HUBUNGAN RELIGIOSITAS DAN INTENSI MENGONSUMSI PRODUK HIJAU Chairy Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara Jakarta (Email:• [email protected]) Abstract: This study examined the relationship between religiosity and intention to consume green product. The sample was 100 undergraduate students of Tarumanagara University. Through correlation analysis, this study confirmed the positive and significant relationship between religiosity and intention to consume green product. The finding of this research supports the previous research findings that claim religiosity affect consumer ethical behavior. Further, this research finding may help marketers in designing their marketing strategy and program. Keywords: religiosity, intention to consume green product, correlation analysis. Abstrak: Penelitian ini menguji hubungan antara religiositas dan intensi untuk mengonsumsi produk hijau. Sampel dari penelitian ini adalah 100 mahasiswa S1 Universitas Tarumanagara. Melalui analisa korelasi, penelitian ini menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara religiositas dan intensi mengonsumsi produk hijau. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa religiositas mempengaruhi perilaku etik konsumen. Lebih jauh lagi, hasil penelitian ini mungkin membantu pemasar dalam mendesain strategi dan program pemasaran mereka. Kata kunci: religiositas, intensi mengkonsumsi produk hijau, analisa korelasi. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini fenomena ramah lingkungan semakin populer di Indonesia. Ramah lingkungan yang menggunakan kata hijau (green), ditemui di berbagai sektor mulai dari bangunan hijau /ramah lingkungan (green building), kampus hijau (green campus), ekonomi hijau (green economy), konsumen hijau (green consumer), sampai produk hijau (green product). Demikian juga konsumen di Indonesia dipercaya mulai tertarik pada produk hijau sehingga pada November 2011, diadakan green festival di Jakarta. Festival ini menampilkan sejumlah produk ramah lingkungan diantaranya produk organik (Metrotvnews.com, diakses 13 Januari 2012). Dilaporkan bahwa festival ini memperoleh respon yang besar dan positif dari masyarakat. Adapun produk hijau secara umum diartikan sebagai produk yang ramah lingkungan atau produk yang dalam pembuatan dan pengembangannya memperhatikan dampak terhadap lingkungan natural selain juga memperhatikan berbagai faktor umum seperti kinerja produk, aestetika produk, biaya, keamanan, dan lain lain (Smith, Roy, & Potter, 1996). Pada waktu yang hampir bersamaan, November 2011, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerja sama dengan Indonesia Centre for Sustainable Development mengadakan Semiloka Nasional Menuju Ekonomi Hijau: Pembelajaran Pada Tahap Transisi 140 Chairy: Hubungan Religiositas Dan Intensi Mengonsumsi Produk Hi jau (http://www.bappenas. go . id/node/165/3387/semiloka-nasional-m enuj u-ekonomi-hij au pembelajaran-pada-tahap-transisi/, diakses 13 Januari 2012). Dalam semiloka ini, ditampilkan hasil survei efisiensi energi yang pernah dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sepuluh tahun yang lalu yang memperlihatkan bahwa lebih dari 80% konsumen Indonesia bersedia memilih produk hemat energi. Di belahan dunia lain, berdasarkan data riset konsumen yang dikutip dan Mintel Oxygen Reports, jumlah orang Amerika yang selalu atau secara teratur membeli produk hijau naik dan tahun ke tahun, yaitu dan hanya 12% pada tahun 1997 menjadi 36% pada tahun 2008, dan angka ini bertahan sampai tahun 2009 walaupun kondisi perekonomian pada tahun 2009 tidak menggembirakan. Dalam survei sejenis lainnya, Mintel menemukan bahwa 54% konsumen bersedia membeli produk hijau walaupun produk ini dirasakan terlalu mahal harganya. Empat dari lima orang dewasa (78%) mengatakan bahwa mereka akan membeli lebih banyak lagi produk organik apabila harganya dapat sedikit lebih murah. Lebih jauh, Mintel memperkirakan bahwa pasar produk hijau akan berkembang sebesar 19% pada tahun 2013, dan khusus produk organik akan berkembang terus sampai lima tahun ke depan (http://www.mintel c om/pres s-c entre/pres s-rel ease s/325/mintel-finds-fewer-americansinterested-in-going-green-during-recession, diakses 13 Januari 2012). Kondisi yang lebih terkini, berdasarkan NPR-Thomson Reuters Health Poll yang dilakukan pada tahun 2011, dilaporkan bahwa 58 % orang Amerika memilih untuk mengonsumsi produk organik dengan salah satu alasan utama yaitu untuk menghindari kemungkinan adanya racun non-organik makanan pada pestisida (http ://www.npr. org/b logs/health/2011/07/20/138534183/organic-foo ds-have-bro adappeal-but-costs-temper-demand, diakses 13 Januari 2012) Dari sisi regulasi, produk hijau juga memperoleh dukungan yang kuat. Pada APEC Ministerial Meeting (AMM) ke-23 di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, 11 November 2011 lalu, salah satu poin penting yang dibahas para menteri adalah dukungan terhadap pertumbuhan hijau (green growth). Para anggota ekonomi APEC didorong untuk menurunkan tarif produk ramah lingkungan, yang termasuk dalam kategori Environmental Goods and Services (EGS) hingga di bawah 5 persen pada 2015. (VIVA news, diakses 13 Januari 2012). Walaupun akan melakukan pengkajian terlebih dahulu, Menteri Perdagangan Republik Indonesia mengatakan bahwa pada prinsipnya Indonesia mendukung pertumbuhan hijau. Dari sisi perlindungan konsumen, Wibowo (2002) mengatakan bahwa sejak awal tahun 1990-an kesadaran masyarakat dunia terhadap pelestarian lingkungan meningkat pesat. Hal ini diwujudkan dengan munculnya gerakan green consumerism yang berusaha menekan kemungkinan teijadinya bencana lingkungan hidup akibat aktivitas pemasaran dan konsumsi yang tidak ramah lingkungan. Konsumen semakin sadar akan haknya untuk mendapatkan produk yang ramah lingkungan. Gerakan ini menjadi semacam pressure group yang memberikan tekanan kepada para pemasar untuk menghasilkan produk hijau yang dapat melindungi konsumen dari berbagai ancaman gangguan kesehatan dan lingkungan hidup. Memperhatikan perkembangan berbagai kegiatan hijau akhir-akhir ini diperkirakan pasar produk hijau sangat besar dan berpotensi untuk tumbuh terus. Ukuran pasar yang relatif besar dan terus meningkat, adanya komitmen dari pemerintah untuk going green, dan tekanan dari gerakan green consumerism membawa peluang yang menarik bagi para 141 Jurnal Manajemen/Volume XVI, No. 02, Juni 2012: 140-149 pemasar yang bergerak di bidang produk hijau. Kondisi ini juga menarik para pemasar lain untuk masuk pada usaha produk hijau. Untuk suksesnya pemasaran produk hijau, maka determinan intensi mengonsumsi produk hijau menjadi relevan. Dengan mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendorong konsumen untuk mengonsumsi produk hijau akan sangat membantu keberhasilan pemasaran produk hijau. Sejauh ini telah terdapat beberapa penelitian tentang konsumsi produk hijau. Pada umumnya berbagai penelitian ini berusaha mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian produk hijau (Chan, 2001; Kim, 2011). Variabel bebas yang diteliti meliputi variabel budaya, sikap, nilai, dan pengetahuan. Variabel budaya misalnya kolektivisme (collectivism), variabel sikap contohnya sikap terhadap lingkungan dan sikap terhadap pembelian produk hijau, variabel nilai misalnya nilai pribadi (personal values), dan variabel pengetahuan misalnya pengetahuan tentang lingkungan (environmental knowledge). Penelitian lain lebih mengarah kepada penelitian tentang perilaku konsumsi yang bertanggung jawab (socially responsible consumption) seperti yang dilakukan oleh Graves, Sarkis, dan Zhu (2011), Ibtissem (2010), Lau (2010); Ramly, Chai, dan Lung (2008); Witkowski dan Reddy (2010). Penelitian ini umumnya mengadopsi model ValueBelief-Norm yang dikembangkan oleh Stern dan kawan-kawannya (Stern 2000; Stern, 2005; Stern et al 1999) yang menghubungkan teori nilai (value theory), teori aktivasi norma (norm-activation theory), dan paradigma barn lingkungan (new environmental paradigm). Yang menarik adalah mulai disertakannya religiositas dalam penelitian tentang konsumsi ramah lingkungan. Sejauh ini penelitian yang menyertakan religiositas masih sangat terbatas, diantaranya dilakukan oleh Witowski dan Reddy (2010) yang menyelidiki konsumsi etis di Jerman dan Amerika Serikat. Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa responden Amerika Serikat yang memiliki tingkat religiositas tinggi juga melakukan aktivitas konsumsi etis yang tinggi, namun tidak demikian untuk responden Jerman. Ramly et al (2008) juga menyelidiki religiositas sebagai prediktor perilaku konsumsi etis. Dengan menggunakan skala consumer ethics yang dikembangkan MuncyVitell yang terdiri dari empat dimensi yaitu dimensi aktif/illegal, dimensi pasif, dimensi aktif/legal, dan dimensi no harm, Ramly dan kawan-kawan memperlihatkan bahwa religiositas dapat digunakan untuk memprediksi kepercayaan etikal konsumen (consumer ethical belief). Namun demikian, sejauh ini belum tercatat adanya penelitian yang mencoba mengkaitkan langsung antara tingkat religiositas konsumen dengan intensi mereka untuk mengonsumsi produk hijau. Penelitian ini mencoba mengisi kekosongan ini dengan menyelidiki hubungan religiositas dengan intensi mengonsumsi produk hijau. Intensi Mengonsumsi Produk Hijau. Proposisi perilaku klasik mengatakan bahwa intensi merupakan prediktor terkuat untuk perilaku (Ajzen & Fishbein, 1980). Pendapat ini kemudian membuat intensi menjadi variabel yang banyak digunakan dalam penelitian perilaku konsumen terutama dalam memprediksi perilaku tertentu yang akan diperlihatkan oleh konsumen. Intensi diartikan sebagai besarnya niat konsumen untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian intensi mengonsumsi produk hijau pada dasarnya dapat diartikan sebagai seberapa besar kemungkinan seorang konsumen untuk mengonsumsi produk hijau. Dalam penelitian pemasaran, intensi mengonsumsi produk hijau dijadikan pendekatan untuk mengetahui perilaku mengonsumsi produk hijau, karena tinggi 142 Chairy: Hubungan Religiositas ban Intensi Mengonsumsi Produk Hi jau rendahnya intensi mengonsumsi produk hijau dapat merefleksikan perilaku mengonsumsi produk hijau. Dengan demikian peneliti dapat memprediksi perilaku aktual dalam mengonsumsi produk hijau melalui besarnya intensi konsumen untuk mengonsumsi produk hijau. Sejauh ini penelitian tentang produk hijau umumnya merupakan bagian dari penelitian tentang perilaku konsumsi berwawasan lingkungan. Chan (2001) meneliti tentang determinan perilaku pembelian hijau (green purchase behavior) konsumen China. Intensi membeli produk hijau (green purchase intention) merupakan salah satu variabel yang disertakan Chan dalam model penelitiannya. Konsisten dengan theory of reason action (Ajzen & Fishbein, 1980), hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa intensi membeli produk hijau merupakan prediktor yang signifikan dari perilaku pembelian hijau. Dalam penelitian ini juga dibuktikan bahwa sikap terhadap produk hijau dipengaruhi oleh faktor budaya dan ekologis. Intensi membeli produk hijau merupakan mediator pengaruh sikap terhadap perilaku pembelian produk hijau. Di Indonesia, Junaedi (2006) membandingkan perilaku hijau konsumen di metropolitan (Jakarta dan sekitarnya) dan non-metropolitan (Yogyakarta). Junaedi menggunakan model penelitian perilaku konsumen berwawasan lingkungan yang salah satu variabelnya adalah niat beli hijau. Hasil penelitiannya memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antar nilai konsumen (orientasi kolektivis dan orientasi individualis), faktor kognitif (harga premium, kesadaran lingkungan, pengetahuan ekologikal), faktor afektif (afek ekologikal), intensi/konatif (niat beli hijau) dan perilaku (perilaku beli hijau). Dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa niat beli hijau merupakan prediktor yang signifikan dari perilaku beli hijau. Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa intensi mengonsumsi produk hijau dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk faktor sosial budaya. Salah satu faktor sosial budaya yang relatif belum memperolah banyak perhatian dalam penelitian intensi mengonsumsi produk hijau adalah faktor agama atau religiositas seorang konsumen. Religiositas. Religiositas menunjukkan komitmen seorang individu untuk mengamalkan ajaran agamanya. Komitmen ini ditunjukkan melalui sikap dan perilaku yang bersesuaian dengan agamanya tersebut (Johnson, Jang, & Li, 2001). Karena religiositas merupakan nilai yang sangat personal pada diri seseorang dan penting dalam struktur kognitifnya, maka religiositas dapat mempengaruhi perilaku orang tersebut (Delener, 1994). Seberapa kuat agama mempengaruhi perilaku seseorang sangat tergantung pada seberapa religius kah orang tersebut. Lebih jauh, Delener mengatakan bahwa semakin religius seseorang maka orang tersebut akan semakin memperhatikan perilakunya dan menyesuaikan perilakunya dengan ajaran agamanya. Religiositas merupakan salah satu konstruk terpenting dalam penelitian sosial dan budaya. Pembahasan religiositas selalu dikaitkan dengan agama yang merupakan salah satu elemen terpenting dalam lingkungan budaya. Agama berisi aturan dan tabu yang mempengaruhi norma dalam masyarakat (Sood & Nasu, 2009). Dengan demikian tingkat religiositas individu merupakan variabel penting yang mempengaruhi perilaku suatu masyarakat. Karena kaitannya yang erat dengan agama, variabel ini relatif jarang diteliti. Schiffman dan Kanuk (2007) memperkirakan faktor tabu sebagai salah satu penyebab mengapa agama sangat terbatas digunakan dalam aktivitas pemasaran. Selain itu, religiositas merupakan konstruk yang kompleks sehingga pengukurannya tidak sederhana (Scutte & Hosch, 1996). Karena itu pengukuran religisoitas seringkali 143 Jurnal Manajemen/Volume XVI, No. 02, Juni 2012: 140-149 menggunakan pendekatan, misalnya Mookherjee (1993) mengatakan religiositas dapat didefinisikan berdasarkan frekuensi mengunjungi rumah ibadah dan perilaku keagamaannya seperti beribadah, membaca kitab suci, dan perilaku kemanusiaan lainnya. Dengan mengacu pada alat ukur religiositas yang telah dikembangkan Glock dan Stark (1965), Agristina (2009) menyusun alat ukur religiositas khusus untuk masyarakat beragama Islam di Indonesia. Karenanya, religisositas kemudian mendapat perhatian yang besar dari para peneliti terutama dalam penelitian yang terkait dengan perilaku individu dalam masyarakat. Beberapa penelitian misalnya mengkaitkan religiositas dengan perilaku etis dalam berbisnis (Van der Duijn Schouten, Graafland, & Kaptein, 2009; Longenecker, McKinney, & Moore, 1988), termasuk kemudahan dalam berbisnis (Guiso, Sapienza, & Zingales (2006). Religiositas mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap suatu masyarakat dan akhirnya mempengaruhi aktivitas berbisnis suatu masyarakat tersebut. Chairy (2011) meneliti pengaruh religiositas terhadap intensi berwirausaha mahasiswa yang hasilnya memperlihatkan bahwa semakin tinggi religiositas maka semakin tinggi juga intensi untuk memulai suatu usaha barn di kalangan mahasiswa. Dikaitkan dengan aktivitas philanthropic, penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim, Howard, dan Angelidis (2008) memperlihatkan bahwa semakin religius seseorang maka perilaku etis dan philanthropic orang tersebut akan semakin meningkat. Religiositas juga mempengaruhi perilaku konsumsi suatu masyarakat terutama dikaitkan dengan perilaku etis dalam berkonsumsi (Witowski & Reddy, 2010; Ramly et al, 2008; Lau & Tan, 2009; Lau, 2010). Lau dan Tan (2009) meneliti pengaruh intirinsic dan extrinsic religiosity terhadap sikap konsumen atas produk hijau. Individu yang intrinsic religious adalah mereka yang mempraktekan ajaran agama mereka karena dorongan dari dirinya sendiri, sedangkan mereka yang extrinsic religious adalah mereka yang mempraktekan ajaran agama karena pengaruh faktor dan luar dirinya seperti mengunjungi rumah ibadah karena ingin berrinteraksi secara sosial dengan orang lain. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa intrinsic religiosity mempengaruhi sikap konsumen tehadap produk hijau namun extrinsic religiosity tidak terbukti mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk hijau. Pada penelitian lanjutannya, Lau (2010) membuktikan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara religiositas dan konsumsi yang bertanggung jawab secara sosial (socially responsible consumption). Ramly et al (2008) menyelidiki apakah religiositas merupakan prediktor perilaku etis konsumen. Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa religiositas merupakan prediktor dari kepercayaan etis (ethical belief) para konsumen muda di Malaysia. Witowski dan Reddy (2010) mencoba membandingkan anteseden konsumsi etis konsumen di Jerman dan Amerika Serikat. Tidak sesuai dengan prediksi mereka, dilaporkan hanya sedikit konsumen berusia muda di Jerman yang berkonsumsi secara etis relatif terhadap konsumen Amerika Serikat. Lebih jauh, religiosity memiliki hubungan yang lemah dengan aktivitas konsumsi etis. Berbagai penelitian di atas memperlihatkan adanya hubungan antara religiositas dengan perilaku konsumsi etis atau perilaku yang ditunjukan oleh konsumen yang bertanggung jawab terutama terhadap lingkungan dan kesejahteraan manusia umumnya. Hubungan antara Religiositas dan Intensi Mengonsumsi Produk Hijau. Webster (1975) mengartikan konsumen yang sadar sosial (socially conscious consumer) sebagai konsumen yang memperhitungkan dampak sosial dari konsumsi yang dilakukannya. 144 Chairy: Hubungan Religiositas ban Intensi Mengonsumsi Produk Hi jau Penelitian Webster merupakan salah satu penelitian awal dalam topik konsumen yang bertanggung jawab. Istilah lain yang sering digunakan adalah konsumen yang bertanggung jawab secara sosial (socially responsible consumer) dan konsumsi etis (ethical consumption). Robert (1995) mendefinisikan konsumen yang bertanggung jawab secara sosial sebagai konsumen yang membeli produk dan jasa yang memberikan pengaruh positif terhadap lingkungan dan masyarakat. Witowski dan Reddy (2010) mengartikan konsumen yang etis sebagai konsumen yang aktivitas konsumsinya memberikan perubahan positif terhadap dunia. Goodwin dan Francis (2003) mengatakan bahwa aktivitas konsumen etis mencakup antara lain melindungi lingkungan melalui penghematan energi di tempat tinggal masingmasing, mengonsumsi produk organik dan menunjukkan perhatian terhadap kelangsungan hidup hewan, mendukung perdagangan yang adil dan hak para pekerja, melakukan boikot terharap produk yang berasal dari rezim yang zalim, tidak mendukung tenaga nuklir, melakukan investasi yang etis dan perilaku lain termasuk memilih produk darma wisata yang ramah lingkungan. Dengan demikian terlihat bahwa cakupan kegiatan konsumen yang ramah dan berwawasan sosial dan lingkungan sangat luas. Produk hijau termasuk produk yang ramah lingkungan dengan demikian salah satu aktivitas konsumen yang berwawasan lingkungan adalah mengonsumsi produk hijau. Berbagai penelitian di atas memperlihatkan adanya hubungan antara religiositas dan perilaku ramah sosial dan lingkungan. Dengan demikian, karena produk hijau termasuk produk ramah lingkungan, maka diduga terdapat hubungan yang positif antara religiositas dan konsumsi produk hijau. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: Religiositas berhubungan secara positif dengan intensi untuk mengonsumsi produk hijau. METODE Penelitian ini menyelidiki apakah terdapat hubungan yang signifikan antara religiositas dengan intensi untuk mengonsumsi produk hijau. Pengumpulan data dilakukan dengan survai yaitu dengan menyebarkan kuesioner kepada responden penelitian. Pengukuran religiositas menggunakan enam belas indikator yang diadaptasi dari Agristina (2009) dan Glock dan Stark (1965) yang mencakup dimensi ideologi, dimensi ritual, dimensi experiensial, dimensi intelektual, dan dimensi konsekuensial (Cronbach Alpha = 0,908 — Tabel 1). Contoh pernyataan untuk mengukur religiositas dengan menggunakan skala likert 5 poin antara lain "Saya sangat percaya dengan ajaran agama yang saya anut", "Saya sangat percaya dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa", Saya mengunjungi rumah ibadah secara rutin", "Saya selalu aktif dalam kegiatan keagamaan". Tabel 1. Cronbach Alpha Religiositas Reliability Statistics Cronbach's Alpha .908 Cronbach's Alpha Based on Standardized Items .907 N of Items 16 Pengukuran intensi untuk mengonsumsi produk hijau menggunakan tiga indikator yang diadaptasi dari Chan (2001). Ketiga pernyataan yang digunakan adalah "Saya akan 145 Jurnal Manajemen/Volume XVI, No. 02, Juni 2012: 140-149 membeli produk yang tidak merusak lingkungan", "Saya akan beralih ke produk yang aman bagi lingkungan", "Saya merencanakan untuk membeli versi hijau dari produk yang biasa saya beli" (Cronbach Alpha = 0,724 — Tabel 2). Tabel 2. Cronbach Alpha Intensi Mengonsumsi Produk Hijau Reliability Statistics Cronbach's Alpha .724 Cronbach's Alpha Based on Standardized Items .728 N of Items 3 Populasi penelitian adalah mahasiswa Universitas Tarumanagara. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan pendekatan non-probabilita yaitu dengan metode convenient. Mahasiswa yang bersedia dan dapat dijangkau yang menjadi sampel dari penelitian ini. Jumlah responden yang berpartisipasi mengisi kuesioner sebanyak 100 mahasiswa yang mengambil mata kuliah umum (MKU). Selanjutnya data diolah dengan menggunakan SPSS versi 17. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk menyelidiki hubungan religiositas dengan intensi mengonsumsi produk hijau dilakukan analisis korelasi. Output statistik di bawah ini menampilkan beberapa informasi. Nilai rata-rata religiositas (rel) dan intensi mengonsumsi produk hijau (green) masingmasing sebesar 3,0712 dan 3,0633 sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Nilai ini memperlihakan rata-rata religiositas dan intensi mengonsumsi produk hijau para responden tidak rendah. Rel Green Tabel 3. Nilai rata-rata Variabel Penelitian Std. Deviation Mean .64501 3.0712 .76936 3.0633 100 100 Hubungan antara religiositas dan intensi mengonsumsi produk hijau ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Correlations green rel .644** 1 Pearson Correlation Rel .000 Sig. (2-tailed) 100 100 N 1 .644** Pearson Correlation Green .000 Sig. (2-tailed) 100 100 N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Nilai korelasinya adalah sebesar 0,644 yang signifikan pada alpha sebesar 10%. Hasil ini menunjukkan bahwa religiositas memiliki hubungan yang signifikan dengan intensi 146 Chairy: Hubungan Religiositas Dan Intensi Mengonsumsi Produk Hi jau mengonsumsi produk hijau. Semakin tinggi tingkat religiositas seseorang maka akan semakin tinggi juga intensi orang tersebut untuk mengonsumsi produk hijau. Dengan demikian hipotesis penelitian yang mengatakan religiositas memiliki hubungan yang positif dengan intensi mengonsumsi produk hijau didukung data. Hasill penelitian ini mengindikasikan perlunya pemasar produk hijau untuk memperhatikan variabel religiositas dalam penyusunan strategi pemasarannya. Religiositas dapat dijadikan salah satu variabel dalam segmentasi pasar produk hijau. Membidik para konsumen yang dipercaya religius merupakan salah satu pilihan tepat bagi pemasar produk hijau. Saat ini telah menjadi sesuatu yang lumrah untuk memasarkan berbagai produk di depan atau tidak jauh dari rumah ibadah. Karena frekuensi kunjungan rumah ibadah merupakan salah satu indikator religiositas seseorang, maka memasarkan produk hijau di sekitar area rumah ibadah (dalam lokasi dan jarak yang diijinkan) menjadi alternatif yang beralasan. Demikian juga, komunikasi pemasaran produk hijau dengan menyertakan aspek religius akan menarik perhatian para konsumen. Karena umumnya hampir setiap orang tidak ingin dianggap tidak religius, maka framing produk hijau sebagai produk yang dikonsumsi oleh konsumen yang religius diharapkan dapat menunjang kesuksesan pemasaran produk hijau. Hasil penelitian ini juga memberikan kontribusi teoritis dalam penelitian pemasaran hijau. Religiositas terbukti merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong konsumsi produk hij au. Penelitian ini hanya menyelidiki hubungan dua variabel yaitu religiositas dan intensi mengonsumsi produk hijau. Pada sisi yang lain, intensi mengonsumsi suatu produk merupakan variabel yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Studi berikutnya dapat mengeksplorasi lebih jauh peranan berbagai variabel lain dalam individu konsumen dalam meningkatkan intensi mengonsumsi produk hijau, misalnya apakah terdapat hubungan antara rasa nasionalisme dan nilai-nilai masyarakat Indonesia seperti tenggang rasa dengan intensi untuk mengonsumsi produk hijau. PENUTUP Akhir-akhir ini konsumsi hijau merupakan salah satu topik hangat dalam Perilaku Konsumen. Penelitian tentang konsumsi hij au yang menyertakan variabel religiositas relatif masih sangat terrbatas. Penelitian ini mencoba mengisi dan memperkaya berbagai penelitian tentang konsumsi hijau dengan menyelidiki hubungan antara religiositas dengan intensi untuk mengonsumsi produk hijau. Hasil penelitian ini memperkuat temuan penelitian sebelumnya yang memperlihatkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara religiositas dan perilaku etis konsumen dalam berkonsumsi. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi teoretikal dalam Perilaku Konsumen berupa kuatnya peran faktor sosial budaya seperti religiositas dalam mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat terutama konsumsi produk hijau. Demikian juga para pemasar perlu memperhatikan aspek religiositas konsumen dalam memasarkan produk hijau mereka baik dalam tahap penyusunan strategi pemasaran maupun program pemasaran. 147 Jurnal Manajemen/Volume XVI, No. 02, Juni 2012: 140-149 DAFTAR RUJUKAN Agristina, R. (2009). Hiperrealitas dalam pemasaran: pengaruh hiperrealitas jenis tutup kepala penyanyi pada cover album lagu dan bahasa lirik lagu terhadap emosi religius dan minat membeli. (Doctoral dissertation, Universitas Indonesia, 2009). Ajzen, I., & Fishbein, M. (1980). Understanding attitudes and predicting behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Chairy (2011). Pengaruh religiositas terhadap intensi berwirausaha, Prosiding Seminar Nasional Kewirausahaan dan Inovasi Bisnis, Universitas Tarumanagara, Jakarta, 15 September 2011, 290-298. Chan, R.Y.K. (2001). Determinants of Chinese consumers' green purchase behavior. Psychology & Marketing, 18,4, 389-413. Delener, N. (1994). Religious contrasts in consumer decision behavior patterns: their dimensions and marketing implications, European Journal of Marketing, 28,5, 3653. Glock, C., & Stark. R. (1965). Religion and society in tension. Chicago: Rand McNally. Graves, L.M., Sarkis, J., & Zhu, Q. (2011). Understanding employee proenvironmenal behavior: a test of a theoretical model. 10.5464.AMBPP.2011.132a Guiso, L., Sapenza, P., & Zingales, L. (2006). Does culture affect economic outcomes?, Journal of Economic Perspective, 20, 2, 23-48 Ibrahim, N.A., Howard, D.P., & Angelidis, J.P. (2008). The relationship between religiousness and corporate social responsibility orientation: are there differences between business managers and students?, Journal of Business Ethics, 78, 165-174. Ibtissem, M.H. (2010). Application of value beliefs norm theory to the energy conservation behavior, Jurnal of Sustainable Development, 3,2, 129-139. Johnson, B.R., Jang, S.J., Larson, D.B., & Li, S.D. (2001). Does adolescent religious commitment matter? A reexamination of the effects of religiosity on delinquency, Journal of Research in Crime and Delinquency, 38,1, 22-43. Junaidi, M.F.S. (2006). Pengembangan model perilaku konsumen berwawasan lingkungan di Indonesia: studi perbandingan kota metropolitan dan non metropolitan, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 21,4, 399-419. Kim, Y. (2011). Understanding green purchase: the influence of collectivism, personal values and environmental attitudes, and the moderating effect of perceived consumer effectiveness. Seoul Journal of Business, 17, 1, 65-92. Lau, T.C. (2010). Towards socially responsible consumption: an evaluation of religiosity and money ethics, International Journal of Trade, Economis and Finance, 1, 1, 3235. Lau, T.C., & Tan, B.C. (2009). Religiosity as antecedent of attitude towards green products: an exploratory research on young Malaysian consumers. Asean Marketing Journal, 1,1, 33-41. Longenecker, J. G., McKinney, J.A., & Moore, C. W. (1988). Egoism and independence: entrepreneurial ethics, Organizational Dynamics, Winter, 64-72. Mookherjee, H. N., (1993). Effects of religiosity and selected variables on the perception of well-being, The Journal of Social Psychology, 134, 3, 403-405. Ramly, Z., Chai. L.T., & Lung, C.K (2008). Religiosity as a predictor of consumer ethical behavior: some evidence from young consumers from Malaysia, Journal of Business Systems, Governance, and Ethics, 3,4, 43-56. 148 Chairy: Hubungan Religiositas Dan Intensi Mengonsumsi Produk Hi jau Robert, J.A. (1995). Profiling levels of socially responsible consumers behavior: a cluster analytic approach and its implication for marketing, Journal of Marketing Theory and Practice, 3,4, 97-114. Schiffman, L.G., & Kanuk, L.L (2007). Consumer behavior, 9th edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Pearson Education. Scutte, J. W., & Hosch, H. M., (1996). Optimism, religiosity, and neuroticism: a cross cultural study, Personality and Individual Differences, 20, 2, 239-244. Smith, M.T., Roy, R., & Potter, S. (1996). The commercial impacts of green product development, The Design Innovation Group, Faculty of Technology (Design), The Open University, Milton Keynes MK7 6AA, (UK). Sood, J., & Nasu, Y. (1995). Religiosity and nationality: an exploratory study of their effect on consumer behavior in Japan and the United States, Journal of Business Research, 34, 1-9. Stern, P.C. (2000). Toward a coherent theory of environmentally significant behavior, Journal of Social Issues, 56,3, 407-424. Stern, P.C. (2005). Understanding individuals' environmentally significant behavior, ELR News & Analysis, 35 ELR 10785 — 35 ELR 10790. Stern, P.C., Dietz, T., Abel, T., Guagnano, G.A., & Kalof, L. (1999). A value-belief-norm theory of support for social movements: the case of environmentalism, Research in Human Ecology, 6,2, 81-97. Van der Duijn Schouten, C.M., Graafland, J., & Kaptein, M. (2009). Unravelling the relationship between religiosity and socially responsible business conduct, Religion and SRBC DRAFT - EBEN Annual Conference 2009. Webster Jr, F.E. (1975). Determining the charateristics of the socially conscious consumer, Journal of Consumer Research, 2 (December), 188-196. Wibowo, B. (2002). Green Consumerism dan Green Marketing: Perkembangan Perilaku Konsumen dan Pendekatan Pemasaran, Usahawan, No. 06 Th. XXXI Juni 2002 Witkowski, T.H., & Reddy, S. (2010). Antecedents of ethical consumption activities in Germany and the United States. Australasian Marketing Journal, 18, 8-14. 149