1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization merekomendasikan untuk mengatur jarak kehamilan minimal 24 bulan dari persalinan sebelumnya supaya dapat menurunkan risiko kematian maupun kesakitan ibu dan anak. Jarak kehamilan 6 bulan atau kurang berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian dan kesakitan ibu sedangkan jarak kehamilan 18 bulan atau kurang meningkatkan risiko kematian maupun kesakitan bayi, perinatal dan neonatal seperti berat badan lahir rendah, intra uterine growth retardation dan persalinan preterm. Pengaturan jarak kehamilan selain untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak juga untuk menjamin terpenuhinya nutrisi bagi ibu dan anak serta menjaga perkembangan psikologis anak (World Health Organization, 2005b). Lebih dari 95% ibu pasca persalinan ingin menunda kehamilan berikutnya paling sedikit 2 tahun atau tidak ingin hamil lagi (BKKBN et al., 2014). Namun banyak diantara ibu tidak menggunakan kontasepsi sehingga terjadi unintended pregnancy yang berakhir pada kehamilan berisiko maupun unsafe abortion (Huang et al., 2012). Berdasarkan hasil SDKI 2012, terdapat 10% kelahiran dalam jangka waktu 24 bulan sejak kelahiran sebelumnya (BPS et al., 2013). Secara nasional dari seluruh kehamilan, terdapat 3,53% kehamilan yang tidak direncanakan dan 6,71% diantaranya berupaya menggugurkan kandungannya karena tidak menghendaki kehamilan berlanjut. Kejadian kehamilan yang tidak direncanakan bisa dipahami sebagai keterbatasan pengetahuan perempuan tentang kesehatan reproduksi terutama terhadap perencanaan dan pencegahan kehamilan (Pranata and Sadewo, 2012). Survei di Amerika Serikat menunjukkan keinginan wanita untuk mendiskusikan kontrasepsi sejak masa kehamilan dan saat bersalin tetapi kenyataannya dua per tiga ibu pasca persalinan menjadi unmet need untuk KB (Lopez et al., 2012). Periode pasca persalinan merupakan kesempatan kunci seorang ibu untuk memahami dan menggunakan kontrasepsi yang efektif. Kebutuhan kontrasepsi 2 seorang ibu pasca persalinan akan terpenuhi dengan baik melalui pemberian konseling menggunakan berbagai metode, mengatasi hambatan biaya serta menyediakan pelayanan metode kontrasepsi permanen dan jangka panjang di berbagai fasilitas kesehatan (Potter et al., 2014). Penggunaan kontrasepsi dalam periode waktu 18 bulan pasca persalinan dapat meningkatkan interval kelahiran yang optimal. Untuk mengatur jarak kelahiran yang optimal, perlu konseling tentang kontrasepsi dan kemudahan akses pelayanan kontrasepsi dalam periode postpartum (Thiel de Bocanegra et al., 2014). Pada kenyataannya petugas kesehatan sering mengabaikan tentang kebutuhan kontrasepsi efektif segera setelah persalinan. Setelah persalinan merupakan waktu seorang ibu termotivasi untuk mencegah atau menunda kehamilan berikutnya (Cameron, 2014). Konseling yang dilakukan pada saat kunjungan prenatal dan postnatal menjadi kesempatan untuk diskusi mengenai KB dan sebagian besar pasien menerima konseling tersebut dilanjutkan peningkatan penggunaan IUD postplacenta dan metode kontrasepsi lain dalam 6 bulan postpartum (Glazer et al., 2011). Konseling selama prenatal dan postpartum dapat meningkatkan penggunaan kontrasepsi yang efektif seperti sterilisasi, intra uterine device dan metode hormonal (Zapata et al., 2014). Pendidikan kesehatan yang diberikan sesaat setelah persalinan sampai 3 bulan pasca persalinan dapat meningkatkan penggunaan kontrasepsi dalam 6 bulan pasca persalinan pada ibu bersalin di Nepal (Bolam et al., 1998). Konseling adalah proses pertukaran informasi dan interaksi positif antara klien-petugas untuk membantu klien mengenali kebutuhannya, memilih solusi terbaik dan membuat keputusan yang paling sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi. Konseling tentang KB pada masa kehamilan dapat memenuhi kebutuhan kontrasepsi ibu pasca persalinan (BKKBN et al., 2014). Adanya kontak antara petugas kesehatan dengan ibu hamil saat pemeriksaan kehamilan maupun melahirkan dapat memotivasi pasangan usia subur untuk menggunakan kontrasepsi segera setelah persalinan (Kemenkes RI, 2014). Upaya penggunaan media konseling seperti educational script yang digunakan di North Carolina tentang LARC (Long Acting Reversible Contraception) belum dapat 3 meningkatkan penggunaan LARC dalam 6 bulan pasca persalinan sehingga perlu penggunaan media konseling yang lebih sistematis (Tang et al., 2014). World Health Organiztion telah mengembangkan alat Decision Making Tool for Family Planning Clients and Provider (DMT) yang merupakan alat bantu keputusan ber-KB manual. DMT merupakan alat bantu untuk klien dan alat bantu pekerjaan serta referensi manual untuk provider. Penelitian di Mexico menunjukkan bahwa DMT efektif sebagai alat bantu bagi tenaga kesehatan dalam meningkatkan pemahaman mengenai KB dan membantu klien dalam mengambil keputusan dalam penggunaan kontrasepsi (Kim et al., 2007). DMT diadaptasi oleh BKKBN dan Sustaining Technical Achievements in Reproductive Health (STARH) menjadi Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) ber-KB sebagai salah satu instrumen konseling KB (BKKBN, 2013). Penggunaan Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) ber-KB diharapkan dapat meningkatkan efektivitas konseling karena dalam instrumen ini terdapat informasi yang jelas mengenai jenis kontrasepsi, cara menggunakan, risiko pemakaian, keuntungan, efek samping dan cara mengatasinya, efektivitas, akibat bagi kegiatan sehari-hari dan hubungan seksual, kemungkinan ganti cara serta fleksibilitas (Kemenkes RI, 2012). Penggunaan ABPK terbukti efektif dalam mempengaruhi keikutsertaan KB pasca abortus (Nurchasanah, 2011). Metode kontrasepsi pasca persalinan yang dapat digunakan antara lain intra uterine device (IUD), implant, metode operasi wanita (MOW), metode operasi pria (MOP), suntik, minipil, kondom serta metode amenorea laktasi (MAL). Penggunaan metode kontrasepsi pasca persalinan dapat dilakukan segera setelah lahir sampai 42 hari pasca persalinan (BKKBN et al., 2014). Konseling tentang KB pasca persalinan saat pelayanan ANC saat ini belum diberikan secara optimal karena tanpa menggunakan media apapun atau hanya menggunakan bagian dalam buku KIA. Informasi tentang kontrasepsi pasca persalinan di dalam buku KIA belum disajikan secara lengkap dan jelas sebagai media informasi tentang KB pasca persalinan. Ibu hamil perlu merencanakan persalinannya dengan baik termasuk kontrasepsi yang akan digunakan setelah melahirkan. Penggunaan ABPK dalam konseling KB pada ibu hamil saat ini 4 belum dilakukan walaupun ABPK tersedia hampir di setiap fasilitas kesehatan khususnya Puskesmas. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian “Bagaimana pengaruh konseling keluarga berencana menggunakan Alat Bantu Pengambilan Keputusan pada ibu hamil terhadap penggunaan kontrasepsi pasca persalinan?” B. Perumusan Masalah Kebutuhan kontrasepsi pada masa pasca persalinan perlu direncanakan sejak masa kehamilan. Informasi mengenai kontrasepsi perlu diberikan melalui komunikasi interpersonal (KIP)/ konseling selama pelayanan Antenatal Care (ANC). Agar konseling menjadi efektif, perlu instrumen salah satunya Alat Bantu Pengambilan Keputusan ber-KB (ABPK) untuk memberikan informasi yang benar dan jelas mengenai kontrasepsi pasca persalinan sehingga ibu hamil dan suaminya mampu memahami kebutuhan akan hak reproduksinya dan mampu membuat keputusan untuk menggunakan kontrasepsi pasca persalinan yang berkualitas. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Berapa besar efektivitas konseling KB menggunakan ABPK pada ibu hamil terhadap penggunaan kontrasepsi pasca persalinan?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengaruh konseling KB pada ibu hamil menggunakan ABPK terhadap penggunaan kontrasepsi pasca persalinan. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui proporsi penggunaan kontrasepsi pasca persalinan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi pasca persalinan pada ibu setelah melahirkan. 5 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Dapat menjadi masukan bagi pemberi pelayanan kesehatan reproduksi dalam promosi kesehatan untuk meningkatkan penggunaan kontrasepsi pasca persalinan pada ibu setelah melahirkan. 2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan a. Menjadi wawasan dalam ilmu kesehatan reproduksi yang bisa dijadikan salah satu masukan untuk penelitian selanjutnya tentang efektivitas ABPK. b. Menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya tentang waktu yang efektif dalam pemberian konseling menggunakan ABPK terhadap penggunaan kontrasepsi pasca persalinan. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian serupa pernah dilakukan antara lain: Tabel 1. Keaslian Penelitian Peneliti Zapata et al. (2014) Judul penelitian Contraceptive counseling and postpartum contraceptive use Tang et al. (2014) Effect of an educational script on postpartum contraceptive use: a randomized controlled trial Hasil Pemberian konseling 2 kali saat prenatal dan postpartum lebih efektif dalam penggunaan kontrasepsi pasca persalinan dan pemilihan metode yang lebih efektif (OR 2.33, 95%CI, 1.87-2.89) daripada pemberian konseling 1 kali hanya pada saat prenatal atau saat postpartum saja (OR 2.10, 95%CI, 1.652.67). LARC script secara statistik tidak dapat meningkatkan penggunaan LARC (Long Acting Reversible Contraception) dalam 6 bulan pasca persalinan. Penggunaan LARC 17,6% pada kelompok intervensi dan 13,3% pada kelompok komtrol (p=0,103) Persamaan Variabel terikat penggunaan kontrasepsi pasca persalinan Perbedaan Subyek penelitian ibu postpartum, desain penelitian survei, variabel bebas konseling kontrasepsi Desain penelitian RCT Subyek penelitian ibu postpartum, variabel bebas pemberian educational script, variabel terikat penggunaan LARC sebagai kontrasepsi pasca persalinan 6 Lanjutan Tabel 1. Peneliti Kim et al. (2007) Judul Penelitian Evaluation of the World Health Organization's family planning decision-making tool: improving health communication in Nicaragua Bolam et al. (1998) The effects of postnatal health education for mothers on infant care and family planning practices in Nepal: a randomised controlled trial Hasil Penggunaan DMT meningkatkan kemampuan provider dalam memahami kebutuhan klien, melibatkan klien dalam konseling dan memberi edukasi pada klien baru dalam proses pemilihan kontrasepsi (26.8 menjadi 36.8, p<0.001). Penggunaan DMT lebih berpengaruh pada klien baru daripada klien kunjungan ulang. Pendidikan kesehatan pada ibu postnatal tidak berpengaruh pada pemberian makan, perawatan dan imunisasi pada bayi, tetapi dapat berpengaruh pada penggunaan kontrasepsi dalam 6 bulan pasca persalinan (OR 1.62, 95%CI, 1.06-2.5). Persamaan Variabel bebas konseling menggunakan DMT (Decision Making Tools) atau ABPK (Alat Bantu Pengambilan Keputusan), desain penelitian RCT Desain penelitian RCT, salah satu variabel terikat yaitu keikutsertaan KB Perbedaan Variabel terikat kemampuan komunikasi kesehatan, subyek penelitian petugas kesehatan Variabel bebas pemberian pendidikan kesehatan, subyek penelitian ibu postpartum.