S_BIO_0606967_ BAB II

advertisement
8
BAB II
PRIMER SEXING DALAM PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA
BURUNG FAMILIA COLUMBIDAE
A. Familia Columbidae
Familia Columbidae ditemukan hampir di semua habitat teresterial dari
wilayah temperata sampai wilayah tropis, namun penyebaran tertingginya berada
pada hutan hujan tropis (Camfield, 2004). Diperkirakan semua anggota Familia
Columbidae berasal dari kawasan Asia Tenggara dan Australia (Sarwono, 1999).
Distribusi Familia Columbidae juga terdapat disepanjang Asia, India dan Eropa
(Wu et al., 2007). Salah satu anggota dari Familia Columbidae yaitu burung
perkutut (Geopelia striata) yang merupakan salah satu burung pemakan bijibijian, burung ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan burung lainnya.
Kelebihan dari perkutut adalah mampu mengeluarkan suara yang terdengar
merdu.
Menurut Sarwono (1999), ciri utama dari burung Familia Columbidae
yaitu anak yang baru dilahirkan matanya terbuka dan tinggal di dalam sarang,
burung jantan dan burung betina perutnya bertembolok dan dari temboloknya bisa
mengeluarkan cairan kental untuk makanan anaknya yang masih kecil, burung
jantan dan betina dewasa hidup berpasangan dan bertelur hanya dua butir dalam
satu musim kawin. Burung jantan dari Familia Columbidae ini dapat berbunyi
terus menerus dengan irama yang bagus, sedangkan burung betina berbunyi
kadang-kadang saja dan iramanya tidak semerdu jantan.
9
1. Columba livia (merpati)
Burung merpati (Gambar 2.1) tersebar di seluruh belahan dunia. Burung
ini berasal dari Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara (Tn1, 2008). Warna burung
merpati beragam, umumnya perpaduan warna abu-abu, hitam, putih, dan cokelat,
dengan kilau ungu dan hijau (Tn1, 2008).
Pada alam aslinya, sarang merpati liar biasanya terdapat pada celah-celah
bebatuan di samping tebing, dekat dengan pertanian atau vegetasi semak terbuka.
Merpati yang hidup di perkotaan biasanya hidup di gedung-gedung pencakar
langit yang mirip dengan habitat aslinya yaitu tebing-tebing yang tinggi (Roof,
2008). Di Indonesia, pemeliharaan merpati sudah banyak dilakukan. Klasifikasi
burung merpati menurut Gmelin, 1789 (Grouw, tanpa tahun) sebagai berikut:
Kingdom
Phylum
Class
Order
Family
Genus
Species
Gambar 2.1 Burung Merpati
(Sumber: dokumentasi pribadi)
: Animalia
: Chordata
: Aves
: Columbiformes
: Columbidae
: Columba
: Columba livia Gmelin
(Merpati)
10
2. Geopelia striata (perkutut)
Burung perkutut (Gambar 2.2) banyak ditemukan di Asia, Burma bagian
selatan, Malaysia, Asia tenggara dan tersebar di seluruh belahan dunia (Tn1,
2008). Bulu di bagian atas badan burung ini, berwarna kelabu dan terdapat garisgaris yang gelap pada bagian belakang pangkal tengkuk (Tn1, 2008).
Burung perkutut (Geopelia striata) yang merupakan salah satu burung
pemakan
biji-bijian, burung ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
burung lainnya. Kelebihan perkutut adalah mampu mengeluarkan suara yang
terdengar merdu. Burung perkutut yang telah banyak memenangkan kejuaran
burung kicauan memiliki harga jual tinggi hingga mencapai jutaan rupiah.
Klasifikasi burung perkutut menurut Linnaeus, 1766 dalam ITIS (2009a) sebagai
berikut:
Kingdom
Phylum
Class
Order
Family
Genus
Species
Gambar 2.2 Burung Perkutut
(Sumber: dokumentasi pribadi)
: Animalia
: Chordata
: Aves
: Columbiformes
: Columbidae
: Geopelia
: Geopelia striata Linnaeus
(Perkutut)
11
3. Streptopelia bitorquata (puter)
Burung puter (Gambar 2.3) merupakan salah satu spesies dari Familia
Columbidae yang tersebar di daerah Asia Tenggara. Habitat asli dari burung ini
yaitu di daerah hutan daratan rendah subtropis atau tropis dan juga daerah hutan
mangrove tropis (Tn1, 2008). Klasifikasi burung puter menurut Temminck, 1809
dalam ITIS (2009b) sebagai berikut:
Kingdom
Phylum
Class
Order
Family
Genus
Species
: Animalia
: Chordata
: Aves
: Columbiformes
: Columbidae
: Streptopelia
: Streptopelia bitorquata
Temminck (Puter)
Gambar 2.3 Burung Puter
(Sumber: dokumentasi pribadi)
4. Streptopelia chinensis (tekukur)
Burung tekukur (Gambar 2.4) merupakan burung yang berasal dari Asia
Timur dan diperkenalkan ke Australia sekitar tahun 1800-an, dan sekarang banyak
tersebar diseluruh belahan dunia (Tn1, 2008). Bulu di bagian ventral berwarna
cokelat, sedangkan di daerah dorsal dan sayap berwarna kehitaman. Ciri khusus
dari burung ini yaitu bulu di bagian punggung lehernya yang berpola hitam-putih.
12
Klasifikasi burung tekukur menurut Scopoli, 1786 dalam ITIS (2009c) sebagai
berikut:
Kingdom
Phylum
Class
Order
Family
Genus
Species
: Animalia
: Chordata
: Aves
: Columbiformes
: Columbidae
: Streptopelia
: Streptopelia chinensis
Scopoli (Tekukur)
Gambar 2.4 Burung Tekukur
(Sumber: dokumentasi pribadi)
B. Penanda Genetik
Teknik-teknik
yang
digunakan
dalam
genetika
modern
banyak
menggunakan penanda genetik sebagai alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu
individu atau sampel yang diambil. Penanda genetik disebut juga dengan penanda,
marker, marka, atau markah. Penanda genetik merupakan karakter/senyawa/DNA
yang dapat menjadi penanda suatu karakter lain yang dicari.
Penanda genetik dapat membantu hubungan suatu penyakit bawaan
dengan gen yang bersangkutan. Segmen DNA yang berdekatan satu sama lain
pada kromosom yang cenderung diwariskan bersama. Penanda genetik digunakan
untuk melacak gen yang berdekatan dengan gen yang diwariskan yang belum
teridentifikasi, tetapi lokasi yang diperkirakan diketahui. Penanda genetik itu
13
sendiri mungkin merupakan bagian dari gen atau mungkin tidak memiliki fungsi
yang diketahui. (Hurle, 2010).
Penanda genetik merupakan cara mudah untuk mengidentifikasi materi
genetik, yang pada umumnya adalah DNA, dimana dapat digunakan untuk
menjelaskan dalam tingkat sel, individu, populasi, ataupun spesies. Penggunaan
penanda genetik dimulai dengan pengekstrakan bahan kimia (untuk penanda
biokimia) atau DNA (untuk penanda molekuler) dari jaringan atau sel mahluk
hidup (USDA, 2006).
Terdapat beberapa jenis penanda genetik yang telah banyak digunakan
dalam menganalisis genom, diantaranya yaitu penanda morfologi, penanda
protein dan penanda DNA. Untuk menjadi penanda genetik, lokus dari penanda
harus lokus yang secara eksperimen dapat mendeteksi variasi diantara individu di
dalam pengujian populasi. Perbedaan jenis penanda bisa mengidentifikasi
polimorfisme yang berbeda juga (Liu, 1998).
Penanda genetik hanya berguna apabila penanda genetik tersebut
polimorfik dan terpaut dengan sifat yang akan diamati atau dengan penanda
genetik lain. Syarat polimorfik diperlukan karena penanda genetik harus bisa
membedakan individu-individu dalam populasi yang diteliti. Suatu penanda
genetik harus bisa mengelompokkan individu paling tidak dalam dua kelompok.
Syarat terpaut dengan penanda, gen, atau sifat lain diperlukan karena fungsi
penanda genetik adalah sebagai tanda pengenal yang harus melekat pada sifat
yang diteliti (Liu, 1998)
14
Penanda genetik mempunyai dua kelas, yang pertama yaitu penanda
bersifat kodominan yang dapat membedakan ketiga kelas genotipe pada generasi
F2 (dua homozigot dan heterozigot). Kedua, penanda yang bersifat dominan yang
tidak dapat memisahkan heterozigot dari salah satu kelas homozigot (USDA,
2006).
C. Polymerase Chain Reaction
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah cara in vitro untuk
memperbanyak target sekuen spesifik untuk analisis cepat atau karakterisasi,
walaupun material yang digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit.
(Prijanto, 1992). Fatchiyah (2006b) mengatakan bahwa proses PCR merupakan
proses siklus yang berulang meliputi denaturasi, annealing dan ekstensi oleh
enzim DNA polimerase. Sepasang primer oligonukleotida yang spesifik digunakan
untuk membuat hibrid dengan ujung-5’ menuju ujung-3’ untai DNA target dan
mengamplifikasi untuk urutan yang diinginkan. Dasar siklus PCR ada 30-35
siklus meliputi denaturation, annealing dan extension. Proses amplifikasi dengan
menggunakan PCR dapat dilihat pada Gambar 2.5 (Orac, 2007). Siklus dan waktu
PCR tergantung panjang pendeknya ukuran DNA yang diinginkan
sebagai
produk amplifikasi. Menurut Abdullah dan Retnoningrum (2003), teknik PCR
didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA spesifik dimana terjadi penggandaan
jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu
yang relatif singkat.
15
Dalam proses PCR, sejumlah kecil DNA akan diamplifikasi dibantu oleh
enzim yang disebut Taq DNA polymerase, dimana suatu deonukleotida (dNTPs)
akan komplementer dengan cetakan DNA yang diamplifikasi. Pada proses PCR
ini juga terdapat primer yang merupakan titik awal dari proses polimerasi. Primer
biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah
konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik
daerah yang diamplifikasi (Suryanto, 2003).
Gambar 2.5. Amplifikasi DNA menggunakan PCR (Polymerase Chain
Reaction)
(Sumber : Orac, 2007)
Pada reaksi PCR diperlukan DNA template, primer spesifik, enzim DNA
polymerase yang thermostabil, buffer, ion Mg
2+
, deonukleotida (dNTPs) dan
16
PCR thermal cycler. Komposisi larutan dalam satu tabung PCR, yaitu terdiri dari
DNA, buffer, MgCl2, dNTPs, enzim Taq Polymerase, Primer spesifik dan deionwater sebagai pelarut.
D. Elektroforesis
Elektroforesis adalah proses bergeraknya molekul bermuatan pada
suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik
tersebut bergantung pada muatan, bentuk dan ukuran molekulnya. Prinsip kerja
dari elektroforesis yaitu berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan
negatif (anion), dalam hal tersebut DNA, yang bergerak menuju kutub positif
(anode), sedangkan partikel-partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak
menuju kutub negatif (anode) (Klug & Cummings 1994). Gambar 2.6.
memperlihatkan tahapan kerja elektroforesis. Posisi molekul yang terseparasi
dapat dilihat dengan pewarnaan gel. Untuk mendeteksi potongan-potongan DNA
Gambar 2.6. Tahapan kerja elektroforesis
(Sumber: Pradhika, 2008)
17
berupa larik DNA pada gel agarosa digunakan pewarna yang mengandung
fluoresen dengan konsentrasi rendah, seperti intercalating agent ethidium bromide
(EtBr) (Fatchiyah, 2006a).
Pada proses elektroforesis ini dibutuhkan agar atau gel sebagai medium
untuk pemisahan DNA. Ada dua tipe gel dalam proses elektroforesis yaitu agarosa
dan polyakrilamid. Agarosa adalah koloid alami yang diekstrak dari rumput laut.
Agarosa mudah pecah dan rusak oleh tangan. Gel agarosa memiliki pori
berukuran besar dan kegunaan utamanya untuk memisahkan molekul yang sangat
besar dengan berat molekul lebih dari 200 kilodalton (Tn2, 2010). Karakteristik
dari gel agarosa dan poliakrilamid dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Karakteristik Gel Agarosa dan Poliakrilamid.
Jenis gel
Konsentrasi gel
(%)
0,2
0,4
0,6
0,8
Agarosa
1,0
1,5
2,0
3,0
3,5
5,0
8,0
Poliakrilamid
12,0
15,0
20,0
(Sumber: Sambrook et al., 1989)
Ukuran pita DNA yang
dapat dipisahkan (pb)
5000-40000
5000-30000
3000-10000
1000-7000
500-5000
300-3000
200-1500
100-1000
1000-2000
80-500
60-400
40-200
25-150
6-100
18
Resolusi optimal dalam separasi fragmen DNA akan didapatkan apabila
pemilihan konsentrasi agarosa tepat. Besar kecilnya pori-pori pada agarosa
ditentukan oleh konsentrasinya, makin tinggi konsentrasi agarosa, maka makin
kecil pori yang terbentuk. Pori-pori ini berfungsi sebagai saringan molekul,
dimana migrasi fragmen DNA yang besar akan lebih lambat daripada fragmen
yang lebih kecil (Fatchiyah, 2006a).
E. Metode Sexing
Metode sexing untuk membedakan jenis kelamin pada burung ada
beberapa cara yaitu secara non molekuler dan secara molekuler. Metode sexing
secara non molekuler diantaranya yaitu vent sexing, karyotyping, steroid sexing
pada feses dan laparoskopi. Metode sexing secara molekuler pada umumnya
menggunakan metode PCR dengan menggunakan penanda genetik khusus jenis
kelamin. Cara-cara untuk menentukan jenis kelamin non molekuler ini
mempunyai beberapa kelemahan.
1.
Vent sexing
Vent sexing adalah metode dipopulerkan pada tahun 1930 oleh seorang
profesor Jepang, Kiyoshi Masui. Sexers vent dilatih di sekolah sexing ayam dan
dengan mudah bisa mendapatkan hasil dengan keakuratan 95% dalam sexing.
Seorang spesialis juga bisa salah dalam mengidentifikasi burung monomorfik
(Bramwell, 2003). Metode ini diperlukan orang yang terlatih dan banyak
pengalaman. Metode ini membedakan jenis kelamin berdasarkan area kloaka
untuk melihat ada tidaknya alat kelamin jantan.
19
2.
Laparoskopi
Laparoskopi dapat melihat karakteristik fisik saluran reproduksi dan
hasilnya dapat dilihat langsung. Gonad burung dewasa adalah mudah
divisualisasikan
dibandingkan
dengan
anakan.
Seorang
ahli
dapat
mengidentifikasi jenis kelamin anakan juga. Melihat organ seks menggunakan
laparoskop atau otoscope, diperlukan sayatan kecil di sisi kiri tubuh burung. Pada
anakan betina, indung telur sering tidak ditemukan. Kelemahan utama dari
laparoskopi adalah dibutuhkan anestesi dan risiko cedera pada organ vital. Pra
Pemeriksaan bisa berbahaya dan bahkan dapat membuat burung mati (Swengel,
1996).
3.
Karyotyping
Sumber untuk isolasi kromosom dan penentuan kariotipe dapat diperoleh
dari kultur sel yang umumnya berasal dari bulu atau sel darah. Karena sebagian
besar kromosom spesies burung adalah mikrokromosom, sulit untuk menghitung
mikrokromosom ini secara akurat. Karena berukuran besar kromosom Z dapat
dibedakan dari kromosom W yang lebih kecil (Archawaranon, 2004). Seorang
cytogeneticist berpengalaman dapat memperoleh hasil yang akurat. Kerugian
utama dari analisis kromosom adalah prosedur yang memakan waktu (Christidis,
1985). Metode ini tidak dapat diterapkan untuk burung unta, karena rendah
perbedaan dari kromosom Z dan W (Malagó Jr et al., 2002).
4.
Steroid sexing pada feses
Metode ini didasarkan pada tingkat hormon estrogen/testosteron (E/T)
dalam kotoran burung. Kotoran burung betina memiliki E/T rasio yang tinggi
20
daripada burung jantan. Sampel feses segar diperlukan untuk tes ini. Karena
adanya perbedaan musiman dan usia, beberapa hasil tumpang tindih sesekali pada
rasio hormon terutama selama bukan musim kawin. Hasil terbaik dapat diperoleh
hanya dari burung-burung dewasa selama musim kawin (Swengel, 1996).
F. Primer Sexing
Penentuan jenis kelamin secara molekuler menjadi teknik dasar dalam
memahami struktur seksual dan dinamika dari populasi alami (Zeng, 2009).
Metode untuk mengidentifikasi jenis kelamin burung tanpa perbedaan morfologi
eksternal (sexual dimorphism) sangat penting dalam studi lapangan dan untuk
kepastian breeding. Pemeriksaan kromosom atau kariotipe dapat diaplikasikan
pada hampir semua spesies burung (Miyaki, 1998). Jenis kelamin dapat dibedakan
karena betina mempunyai dua tipe kromosom seks (W dan Z), sedangkan pada
jantan, hanya Z yang ada (ZZ) (Griffiths, et al., 1998). Teknik molekuler untuk
membedakan jenis kelamin pada burung diperkenalkan pertama kali pada tahun
1995, dengan lokasi gen yang terletak pada kromosom W (Griffiths & Tiwari,
1995). Gen yang sama seperti gen ini juga ditemukan pada kromosom Z (Griffiths
& Korn 1997).
Banyak peneliti menggunakan penanda molekuler dalam menentukan jenis
kelamin burung. Oleh karena adanya keterpautan (linkage) antara posisi daerah
penanda kekhususan sex (Choromo-helicase-DNA-binding) dengan kromosom
kelamin pada kelompok aves (kromosom Z dan kromosom W) (Griffith & Korn,
1997), maka penentuan jenis kelamin secara molekuler akan menjadi lebih
21
mudah. Gen Chromo-Helicase-DNA-binding (CHD) ini terdiri dari dua
gametologs pada kromosom seks Z dan W burung, dimana intron dari dua
gametologs memiliki panjang yang berbeda tetapi diapit urutan nukleotida yang
sangat lestari atau conserved (Conway et al., 2004).
Gambar 2.7. Urutan sekuen dari gen CHD-W dan CHD-Z pada tiga jenis
burung Familia Columbidae. Kotak merah menunjukkan lokasi penempelan
primer, urutan basa yang ada pada jantan dan betina dan urutan basa yang
ada hanya pada betina. Simbol bintang dan garis menunjukkan daerah
conserved dan deleted antara gen CHD-W dan CHD-Z.
(Huang et al., 2011)
22
Salah satu penanda molekuler atau primer sexing yang sering dipakai pada
burung yaitu P2/P8 yang didesain oleh Griffiths. Griffiths, et al. (1998)
mengatakan bahwa identifikasi jenis kelamin berbasis DNA merupakan suatu
solusi yang baik. Primer P2 merupakan primer reverse; sedangkan P8 merupakan
primer forward yang digunakan untuk mengetahui jenis kelamin burung pada
umumnya. Griffiths et al. (1998) dalam jurnalnya menuliskan, urutan basa dari
P8 yaitu 5’-CTCCCAAGGATGAGRAAYTG-3’, sedangkan P2 yaitu 5’TCTGCATCGCTAAATCCTTT-3’. P2 dan P8 menempel pada gen CHD pada
kromosom Z dan W (Gambar 2.6). Penggunaan primer sexing P2/P8 hampir
bersifat universal pada burung untuk menentukan jenis kelaminnya dan
merupakan cara yang efektif untuk membedakan burung jantan dari burung
betina. Griffiths et al. (1998) dalam jurnalnya juga mencantumkan, untuk ukuran
basa pita DNA yang dihasilkan dari PCR yaitu berkisar antara 300 pb – 400 bp,
dimana terdapat variasi ukuran pada setiap spesies.
Primer sexing banyak digunakan para peneliti untuk membedakan jenis
kelamin pada burung. Primer yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin
pada burung sangat spesifik terutama untuk tingkat ordo atau Familia (Griffiths &
Tiwari, 1995; Ellegren & Sheldon, 1997). Primer sexing 1237L/1272H diciptakan
untuk membedakan jenis kelamin pada burung, posisi gen CHD yang
diamplifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Shizuka & Bruce, 2008). Pada
gambar tersebut dapat dilihat perkiraan posisi primer ini menempel pada ekson
yang terdapat pada gen CHD baik pada kromosom Z maupun kromosom W. Pada
proses PCR nantinya ekson akan dimplifikasi beserta intron. Seperti halnya
23
primer 1237L/1272H, primer sexing P2 dan P8 juga menempel pada ekson yang
terdapat pada gen CHD baik pada kromosom Z maupun kromosom W.
Gambar 2.8. Visualisasi bagian dari gen CHD yang digunakan untuk
identifikasi jenis kelamin, tanda panah menunjukan perkiraan lokasi
penempelan untuk masing-masing primer 1237L/1272H dan garis tipis
menunjukan lokasi gen yang diamplifikasi masing-masing primer.
(Shizuka & Bruce, 2008)
Terdapat pula primer yang hanya menempel pada CHD yang ada pada
kromosom W. Penelitian yang dilakukan pada burung Familia Columbidae untuk
membedakan jenis kelamin yaitu dengan mendesain primer baru OPAV 17F dan
17R berasal dari seleksi beberapa jenis primer RAPD yang diisolasi dari darah
Streptopelia oriental betina (Wu et al., 2007). Primer ini digunakan untuk
mengetahui jenis kelamin betina saja.
24
G. Aplikasi Molecular Sexing
Banyak spesies burung memiliki seksual monomorfik atau hanya
memperlihatkan sedikit seksual dimorfisme. Dalam kasus tersebut, penentuan
jenis kelamin berdasarkan morfologi adalah sulit. Metode sexing secara molekuler
dapat digunakan, namun memilih metode dan protokol yang tepat bergantung
pada spesies yang dipelajari (Kocijan et al., 2011). Proses kawin pada burung
dapat terjadi dengan memasukkan burung jantan dan burung betina dalam satu
sangkar untuk dikembangbiakan. Pada umumnya peternak tidak yakin dengan
jenis kelamin burung tersebut, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan anakan
dari burung monomorfik tersebut. Perbedaan dalam harga jual dan biaya
perawatan spesies burung jantan dan betina dan juga waktu yang dihabiskan untuk
proses pengembangbiakannya menyebabkan kerugian yang signifikan (Cerit &
Avanus, 2007). Semakin cepat jenis kelamin diketahui maka semakin sedikit pula
kerugian yang diderita. Metode sexing secara molekuler ini dapat dijadikan alat
untuk deteksi dini pada burung-burung monomorfik.
Primer P2 dan P8 telah banyak digunakan untuk menentukan jenis
kelamin burung. Dawson et al. (2001) menentukan jenis kelamin pada burung laut
Aethia cristatella di pasifik utara menggunakan metode PCR dengan primer P2
dan P8. Burung laut ini hanya memiliki satu anakan setiap masa kawin. Selain itu
pula, burung ini merupakan burung monomorfik. Hasil yang diperoleh
menunjukan 2 pita pada betina dan 1 pita pada jantan yang berukuran antara 365
pb – 391 pb.
25
Selain Dawson (2001), Chang (2008) juga menggunakan primer P2 dan
P8 ini dalam menentukan jenis kelamin Spilornis cheela hoya (S. c. hoya) dan
Pycnonotus sinensis (P. sinensis) yang memiliki ukuran larik hasil amplifikasi
yaitu berada di kisaran 300 pb – 400 pb. Pada penelitian yang dilakukan
Natakoesoemah (2003), hasil penelitian membuktikan bahwa penentuan jenis
kelamin secara morfologi pada burung monomorfik khususnya burung Gelatik
Jawa mempunyai persentase kesalahan yang cukup tinggi. Dari 36 sampel burung
Gelatik Jawa yang digunakan, secara morfologi diperoleh 18 ekor betina dan 18
ekor jantan. Sedangkan secara molekuler diperoleh 8 ekor betina dan 28 ekor
jantan yang memiliki ukuran larik hasil amplifikasi yaitu 350 pb dan 400 pb.
Penelitian ini menggunakan primer sexing P2 dan P8-G yang merupakan
modifikasi dari primer P2 dan P8. Suhu annealing yang dipakai untuk amplifikasi
Gelatik Jawa yaitu 56oC.
Zaniar (2002), melakukan penelitian menggunakan penanda molekuler
untuk menentukan jenis kelamin pada burung Betet Jawa (Psittacula alexandri
alexandri). Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu berasal dari darah
burung Betet Jawa. Sampel darah yang telah dipurifikasi kemudian diamplifikasi
dengan teknik PCR menggunakan primer sexing yaitu P2 dan P8.3 yang
merupakan modifikasi dari primer P2 dan P8. Dari 20 sampel darah burung Betet
Jawa yang diuji teramplifikasi dengan baik dan diperoleh ukuran sebesar 382 pb
untuk kromosom Z dan 400 pb untuk kromosom W, dan dari hasil anallisis DNA
ini diperoleh 10 sampel adalah betina dan sisanya jantan. Berdasarkan hasil uji
silang pengecekan jenis kelamin dengan karakter morfologi menunjukkan bahwa
26
teknik molekuler sangat efektif untuk membedakan jenis kelamin untuk burungburung muda dan dewasa dibandingkan dengan karakter morfologi.
Kocijan
(2011),
melakukan
penelitian
dengan
molekuler
sexing
menggunakan dua primer yang berbeda yaitu P2/P8 dan 2550F/2718R. Hasilnya
adalah pasangan primer P2/P8 efektif pada burung Passeriformes, sedangkan
2550F/2718R tidak. Sebaliknya untuk dua spesies yang mewakili Falconiformes
dan Pelecaniformes, 2550F/2718R penggunaannya efektif.
Download