain Multiplex PCR, Nested PCR, Reverse Transcriptase PCR dan Real-time PCR (Turner et al., 2005). Nested PCR digunakan saat dalam proses deteksi memungkinkan untuk mengurangi kontaminasi pada produk selama proses amplifikasi berlangsung dari penyatuan primer yang tidak diperlukan. Metode ini menggunakan dua set primer untuk mendukung proses deteksi (Yusuf, 2010). Reverse Transcriptase PCR digunakan untuk mengkopi RNA menjadi cDNA menggunakan reverse transcriptase, kemudian mengamplifikasi cDNA dengan PCR dan primer yang spesifik. Pada multiplex PCR menggunakan beberapa set primer dan penambahan beberapa pasang primer ini dapat mengamplifikasi lebih dari satu fragmen DNA dan fragmen tersebut akan dengan mudah dibedakan pada gel jika fragmen tersebut memiliki panjang yang berbeda. Multiplex PCR sering digunakan untuk mendeteksi mikroorganisme yang mengontaminasi air atau makanan dan mikroorganisme yang menginfeksi jaringan (Turner et al., 2005). 21 2.7 Real-Time Polymerase Chain Reaction (Real-Time PCR) Real-time PCR merupakan modifikasi atau variasi metode PCR yang memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan beberapa teknik PCR lain. Real time PCR memberikan keuntungan seperti thermal cycler yang dapat menentukan jumlah produk hasil reaksi dengan cara mendeteksi peningkatan ikatan dye dengan DNA sintesis menggunakan fluorometer. Keuntungan lain yang diberikan oleh metode ini antara lain memiliki sensitivitas yang tinggi; reprodusibel menguantifikasi jumlah awal dari template dengan cara memonitoring produk amplifikasi PCR selama proses berlangsung; proses pendeteksian cepat; menganalisis beberapa gen secara simultan; mudah untuk mengolah banyak sampel dan tidak membutuhkan pengecekan akhir menggunakan gel (Turner et al., 2005; McPherson dan Moller, 2006). 2.8 DNA Probe Probe adalah molekul asam nukleat yang memiliki afinitas kuat dan dapat berikatan dengan target DNA secara spesifik atau RNA sekuens. Probe dan sekuens basa dari target harus komplemen satu sama lain. Probe dapat digunakan untuk berbagai metode blotting dan teknik in situ untuk mendeteksi sekuens asam nukleat, selain itu probe juga digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme dan mendiagnosis terjadinya infeksi atau penyakit lainnya (Walker dan Rapley, 2005). DNA probe merupakan salah satu komponen dari real-time PCR yang dapat menentukan keberhasilan proses deteksi pada metode real-time PCR. Kriteria DNA probe yang harus dipenuhi dalam melakukan perancangan, sebagai berikut: 22 a) Panjang Nuklrotida DNA Probe Panjang nukleotida untuk sebuah DNA probe yang digunakan berkisar antara 18-30 basa dengan panjang optimal 20 nukleotida. Panjang yang melebihi 30 nukleotida masih dapat digunakan dengan catatan bahwa quencher fluoresen tidak ditempatkan pada basa paling ujung 3’, melainkan diposisi tengah dari sekuens DNA probe, Meuer et al., 2001; McPherson dan Moller, 2006). b) Kandungan GC (%GC) Kandungan GC yang harus dimiliki DNA probe pada umumnya yaitu 40-60% (Borah, 2011). c) TmºC (Temperature Melting) DNA probe yang baik harus memiliki TmºC lebih tinggi 5-10ºC dibandingkan TmºC primer (Anonim c, 2006). d) Runs Runs menunjukkan pengulangan basa yang sama berturut-turut pada untai DNA probe, contohnya AGCGGGGGATGGGG. DNA probe yang baik seharusnya memiliki runs kurang dari 4 basa (Borah, 2011). e) Repeats Repeats menunjukkan pengulangan di nukleotida yang sama berturutturut pada untai DNA probe, contohnya ATATATAT. DNA probe yang baik seharusnya memiliki repeats kurang dari 4 basa (Borah, 2011). 23 f) Struktur Hairpin Hairpin merupakan struktur sekunder yang terbentuk akibat interaksi intramolekular, hal ini dapat menghalangi hibridisasi DNA probe dengan DNA target sehingga sedapat mungkin dihindari (Borah, 2011). Untuk nilai ∆G maksimum terbentuknya struktur hairpin yang masih dapat ditoleransi yaitu -3 kcals (Anonim g, 2006; Rychlik, 2010 g) Struktur Dimers Dimers dapat berupa self dimer dan cross dimers, kedua dimer ini terbentuk karena interaksi intermolekular antara dua jenis primer yang sama (self dimers) dan interaksi intramolekular antara sepasang primer (cross dimers) (Borah, 2011). Pada metode real-time PCR, menggunakan bantuan DNA probe untuk metode deteksi adanya mutasi (McPherson dan Moller, 2006). Salah satu jenis DNA probe yang digunakan pada metode real-time PCR yaitu TaqMan probe. Pada metode deteksi TaqMan probe, digunakan tiga nukleotida antara lain primer forward, primer reverse dan probe internal TaqMan. TaqMan probe merupakan oligonukleotida standar yang berikatan secara kovalen dengan reporter fluoresen (FAM atau 6-carboxyfluorescein) pada posisi 5’ dan berikatan dengan quencher TAMRA (6-carboxytetramethylrhodamine) pada posisi 3’ (McPherson dan Moller, 2006). Pada umumnya TaqMan probe harus memiliki jumlah GC antara 40-60% dan hindari urutan nukleotida identik yang membentang panjang lebih dari 4 pada basa tunggal (Walker dan Rapley, 2005). Jauhkan guanin pada posisi 5’ probe 24 karena dapat memadamkan fluoresen (McPherson dan Moller, 2006), pastikan bahwa tidak ada daerah yang komplemen dalam probe karena hal ini dapat menyebabkan pembentukan struktur hairpin yang akan menghambat hibridisasi pada target DNA (Walker dan Rapley, 2005). Nilai TmºC pada desain probe lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai TmºC primer, yaitu antara 5-10ºC (Anonim c, 2006). Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam mendesain probe yaitu menjauhkan segala mismatches antara probe dengan target DNA (McPherson dan Moller, 2006). Diagram skematik yang memperlihatkan prinsip real-time PCR menggunakan TaqMan probe dapat dilihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Diagram Skematik Prinsip Kerja Real-Time PCR Menggunakan TaqMan probe (McPherson dan Moller, 2006) Pada Gambar 2.2 dapat dilihat selama proses penempelan kedua primer dan penempelan probe pada DNA target, terlihat jarak reporter dan quencher 25 pada nukleotida terlalu dekat satu sama lain, sehingga sinyal fluoresen tidak dihasilkan. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap ekstensi, aktivitas 5’→3’exonuclease dari Taq DNA polymerase akan memutuskan 5’-FAM dari probe dengan cara memisahkan reporter dengan quencher sehingga akan menyebabkan peningkatan fluoresen yang akan diukur selama siklus PCR berlangsung (McPherson dan Moller, 2006). Beberapa kriteria probe harus diperhatikan jika akan menyusun TaqMan probe, yang meliputi panjang TaqMan probe harus lebih panjang dibandingkan primer, biasanya 18-30 nukleotida. Selain itu nilai TmºC untuk TaqMan probe sekitar 5-10ºC lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai TmºC primer (Anonim c, 2006). Hal ini dilakukan agar memungkinkan terjadinya hibridisasi pada gen target selama tahap ekstensi. Berdasarkan beberapa kriteria tersebut dilakukan untuk memastikan apakah emisi fluoresen yang dihasilkan setelah aktvitas 5’→3’ exonuclease berbanding lurus dengan jumlah target DNA yang diinginkan. Faktor lain yang harus diperhatikan saat mendesain TaqMan probe yaitu menjauhkan G (guanin) pada posisi 5’ karena dapat menyebabkan pemadaman sinyal bahkan pada saat probe sudah terlepas. Selain menjauhkan basa G (guanin) pada posisi 5’, pada desain TaqMan probe juga harus mengandung basa C (sitosin) lebih banyak dibandingkan dengan basa G (guanin) (McPherson dan Moller, 2006). Pada beberapa kasus dinyatakan bahwa quencher fluorescent tidak dianjurkan untuk ditempatkan pada bagian ujung 3’, melainkan harus ditempatkan pada bagian dalam antara nukleotida 18 dan 25 dari posisi 5’ jika panjang sekuens melebihi 30 nukleotida. Hal ini dilakukan jika metode deteksi real-time PCR menggunakan TaqMan probe dan 26 dapat dipastikan energi yang ditransfer dari reporter fluoresen menuju quencher fluoresen akan lebih efisien (McPherson dan Moller, 2006). Pada desain probe, keberadaan struktur sekunder dapat mempengaruhi spesifisitas rancangan. Keberadaan struktur sekunder disebabkan oleh interaksi intermolekular atau intramolekular, hal ini akan mengakibatkan produk yang dihasilkan hanya sedikit dan bahkan tidak ada. Beberapa struktur sekunder yang dapat menganggu proses penempelan DNA probe antara lain, struktur hairpin; self dimer; cross dimer; repeats; runs; struktur sekunder template dan homolog silang (Borah, 2011). 2.9 Label TaqMan probe Beberapa hal penting harus dipertimbangkan dalam pemilihan label yang akan digunakan pada TaqMan probe. Label yang digunakan harus dipastikan dapat terdeteksi oleh instrumen. Disaat telah menentukan kedua buah label (fluorophor dan quencher) yang akan digunakan, maka pastikan kedua label tersebut kompatibel satu sama lain (Anonim d, 2008). Beberapa tipe label untuk TaqMan probe dapat dilihat pada Tabel 2.2. 27 Tabel 2.2 Tipe label Reporter dan Quencher untuk TaqMan probe (Anonim b, 2005) Pada pemilihan label untuk desain DNA probe singleplax, label FAM direkomendasikan sebagai label untuk reporter, karena label tersebut mudah didapatkan, dapat memonitoring amplikon hasil amplifikasi pada setiap siklus PCR, dapat berikatan secara spesifik pada DNA probe dan dapat terdeteksi oleh semua jenis instrumen (Meuer et al., 2001; Anonim c, 2006). Selain itu FAM juga memiliki kemampuan dapat menghasilkan fluoresen yang kuat dibandingkan label lainnya (Mackay, 2007). Pada pemilihan label untuk quencher, terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihannya. Maka dari itu direkomendasikan label TAMRA sebagai quencher untuk reporter FAM, karena label TAMRA merupakan label yang kompatibel dengan label FAM dan 28 kombinasi antara kedua label ini merupakan kombinasi yang dapat bekerja dengan baik pada saat proses PCR berlangsung (Anonim a, 2004; Anonim c, 2006). Selain pemilihan label, posisi pemasangan kedua label reporter dan quencher untuk TaqMan probe juga harus dipertimbangkan. Lokasi pemasangan kedua label disarankan berjarak 25-30 nukleotida dengan jarak maksimum 30 nukleotida atau 100Å. Jika probe yang didesain memiliki panjang nukleotida yang lebih panjang dari panjang maksimum, maka quencher harus diletakkan pada bagian tengah dalam untai nukleotida untuk menghasilkan pemadaman yang tepat bagi reporter (Mackay, 2007). Hal ini akan menyebabkan sebuah fenomena yang disebut dengan fenomena FRET, fenomena tersebut merupakan fenomena pemadaman sinyal fluoresen yang dilakukan oleh quencher terhadap reporter saat reaksi belum terjadi, karena sinyal fluoresen yang dihasilkan reporter diserap oleh quencher (McPherson dan Moller, 2006; Dorak, 2007). Selain jarak dan lokasi pemasangan label, posisi basa G yang berada dekat dengan label reporter (FAM) harus sedapat mungkin dihindari. Hal ini dilakukan agar basa G tidak menyebabkan reporter mengalami pemadaman sinyal bahkan saat reporter telah terlepas dari sekuens (Anonim c, 2006; Mcpherson dan Moller, 2006).