BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tesis ini membahas tentang politik perdagangan di Asia Tenggara. Yaitu membahas tentang konstelasi politik domestik dalam pembuatan kebijakan perdagangan yang mempengaruhi wujud kebijakan perdagangan di Asia Tenggara sehingga Extra ASEAN Trade lebih dominan daripada Intra ASEAN Trade. Kajian tidak dilakukan terhadap semua negara di Asia Tenggara, melainkan terhadap Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kajian terhadap ke empat negara tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, ke empat negara merupakan negara-negara paling berpengaruh dalam konstelasi kebijakan di Asia Tenggara, baik dalam konteks formulasi kesepakatan regional melalui ASEAN maupun dalam konteks kebijakan nasional yang memiliki dampak secara regional. Kedua, ke empat negara memiliki hubungan dagang yang erat. Indonesia, Malaysia, dan Thailand terdampak secara langsung sedangkan Singapura terdampak secara tidak langsung sebagai akibat dari dampak langsung yang dialami oleh Indonesia, Malaysia, dan Thailand.Bahkan Indonesia, Malaysia, dan Singapura sempat terjebak pada ketegangan bilateral pada masa – masa awal terjadinya krisis1. Ketiga, 1 Etel Solingen, Domestic politics and regional cooperation in Southeast and Northeast Asia, dalam Edward Friedman and Sung Chull Kim (ed), Regional Cooperation and its Enemies in Northeast Asia: 1 2 perekonomian ke empat negara diwarnai oleh struktur kelompok bisnis yang kuat. Keberadaan dan pengaruh dominan kelompok bisnis etnis China merupakan aspek penting dalam struktur kelompok bisnis dan berdampak lebih lanjut pada keeratan hubungan ekonomi antara ke empat negara. Kondisi ini tidak terjadi di Philipina 2. Keempat, Indonesia dan Thailand merupakan negara yang bekerjasama dengan IMF dalam mengatasi krisis serta mengalami pergantian kepemimpinan politik sebagai dampak krisis. Malaysia tidak bekerjasama dengan IMF dan bersama Singapura, Malaysia merupakan negara terdampak krisis yang tidak mengalami pergantian kepemimpinan politik. Dan kelima, Indonesia dan Thailand adalah negara dengan struktur ekspor yang belum kuat dan memiliki pasar domestik yang besar. Singapura dan Malaysia merupakan negara dengan struktur ekspor maju namun memiliki keterbatasan pasar domestik. Keenam, otoritas birokrasi dan negara di Philipina lebih lemah sehingga tidak muncul sebagai negara pembangunan yang kuat sebagaimana Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand3. Dan ketujuh, Indonesia dan Thailand memiliki fragmentasi politik tinggi. Singapura dan Malaysia memiliki fragmentasi politik rendah karena keberadaan partai dominan pendukung pemerintahan. The Impact of domestic forces, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York, 2006, hal. 23. 2 Sea Jin Chang (ed), Business Groups in East Asia : Financial Crisis, Restructuring, and New Growth, Oxford University Press, 2006. 3 RajeswaryAmpalavanar Brown, The Rise of Corporate Economy in Southeast Asia, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York, 2006, hal. 326. 3 Hubungan perdagangan di Asia Tenggara sudah berlangsung sejak era kerajaan. Hubungan dagang yang terjalin menyebabkan terjadinya interaksi sosial, ekonomi, dan politik yang luas antar kerajaan di Asia Tenggara yang juga melibatkan kerajaan atau negara dari luar. Pra imperialisme Eropa di Asia Tenggara, China dan India dapat diidentifikasi sebagai mitra dagang strategis yang berasal dari luar kawasan. Imperialisme eropa menyebabkan Amerika Serikat dan Eropa muncul sebagai mitra dagang strategis negara-negara di Asia Tenggara pasca imperialisme. Gelombang regionalisme perdagangan yang ditandai dengan lahirnya NAFTA dan Uni Eropa menggerakkan negara-negara di Asia Tenggara untuk mengintensifkan hubungan dagang di antara mereka guna meningkatkan daya saing. Kondisi ini telah mengantarkan pada terbentuknya AFTA. Isabelle Ahlstrom dan Camilla Starlos mengidentifikasi bahwa sejak pemberlakuan AFTA dan sebelum terjadinya krisis Asia 1997, intra ASEAN trade mengalami peningkatan. Volume intra ASEAN trademeningkat dari 82.000 juta US Dollar pada 1993 menjadi 159.000 juta US Dollar pada 2002. Dengan kata lain terjadi peningkatan volume perdagangan sebesar 92%. Mitra dagang utama negaranegara Asia Tenggara juga mengalami pergeseran dengan menjadikan ASEAN sebagai mitra dagang utama melampaui Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh pertumbuhan industri manufaktur dengan komposisi perkembangan the differentiated commodity group mencapai 55-60%, the resource based commodity group sebesar 20%, dan the Labour intensive 4 commodity group (5%). Dan Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand merupakan mesin yang mendorong perkembangan pola perdagangan di ASEAN. Meskipun struktur industrinya tidak berubah scara keseluruhan, negara-negara ini menyesuaikan diri terhadap struktur industri yang lebih dinamis (tingkat pertumbuhan posistif dari differentiated and scale intensive commodity groups sangat menonjol). Hal ini didukung dengan pertumbuhan negatif labour intensive commodity dan perubahan strktural dalam resource based commodity group dimana Indonesia dan Philipina terus mengembangkan sektor tersebut, sedangkan Malaysia dan Thailand meninggalkannya 4. Krisis Asia 1997 muncul sebagai fenomena baru yang berdampak signifikan bagi pola perdagangan di Asia Tenggara. Pertumbuhan intra ASEAN trade yang mencapai 25% pada tahun 1996, berubah menjadi 1,1% pasca krisis5. Meskipun demikian, perdagangan tetap menjadi mesin pertumbuhan utama dalam perekonomian negara-negara di Asia Tenggara. Indikator perdagangan luar negeri ASEAN tahun 2009 menunjukkan rasio total perdagangan terhadap GDP masingmasing Negara adalah : Brunei Darussalam (88,9%), Kamboja (85,8%), Laos (53,1%), Malaysia (145,1%), Myanmar (40,8%), Philipina (52%), Singapura 4 Isabelle Ahlstrom dan Camilla Stalros, Integration, Trade Pattern and Intra Industry Trade in ASEAN, Thesis, Department of Economics, School of Economics and Management, Lund University, Februari 2005. 5 Jose L. Tongzon, The Economies of Southeast Asia : Before and After the Crisis, Edward Elgar Publishing Limited, UK, 2002, hal. 177 5 (282,2%), Thailand (108,3%), Indonesia (39%), dan Vietnam (130,7%) 6. Perdagangan tersebut tidak hanya terjadi antar negara-negara di Asia Tenggara, namun juga dengan negara-negara di luar Asia Tenggara. Selain Laos dan Myanmar yang belum terintegrasi pada perekonomian global, seluruh negaranegara ASEAN memiliki prosentase extra ASEAN trade yang lebih besar daripada intra ASEAN trade. Brunei Darussalam (Intra : 25,8%, Extra : 74,2%), Indonesia (Intra : 24,5%, Extra : 74,5%), Kamboja (Intra : 23,6%, Extra : 76,4%), Laos (Intra : 83,7%, Extra : 16,3%), Malaysia (Intra : 25,7%, Extra : 74,3%), Myanmar (Intra : 51,6%, Extra : 48,4%), Philipina (Intra : 20,7%, Extra : 79,3%), Singapura (Intra : 27,3%, Extra : 72,7%), Thailand (Intra : 20,7%, Extra : 79,3%), dan Vietnam (Intra : 17,6%, Extra : 82,4%).7 Meskipun sudah memiliki kesepakatan regional dalam bentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA), intensifikasi hubungan perdagangan antar negaranegara di Asia Tenggara tidak menjadi pilihan utama ketika terjadi krisis 1997. Bilateral Free Trade Agreement menjadi fenomena paling menonjol di Asia Tenggara pasca krisis 1997. Kebijakan perdagangan ini pertama kali dilakukan oleh Singapura melalui negosiasi FTA dengan New Zealand, Jepang, US, Jordan, dan European Free Trade Association (EFTA) pada saat terjadinya krisis Asia 1997. Kebijakan Singapura tersebut pada mulanya mendapat kritik tajam dari negara-negara lain di Asia Tenggara karena dianggap mengganggu stabilitas 6 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community 2015, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009, hal. 4. 7 Diolahdari data statistic yang tersediapada www.aseansec.org 6 perdagangan kawasan yang sudah terbangun. Namun dampak signifikan BFTA terhadap perekonomian Singapura pasca krisis serta respon positif negara-negara luar kawasan (terutama negara-negara maju) mendorong Thailand, Malaysia,Indonesia serta negara-negara ASEAN lainnya untuk melakukan bilateral FTA dengan Negara-negara di luar Asia Tenggara untuk menjaga dari ketertinggalan terhadap fenomena perdagangan global. Thailand dengan Australia, Jepang, New Zealand, China, India, Peru, dan US. Vietnam dengan US, Jepang, dan Chile. Malaysia dengan Amerika Serikat, Jepang, Pakistan, Australia, New Zealand, dan European Free Trade Association (EFTA). Dan Indonesia dengan Australia, India, Turki, dan Kanada. Philipina dengan China dan Jepang. 8. Di samping itu, ASEAN juga menginisiasi FTA dengan Negara-negara maupun organisasi regional di lua Asia Tenggara. FTA yang diinisiasi oleh ASEAN adalah sebagai berikut9. a. the ‘Enterprise for ASEAN Initiative’ dengan US pada Oktober 2002 untuk menciptakan bilateral FTA antara ASEAN dengan US. b. ASEAN-China Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation yang ditandatangani pada 4 November 2002 yang berisi FTA dengan 5 negara ASEAN pada 2010, dan CMLV pada 2015. c. ASEAN- South Korea FTA, pada July 2006 ( Thailand pada 2008); 8 Smitha Francis danMuralliKallumal, The New Regionalism in Southeast Asian Trade Policy and Issues in Market Access and Industrial Development: An Analysis of the ASEAN-China Free Trade Agreement, IDEAs Working Paper Series No. 60/2008, hal. 8 9 Ibid, hal. 9 7 d. the ASEAN-Japan framework for comprehensive economic partnership (CEP) yang ditandatangani pada 8 October 2003, dan diharapkan berlaku pada December 2008; e. ASEAN-India agreement yang ditandatangani pada 8 October 2003 (diharapkan berlaku pada January 2009); dan f. Trans-regional EU-ASEAN trade initiative di mana ASEAN dan menteri perdagangan EU bersepakat pada 4 April 2003 untuk memajukan ASEAN-EU economic partnership. Pola perdagangan baru di Asia Tenggara pasca krisis tersebut juga berdampak signifikan terhadap perubahan struktur mitra dagang utama. ASEAN tidak lagi menjadi mitra dagang utama negara-negara Asia Tenggara. Struktur mitra dagang utama pada tahun 2009 adalah China (11,6%), Uni Eropa (11,2%0, Jepang (10,5%), USA (9,7%), Korea Selatan (4,9%), Hongkong (4,4%), Australia (2,9%), India (2,5%), UEA (1,6%)10. B. Rumusan Masalah Dengan melihat pada konstelasi politik domestik tesis ini akan menjawab pertanyaan “Mengapa perdagangan di Asia Tenggara lebih didominasi oleh Extra ASEAN Trade?” 10 diolahdari data statistic yang tersediaada www.aseansec.org 8 C. Review Literatur Bagian ini membahas tentang penelitian-penelitian yang telah dibuat sebelumnya tentang perdagangan internasional di Asia Tenggara. Meskipun telah banyak literatur terkait perdagangan internasional di Asia Tenggara, namun tidak banyak yang mengkajinya dari sudut politik domestik. Mayoritas literatur yang tersedia mengkajinya dari sudut politik internasional dan free trade agreement (FTA). Razeen Sally & Rahul Sen (2005)11 mengkaji tentang kebijakan perdagangan beberapa negara Asia Tenggara dikaitkan dengan kemunculan China dan India pasca krisis Asia 1997. Bahwa kemunculan China dan India menjadi tantangan bagi prospek pertumbuhan perekonomian Negara-negara di Asia Tenggara karena stagnansi intra ASEAN trade share. Denis Arnold (2006)12 menekankan bahwa FTAs di Asia Tenggara didorong oleh FDI sehingga menjadikan kelas pekerja termarjinalkan. Stephen Hoadley (2007) 13 membahas bahwa cross regional trade agreement oleh negara-negara Asia Tenggara didorong oleh motif ekonomi (akses pasar, menarik investasi, pergeseran dari rural agriculture ke urban manufacture), keamanan dan diplomatik (meningkatkan citra internasional melalui partisipasi aktif dalam diplomasi perdagangan), serta motif leverage (meningkatkan kemampuan negosiasi 11 RazeenShely& Rahul Sen, Whither Trade Policies in Southeast Asia ? The Wider Asian and Global Context, ASEAN Economic Bulletin, April 2005 12 Denis Arnold, Free Trade Agreements and Southeast Asia, Journal of Contemporary Asia Vol. 36 No. 2, 2006 13 Stephen Hoadley, Southeast Asian Cross Regional FTAs : Origins, Motives, and Aims, Pacific Affairs, 22 Juni 2007. 9 perdagangan). Intensifikasi bilateral free trade agreement dijalankan dengan tetap mempertahankan proteksionisme, dominasi elit, kapitalisme kroni, dan arahan Negara. Smitha Francis and Murali Kallumal (2008)14 melihat bahwa inisiatif bilateral free trade agreement oleh negara-negara anggota ASEAN pasca krisis Asia 1997 didorong oleh keinginan ASEAN untuk mencapai pertumbuhan ekspor melalui regional production network yang dipromosikan oleh perusahaan multinasional, turunnya foreign direct investment inflow, dan lambannya integrasi ekonomi dalam ASEAN. Adapun penelitian yang secara langsung melihat pola perdagangan internasional negara-negara Asia Tenggara dari sudut pandang domestik belum banyak dilakukan. Mamoru Nagano (2003)15 mengkaji fenomena intra regional dan extra regional trade di Asia Timur (Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan) dengan menggunakan pendekatan di beberapa negara di Asia Timur dengan menggunakan model perdagangan bilateral. Yaitu bagaimana permintaan dan penawaran eksportir - importer, dan rasio harga relatif mempengaruhi perdagangan regional. Persamaan perdagangan bilateral diperkirakan menggunakan analisis regresi. karena koefisien yang diperkirakan mengukur magnitude rasio harga relatif dan permintaan-penawaran eksportir-importir 14 Smitha Francis and Murali Kallumal, The New Regionalism in Southeast Asian Trade Policy and Issues in Market Access and Industrial Development: An Analysis of the ASEAN-China Free Trade Agreement, The IDEAs Working Paper Series No. 6/2008. 15 Mamoru Nagano, Inter Regional and Intra Regional Trade in East Asia : Recent Developments and Aggregate Bilateral Trade Elasticities, Journal of Economic Integration, Vol. 18, No.1 (March 2003),www.jstor.org/stable/23000733, diakses 29 Mei 2012 10 berpengaruh terhadap perdagangan bilateral, koefisien diagregasi berdarakan regional. Koefisen agregat regional memungkinkan diskusi baik homogenitas maupun heterogenitas antara perdagangan inter dan intra regional. Hasil kajiannya menyatakan bahwa rasio harga relatif dan permintaan eksternal merupakan dua faktor utama yang menentukan perdagangan intra dan inter regional di Asia Timur, namun tidak terdapat heterogenitas elastisitas antara intra egional dan inter regional. Meskipun tidak terdapat perbedaan signifikan antara elastisitas perdagangan inter dan intra regional, elastisitas pendapatan lebih luas daripada elastisitas harga ekspor. Oleh karena itu, perubahan rasio harga relatif karena tingkat nilai tukar tidak mempengaruhi intra dan inter regional exports seperti halnya perubahan permintaan eksternal. Penguatan faktor sisi penawaran dinyatakan tidak berpengaruh terhadap intra regional trade, namun berpengaruh terhadap inter regional trade. Kajian ini memang sudah memberikan gambaran tentang perubahan kebijakan perdagangan pasca krisis, namun tidak memberikan analisis mendalam tentang bagaimana perubahan-perubahan tersebut berdampak secara langsung terhadap perdagangan inter dan intra regional yang ditempuh oleh setiap negara. Meskipun demikian, penelitian ini cukup menginformasikan kepada penulis bahwa perilaku eksportir dan importir menjadi faktor yang penting dalam realitas perdagangan. 11 Kajian yang dilakukan oleh Pasakorn Thammachote (2011)16 dalam melihat maraknya bilateral free trade agreement oleh negara-negara Asia Tenggara (studi kasus Singapura, Thailand, malaysia, dan Indonesia) dapat menjadi kritik langsung terhadap analisis yang dibuat oleh Mamoru Nagano. Dengan menggunakan pendekatanmental model untuk melihat maraknya bilateral free trade agreement oleh Negara-negara Asia Tenggara, Thammachote melihat bahwa visi pemimpin nasional memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan kebijakan free trade agreement. Yaitu bagaimana pemimpin nasional melakukan identifikasi posisi nasional terhadap perkembangan perekonomian dunia. Identifikasi posisi nasional terhadap perkembangan perekonomian global oleh Singapura mendorong Singapura untuk tidak lagi terfokus pada multilateralisme dan regionalisme, melainkan menggeser kebijakan nasionalnya menuju bilateralisme. Pilihan kebijakan Singapura ini kemudian mendorong Thailand untuk melakukan hal yang sama. Didorong oleh rasa takut tertinggal dalam trend Bilateralisme, Malaysia dan Indonesia melakukan hal serupa. Untuk Indonesia, pengangkatan Abu Rizal Bakri sebagai ketua KADIN, Marie Elka Pangestu sebagai Menteri Perdagangan, dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan menandai pergeseran kebijakan ekonomi menjadi semakin liberal. Untuk Malaysia, peralihan kekuasaan dari Mahathir ke Badhawi menandai pergeseran kebijakan dari Look East Policy menuju Bilateralisme. Penelitian ini mengatakan 16 Pasakorn Thammachote, The Rise of Bilateralism in Southeast Asia : Mental Model Approach, paper, disampaikan pada The 8th SMEs in a Global Economy Conference 2011 : "Rising to the Global Challenge: Entrepreneurship and SMEs development in Asia" 12 dengan tegas bahwa visi pemimpin nasional dalam mengidentifikasi posisi nasionalnya terhadap perkembangan dunia mendorong kebijakan perdagangan yang diambil oleh suatu negara. Penelitian yang dibuat oleh Etel Solingen (2004)17 memberi analisis lebih detail tentang hubungan visi pemimpin nasional dan pilihan kebijakan ekonomi dan perdagangan. Solingen memulai analisisnya dari dampak krisis terhadap perubahan kepemimpinan dan koalisi nasional terhadap perubahan orientasi kebijakan ekonomi dan perdagangan. Berdasarkan orientasi kebijakan ekonomi dan perdagangan, koalisi nasional dikategorikan menjadi tiga, yaitu internasionalisasi, proteksionis, dan campuran. Politisi yang mengorganisi koalisi internasionalisasi dibantu oleh aliansi birokratik (sepeti bank sentral yang independen, menteri keuangan, dan manager export processing zones) ingin mengambil manfaat dari reformasi. Termasuk di dalamnya export intensive sectors and firms, tenaga kerja terampil pada industri dan perusahaan kompetitif, analis perekonomian global dan sistem pengetahuan, dan kosumen barang impor. Koalisi ini memperoleh intervensi negara dan kebijakan industrial serta mengijinkan ekspansi modal swasta -lokal dan internasional. Menarik investasi asing merupakan strategi penting. 17 Etel Solingen, Southeast Asia in n New Era, Domestic Coalitions form crisis to recovery, Asia Survey, Vol. 44, No. 2 (March/April 2004), www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.2.189, diakses 29 Mei 2012 13 Politisi yang mengorganisir backlash coalitions(proteksionis) membangun dasar pada pandangan bahwa internasionalisasi melemahkan basis kultural, ekonomi, nasioanlisme dan etno reliji dari patronase politik amupun organisasi sosial. Koalisi ini menarik dukungan dari BUMN, birokrasi negara, import competing producers dan bank yang dijamin negara, tenaga kerja tidak terampil, militer dan kompleks industri, dan civic nationalist, ethnic, and religious group. Analisis dilakukan dengan melihat perkembangan progresif aktor kuat negara dan konstituen swastanya dan pengaruhnya terhadap perubahan-perubahan kebijakan ekonomi dan perdagangan. Krisis ekonomi telah melahirkan mobilisasi kekuatan politik proteksionis dan nasionalis, namun koalisi utama tetaplah internasionalisasi. Malaysia, Thailand, dan Indonesia sebagai negara yang paling merasakan dampak krisis semakin menguat basis koalisi campurannya (internasionalisasi dan proteksionis-nasionalis). Dan pergantian pemimpin politik tidak merubah basis koalisi yang sudah ada sebelumnya. Kajian yang dibuat oleh Nagano, Thammachote, dan Solingen memberi basis yang kuat bagi penulis bahwa perilaku eksportir-importir, pemimpin nasional, dan koalisi politik domestik memiliki pengaruh signifikan bagi pilihan kebijakan ekonomi dan perdagangan negara-negara di Asia tenggara. Thesis ini mengeksplorasi lebih mendalam lagi perihal stagnansi intra ASEAN trade dan dominasi extra ASEAN trade negara – negara di kawasan Asia Tenggara dengan melihat dinamika politik domestik negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini penting karena kenyataan bahwa prinsip non intervensi menyebabkan eksekusi 14 kesepakatan regional kembali menjadi otoritas masing-masing pemerintah nasional. Lebih lagi mempertimbangkan fenomena bahwa kesepakatan regional bidang ekonomi, termasuk perdagangan merupakan inisiatif pemerintah, bukan inisiatif pelaku ekonomi. Dengan kata lain, masing-masing pemerintah nasional harus menghadapi masyarakat bisnis di setiap negara sedangkan masyarakat bisnis di Asia Tenggara memiliki hubungan erat dengan dukungan finansial bagi rezim berkuasa. Implikasinya, pemerintah nasional akan terlibat pada negosiasi internal dengan masing-masing pendukung rezim guna menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan regional yang telah dihasilkan. Kondisi inilah yang akan dielaborasi melalui penelitian dalam thesis ini untuk menjelaskan rendahnya intra ASEAN trade. D. Kerangka Konseptual Kebijakan luar negeri merupakan produk keputusan, dan bagaimana keputusan dibuat mempengaruhi kandungannya. Keputusan tidak selalu dibuat secara rasional dan identitasnya tidak selalu tunggal. Keputusan kebijakan luar negeri seringkali dibuat oleh kelompok kecil yang strukturnya dapat terdiri dari pemimpin tertinggi, kelompok tunggal, atau koalisi aktor-aktor otonom. Oleh karena itu, pemahaman terhadap struktur dan proses pembuatan kebijakan akan memberi pengantar bagi pemahaman terhadap keputusan yang diambil. Secara domestik, pembuatan kebijakan luar negeri adalah dinamika pembuatan kebijakan dalam wilayah kedaulatan. Aspek-aspek yang terkait dengan hal ini adalah besar 15 kecilnya suatu negara, maju atau berkembang, pengaruh elemen-elemen kekuasaan nasional, dan pengaruh kelompok kepentingan. Di samping itu, konteks politik domestik dalam pembuatan kebijakan berkaitan erat dengan masalah (a) polaritas preferensi kebijakan politisi; (b) distribusi informasi dalam wilayah domestik; dan (c) distribusi kekuasaan antar institusi politik domestik 18. Kebijakan perdagangan mengarahkan berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah terhadap perdagangan internasional. Melalui pengaruhnya terhadap komposisi ekspor dan impor, kebijakan perdagangan berdampak terhadap struktur produksi dan pola pembangunan ekonomi. Ketika pengaruh pemerintah terhadap perdagangan luar negeri penting bagi semua negara, penekanan pada kebijakan perdagangan biasanya tinggi di negara-negara berkembang karena berkaitan dengan keterbelakangan ekonomi. negara-negara berkembang biasa menerapkan strategi pembangunan berangkat dari posisi yang ditandai dengan keterbatasan kapasitas untuk memproduksi barang manufaktur dan ketergantungan perusahaan domestik pada barang impor dan teknologi untuk memproduksi. Oleh karena itu, rezim perdagangan yang tepat, terutama mekanisme untuk menekan pertumbuhan impor, memiliki implikasi penting terhadap alokasi sumber daya, efisiensi, dan distribusi pendapatan. Kebijakan perdagangan akhirnya sangat sentral dalam pembangunan negara berkembang.19 18 AT. M. Wibisono, Political Elites and Foreign Policy : Democratization in Indonesia, UI Press, Jakarta, 2010, hal. 27 – 42. 19 Prema-chandraAthukorala, Trade Policy Issues in Asian development, London & New York, Routledge, 1998, h. 1. 16 Politik Perdagangan merupakan konstelasi pengambilan keputusan dalam kebijakan perdagangan. Kelangkaan dan keberlimpahan faktor produksi yang meliputi kapital, buruh, dan tanah, sektor produksi yang terdiri dari import competing industry dan export promoting industry, peran negara melalui kebijakan industrial, dan foreign direct investment (FDI) merupakan variabelvariabel yang ada dalam politik perdagangan. Konstelasi tersebut kemudian menghadirkan kontestasi dan negosiasi antar berbagai faktor produksi, sektor produksi, dan peran Negara. Stolper – Samuelson Theorem memfokuskan perhatian pada kelangkaan dan keberlimpahan faktor produksi sebagai penentu arah kebijakan perdagangan. Kelangkaan modal akan mendorong meminimalisasi perdagangan capital intensive product. Kelangkaan buruh mendorong minimalisasi perdagangan labour intensive product. Kelangkaan-kelangkaan tersebut menuntut perlindungan pasar domestik dari masuknya barang-barang impor sehingga produk dalam negeri dapat mengakses pasar domestik. Sedangkan keberlimpahan faktor produksi mendorong maksimalisasi perdagangan. Keberlimpahan kapital mendorong perdagangan capital intensive product. Keberlimpahan buruh mendorong perdagangan labour intensive product. Dorongan minimalisasi perdagangan pada faktor produksi yang langka dan maksimalisasi perdagangan pada faktor produksi yang berlimpah disebabkan oleh konsekuensi distribusi pendapatan dari perdagangan. Konsekuensi distribusi pendapatan juga berlaku pada pengaruh sektor import competing industry dan export promoting industry 17 terhadap kebijakan perdagangan.20 Dari konteks negara, kebijakan industrial yang didasari oleh pertimbangan strategis negara untuk mengambil posisi dalam pembangunan ekonomi akan menentukan pilihan kebijakan perdagangannya. Negara dengan posisi first entrier dalam perdagangan suatu komoditas akan berkecenderungan untuk menekankan free trade karena kemapanan industry terkait memberikan keuntungan dalam penguasaan pasar. Sedangkan negara dengan posisi latecomer akan memilih kebijakan proteksionis maupun subsidi produksi untuk menguatkan industry dalam negerinya sehingga memiliki tahapan untuk berdaya saing dengan pemain terdahulu. Intervensi negara dimaksudkan untuk memfasilitasi produk domestik mencapai economics of scale dan economic of experiences sehingga bisa menyusul produk-produk dari industry yang lebih dahulu. Economis of scale adalah kuantitas produksi tertentu yang berdampak secara langsung pada efisiensi biaya produksi. Sedangkan economic of experiences adalah peningkatan efektifitas produksi disebabkan oleh meningkatnya pengenalan dan pengetahuan produksi berdasarkan periode waktu dalam menjalankannya. 21 Di sisi lain, foreign direct investment (FDI) merupakan sumber kapitalisasi dan memiliki peran penting bagi promosi ekspor. Dr. Andrew 20 Thomas Oatley, International Political Economy : Interest and Institution in the Global Economy, Pearson EdcationInc, United States, 2006, hal. 68 – 90. 21 Ibid, hal. 91 - 109 18 Walter22 menyatakan terdapat dua hal penting terkait fenomena tersebut. Pertama, kemunculan negara baru merdeka pada pertengahan abad ke-20. Sebagai entitas baru, negara-negara baru merdeka berada pada fase awal pembangunannya. Kebutuhan atas modal untuk membangun adalah keniscayaan. Kolonialisme telah mengkondisikan negara-negara baru merdeka tersebut untuk memulai semuanya dari kelangkaan sumber pembiayaan pembangunan sehingga berkepntingan terhadap sumber pembiayaan dari luar. Kedua, kekuatan kapital terus berupaya untuk mendapatkan akses yang paling memberi peluang keuntungan maksimal dari rendahnya biaya produksi, ketersediaan sumber bahan mentah dan energy, serta akses pasar yang lebih mudah. Meskipun perusahaan multinasional bukan aktor tunggal namun memiliki peran utama dalam menggerakkan pertumbuhan ekspor. FDI juga mentransformasikan negara-negara berkembang dari eksplorasi pertanian dan sumber daya alam menjadi pengembangan barang-barang manufaktur.23 Dalam hal ini, FDI dapat juga diidentifikasi sebagai aspek kepentingan internasional yang ikut mempengaruhi kebijakan perdagangan suatu negara. Pada akhirnya, kebijakan perdagangan tidak hanya berhubungan dengan aspek domestik 22 A. Walter, Globalization and Policy Convergence : the Case of Direct Investment, http://personal.lse.ac.uk/wyattwal/images/Globalization.pdf Rules 23 Stephen Thomsen, Southeast Asia : The Role of Foreign Direct Investment Policies in Development, Working Paper on International Investment, OECD, 1999, hal. 4. 19 melainkan juga aspek internasional. Politik domestik dan kepentingan internasional memiliki pengaruh terhadap kebijakan perdagangan internasional. 24 Berdasarkan pendekatan terhadap kebijakan luar negeri dan pendekatan terhadap kebijakan perdagangan sebagaimana tersebut di atas dapat dikatakan bahwa politik perdagangan di Asia Tenggara merupakan konstelasi pembuatan kebijakan perdagangan negara-negara di Asia Tenggara yang merupakan saling keterkaitan antara faktor-faktor dan aktor-aktor tertentu yang membentuk pilihan kebijakan perdagangan internasional suatu negara. Faktor – faktor yang dimaksudkan adalah faktor produksi dan sektor produksi, sedangkan aktor-aktor yang dimaksudkan adalah kelompok kepentingan dan pemerintah (negara). Analisis terhadap interaksi antara faktor-faktor dan aktor-aktor tersebut dalam struktur dan proses pembuatan kebijakan nasional (politik domestik) dilakukan untuk memperoleh jawaban terhadap realitas perdagangan di Asia Tenggara yang diwarnai oleh dominasiextra ASEAN trade share dan stagnansi intra ASEAN trade share. Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan 3 variabel yang dirumuskan Vinod K. Aggarwal and Seungjoo Lee, yaitu (1) perception and ideas yang meliputi defensive motives, linkage with economic reform, renewed understanding of new trade policy; (2) interest yang meliputi interest 24 Arye L. Hillman and Heinrich W. Ursprung, Domestic Politics, Foreign Interests, and International Trade Policy, The American Economic Review, Vol. 78, No. 4 (Sep., 1988), pp. 729-745 20 configuration dan policy preferences; dan (3) domestic institutions yang meliputi veto points, policymaking structure, dan organized interest groups25. E. Jangkauan Penelitian Penelitian ini tidak membahas seluruh negara di Asia Tenggara. Negara yang dibahas adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Indonesia dan Thailand adalah Negara yang mengalami perubahan kepemimpinan politik pasca krisis. Perubahan tersebut, terutama di Indonesia, menandai perubahan center of power dari kenyataan politik sebelumnya. Malaysia dan Singapura adalah negara yang tidak mengalami perubahan kepemimpinan politik pasca krisis. Di samping itu, ke empat negara juga memegang peranan penting dalam perdagangan di Asia Tenggara. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Ilmu sosial mengelompokkan penelitian dalam tiga perspektif, yaitu (1) dari aplikasinya (application), terbagi dalam penelitian murni (pureresearch) dan penelitian lapangan (applied research). (2) dari tujuan yang akan dicapai (descriptiveresearch), 25 (objective), terbagi penelitian korelatif dalam penelitian deskriptif (correlationalresearch) dan Vinod K. Aggarwal and Seungjoo Lee, Trade Policy in the Asia-Pacific : The Role of Ideas, Interests, and Domestic Institutions, Springer, New York, 2011, hal. 19 – 25. 21 penelitian eksplanatif (explanativeresearch), serta penelitian eksploratif (explorativeresearch). (3) dan dari informasi yang dicari (information sought) terbagi dalam; penelitian kuantitatif (quantitativeresearch) dan penelitian kualitatif (qualitativeresearch)26. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Metode ini dipilih karena dapat deskriptif kualitatif. digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena, untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui, serta dapat membantu peneliti memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.27 2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yang dijadikan sebagai data dalam penelitian. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasilatau bahan-bahan dokumenter tentang obyek penelitian 26 Muhammad Zaenuri, MetodePenelitianSosial (1), Jakarta: YKY Fisip UMY, 1999, hal. 6. Strauss, Anselm L.; Corbin, Juliet M., Basics of Qualitative Research : Techniques and Procedures for Developing Grounded Theory (2nd Edition), Sage Publications, Inc., London, 1998, hal. 11 – 12. 27 22 yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sementara tehnik pengumpulan data dilakukan dengan studi dan penelitian kepustakaan (library research), baik dari buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, artikel surat kabar, maupun internet. G. Sistematika Penulisan Bab I. Pendahuluan menguraikan berbagai fenomena perdagangan di Asia Tenggara yang mengantarkan peneliti untuk menemukan rumusan masalah penelitian ini. Dalam bab ini juga diuraikan beberapa penelitian yang sudah pernah ada sebelumnya untuk memberi ketegasan posisi penelitian ini dengan didukung oleh metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber dan teknik pengumpulan serta analisis data. Paparan teoritis tentang politik domestik dan kebijakan perdagangan dipaparkan dalam Bab II untuk memberikan gambaran teoritis tentang keterkaitan antara dinamika politik domestik dan preferensi kebijakan perdagangan. Bab III membahas tentang preferensi kebijakan perdagangan di Asia Tenggara. Peneliti berusaha memberikan gambaran umum tentang kondisi perekonomian Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand dari sisi potensi yang dimilikinya, peran pemerintah, pengaruh foreign direct investment (FDI) dan modal domestik, perubahan kebijakan yang disebabkan oleh krisis, dan gambaran umum tentang realitas perdagangan intra regional yang terjadi di Asia Tenggara. 23 Dengan menggunakan kerangka pemikiran yang dipilih, peneliti memaparkan hasil penelitiannya tentang pengaruh politik domestik terhadap kenyataan perdagangan intra regional yang terbatas pada Bab IV. Pembahasan dimulai dengan pemaparan dampak krisis terhadap perubahan dinamika politik domestik dan perubahan preferensi kebijakan perdagangan. Peneliti menyampaikan kesimpulan penelitian dalam Bab V sekaligus rekomendasi dari penelitian ini.