studi perancangan sistem pengendalian kadar

advertisement
PENGARUH VARIASI KOMPOSISI DAN PROSES PENDINGINAN TERHADAP
KARAKTERISTIK MAGNET BARRIUM FERRITE
(Dyah Sawitri, ST, MT; Ratih Resti Astari)
Program Studi S-1 Teknik Fisika
Fakultas Teknologi Industri - Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Keputih Sukolilo – Surabaya 60111
ABSTRAK
Telah dilakukan proses pembuatan magnet Barrium Ferrite dengan menggunakan bahan dasar Fe 2O3 dan BaCO3
dengan variasi komposisi Fe2O3 dan BaCO3 dan proses pendinginan. Untuk variasi komposisi dilakukan variasi persen
massa BaCO3 terhadap Fe2O3 dan variasi proses pendinginan dilakukan dengan variasi media pendinginan yang
meninjau pada kecepatan pendinginannya. Dalam penelitian ini variasi komposisi yang digunakan adalah 5%, 10 %,
15%, 16,98% (komposisi ideal), 20%, 25% dan 30%. Sedangkan untuk variasi mesia pendinginan yang digunakan
adalah pendinginan di dalam furnace, pendinginan di udara terbuka, pendinginan dengan air (suhu kamar), dan
pendinginan dengan air 4oC. Karakterisasi yang dilakukan terhadap magnet Barrium Ferrite meliputi induksi remanen
(Br), densitas dan struktur mikro magnet. Nilai Br terbesar adalah 39,25 Gauss yang didapatkan pada komposisi ideal
(berdasarkan stoikiometri) dan pada proses pendinginan paling cepat dengan media air dingin 4oC. Sedangkan dari
hasil struktur mikro dapat dikaitkan hubungan antara ukuran butir dengan nilai induksi remanen yang dihasilkan oleh
tiap sampel.
.
Kata kunci: Barrium Ferrite, Induksi Remanen, Struktur Mikro.
perlakuan ini terhadap besarnya induksi remanen
magnet.
I
PENDAHULUAN
Penelitian tentang magnet telah banyak
dilakukan untuk mengetahui karakteristik sifat magnet.
Hal ini menjadi sangat penting, karena aplikasi magnet
dalam kehidupan manusia pun sangat luas. Bahan
magnet ferrite di alam banyak terdapat pada bijih besi,
biasanya berbentuk oksida besi (Fe2O3) yang disebut
hematite dan magnetite (Fe3O4). Hematite dan
magnetite memiliki karakteristik yang berbeda, dimana
hematite lebih sering digunakan sebagai bahan baku
dari magnet keras sedangkan magnetite merupakan
bahan baku dari magnet lunak. Perbedaan karakteristik
dari magnetite dan hematite tidak hanya dari fisiknya
namun juga struktur atom dan sifat kemagnetannya.
Magnetite memiliki kandungan besi yang lebih besar
(72%) daripada hematite (70%).
Pada pembuatan magnet keras, digunakan Fe2O3
yang akan dicampur dengan zat aditif berupa BaCO3
sehingga akan menghasilkan BaFe12O19. Dari
persamaan stoikiometri didapatkan perbandingan
massa campuran antara Fe2O3 dan BaCO3. Dari
perbandingan massa tersebut ditetapkan variasi
komposisi Fe2O3 dan BaCO3 yang lain berdasarkan
persen massa. Proses pembuatan magnet keras pada
penelitian ini menggunakan metalurgi serbuk. Proses
metalurgi serbuk meliputi proses preparasi serbuk,
pencampuran serbuk, kalsinasi, kompaksi dan
sintering. Pada penelitian-penelitian sebelumnya telah
banyak dianalisa pengaruh suhu kalsinasi, besarnya
tekanan kompaksi maupun suhu sintering, maka pada
penelitian ini akan difokuskan pada tahapan setelah
sintering,
yaitu
proses
pendinginan.
Proses
pendinginan yang berbeda akan diaplikasikan pada
sampel yang telah disintering. Proses pendinginan yang
digunakan adalah proses pendinginan sangat cepat
(dengan media air), pendinginan cepat (udara terbuka)
dan pendinginan lambat (tanpa udara luar/di dalam
furnace). Dari perlakuan yang berbeda ini diharapkan
dapat dianalisa struktur mikro dan hubungan pengaruh
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifat-sifat Magnet
Sifat-sifat yang terdapat dalam benda magnetik
antara lain adalah :
 Induksi remanen (Br)
Induksi magnetik yang tertinggal dalam sirkuit
magnetik (besi lunak) setelah memindahkan/
menghilangkan pengaruh bidang magnetik. Ketika
arus dialirkan pada sebuah kumparan yang melilit
besi lunak maka terjadi orientasi pada partikelpartikel yang ada dalam besi. Orientasi ini
mengubah/ mengarahkan pada kutub utara dan
selatan.
 Permeabilitas magnet (μ)
Daya hantar atau permeabilitas magnet (diberi
lambang μ) merupakan parameter bahan yang
menentukan besarnya fluks magnetik. Bahan
feromagnetik memiliki permeabilitas yang tinggi.
μ = μo x μr
(2.1)
dimana μo = 1,256 G.cm/A
Untuk bahan ferromagnetik, permeabilitas relatif μr
jenis bahan tersebut lebih besar daripada 1.
Permeabilitas dari beberapa media yang hendak
diukur
pada
prinsipnya
adalah
dengan
menempatkannya dalam suatu kawat yang lurus
dan panjang atau dalam gulungan yang melingkar
atau solenoida, kemudian diukur resultante induksi
kemagnetannya, sehingga diperoleh sebuah tetapan
baru µ dan diturunkan menjadi suseptibilitas relatif.
Dengan nilai suseptibilitas inilah maka akan dapat
diketahui jenis bahan magnet .
m
m =
1
=
μ
μo
1 untuk vakum
(2.2)
> 1 untuk bahan paramagnetik
< 1 untuk bahan diamagnetik
>> 1 untuk bahan ferromagnetik
lain dari bahan tersebut. Suseptibilitas magnetik
sebagian besar material tergantung pada
temperatur, tetapi beberapa material (feromagnetik
dan ferrite) tergantung pada H. Secara umum dapat
ditulis sebagai berikut:
 Gaya koersif (Hc)
Medan daya yang diperlukan untuk menghilangkan
induksi remanen setelah melalui proses induksi
elektromagnetik. Pada besi lunak atau soft magnetic
alloys besarnya gaya koersif yang diperlukan lebih
kecil daripada magnet permanen.
 Gaya gerak magnetis (Θ)
Gaya gerak magnetis ialah jumlah dari semua arus
dalam beberapa penghantar yang dilingkupi oleh
medan magnet (atau oleh garis fluks magnet)
 Fluks magnetik (Φ) Fluks magnetik total ialah
jumlah dari semua garis fluks magnetik; ini berarti
bahwa fluks sama besar disebelah dalam dalam dan
di sebelah luar kumparan.
 Reluktansi magnet (Rm)
Relukstansi magnet tergantung dari panjang jejak
fluks magnetik, bidang penampang lintang A yang
ditembus fluks magnetik dan sifat magnet bahan,
tempat medan magnet.
 Suseptibilitas Magnetik
Suatu solenoida panjang dengan n lilitan per
panjang satuan, menyalurkan arus I. Medan
magnetik akibat arus dalam solenoida tersebut
disebut sebagai medan yang dikerahkan, Bo. Bahan
berbentuk silinder kemudian ditempatkan di dalam
solenoida. Medan yang dikerahkan solenoida ini
akan memagnetkan bahan tersebut sehingga bahan
tersebut memiliki magnetisasi M. Medan magnet
resultan B di suatu titik di dalam solenoida dan di
tempat yang jauh dari ujung-ujungnya akibat arus
dalam solenoida ditambah bahan yang dimagnetkan
ini ialah [4]
B = B 0 + μ0 M
B = μ0H + μ0 M
B  0 ( H  M )  0 H  0  m H  0 (1   m ) H
dan
Dengan
m
persamaan
(2.8)
2.1,
2.7
B=μH
dan
2.8
(2.9)
0 adalah permeabilitas ruang hampa 1,256
gauss.cm/Ampere. Logam feromagnetik memiliki
permeabilitas magnetik sangat tinggi, mineral dan
batuan memiliki suseptibilitas kecil
dan
permeabilitas magnetik   1 .
Untuk
bahan
paramagnetik,
 m berupa
bilangan positif kecil yang bergantung pada
temperatur. Untuk bahan diamagnetik,  m berupa
konstanta negatif kecil yang tidak bergantung pada
temperatur. Persamaan (2.8) dan (2.9) tidak terlalu
berguna untuk bahan feromagnetik karena  m
bergantung pada B0 dan pada keadaan pemagnetan
bahan itu sebelumnya. Untuk medan magnet, H,
yang berjenis solenoida bisa diketahui dengan
persamaan
H = N x I/L
(2.10)
Dimana N adalah jumlah kumparan solenoida, I
adalah arus yang megalir, dan L adalah panjang
solenoida.
(2.3)
(2.4)
Semua bahan dapat diklasifikasikan jenis
kemagnetannya menjadi lima kategori yaitu
ferromagnetik,
paramagnetik,
diamagnetik,
antiferromagnetik, dan ferrimagnetik [Barsoum, 1997].
Semuanya dibedakan dari keteraturan arah domain
pada bahan magnet tersebut.
Untuk bahan paramagnetik dan feromagnetik, M
mempunyai arah yang yang sama dengan B0. Untuk
bahan paramagnetik dan feromagnetik pemagnetan
adalah berbanding lurus dengan medan magnetik
yang dikerahkan untuk menghasilkan penyearahan
dipol magnetik dalam bahan tersebut. Dengan
demikian dapat ditulis
B
M   m  0
 0
r  1   m
sehingga dari
didapatkan
(2.7)



a
(2.5)
b
c
merupakan bilangan tanpa dimensi
yang disebut suseptibilitas magnetik. Persamaan 2.6


B  B0 d 0 M  B0 1  e m
(2.6)
Gambar 1. arah domain (a) diamagnetik (b)
paramagnetik (c) ferromagnetic (d) antiferromagnetic
(e) ferrimagnetic
dengan demikian dapat dituliskan
Suseptibilitas magnetik adalah ukuran dasar
bagaimana sifat kemagnetan suatu bahan yang
merupakan sifat magnet bahan yang ditunjukkan
dengan adanya respon terhadap induksi medan
magnet yang merupakan rasio antara magnetisasi
dengan intensitas medan magnet. Dengan
mengetahui nilai suseptibilitas magnetik suatu
bahan, maka dapat diketahui sifat-sifat magnetik
1.
2
Diamagnetik
Bahan diamagnetik adalah bahan yang
resultan medan magnet atomis masing-masing
atom atau molekulnya nol, tetapi orbit dan
2.
3.
4.
5.
spinnya tidak nol (Halliday & Resnick, 1989).
Bahan diamagnetik tidak mempunyai momen
dipol magnet permanen. Jika bahan diamagnetik
diberi medan magnet luar, maka elektron-elektron
dalam atom akan berubah gerakannya sedemikian
hingga menghasilkan resultan medan magnet
atomis yang arahnya berlawanan.
Paramagnetik
Bahan paramagnetik adalah bahan yang
resultan medan magnet atomis masing-masing
atom/molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan
magnet atomis total seluruh atom/molekul dalam
bahan nol. Hal ini disebabkan karena gerakan
atom/molekul acak, sehingga resultan medan
magnet atomis masing-masing atom saling
meniadakan. Bahan ini jika diberi medan magnet
luar, maka elektron-elektronnya akan berusaha
sedemikian rupa sehingga resultan medan magnet
atomisnya searah dengan medan magnet luar.
Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen
magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan
magnet luar. Pada bahan ini, efek diamagnetik
(efek timbulnya medan magnet yang melawan
medan magnet penyebabnya) dapat timbul, tetapi
pengaruhnya sangat kecil.
Ferromagnetik
Bahan ferromagnetik adalah bahan yang
mempunyai resultan medan atomis besar. Hal ini
terutama disebabkan oleh momen magnetik spin
elektron. Pada bahan ferromagnetik banyak spin
elektron yang tidak berpasangan, misalnya pada
atom besi terdapat empat buah spin elektron yang
tidak berpasangan. Masing-masing spin elektron
yang tidak berpasangan ini akan memberikan
medan magnetik, sehingga total medan magnetik
yang dihasilkan oleh suatu atom lebih besar.
Antiferromagnetik
Jenis ini memiliki arah domain yang
berlawanan arah dan sama pada kedua arah. Arah
domain magnet tersebut berasal dari jenis atom
sama pada suatu kristal. Contohnya MnO, MnS,
dan FeS. Pada unsur dapat ditemui pada unsur
Cromium, tipe ini memiliki arah domain yang
menuju dua arah dan saling berkebalikan. Jenis
ini memiliki temperature Curie yang rendah
sekitar 37º C untuk menjadi paramagnetik.
Ferrimagnetik
Jenis tipe ini hanya dapat ditemukan pada
campuran dua unsur antara paramagnetik dan
ferromagnetik seperti magnet barium ferrite
dimana barium adalah jenis paramagnetik dan Fe
adalah jenis unsur yang masuk ferromagnetik.
Pada gambar 2 tampak bahwa kurva tidak
berbentuk garis lurus sehingga dapat dikatakan bahwa
hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan
kenaikan harga H, mula-mula B turut naik dengan
lancar, tetapi mulai dari satu titik tertentu harga H
hanya menghasilkan sedikit kenaikan B dan makin
lama B hampir konstan. Keadaan ini disebut dengan
kedaan saturasi, yaitu keadaan di mana medan magnet
B tidak banyak berubah. Harga medan magnet untuk
keadaan saturasi disebut dengan Bs atau medan magnet
saturasi.
Gambar 2. Kurva induksi normal
Gambar 3. Kurva Histeresis magnetik
Pada gambar 2.7 tampak bahwa setelah mencapai
nol harga intensitas magnet H dibuat negatif (dengan
membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong
sumbu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang
diperlukan untuk membuat rapat fluks B=0 atau
menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet
Hc ini disebut koersivitas bahan.
Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga
negatif sampai mencapai saturasi dan dikembalikan
melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada
harga H positif hingga saturasi kembali, makakurva
B(H) akan membentuk satu lintasan tertutup yang
disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai
koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang.
Bahan seperti itu baik untuk membuat magnet
permanen.
2.5 Teknologi Serbuk
Secara prinsip ada dua metode utama yang
digunakan untuk membuat magnet. Pertama
menggunakan teknologi pengecoran atau pelelehan,
dan yang kedua adalah dengan menggunakan teknologi
serbuk. Produksi magnet dengan teknologi pengecoran
biasanya menghasilkan bahan magnet yang lebih baik,
tetapi dalam beberapa prosesnya memerlukan energi
panas yang sangat besar sehingga dipandang tidak
efisien. Sedangkan produksi dengan teknologi serbuk,
meski sifat kemagnetan yang diperoleh bukan yang
tertinggi,tetapi dalam pengerjaannya lebih mudah dan
lebih efisien. Dalam prakteknya, pembuatan magnet
2.3 Kurva Histerisis
Untuk bahan ferromagnetik magnetisasi bahan M
tidaklah berbanding lurus dengan intensitas magnet H.
Hal ini tampak dari kenyataan bahwa harga
suseptibilitas magnetik Km bergantung dari harga
intensitas magnet H. Bentuk umum kurva medan
magnet B sebagai fungsi intensitas magnet H terlihat
pada gambar 2 kurva B(H) seperti ini disebut kurva
induksi normal.
3
dengan cara kedua ini memerlukan bahan dasar berupa
serbuk yang berukuran sangat kecil, yaitu dalam orde
micrometer (10-6m). Ukuran serbuk sekecil ini
diperlukan agar komponen-komponen pembentuk
bahan magnet dapat saling berdeposisi (bereaksi)
ketika bahan mengalami pemanasan (kalsinasi).
Sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa peneliti,
penyediaan serbuk bahan magnetik yang halus
biasanya dilakukan dengan menggunakan mesin ball
milling. Teknologi serbuk adalah teknik pembuatan
logam dengan bahan dasar berupa serbuk halus yang
kemudian dipress dalam suatu cetakan dan kemudian
disinter di bawah titik cairnya.
Langkah – langkah pada fabrikasi magnet dengan
metode serbuk adalah:

Preparasi serbuk
Bahan untuk membuat magnet disiapkan, yaitu
Fe2O3 dan BaCO3. Bahan tersebut berupa serbuk
yang dihaluskan terlebih dahulu hingga ukuran
400mesh.
Kemudian
ditimbang
sesuai
perbandingan komposisi yang sesuai.

Pencampuran serbuk
Bahan – bahan yang telah disiapkan kemudian
dilakukan pencampuran kering hingga merata.
Kemudian campuran tersebut ditambahkan
larutan untuk meratakanya. Setelah itu hasil
campuran yang berupa slurry (lumpur)
dikeringkan dalam oven pada temperatur 100 C,
dengan tujuan untuk menghilangkan alkohol.

Kalsinasi
Kalsinasi yaitu proses pemanasan dengan
menggunakan furnace untuk membentuk senyawa
dari bahan – bahan yang telah dicampu.Hasil
kalsinasi berupa gumpalan padat, sehingga perlu
dihaluskan kembali dengan mortar agar menjadi
serbuk kembali. Proses kalsinasi adalah
pemanasan pada suhu tinggi yang fungsinyauntuk
menguraikan garam-garam menjadi oksida. Selain
itu
kalsinasi
juga
dimaksudkan
untuk
memperbesar ukuran butir dari butiran halus yang
sifat packingnya kurang baik dan proses ini juga
sangat mempengaruhi sifat akhir ferit.

Kompaksi
Kompaksi adalah merupakan proses pencetakan
atau peletisasi bahan magnet keramik dengan
tekanan. Bahan yang yang telah dihaluskan
dimasukkan cetakan kemudian ditekan untuk
beberapa waktu. Sehingga bahan yang berupa
serbuk akan menyatu. Penekanan adalah salah
satu cara untuk memadatkan serbuk menjadi
bentuk yang diinginkan.

Pensinteran
Pensinteran adalah proses pengikatan partikel2
oleh panas. Pensinteran adalah proses aglomerasi
utama untuk hampir semua jenis keramik (kecuali
gelas), untuk membuat produk-produk logam
serbuk dan untuk mengikat material polimerik
tertentu (misalnya teflon). tanpa adanya cairan
sama dengan prinsip pertumbuhan butir, yaitu
pengurangan energi permukaan dan energi batas,
sehingga akan meminimalkan daerah batas.
III METODOLOGI PENELITIAN
Diagram alir penelitian ini adalah sebagai
berikut.
START
Fe3O4
PENGAYAKAN
PEMANASAN Fe3O4
Fe2O3
PENCAMPURAN Fe2O3 + BaCO3
KALSINASI
KOMPAKSI
SINTERING
VARIASI PROSES PENDINGINAN
MAGNETISASI
PENGUJIAN INDUKSI
REMANEN
PENGUJIAN
DENSITAS
PENGUJIAN STRUKTUR
MIKRO
ANALISA DATA
KESIMPULAN
STOP
Gambar 6. Diagram alir penelitian
3.1 Peralatan dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
 Fe3O4
 BaCO3
 Ayakan 400 mesh
 Timbangan
 Mortar
 Cetakan
 Penekan hidrolik
 Furnace
 alat kompaksi
3.2 Langkah-langkah Pembuatan Sampel
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan
sampel ini adalah sebagai berikut :
1. Penghalusan
Serbuk Fe3O4 dihaluskan dengan menggunakan
mortar hingga partikelnya mencapai ukuran 400
mesh atau 38 μm. Agar ukuran serbuk merata maka
dilakukan pengayakan menggunakan ayakan
dengan ukuran 400 mesh.
2. Pemanasan Fe3O4
Setelah ukuran serbuk Fe3O4 mencapai 400 mesh
maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah
4
memanaskan Fe3O4 di atas suhu 300o C agar Fe3O4
berubah menjadi Fe2O3 akibat proses pemanasan
tersebut. Hal ini ditandai dengan perubahan warna
serbuk Fe3O4 yang berwarna hitam berubah
menjadi Fe2O3 yang berwarna merah bata.
3. Pencampuran bahan dasar
Fe2O3 hasil pemanasan dicampur dengan serbuk
BaCO3 yang merupakan zat aditif dalam pembuatan
magnet permanen ini.
5. Kompaksi
Serbuk campuran yang telah dikalsinasi dan telah
dihaluskan kembali, dimasukkan dalam cetakan
besi. Cetakan dapat menekan dua arah, berdimeter
1,2 cm. Tekanan kompaksi yang digunakan 4 ton
dan ditahan sekitar 5 menit.
6. Sintering
Hasil cetakan kemudian dimasukkan ke dalam
tungku Furnace pada temperatur 1200 °C dengan
holding time 45 menit. Dengan laju pemansan dan
pendinginan sekitar 10 °C/menit. Sebelum
mencapai suhu yang diinginkan, pada saat suhu
sampai temperatur 500 °C ditahan selama 30 menit
dengan laju pemanasan 10°C/menit ketika suhu
mencapai 1100 °C kemudian ditahan selama 45
menit, kemudian pemanasan turun sampai 475 °C
dengan laju 40 °C/menit.
Gambar 7. Fe2O3 dan BaCO3
Pencampuran dilakukan dengan memvariasikan
komposisi massa BaCO3 dan Fe2O3 yaitu sebesar
5%, 10% ,15, 16,98% (komposisi ideal), 20%,
25% dan 30%. Sedangkan variasi komposisi antara
BaCO3 dan Fe2O3 sebagai berikut :
BaCO3
Persentase (%)
(gr)
5
10
15
16,67
20
25
30
1
2
3
1
4
5
6
T (oC)
1100 oC
500 oC
½ jam
Fe2O3
(gr)
45 menit
t (jam)
Gambar 9. Diagram perlakuan panas pada
proses sintering
19
18
17
4,89
16
15
14
7. Perlakuan pendinginan yang berbeda
Setelah disintering maka sampel-sampel magnet
dikenai perlakuan pendinginan yang berbeda.
Terdapat tiga perlakuan proses pendinginan yaitu
proses pendinginan lambat, cepat dan sangat cepat.
Pada proses pendinginan lambat, sampel dibiarkan
di dalam furnace hingga mencapai suhu ruang.
Pada proses pendinginan cepat, sampel diletakkan
di udara terbuka hingga mencapai suhu normal.
Sedangkan pada proses pendinginan sangat cepat,
sampel dimasukkan ke dalam air suhu normal.
8. Magnetisasi
Magnetisasi dilakukan dengan menggunakan
solenoida yang menggunakan 750 lilitan selama 10
menit dengan arus yang dikeluarkan sebesar 1
Ampere.
9. Pengujian
Pengujian yang dilakukan meliputi pengukuran
induksi remanen, pengukuran densitas dan
pengamatan struktur mikro magnet.
 Pengukuran induksi remanen dilakukan dengan
menggunakan Gaussmeter.
Pencampuran dilakukan dengan menggerus BaCO3
dan Fe2O3 hingga tercampur rata dengan
menggunakan mortar. Kemudian pencampuran
selanjutnya dilakukan di dalam larutan alkohol.
Dengan kondisi 40% padatan dan 60% alkohol dan
dipanaskan di atas magnetic stirrer dengan suhu
100o C untuk menghilangkan alkohol. Kemudia
hasilnya digerus dengan menggunakan mortar agar
tidak menggumpal.
4. Kalsinasi
Setelah bijih besi dan BaCO3 dicampur, dilakukan
kalsinasi dikalsinasi dalam furnace dengan laju
pemanasan 10 °C/menit sampai temperatur 500 °C
ditahan selama 30 menit. Pemanasan dilakukan
pada temperatur 1000 °C ditahan selama 3 jam,
kemudian pemanasan turun sampai 475 °C dengan
laju 40 °C/menit. Hasil kalsinasi berbentuk
gumpalan sehingga perlu digerus kembali hingga
tidak menggumpal lagi.
Gambar 10. Gaussmeter
T (oC)
 Pengukuran densitas dilakukan dengan metode
sederhana yaitu dengan pengukuran massa dan
volume sehingga dapat diketahui densitasnya.
 Untuk pengambilan data struktur mikro
dilakukan dengan tahapan preparasi sampel
magnet terlebih dahulu selanjutnya dilakukan
pengambilan gambar struktur mikro magnet
dengan menggunakan mikroskor digital dengan
1000 oC
o
500 C
½ jam
3 jam
t (jam)
Gambar 8. Diagram perlakuan panas pada
kalsinasi
5
perbesaran 400x. Zat etsa yang digunakan
dalam preparasi sampel adalah HNO3.
 Pengukuran permeabilitas (μ) magnet dilakukan
dengan membandingkan nilai B dan H
(persamaan 2.9). Nilai H diketahui dengan
perhitungan sama dengan persamaan 2.10.
Media Pendinginan 2 =
air
cooling,
proses
pendinginan lambat di udara
terbuka.
Media Pendinginan 3 = water
cooling,
proses
pendinginan cepat di dalam
air suhu kamar
Media Pendinginan 4 = cold water cooling, proses
pendinginan sangat cepat
dengan menggunakan air
4oC.
IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisa Data
Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian
induksi remanen magnet, densitas, dan struktur mikro
magnet.
30
25
4.1.1 hasil pengujian induksi remanen
Pengujian induksi remanen dilakukan dengan
menggunakan
gaussmeter
setelah
sampel
dimagnetisasi. Berikut merupakan hasil pengukuran
dengan menggunakan Gaussmeter.
20
Br
15
(Gs)
10
5
Tabel 4.1 Induksi Remanen Sampel Setelah
Magnetisasi
media pendinginan
Air
komposisi
Udara
Air
Furnace
(suhu
Terbuka
(4oC)
kamar)
5%
2,67
3,83
4
8,37
10%
7
8
11
12,1
15%
15,7
24
25,8 27,17
16,98%
17,7
24,78
29,3 39,25
20%
3,5
6
11
15
25%
2,5
3,75
7
8
30%
3
3
7
8
0
0
komposisi 10%
komposisi 15%
komposisi
16,98%
komposisi 20%
20
10
0
0
1
2
3
4
40
Dari grafik 4.1, hubungan proses pendinginan
terhadap induksi remanen (Br), terlihat bahwa grafik
akan semakin naik untuk setiap komposisi, dengan
media pendinginan furnace hingga media pendinginan
air dingin 4oC. Sumbu x pada grafik 4.1 merupakan
variasi proses pendinginan yang dilakukan terhadap
sampel setelah disintering, dimana variasi proses
pendinginan berdasarkan media pendinginanya
berpengaruh terhadap laju pendinginan sampel.
Sehingga dari sumbu x paling kiri ke kanan
mengindikasikan laju peninginan yang semakin cepat.
Nilai Br tertinggi didapatkan pada komposisi 16,98%
dengan proses pendinginan di dalam air suhu 4 0C yaitu
sebesar 39,25 Gs. Dan nilai Br terendah didapatkan
pada komposisi 25% dengan proses pendinginan di
dalam furnace dengan nilai 2,5 Gs.
Grafik 4.2 memproyeksikan nilai Br yang telah
dirata-rata sebagai fungsi komposisi. Terlihat bahwa
grafik membentuk puncak, dimana puncak tertinggi
diperoleh pada komposisi 16,98%. Untuk persen massa
BaCO3 dari komposisi 5% hingga komposisi 16,98%
mengalami peningkatan, namun untuk komposisi di
atas 16,98% yaitu 20%, 25% dan 30% mengalami
penurunan secara berturut-turut. Sehingga untuk grafik
4.1 dan grafik 4.2 memiliki kecenderungan bahwa Br
akan semakin meningkat sesuai dengan peningkatan
komposisi persen massa BaCO3 dan semakin cepatnya
proses pendinginan.
komposisi 5%
Br
30
Gambar 4.2 Hubungan Komposisi terhadap Br
50
30
20
Komposisi (%)
Hasil pengukuran Gaussmeter terhadap
sampel magnet yang telah dibuat menghasilkan nilai Br
yang dapat dilihat pada tabel 4.1. Dibuat rata-rata nilai
Br untuk tiap sampel yang mengalami proses
pendinginan yang sama. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dalam penganalisaan data. Dari hasil
pada tabel 4.1 inilah dibuat grafik 4.1 dan 4.2 sebagai
proyeksi dari data yang ada.
40
10
5
media pendinginan
4.1.2 Hasil pengukuran densitas magnet
Pengukuran densitas sampel magnet dilakukan
dengan melakukan pengukuran massa dan volume
sampel terlebih dulu. Pengukuran volume dilakukan
dengan
menggunakan
hukum
Archimedes
menggunakan gelas ukur yang diisi air dan volume
sampel dihitung berdasarkan volume air yang naik
Gambar 4.1 Hubungan Proses Pendinginan terhadap Br
Keterangan :
Media Pendinginan 1 = furnace
cooling,
proses
pendinginan sangat lambat di
dalam furnace.
6
ketika sampel magnet dicelupkan. Berikut merupakan
data-data hasil pengukuran sampel.
pendinginan di udara terbuka dan proses pendinginan
di dalam furnace.
Tabel 4.2 Densitas Sampel Magnet (gr/cm3)
proses pendinginan
komposisi
udara
Air (suhu
Air
furnace
terbuka
kamar)
(4oC)
5%
3,67
4,16
3,11
3,79
10%
3,65
3,84
4,03
3,76
15%
3,83
4,22
3,52
3,88
16,98%
4,21
4,14
4,23
3,9
20%
3,51
3,43
3,51
3,71
25%
3,81
3,46
3,61
3,87
30%
3,69
5,41
3,41
3,61
4.1.4 Hasil pengukuran permeabilitas magnet
Permeabilitas (μ) dapat diperoleh dengan
membandingkan nilai B dan H. Perhitungan nilai H
adalah sebagai berikut.
N
=
750
I
=
1A
L
=
3 cm
𝑁. 𝐼
𝐿
750.1
=
3
𝐻 =
= 250 A/cm
6
5.5
Sehingga nilai H adalah 250 A/cm.
komposisi
5%
komposisi
10%
komposisi
15%
komposisi
16,67%
komposisi
20%
5
4.5
Densitas
(gr/cm3)
4
3.5
Nilai B dapat dilihat pada tabel 4.3 berbeda
dengan nilai Br yang ada pada tabel 4.1. Nilai B ini
diperoleh dengan pengukuran dengan menggunakan
Gaussmeter pada kondisi sampel magnet sedang
dimagnetisasi sehingga diperoleh nilai induksi.
Sedangkan nilai Br merupakan nilai induksi remanen
yang diukur pada saat magnetisasi telah dilepaskan.
Dari nilai H yang telah dihitung di atas, maka dapat
diperoleh nilai μ. Nilai μ yang dihitung adalah hasil
terbaik dari pengukuran nilai Br.
3
2.5
0
1
2
3
Media Pendinginan
4
5
Gambar 4.3 Hubungan Proses Pendinginan terhadap
Densitas
Tabel 4.3 Permeabilitas (μ) Magnet
Induksi
Permeabilitas,
Magnet,
komposisi
μ
B
(gauss.cm/A)
(Gauss)
5%
440
1,76
10%
460
1,84
15%
465
1,86
16,98%
480
1,92
20%
465
1,86
25%
440
1,76
30%
425
1,7
Dari hasil perhitungangan perbandingan massa
dan volume maka akan didapatkan densitas tiap-tiap
sampel yang ada di tabel 4.2. Dari tabel ini dapat
digambarkan hasilnya melalui grafik 4.3 yang
menghubungkan antara proses pendinginan terhadap
densitas. Terlihat bahwa grafik tidak stabil dan terus
berosilasi tanpa menunjukkan pola tertentu sebagai
fungsi pendinginan terhadap densitas. Nilai densitas
tertinggi dimiliki oleh komposisi 30% dengan proses
pendinginan di dalam air (suhu kamar) dengan nilai
5,41 gr/cm3. Sedangkan nilai densitas terendah dimiliki
oleh komposisi 5% dengan proses pendinginan di
dalam air (suhu kamar) dengan nilai sebesar 3,11
gr/cm3 dan nilai densitas tertinggi terdapat pada proses
pendinginan di udara terbuka dengan nilai densitas
4,09 gr/cm3.
Dari hasil pengukuran permeabilitas magnet yang ada,
kemudian dibandingkan dengan μ0 yaitu sebesar 1,256
(gauss.cm/A). Dari hasil pengukuran yang telah
dilakukan, diperoleh hasil μ > μ0. Dari teori yang ada,
maka bahan dapat dikategorikan sebagai ferrimagnetik,
dimana nilai μ nya lebih kecil jika dibandingkan bahan
ferromagnetik dan lebih besar dari bahan
paramagnetik. Bahan paramagnetik memiliki nilai μ >
μ0 sedangkan ferromagnetik μ
>> μ0. Bahan
ferrimagnetik merupakan campuran dua unsur, yaitu
paramagnetik dan ferromagnetik. Dimana Ba
merupakan jenis paramagnetik dan Fe merupakan jenis
ferromagnetik. Dari hasil perpaduan inilah maka akan
menghasilkan magnet dengan arah domain magnetik
yang berlawanan arah dan tidak seimbang yaitu salah
satu atom lebih lemah dari atom yang lain.
4.1.3 Hasil pengujian struktur mikro (terlampir)
Pengujian struktur mikro dilakukan dengan
menggunakan mikroskop digital (micro usb) yang ada
di Laboratorium Rekayasa Bahan dengan perbesaran
400x. Sebelumnya dilakukan preparasi serbuk yaitu
grinding, polishing dan etsa. Zat etsa yang digunakan
adalah HNO3. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada
halaman lampiran. Untuk setiap jenis proses
pendinginan akan menghasilkan ukuran butir yang
berbeda.Ukuran butir dari yang terhalus hingga yang
terkasar berturut-turut terbentuk dari proses
pendinginan paling cepat yaitu menggunakan air
dengan suhu 4oC, proses pendinginan dengan
menggunakan air dengan suhu kamar, proses
7
4.2 Interpretasi Hasil Analisa Data
Dari analisa data yang didapatkan dari
pengujian di atas, maka dapat dilakukan pembahasan
mengenai pengaruh variasi komposisi dan proses
pendinginan terhadap karakteristik magnet Barrium
Ferrite.
4.2.2 Pengaruh variasi proses pendinginan terhadap
sifat magnet
Dari hasil analisa data yang telah dilakukan,
didapatkan hasil bahwa proses pendinginan terbaik
yang menghasilkan induksi remanen paling besar
adalah pendinginan sangat cepat dengan menggunakan
air dingin dengan suhu 4oC. Dari grafik hubungan
proses pendinginan terhadap induksi remanen (grafik
4.1) dapat dinyatakan bahwa antara proses pendinginan
dan induksi remanen berbanding lurus. Yakni semakin
cepat proses pendinginan yang dikenakan pada magnet
maka semakin besar nilai induksi remanennya. Telah
dijelaskan pada subbab 4.2.1 bahwa variasi proses
pendinginan yang berbeda berdampak pada
pertumbuhan ukuran butir magnet. Ukuran butir yang
berbeda inilah yang mempengaruhi perbedaan nilai
induksi remanen untuk setiap sampel magnet. Pada
proses pendinginan yang paling cepat yaitu
menggunakan air dingin 4oC mempunyai ukuran butir
paling halus dan memliki nilai induksi remanen yang
paling besar, yaitu 39,25 Gauss. Pada saat magnetisasi
dilakukan, sampel magnet BaFe12O19 mendapatkan
medan eksternal yang mengakibatkan garis-garis gaya
yang berdekatan dihimpun di dalam material tersebut
sehingga
meningkatkan
densitas
fluks/terjadi
peningkatan induksi magnetik. Untuk magnet keras,
ketika medan magnet dihilangkan sebagian besar
induksi dipertahankan agar menghasilkan induksi
remanen Br. Domain-domain dari magnet keras inilah
yang mempertahankan magnetisasi setelah medan
eksternal dihilangkan. Hal ini dikarenakan pada sampel
dengan ukuran butir yang halus, batas domain tidak
dapat bergerak secara mudah melewati batas butir.
Semakin kecil ukuran butir, maka akan semakin
banyak batas butir, maka berakibat semakin banyak
energi yang diperlukan untuk melewatinya sehingga
membuat batas domain terkunci dan terhalang
pergerakannya. Hal inilah yang membuat batas domain
mempertahankan magnetisasi yang ada. Dengan
mikrostruktur butir yang semakin halus maka akan
semakin
besar
kemampuannya
menghambat
pergerakan batas domain. Seperti pada proses
pengerjaan dingin pada baja, dimana pengerasan
regangan menghasilkan dislokasi-dislokasi yang
mengunci batas domain. Jadi remanensi Br tetap tinggi
dengan H=nol, sehingga diperlukan medan koersif
mayor, -Hc, untuk menghilangkan induksi. Maka dari
itu, pergerakan batas domain bukan hanya suatu
orientasi terhadap polaritas N-S, tetapi juga
membutuhkan perpindahan atom yang juga
memerlukan suatu energi. Untuk mendapatkan
perbandingan yang lebih jelas, maka dapat
dibandingkan magnet keras dan magnet lunak. Pada
magnet lunak material yang baik untuk digunakan
adalah yang berfasa tunggal, dianil serta berbutir kasar
agar batas bisa bergerak dengan mudah untuk
mencapai permeabilitas yang tinggi (saturasi oleh
medan magnetik kecil). Agar domain dapat tumbuh,
batas-batas domain harus bergerak agar bisa
memperbesar domain yang orientasinya lebih
menguntungkan. Batas-batas ini dapat bergerak dengan
mudah di dalam kristal tunggal, namun tidak bisa bisa
4.2.1 Pengaruh variasi komposisi terhadap sifat
magnet
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dari grafik
4.1 dan 4.2 terlihat nilai Br akan semakin meningkat
dari komposisi 5% hingga 16,98% dan akan
mengalami penurunan untuk komposisi di atas 16,98%.
Terlihat jelas bahwa komposisi ideal berdasarkan
stoikiometri (16,98%) menghasilkan induksi remanen
yang terbesar. Hasil induksi remanen yang besar
disebabkan karena komposisi 16,98% merupakan
komposisi yang paling sempurna.
BaCO3 yang merupakan zat aditif berfungsi
untuk menghambat tumbuhnya domain agar tidak
membesar. Hal inilah yang menyebabkan semakin
banyak campuran BaCO3 maka semakin besar nilai
induksi remanennya. Namun ini hanya berlaku untuk
komposisi persen massa BaCO3 di bawah komposisi
ideal, yaitu di bawah 16,98%. Khususnya dalam
penelitian ini, komposisi 5%, 10% dan 15% memiliki
nilai induksi remanen yang lebih rendah dibandingkan
komposisi 16,98%. Untuk persen massa di atas 16,98%
ternyata menghasilkan nilai induksi remanen semakin
kecil sebanding dengan semakin meningkatnya persen
massa BaCO3.
Komposisi ideal antara BaCO3 dan Fe2O3,
membuat kinerja reaksi BaCO3 dalam menghambat
tumbuhnya domain agar tidak membesar semakin
sempurna dan merupakan perbandingan komposisi
yang paling baik dalam penelitian ini. Namun untuk
persen massa BaCO3 yang semakin besa atau di atas
komposisi ideal ternyata semakin menurunkan nilai Br.
Dari sini dapat terlihat bahwa batas penggunaan terbaik
komposisi BaCO3 untuk menghasilkan magnet dengan
kualitas Br yang tinggi adalah pada komposisi ideal.
Semakin besar persen massa BaCO3 maka akan
semakin kecil kadar Fe2O3, dan ini menghasilkan
campuran yang tidak baik.
Sedangkan pada uji densitas, tidak terlihat pola
kecenderungan tertentu pada grafik. Sehingga tidak
dapat ditarik kesimpulan mengenai hubungan densitas
sebagai fungsi komposisi untuk penelitian ini. Nilai
densitas yang fluktuatif terhadap fungsi komposisi ini
dapat disebabkan karena adanya pengotor di dalam
sampel magnet. Pengotor ini dapat disebabkan pada
saat pencampuran bahan, pada saat kompaksi ataupun
pada saat sintering.
Sedangkan untuk melihat pengaruh variasi
komposisi terhadap struktur mikro sampel magnet
membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi. Dalam
penelitian ini struktur mikro yang didapatkan sebagai
hasil variasi komposisi tidak dapat dibandingkan satu
sama lain, karena perbedaannya yang hampir tidak
kelihatan. Untuk melihat struktur mikro akibat variasi
komposisi diperlukan Scanning Electron Microscope
(SEM). Hal ini berkaitan dengan perbesaran
mikroskopnya yang lebih besar.
8
bergerak melintasi batas butir atau batas fasa.
Demikian pula, dislokasi akan mengunci batas domain
dan mencegah pergerakannya. Pergerakan batas
domain yang mudah diperlukan untuk menghasilkan
remanen rendah dan medan koersif yang diperlukan
magnet lunak
Dari hasil analisa data yang didapatkan, ternyata
pola yang dihasilkan oleh grafik tidak menyatakan
kecenderungan
tertentu.
Densitas
menyatakan
kerapatan partikel di dalam sampel magnet. Dengan
pengukuran sederhana melalui perbandingan massa
dan volume didapatkan nilai densitas sampel. Semakin
tinggi nilai densitas sampel magnet, maka semakin
bagus kualitas sampel magnet tersebut. Densitas
magnet dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya
adalah perlakuan pada saat kompaksi yaitu meliputi
beban penekanan dan lama penahanan pada saat
penekanan serta perlakuan panas/sintering yang
meliputi temperatur pemanasan, lama penahanan dan
kecepatan pendinginan. Pada saat kompaksi, sampel
diberikan beban penekanan dan waktu tahan penekanan
yang sama, yaitu 4 ton dengan lama waktu tahan
masing-masing 5 menit setiap sampel. Pada saat
kompaksi terjadi suatu proses pemadatan atau
pengikatan sementara secara mekanik antara butiran
partikel menjadi suatu massa yang kompak. Semakin
tinggi nilai beban penekanan maka didapatkan sampel
yang semakin padat dengan nilai densitas yang
semakin tinggi pula. Pada saat proses sintering,
temperatur dan waktu tahan diperlakukan sama yaitu
pada suhu 1100oC dengan waktu tahan 45 menit. Pada
saat inilah terjadi eliminasi porositas. Proses
penghilangan porositas dilakukan melalui transport
massa. Jika dua partikel digabung dan dipanaskan pada
suhu tertentu dua partikel ini akan berikatan bersamasama dan akan membentuk neck. Pertumbuhan
disebabkan oleh transport yang meliputi evaporasi,
kondensasi, difusi. Hal inilah yang menyebabkan
sampel magnet semakin kompak dan densitas bahan
semakin meningkat. Selanjutnya adalah pada perlakuan
pendinginan, sebenarnya terjadi penyusutan bahan,
akibat kecepatan pendinginan yag berbeda akibat
media pendinginan yang berbeda. Namun berdasarkan
hasil perhitungan densitas dan grafik 4.3, tidak terlihat
hubungan antara proses pendinginan yang berbeda
dengan nilai densitas sampel magnet. Hal ini dapat
disebabkan akibat kurang sempurnanya proses
pendinginan yang dilakukan terhadap sampel magnet
dan adanya pengotor pada sampel magnet. Ataupun
kekurangtelitian pengukuran volume sampel, hal ini
dikarenakan gelas ukur yang digunakan memiliki
ketelitian yang rendah. Sedangkan selisih antar sampel
sangat kecil, dan membutuhkan ketelitian yang tinggi.
Hal ini menyebabkan kekurangakuratan dalam
perhitungan volume sampel sehingga nilai densitas
sampel yang didapatkan kurang akurat. Karena
ketidaksesuaian data maka tidak dapat dihubungkan
antara hasil densitas sampel dengan nilai induksi
remanen sampel magnet yang telah didapatkan.
Dilakukannya uji struktur mikro ini bertujuan
untuk melihat butir yang terbentuk pada sampel
magnet dengan proses pendinginan yang berbeda. Dari
hasil analisa data yang telah dilakukan, didapatkan
hasil bahwa semakin cepat proses pendinginan akan
mengakibatkan semakin halus butir/semakin kecil
ukuran butir yang terbentuk. Hal ini berkaitan dengan
pembutiran yang terjadi akibat perlakuan panas yang
diberikan pada sampel. Pertumbuhan butir terjadi pada
saat sampel mulai disintering. Parameter sintering
diantaranya adalah temperatur, waktu penahanan,
kecepatan pendinginan, kecepatan pemanasan dan
atmosfir. Pada saat sintering butir mulai tumbuh
membesar dan mengalami necking seiring dengan
bertambahnya temperatur. Dengan proses pendinginan
yang berbeda, bertujuan untuk mempengaruhi ukuran
butir dari segi kecepatan pendinginan. Kecepatan
pendinginan tercepat dengan medium air dingin 4 oC
menghasilkan ukuran butir yang paling halus di antara
yang lain. Hal ini dikarenakan butir tidak sempat
berkembang akibat proses pendinginan yang mendadak
sehingga butir menjadi halus. Proses pendinginan yang
lambat menyebabkan butir memiliki kesempatan untuk
berkembang sehingga berukuran besar/kasar. Proses
pendinginan di dalam furnace adalah proses
pendinginan yang paling lambat, karena sampel
didinginkan secara tertutup dari suhu sintering 1100 oC
hingga mencapai suhu normal/suhu kamar. Hal inilah
yang menyebabkan butir pada sampel dengan jenis
pendinginan ini dapat memiliki butir yang paling besar
akibat proses pendinginan sempurna. Dapat dikatakan,
bahwa untuk mendapatkan ukuran butir sesuai dengan
yang diinginkan, maka dapat diperoleh dari pengaturan
kecepatan pendinginan melalui pemilihan medium
pendinginan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian tugas akhir ini telah dilakukan
variasi komposisi dan proses pendinginan terhadap
magnet Barrium Ferrite. Berdasarkan data yang
diperoleh dan pembahasan maka dapat diambil
kesimpulan bahwa,

Komposisi ideal Fe2O3 dan BaCO3 berdasarkan
stoikiometri merupakan komposisi terbaik untuk
menghasilkan nilai Br tertinggi.

Semakin cepat laju pendinginan maka nilai Br
akan semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin
cepat proses pendinginan, maka butir akan
semakin kecil dan nilai Br pun akan semakin
meningkat

Nilai Br terbesar adalah 39,25 Gauss pada
komposisi
16,98% BaCO3 dan proses
pendinginan dengan air dingin 4oC.

Nilai permeabilitas terbaik diperoleh pada
komposisi 16,98% sebesar 1,92 G.cm/A. Nilai
permeabilitas yang diperoleh menunjukkan bahwa
μ > μ0, hal ini menunjukkan bahwa magnet
Barium Ferrite merupakan bahan ferrimagnetik.
5.2 Saran
Untuk mendapatkan magnet Barrium Ferrite
dengan karakteristik yang lebih baik, maka yang dapat
menjadi masukan adalah sebagai berikut.
9

Proses sintering hendaknya dilakukan di dalam
furnace yang kondisinya benar-benar steril dan
bebas
dari
pengotor
sehingga
tidak
mempengaruhi kualitas magnet yang dihasilkan.
5.1 DAFTAR PUSTAKA
[1] Vlack, Lawrence H. Van. 2004. Elemen-elemen
Ilmu dan Rekayasa Material. Diterjemahkan
oleh Sriati Djaprie. Jakarta : Erlangga.
[2] Cullity, B.D. 1972, Introduction to Magnetic
Material. USA, Addison Wesley.
[3] Kasap, S.O. 2000. Principles of Electrical
Engiineering Materials and Devices.
Singapore. Mc Graw Hill.
[4] Hidayat, Taufik. 2008.
Fabrikasi Magnet
Permanen Berbahan Dasar Pasir Besi
Lumajang, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya.
[5] Setyoko, Agus. 2009. Peningkatan Prosentase
Fe2O3 Dari Pasir Besi Sebagai Bahan Baku
Magnet Permanen Keramik Dengan
Metode Hydrothermal Oxidation, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
[6] Zulkifly, Akhmad. 2008. Pengaruh variasi
komposisi pada pembuatan magnet
permanen dengan bahan dasar pasir besi
Lumajang, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya.
[7] Idayanti,N., Dedi. 2002. “Pembuatan Magnet
Permanen Ferit untuk Flow Meter”. Prosiding
Jurnal
Fisika
Himpunan
Fisika
Indonesia.1,Serpong,Tangerang
[8] Paulus, Asyer. Pengaruh Tekanan Kompaksi dan
Waktu Penahanan Temperatur Sintering
Terhadap Sifat Magnetik dan Kekerasan
pada Pembuatan Iron Soft Magnetic dari
Serbuk Besi, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya.
BIODATA PENULIS
Nama : Ratih Resti Astari
NRP : 2406 100 011
TTL
: Madiun, 01 April 1988
Alamat : Jl. Semangka 32 Madiun
Riwayat Pendidikan :
 SDN 166/III Sungai Penuh,Jambi
 SLTP Negeri 1 Metro, Lampung
 SMA Negeri 3 Madiun
 Teknik Fisika ITS
Email
: [email protected]
10
Download