Pengelolaan Pemupukan Tanaman Kakao

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika dan Morfologi Tanaman Kakao
Sistematika
Kakao (Theobroma cacao L.) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dicotyledoneae,
ordo
Malvales,
famili
Sterculiaceae, dan genus Theobroma. Lebih dari 20 spesies tanaman yang
tergolong pada genus Theobroma, tetapi hanya Theobroma cacao yang
dibudidayakan secara luas karena memiliki citarasa yang baik (Urquhart, 1960).
Ditinjau dari segi komersial hanya ada dua tipe kakao yang dapat
dimanfaatkan, yaitu tipe Criollo atau kakao mulia dan tipe Forastero atau disebut
kakao lindak (Wachjar, Hariyadi, dan Winarsa, 2009). Sekarang sudah banyak
dikembangkan klon kakao yang unggul, dengan produktivitas tinggi dan tahan
atau toleran terhadap serangan hama dan penyakit khususnya penggerek buah
kakao (PBK), penyakit vascular streak dieback (VSD) dan busuk buah (Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). Klon-klon unggul tersebut di
antaranya KW 514, KW 570, KW 516, KW 215, KW 490, TSH 858, UIT 1, ICS
60 ICS 13, ICCRI 01, ICCRI 02, Hibrida F1, yang produktivitasnya berkisar 1.3 –
2.5 ton per hektar per tahun (Winarno, 2008).
Morfologi
Akar. Menurut Wood (1973) akar tunggang (tap root) tanaman kakao
akan tumbuh langsung ke dalam tanah. Pada awal pertumbuhan, akar lateral (akar
cabang ke samping) ke luar dari bawah leher akar sedikit di bawah permukaan
tanah. Pada tanaman dewasa akar-akar lateral dapat mencapai kedalaman 15 - 20
cm dari permukaan tanah.
Batang dan cabang. Ditinjau dari tipe pertumbuhannya cabang kakao
bersifat dimorphous, yaitu cabang-cabang tumbuh ke arah atas dan ke arah
samping. Cabang yang tumbuh secara vertikal disebut cabang orthotrop dan
cabang yang tumbuh secara horizontal disebut cabang plagiotrop. Percabangan
kakao menunjukkan ciri yang khas. Pada awalnya tanaman kakao akan tumbuh
lurus, kemudian akan terbentuk 3 - 6 cabang primer pada ujungnya. Titik
pertemuan cabang-cabang tersebut disebut jorquette. Dari cabang primer akan
muncul cabang sekunder, tersier dan seterusnya, yang semuanya bersifat
plagiotrop. Pada tanaman kakao dewasa biasanya juga akan terbentuk tunas air
yang bersifat orthotrop yang akan membentuk jorquette dan menyebabkan
tanaman kakao akan membentuk tajuk yang tersusun dan bertambah tinggi.
Daun. Kedudukan daun bersifat dimorfisme yaitu tumbuh pada dua tunas
(orthotrop dan plagiotrop). Daun pertama memiliki tangkai daun (petiol) yang
panjang dan simetris. Menurut Prawoto (2008) sudut daun yang dibentuk
30 – 80 0 terhadap batang atau cabang tempat tumbuhnya, bergantung pada tipe
kakao. Pembentukan daun pada cabang samping bersamaan dengan keluarnya
pucuk-pucuk daun (flush). Warna daun muda pada saat flush bermacam-macam
bergantung pada tipe kakao, yaitu hijau pucat, hijau kemerahan, dan merah.
Setelah dewasa daun-daun tersebut berubah warna menjadi hijau. Menurut Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) bentuk helai daun bulat dan
memanjang, ujung dan pangkal daun meruncing. Susunan tulang daun menyirip
dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun. Tepi daun rata, daging
daun tipis tetapi kuat seperti perkamen, permukaan daun licin dan mengkilap.
Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm. Menurut Sunanto (1992)
tanaman kakao yang berada di bawah naungan daunnya akan lebih lebar dan lebih
hijau dibadingkan dengan tanaman yang terkena sinar matahari langsung.
Bunga dan buah. Tanaman kakao adalah tanaman caulifloral, yaitu jenis
tanaman yang membentuk bunga dan buah pada batang dan cabang. Bunga
terbentuk pada bantalan bunga, yaitu jaringan yang menebal terbentuk pada ketiak
bekas menempelnya tangkai daun. Sejak bakal bunga muncul sampai bunga
mekar diperlukan waktu sekitar 30 hari. Bunga tanaman kakao berwarna putih,
ungu, atau kemerahan. Penyerbukan bunga tanaman kakao dibantu oleh serangga
penyerbuk.
Setelah penyerbukan, buah mulai terbentuk dan secara umum mencapai
kemasakan setelah berumur antara 6 - 7 bulan. Warna buah kakao beragam, tetapi
secara umum dapat dibedakan atas warna merah dan hijau menunjukkan bahwa
buah tersebut masih muda. Sedangkan warna kuning atau orange menunjukkan
buah tersebut sudah matang dan siap panen. Permukaan kulit buah ada yang halus
dan ada yang kasar, tetapi pada dasarnya memiliki 10 alur yang berselang-seling.
Di dalam buah, biji tersusun pada lima baris mengelilingi poros buah, jumlahnya
beragan antara 20 - 50 biji per buah. Biji kakao dibungkus oleh daging buah yang
bewarna putih, rasanya asam-manis dan diduga mengandung zat penghambat
perkecambahan (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Syarat Tumbuh Tanaman Kakao
Habitat alam tanaman kakao berada di hutan beriklim tropis. Kakao
merupakan tanaman tropis yang suka akan naungan (shade loving plant). Pada
umumnya tanaman kakao dapat dibudidayakan di daerah 20 °LU – 20 °LS.
Tanah
Menurut Urquhart (1960) dan Sunanto (1992) lahan yang sesuai untuk
tanaman kakao berada pada ketinggian tempat yang optimal hingga 600 m di atas
permukaan laut, tetapi kakao dapat tumbuh sampai ketinggian tempat maksimum
1 200 m di atas permukaan laut, kemiringan lereng 40 o.
Tanaman kakao sangat sensitif bila kekurangan air, sehingga tanah untuk
tanaman kakao harus memiliki penyimpanan/ketersediaan air ataupun saluran
(drainase) yang baik. Jenis tanah yang sesuai adalah Regosol, sedangkan tanah
Latosol kurang baik. Lapisan solum tanah minimum 90 cm, cukup gembur, dan
memiliki kadar hara yang tinggi dan dalam keseimbangan yang baik.
Sifat fisik tanah yang dikehendaki tanaman kakao tanpa ada lapisan padas,
tekstur lempung liat berpasir komposisi pasir 50 %, debu 10 - 20 %, dan liat 30 40 %. Konsistensi gembur sampai agak teguh dengan permeabilitas sedang
sampai baik. Kakao memerlukan tanah dengan struktur kasar yang berguna untuk
memberi ruang agar akar dapat menyerap nutrisi yang diperlukan sehingga
perkembangan sistem akar dapat optimal (Wibawa dan Baon, 2008).
Sifat kimia dari tanah bagian atas merupakan hal yang paling penting
karena akar-akar akan menyerap hara. Kemasaman tanah (pH) optimum 5.6 - 6.8,
kakao tidak tahan terhadap kejenuhan Al tinggi. Kejenuhan basa minimum 20
persen. KTK yang optimum > 15 me/100 g. Kandungan bahan organik > 3 %
(Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Iklim
Curah hujan merupakan unsur iklim terpenting. Kakao sangat sensitif
terhadap kekurangan air. Curah hujan yang dibutuhkan tinggi dan terdistribusi
dengan baik sepanjang tahun. Tingkat curah hujan sekitar 1 500 - 2 500 mm/tahun
dengan bulan kering tidak lebih dari tiga bulan (Wood, 1973).
Suhu bulanan yang baik untuk tanaman kakao minimum 15 °C, suhu
maksimum 30 °C, dan suhu optimumnya 25.5 °C, sehingga memungkinkan bagi
pengembangan kakao di Indonesia lebih lanjut (Susanto, 1999). Tanaman kakao
menghendaki lingkungan dengan kelembaban konstan, yakni di atas 80 %
(Wibawa dan Baon, 2008).
Pada tanaman dewasa intensitas sinar matahari yang diperlukan 75 % dari
cahaya penuh, pada tanaman muda 50 %, dan di pembibitan 25 %. Kecepatan
angin yang ideal 2 - 5 m/detik, akan sangat membantu dalam penyerbukan
(Susanto, 1999).
Nutrisi Tanaman
Tanaman tingkat tinggi untuk kehidupannya selain membutuhkan udara
sebagai sumber CO2, O2, dan N2 juga sangat bergantung pada tanah. Tanah
berfungsi sebagai media tumbuh yang mengandung hara mineral. Tanah terdiri
atas bahan mineral, bahan organik, udara dan air. Hasil dekomposisi batuan dan
bahan organik keduanya akan menentukan kesuburan tanah. Kesuburan tanah
ditentukan oleh banyaknya hara mineral yang tersedia bagi tanaman.
Tanaman
merupakan
organisme
yang
bersifat
autotrof,
yang
membutuhkan komponen anorganik dari lingkungannya berupa CO2 dari atmosfer
dan hara mineral dari tanah. Hara yang dibutuhkan oleh tanaman secara umum
dibagi ke dalam dua kelompok yaitu hara dalam bentuk organik dan anorganik.
Hara dalam bentuk organik pada tanaman terutama dibutuhkan dalam bentuk
senyawa karbon, khususnya yang berkaitan dengan karbon, hidrogen dan oksigen
yang dibentuk melalui fotosintesis. Hara anorganik terutama diperoleh dari tanah.
Hara anorganik yang diakuisisi dari tanah dalam bentuk ion.
Tanaman
memerlukan
unsur
esensial
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangannya. Unsur dianggap esensial jika tanaman tidak mampu
menyempurnakan daur hidupnya tanpa unsur tersebut. Selain itu, unsur tersebut
menjadi kandungan atau molekul penyusun tanaman yang esensial bagi
pertumbuhan tanaman itu (contohnya nitrogen dalam protein), serta unsur itu
haruslah secara langsung berperan dalam metabolisme tanaman bukan
menyebabkan unsur lain menjadi lebih mudah tersedia atau melawan efek unsur
lain (Salisbury dan Ross, 1995).
Menurut Campbell, Ross, dan Mitchell (2003) telah diidentifikasi 17 unsur
yang esensial bagi seluruh tanaman. Unsur tersebut dibedakan atas unsur yang
dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang relatif besar disebut makronutrien dan
unsur yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit disebut
mikronutrien. Terdapat sembilam makronutrien yang enam di antaranya adalah
penyusun senyawa organik yaitu karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen, sulfur, dan
fosfor. Tiga makronutrien lainnya adalah kalium, kalsium dan magnesium.
Mikronutrien sendiri terdiri atas delapan unsur yaitu besi, klorida, tembaga,
mangan, seng, molybdenum, boron dan nikel.
Kegunaan dan Gejala Defisiensi Unsur Esensial
Unsur esensial yang umum ditambahkan ke dalam tanah melalui
pemupukan di antaranya adalah unsur N, P, K, Ca, dan Mg. Oleh karena itu dari
sekian banyak unsur esensial hanya unsur tersebut yang akan diuraikan pada
bagian ini.
Nitrogen (N). Tanaman membutuhkan nitrogen dalam jumlah yang
banyak karena merupakan penyusun utama komponen sel tanaman yaitu asam
amino dan asam nukleat. Oleh karena itu defisiensi N akan cepat menghambat
pertumbuhan. Gejala yang tampak bila terjadi defisiensi N adalah klorosis, yaitu
daun yang berwarna kuning, khususnya pada daun tua yang terbawah. Daun yang
lebih muda tidak menunjukkan gejala tersebut karena N dapat dimobilisasi dari
daun yang lebih tua. Jadi pada daun yang lebih muda akan menunjukkan warna
hijau terang dan daun yang lebih tua menunjukkan warna hijau kekuningan. Bila
defisiensi N terjadi secara perlahan maka tanaman akan menjadi ramping dan
berkayu. Terbentuknya kayu pada batang menunjukkan adanya kelebihan
karbohidrat karena tidak dapat diubah menjadi asam amino atau senyawa N
lainnya.
Fosfor (P). Fosfor dalam bentuk fosfat merupakan senyawa penting untuk
sel tanaman meliputi gula-fosfat yang merupakan intermediet dalam respirasi dan
fotosintesis serta fosfolipid yang menyusun membran sel. Fosfor juga merupakan
komponen nukleotida yang digunakan untuk energi metabolisme (ATP) DNA dan
RNA. Gejala defisiensi P menyebabkan pertumbuhan menjadi kerdil saat tanaman
muda dan warna daun hijau gelap (kadang-kadang hijau ungu gelap) dengan
perubahan bentuk daun. Gejala lainnya terbentuk batang yang ramping tetapi tidak
berkayu dan matinya daun tua.
Potasium (K). Potasium berada dalam tanaman dalam bentuk kation K+,
yang berperan penting dalam regulasi potensial osmotik sel tanaman. K juga
mengaktivasi beberapa enzim yang terlibat pada respirasi dan fotosintesis. Gejala
defisiensi K ditunjukkan dengan klorosisnya daun atau bagian tepi daun, yang
kemudian berkembang menjadi nekrosis pada bagian ujung daun. K dapat
dimobilisasi ke daun muda, jadi gejala defisiensi awalnya tampak pada daun
dewasa dekat dengan bagian basal tanaman. Daun menjadi keriting dan
menggulung. Batang menjadi lemah, dengan internodus yang memendek.
Kalsium (Ca). Ion kalsium digunakan dalam sintesis dinding sel baru,
terutama lamela tengah yang memisahkan dua sel baru. Ca juga dibutuhkan untuk
pembentukan benang spindel saat pembelahan sel. Ca berfungsi sebagai second
messenger untuk respon tanaman terhadap lingkungan dan sinyal hormon. Dalam
hal ini Ca akan terikat pada calmodulin yang merupakan protein yang ditemukan
dalam sitosol sel tanaman. Komplek Ca-calmodulin akan meregulasi proses
metabolik. Gejala defisiensi Ca adalah nekrosis pada daerah meristematik muda,
seperti ujung akar atau daun muda dimana pembelahan sel dan pembentukan
dinding sel terjadi sangat cepat; daun muda akan mengalami deformasi; sistem
perakaran akan menjadi coklat, memendek, dengan percabangan yang banyak;
dan tanaman akan mengerdil diakibatkan matinya daerah meristematik.
Magnesium (Mg). Magnesium pada sel tanaman berperan mengaktivasi
enzim yang terlibat dalam respirasi, fotosintesis serta sintesis DNA dan RNA. Mg
juga merupakan bagian dari struktur molekul klorofil. Gejala defisiensi Mg adalah
klorosis di antara vena daun, yang mula-mula terjadi pada daun tua sebab Mg
bersifat mobil. Pola klorosis pada daun disebabkan oleh klorofil pada sel berkas
pengangkut tidak terpengaruh oleh defisiensi Mg dalam periode yang agak lama
dibandingkan dengan klorofil yang ada dalam sel helai daun. Bila defisiensi
terjadi berlarut maka daun akan berwarna kuning atau putih. Selain itu defisiensi
Mg dapat menyebabkan daun akan mengalami absisi lebih dini.
Mekanisme Penyerapan Unsur Hara oleh Tanaman
Umumnya tanaman menyerap unsur hara seperti H melalui akar, tetapi
pada kondisi tertentu unsur C dan O yang diambil pada saat proses fotosintesis
berasal dari udara. Unsur-unsur yang berasal dari larutan tanah diserap akar
melalui aliran masa, difusi dan intersepsi akar (Pujiyanto dan Abdullah, 2008).
Selain itu hara mineral dapat masuk ke dalam tanaman secara difusi melalui
kutikula dan terjadi ‘uptake’ oleh sel tanaman. Selain masuk melalui kutikula,
stomata juga berpeluang dapat dilalui oleh hara mineral, tetapi peluangnya kecil
karena struktur stomata yang sedemikian rupa, kecil kemungkinannya dapat
dilalui oleh cairan.
Pemupukan
Tanaman budidaya pada umumnya sangat membutuhkan pupuk untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Banyak perlakuan yang dapat
menurunkan kandungan unsur hara dalam tanah di antaranya adalah pemanenan,
pencucian, denitrifikasi, serta erosi yang terjadi di daerah perakaran tanaman
(Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). Budidaya tanaman cenderung
menyebabkan kemunduran lahan jika tidak diimbangi dengan pemupukan dan
pengendalian kerusakan yang memadai. Kerusakan lahan yang terjadi di
antaranya menurunnya kesuburan lahan karena berkurangnya unsur hara di dalam
tanah, kerusakan fisik dan biologis, serta menipisnya ketebalan tanah. Pemupukan
pada umumnya bertujuan untuk memperbaiki dan memelihara kesuburan tanah
dengan menambahkan unsur-unsur ke dalam tanah baik langsung maupun tidak
langsung dapat menyumbangkan makanan terhadap tanaman (Pujiyanto dan
Abdoelah, 2008).
Terdapat kecendrungan peningkatan jumlah (dosis), dan jenis (macam
unsur hara) pupuk yang harus diberikan seiring dengan semakin lamanya
budidaya
tanaman
produktivitasnya.
pada
suatu
Pemupukan
bidang
sebaiknya
lahan
untuk
dilakukan
mempertahankan
berdasarkan
asas
keseimbangan.
Pemberian suatu unsur hara secara berlebihan akan mengganggu
penyerapan unsur hara lainnya. Selain itu, tanaman tidak menggunakan pupuk
yang diaplikasikan seluruhnya. Sisanya akan tercuci dan masuk ke perairan atau
air tanah, selanjutnya akan terikat pada partikel tanah. Bila hara mineral berlebih
dalam tanah, tanah dapat dikatakan menjadi ‘saline’ dan pertumbuhan tanaman
dapat terhambat bila hara mineral mencapai tingkat yang membatasi ketersediaan
atau kelebihan hara mineral tertentu.
Kebutuhan unsur hara untuk tanaman pada suatu lahan dapat ditentukan
dengan lima metode yaitu berdasarkan gejala visual kekurangan, berdasarkan
hasil percobaan pemupukan, berdasarkan jumlah dan macam unsur hara yang
diangkut hasil panen, berdasarkan ketersediaan unsur hara dalam tanah (analisis
tanah), serta berdasarkan tingkat penyerapan unsur hara oleh tanaman (hasil
analisis jaringan tanaman biasanya daun). Di perkebunan kakao kehilangan N, P,
dan K karena terangkut oleh satu ton biji kakao setara dengan 42 - 50 kg Urea, 4348 kg TSP, dan 34 - 43 kg KCl, sedangkan yang kembali ke lahan melalui kulit
buah (yang setara dengan 13 ton kulit buah) adalah 33 - 37 kg Urea, 20 - 25 kg
TSP, dan 249 - 310 kg KCl (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Jenis pupuk dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu atas dasar susunan
kimianya pupuk dapat dibedakan atas pupuk organik dan anorganik. Pupuk kimia
mengandung garam anorganik dari unsur hara makro N, P, dan K. Pupuk kimia
yang diaplikasikan ke dalam tanah dapat mengubah pH tanah, demikian juga pH
tanah dapat mempengaruhi ketersediaan hara mineral dalam tanah. Pupuk organik
merupakan kebalikan dengan pupuk kimia, yang berasal dari residu tumbuhan
atau hewan. Residu tersebut mengandung hara dalam bentuk senyawa organik.
Sebelum tanaman mengabsorpsi hara dari residu, senyawa organik harus
dirombak menjadi bentuk yang lebih sederhana, biasanya melalui mineralisasi
oleh mikroba. Mineralisasi bergantung pada suhu, air, ketersediaan oksigen, dan
tipe serta jumlah mikroba yang ada dalam tanah. Akibatnya laju mineralisasi
sangat beragam dan hara yang berasal dari residu akan tersedia untuk tanaman
dalam jangka waktu bervariasi dari hari hingga bulan dan tahun. Meskipun
demikian residu dari pupuk organik dapat meningkatkan struktur fisik dan
kelembaban tanah, memacu retensi air selama kekeringan dan meningkatkan
drainase pada musim basah (Leiwakabessy dan Sutandi, 1999).
Atas dasar unsur hara yang terkandung maka pupuk dapat digolongkan
pada pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk yamg mengandung hanya satu
unsur hara dikenal dengan straight fertilizer, misalnya superfosfat, amonium nitrat
dan muriate of potash. Pupuk yang mengandung dua atau lebih ketiga hara di atas
dikenal dengan compound fertilizer atau mixed fertilizer.
Pemupukan dapat diaplikasikan melalui tanah dan dapat pula melalui
daun. Pemupukan melalui daun dapat dilakukan apabila telah tampak gejala
kekurangan, atau dilakukan hanya untuk memberikan unsur mikro pada tanaman.
Unsur mikro sering diberikan lewat daun karena pemberiannya dilakukan dalam
jumlah yang sangat sedikit sehingga bila pemberiannya dilakukan lewat tanah
akan banyak yang terikat oleh tanah dan tidak terserap oleh tanaman. Untuk
pupuk yang diaplikasikan melalui tanah banyak cara aplikasi yang dapat
dilakukan seperti langsung menaburkan di atas tanah, dengan sistem lubang,
dengan sistem alur melingkar, dan lain-lain, yang penempatannya sebaiknya
berdasarkan proyeksi tajuk tanaman. Semakin tua umur tanaman maka jarak
penempatan pupuk akan semakin jauh dari batang tanaman sesuai dengan
proyeksi tajuk. Peningkatan efisiensi pemupukan dapat dilakukan dengan cara
melakukan pemupukan yang tepat dan benar yaitu tepat dalam hal jenis, dosis,
cara aplikasi, dan waktu aplikasi (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,
2004).
Download