BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan garis pantai terluas di Asia Tenggara (81.000 km). Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai. Salah satunya adalah vegetasi hutan pantai. Istilah hutan pantai pertama kali disebutkan oleh Whitford (1911) sebagai salah satu tipe hutan. Kondisi hutan pantai umumnya berbentuk substrat pasir dengan kondisi habitat yang ekstrim serta ditemukan beberapa jenis tumbuhan pionir. Umumnya lebar hutan pantai tidak lebih dari 50 meter dan tidak jelas batas zonasinya dengan tipe hutan lainnya serta tinggi pohon mencapai 25 meter (Goltenboth et al., 2006). Pantai merupakan suatu wilayah yang dimulai dari titik terendah air laut pada waktu surut hingga arah ke daratan sampai batas paling jauh gelombang atau ombak menjulur ke daratan yang ditandai dengan garis pantai. Garis pantai (shore line) merupakan tempat pertemuan antara air laut dan daratan. Garis pantai ini setiap saat berubah-ubah sesuai dengan perubahan pasang surut air laut. Umumnya morfologi dan tipe pantai sangat ditentukan oleh intensitas, frekuensi dan kekuatan energi yang menerpa pantai tersebut. Daerah yang berenergi rendah, biasanya landai, bersedimen pasir halus atau lumpur, sedangkan yang terkena energi berkekuatan tinggi biasanya terjal, berbatu atau berpasir kasar (Soegiarto, 1993). Habitat di pesisir pantai sangat menentukan aktivitas dari makhluk hidup baik tumbuhan maupun hewan. Kondisi habitat sangat dipengaruhi oleh angin kencang dengan hembusan garam, kadar garam yang tinggi dalam tanah, 1 penggenangan oleh air laut, aerasi tanah dan stabilitas tempat tumbuh (Ewusie 1990). Angin yang bertiup dari laut merupakan ciri khas pantai. Angin merupakan parameter lingkungan penting sebagai gaya penggerak dari aliran skala besar yang terdapat baik di atmosfir maupun lautan. Angin ini membawa butiran-butiran garam dari laut yang selanjutnya akan meningkatkan kandungan garam pasir pantai dan akan memengaruhi pertumbuhan vegetasi di wilayah itu. Takle et al. (2006) menjelaskan bahwa seberapa besar pengaruh garam terhadap pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman (tumbuhan). Pengendalian kecepatan aliran angin dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni cara mekanik dan cara vegetatif (Caborn, 1957 dalam Sukresno, 2007). Membuat jalur hijau (greenbelt) sebagai tanggul angin (windbreak) sejajar garis pantai merupakan salah satu bentuk pengendalian angin dengan cara vegetatif. Metode vegetatif dapat bersifat sementara (dengan menanam tanaman semusim), maupun bersifat tetap (dengan menanam tanaman pohon, semak atau belukar) yang sesuai dengan kondisi setempat. Sedangkan untuk jenis pohon, umumnya jenis pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia) menjadi pilihan utama. Selain jenis tersebut, jenis ketapang, nyamplung, pandan dan kelapa juga dapat ditanam sebagai jalur pematah angin (Kartawinata, 1979; Sugiarto dan Ekariyono, 1996; Susdarmono, 2005 dalam Sukresno, 2007). Menurut Whistler dan Elevitch (2004) dalam Sukresno (2007) bahwa pada lahan berpasir tanaman yang cocok sebagai tanggul angin adalah cemara laut. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan diantaranya : 1) dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 800 m dpl., 2) toleran terhadap kekeringan hingga 6 bulan sampai 8 bulan., 3) dapat tumbuh bersamaan dengan tanaman lain di 2 wilayah pantai dan dataran rendah., 4) dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah termasuk tanah-tanah jelek, dangkal, tidak subur atau tanah dengan kadar garam tinggi., 5) merupakan tanaman yang dapat mengikat nitogen udara dengan bantuan Frankia sp., 6) merupakan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) dengan pertumbuhan dapat mencapai ketinggian 20 m sampai 30 m., 7) pemanfaatannya sebagai tanaman agroforestry untuk tanggul angin, penstabil tanah, pelindung pantai dan pagar. Penelitian tentang karakteristik dan efektivitas hutan pantai sebagai tanggul angin masih sedikit atau kurang (Takel et al., 2006). Vegetasi pantai dapat melindungi bangunan dan budidaya tanaman pertanian dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam dengan cara menghambat kecepatan dan memecah tekanan terpaan angin yang menuju ke permukiman penduduk. Mekanisme tersebut terjadi karena pohon-pohon di hutan pantai umumnya besar (tinggi) dan rindang (Goltenboth et al., 2006). Selain itu, keberadaan hutan pantai mampu memodifikasi iklim mikro pada daerah yang kecil dan menekan pergerakan salju, debu, dan pasir. Menurut Brandle et al. (2000) dalam Takle et al. (2006) bahwa ada beberapa karakteristik vegetasi pantai penting yang berkontribusi terhadap efektivitas hutan pantai sebagai tanggul angin. Faktorfaktor tersebut adalah tinggi (height), kerapatan (density), panjang (lenght), lebar atau ketebalan (widht), kontinyuitas (continuity), orientasi (orientation), dan bentuk penampang melintang (cross-sectional shape). Salah satu kawasan pesisir di Indonesia adalah pesisir Pantai Selatan Kebumen. Kawasan tersebut berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, yang berdampak pada kencangnya terpaan angin ke wilayah daratan di pesisir pantai. 3 Berdasarkan penelitian Yudono, dkk dalam Nugroho (2009), kecepatan angin mencapai 50 km/jam, sehingga mudah mencabut akar dan merobohkan tanaman. Selain itu, angin dari laut ini menghambat produksi hasil pertanian masyarakat yang ada di belakang pantai melalui proses nekrosis. Masyarakat disana ada yang berprofesi sebagai nelayan, tetapi sebagian besar adalah petani dan kekurangan lahan. Lahan berpasir ini merupakan salah satu yang digunakan untuk bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh rendah akibat besarnya terpaan angin dari laut yang membawa uap air yang mengandung garam. Tanah yang kadar garamnya tinggi dapat menyebabkan racun bagi tanaman karena kandungan Na yang tinggi. Upaya untuk mengurangi kencangnya angin dilakukan dengan pembangunan hutan pantai antara lain di Pantai Petanahan dengan jenis Casuarina equisetifolia. Penelitian tentang karakteristik hutan pantai terhadap pengurangan kecepatan angin di Pantai Petanahan belum dilakukan sehingga efektivitas fungsi hutan pantai sebagai tanggul angin belum diketahui. Hal inilah yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini dengan karakteristik hutan pantai yang diteliti yaitu tinggi, kerapatan, dan tebal tegakan. Tiga variabel inilah yang menurut Takle et al. (2006), memiliki pengaruh tinggi terhadap proteksi area. Sebagai kawasan pantai, Pantai Petanahan Kebumen memiliki 3 formasi yaitu formasi Baringtonia, formasi Pescaprae, dan formasi Dune. Semua formasi hutan pantai memiliki peran yang penting dalam pengurangan kecepatan angin. Namun dalam penelitian ini, ruang lingkup yang diteliti dibatasi pada formasi Baringtonia berupa tegakan Casuarina equisetifolia dalam mengurangi kecepatan angin. Hal ini dikarenakan peneliti ingin mengetahui manfaat dari pengurangan angin dari aspek sosial yaitu kondisi yang sesuai untuk lahan pertanian. 4 1.2. Rumusan Masalah Beberapa perumusan masalah yang di ajukan dalam penelitian ini adalah: Berapa besar pengurangan rata-rata kecepatan angin laut oleh tegakan Casuarina equisetifolia di Pantai Selatan Petanahan Kebumen? Bagaimana hubungan tinggi, kerapatan, dan tebal Jalur hijau (greenbelt) dengan penurunan kecepatan angin laut? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : Mengetahui pengurangan rata-rata kecepatan angin laut oleh tegakan Casuarina equisetifolia di Pantai Selatan Petanahan Kebumen. Mengetahui hubungan antara tinggi, kerapatan, dan tebal dari Jalur hijau (greenbelt) dengan penurunan kecepatan angin laut. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pengurangan rata-rata kecepatan angin laut di Pantai Selatan Petanahan Kebumen dan mengetahui bentuk jalur hijau yang paling efektif dalam mengurangi kecepatan angin laut sehingga pembuatan jalur hijau dapat produktif. Lahan yang produktif dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sosial ekonomi dan pariwisata, seperti lahan pertanian, permukiman, dan ekowisata. 5