8 BAB II PRIMER SEXING DALAM PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA BURUNG FAMILIA COLUMBIDAE A. Familia Columbidae Familia Columbidae ditemukan hampir di semua habitat teresterial dari wilayah temperata sampai wilayah tropis, namun penyebaran tertingginya berada pada hutan hujan tropis (Camfield, 2004). Diperkirakan semua anggota Familia Columbidae berasal dari kawasan Asia Tenggara dan Australia (Sarwono, 1999). Distribusi Familia Columbidae juga terdapat disepanjang Asia, India dan Eropa (Wu et al., 2007). Salah satu anggota dari Familia Columbidae yaitu burung perkutut (Geopelia striata) yang merupakan salah satu burung pemakan bijibijian, burung ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan burung lainnya. Kelebihan dari perkutut adalah mampu mengeluarkan suara yang terdengar merdu. Menurut Sarwono (1999), ciri utama dari burung Familia Columbidae yaitu anak yang baru dilahirkan matanya terbuka dan tinggal di dalam sarang, burung jantan dan burung betina perutnya bertembolok dan dari temboloknya bisa mengeluarkan cairan kental untuk makanan anaknya yang masih kecil, burung jantan dan betina dewasa hidup berpasangan dan bertelur hanya dua butir dalam satu musim kawin. Burung jantan dari Familia Columbidae ini dapat berbunyi terus menerus dengan irama yang bagus, sedangkan burung betina berbunyi kadang-kadang saja dan iramanya tidak semerdu jantan. 9 1. Columba livia (merpati) Burung merpati (Gambar 2.1) tersebar di seluruh belahan dunia. Burung ini berasal dari Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara (Tn1, 2008). Warna burung merpati beragam, umumnya perpaduan warna abu-abu, hitam, putih, dan cokelat, dengan kilau ungu dan hijau (Tn1, 2008). Pada alam aslinya, sarang merpati liar biasanya terdapat pada celah-celah bebatuan di samping tebing, dekat dengan pertanian atau vegetasi semak terbuka. Merpati yang hidup di perkotaan biasanya hidup di gedung-gedung pencakar langit yang mirip dengan habitat aslinya yaitu tebing-tebing yang tinggi (Roof, 2008). Di Indonesia, pemeliharaan merpati sudah banyak dilakukan. Klasifikasi burung merpati menurut Gmelin, 1789 (Grouw, tanpa tahun) sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species Gambar 2.1 Burung Merpati (Sumber: dokumentasi pribadi) : Animalia : Chordata : Aves : Columbiformes : Columbidae : Columba : Columba livia Gmelin (Merpati) 10 2. Geopelia striata (perkutut) Burung perkutut (Gambar 2.2) banyak ditemukan di Asia, Burma bagian selatan, Malaysia, Asia tenggara dan tersebar di seluruh belahan dunia (Tn1, 2008). Bulu di bagian atas badan burung ini, berwarna kelabu dan terdapat garisgaris yang gelap pada bagian belakang pangkal tengkuk (Tn1, 2008). Burung perkutut (Geopelia striata) yang merupakan salah satu burung pemakan biji-bijian, burung ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan burung lainnya. Kelebihan perkutut adalah mampu mengeluarkan suara yang terdengar merdu. Burung perkutut yang telah banyak memenangkan kejuaran burung kicauan memiliki harga jual tinggi hingga mencapai jutaan rupiah. Klasifikasi burung perkutut menurut Linnaeus, 1766 dalam ITIS (2009a) sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species Gambar 2.2 Burung Perkutut (Sumber: dokumentasi pribadi) : Animalia : Chordata : Aves : Columbiformes : Columbidae : Geopelia : Geopelia striata Linnaeus (Perkutut) 11 3. Streptopelia bitorquata (puter) Burung puter (Gambar 2.3) merupakan salah satu spesies dari Familia Columbidae yang tersebar di daerah Asia Tenggara. Habitat asli dari burung ini yaitu di daerah hutan daratan rendah subtropis atau tropis dan juga daerah hutan mangrove tropis (Tn1, 2008). Klasifikasi burung puter menurut Temminck, 1809 dalam ITIS (2009b) sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species : Animalia : Chordata : Aves : Columbiformes : Columbidae : Streptopelia : Streptopelia bitorquata Temminck (Puter) Gambar 2.3 Burung Puter (Sumber: dokumentasi pribadi) 4. Streptopelia chinensis (tekukur) Burung tekukur (Gambar 2.4) merupakan burung yang berasal dari Asia Timur dan diperkenalkan ke Australia sekitar tahun 1800-an, dan sekarang banyak tersebar diseluruh belahan dunia (Tn1, 2008). Bulu di bagian ventral berwarna cokelat, sedangkan di daerah dorsal dan sayap berwarna kehitaman. Ciri khusus dari burung ini yaitu bulu di bagian punggung lehernya yang berpola hitam-putih. 12 Klasifikasi burung tekukur menurut Scopoli, 1786 dalam ITIS (2009c) sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species : Animalia : Chordata : Aves : Columbiformes : Columbidae : Streptopelia : Streptopelia chinensis Scopoli (Tekukur) Gambar 2.4 Burung Tekukur (Sumber: dokumentasi pribadi) B. Penanda Genetik Teknik-teknik yang digunakan dalam genetika modern banyak menggunakan penanda genetik sebagai alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu individu atau sampel yang diambil. Penanda genetik disebut juga dengan penanda, marker, marka, atau markah. Penanda genetik merupakan karakter/senyawa/DNA yang dapat menjadi penanda suatu karakter lain yang dicari. Penanda genetik dapat membantu hubungan suatu penyakit bawaan dengan gen yang bersangkutan. Segmen DNA yang berdekatan satu sama lain pada kromosom yang cenderung diwariskan bersama. Penanda genetik digunakan untuk melacak gen yang berdekatan dengan gen yang diwariskan yang belum teridentifikasi, tetapi lokasi yang diperkirakan diketahui. Penanda genetik itu 13 sendiri mungkin merupakan bagian dari gen atau mungkin tidak memiliki fungsi yang diketahui. (Hurle, 2010). Penanda genetik merupakan cara mudah untuk mengidentifikasi materi genetik, yang pada umumnya adalah DNA, dimana dapat digunakan untuk menjelaskan dalam tingkat sel, individu, populasi, ataupun spesies. Penggunaan penanda genetik dimulai dengan pengekstrakan bahan kimia (untuk penanda biokimia) atau DNA (untuk penanda molekuler) dari jaringan atau sel mahluk hidup (USDA, 2006). Terdapat beberapa jenis penanda genetik yang telah banyak digunakan dalam menganalisis genom, diantaranya yaitu penanda morfologi, penanda protein dan penanda DNA. Untuk menjadi penanda genetik, lokus dari penanda harus lokus yang secara eksperimen dapat mendeteksi variasi diantara individu di dalam pengujian populasi. Perbedaan jenis penanda bisa mengidentifikasi polimorfisme yang berbeda juga (Liu, 1998). Penanda genetik hanya berguna apabila penanda genetik tersebut polimorfik dan terpaut dengan sifat yang akan diamati atau dengan penanda genetik lain. Syarat polimorfik diperlukan karena penanda genetik harus bisa membedakan individu-individu dalam populasi yang diteliti. Suatu penanda genetik harus bisa mengelompokkan individu paling tidak dalam dua kelompok. Syarat terpaut dengan penanda, gen, atau sifat lain diperlukan karena fungsi penanda genetik adalah sebagai tanda pengenal yang harus melekat pada sifat yang diteliti (Liu, 1998) 14 Penanda genetik mempunyai dua kelas, yang pertama yaitu penanda bersifat kodominan yang dapat membedakan ketiga kelas genotipe pada generasi F2 (dua homozigot dan heterozigot). Kedua, penanda yang bersifat dominan yang tidak dapat memisahkan heterozigot dari salah satu kelas homozigot (USDA, 2006). C. Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen spesifik untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. (Prijanto, 1992). Fatchiyah (2006b) mengatakan bahwa proses PCR merupakan proses siklus yang berulang meliputi denaturasi, annealing dan ekstensi oleh enzim DNA polimerase. Sepasang primer oligonukleotida yang spesifik digunakan untuk membuat hibrid dengan ujung-5’ menuju ujung-3’ untai DNA target dan mengamplifikasi untuk urutan yang diinginkan. Dasar siklus PCR ada 30-35 siklus meliputi denaturation, annealing dan extension. Proses amplifikasi dengan menggunakan PCR dapat dilihat pada Gambar 2.5 (Orac, 2007). Siklus dan waktu PCR tergantung panjang pendeknya ukuran DNA yang diinginkan sebagai produk amplifikasi. Menurut Abdullah dan Retnoningrum (2003), teknik PCR didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA spesifik dimana terjadi penggandaan jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu yang relatif singkat. 15 Dalam proses PCR, sejumlah kecil DNA akan diamplifikasi dibantu oleh enzim yang disebut Taq DNA polymerase, dimana suatu deonukleotida (dNTPs) akan komplementer dengan cetakan DNA yang diamplifikasi. Pada proses PCR ini juga terdapat primer yang merupakan titik awal dari proses polimerasi. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi (Suryanto, 2003). Gambar 2.5. Amplifikasi DNA menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction) (Sumber : Orac, 2007) Pada reaksi PCR diperlukan DNA template, primer spesifik, enzim DNA polymerase yang thermostabil, buffer, ion Mg 2+ , deonukleotida (dNTPs) dan 16 PCR thermal cycler. Komposisi larutan dalam satu tabung PCR, yaitu terdiri dari DNA, buffer, MgCl2, dNTPs, enzim Taq Polymerase, Primer spesifik dan deionwater sebagai pelarut. D. Elektroforesis Elektroforesis adalah proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tersebut bergantung pada muatan, bentuk dan ukuran molekulnya. Prinsip kerja dari elektroforesis yaitu berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif (anion), dalam hal tersebut DNA, yang bergerak menuju kutub positif (anode), sedangkan partikel-partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak menuju kutub negatif (anode) (Klug & Cummings 1994). Gambar 2.6. memperlihatkan tahapan kerja elektroforesis. Posisi molekul yang terseparasi dapat dilihat dengan pewarnaan gel. Untuk mendeteksi potongan-potongan DNA Gambar 2.6. Tahapan kerja elektroforesis (Sumber: Pradhika, 2008) 17 berupa larik DNA pada gel agarosa digunakan pewarna yang mengandung fluoresen dengan konsentrasi rendah, seperti intercalating agent ethidium bromide (EtBr) (Fatchiyah, 2006a). Pada proses elektroforesis ini dibutuhkan agar atau gel sebagai medium untuk pemisahan DNA. Ada dua tipe gel dalam proses elektroforesis yaitu agarosa dan polyakrilamid. Agarosa adalah koloid alami yang diekstrak dari rumput laut. Agarosa mudah pecah dan rusak oleh tangan. Gel agarosa memiliki pori berukuran besar dan kegunaan utamanya untuk memisahkan molekul yang sangat besar dengan berat molekul lebih dari 200 kilodalton (Tn2, 2010). Karakteristik dari gel agarosa dan poliakrilamid dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Karakteristik Gel Agarosa dan Poliakrilamid. Jenis gel Konsentrasi gel (%) 0,2 0,4 0,6 0,8 Agarosa 1,0 1,5 2,0 3,0 3,5 5,0 8,0 Poliakrilamid 12,0 15,0 20,0 (Sumber: Sambrook et al., 1989) Ukuran pita DNA yang dapat dipisahkan (pb) 5000-40000 5000-30000 3000-10000 1000-7000 500-5000 300-3000 200-1500 100-1000 1000-2000 80-500 60-400 40-200 25-150 6-100 18 Resolusi optimal dalam separasi fragmen DNA akan didapatkan apabila pemilihan konsentrasi agarosa tepat. Besar kecilnya pori-pori pada agarosa ditentukan oleh konsentrasinya, makin tinggi konsentrasi agarosa, maka makin kecil pori yang terbentuk. Pori-pori ini berfungsi sebagai saringan molekul, dimana migrasi fragmen DNA yang besar akan lebih lambat daripada fragmen yang lebih kecil (Fatchiyah, 2006a). E. Metode Sexing Metode sexing untuk membedakan jenis kelamin pada burung ada beberapa cara yaitu secara non molekuler dan secara molekuler. Metode sexing secara non molekuler diantaranya yaitu vent sexing, karyotyping, steroid sexing pada feses dan laparoskopi. Metode sexing secara molekuler pada umumnya menggunakan metode PCR dengan menggunakan penanda genetik khusus jenis kelamin. Cara-cara untuk menentukan jenis kelamin non molekuler ini mempunyai beberapa kelemahan. 1. Vent sexing Vent sexing adalah metode dipopulerkan pada tahun 1930 oleh seorang profesor Jepang, Kiyoshi Masui. Sexers vent dilatih di sekolah sexing ayam dan dengan mudah bisa mendapatkan hasil dengan keakuratan 95% dalam sexing. Seorang spesialis juga bisa salah dalam mengidentifikasi burung monomorfik (Bramwell, 2003). Metode ini diperlukan orang yang terlatih dan banyak pengalaman. Metode ini membedakan jenis kelamin berdasarkan area kloaka untuk melihat ada tidaknya alat kelamin jantan. 19 2. Laparoskopi Laparoskopi dapat melihat karakteristik fisik saluran reproduksi dan hasilnya dapat dilihat langsung. Gonad burung dewasa adalah mudah divisualisasikan dibandingkan dengan anakan. Seorang ahli dapat mengidentifikasi jenis kelamin anakan juga. Melihat organ seks menggunakan laparoskop atau otoscope, diperlukan sayatan kecil di sisi kiri tubuh burung. Pada anakan betina, indung telur sering tidak ditemukan. Kelemahan utama dari laparoskopi adalah dibutuhkan anestesi dan risiko cedera pada organ vital. Pra Pemeriksaan bisa berbahaya dan bahkan dapat membuat burung mati (Swengel, 1996). 3. Karyotyping Sumber untuk isolasi kromosom dan penentuan kariotipe dapat diperoleh dari kultur sel yang umumnya berasal dari bulu atau sel darah. Karena sebagian besar kromosom spesies burung adalah mikrokromosom, sulit untuk menghitung mikrokromosom ini secara akurat. Karena berukuran besar kromosom Z dapat dibedakan dari kromosom W yang lebih kecil (Archawaranon, 2004). Seorang cytogeneticist berpengalaman dapat memperoleh hasil yang akurat. Kerugian utama dari analisis kromosom adalah prosedur yang memakan waktu (Christidis, 1985). Metode ini tidak dapat diterapkan untuk burung unta, karena rendah perbedaan dari kromosom Z dan W (Malagó Jr et al., 2002). 4. Steroid sexing pada feses Metode ini didasarkan pada tingkat hormon estrogen/testosteron (E/T) dalam kotoran burung. Kotoran burung betina memiliki E/T rasio yang tinggi 20 daripada burung jantan. Sampel feses segar diperlukan untuk tes ini. Karena adanya perbedaan musiman dan usia, beberapa hasil tumpang tindih sesekali pada rasio hormon terutama selama bukan musim kawin. Hasil terbaik dapat diperoleh hanya dari burung-burung dewasa selama musim kawin (Swengel, 1996). F. Primer Sexing Penentuan jenis kelamin secara molekuler menjadi teknik dasar dalam memahami struktur seksual dan dinamika dari populasi alami (Zeng, 2009). Metode untuk mengidentifikasi jenis kelamin burung tanpa perbedaan morfologi eksternal (sexual dimorphism) sangat penting dalam studi lapangan dan untuk kepastian breeding. Pemeriksaan kromosom atau kariotipe dapat diaplikasikan pada hampir semua spesies burung (Miyaki, 1998). Jenis kelamin dapat dibedakan karena betina mempunyai dua tipe kromosom seks (W dan Z), sedangkan pada jantan, hanya Z yang ada (ZZ) (Griffiths, et al., 1998). Teknik molekuler untuk membedakan jenis kelamin pada burung diperkenalkan pertama kali pada tahun 1995, dengan lokasi gen yang terletak pada kromosom W (Griffiths & Tiwari, 1995). Gen yang sama seperti gen ini juga ditemukan pada kromosom Z (Griffiths & Korn 1997). Banyak peneliti menggunakan penanda molekuler dalam menentukan jenis kelamin burung. Oleh karena adanya keterpautan (linkage) antara posisi daerah penanda kekhususan sex (Choromo-helicase-DNA-binding) dengan kromosom kelamin pada kelompok aves (kromosom Z dan kromosom W) (Griffith & Korn, 1997), maka penentuan jenis kelamin secara molekuler akan menjadi lebih 21 mudah. Gen Chromo-Helicase-DNA-binding (CHD) ini terdiri dari dua gametologs pada kromosom seks Z dan W burung, dimana intron dari dua gametologs memiliki panjang yang berbeda tetapi diapit urutan nukleotida yang sangat lestari atau conserved (Conway et al., 2004). Gambar 2.7. Urutan sekuen dari gen CHD-W dan CHD-Z pada tiga jenis burung Familia Columbidae. Kotak merah menunjukkan lokasi penempelan primer, urutan basa yang ada pada jantan dan betina dan urutan basa yang ada hanya pada betina. Simbol bintang dan garis menunjukkan daerah conserved dan deleted antara gen CHD-W dan CHD-Z. (Huang et al., 2011) 22 Salah satu penanda molekuler atau primer sexing yang sering dipakai pada burung yaitu P2/P8 yang didesain oleh Griffiths. Griffiths, et al. (1998) mengatakan bahwa identifikasi jenis kelamin berbasis DNA merupakan suatu solusi yang baik. Primer P2 merupakan primer reverse; sedangkan P8 merupakan primer forward yang digunakan untuk mengetahui jenis kelamin burung pada umumnya. Griffiths et al. (1998) dalam jurnalnya menuliskan, urutan basa dari P8 yaitu 5’-CTCCCAAGGATGAGRAAYTG-3’, sedangkan P2 yaitu 5’TCTGCATCGCTAAATCCTTT-3’. P2 dan P8 menempel pada gen CHD pada kromosom Z dan W (Gambar 2.6). Penggunaan primer sexing P2/P8 hampir bersifat universal pada burung untuk menentukan jenis kelaminnya dan merupakan cara yang efektif untuk membedakan burung jantan dari burung betina. Griffiths et al. (1998) dalam jurnalnya juga mencantumkan, untuk ukuran basa pita DNA yang dihasilkan dari PCR yaitu berkisar antara 300 pb – 400 bp, dimana terdapat variasi ukuran pada setiap spesies. Primer sexing banyak digunakan para peneliti untuk membedakan jenis kelamin pada burung. Primer yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin pada burung sangat spesifik terutama untuk tingkat ordo atau Familia (Griffiths & Tiwari, 1995; Ellegren & Sheldon, 1997). Primer sexing 1237L/1272H diciptakan untuk membedakan jenis kelamin pada burung, posisi gen CHD yang diamplifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Shizuka & Bruce, 2008). Pada gambar tersebut dapat dilihat perkiraan posisi primer ini menempel pada ekson yang terdapat pada gen CHD baik pada kromosom Z maupun kromosom W. Pada proses PCR nantinya ekson akan dimplifikasi beserta intron. Seperti halnya 23 primer 1237L/1272H, primer sexing P2 dan P8 juga menempel pada ekson yang terdapat pada gen CHD baik pada kromosom Z maupun kromosom W. Gambar 2.8. Visualisasi bagian dari gen CHD yang digunakan untuk identifikasi jenis kelamin, tanda panah menunjukan perkiraan lokasi penempelan untuk masing-masing primer 1237L/1272H dan garis tipis menunjukan lokasi gen yang diamplifikasi masing-masing primer. (Shizuka & Bruce, 2008) Terdapat pula primer yang hanya menempel pada CHD yang ada pada kromosom W. Penelitian yang dilakukan pada burung Familia Columbidae untuk membedakan jenis kelamin yaitu dengan mendesain primer baru OPAV 17F dan 17R berasal dari seleksi beberapa jenis primer RAPD yang diisolasi dari darah Streptopelia oriental betina (Wu et al., 2007). Primer ini digunakan untuk mengetahui jenis kelamin betina saja. 24 G. Aplikasi Molecular Sexing Banyak spesies burung memiliki seksual monomorfik atau hanya memperlihatkan sedikit seksual dimorfisme. Dalam kasus tersebut, penentuan jenis kelamin berdasarkan morfologi adalah sulit. Metode sexing secara molekuler dapat digunakan, namun memilih metode dan protokol yang tepat bergantung pada spesies yang dipelajari (Kocijan et al., 2011). Proses kawin pada burung dapat terjadi dengan memasukkan burung jantan dan burung betina dalam satu sangkar untuk dikembangbiakan. Pada umumnya peternak tidak yakin dengan jenis kelamin burung tersebut, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan anakan dari burung monomorfik tersebut. Perbedaan dalam harga jual dan biaya perawatan spesies burung jantan dan betina dan juga waktu yang dihabiskan untuk proses pengembangbiakannya menyebabkan kerugian yang signifikan (Cerit & Avanus, 2007). Semakin cepat jenis kelamin diketahui maka semakin sedikit pula kerugian yang diderita. Metode sexing secara molekuler ini dapat dijadikan alat untuk deteksi dini pada burung-burung monomorfik. Primer P2 dan P8 telah banyak digunakan untuk menentukan jenis kelamin burung. Dawson et al. (2001) menentukan jenis kelamin pada burung laut Aethia cristatella di pasifik utara menggunakan metode PCR dengan primer P2 dan P8. Burung laut ini hanya memiliki satu anakan setiap masa kawin. Selain itu pula, burung ini merupakan burung monomorfik. Hasil yang diperoleh menunjukan 2 pita pada betina dan 1 pita pada jantan yang berukuran antara 365 pb – 391 pb. 25 Selain Dawson (2001), Chang (2008) juga menggunakan primer P2 dan P8 ini dalam menentukan jenis kelamin Spilornis cheela hoya (S. c. hoya) dan Pycnonotus sinensis (P. sinensis) yang memiliki ukuran larik hasil amplifikasi yaitu berada di kisaran 300 pb – 400 pb. Pada penelitian yang dilakukan Natakoesoemah (2003), hasil penelitian membuktikan bahwa penentuan jenis kelamin secara morfologi pada burung monomorfik khususnya burung Gelatik Jawa mempunyai persentase kesalahan yang cukup tinggi. Dari 36 sampel burung Gelatik Jawa yang digunakan, secara morfologi diperoleh 18 ekor betina dan 18 ekor jantan. Sedangkan secara molekuler diperoleh 8 ekor betina dan 28 ekor jantan yang memiliki ukuran larik hasil amplifikasi yaitu 350 pb dan 400 pb. Penelitian ini menggunakan primer sexing P2 dan P8-G yang merupakan modifikasi dari primer P2 dan P8. Suhu annealing yang dipakai untuk amplifikasi Gelatik Jawa yaitu 56oC. Zaniar (2002), melakukan penelitian menggunakan penanda molekuler untuk menentukan jenis kelamin pada burung Betet Jawa (Psittacula alexandri alexandri). Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu berasal dari darah burung Betet Jawa. Sampel darah yang telah dipurifikasi kemudian diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer sexing yaitu P2 dan P8.3 yang merupakan modifikasi dari primer P2 dan P8. Dari 20 sampel darah burung Betet Jawa yang diuji teramplifikasi dengan baik dan diperoleh ukuran sebesar 382 pb untuk kromosom Z dan 400 pb untuk kromosom W, dan dari hasil anallisis DNA ini diperoleh 10 sampel adalah betina dan sisanya jantan. Berdasarkan hasil uji silang pengecekan jenis kelamin dengan karakter morfologi menunjukkan bahwa 26 teknik molekuler sangat efektif untuk membedakan jenis kelamin untuk burungburung muda dan dewasa dibandingkan dengan karakter morfologi. Kocijan (2011), melakukan penelitian dengan molekuler sexing menggunakan dua primer yang berbeda yaitu P2/P8 dan 2550F/2718R. Hasilnya adalah pasangan primer P2/P8 efektif pada burung Passeriformes, sedangkan 2550F/2718R tidak. Sebaliknya untuk dua spesies yang mewakili Falconiformes dan Pelecaniformes, 2550F/2718R penggunaannya efektif.