BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORETIS TENTANG CERAI GUGAT
A. Pengertian dan Dasar Hukum Cerai Gugat
1. Pengertian Cerai Gugat
Pada dasarnya perceraian terbagi kepada dua bentuk yaitu, cerai talak dan
cerai gugat. Sebelum membahas lebih jauh tentang cerai gugat maka dikemukakan
terminologi perceraian secara umum lebih dahulu. Istilah perceraian berasal dari
kata “cerai”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan pisah,
pengertiang kedua diartikan sebagai putusnya hubungan sebagai suami istri. Selain
kedua definisi tersebut masih di dalam kamus bahasa Indonesia memberi makna
lain terhadap cerai talak sebagai hidup berpisah antara suami istri selagi keduanya
masih hidup, selanjutnya cerai mati diartikan sebagai perpisahan antara suami istri
karena salah satu meninggal dunia. Cerai dalam bahasa Arab, al-T}ala>q “
‫”اقالط‬, ‫”قلطي‬, “‫”قلط‬,
( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net22
artinya ‫ونيب‬
‫ اهجوز نع اهتن‬lepas dari pasangan atau ikatannya.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, kata talak diartikan dengan melepaskan
dan meninggalkan suatu ikatan.
Jadi secara harfiah talak berarti “lepas, bebas, atau meninggalkan”.
Sedangkan menurut istilah syarak, para ulama berbeda mengemukakan rumusan
atas defenisi talak namun esensinya sama. Al-Mahally Jalaluddin, dalam bukunya:
Syarah Minha>j al-T}a>libi>n” mendefinisikan talak:
‫هوحن و ق الطلا ظفلب حاكنلا ديق لح‬
Artinya :
“Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakanlafal talak
dan sejenisnya”.
Sayyid Sa>biq juga mendefinisikan talak sebagai berikut:
‫ةيجو زلا هق العلا ءاهن إ و جاوّزلا ةطبر لح‬
Artinya :
“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Abu Zakariyah al-Ans}a>ri:
‫هوحن و ق الطلا ظفلب ح اكنلا دقع لح‬
Artinya :
“Melepas tali akad nikah dengan kata-kata talak atau yang
semacamnya”.
Konteks definisi cerai sebagaimana dikemukakan oleh para ulama fikih
bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut:
Menurut ulama mazhab Hanafi dan Hambali, bahwa cerai itu adalah
pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau untuk masa yang akan datang
dengan menggunakan lafal khusus. Ungkapan langsung berlaku ketika lafal cerai
selesai diucapkan tanpa terkait dengan syarat atau masa yang akan datang.
Misalnya, dalam kasus cerai ba>in kubra>, (cerai yang dijatuhkan suami untuk
ketiga kalinya), hukum dan segala akibatnya berlaku secara langsung, seperti
suami tidak berhak rujuk dengan istrinya sebelum istri tersebut menikah dengan
laki-laki lain, kemudian bercerai kembali atau suami wanita itu meninggal dunia.
Sedangkan yang dimaksud dengan “untuk masa yang akan datang” adalah hukum
cerai itu belum berlaku seluruhnya tetapi tertunda oleh sesuatu hal. Misalnya yang
disebut cerai raj’i (talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istrinya yang
telah dicampuri). Dari segi lafal cerai, hubungan suami istri telah terhenti tetapi
ada implikasi hukum lain yang tertunda berlakunya hingga masa idah wanita itu
habis.
Pengertian yang dikemukakan oleh ulama maz\hab Syafi’i, menurutnya,
cerai itu adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan
itu”. Definisi cerai ini mengandung arti bahwa hukum cerai itu berlaku secara
langsung baik dalam cerai raj’i maupun cerai ba’in. Ketiga, definisi yang
dikemukakan oleh ulama maz\hab Maliki, menurut mereka cerai adalah suatu sifat
hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.
Perceraian dalam hukum Islam adalah halal tetapi dimurkai Allah, Islam
menghendaki dan memerintahkan terwujudnya ikatan perkawinan yang langgeng
dalam suasana saki>nah, mawaddah dan rahmah. Bila ditinjau dari segi
ahka>m al-khamzah, perceraian jatuh pada kategori halal, tetapi perbuatan itu
dibenci oleh Allah.
Islam memiliki konsep tentang perceraian. Perceraian dalam Islam
berada dalam lingkungan yang dibenarkan syariat, yang berada diantara dua
ekstrim, perintah dan larangan. Jika memang upaya damai kedua belah pihak sudah
tidak bisa lagi tercapai, maka perceraian itu merupakan hal yang wajib, Penetapan
hukum wajib tersebut berdasarkan kaidah usul fikih al-hukmu yadu>ru ma’a
al-‘illah, bahwa hukum itu mengikuti illatnya. Misalnya jika istri murtad,
meskipun dilarang bercerai selama istri masih menstruasi atau antara kedua suami
istri baru saja bersenggama, Islam melarang perceraian tanpa ada alasan yang kuat,
sebab hal itu merupakan bentuk kejahatan. Islam melarang setiap orang melakukan
kejahatan serta menyakiti orang lain. Perceraian dibenarkan oleh hukum jika ada
alasan yang benar. Misalnya lantaran tujuan perkawinan telah gagal diwujudkan
kedua belah pihak.
Jadi, secara umum hukum Islam membuka terjadinya perceraian sebagai
solusi terhadap kemelut rumah tangga dan merupakan pilihan terakhir mencapai
krisis keluarga yang gagal diwujudkan melalui proses perdamaian kedua belah
pihak. Dari pada membiarkan kehidupan suami istri yang sudah tak mungkin
didamaikan lagi, maka sewajarnya permasalahannya diserahkan kepada ahli, yakni
Pengadilan Agama untuk memeriksa dan memberi penjelasan yang sebaik-baiknya
akan kegagalan perkawinan tersebut.
Menurut Hammudah Abd al-`Ati, bahwa perceraian bukanlah merupakan
perbuatan perdata (civil act), dan bukan pula perjanjian suci (sacramental), tetapi
sintesis antara keduanya. Perceraian diperbolehkan, tetapi bukan tanpa aturan dan
mekanisme antara satu dengan yang lainnya. Sebaliknya juga bukan tidak bisa
diputuskan seperti sebuah perjanjian suci. Islam merupakan agama yang
mempunyai karakter di tengah-tengah, mengandung tujuan keseimbangan.
Jadi, prinsipnya perceraian itu “halal”, meskipun tidak diharapkan atau
tidak disukai. Beberapa mazhab mempunyai pendapat dan penilaian yang berbeda
tentang praktik perceraian, di antaranya bahwa perceraian itu merupakan perangkat
hukum dalam mekanisme disiplin dan kasih sayang. Perangkat itu mempunyai arti
serta merupakan akibat yang pasti dari kebebasan laki-laki dan wanita dalam
menentukan pilihan atas pasangannya. Ada pula ulama mengecam praktik
perceraian.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa perceraian
itu adalah tindakan hukum, yakni terjadinya perpisahan antara suami istri setelah
diikat dengan perkawinan yang sah, dan perpisahan itu merupakan jalan terakhir
setelah semua cara dilakukan untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga.
Sedangkan cerai gugat maksudnya istri mengambil inisiatif untuk
melakukan perceraian terhadap suaminya dengan berbagai alasan tertentu. Dalam
literatur fikih klasik, lebih banyak memberi ruang bagi laki-laki diposisikan
sebagai pihak yang memiliki hak ekslusif untuk menceraikan istrinya. Bila suami
yang akan menceraikan istrinya secara hukum disebut cerai talak. Istilah cerai
gugat terdapat dalam Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang sudah diamandemen menjadi Undang-Undang RI Nomor 3 tahun
2006 dan Undang-Undang RI Nomor 50 Tahun 2009. Jadi yang dimaksudkan
dengan “Cerai Gugat” dalam penelitian ini, adalah istri atau yang mewakilinya
mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya kepada Pengadilan Agama setempat.
2. Dasar Hukum Cerai Gugat
Terdapat di dalam al-Qur’an dan beberapa hadis Rasulullah saw. petunjuk
mengenai masalah perceraian yang sering dijadikan sebagai landasan baik cerai
talak maupun cerai gugat. Menurut ulama fikih, ayat-ayat al- Qur’an mengenai
perceraian merupakan ayat terperinci. Di antara ayat-ayat yang menjadi dasar
hukum bolehnya melakukan perceraian adalah firman Allah swt.
dalam QS al-Baqarah (2):229
ß,»n=©Ü9$#
Èb$s?§sD
(
88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr&
7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur
‘@Ïts† öNà6s9 br& (#rä‹è{ù's?
!$£JÏB
£`èdqßJçF÷s?#uä
$º«ø‹x© HwÎ) br& !$sù$sƒs† žwr&
$yJŠÉ)ムyŠr߉ãm «!$# ( ÷bÎ*sù
÷LäêøÿÅz žwr& $uK‹É)ムyŠr߉ãn
«!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã
$uK‹Ïù
ôNy‰tGøù$#
¾ÏmÎ/
3
y7ù=Ï?
ߊr߉ãn
«!$#
Ÿxsù
$ydr߉tG÷ès? 4 `tBur £‰yètGtƒ
yŠr߉ãn
«!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ
Terjemahnya :
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim.
Ayat tersebut menjelaskan tentang perceraian yang dapat dirujuk kembali
untuk dua kali. Maksudnya seorang suami hanya memperoleh kesempatan dua kali
melakukan perceraian dengan istrinya. Menurut H. M. Quraish Shihab, kata yang
digunakan ayat itu adalah “dua kali” (‫َّرَم‬
‫)نات‬, bukan dua perceraian. Hal ini
memberi kesan bahwa dua kali tersebut adalah dua kali dalam waktu yang berbeda,
dalam arti ada interval waktu antara perceraian yang pertama dan yang kedua.
Interval waktu itu untuk memberi kesempatan kepada suami dan istri melakukan
perenungan sikap dan tindakan masing-masing. Hal ini tidak dapat terlaksana bila
perceraian itu langsung jatuh dua atau tiga kali, dengan sekedar mengucapkan kata
cerai dalam satu tempat dan waktu yang sama.
Prinsip tersebut telah dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad saw dan
khalifah pertama Abu Bakar al-S}iddiq R.a. Tetapi pada masa khalifah Umar bin
Khattab R.a mengambil kebijakan lain mengenai perceraian ini. Umar menetapkan
bahwa perceraian yang jatuh dua kali atau tiga kali sesuai ucapan, walau dalam
sekali waktu atau sekali ucap. Hal ini berarti Umar menempuh dengan maksud
memberi pelajaran kepada para suami yang ketika itu dengan mudah mengucapkan
kata cerai. Umar berharap, dengan kebijakan ini para suami berhati-hati dalam
ucapannya. Namun demikian, tujuan tersebut tidak tercapai atau ada kesempatan
untuk melakukan perenungan berusaha memperbaiki diri tidak lagi ditemukan.
Karena itu, walaupun pendapat Umar tersebut didukung oleh beberapa fukaha
berikutnya, seperti Imam Ma>lik (93-179 H), Imam Syafi<‘I (150-204 H) dan
Imam H}ambali(164-241 H), dan Abu Hanifah (90-150 H), namun banyak ulama
dan pemikir Islam sesudah mereka mengkritisi pendapat tersebut bahkan
cenderung menolaknya, karena dewasa ini kecenderungan untuk mempersempit
kesempatan praktik perceraian semakin besar. Hal ini ditempuh dengan jalan
menempatkan syarat-syarat jatuhnya perceraian, seperti keharusan adanya saksi,
atau perceraian harus dilakukan melalui proses pengadilan.
Selain ayat tersebut yang dijadikan dasar hukum praktik perceraian, juga
dalam al-Qur’an ditemukan satu surah secara khusus membicarakan masalah
perceraian yakni surah al- T}ala>q (65). Dalam surah ini diterangkan
hukum-hukum mengenai perceraian, idah dan kewajiban masing-masing suami dan
istri dalam masa talak dan idah, agar tidakk ada pihak yang merasa dirugikan dan
keadilan dapat dilaksanakan dengan baik.
Firman Allah swt. dalam QS al-Th}ala>q (65):1
$pkš‰r'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ)
ÞOçFø)¯=sÛ
uä!$|¡ÏiY9$#
£`èdqà)Ïk=sÜsù
ÆÍkÌE£‰ÏèÏ9
(#qÝÁômr&ur
no£‰Ïèø9$#
(
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u‘ (
Ÿw
Æèdqã_̍øƒéB
.`ÏB
£`ÎgÏ?qã‹ç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs† HwÎ)
br&
tûüÏ?ù'tƒ
7pt±Ås»xÿÎ/
7puZÉit7•B 4 y7ù=Ï?ur ߊr߉ãn
«!$# 4 `tBur £‰yètGtƒ yŠr߉ãn
«!$# ô‰s)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw
“Í‘ô‰s? ¨@yès9 ©!$# ß^ωøtä†
y‰÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr& ÇÊÈ
Terjemahnya :
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah, maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah
Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
Ayat tersebut memerintahkan kepada orang mukmin agar dalam
melakukan perceraian hendaknya istri dalam keadaan suci, yang diperhitungkan
dari masa idah, yaitu masa suci. Suami tidak diperkenankan menceraikan istrinya
dalam keadaan haid, sebab masa haid itu termasuk quru’ yang diperhitungkan.
Pada ayat ini juga Allah memerintahkan untuk menentukan idah dan menjaganya.
Menurut Ahmad Mustafa al-Mara>ghi, bahwa ayat itu memerintahkan
kepada umat Islam jika hendak menceraikan istrinya hendaklah pada waktu yang
diperhitungkan dari idah, yaitu masa suci yang tidak didekati, sehingga tidak akan
memperlama masa idah. Jika istri diceraikan pada masa haid, maka perceraian itu
bid’ah dan haram. Maksud istri dalam ayat tersebut adalah istri yang telah
dicampuri yang mempunyai quru’. Adapun istri yang belum pernah dicampuri,
maka tidak ada idah baginya.
Berdasarkan ayat 1 surat al-T}ala>q (65) yang disebutkan, para ulama
membagi perceraian ke dalam tiga macam, yaitu: (1) perceraian sunah yaitu
ketika istri diceraikan dalam keadaan suci tanpa didekati atau dalam keadaan hamil
dan jelas kehamilannya; (2) perceraian bid’ah, yaitu jika istri diceraikan pada
waktu haid atau pada waktu suci tetapi telah dicampuri, sehingga diketahui apakah
istri hamil atau tidak. Intinya, bahwa dengan perceraian itu suami telah
memperpanjang masa idahnya, sebab haid itu tidak diperhitungkan di dalam idah.
Demikian pula masa suci yang sesudahnya, sebab idah itu melalui tiga masa haid
secara penuh. (3) perceraian yang bukan sunah dan bukan pula bid’ah, yaitu
perceraian dilakukan terhadap istri yang masih kanak-kanak dan tidak haid serta
tidak pernah dicampuri.
Sedangkan hadis yang dijadikan dasar hukum perceraian, antara lain,
hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, al-Hakim, dan Ibnu Majah dari Abd Allah ibn
Umar, Rasulullah saw. bersabda:
‫قالطلا هللا ىلا لالحلا ضغبا‬
Artinya:
Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian
(suami istri).
Hadis itu menjadi dalil bahwa di antara halal itu ada yang dimurkai Allah
jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang
paling dimurkai
pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan oleh perbuatan perceraian. Melakukan
perceraikan tidak ada pahalanya dan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan
ibadah. Hadis ini juga menjadi dasar hukum bahwa suami wajib selalu menjauhkan
diri dari praktik perceraian selagi masih ada jalan untuk menghindarinya. Suami
hanya dibenarkan menjatuhkan perceraian jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk
menghindarinya, dan perceraian itulah salah satunya jalan terciptanya
kemaslahatan.
Dalam konteks yuridis formal, masalah perceraian juga diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal
1
Undang-Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa
tujuan perkawinan adalah : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam,
disebutkan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang
sangat kuat atau mitsaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. Namun dalam realitasnya seringkali
perkawinan itu kandas dan putus di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya
hubungan perkawinan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
perundangan-undang. Hal ini ditegaskan dalam pasal 38 Undang-Undang RI. No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut:
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Keputusan pengadilan.
Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah
satu pihak suami istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian,
undang-undang memberikan aturan yang terperinci dan sangat jelas. Adapun
putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu
pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. Namun undang-undang tidak
menyebutkan lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap
meninggalnya seseorang itu.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 menyatakan, bahwa
hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian karena alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 39 Undang-Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dinyatakan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaian
kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
(3) Tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
persidangan tersendiri.
Dalam konteks Kompilasi Hukum Islam, yang sudah menjadi hukum
terapan di Pengadilan Agama, juga mengatur tentang putusnya perkawinan dengan
sebab perceraian, yakni pada pasal 116.
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Pasal 116 dalam KHI ini sejalan dengan atau merupakan tambahan dari
pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu suami melanggar taklik talak dan terjadinya
perpindahan agama (murtad). Tambahan dua poin ini relatif penting karena
sebelumnya tidak ada. Taklik talak adalah janji atau pernyataan yang biasanya
dibacakan suami setelah akad nikah. Kalau suami melanggar “janji” yang telah
diucapkan dan istrinya tidak rela lantas mengadu ke pengadilan, maka pengadilan
atas nama suami akan menjatuhkan perceraian satu khuluk kepada istri. Jadi,
taklik talak sebagai sebuah ijtihad baru sangat penting untuk melindungi hak-hak
istri.
1. Hukum Perceraian
Hidup dalam hubungan perkawinan merupakan sunah Allah dan sunah
Rasul. Sebaliknya melepaskan diri dari ikatan perkawinan hal itu menyalahi sunah
Allah dan Rasul-Nya, serta menyalahi kehendak Allah menciptakan kehidupan
rumah tangga yang saki>nah, mawaddah, dan rah}mah.
Meskipun Islam menghendaki kehidupan rumah tangga yang bahagia,
namun dalam kenyataannya seringkali terjadi perselisihan dan pertengkaran atau
sebab lain yang tidak dapat lagi mempertahankan. Bila dilanjutkan akan
menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka hukum Islam membuka pintu
untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian pada dasarnya perceraian itu adalah
sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah usul fikih disebut makruh.
Hukum makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya
perceraian itu dengan berbagai penahapan. Hal ini terlihat dalam QS al-Nisa>’
(4):34
...
ÓÉL»©9$#ur
tbqèù$sƒrB
Æèdy—qà±èS
ÆèdqÝàÏèsù
£`èdrãàf÷d$#ur
’Îû
Æ ì Å _ $ Ÿ Ò y J ø 9 $ #
£`èdqç/ΎôÑ$#ur
(
÷bÎ*sù
öNà6uZ÷èsÛr&
Ÿxsù
(#qäóö7s?
£`ÍköŽn=tã ¸x‹Î6y™ 3 …
Terjemahnya:
… wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . . .
Ayat tersebut mengandung informasi penting terhadap perceraian, yakni
dilakukan secara bertahap. Tahapan perceraian dalam tenggang waktu tertentu,
dimaksudkan sebagai masa perenungan agar pihak suami atau istri diharapkan
kembali utuh setelah terjadi perceraian. Hukum Islam pada dasarnya tidak
sekaligus memutuskan ikatan perkawinan sekalipun telah terjadi perceraian. Islam
mengatur tahapan-tahapan dan tenggang waktunya dalam satu proses perceraian
satu, dua, dan tiga, agar pasangan suami istri yang sudah bercerai pada tahap satu
dan dua masih mempunyai kesempatan untuk memikirkan, merenungkan, dan
mempertanyakan diri akan kesalahan, kekeliruan dan kekurangan dan juga
kelebihan masing-masing.
Terlepas dari penahapan tersebut, proses perceraian merupakan
perbuatan yang tidak disenangi. Walaupun hukum asalnya adalah makruh, namun
melihat keadaan tertentu dalam siatuasi tertentu maka hukum perceraian itu
menjadi:
a. Mandu>b, atau sunah; yaitu apabila keadaan rumah tangga sudah tidak
dapat dilanjutkan, dan seandainya kehidupan ini dipertahankan juga
kemudharatan yang ditimbulkan lebih banyak. Bila keadaan seperti ini
pilihan perceraian lebih baik.
b. Muba>h atau boleh; yaitu apabila perceraian itu dilakukan dengan alasan
tertentu, seperti akhlak wanita atau laki-laki tidak baik, pelayanannya
terhadap suami buruk, dan hubungan antara keduanya tidak harmonis
sekalipun pertengkaran dapat dihindari. Dalam perkawinan seperti ini,
menurut ulama fikih, tujuan perkawinan yang dikehendaki syara tidak akan
tercapai. Oleh karena itu, suami boleh menceraikan istrinya.
c. Wajib atau mesti dilakukan; yaitu perceraian yang harus dilakukan oleh
hakim terhadap seseorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli
istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar
kaffa>rah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu
memudharatkan istrinya.
d. Haram, perceraian dihukum haram dilakukan ketika suami mengetahui
bahwa istrinya akan melakukan perzinaan apabila ia melakukan perceraian
terhadap istrinya. Dengan perceraian tersebut, berarti suami memberi
peluang bagi istrinya untuk melakukan perzinaan. Dalam hal ini termasuk
juga perceraian yang diharamkan, kalau suami menceraikan istri dalam
keadaan “haid, nifas, dan dalam keadaan suci (tidak haid dan nifas) tetapi
dicampuri lebih dahulu.
2. Hikmah Perceraian
Ulama fikih mengatakan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan
suami istri yang kekal dan abadi, yang disebut Allah swt sebagai mis\a>qan
ghali>s}an (perjanjian yang kuat). Perjanjian yang kuat ini sudah seharusnya
dipelihara, dijaga dan mendapat tempat yang layak di hati kedua suami istri. Tetapi
dalam dinamika kehidupan sebuah rumah tangga selalu saja ada faktor, baik
pribadi maupun sosial yang ikut memengaruhi proses kehidupan rumah tangga itu.
Sebagai manusia biasa, perselisihan, pertengkaran dan perbedaan pendapat antara
suami dan istri selalu saja ada dan kadang sulit dihindarkan.
Walaupun perceraian itu merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah
dan Rasul-Nya, namun sebagai jalan terakhir bagi kemelut suatu rumah tangga,
maka perceraian itu boleh dilakukan. Hikmah diperbolehkannya perceraian adalah
karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang timbul perbedaan sikap
yang menjurus kepada pertentangan, sehingga tujuan perkawinan menjadi
terganggu. Dalam kondisi seperti ini kalau dilanjutkan, rumah tangga akan
menimbulkan mud}a>rat kepada kedua belah pihak bahkan dapat memengaruhi
orang lain di sekitarnya. Dalam rangka menolak terjadi mud}a>rat yang besar,
maka sangat baik ditempuh perceraian dari pada mempertahankan perkawinan.
Jadi perceraian dalam hukum Islam merupakan upaya menghindari kemudharatan
dengan tujuan mashlahat.
Dibukanya pintu perceraian dalam hukum Islam juga mengandung hikmah
terhadap pertumbuhan psikologi anak. Sebab ketika terjadi pertentangan dan
pertengkaran yang sulit untuk didamaikan lagi, maka akan berpengaruh langsung
terhadap perkembangan psikologi anak. Dengan selalu melihat orang tuanya
bertengkar, akan menimbulkan kegoncangan batin terhadap anak, sebab bila anak
terlalu condong kepada ibunya takut kepada bapaknya, juga sebaliknya. Keadaan
seperti ini akan tertanam benih-benih cinta dan kebencian, yang pada akhirnya
anak tidak memiliki perasaan sosial dan cenderung membenci kedua orang tuanya,
dan akibatnya timbullah kerusakan akhlak terhadap anak. Hal inilah awal mula
terjadinya krisis sosial di kalangan remaja yang orang tuanya bercerai pada saat
anak masih membutuhkan bimbingan dari keduanya.
Untuk pertengkaran dan perselisihan suami istri di dalam rumah tangga
atau syika>k dalam istilah al-Qur’an, pihak suami dituntut dapat menyelesaikan
persoalan rumah tangganya dengan baik. Islam menuntut agar suami selalu
menasehati istrinya jika lalai melaksanakan kewajiban sebagai istri. Apabila
nasehat itu tidak dapat menyadarkannya, maka ditempuh cara kedua yakni pisah
tempat tidur. Jika cara ini belum mengubah sikap istri maka dapat dilakukan
pukulan edukatif yakni pukulan yang tidak melukai dan tidak pula menimbulkan
cedera.
Tahapan mendidik istri tersebut berlaku pula bagi suami. Apabila nusyuz
tersebut muncul dari pihak suami, maka istri berhak melakukan yang sama, yaitu
menasehati suami atau memperlihatkan keenganan terhadap suami. Apabila suami
tidak dapat lagi disadarkan atas kekeliruan yang dilakukannya, bahkan sering
menganiaya istrinya, maka hukum Islam memberi jalan keluar bagi istri yakni
cerai melalui khulu`.
Oleh karena itu, para ahli hukum Islam telah sependapat bahwa praktik
perceraian dilakukan dalam keadaan darurat. Namun demikian apabila perceraian
sudah dilakukan maka tidak berarti hubungan silaturrahmi juga putus. Islam tetap
memberi kesempatan kedua belah pihak untuk ruju` dalam masa idah jika talak
yang dilakukan itu adalah talak satu dan dua. Untuk mengakhiri suatu pernikahan
atau hubungan suami istri dalam Islam melalui tahapan yang panjang, bukan
sekaligus dan lebih bersifat dadakan.
B. Hak Suami dan Istri dalam Perceraian
Fikih Islam klasik menetapkan bahwa yang berhak mengajukan
perceraian adalah pihak suami. Suamilah yang memiliki otoritas penuh untuk
menceraikan istrinya. Dengan kata lain, suamilah yang memegang kendali dan
proaktif dalam proses perceraian. Ketentuan ini didasarkan atas beberapa analisis
pertimbangan, diantaranya: bahwa suami dipandang telah memiliki kemampuan
untuk memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar
mahar dan dituntut untuk memenuhi segala kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Demikian juga suami berkewajiban menjamin nafkah istri selama dalam proses
menjalankan idahnya. Hal-hal tersebut menjadi pengikat terhadap suami untuk
tidak melakukan perceraian dengan sesuka hati.
Menurut ulama fikih, bahwa ada dua faktor utama yang menyebabkan
hukum Islam memberi otoritas atau hak kepada suami untuk menceraikan istrinya.
Pertama, wanita sangat mudah dipengaruhi emosi dalam menghadapi kemelut,
termasuk kemelut rumah tangga. Apabila hak cerai diberikan kepada istri, maka
keutuhan rumah tangga akan seringkali dan mudah tergoyahkan, karena
permasalahan kecil saja dapat menyebabkan istri menjatuhkan cerainya kepada
suaminya, berdasarkan dengan tuntutan emosinya. Pihak laki-laki pada umumnya
dalam menghadapi kemelut rumah tangga dan berbagai persoalan hidup lainnya
tidak gampang terpengaruh oleh dorongan emosi dan senantiasa memiliki
pertimbangan relatif matang. Laki-laki cenderung menggunakan akal pikirannya
menyelesaikan persoalan, sedang wanita lebih cenderung pada perasaannya.
Menurut ulama fikih, dalam kehidupan rumah tangga perselisihan dan
pertengkaran kecil sekalipun selalu saja ada dan sulit dihindari. Apabila hak cerai
diberikan otoritas kepada wanita, maka dalam waktu singkat rumah tangga itu akan
berakhir. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pernikahan yang menghendaki
kehidupan rumah tangga yang abadi. Dengan demikian ulama fikih bersepakat
menyatakan bahwa sifat akad pernikahan itu adalah akad abadi.
Kedua, terjadinya perceraian menimbulkan berbagai persoalan baru, dan
banyak melahirkan resiko, baik resiko materi, seperti nafkah istri dalam masa
idah, pemberian terhadap istri yang dicerai apabila belum dicampuri, dan nafkah
anak-anak. Oleh karena itu, sangat layak apabila hak cerai diberikan kepada pihak
suami karena dialah yang bertanggung jawab penuh dalam masalah keuangan
rumah tangga.
Abdurrahman Ghazaly mengemukakan bahwa wanita itu umumnya sangat
mudah mengalami kegoncangan batin bila menghadapi berbagai kemelut, kurang
teguh dalam menghadapi hal-hal yang tidak disenangi. Biasanya wanita lebih
mudah gembira dan juga lebih mudah menjadi susah. Menjadikan hak cerai pada
suami dimaksudkan untuk lebih melestarikan hidup suami dan istri ketimbang hak
cerai pada wanita.
Jika istri diberi otoritas hak cerai bersama-sama dengan suaminya,
maksudnya suami mempunyai hak cerai, juga istri mempunyai hak sama, maka
persoalannya lebih buruk lagi dan akibatnya lebih fatal, karena jika terjadi
perselisihan dan kemelut rumah tangga, dengan terburu-buru istri mengambil
sikap untuk menjatuhkan cerai sesuai dengan haknya tanpa diawali dengan
pemikiran yang matang. Oleh karena itu, dijadikannya hak cerai ada di tangan
suami mengandung hikmah yang mendalam.
Pada perkembangannya para ahli hukum Islam sependapat bahwa dalam
keadaan suami tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap
istrinya atau suami melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, maka
pihak istri boleh meminta cerai pada suaminya melalui khuluk (cerai tebus).
Tetapi para ahli juga sepakat menyatakan bahwa sekalipun perceraian itu dilakukan
melalui khuluk, namun hak menjatuhkan cerai tetap berada di tangan suami. Di
samping itu istri juga dapat mengajukan gugatan cerai melalui Pengadilan Agama,
karena suaminya dipenjara dalam waktu lama, mengidap penyakit kronis dan
menular, atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tidak memenuhi
kewajiban lahir batin. Bahkan menurut Ibnu Qudamah (ahli fikih mz\hab Hambal),
mengatakan bahwa ketidakpuasan istri terhadap hubungan seksual yang diterima
dari suaminya dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan cerai melalui
hakim.
Hukum Islam memberi otoritas kepada suami untuk proaktif
menceraikan istrinya, dan tidak memberikannya kepada istri, didasarkan pada
firman Allah swt. dalam QS al-Ahzab (33):49
$pkš‰r'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sŒÎ)
ÞOçFóss3tR
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#
¢OèO
£`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&
Æèdq¡yJs?
$yJsù
öNä3s9
£`ÎgøŠn=tæ
ô`ÏB
;o£‰Ïã
$pktXr‘‰tF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù
£`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ| WxŠÏHsd
ÇÍÒÈ
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaikbaiknya.
Ayat tersebut menginformasikan bahwa kaum laki-laki itu menikahi
wanita kemudian wanita itu menjadi istrinya dan berada di bawah kekuasaan
suaminya, maka suami berkewajiban memelihara, menjaga dan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sekiranya suami merasa keberatan menunaikan kewajibannya
itu maka suami berhak melepaskannya, sehingga aktivitas menikahi bermula dari
pihak suami, demikian pula inisiatif cerai berada di tangan suami. Firman Allah
swt. dalam QS al-Baqarah (2):231.
#sŒÎ)ur
ãLäêø)¯=sÛ
uä!$|¡ÏiY9$#
z`øón=t6sù
£`ßgn=y_r&
Æèdqä3Å¡øBr'sù
>$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎhŽ|
7$rã÷èoÿÏ3 4 …
Terjemahnya:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula) …
H. M. Quraish Shihab mengomentari ayat itu bahwa betapapun baik rujuk
maupun cerai, semua harus dilakukan dengan makruf, yakni dengan keadaan yang
baik serta terpuji. Di sini, terminologi “menceraikan” diikuti dengan anjuran
cara-cara yang makruf, sedangkan ayat 229 surah al- Baqarah di atas menggunakan
kata “ihsa>n”. Makruf pada ayat itu adalah batas minimal dari perlakuan yang
dituntut atau yang wajib dari suami yang menceraikan istrinya, sedangkan kata
ihsa>n adalah batasan yang terpuji yang dianjurkan dan melebihi kewajiban.
Karena itu perintah minimal itu disusul dengan larangan minimal pula, yaitu:
“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan.
Dalam konteks yuridis formal di Indonesia, masalah hak menjatuhkan
perceraian diatur dalam Undang-Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Beberapa alasan
yang membolehkan suami menceraikan istrinya atau seorang istri diperbolehkan
mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui Pengadilan Agama, selama
alasan-alasan yang dijadikan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Di Indonesia dikenal dua bentuk perceraian. Hal ini dapat dilihat pada
Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang
disebutkan pada bagian kedua pemeriksaan sengketa perkawinan pasal 65
dikatakan:
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Dalam pasal 66 mengatur tentang “cerai talak” dan pasal 73 mengatur
tentang “cerai gugat”. Bila suami menceraikan istrinya disebut cerai talak,
sedangkan bila istri mengajukan cerai terhadap suaminya disebut cerai gugat.
Cerai talak, diatur dalam pasal 66 sampai pasal 72. Untuk lebih jelasnya
berikut akan dikutipkan pasal-pasal tersebut:
Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Pengadilan yang di daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin
pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri
maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
pengadilan agama Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami isri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas memuat:
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan
termohon, yaitu istri;
b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan pasal 79,
pasal 80 ayat (2), pasal 82, dan pasal 83.
Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka
Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri
dapat mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut.
(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam
suatu akta autentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar
talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak
datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami
atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau
wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari
sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau
tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara
sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan
perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar
talak.
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan
putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat
dimintakan banding atau kasasi.
Cerai Gugat. Cerai gugat adalah istri yang mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk menceraikan suaminya. Hal ini juga diatur dalam pasal
73 sampai dengan pasal 86. Dalam kaitan ini penulis hanya akan mengutipkan
pasal-pasal yang terpenting, yaitu:
Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi; tempat kediaman
penggugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat tinggal kediaman di luar negeri,
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak
mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian,
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat
cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai suami maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk
memeriksakan diri kepada dokter.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang berkenaan dengan cerai talak
juga berlaku dalam kasus cerai gugat. Intinya bahwa istri diperkenankan oleh
hukum menceraikan suaminya dengan jalan khuluk. Khuluk hanya diperbolehkan
kalau ada alasan yang tepat seperti suami meninggalkan istrinya selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin istrinya serta alasan yang sah, atau suami dipidana
penjara dalam waktu lama, mengidap penyakit kronis dan menular, atau murtad
dan tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami, sedangkan istri khawatir akan
melanggar hukum Allah, maka dalam kondisi seperti ini istri tidak wajib melayani
suami untuk digauli dan istri berhak untuk khuluk. Hal-hal yang dapat dijadikan
alasan oleh istri untuk mengajukan gugatan cerai sama dengan alasan yang
digunakan dalam cerai talak.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatlah dipahami bahwa perceraian
dengan talak atau gugat cerai dapat terjadi dengan alasan, bahwa suami istri tidak
dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri dalam satu rumah tangga. Dengan
demikian perceraian dipandang sebagai jalan terbaik bagi para pasangan. Pihak
yang menentukan cerai sebagai jalan terbaik atau damai adalah pihak ketiga, yaitu
pengadilan.
Dari segi banyaknya penyebab terjadinya kasus perceraian, semua
mempunyai prinsip dan proses penyelesaian yang sama yaitu: (1) pihak yang
memutuskan perceraian adalah pengadilan, (2) langkah-langkah yang harus
ditempuh adalah, mengajukan permohonan atau gugatan dari salah satu pihak,
pemanggilan untuk diperiksa oleh pengadilan, dan putusan oleh pengadilan.
C. Implikasi Hukum terhadap Cerai Gugat
Undang-Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia salah satu tujuannya adalah berusaha memanilisir perceraian sehingga
dapat dikendalikan serta menekan angka perceraian yang diakibatkan oleh cerai
gugat. Pembuat undang-undang ini menyadari bahwa perceraian dilakukan tanpa
kendali dan sewenang-wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada
kedua pasangan suami dan istri tetapi juga berimplikasi kepada orang lain,
terutama anak-anak yang dilahirkan, yang mestinya harus diasuh kedua pasangan
dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah
menikah secara sah harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar
perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai akhir hayat. Para
sosiolog berpendapat bahwa berhasil tidaknya membina suatu masyarakat sangat
ditentukan oleh keharmonisan suatu keluarga dan perkawinan yang merupakan
komponen dalam masyarakat. Kegagalan membina kehidupan rumah tangga bukan
saja membahayakan individu, tetapi juga berpengaruh kepada kehidupan
masyarakat yang lebih luas. Hampir separuh dari kenakalan remaja dewasa ini
yang terjadi di beberapa negara termasuk di Indonesia, diakibatkan oleh keluarga
yang bermasalah. Pada suatu masyarakat yang banyak mempraktikkan perceraian
merupakan ukuran kondisi dari masyarakat tersebut.
Penggunaan hak cerai secara sewenang-wenang dengan argumen bahwa
perceraian itu hak suami dan otoritas penuh pada laki-laki, harus dihilangkan.
Pemikiran seperti itu harus diperbaiki dan dihilangkan dalam masyarakat. Hak
cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi juga istri dapat menggugat suami
untuk minta cerai, apabila ada hal-hal yang menurut keyakinannya rumah tangga
yang dibina tidak mungkin lagi diteruskan. Oleh karena itu, undang-undang dan
peraturan tersebut dirumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan
pengadilan. Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan dianggap
perceraian ilegal dan tidak mempunyai landasan hukum. Dengan demikian tidak
diakui kebenarannya. Pengadilan atau hakim berusaha semaksimal mungkin untuk
mendamaikan agar rukun kembali. Hal ini dilakukan pada setiap sidang
dilaksanakan. Undang-undang perkawinan tidak melarang perceraian, hanya
dipersulit pelaksanaannya. Maksudnya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian.
Hal itu harus dilaksanakan dengan cara yang baik di hadapan sidang pengadilan.
Perceraian yang demikian ini merupakan hal baru dalam masyarakat Indonesia,
yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada di tangan suami yang
pelaksanaannya dapat dilakukan sewenang-wenang. Pelaksanaan yang seperti ini
sungguh sangat memprihatinkan pihak istri, biasanya pihak suami setelah
menceraikan istrinya tidak memperhatikan hak-hak istri dan anak-anaknya.
Pengadilan Agama yang diberi kewenangan oleh negara memutuskan
suatu perkara perceraian, maka sebelum memberi keputusan telah berupaya
mendamaikan kedua belah pihak dengan menunjuk dua orang hakam. Langkah ini
sesuai dengan petunjuk Allah swt dalam QS. al- Nisa>’ (4):35.
÷bÎ)ur
óOçFøÿÅz
s-$s)Ï©
$uKÍkÈ]÷t/
(#qèWyèö/$$sù
$VJs3ym
ô`ÏiB
¾Ï&Î#÷dr&
$VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ)
!#y‰ƒÌãƒ
$[s»n=ô¹Î)
È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$¸JŠÎ=tã
#ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ
Terjemahnya:
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.
Kata “persengketaan” yang terdapat dalam terjemahan ayat tersebut
adalah terjemahan dari kata “syiqa>q”. Ayat tersebut secara etimologi berarti
percekcokan, perselisihan, dan permusuhan. Dengan sikap itu arah pemikiran
masing-masing pihak sudah tidak lagi dapat dipertemukan. Dari kata syiqa>q itu,
seperti yang dijelaskan oleh Muhammad ‘Ali al-S}abu>ni dalam bukunya
Rawa>i’u al-Baya>n, dipahami bahwa ketidaksesuaian bukan saja terdapat di
satu pihak tetapi pada kedua belah pihak suami istri. Percekcokan dalam sebuah
rumah tangga disebut syiqaq bila sampai ke batas yang tidak lagi dapat
diselesaikan perselisihan suami istri.
Terlepas dari semua itu, perceraian perlu diperketat pelaksanaannya,
karena akan mengakibatkan timbulnya hukum lain. Adapun akibat yang bisa timbul
akibat putusnya perkawinan karena perceraian, sebagaimana diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 156-157.
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan badhanah dari ibunya
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. ayah
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),
(c), dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak ikut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal
96, 97.
Adapun peraturan mengenai harta bersama sebagai implikasi hukum
terhadap perceraian, yang diatur dalam pasal 96 dan 97 adalah:
Pasal 96
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama.
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau
suaminya hilang harus ditinggalkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atau atas dasar putusan
Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Download