BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keadaan politik yang timpang dimaknai masyarakat urban sebagai konflik antara pemegang otoritas dan masyarakat yang dapat membawa dampak – dampak negatif. Menurut Michael Lipsky, protes didefinisikan sebagai sebuah strategi politik yang digunakan oleh powerless group untuk mempengaruhi opini publik dan meningkatkan bargaining ability terhadap otoritas yang lebih tinggi.1 Dengan kata lain, mereka ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang mengatasnamakan kepentingan powerless group. Jadi, penggunaaan aksi protes adalah senjata politik yang berfungsi untuk merespon keadaan tersebut. Pada prakteknya, masyarakat memilih ruang publik sebagai sarana untuk mengekspresikan secara fisik / simbolik aspirasi yang disampaikan.2 Melalui pemahaman tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa penggunaan ruang publik sebagai bentuk protes terhadap pemerintah adalah ciri masyarakat urban dalam menuntut sebuah perubahan. Penggunaan ruang publik sebagai media komunikasi dalam aksi protes dilakukan dengan cara yang beragam, salah satunya yaitu dengan menggunakan gambar – gambar atau simbol yang populer di sebut dengan Grafiti. Graffiti merupakan salah satu media ekspresi melalui tulisan, simbol, 1 Michael Lipsky. 1965. Protest As A Political Resource. Madison: The University of Wisconsin. Hal 30. 2 Asef Bayat. 1997. Street Politics: Poor People's Movements in Iran. New York: Columbia University Press. Hal 15. 1 gambar yang memiliki pesan atau motif dalam setiap pembuatannya. Graffiti banyak digunakan oleh masyarakat diseluruh belahan dunia dalam melakukan aksi protes ketika media mainstream dianggap tidak mampu menyuarakan aspirasi masyarakat. Karasterististik anonymous / tanpa identitas cenderung digunakan sebagai identitas di ruang publik untuk alasan keselamatan pelaku grafiti, individu – individu yang terlibat dalam komunitas grafiti ini menyuarakan aspirasinya di seluruh dinding kota agar dapat dikonsumsi oleh khalayak ramai. Graffiti dibedakan menjadi dua tipe, yaitu Cryptic Graffiti yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan – pesan di dalam sebuah komunitas tertutup dan Political Graffiti yang bertujuan menyampaikan pesan – pesan yang ditujukan terhadap masyarakat luas.3 Graffiti memiliki peranan penting bagi masyarakat urban yang berada di tengah – tengah kondisi perpolitikan yang tidak menguntungkan. “The art of presence” dari karya - karya graffiti merupakan media komunikasi penting dalam menyampaikan aspirasi masyarakat, mencari dukungan secara lokal maupun internasional, dan menjadi kontrol terhadap pemegang otoritas, serta menjadi agen perubahan untuk menciptakan sebuah keadilan bagi masyarakat. Komunitas Graffiti di Yogyakarta dan Kairo dipilih penulis sebagai objek dalam penelitian ini karena memiliki persamaan – persamaan yang menarik untuk di bandingkan. Kedua komunitas grafiti ini merupakan komunitas yang sama – sama berkembang sebagai sebuah media protes terhadap pemerintah. Selain itu, kiblat “American Graffiti” digunakan oleh kedua komunitas ini sebagai acuan dalam membuat 3 Phillips, Susan A. 1996. Graffiti Definition: The Dictionary of Art. London. Macmillan Publishers-Grove's Dictionary Inc. 2 karya graffiti, dan keduanya juga menggunakan pendekatan budaya dalam melakukan aksi – aksi protesnya. Dalam melakukan aksi protes tersebut, komunitas grafiti di Yogyakarta dan Kairo sama – sama menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah melalui graffiti – graffiti yang dibuat di ruang publik. Akan tetapi, kedua komunitas tersebut memiliki perbedaan fungsi dalam aksi yang dilakukan. Di Indonesia, pada akhir rezim orde baru, komunitas graffiti digunakan sebagai media protes terhadap pemerintah dengan mencoret – coret ruang publik dan gedung pemerintahan. Demikian juga di Yogjakarta, dinding jalanan menjadi sarana bagi para grafiter dalam menyampaikan protes terhadap keadaan sosial yang timpang. Di samping itu, dominasi geng – geng dalam menunjukkan eksistensinya menjadi wajah graffiti Yogyakarta pada awal kemunculannya di tahun 1980 - 1990an. Seiring dengan perubahan kondisi sosial politik di Yogjakarta, para grafiter mulai mengubah cara ber-grafiti dengan membuat grafiti lebih estetis dari segi warna, bentuk, gaya, sehingga pesan yang ingin dikomunikasikan lebih mudah untuk dipahami.4 Fungsi yang ditunjukkan oleh komunitas grafiti di Yogjakarta yang dikenal juga dengan nama Yogya Art Crime (YORC)5 yaitu sebagai bentuk komunikasi terhadap masyarakat dan pemerintah, bentuk eksistensi kelompok, dan bentuk respon terhadap keadaan sosial dan politik. Hal tersebut yang kemudian menjadi identitas graffiti di Yogjakarta pada saat ini. 4 Rias Fitriana Indriyati. 2011. Politik dan Grafiti. Yogyakarta: Research Centre for Politics and Government Department of Politics & Government Fisipol UGM Hal 39. 5 Ibid. Hal 76. 3 Fenomena yang sangat kontras terhadap komunitas grafiti ditunjukkan oleh komunitas graffiti serupa di Kairo. Kemunculan grafiti di Kairo yang dikenal dengan nama Egypt's Street Art Movement6 selalu berkaitan dengan aksi protes dan konflik yang dipengaruhi oleh isu – isu yang berkembang, media lokal maupun internasional, ataupun segala hal yang berhubungan dengan sebuah gerakan perubahan.7 Komunitas grafiti di Kairo yang dapat bertransformasi menjadi gerakan yang berpengaruh dalam mengubah dinamika politik di Mesir melalui karya – karya graffiti yang tersebar luas di dinding – dinding kota Kairo, serta memiliki peran secara langsung selama proses revolusi di Mesir. Disamping itu, komunitas graffiti di Kairo mampu membentuk opini publik internasional melalui karya yang dibuat dan mendapatkan dukungan internasional dalam memperjuangkan keadilan di Mesir.8 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penelitian ini memformulasikan rumusan masalah sebagai berikut : Mengapa pengaruh komunitas grafiti di Kairo lebih signifikan dari pengaruh komunitas grafiti di Yogyakarta dalam aksi protes terhadap pemerintah? 6 Shahira Amin. 2014. Egypt's Nascent Street Art Movement Under Pressure <www.indexoncencorship.org> diakses pada 20 Agustus 2014. 7 Pascal Zoghbi and Don Carl. 2011. Arabic Graffiti. Berlin: From Here to Fame. 8 Lina Khatib. 2013. Street Art and The Egyptian Revolution <www.iemed.org> diakses pada 04 Mei 2014. 4 1.3 Tinjauan Pustaka Penelitian yang pertama yaitu Politik dan Grafiti oleh Rias Fitriana Indriyati. Tulisannya menjelaskan mengenai dunia grafiti Yogjakarta yang digunakan masyarakat sebagai media komunikasi untuk menyuarakan realitas sosial, politik, ekonomi serta budaya terhadap pemerintah. Dalam tulisannya, Rias memaparkan tentang pekembangan grafiti yang semakin kompleks setelah masa orde baru yang memunculkan aktor – aktor lain seperti pemerintah dan masyarakat ekonomi yang ikut berperan dalam grafiti Yogyakarta. Pendekatan daily politics dan komunikasi politik digunakan oleh Rias dalam melihat fenomena perkembangan aktor – aktor baru dalam grafiti di Jogjakarta. Kedua konsep tersebut digunakan untuk melihat cara berpolitik para grafiter dan melihat dimensi pesan yang disampaikan melalui grafiti. Penelitian berikutnya yaitu Street Art and the Egyptian Revolution oleh Lina Khatib. Tulisannya menjelaskan mengenai hubungan antara street art di Mesir dan hubungannya dengan Revolusi Mesir pada tahun 2011. Lina juga mencoba menggali lebih dalam mengenai seberapa jauh keterlibatan para graffiter dalam penyampaian aksi protes terhadap pemerintah. Penelitian yang ketiga yaitu Graffiti di Indonesia: Sebuah Politik Identitas Ataukah Tren?(Kajian Politik Identitas pada Bomber di Surabaya) Oleh Obed Bima Wicandra. Dalam tulisannya, penelitian Obed fokus mengulas mengenai motif dari Bomber di Surabaya yang semakin banyak bermunculan, apakah motifnya sebagai politik identitas, ataukah hanya mengikuti tren saja. 5 Persamaan penelitian penulis dengan Literatur pertama dan kedua yaitu kesamaan dalam hal melihat peran grafiti sebagai aksi protes terhadap pemerintah. Kemudian persamaan yang dimiliki dengan literatur yang ketiga yaitu kesamaan dalam melihat motif para grafiter. Sedangkan perbedaan penelitian terdahulu tersebut dengan penelitian penulis yaitu terletak pada objek yang diteliti. Penulis tidak hanya sekedar menganalisis satu objek untuk melihat pengaruh sebuah komunitas grafiti disuatu tempat. Akan tetapi, penulis menghadirkan komunitas di negara lain sebagai pembanding untuk dapat melihat seberapa signifikan pengaruh yang diberikan oleh komunitas grafiti. Kemudian, perbedaanya juga terletak pada fokus yang akan menjadi penelitian penulis. Dalam penelitian ini, penulis akan fokus untuk melihat pengaruh sebuah komunitas yang akan dilihat dari substansi – substansi yang beragam (kondisi sosial politik, jenis grafiti, strategi) dalam melihat seberapa besar pengaruhnya. 1.4 Kerangka Konseptual 1.4.1 Konsep Gerakan Sosial Gerakan sosial menurut Eyerman dan Jamison adalah sebuah tindakan kolektif yang terorganisir dan memiliki tujuan untuk sebuah perubahan sosial atau sebuah ungkapan ketidakpuasan kelompok individu tertentu secara kolektif di depan umum dan mengubah basis sosial dan politik yang dirasakan tak memuaskan.9 Tindakan kolektif berupa gerakan massa dalam jumlah yang besar sangat mudah ditemukan di era globalisasi ini. Pengertian tersebut sejalan dengan 9 Eyerman dan Jamison. 2007. “Sosiologi Perubahan Sosial”dalam Piotr Sztompka. Jakarta: Prenada Media Group. Hal 326. 6 yang diungkapkan oleh Sidney Tarrow bahwa gerakan sosial memiliki beberapa unsur yaitu tantangan kolektif yang ditandai dengan slogan, simbol - simbol, dan bentuk – bentuk lainnya untuk mendapatkan perhatian publik. Kemudian, adanya tujuan yang jelas, solidaritas, dan interaksi yang terhubung dengan para elit, pihak lawan atau otoritas otoritas yang lain.10 Gerakan sosial baru merupakan sebuah bentuk pembaharuan yang muncul pada tahun 1970an yang dulunya merupakan sebuah gerakan lama yang memiliki konsep dasar mengenai pemikiran tradisional. Gerakan sosial baru (GSB) diartikan sebagai gerakan transnasional yang memiliki konsep dasar tanpa kelas, yang menyuarakan, mengarahkan dan memperjuangkan isu – isu kemanusiaan, sosial, dan isu – isu yang berhubungan dengan aspek - aspek dalam kehidupan manusia.11 GSB memiliki tujuan untuk dapat merekonstruksi kembali relasi yang kurang baik antara negara, masyarakat dan perkenonomian. GSB memiliki beberapa ciri yang membedakannya dengan gerakan – gerakan sosial lama dan gerakan – gerakan yang lain, yaitu :Pertama, ruang lingkup gerakan ini luas yaitu mencakup lingkup lokal, nasional, transnasional dan international. Kedua, semua aktor yang terlibat di dalam gerakan ini berasal dari berbagai macam kalangan tanpa melihat status, pendidikan dan pembagian – pembagian lain yang sering disebutkan. Buruh, pekerja industri, pengusaha dan lain sebagainya dapat ikut terlibat dalam gerakan ini karena yang diperjuangkan melalui kegiatan ini bukanlah kepentingan kelas – kelas tertentu. namun yang 10 Sidney G Tarrow. 2011. Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. New York: Cambridge University Press Hal 9. 11 Rajendra Singh. 2010. Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta. Resist Book. Hal 129. 7 diperjuangkan adalah alasan yang berorientasi terhadap kepentingan kemanusiaan. Ketiga, Ideologi yang dibawa oleh gerakan sosial baru adalah permasalahan yang berhubungan dengan identitas politik ataupun mengenai kualitas hidup. Keempat, struktur yang dimiliki oleh gerakan sosial baru berdasarkan pada asas sosial yang menjunjung tinggi pluralitas dan aspek – aspek sosial. Sehingga perjuangan yang mereka lakukan juga memiliki lingkup yang luas juga, seperti penentangan terhadap senjata nuklir, kebebasan, dan erdamaian. Disamping itu, Gerakan ini juga tidak terbatas mengkaji mengenai masalah yang berhubungan dengan konteks manusia namun lebih dari itu, gerakan ini juga fokus terhadap kelestarian lingkungan.12 1.4.2 Konsep Public Sphere Konsep mengenai public sphere diperkenalkan oleh Habermas yang mengusung gagasan mengenai terbentuknya sebuah opini publik dari sebuah realitas sosial yang didalamnya terdapat pertukaran beragam pandangan mengenai sebuah permasalahan yang menjadi fokus perhatian. Selanjutnya, opini publik yang terbentuk akan berpengaruh besar pada pembentukan kebijakan dalam sebuah negara dan membentuk tatanan dalam masyarakat, terutama mengenai hal yang berhubungan dengan politik sebuah negara. Di samping itu, konsep public sphere ini menekankan bahwa setiap individu mempunyai hak yang sama dalam mengekspresikan gagasan dan pendapatnya tanpa ada tekanan dari pihak manapun dalam ruang publik yang diciptakan. Dalam hal ini, peran media massa seperti 12 Ibid. Hal 125-133. 8 surat kabar, televisi dan lain sebagaianya sangat besar sebagai alat dalam mewujudkan public sphere dalam masyarakat. Jim McGuigan menawarkan pemahaman untuk menjelaskan mengenai hubungan antara grafiti dan terciptanya ruang publik. Fokus dari konsep tersebut terletak pada mass-popular culture yang menjembatani mengenai keindahan dari sebuah seni dan refleksi emosional mengenai bagaimana manusia hidup dan membayangkan kehidupan yang lebih baik. Singkatnya, hal ini berkaitan erat dengan sisi tersembunyi dari perjuangan manusia dalam kehidupan kesehariannya, yang kemudian menjelaskan bagaimana hal non-politik menjadi hal politik. Utamanya, hal ini ditujukan untuk kaum marginal yang suaranya diacuhkan. Public sphere terbentuk ketika suara kaum marginal didengarkan dengan menggunakan seni, karya seni yang memiliki nilai estetika. Contohnya yaitu grafiti.13 1.5 Argumen Utama Melalui pendekatan yang digunakan, penulis berargumen bahwa perbedaan – perbedaan yang terjadi antara Yogya Art Crime di Yogjakarta dan Egypt's Street Art Movement di Kairo yaitu karena perbedaan kondisi sosial politik dan strategi aksi protes yang meliputi pengorganisasian aksi protes, tema dan jenis grafiti, peletakan grafiti, aktor – aktor yang terlibat. Dengan perbedaan – perbedaan tersebut, outcome yang dihasilkan juga berbeda. Egypt's Street Art Movement dapat membentuk opini publik internasional untuk mendapatkan 13 Imad Rasan. 2014. Graffiti: A New Form of Expression on The Wall of Cairo <www.opendemocracy.net> diakses pada 09 Juni 2014. 9 dukungan melalui karya yang dibuat dan dapat bertransformasi menjadi gerakan yang sangat berpengaruh dalam aksi protes di Mesir. Sementara itu, Yogya Art Crime (YORC) di Jogja hanya berperan sebagai komunitas yang mengakomodir kritik sosial dengan membuat grafiti di ruang publik. 1.6 Metodologi Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan narasumber yang merupakan anggota dari Yogya Art Crime (YORC) dan menggunakan publikasi resmi (website resmi yang di kelola oleh komunitas grafiti). Data sekunder yang akan digunakan adalah buku – buku, dan jurnal – jurnal serta dokumen – dokumen lain yang berhubungan dengan komunitas grafiti di Jogjakarta dan komunitas grafiti di Kairo. Data yang diperoleh kemudian akan digunakan oleh penulis sebagai pendukung dalam melakukan analisis dalam tesis ini. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) Bab, yaitu : Bab I yang berisikan mengenai Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen utama, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II meliputi penjelasan mengenai grafiti dan komunitas grafiti di Yogyakarta dan komunitas grafiti di Kairo. 10 Bab III adalah bagian analisis yang memaparkan faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara gerakan sosial Komunitas Graffiti di Yogyakarta dan Kairo. Bab IV merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan terhadap hasil penelitian dan rekomendasi. 11