9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis (TB) Tuberkulosis

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
gram-positif yang tahan asam dengan pertumbuhan lamban yaitu Mycobacterium
tuberculosis. M. tuberculosis sebagian besar (80%) menyerang organ paru-paru
dengan gejala batuk kronis, demam, berkeringat malam, keluhan pernafasan, letih
dan berat badan yang terus menurun. Penularan TB dapat melalui udara saat orang
yang terjangkit TB mengalami batuk dan mengeluarkan droplet (percikan dahak)
mengandung basil sehingga akan dengan mudah ditularkan kepada orang lain
melalui saluran pernafasan. Bakteri M. tuberculosis dapat bertahan beberapa jam
dalam kondisi panas lembab (Tjay dan Rahardja, 2005).
Pengobatan TB pada umumnya dibagi menjadi obat-obatan primer dan
sekunder. Adapun obat-obatan primer yang digunakan yaitu isoniazid, rifampisin,
pirazinamida, dan etambutol. Obat-obat ini merupakan obat yang paling efektif
dengan toksisitas rendah, namun sering kali mengalami resistensi jika diberikan
secara tunggal. Maka dari itu dilakukan terapi kombinasi 3-4 obat untuk
menghindari terjadinya resistensi (Tjay dan Rahardja, 2005). Sedangkan untuk
obat sekunder yaitu streptomisin, klofazimin, fluorkinolon dan sikloserin. Namun
obat ini memiliki efek yang lemah dan lebih toksik daripada obat primer, sehingga
hanya digunakan apabila terjadi resistensi atau intoleransi terhadap obat-obatan
primer pada pasien TB (Tjay dan Rahardja, 2005).
9
10
Penggunaan obat yang tidak tepat oleh pasien TB sering kali terjadi, karena
mereka merasa telah sembuh dan mengabaikan kewajiban mereka untuk
menyelesaikan terapi. Hal ini menyebabkan terapi yang disarankan pada pasien
tidak berjalan dengan baik sehingga menyebabkan gagal dalam terapi dan akan
memicu terjadinya resistensi (Tjay dan Rahardja, 2005). Multi-Drug Resistant
Tuberculosis (MDR-TB) merupakan resistensi yang terjadi terhadap OAT lini
pertama yang paling efektif yaitu isoniazid dan rifampisin (WHO, 2015).
Pengobatan pada pasien dengan MDR-TB membutuhkan waktu terapi yang lama
yaitu 2-3 tahun (Dipiro et al., 2008) dengan menggunakan OAT sekunder seperti
streptomisin, klofazimin, fluorkinolon dan sikloserin (Tjay dan Rahardja, 2005).
2.2
Genomik M. tuberculosis
Genom H37Rv M. tuberculosis terdiri atas 4,4 X 106 bp dan 4000 gen
(Gambar 2.1). Genom M. tuberculosis memiliki fitur yang unik dan lebih dari 200
gen yang menyandi enzim untuk metabolisme lemak yang terdiri atas 6% dari
totalnya. Sekitar 100 diantaranya diperkirakan berfungsi dalam β-oksidasi dari
asam lemak, sedangkan untuk E. coli memiliki 50 enzim yang akan terlibat dalam
metabolisme asam lemak. Sejumlah besar enzim M. tuberculosis diduga
menggunakan asam lemak untuk tumbuh di dalam jaringan host yang terinfeksi.
Hal ini menyatakan bahwa asam lemak merupakan sumber karbon utama bagi
patogen (Smith, 2003).
11
Gambar 2.1 Genom Lengkap M. tuberculosis H37Rv (Smith, 2003)
2.3
Mekanisme Resistensi Rifampisin (RIF)
Rifampisin merupakan antibiotik semisintetik dari derivat rifamycin yang
diperoleh dari Streptomyces mediterranei. Rifampisin merupakan bakterisidal
yang dapat membunuh mycobacterium. Antibiotik ini cepat berpenetrasi ke dalam
jaringan dan masuk ke dalam sel fagosit. Antibiotik ini juga digunakan untuk
membunuh beberapa organisme yang tidak dapat diakses oleh antibiotik lainnya,
seperti mikroorganisme intraselular (Katzung, 2006). Berdasarkan hasil uji in
vitro yang dilakukan, diketahui bahwa antibiotik ini aktif dalam melawan bakteri
gram-negatif maupun gram-positif, seperti beberapa bakteri tifus, mycobacterium
dan klamidia. Rifampisin dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
kurang dari 1 µg/ml dan diperkirakan pada frekuensi 1:106 terjadi resistensi pada
semua jenis mikroba (Katzung, 2006).
12
Rifampisin mampu berikatan dengan subunit β RNA polimerase DNAdependent sehingga menghambat sintesis rantai RNA. Resistensi dapat terjadi di
beberapa poin mutasi pada gen rpoB yang merupakan pengkode sub unit β dari
RNA polimerase. Jika terjadi mutasi pada gen ini akan mencegah rifampisin untuk
dapat berikatan dengan RNA polimerase (Katzung, 2006). Sebagian besar isolat
pada M. tuberculosis resisten pada rifampisin dengan cara menunjukan terjadinya
mutasi pada gen rpoB yang mengkode subunit β dari RNA polimerase. Hal ini
menyebabkan perubahan konformasi ikatan obat yang akan mempengaruhi
afinitas dari obat tersebut, sehingga mengakibatkan resistensi menjadi semakin
berkembang (Telenti et al., 1993; Silva dan Palomina, 2011). Beberapa penelitian
lain yang berkaitan dengan resistensi rifampisin menyatakan hampir semua strain
yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid, sehingga
resistensi dari rifampisin dapat dikatakan sebagai surrogate marker untuk MDRTB (Traore, 2000; Silva dan Palomina, 2011).
Pada resistensi rifampisin, ditemukan lebih dari 95% mutasi pada M.
tuberculosis terjadi di daerah 81 pb yang dikenal dengan daerah Rifampicin
Resistant Determining Region (RRDR). Mutasi ini menandakan bahwa level
resistensi tertinggi terjadi pada daerah ini (Ramaswamy dan Musser, 1998; Comas
et al., 2012). Wilayah RRDR mencakup kodon 507-533 (Ramaswamy dan
Musser, 1998; Silva dan Palomina, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Sun et
al (2009), menyatakan bahwa terjadi perubahan asam amino pada kodon 526, 531,
516 dan 533 yang berkaitan dengan resistensi rifampisin. Telah dilaporkan bahwa
keempat kodon tersebut merupakan titik mutasi mayor yang sering terjadi dengan
13
frekuensi mutasi sebanyak 46,1% pada kodon 526 dan 38,2 % pada kodon 531,
sedangkan sisanya pada kodon 516 sebanyak 6,9 % dan 2,9 % pada kodon 533
(Yue, 2004). Beberapa penelitian lain juga menemukan kodon yang sering
mengalami mutasi dan berkaitan dengan resistensi rifampisin, yaitu kodon 511,
512, 513, 514, 515, 516, 517, 518, 519, 521, 524 dan 525 (Valim et al., 2000;
Mani et al., 2001; Khosravi et al., 2012; Wang et al., 2013; Yasmin et al., 2014).
Frekuensi mutasi yang terjadi pada masing-masing kodon tersebut yaitu, pada
kodon 511 8,06% merupakan mutasi substitusi (Yasmin et al., 2014), kodon 512
6,8% (Titov et al., 2006), kodon 513 5% (Taniguchi et al., 1996), kodon 514 1,2%
yang merupakan mutasi delesi (Valim et al., 2000), kodon 515 1,8 % (Ma et al.,
2006), kodon 516 14,2 % (Hirano et al., 1999), kodon 517 2% yang merupakan
mutasi delesi (Mani et al., 2001), kodon 518 3,22% yang merupakan mutasi delesi
(Yasmin et al., 2014; Mani et al., 2001), kodon 519 merupakan mutasi yang baru
ditemukan dan termasuk dalam mutasi delesi (Wang et al., 2013), kodon 524
1,2% merupakan mutasi titik dan kodon 525 sebanyak 2,2% (Titov et al., 2006).
Studi yang dilakukan oleh Titov et al (2006) di Belarus melaporkan bahwa
jumlah frekuensi mutasi pada kodon 516 lebih kecil dibandingkan dengan studi
yang dilakukan oleh Hirano et al (1999) untuk isolat di beberapa negara Asia.
Studi yang dilakukan di Belarus didapatkan frekuensi mutasi pada kodon 516
sebanyak 9,1%, sedangkan untuk di negara Asia yaitu 14,4%. Penelitian ini
menyatakan bahwa telah ditemukan mutasi dengan frekuensi tertinggi untuk
kodon 516 di beberapa negara di Asia (Hirano et al., 1999).
14
2.4
Strategi Terapi Pasien dengan Resistensi Rifampisin
Implikasi klinis dari resisten pada obat-obat TB bergantung pada agen yang
menginfeksi strain tersebut. Resistensi rifampisin terkait dengan hasil klinis yang
lebih buruk dan membutuhkan peningkatan durasi terapi dari 6 bulan menjadi 9
bulan, namun beberapa para ahli menyarankan durasi penggunaan obat dilakukan
selama 12 bulan. Kehadiran resitensi rifampisin merupakan penanda untuk MDRTB dengan mayoritas dari beberapa isolat tersebut juga resisten terhadap isoniazid
bahkan pada agen lainnya. Selain itu isolat yang resisten dengan rifampisin
biasanya juga resisten terhadap rifamycins lainnya seperti rifabutin dan rifapentin
(Nachega dan Chaisson, 2003; Sharma dan Mohan, 2004).
Resistensi rifampisin ditemukan lebih dari 95% mutasi terjadi pada area inti
81 pb yang dikenal sebagai daerah RRDR. Daerah ini mencakup kodon 507-533,
mutasi yang terjadi pada kodon tersebut menandakan bahwa level resistensi
tertinggi pada daerah ini (Ramaswamy dan Musser, 1998; Silva dan Palomina,
2011; Comas et al., 2012). Terjadinya mutasi pada kodon di dalam area ini (81
pb) merupakan mekanisme utama terjadinya resistensi rifampisin sebanyak 9095% pada strain M. tuberculosis (Ahmad et al., 2012). Selain itu 90% penderita
TB yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid, maka dari
itu resistensi rifampisin dapat dikatakan sebagai surrogate marker untuk MDRTB (Lewis et al., 2002; Syaifudin dkk., 2007; Silva dan Palomina, 2011).
Terapi obat untuk pasien dengan MDR-TB lebih kompleks dibandingkan
dengan pasien TB tanpa resistensi. Terapi penggunaan OAT pasien MDR-TB
15
yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI (2014) dapat dilihat pada Tabel
2.1
Tabel 2.1 Terapi Penggunaan OAT Pasien dengan MDR-TB
Jenis
Sifat
Efek Samping
Golongan 1: OAT
Lini Pertama Oral
Pirazinamid (Z)
Bakterisidal
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, gout artritis
Etambutol (E)
Bakteriostatik
Gangguan penghliatan, buta warna, neuritis
perifer
Kanamycin (Km)
Amikacin (Am)
Capreomycin (Cm)
Golongan 3:
Fluorokuinolon
Bakterisidal
Bakterisidal
Bakterisidal
Km, Am, Cm memberikan efek samping
yang serupa seperti pada penggunaan
Streptomisin
Levofloksasin (Lfx)
Bakterisidal
Mual, muntah, sakit kepala, pusing, sulit
tidur, ruptur tendon (jarang)
Moksifloksasin (Mfx)
Bakterisidal
Mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing,
nyeri sendi, ruptur tendon (jarang)
Para-aminosalicylic acid
(PAS)
Bakteriostatik
Cycloserine (Cs)
Bakteriostatik
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati dan pembekuan darah (jarang),
hipotiroidisme yang reversible
Gangguan sistem saraf pusat: sulit
konsentrasi dan lemah, depresi, bunuh diri,
psikosis. Gangguan lain adalah neuropati
perifer, Stevens Johnson syndrome
Ethionamide (Etio)
Bakterisidal
Golongan 2: OAT
Suntikan
Golongan 4: OAT
Lini Kedua Oral
Gangguan
gastrointestinal,
anoreksia,
gangguan fungsi hati, jerawatan, rambut
rontok, ginekomasti, impotensi, gangguan
siklus menstruasi, hipotiroidisme yang
reversible
Golongan 5: Obat yang masih belum jelas manfaatnya dalam pengobatan TB resisten
obat.
Clofazimine (Cfz), Linezolid (Lzd), Amoxicillin/Clavulanate (Amx/Clv), Thioacetazone
(Thz), Imipenem/Cilastatin (lpm/Cln), Isoniazid dosis tinggi (H), Clarithromycin (Clr),
Bedaquilin (Bdq)
(Kementerian Kesehatan RI, 2014)
16
Obat antituberkulosis yang biasanya digunakan dalam terapi pasien TB yang
resisten obat di Indonesia terdiri atas OAT lini ke-2 yang biasanya digunakan
yaitu
kanamisin,
kapreomisin,
levofloksasin,
etionamide,
sikloserin,
moksifiloksasin dan PAS (p-aminosalicylic acid). Untuk obat lini pertama yaitu
pirazinamid dan etambutol. Saat dilaporkan adanya resistensi obat pada pasien
TB, selama fase awal digunakan terapi obat seperti kombinasi ethionamide,
fluoroquinolone, obat bakteriostatik lain seperti ethambutol, pirazinamid dan
aminoglikosida (kanamycin, amikacin atau capreomycin) digunakan selama 3
bulan atau sampai konversi sputum. Selama fase lanjutan, digunakan terapi obat
seperti ethionamide, fluoroquinolone, obat bakteriostatik lain (ethambutol) yang
harus digunakan selama 18 bulan (Sharma dan Mohan, 2004; Kementerian
Kesehatan RI, 2014).
Pasien yang diterapi untuk obat-obatan MDR-TB harus di terus diawasi
secara klinis, seperti demam, batuk, produksi sputum dan peningkatan berat
badan. Pada pengawasan secara radiologi contohnya hasil radiografi pada dada,
pengawasan hasil laboratorium seperti sedimentasi eritrosit dan pengawasan
mikrobiologi pada hasil sputum smear dan kultur (Sharma dan Mohan, 2004).
Maka dari itu deteksi cepat diperlukan untuk mendeteksi mutasi yang
menyebabkan resistensi rifampisin, salah satunya yaitu deteksi menggunakan
metode real-time PCR dengan bantuan suatu desain DNA probe yang dapat
mendeteksi mutasi secara spesifik pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis.
Hal ini dapat membantu pemberian terapi yang tepat bagi pasien TB tanpa atau
dengan resistensi rifampisin sesegera mungkin (Espasa, 2005).
17
2.5
Mutasi Gen
Mutasi merupakan perubahan yang terjadi di dalam urutan basa DNA.
Mutasi ini terjadi karena kesalahan spontan dalam replikasi DNA atau
rekombinasi miosis. Selain itu perubahan urutan DNA pada suatu organsime yang
terjadi juga dapat diakibatkan oleh agen fisika dan kimia (Turner et al., 2005).
Mutasi merujuk pada setiap perubahan genetik yang terjadi pada urutan DNA.
Urutan normal DNA yang belum mengalami mutasi dinamakan wild-type. Namun
wild-type tidak mudah untuk didefinisikan karena di alam terdapat banyak
individu dalam populasi dan spesies yang sama tetapi memiliki variasi genetik
yang signifikan. Maka dari itu wild-type dipilih untuk dapat digunakan sebagai
refrensi dalam menentukan mutasi yang terjadi pada masing-masing individu
(Ennis, 2001).
Mutasi dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu point mutations
(mutasi titik) dan rearrangements mutations. Point mutation merupakan mutasi
yang mengalami perubahan urutan DNA dengan melibatkan satu atau beberapa
nukleotida, sedangkan rearrangements mutations merupakan mutasi yang lebih
luas dibandingkan point mutations, yaitu terjadi perubahan kromosom yang
melibatkan ratusan segmen atau bahkan jutaan nukleotida (Ennis, 2001).
Beberapa contoh point mutations antara lain mutasi transisi, tranversi,
frameshift dan mutasi substitusi yang biasanya disebut silent mutation, missens
mutations dan nonsense mutations (Ennis, 2001; Campbell et al., 2002; Turner et
al., 2005). Contoh mutasi rearrangements antara lain deletion, inversion,
translocation dan dulpications. Berdasarkan klasifikasi mutasi tersebut, mutasi
18
titik merupakan mutasi yang terjadi pada RRDR (Rifampin Resistance
Determining Region) gen rpoB bakteri M. tuberculosis. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa 90% isolat M. tuberculosis dengan rifampisin fenotip terdapat
missens mutations yang mengakibatkan substitusi asam amino Ser-531 (41%),
His-526 (40%) dan Asp-516 (5%) (Yue et al., 2003).
2.6
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode untuk membuat
salinan segmen yang spesifik dari suatu untai DNA (Campbell et al., 2002).
Metode ini digunakan untuk mengamplifikasi urutan DNA menggunakan
sepasang primer yang masing-masing komplemen pada satu ujung urutan target
DNA (Turner et al., 2005). Metode PCR pertama kali diperkenalkan oleh Karry
Mullis pada tahun 1985 yang digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA
dalam jumlah jutaan kali dalam waktu beberapa jam saja (Handoyo dan
Rudiretna, 2001). Kelebihan metode ini yaitu lebih cepat dibandingkan
pengkloningan gen dengan DNA plasmid ataupun DNA faga yang dilakukan
secara in vitro (Campbell et al., 2002), selain itu kelebihan lain yang dimiliki PCR
yaitu dapat bekerja menggunakan komponen dalam jumlah yang sedikit (Novel
dkk., 2011).
Metode PCR memerlukan beberapa komponen dalam reaksinya, antara lain
template DNA; sepasang primer; dNTPs (Deoxynucleotida triphosphate); buffer
PCR; magnesium klorida dan enzim DNA polimerase. Enzim yang digunakan
yaitu DNA polimerase yang diperoleh dari isolasi bakteri termofilik dan
hipertermofilik, maka dari itu enzim ini bersifat termostabil sampai suhu 95ºC
19
(Handoyo dan Rudiretna, 2001). Enzim yang paling sering digunakan yaitu taq
polymerase yang diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus, bakteri ini dapat
bertahan pada tahap denaturasi dengan temperatur 95ºC dalam waktu 1-2 menit
dan memiliki waktu paruh lebih dari 2 jam pada suhu ini (Turner et al., 2005).
Langkah awal metode PCR yaitu mengisolasi sampel DNA dari bahan klinis
atau menggunakan jaringan yang disimpan pada parafin, kemudian dilakukan
proses amplifikasi DNA yang telah diisolasi. Pada prinsip kerja teknik PCR
terdapat beberapa tahap amplifikasi, antara lain denaturasi, primer annealing dan
elongasi (polimerisasi) (Novel dkk., 2011). Tahap awal amplifikasi yaitu
denaturasi, pada tahap ini terjadi proses perubahan untaian DNA ganda menjadi
untaian DNA tunggal dengan menggunakan suhu 95ºC dan biasanya dilakukan
dalam waktu 60 detik (Turner et al., 2005). Untaian ganda DNA template tersebut
dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian dilakukan pendinginan agar
mencapai suhu tertentu yang diinginkan, sehingga memberi waktu untuk primer
dapat menempel (annealing) pada daerah tertentu dari DNA target (Handoyo dan
Rudiretna, 2001). Penempelan primer merupakan tahap kedua dari prinsip kerja
PCR yang dilakukan pada suhu 55ºC dalam waktu 30 detik (Turner et al., 2005).
Suhu penempelan primer bergantung pada kandungan GC dan TmºC dari primer
yang didesain (Borah, 2011). Tahap ketiga yaitu tahap elongasi atau polimerisasi
yang dilakukan pada suhu 72ºC dalam waktu 60-90 detik, agar tahap polimerasi
dapat berjalan lebih optimal maka digunakan dNTPs dan Mg2+ dalam campuran
reaksinya (Turner et al., 2005). Pada tahap elongasi atau polimerisasi digunakan
enzim DNA polimerase yang berfungsi untuk memperpanjang primer dengan
20
adanya dNTPs (dATPs, dCTPs, dGTPs dan dTTPs) dan buffer yang sesuai
(Handoyo dan Rudiretna, 2001). Pada teknik PCR umumnya dilakukan dalam
siklus 20-45 sesuai kebutuhan. Kemudian diakhir tahap reaksi dilakukan
pendinginan pada suhu kamar 4ºC bergantung pada aplikasi dan jenis cycler yang
digunakan (McPherson dan Moller, 2006).
Metode PCR tidak sepenuhnya efisien, maka dari itu perlu dilakukan
pengembangan variasi metode PCR untuk meningkatkan efisiensinya. Beberapa
modifikasi PCR yang dapat dilakukan untuk pengembangannya antara lain
Multiplex PCR, Nested PCR, Reverse Transcriptase PCR dan Real-time PCR
(Turner et al., 2005). Nested PCR digunakan saat dalam proses deteksi
memungkinkan untuk mengurangi kontaminasi pada produk selama proses
amplifikasi berlangsung dari penyatuan primer yang tidak diperlukan. Metode ini
menggunakan dua set primer untuk mendukung proses deteksi (Yusuf, 2010).
Reverse Transcriptase PCR digunakan untuk mengkopi RNA menjadi cDNA
menggunakan reverse transcriptase, kemudian mengamplifikasi cDNA dengan
PCR dan primer yang spesifik. Pada multiplex PCR menggunakan beberapa set
primer dan penambahan beberapa pasang primer ini dapat mengamplifikasi lebih
dari satu fragmen DNA dan fragmen tersebut akan dengan mudah dibedakan pada
gel jika fragmen tersebut memiliki panjang yang berbeda. Multiplex PCR sering
digunakan untuk mendeteksi mikroorganisme yang mengontaminasi air atau
makanan dan mikroorganisme yang menginfeksi jaringan (Turner et al., 2005).
21
2.7
Real-Time Polymerase Chain Reaction (Real-Time PCR)
Real-time PCR merupakan modifikasi atau variasi metode PCR yang
memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan beberapa teknik PCR lain. Real
time PCR memberikan keuntungan seperti thermal cycler yang dapat menentukan
jumlah produk hasil reaksi dengan cara mendeteksi peningkatan ikatan dye
dengan DNA sintesis menggunakan fluorometer. Keuntungan lain yang diberikan
oleh metode ini antara lain memiliki sensitivitas yang tinggi; reprodusibel
menguantifikasi jumlah awal dari template dengan cara memonitoring produk
amplifikasi PCR selama proses berlangsung; proses pendeteksian cepat;
menganalisis beberapa gen secara simultan; mudah untuk mengolah banyak
sampel dan tidak membutuhkan pengecekan akhir menggunakan gel (Turner et
al., 2005; McPherson dan Moller, 2006).
2.8
DNA Probe
Probe adalah molekul asam nukleat yang memiliki afinitas kuat dan dapat
berikatan dengan target DNA secara spesifik atau RNA sekuens. Probe dan
sekuens basa dari target harus komplemen satu sama lain. Probe dapat digunakan
untuk berbagai metode blotting dan teknik in situ untuk mendeteksi sekuens asam
nukleat, selain itu probe juga digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme
dan mendiagnosis terjadinya infeksi atau penyakit lainnya (Walker dan Rapley,
2005). DNA probe merupakan salah satu komponen dari real-time PCR yang
dapat menentukan keberhasilan proses deteksi pada metode real-time PCR.
Kriteria DNA probe yang harus dipenuhi dalam melakukan perancangan, sebagai
berikut:
22
a) Panjang Nuklrotida DNA Probe
Panjang nukleotida untuk sebuah DNA probe yang digunakan berkisar
antara 18-30 basa dengan panjang optimal 20 nukleotida. Panjang yang
melebihi 30 nukleotida masih dapat digunakan dengan catatan bahwa
quencher fluoresen tidak ditempatkan pada basa paling ujung 3’,
melainkan diposisi tengah dari sekuens DNA probe, Meuer et al., 2001;
McPherson dan Moller, 2006).
b) Kandungan GC (%GC)
Kandungan GC yang harus dimiliki DNA probe pada umumnya yaitu
40-60% (Borah, 2011).
c) TmºC (Temperature Melting)
DNA probe yang baik harus memiliki TmºC lebih tinggi 5-10ºC
dibandingkan TmºC primer (Anonim c, 2006).
d) Runs
Runs menunjukkan pengulangan basa yang sama berturut-turut pada
untai DNA probe, contohnya AGCGGGGGATGGGG. DNA probe
yang baik seharusnya memiliki runs kurang dari 4 basa (Borah, 2011).
e) Repeats
Repeats menunjukkan pengulangan di nukleotida yang sama berturutturut pada untai DNA probe, contohnya ATATATAT. DNA probe
yang baik seharusnya memiliki repeats kurang dari 4 basa (Borah,
2011).
23
f) Struktur Hairpin
Hairpin merupakan struktur sekunder yang terbentuk akibat interaksi
intramolekular, hal ini dapat menghalangi hibridisasi DNA probe
dengan DNA target sehingga sedapat mungkin dihindari (Borah, 2011).
Untuk nilai ∆G maksimum terbentuknya struktur hairpin yang masih
dapat ditoleransi yaitu -3 kcals (Anonim g, 2006; Rychlik, 2010
g) Struktur Dimers
Dimers dapat berupa self dimer dan cross dimers, kedua dimer ini
terbentuk karena interaksi intermolekular antara dua jenis primer yang
sama (self dimers) dan interaksi intramolekular antara sepasang primer
(cross dimers) (Borah, 2011).
Pada metode real-time PCR, menggunakan bantuan DNA probe untuk
metode deteksi adanya mutasi (McPherson dan Moller, 2006). Salah satu jenis
DNA probe yang digunakan pada metode real-time PCR yaitu TaqMan probe.
Pada metode deteksi TaqMan probe, digunakan tiga nukleotida antara lain primer
forward, primer reverse dan probe internal TaqMan. TaqMan probe merupakan
oligonukleotida standar yang berikatan secara kovalen dengan reporter fluoresen
(FAM atau 6-carboxyfluorescein) pada posisi 5’ dan berikatan dengan quencher
TAMRA (6-carboxytetramethylrhodamine) pada posisi 3’ (McPherson dan Moller,
2006).
Pada umumnya TaqMan probe harus memiliki jumlah GC antara 40-60%
dan hindari urutan nukleotida identik yang membentang panjang lebih dari 4 pada
basa tunggal (Walker dan Rapley, 2005). Jauhkan guanin pada posisi 5’ probe
24
karena dapat memadamkan fluoresen (McPherson dan Moller, 2006), pastikan
bahwa tidak ada daerah yang komplemen dalam probe karena hal ini dapat
menyebabkan pembentukan struktur hairpin yang akan menghambat hibridisasi
pada target DNA (Walker dan Rapley, 2005). Nilai TmºC pada desain probe lebih
tinggi jika dibandingkan dengan nilai TmºC primer, yaitu antara 5-10ºC (Anonim
c, 2006). Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam mendesain probe
yaitu menjauhkan segala mismatches antara probe dengan target DNA
(McPherson dan Moller, 2006). Diagram skematik yang memperlihatkan prinsip
real-time PCR menggunakan TaqMan probe dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Diagram Skematik Prinsip Kerja Real-Time PCR Menggunakan
TaqMan probe (McPherson dan Moller, 2006)
Pada Gambar 2.2 dapat dilihat selama proses penempelan kedua primer
dan penempelan probe pada DNA target, terlihat jarak reporter dan quencher
25
pada nukleotida terlalu dekat satu sama lain, sehingga sinyal fluoresen tidak
dihasilkan.
Pada
tahap
selanjutnya
yaitu
tahap
ekstensi,
aktivitas
5’→3’exonuclease dari Taq DNA polymerase akan memutuskan 5’-FAM dari
probe dengan cara memisahkan reporter dengan quencher sehingga akan
menyebabkan peningkatan fluoresen yang akan diukur selama siklus PCR
berlangsung (McPherson dan Moller, 2006). Beberapa kriteria probe harus
diperhatikan jika akan menyusun TaqMan probe, yang meliputi panjang TaqMan
probe harus lebih panjang dibandingkan primer, biasanya 18-30 nukleotida.
Selain itu nilai TmºC untuk TaqMan probe sekitar 5-10ºC lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai TmºC primer (Anonim c, 2006). Hal ini dilakukan agar
memungkinkan terjadinya hibridisasi pada gen target selama tahap ekstensi.
Berdasarkan beberapa kriteria tersebut dilakukan untuk memastikan apakah emisi
fluoresen yang dihasilkan setelah aktvitas 5’→3’ exonuclease berbanding lurus
dengan jumlah target DNA yang diinginkan. Faktor lain yang harus diperhatikan
saat mendesain TaqMan probe yaitu menjauhkan G (guanin) pada posisi 5’ karena
dapat menyebabkan pemadaman sinyal bahkan pada saat probe sudah terlepas.
Selain menjauhkan basa G (guanin) pada posisi 5’, pada desain TaqMan probe
juga harus mengandung basa C (sitosin) lebih banyak dibandingkan dengan basa
G (guanin) (McPherson dan Moller, 2006). Pada beberapa kasus dinyatakan
bahwa quencher fluorescent tidak dianjurkan untuk ditempatkan pada bagian
ujung 3’, melainkan harus ditempatkan pada bagian dalam antara nukleotida 18
dan 25 dari posisi 5’ jika panjang sekuens melebihi 30 nukleotida. Hal ini
dilakukan jika metode deteksi real-time PCR menggunakan TaqMan probe dan
26
dapat dipastikan energi yang ditransfer dari reporter fluoresen menuju quencher
fluoresen akan lebih efisien (McPherson dan Moller, 2006).
Pada desain probe, keberadaan struktur sekunder dapat mempengaruhi
spesifisitas rancangan. Keberadaan struktur sekunder disebabkan oleh interaksi
intermolekular atau intramolekular, hal ini akan mengakibatkan produk yang
dihasilkan hanya sedikit dan bahkan tidak ada. Beberapa struktur sekunder yang
dapat menganggu proses penempelan DNA probe antara lain, struktur hairpin;
self dimer; cross dimer; repeats; runs; struktur sekunder template dan homolog
silang (Borah, 2011).
2.9 Label TaqMan probe
Beberapa hal penting harus dipertimbangkan dalam pemilihan label yang
akan digunakan pada TaqMan probe. Label yang digunakan harus dipastikan
dapat terdeteksi oleh instrumen. Disaat telah menentukan kedua buah label
(fluorophor dan quencher) yang akan digunakan, maka pastikan kedua label
tersebut kompatibel satu sama lain (Anonim d, 2008). Beberapa tipe label untuk
TaqMan probe dapat dilihat pada Tabel 2.2.
27
Tabel 2.2 Tipe label Reporter dan Quencher untuk TaqMan probe
(Anonim b, 2005)
Pada pemilihan label untuk desain DNA probe singleplax, label FAM
direkomendasikan sebagai label untuk reporter, karena label tersebut mudah
didapatkan, dapat memonitoring amplikon hasil amplifikasi pada setiap siklus
PCR, dapat berikatan secara spesifik pada DNA probe dan dapat terdeteksi oleh
semua jenis instrumen (Meuer et al., 2001; Anonim c, 2006). Selain itu FAM juga
memiliki kemampuan dapat menghasilkan fluoresen yang kuat dibandingkan label
lainnya (Mackay, 2007). Pada pemilihan label untuk quencher, terdapat beberapa
kriteria
yang
perlu
diperhatikan
dalam
pemilihannya.
Maka
dari
itu
direkomendasikan label TAMRA sebagai quencher untuk reporter FAM, karena
label TAMRA merupakan label yang kompatibel dengan label FAM dan
28
kombinasi antara kedua label ini merupakan kombinasi yang dapat bekerja dengan
baik pada saat proses PCR berlangsung (Anonim a, 2004; Anonim c, 2006).
Selain pemilihan label, posisi pemasangan kedua label reporter dan quencher
untuk TaqMan probe juga harus dipertimbangkan. Lokasi pemasangan kedua
label disarankan berjarak 25-30 nukleotida dengan jarak maksimum 30 nukleotida
atau 100Å. Jika probe yang didesain memiliki panjang nukleotida yang lebih
panjang dari panjang maksimum, maka quencher harus diletakkan pada bagian
tengah dalam untai nukleotida untuk menghasilkan pemadaman yang tepat bagi
reporter (Mackay, 2007). Hal ini akan menyebabkan sebuah fenomena yang
disebut dengan fenomena FRET, fenomena tersebut merupakan fenomena
pemadaman sinyal fluoresen yang dilakukan oleh quencher terhadap reporter saat
reaksi belum terjadi, karena sinyal fluoresen yang dihasilkan reporter diserap oleh
quencher (McPherson dan Moller, 2006; Dorak, 2007). Selain jarak dan lokasi
pemasangan label, posisi basa G yang berada dekat dengan label reporter (FAM)
harus sedapat mungkin dihindari. Hal ini dilakukan agar basa G tidak
menyebabkan reporter mengalami pemadaman sinyal bahkan saat reporter telah
terlepas dari sekuens (Anonim c, 2006; Mcpherson dan Moller, 2006).
Download