Pemerintah Tak Mau Bereaksi Spontan Boediono, Menko Perekonomian Kamis, 24 Januari 2008 JAKARTA (Suara Karya): Sebelum mengambil langkah-langkah strategis pengamanan, pemerintah merasa perlu lebih dahulu melihat lebih jauh dampak resesi ekonomi dunia terhadap perekonomian nasional. Menkeu Sri Mulyani mengakui, resesi global sangat mungkin memengaruhi proyeksi perekonomian nasional. "Respons kita, baik dari sisi fiskal maupun moneter, akan disesuaikan dengan pengaruh perekonomian global secara langsung terhadap perekonomian kita," katanya usai mengikuti rapat di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu. Menurut Menkeu, resesi ekonomi bisa berdampak terhadap neraca pembayaran terkait ekspor maupun impor. Pasar saham maupun pasar uang juga tak terkecuali bisa terkena dampak itu. "Kita tidak boleh melakukan respons spontan. Seperti pada sektor riil, kita harus lihat dulu sisi industri atau perusahaan dan sektornya. Lalu kita lihat formulasi kebijakan yang dianggap paling tepat," ujar Menkeu. Namun, dari beberapa dampak yang sudah bisa diidentifikasi, pemerintah sudah melakukan berbagai kebijakan fiskal. Misalnya penurunan bea masuk impor, pengucuran subsidi, dan insentif agar perusahaan atau sektor usaha tidak terlampau terbebani dampak krisis global. Sedangkan di bidang moneter, menurut Menkeu, Bank Indonesia (BI) akan menggelar kebijakan utama yang fokus menjaga stabilitas moneter --terutama mengamankan inflasi agar tidak melebihi target tahun ini, yakni 5 plus-minus 1 persen. "Inflasi akan kita monitor terus sesuai target. Itu referensi untuk pemerintah agar target tercapai. Sedangkan BI memformulasikan kebijakannya. Inflasi Januari kan belum kelihatan. Sementara inflasi Januari sampai Desember waktunya 12 bulan. Jadi kita lihat bulan per bulan," tutur Menkeu. Sementara itu, Menko Perekonomian Boediono mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengharapkan perekonomian nasional terus diperkuat sehingga bisa bertahan menanggung dampak resesi ekonomi dunia. Menurut Boediono, tindakan bank sentral AS, The Federal Reserve, memangkas suku bunga dari 4,25 menjadi 3,5 persen merupakan langkah baik, terutama untuk mengurangi resesi ekonomi AS. Dengan demikian, diharapkan pengaruh baik langkah bank sentral AS itu merembet ke Indonesia. "Ini semua kan faktor eksternal. Bagi kita sendiri, yang terpenting memperkuat ketahanan kita," katanya. Di lain pihak, Menperdag Mari Elka Pangestu mengatakan, pemerintah akan mencari pasar lain yang menjadi tujuan ekspor. Ini untuk mengatasi penurunan permintaan ekspor dari AS yang sedang mengalami resesi ekonomi. "Intinya, kalau permintaan dunia, terutama AS, turun maka akan terjadi penurunan permintaan. Jadi kita akan melakukan diversifikasi pasar yang kurang terkena imbas semua ini," kata Mari. Menurut dia, negara tujuan ekspor potensial terutama negara-negara di Asia, seperti China dan India. Selain itu juga Rusia dan negara-negara di Timur Tengah yang sedang memperoleh keuntungan terkait tingginya harga minyak di pasar dunia. "Penurunan ekspor ke AS sebenarnya sudah dirasakan sejak tahun lalu, terutama produk-produk manufaktur. Tahun lalu ekspor ke AS hanya tumbuh lima persen dari biasa 10 persen. Itu sudah dirasakan tahun lalu," tutur Mari. Terkait kenaikan harga komoditas pangan belakangan ini, Mari mengatakan, pemerintah akan menerapkan kebijakan intervensi terukur dalam jangka waktu tertentu (targeted intervention). Antara lain menggunakan instrumen fiskal seperti bea masuk, penghapusan pajak, atau sistem tata niaga. "Langkah kedua adalah mempelajari tingkatan masyarakat yang paling terkena fluktuasi harga, apakah itu konsumen, produsen, atau siapa? Di sini kita akan melakukan targeted intervention. Misalnya untuk mengurangi beban masyarakat akibat kenaikan harga minyak goreng, pemerintah melakukan operasi pasar dan memberikan subsidi kepada masyarakat berpendapatan rendah," ujarnya. Sementara itu, Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom menyatakan, penurunan suku bunga bank sentral AS yang dilakukan lebih awal dari jadwal bisa diharapkan mampu membantu mengurangi penurunan (slow down) ekonomi AS. Tapi resesi ekonomi AS tak serta-merta bisa hilang. "Kita lihat capital market (pasar modal) di Jakarta, apakah dapat kembali rebound (meningkat). Tapi dalam keadaan saat ini, seharusnya kita juga tidak menghilangkan kewaspadaan. Sebab permasalahan di AS belum selesai dan dampaknya terasa sampai beberapa bulan ke depan. Ini masih akan diwarnai berbagai laporan institusi finansial mengenai keadaan keuangan masing-masing," ujar Miranda. Dia menggarisbawahi, sebagai konsekuensi menerapkan sistem ekonomi terbuka, Indonesia kemungkinan besar terkena dampak resesi ekonomi AS. Namun dia menekankan, BI akan selalu berusaha memperkecil risiko itu. Miranda menilai, keputusan bank sentral AS menurunkan suku bunga lebih awal sangat positif karena kondisi pasar semakin melemah. "Kita harus akui bahwa berjatuhannya satu per satu institusi finansial yang begitu besar di dunia sudah menimbulkan kegalauan pada semua pemain (pasar saham dan pasar uang). Jadi timbul kepanikan, terutama mereka yang bermain di pasar uang," kata Miranda. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sendiri mengatakan, penurunan suku bunga The Fed berdampak mengembalikan kondisi pasar yang sempat mengalami guncangan besar. "Saya kira semuanya (pasar saham) akan rebound. Semua akan calm. Ini karena mereka mengharapkan soft landing. Itu sama dengan yang kita harapkan," katanya. (Tri Handayani/Antara/Andrian)