seni sastra, teater, dan film dalam konteks perkotaan

advertisement
SENI SASTRA, TEATER, DAN FILM DALAM KONTEKS
PERKOTAAN: INDUSTRIALISASI DAN URBANISME
(STUDI KASUS SERIAL SINETRON FILM ”INTAN”)
Literary, Theater, and Film Art in Urban Context: Industrialization and Urbanism
(A Case Study on Film Sinetron Series Intan)
Soediro Satoto
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Jalan Ir. Sutami, Ketingan, Solo, Telepon 0271-632480
(Makalah diterima tanggal 14 April 2009—Disetujui tanggal 17 Mei 2010)
Abstrak: Tulisan ini bertujuan memaparkan korelasi antara produksi seni sastra, seni teate, dan
film serta menjelaskan keterkaitan yang erat antara urbanisasi, industrialisasi, dan urbanisme
dengan perkembangan iptek dan seni, termasuk seni sastra, seni drama/teater, dan seni
film/sinetron. Seirama dengan dinamika proses globalisasi di segala bidang, termasuk budaya
dan seni, fenomena tersebut akan berdampak pada proses akulturasi lintas/silang budaya, pergeseran dan atau perubahan tata nilai dan identitas budaya bangsa. Akankah muncul identitas budaya ’baru’ (sebut yang khas ’urban’) dengan cara mengesampingkan atau membuang jauh-jauh
identitas budaya ’lama’ (sebut tradisional) yang dianggap sudah ketinggalan zaman? Bagaimana
sepantasnya ’masyarakat sastra, teater, dan film’ menyikapi fenomena-fenomena tersebut secara
kritis, realistis, dinamis, dan arif? Serial Sinetron Film “Intan” dalam makalah ini diambil sebagai studi kasus karena rating-nya yang relatif konstan tertinggi jika dibandingkan dengan serial
sinetron film lainnya di media yang sama dalam kurun waktu yang sama.
Kata-Kata Kunci: seni sastra, industrialisasi, urbanisme
Abstract: This paper is aimed to describe correlation between literary, theater, and film art
production and explain the strong interrelatedness between urbanization, industrialization, and
urbanism by the development of science technology and art, including literary art, drama/theater
art, and film/sinetron art. Along with the dynamic of globalization process in all aspects,
including culture and art (literary, theater, and film art in this case), the phenomena will have
influences to cross/inter-cultural acculturation process, shift and/or change in a nation’s cultural
identity and values. Will a ‘new’ (call it urban) cultural identity emerge by putting aside or
getting rid of the ‘old’ cultural identity (call it traditional) which is regarded as old fashion?
How should a ‘literary, theater, and film community’ behave critically, realistically, and
dynamically, and wisely to the phenomena? Sinetron series Intan in this article has been taken
as a case study for its relatively-constant-high rating compared to other sinetrons in the same
media and period.
Key Words: literary art, industrialization, urbanism
PENGANTAR
Barangkali sampai sekarang pun, belum
atau bahkan tidak semua pihak, baik pakar ilmu susastra, pakar seni pertunjukan
(termasuk seni sastra, teater, dan film),
seniman (dalam hal ini sastrawan,
teaterawan, atau sineas), para pengamat
atau kritikus seni dan atau ilmu, baik
yang langsung maupun tak langsung berurusan atau bersinggungan dengan seni
sastra, seni teater, dan seni film, dengan
legawa (tulus dan ikhlas) mengakui dan
33
atau menerima bahwa ada korelasi yang
signifikan, baik secara ilmiah maupun
seni, antara produksi seni sastra dan produksi seni teater serta seni film. Mereka
umumnya mengatakan bahwa seni teater
bukan wilayah kajian seni sastra karena
berbeda. Yang menjadi wilayah kajian
sastra adalah “drama sastra”, itu pun
terbatas pada teks naskah lakon sebelum
dipentaskan. Kajian sastra juga bukan
hanya kajian teks tertulis karya sastra
(pendekatan tekstual). Mereka yang
kurang atau tidak legawa berpandangan
bahwa seni teater menjadi wilayah kajian
Lembaga Pendidikan Seni (LPS) seperti
ASTI, STSI, ISI, atau IKJ yang
berurusan dengan seni, termasuk seni
teater dan film. Lalu apakah seni sastra
juga dikaji di LPS tersebut? Mungkin
masih ada yang beranggapan bahwa
karya sastra bukan merupakan karya seni
yang perlu dikaji juga layaknya sebuah
karya seni—sastra bisa dikaji dalam
perspektif ilmu sekaligus juga seni.
Pernah ada anggapan bahwa teater
dijajah sastra. Kemudian Arifin C. Noer
justru ingin mengembalikan teater ke dalam habitat sastra. Dalam wawancara saya dengan Putu Wijaya, pernah ia
mengatakan bahwa ia tidak begitu tertarik jika diajak memperbincangkan drama-dramanya di masa lalu karena baginya drama modernnya kini tidak merupakan kelanjutan drama masa lalu.
Arifin C. Noer menyebut drama-dramanya “Teater Tanpa Masa Silam”, sedangkan N. Riantiarno memberi nama kelompok teaternya adalah ”Teater Koma”, artinya belum titik? Dramaturgi dan sinematografi adalah sebuah proses kreatif
seni teater atau ‘proses teater’, kata
Gunawan Muhammad. Lebih lanjut,
Gunawan Muhammad mengatakan,
”Naskah lakon ibarat ‘sel telor’ sedangkan proses pertunjukannya adalah ‘proses pembuahan’”. “Naskah lakon barulah
sempurna manakala sudah dipentaskan
(dipertunjukkan)”,
kata
Boen
S.
Oemarjati.
34
Begitu pula, seni film bukan wilayah kajian seni teater hanya karena berbeda. Padahal, novel, puisi, dan drama
yang secara konvensional mapan selama
ini sama-sama dikategorikan ke dalam
jenis atau ragam sastra, pada hakikatnya
juga berbeda. Sastra (prosa, puisi, dan
drama) lokal juga ‘berbeda’ dengan, misalnya, sastra kota, sastra urban, sastra
marginal, sastra kontemporer, sastra eksperimental, dan sastra absurd. Sastra tulis juga berbeda dengan sastra lisan.
Sastra koran dan majalah (media cetak)
juga berbeda dengan sastra radio (media
auditif), sastra pertunjukan (media
panggung), dan sastra televisi (media
audio visual).
Naskah lakon, skenario film, dan
‘naskah-naskah’ seni teater klasik, teater
tradisional, dan teater daerah atau lokal,
misalnya wayang kulit purwa Jawa, wayang orang, ketoprak, ludruk, dan lenong, sebagai ‘teks dramatik’ (dramatic
text), juga ‘berbeda’ jika teks-teks dramatik tersebut dipertunjukkan (performance text, ‘teks pertunjukan’). Bahkan puisi-puisi Muhammad Yamin juga
‘berbeda’, misalnya, dengan puisi-puisi
Amir
Hamzah,
Sutan
Takdir
Alisyahbana, Chairil Anwar, Asrul Sani,
Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko
Damono,
Subagio
Sastrowardoyo,
Abdulhadi WM, W.S. Rendra, Darmanto
Jatman, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum
Bachri, Hamid Jabbar, dan puisi-puisi
rupa Made Wianta.
Karya-karya seni sastra pada era BP
(Balai Pustaka), ‘berbeda’, dengan novel-novel pada periode zaman PB (Pujangga Baru), periode Angkatan 45,
Angkatan 66, Angkatan 70—2000, dan
zaman sekarang. Karya-karya seni sastra, teater, dan film, misalnya: (1) novel
Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah
Asuhan (Abdul Muis), Gairah untuk
Hidup dan untuk Mati (Nasjah Djamin),
Hati yang Damai dan Pada Sebuah
Kapal (N.H. Dini), Orang-Orang Bloomington dan Olenka (Budi Darma), Seri-
bu Kunang-Kunang di Manhattan (Umar
Kayam), Lebanon Legenda dan Air Mata
(Kahlil Gibran), Supernova (DEE),
Saman dan Larung (Ayu Utami), Nayla
(Djenar Maesa Ayu); (2) puisi Blouse
untuk Bonie (W.S. Rendra), Buru Abadi
(Dami N. Toda), Kerygma dan Martyria
(Remy Silado); (3) teater Romeo dan
Yuliet dengan berbagai versi, misalnya,
Romi dan Yuli, San Pek Eng Tay,
Tumenggung Wiroguno dan Roro
Mendud (cf. Roro Mendut versi Ayip
Rosidi dan versi Y.B. Mangunwijaya),
Pronocitro dan Layon Sari, serta lakon
San Pek Eng Tai versi N. Riantiarno, lakon-lakon dalam Ramayana dan Maha
Bharata versi Jawa Indonesia, Kelantan
Malaysia, dan India; dan (4) film Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Atheis, Pagar
Kawat Berduri, Jangan Cabut Nyawaku,
Karmila, Lupus, Malam Jahanam,
Cintaku Jauh di Pulau (semua merupakan ‘ekranisasi’ dari jenis sastra ke jenis
film), Serangan Fajar, dan R.A Kartini.
Contoh-contoh munculnya karyakarya seni sastra, teater, dan film seperti
telah disebut di atas, menunjukkan bahwa bukan saja ada keterkaitan antara jenis seni sastra, teater, dan film, tetapi juga ada keterkaitan dengan perkembangan sastra dalam konteks perkotaan, urbanisasi, urbanisme, industrialisasi, komersialisasi, dan pergeseran, bahkan perubahan, sistem tata nilai sebagai dampak
globalisasi, transformasi, akulturisasi lintas/silang budaya sehingga terjadi pula
pergeseran atau perubahan identitas budaya suatu bangsa – budaya lokal-global.
TELAAH SENI SASTRA, TEATER,
FILM, DAN FILM SINEMATIK
Sastra itu Seni, Ilmu, atau Keduanya?
Pertanyaan itu tidak begitu menarik jika
ditujukan kepada bidang teater atau film.
Pada umumnya, orang sepakat bahwa
teater dan film adalah seni. Namun, keduanya juga memiliki konsep dan teori
masing-masing, meskipun ada juga kesamaannya (di samping perbedaan, tentu).
Di satu pihak, pakar atau pemerhati
mungkin lebih menekankan pada aspek
hiburannya. Di sisi lain, mereka mungkin lebih menekankan pada aspek informasi dan komunikasinya. Di sisi lain lagi, mereka mungkin lebih menekankan
pada aspek seni atau artistiknya. Akan
tetapi, di sisi yang lain lagi, mereka
mungkin lebih menekankan pada aspek
edukatif, filosofis, ideologi, atau komersialisasinya—profit oriented; dsb., bergantung pada pemahaman, wawasan,
dan kepentingan masing-masing pelaku,
pengamat, pemerhati, atau kritisi seni
dan atau ilmu yang bersangkutan.
Di bidang sastra, agak lain—tidak
marketable—kurang menggairahkan dan
kurang menjanjikan (?). Terkesan ada
dua jalur pengembangan dan perkembangan sastra. Pertama yang ada di sekolah dan kampus, dan kedua yang ada di
luar sekolah dan kampus. Yang pertama
lebih berorientasi ke teori dan ilmiah, sedangkan yang kedua lebih berorientasi
ke olah dan kegiatan kreatif seni. Kedua
jalur tersebut, lagi-lagi terkesan, sering
tidak seiring dan sejalan, apalagi sinkron
dan harmonis. Rachmat Djoko Pradopo
membedakan kritik sastra ke dalam tiga
kategori: (1) Kritik Akademik; (2) Kritik
Seniman/Sastrawan; dan, (3) Kritik
Awam. Akibatnya, pembelajaran sastra
di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus lebih berorientasi pada teori sastra
daripada apresiasi sastra, apalagi kreativitas seni sastra. Maka, muncullah upaya
menggalakkan “Sastra Masuk Sekolah”—entah mengapa fakultas sastra di beberapa perguruan tinggi berubah menjadi
fakultas ilmu pengetahuan budaya. Tentu
ada alasan yang lebih masuk akal.
Topik “Sastra itu seni, ilmu, atau
keduanya” mengingatkan saya pada pertanyaan klasik yang sering terlontar,
“karya sastra itu seni (art), ilmu (science), atau keduanya? Bahkan, ada yang
lebih umum, “Apakah Sastra”? (baca,
misalnya, Dami N. Toda (2005); Maman
35
S. Mahayana (2005), dan Ignas Kleden
(2004).
Kaum Sufi berpendapat bahwa kecerdasan pikiran itu tidak cukup untuk
mengantar kita kepada pemahaman rasa
keindahan yang sebenarnya, tetapi kita
harus meletakkan diri kita ‘di luar kecerdasan’ atau menurut kata mereka, ‘di
atas kesadaran’. Dalam keadaan ekstasi,
di mana kebenaran yang tidak bersifat
inderawi tersingkap secara irasional.
Kebenaran itu, menurut Plotanius, tidak
dapat dicapai kecuali oleh seniman dan
filsuf. “Seni adalah ibadah”, kata
Ruskin. Bergson dan para pengikutnya
mengganti ekstasi dengan intuisi. Keindahan dapat disingkap dan ditafsirkan
hanya dengan cara menggauli, menghayati, dan menyelami dalam batin kita.
Setiap usaha untuk menelaah seni atau
keindahan secara rasional adalah berarti
usaha menghancurkan dan membunuhnya. Intuisi, dan juga ekstasi, melampaui, dan berusaha selalu melampaui, batas-batas benar dan salah (logika), baik
dan buruk (etika), indah dan tak indah
(estetika) sebagaimana yang dimengerti
oleh umum dan pakar ilmu pengetahuan
empirik. Tidak ada metode yang melampaui batas-batas akal, maka tidak seharusnya metode demikian diada-adakan
dan dipaksakan. Estetika harus datang
dari hati (rasa), bukan dari kepala (akal
atau pikiran). Estetika adalah inspirasi,
bukan pemikiran. Estetika adalah filsafat
seni, bukan sekadar ilmu pengetahuan
yang cukup untuk diketahui, belum sampai pada tingkat pemahaman, apalagi
tingkat apresiasi seni yang pencapaiannya melalui proses apresiatif.
Kini, para filsuf tidak lagi membicarakan keindahan semata, melainkan juga
seni dengan segala aspeknya, seperti
penciptaan, pengkajian (penelaahan atau
penganalisisan), penilaian, penghargaan,
peranan sosial, dan unsur-unsur seni serta pengalaman estetik dan semua implikasinya, seperti pengalaman estetik,
sikap estetik, kesadaran estetik, tanggap-
36
an estetik, dan penilaian estetik – kualitatif.
Seni dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan manusia yang menjelajahi
dan menciptakan dunia baru (penafsiran
seniman) berdasarkan penginderaan serta
penyajian realita itu secara imaji sebagai
sebuah kebulat-utuhan dunia besar. Para
penelaah atau kritisi seni juga melakukan
kegiatan menafsirkan karya seni hasil
penafsiran seniman yang bersangkutan.
Itulah sebabnya kritik seni juga bisa merupakan karya seni baru. Sebut misalnya,
kritik seni yang dilakukan oleh Danarto
(seniman) dan Budi Darma.
Bagi manusia, filsafat, seni, dan ilmu sama-sama dibutuhkan. Melalui karya seni, manusia dapat menanamkan dan
meningkatkan daya apresiasinya di dalam pengalaman hidup dan jiwanya. Berbekalkan wawasan seni dan pengalaman
estetik, manusia bisa merebut dan atau
memberi makna hidup yang lebih berarti
yang oleh pengetahuan ilmiah semata sering tidak dapat dijangkaunya. Para seniman sering bisa melihat dan menghayati
objek seni sampai ke sumsum-sumsum
yang berada di dalam tulang-tulang yang
tidak dapat terlihat oleh orang awam,
bahkan oleh para ilmuwan sekalipun,
tanpa minta bantuan alat hasil temuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern
yang canggih, khusus untuk keperluan
analisis dan penghayatan seni tersebut.
Dengan demikian, seni (termasuk
seni sastra, teater, dan film) juga dapat
disebut ilmu normatif di samping estetika. Di samping seni dan estetika, etika,
logika, dan agama juga bisa disebut
ilmu-ilmu normatif, yang baik sendirisendiri maupun bersama-sama dapat dipakai untuk menentukan kebenaran, walaupun kebenaran logika, misalnya, tidak
harus identik dengan kebenaran ilmiah.
Dengan kata lain, seni sastra, teater, dan
film adalah objek ilmu sekaligus juga
seni.
iklan dan durasi tayang “Intan” dalam
bentuk tabel 1.
STUDI KASUS SERIAL SINETRON
FILM “INTAN” (“Intan”)
1. Mengapa “Intan” Memperoleh
Rating Tertinggi (Puncak)?
Ada beberapa faktor dan indikator mengapa “Intan” memperoleh rating tertinggi jika dibandingkan dengan serial
sinetron film-serial sinetron film selain
“Intan”, misalnya “Candy” yang samasama ditayangkan RCTI, atau ditayangkan media televisi lainnya dalam kurun
waktu yang bersamaan, misalnya “Si
Entong” (TPI), “Cinderella” (SCTV),
dan “Nayla” (Indosiar). Faktor-faktor
dan indikator-indikator yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
(b) Jam Tayang Sinetron “Intan” Tepat pada Prime Time (18.00—
19.00)
Prime time saat tayang sinetron ”Intan”
bertepatan pada saat para keluarga lengkap (bapak, ibu, dan anak-anak) ada
waktu longgar bersama-sama nonton televisi. Korelasi antara banyaknya jumlah
penonton “Intan” dengan pemasangan
iklan dan produk-produk iklan yang ditayangkan, rating, industrialisasi, komersialisasi, urbanisme, diaspora yang tetap
menetap sebagai migran, yang berdampak pada sikap, perilaku, pola dan gaya
hidup para remaja dan orang-orang tua
sekalipun yang terimajinasi ke dalam
karya seni (termasuk sastra, teater, dan
film), amatlah besar. Itulah sebabnya banyak rumah produksi pembuat iklan
beramai-ramai memasang iklan pada
“Intan” yang rating-nya relatif konstan
tertinggi dalam kurun waktu lama, lebih
dari 247 hari (247 episode) sejak November 2006 s.d. sekarang—saat makalah ini ditulis—dan terus berlangsung
sampai kapan? Pimpinan Produser
“Intan” (Leo Sutanto) dan Sutradara
“Intan” (Doddi Djanas) pun tidak tahu
kapan sinetron “Intan” berakhir. Jawabnya tentu bergantung pada masih banyak
atau tidaknya iklan dan penempatan
“Intan” pada rating puncak.
(a) Banyaknya Iklan pada Jam Tayang Sinetron “Intan”
Sebenarnya, setiap episode “Intan”
dengan durasi 60 menit (pukul 18.00—
19.00) yang ditayangkan setiap hari, kecuali hari Sabtu dua episode (durasi 120
menit), jumlah iklan saat tayang “Intan”
diprogram ada 100 spot, dibagi ke dalam
lima jeda iklan, @ 20 spot iklan. Akan
tetapi, kenyataannya sering sekali jumlah
iklan lebih dari 100 spot, terutama pada
hari Sabtu. Banyaknya iklan dalam
“Intan” menyebabkan rating “Intan” relatif tetap berada di puncak, meskipun
pernah terjadi penurunan rating, dan kemudian naik lagi—memang fantastik.
Sebagai contoh, berikut ini saya lukiskan
perbandingan durasi yang tersedot oleh
Tabel 1
60
8
10
10
8
8
44
22
21
22
21
26
112
Total Durasi
Sinetron
(Menit)
26
1
2
3
4
5
Juml.
Total Durasi
Iklan (Menit)
34
Jml. Iklan
Total Durasi
Sinetron
(Menit)
23
18
21
20
22
104
Total Durasi
Iklan (Menit)
8
5
7
6
8
34
Durasi Iklan
(Menit)
60
1
2
3
4
5
Juml.
Comercial
Break Ke-
14
Jml. Iklan
46
Durasi Iklan
(Menit)
33
34
31
31
36
165
Comercial
Break Ke-
Jml. Iklan
10
10
8
8
10
46
Total Durasi
Sinetron
(Menit)
Durasi Iklan
(Menit)
1
2
3
4
5
Juml.
Total Durasi
Iklan (Menit)
Comercial
Break Ke-
PERBANDINGAN DURASI PENAYANGAN IKLAN DAN SINETRON INTAN DALAM SATU EPISODE
EPISODE KE-210
EPISODE KE-211
EPISODE KE-212
44
16
60
37
(c) Lagu ”Ruang Rindu” (Grup Band
Letto) Dijadikan Sound Track
Sinetron “Intan”
Grup band Letto merupakan band pendatang baru asal Yogyakarta. Para pendukungnya adalah Noe (vokalis), pembawa lagu “Ruang Rindu”, Dedi (drumer),
Patub (gitaris), dan Arian (bas). Grup
band Letto menjadi besar di Jakarta. Lebih-lebih setelah tiga lagunya (“Ruang
Rindu”, “Sampai Nanti, Sampai Mati”,
dan “Sandaran Hati”) dikontrak untuk
dijadikan sound track sinetron yang sedang populer di hati masyarakat dan para
maniak sinetron yang sedang ngetop.
“Ruang Rindu” dikontrak menjadi sound
track “Intan”; “Sampai Nanti, Sampai
Mati” dikontrak menjadi sound track serial sinetron “I Love U, Boss”, sedangkan lagu “Sandaran Hati” dikontrak
menjadi sound track sinetron “Wulan”.
Karena lagu-lagu Letto dikontrak dan digunakan sebagai sound track dalam berbagai serial sinetron, album-album Letto
yang banyak dijual dalam bentuk CD
dan kaset, penjualannya meningkat drastis. Angka penjualan album-album Letto,
termasuk lagu “Ruang Rindu”, dapat
menembus angka 200 ribu keping sehingga Letto berhak mendapat penghargaan platinum. Fenomena-fenomena di
atas jelas bisa mendongkrak “Intan” pada rating puncak. Di bawah ini, saya cuplikkan syair lagu “Ruang Rindu”.
Di daun yang ikut mengalir lembut
terbawa sungai ke ujung mata
Dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa dan kusentuh dia, terasa
hangat di dalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu,
tak urung jua ku lihatnya pergi
Tak pernah kuragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
Ku saat itu takut mencari makna,
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
Kau datang dan pergi begitu saja,
semua ku terima apa adanya
38
Mata terpejam dan hati menggumam,
di ruang rindu kita bertemu
(d) Pemilihan Pemain (Casting)
Pemilihan pemain dalam sebuah Mega
Sinetron (seperti “Intan”) seharusnya dilakukan secara cermat dan selektif, bukan hanya berdasarkan wajahnya yang
filmis, Indo, tampan dan cantik, atau
marketable, tetapi juga harus bisa dan
mampu membawakan karakter tokoh sesuai dengan tuntutan skenario. Mengingat alur cerita “Intan” semakin longgar
(digresi), loncat sana-loncat sini, bahkan
sering menyimpang dari alur inti aslinya
dalam skenario pertama, maka pemilihan
pemain yang dilakukan oleh casting
director, di bawah perintah produser dan
sutradara ‘terpaksa’ menjadi lebih mempertahankan rating untuk mengejar pemasukan iklan yang tinggi nilai uangnya
daripada nilai estetik dan artistiknya.
Tokoh-tokoh baru bermunculan sesuai
dengan alur cerita yang dibuat dan disisip-sisipkan untuk ‘kejar tayang’. Fenomena demikian sudah lazim di dunia industri perfilman Indonesia yang lebih
profit oriented daripada menjamin dan
menjaga kualitas film yang juga sebagai
karya seni. Fenomena menunjukkan bahwa casting “Intan”, baik terhadap tokohtokoh inti, tokoh-tokoh pembantu, maupun tokoh-tokoh baru sebagai tokoh-tokoh tambahan untuk memperpanjang
alur dan episode nyatanya relatif berhasil. Hingga pada episode ke-174 (Sabtu,
28 April 2007) rating “Intan” masih bertengger di posisi teratas dari semua kategori program di seluruh stasiun televisi
Indonesia. Sinetron “Intan”, produksi SinemArt itu, memperoleh audience share
rata-rata 38% atau ditonton oleh 38% pemirsa televisi pada jam tayang yang
sama.
Direktur Pemrograman (Programming) RCTI, Harsiwi Ahmad mengatakan
bahwa audience share “Intan” pernah
mencapai angka 46%. Sebaliknya, rating
“Intan” pernah turun ke angka delapan
dari sebelumnya 10, kemudian naik
menjadi 11. Sinetron “Wulan” memperoleh audience share antara 25—28%.
Bahkan, sinetron “Kawin Muda” pun
yang baru ditayangkan 20 episode, kala
itu, selalu masuk kategori 10 besar (termasuk “Intan”), meskipun bukan yang
teratas, program dengan rating untuk semua kategori. Sinetron, hingga saat ini,
ternyata masih menjadi primadona layar
kaca. Hal itu tentu akan berpengaruh terhadap sikap, perilaku para pemain, kru,
pemirsa yang menggambarkan pergeseran atau perubahan identitas dan budaya
bangsa ke dalam budaya populer, budaya
kota, budaya urban. Bukan mustahil
akan berpengaruh pula pada dinamika
perkembangan seni sastra, teater, dan
film sebagai manifestasi, representasi,
atau interpretasi realita sosial-budaya,
dalam pengertian tidak sempit, dan begitu sebaliknya.
(e) Pemilihan Judul “Intan”.
Intan, di samping merupakan nama tokoh utama, sekaligus juga dipakai sebagai judul serial sinetron. Penggunaan kata Intan yang hanya terdiri atas satu kata
yang pendek dan memiliki makna simbolis yang bagus, indah, kuat, mahal,
menjadi impian setiap orang untuk memilikinya, membuat “Intan” mudah dikenal dan menarik untuk segera dinikmati
(ditonton). Nama-nama tokoh dalam
“Intan” juga pendek. Fenomena serupa
juga dilakukan dalam senetron “Wulan”
dan “Candy” (RCTI), “Nadia” (SCTV),
serta “Nayla” (Indosiar). Sinetron-sinetron tersebut menjadi pesaing “Intan”.
Rating “Intan” pernah turun menjadi peringkat kedua di bawah sinetron
“Olivia”, meskipun kemudian bertengger
di urutan pertama lagi. Hal itu terjadi,
antara lain, para pemirsa “Intan” merasa
kecewa karena tokoh Rangga (Ryan
Maladi), anak Intan (Naysilla Mirdad),
dan Ello (Glenn Alinskie) meninggal karena kecelakaan lalu-lintas ketika bersama satu mobil dengan tokoh utama lain-
nya, yaitu Rado (Dude Herlino), calon
pengganti tokoh Ello yang meninggal juga karena kecelakaan lalu lintas, untuk
menjadi ayah tiri Rangga. Tokoh Rangga
yang diharapkan menjadi perekat hubungan keluarga Arman/Jamal (Anwar
Fuady) dan Nadine/Yana (Meriam
Bellina), orang tua Ello dengan Intan setelah Ello meninggal. Mungkin diharapkan untuk memuluskan jalan tokoh Intan
dan Rado ke jenjang pernikahan karena
Intan nyaris menikah dengan Romy
(Rama Michael), kakak Ello, untuk memenuhi syarat yang dikehendaki Nadine.
2. Di Balik Kesuksesan Rating ”Intan”
Di balik kesuksesannya mempertahankan rating puncak, mega sinetron
“Intan” produksi Sinem-Art ternyata
juga banyak mendapat komentar miring,
antara lain sebagai berikut.
(a) Sebagai Karya Jiplakan atau
Adaptasi
Tidak banyak yang mengetahui bahwa
jalan cerita “Intan” merupakan hasil jiplakan dari drama film Korea yang berjudul ”Be Strong Geum Soon” (BSGS).
Meskipun demikian, SinemArt tidak
mengakui dan mencantumkan judul asli
drama Korea tersebut dalam credit
title—seharusnya ada penjelasan mana
yang jiplakan dan mana yang adaptasi.
BSGS ditulis oleh Lee Jung Sun dan disutradarai oleh Lee Dae Young. BSGS
bercerita tentang seorang gadis yang ditinggal ibunya. Ia memiliki cita-cita
yang kuat untuk menjadi penata rambut
terkenal (cf. gadis dalam BSGS tersebut
dengan tokoh Intan dalam “Intan”).
Arswendo Atmowiloto, pelaku dan
pengamat sinetron mengatakan bahwa
paling tidak ada 20 judul sinetron
berindikasi melakukan penjiplakan berat
terhadap serial televisi luar negeri.
Bahkan, ada dua judul sinetron yang
ditayangkan dua stasiun televisi berbeda
yang sama-sama menjiplak satu judul
film asing yang sama. Sebagian besar
39
sinetron yang ditayangkan pada prime
time itu menjiplak serial televisi dari
Korea.
(b) Alur yang Diulur-Ulur sampai
Ngelantur
Sejak episode ke-120, alur cerita ”Intan”
tidak sama lagi dengan alur cerita yang
diadaptasi, yaitu serial Korea berjudul
”Be Strong Geum Soon” (BSGS) yang
sampai akhir serial berjumlah 120 episode. Jika sesuai dengan BSGS, mestinya
“Intan” juga harus berakhir pada episode
ke-120 tersebut. Namun, rating “Intan”
sampai dengan episode ke-120 tengah
berada di puncak, dan “Intan” masih
mendapat tempat di hati para pemirsa,
lagi pula iklannya masih banyak. Oleh
karena itu, dengan berbagai pertimbangan perihal tersebut, kabarnya, RCTI meminta “Intan” diperpanjang menjadi 153
episode. Alur ceritera “Intan” pun diperluas dengan menghadirkan tokoh dokter
Ardi/Aldi (Mathias Muchus), ayah tokoh
Rado (Dude Herlino) dari hasil hubungan sebelum nikah dengan Mamah
Rado, Wina (Nunu Datau). Tokoh Irfan,
anak dr. Ardi bukan dengan Wina, jadi
kakak tiri Rado, hanya muncul beberapa
kali adegan. Kini disimpan, barangkali
nanti ada gunanya untuk bahan mengulur-ulur alur cerita “Intan” lagi (?).
Sebetulnya, setelah tokoh Rangga
(Ryan Maladi) dan tokoh Lastri (Nany
Wijaya), nenek Intan meninggal, para
pemirsa umumnya kecewa, maka “Intan”
harus diakhiri. Dengan dalih mengobati
kekecewaan para maniak “Intan”, maka
dengan berbagai trik, antara lain mengubah dan menambah alur cerita di sanasini, dan memunculkan tokoh-tokoh baru
dari ‘bintang-bintang’ baru sinetron yang
sedang naik daun, “Intan” yang seharusnya sudah berakhir pada episode 153,
dan kemudian diperpanjang sampai dengan episode ke-174, nyatanya hingga
hari Rabu tanggal 4 Juli 2007, “Intan”
masih tayang pada episode ke-247. Sampai kapan “Intan” berhenti tayang, baik
40
produser (Leo Sutanto), sutradara
(Doddy Djanas), maupun penulis skenario (Serena Luna) sekali pun juga belum
tahu.
Orientasinya
pasti
profit.
“Bukankah sinetron merupakan genre
film, dan film merupakan produk industri—industri perfilman?” Berbeda dengan proses dramaturgi, proses cinematografi adalah proses industrialisasi yang
profit oriented.
(c) Kejar Rating, Kejar Iklan, Kejar
Tayang, Kejar Uang
Terjadi korelasi timbal balik dan saling
ketergantungan antara upaya ‘kejar rating’, ‘kejar iklan’, ‘kejar tayang’ (striping), dan ‘kejar uang’, termasuk “Intan”.
Rating tertinggi tidak akan diperoleh
“Intan” jika persentase audience share
terhadap “Intan” tidak tertinggi pula.
Persentase audience share terhadap
“Intan” meskipun tinggi tidak banyak artinya jika mereka tidak mau menonton
tayangan iklan pada setiap waktu jeda
iklan dan kemudian sebagian besar penonton yang bersangkutan tidak berminat dan tidak membeli produk-produk
iklan yang ditayangkan pada saat lima
kali jeda iklan dalam tayangan ”Intan”
pada tiap-tiap episodenya.
Pihak rumah produksi periklanan
tidak akan beramai-ramai, bahkan berebut, memasang iklan produk tertentu di
televisi jika tidak mendapat order dengan segala konsekuensinya, terutama
biaya, dari pihak produsen yang produknya diiklankan di televisi. Pihak produsen yang produknya diiklankan di televisi, mana mungkin bersedia mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membiayai
seluruh proses penayangan iklan produknya di televisi jika mereka tidak yakin
bahwa biaya seluruh proses penayangan
produk mereka di televisi, dalam jangka
waktu yang telah mereka perhitungkan,
akan bisa kembali (plus untung besar pula) dari peningkatan omzet hasil penjualan produk yang bersangkutan sebagai
akibat langsung dari penayangan iklan
produk mereka di televisi. RCTI tidak
akan memberi kesempatan makin longgar kepada pemasang iklan produk-produk tertentu untuk ditayangkan dalam
“Intan” jika rating dan audience share
“Intan” tidak semakin tinggi peringkatnya, minimal tidak turun. Rating dan
audience share “Intan” sempat turun gara-gara banyak pemirsa “Intan” yang kecewa semenjak alur cerita “Intan” setelah episode ke-120, 153, dan 174, seperti
telah saya kemukakan di atas, semakin
melenceng, dan terkesan diulur-ulur, dipanjang-panjangkan, atau dibelit-belitkan dari alur cerita aslinya, BSGS, yang
dikabarkan dijiplak atau diadaptasi
“Intan”.
Untuk mempertahankan, syukur
meningkatkan, rating dan audience
share terhadap “Intan”, maka pihak produser, sutradara, penulis skenario, dan
segenap kru “Intan” melakukan trik-trik,
antara lain menambah tokoh-tokoh baru
yang diperankan oleh ‘bintang-bintang’
(belum tentu aktor/aktris) yang diperkirakan marketable, menggeser, menyelipkan, mengubah, atau mengulur-ulur
alur cerita di sana-sini sesuai dengan selera sebagian (bukan seluruhnya) pasar
sehingga rem blong. Konsekuensinya,
‘kejar tayang’ (striping) tak terelakkan.
Akibatnya sudah dapat diduga. Bahkan
produser, sutradara, penulis skenario,
kru, dan para pemeran “Intan” tidak tahu
kapan “Intan” mau, dapat/bisa berakhir
atau dihentikan oleh peringkat audience
share dan atau rating. “Apakah ”Intan”
akan bernasib seperti serial sinetron
“Tersanjung”?”
Begitulah
banyak
komentar yang dapat diakses di internet.
Untuk mengetahui secara kasar berapa biaya penayangan iklan produk tertentu untuk bisa ditayangkan di RCTI
dalam “Intan” per spot untuk setiap episode yang berdurasi 60 menit, terdiri atas
lima kali jeda waktu, perhatikan Tabel 1.
Saya ambil contoh kasus “Intan” pada
episode 210, 211, dan 212. Tentu tiga
episode tersebut tidak representatif me-
wakili seluruh episode dalam penayangan “Intan” yang saat makalah ini ditulis, sudah mencapai episode ke-247, dan
tidak tahu sampai episode keberapa
“Intan” berakhir. Durasi tayang “Intan”
perepisode rata-rata 60 menit. Tiap-tiap
episode dibagi ke dalam lima jeda waktu. Tiap-tiap jeda waktu diprogramkan
dapat menayangkan rata-rata 20 spot iklan produk tertentu. Jadi, setiap episode
dengan durasi rata-rata 60 menit dapat
menayangkan iklan sebanyak 5 x 20 =
100 spot tayang iklan. Setiap satu spot
tayang iklan biayanya rata-rata Rp16 juta. Jadi biaya iklan yang ditayangkan dalam “Intan” mencapai jumlah 100 x
Rp16 juta = Rp1,6 miliar. Kalau sampai
sekarang, penayangan “Intan” sudah
mencapai, katakan, 250 episode tinggal
mengalikan Rp1,6 miliar. Jumlah biaya
tayang iklan dalam “Intan” sampai
episode 250 saja menjadi 250 x Rp1,6
miliar = Rp400 miliar rupiah. Semula,
perbandingan durasi untuk tayang iklan
dengan tayang “Intan” diprogram sama
yaitu 50% dibanding 50%. Artinya 30
menit untuk tayang “Intan” dan 30 menit
untuk tayang iklan. Lalu bagaimana kenyataannya? Lihat lagi Tabel 1. Namun,
dalam praktiknya, perbandingan antara
durasi penayangan iklan dan durasi penayangan “Intan” setiap episodenya tidaklah sama. Hal ini juga berakibat bahwa perbandingan antara pemasukan
biaya tayang iklan dan biaya produksi
“Intan” selalu mengalami perubahan. Sebagai contoh, lihat Tabel 1.
Pada episode ke-210, durasi tayang
iklan 46 menit, dan durasi tayang “Intan”
hanya 14 menit, itu pun termasuk tayangan bagian-bagian dari adegan-adegan terakhir episode sebelumnya (209)
dan bagian-bagian adegan ulang yang
merupakan teknik pengaluran back
tracking (sorot balik) untuk mengurangi
jumlah durasi dan biaya produksi syuting
“Intan”. Jumlah biaya iklan pada episode
210 adalah 165 x Rp16 juta = Rp2,640
miliar.
41
Pada episode ke-211, durasi tayang
iklan 34 menit, dan durasi tayang “Intan”
hanya 26 menit, itu pun termasuk
tayangan bagian-bagian dari adegan-adegan terakhir episode sebelumnya (210)
dan bagian-bagian adegan ulang yang
merupakan teknik pengaluran back
tracking (sorot balik) untuk mengurangi
jumlah durasi dan biaya produksi syuting
“Intan”. Jumlah biaya iklan pada episode
211 adalah, 104 x Rp16 juta = Rp1,664
miliar.
Pada episode ke 212, durasi tayang
iklan 44 menit, dan durasi tayang “Intan”
cuma 16 menit, itu pun termasuk tayangan bagian-bagian dari adegan-adegan
terakhir episode sebelumnya (211) dan
bagian-bagian adegan ulang yang merupakan teknik pengaluran back tracking
untuk mengurangi jumlah durasi dan
biaya produksi syuting “Intan”. Jumlah
biaya iklan pada episode 212 adalah 112
x Rp16 juta = Rp1,792 miliar. Contoh di
atas berdasarkan data episode 210, 211,
dan 212. Bagaimana dengan episode-episode berikutnya? Episode 247 dan seterusnya?
SIMPULAN
Banyak contoh yang menunjukkan bahwa sudah sejak lama bidang seni sastra,
teater, dan film, berkolaborasi dengan
baik dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan maupun cabang-cabang seni lainnya, baik kelembagaan maupun sendirisendiri untuk ikut andil besar dalam
membangun manusia menjadi lebih manusiawi (humaniora). Hal itu dilakukan
lewat kinerja dan karya-karya mereka,
iptek dan seni, misalnya sastra, teater,
dan film bukan monodisiplin tetapi interdisiplin dan atau multidisiplin. Telaah
tentang sastra, teater, dan film bukan hanya kajian tekstual sempit, tetapi juga
kontekstual yang melibatkan bidang-bidang ilmu pengetahuan dan cabang-cabang seni lainnya. Tokoh-tokoh ilmuwan
dan sastrawan, teaterawan, sekaligus sineas banyak sekali, misalnya, Asrul Sani
42
adalah dokter hewan (ilmuwan), sekaligus juga sastrawan, teaterawan, dan sineas; Teguh Karya, sastrawan, teaterawan, sekaligus sineas; Umar Kayam, pakar sosiologi (ilmuwan) budayawan, sastrawan, teaterawan, dan sineas; Arifin C
Noer, Sarjana Sosial Politik (ilmuwan),
sastrawan (“Selamat Pagi Jajang” adalah
karya puisinya untuk maskawin kepada
Jajang Pamuntjak, istrinya), teaterawan,
dan sineas; Putu Wijaya, sarjana hukum
(ilmuwan), sastrawan, teaterawan, dan
sineas; Budi Darma, mantan rektor (birokrat, ilmuwan), sastrawan, kritikus,
esais; N. Riantiarno, sastrawan (nominator penulis novel, puisi, apalagi naskah
lakon dan skenaro film, seperti halnya
Arifin C Noer dan Putu Wijaya); dan,
masih banyak lagi.
Film, sebagai seni pertunjukan (performance art) nyaris tidak tertandingi
oleh semua jenis seni pertunjukan mana
pun termasuk seni teater. Selain kompleks (seperti halnya teater), film, termasuk ragam sinetron film yang ditayangkan di media televisi, proses penjadiannya bisa didukung oleh berbagai bidang
teknologi informasi komunikasi dan industri sekaligus. Jika esensi utama novel
adalah narasi dan alur cerita, esensi teater adalah cakapan dan konflik, sedangkan esensi film, gambar, gerak, dan
suara. Dalam ”Intan” esensi gambar, gerak, dan suara praktis tak tergarap dengan baik, tetapi justru mengandalkan
alur cerita yang meloncat-loncat, perumitan, dan cakapan, dengan pertimbangan utama penghematan biaya produksi untuk mengeruk untung sebesarbesarnya, meski mengecewakan banyak
pemirsa. Jika peringkat audience share
yang bisa mendongkrak rating “Intan”
tetap tinggi, menurut hemat saya, bukan
karena kualitas “Intan” dari segi ilmiah
maupun seni. Para pemirsa ingin terus
menonton bukan karena aspek filmya
yang bagus, melainkan karena mereka
ingin tahu apa akhir cerita. Untuk mengikat pemirsa agar terus mengikuti
“Intan”, trik yang dianggap jitu oleh produser, sutradara, dan penulis skenario
“Intan” adalah mengulur-ulur dan membelit-belitkan jalan cerita sehingga
“Intan” ibarat teka-teki atau misteri. “Seni bukanlah teka-teki yang menjadikan
penonton harus menebak-nebak jalan cerita dan maknanya”, kata Arifin C Noer
dalam lakonnya ”Umang-Umang”.
Sulit dimengerti peristiwa-peristiwa
yang terjadi dan bagaimana menyikapi
konflik keluarga beserta pemecahannya
dalam “Intan” merupakan refleksi dan
imajinasi realitas sosial setaraf dengan
kondisi sosiokulturul ekonomi tokoh-tokohnya. Jika memang mudah mengapa
harus dipersulit? Sebaliknya, jika sulit
mengapa dipermudah? Jika sudah waktunya berhenti mengapa diulur-ulur? Sebaliknya, bila belum selesai mengapa dihentikan mendadak? Misalnya ketika
Dude Herlino sakit, dalam “Intan”, Rado
dikatakan sedang ke luar kota. Begitu juga ketika Naysilla Mirdad (Intan) sakit,
Intan harus berobat ke Amerika menemui dr. Ardi (Mathias Muchus) dan
Wina (Nunu Datau), ayah dan ibu Rado.
Mereka tak digambarkan dalam “Intan”.
Saya kurang sependapat dengan Harsiwi
yang mengatakan bahwa alasan “Intan”
digandrungi para penonton karena temanya merakyat dan menggambarkan kehidupan sehari-hari (di kota Jakarta?).
“Intan” mengeksploitasi sikap, perilaku,
dan gaya hidup budaya kota Jakarta. Semoga tidak terjadi dalam perkembangan
sastra Indonesia dan dunia. Sastra, teater,
dan film tidak harus miskin ideologi dan
budaya.
Catatan: tulisan ini pernah dipresentasikan
di Konferensi Internasional Kesastraan
XVIII di Jakarta, 7—9 Agustus 2007
DAFTAR PUSTAKA
Bintarto. 1987. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia
dalam Enam Pertanyaan (Esai-esai
Sastra dan Budaya). Jakarta: Freedom Institute.
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban
Sastra Indonesia (sebuah orientasi
kritik). Jakarta: Bening.
Toda, Dami N. 2005. Apakah Sastra?.
Magelang: Indonesiatera.
43
Download