BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Sejak lahirnya era

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Konteks Masalah
Sejak lahirnya era reformasi dan tumbangnya rezim orde baru hingga saat
ini, Indonesia masih mengalami krisis kepemimpinan dan belum tampak adanya
perbaikan yang signifikan. Beberapa tindakan kekerasan dan kesejahteraan rakyat
yang tidak merata masih menjadi masalah utama di negeri ini, bahkan tindak
pidana korupsi semakin marak terjadi di kalangan para pejabat dan elite politik.
Pada saat kampanye, calon wakil rakyat mengatakan membela kepentingan
rakyat. Namun, setelah menjabat sebagai wakil rakyat, mereka justru
memperjuangkan kesejahteraan diri sendiri dan partai. Selain itu, banyak
pemimpin bangsa ini yang membuat jarak pemisah dengan rakyat. Mereka
memposisikan diri di tempat yang “tinggi”, hingga kurang dapat melihat secara
dekat beserta permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan oleh masyarakat
(Aditya, 2014: 3-4).
Di tengah krisis kepercayaan dan kepemimpinan di negeri ini, hadir satu
sosok yang memiliki citra sederhana namun tegas. Meskipun berasal dari desa dan
anak “orang biasa”, prestasi dan jiwa kepemimpinannya telah mendunia. Sosok
tersebut adalah Joko Widodo atau Jokowi yang saat ini telah menjabat sebagai
Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Nama Jokowi mulai dikenal
masyarakat sebagai salah satu tokoh politik ketika menjadi Wali Kota Solo
bersama FX Hadi Rudyatmo, sebagai Wakil Wali Kota Solo, untuk dua periode,
yang terhitung dari tanggal 28 Juli 2005 sampai 1 Oktober 2012. Pada tanggal 3
Januari 2012, Jokowi berkomitmen untuk menggunakan Esemka, yaitu mobil
rakitan siswa SMK 2 Solo dan SMK Warga Solo, sebagai mobil dinas. Niat beliau
tersebut menjadi fenomenal karena sempat menjadi polemik di tingkat nasional,
baik karena menyangkut dasar hukum penggunaan mobil dinas pejabat, sampai
dengan penilaian yang dianggap terburu-buru karena Esemka belum diuji emisi
(Ambarita, 2014: 180).
Saat Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, Jokowi menjadi salah satu calon
gubernur bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon wakil
gubernurnya. Pasangan Jokowi-Ahok saat itu harus berhadapan dengan calon
lainnya yang dianggap lebih kuat, diantaranya calon incumbent, Fauzi Bowo
(Foke) yang berpasangan dengan Nahrowi Ramli (Nara). Selain itu, Hidayat Nur
Wahid yang pernah menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR-RI) juga ikut menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Akhirnya,
setelah melalui dua putaran pilkada, pada tanggal 29 September 2012, Jokowi dan
Ahok ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk periode
2012-2017 (Aditya, 2014: 85 dan 107). Selama proses menjadi Wali Kota Solo
dan Gubernur DKI Jakarta, beliau mendapat banyak dukungan dari masyarakat,
terutama kalangan bawah, dan para wartawan yang selalu meliput kegiatan
“blusukan” Jokowi. Blusukan tersebut merupakan kegiatan beliau yang bertujuan
untuk meninjau permasalahan yang terdapat di dalam masyarakat dengan
langsung turun ke lapangan.
Setelah menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dipilih
rakyat Indonesia sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019,
dan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014. Jokowi tidak hanya dikenal di
kalangan nasional, namun juga dunia. Satu minggu setelah pelantikannya sebagai
presiden, Jokowi menjadi cover majalah Time, edisi 27 Oktober 2014, dan
dinobatkan sebagai “A New Hope” bagi Republik Indonesia. Sebelumnya, ketika
menjabat sebagai Wali Kota Solo, Jokowi juga dinobatkan oleh The City Mayors
Foundation pada bulan Januari 2013 sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia. The
City Mayors Foundation merupakan organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun
2003 untuk mempromosikan, mendorong, dan memfasilitasi pemerintahan lokal
yang terbuka dan kuat. Organisasi ini memberikan penghargaan bagi para wali
kota di seluruh dunia yang unggul dan berkualitas (Ambarita, 2014: 175). Dikutip
dari www.worldmayor.com, Selasa, 8 Januari 2014, organisasi ini memilih
Jokowi sebagai salah satu wali kota terbaik karena menjadikan Solo sebagai
destinasi pariwisata bagi dunia internasional, kampanye melawan korupsi,
menolak untuk mengambil gaji, pribadinya yang rendah hati, dermawan dan
pendekatannya kepada masyarakat, dan beliau juga dianggap memiliki kualitas
yang baik karena mau langsung terjun ke lapangan atau melakukan blusukan
untuk melihat permasalahan yang sedang dialami oleh masyarakat.
Ketika Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau dianggap
sebagai pemimpin yang memiliki citra sederhana di awal masa kepemimpinannya.
Pada umumnya, pemimpin atau pejabat lebih memilih untuk menggunakan busana
ataupun setelan jas yang mahal, akan tetapi beliau tetap lebih memilih untuk
menggunakan setelan kemeja putih dan celana hitam yang terlihat sederhana,
bahkan sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo. Citra sederhana yang melekat
padanya tersebut pun mengundang banyak tanya, apakah kesederhanaannya hanya
sekedar pencitraan
ataukah
bukan.
Terlepas
dari
hal
tersebut,
ketika
berkomunikasi dengan masyarakat dan media, Jokowi tidak hanya menunjukkan
bahasa verbal namun juga bahasa nonverbal yang apa adanya yang mendukung
citranya tersebut. Karenanya, sikapnya yang sederhana dalam bertingkah laku dan
berbicara menjadi salah satu karakter yang paling disukai rakyat Indonesia pada
saat ini (Aditya, 2014: 236).
Jokowi
sebagai
presiden
ketujuh
di
Indonesia,
juga
membawa
kebiasaannya yang sederhana dalam hal pemilihan busana kepada para menteri
yang ditunjuknya untuk menjalankan tugas bersamanya. Ketika mengumumkan
nama-nama menteri dalam Kabinet Kerja yang telah dibentuknya tersebut, seluruh
menteri terlihat hadir menggunakan setelan yang serupa, kemeja putih dan celana
hitam. Gerak atau langkah cepat yang sering dilakukannya ketika menjabat
sebagai Gubernur DKI Jakarta juga diterapkannya kepada seluruh menteri yang
ada. Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 26 Oktober 2014 di halaman Istana
Negara, Jakarta, yang juga dihadiri oleh istri Jokowi, Iriana Widodo, dan Jusuf
Kalla beserta istrinya. Ketika melakukan blusukan ke beberapa daerah, Jokowi
juga lebih memilih setelan yang serupa, kemeja putih dan celana hitam.
Gambar 1.1
Jokowi Memakai Kemeja Putih dan Celana Hitam ketika Mengumumkan
Nama-nama Menteri dalam Kabinet Kerja
Sumber: hariansib.co
Selain menggunakan setelan kemeja putih dan celana hitam, ketika
menjabat sebagai presiden, Jokowi juga menggunakan batik dan setelan jas.
Dalam beberapa kesempatan, beliau menggunakan batik, misalnya ketika
melakukan kegiatan kenegaraan seperti menerima tamu negara ketika baru saja
dilantik menjadi presiden dan ketika melakukan blusukan keluar negeri. Pada saat
tertentu, Jokowi juga menggunakan setelan jas, seperti ketika menghadiri APEC
CEO Summit di Beijing. Sebelumnya, Majalah Tempo edisi 31 Agustus 2014,
mengatakan bahwa Jokowi sempat terlihat tidak nyaman menggunakan setelan
jas. Jokowi menggunakan setelan jas tersebut karena permintaan Majalah Tempo
untuk melakukan sesi wawancara di Kantor Redaksi Majalah Tempo. Menurut
majalah tersebut, Jokowi mengaku bahwa beliau lebih nyaman menggunakan
setelan kemeja putih, celana hitam, dan sepatu kets yang dipakainya ketika
bermain bola pada acara tujuh belasan beberapa waktu yang lalu.
Dari segi penampilan, Jokowi memang tidak seperti pemimpin pada
umumnya yang sangat memperhatikan penampilan. Namun, beliau merupakan
tipe pemimpin yang dianggap mau belajar. Selain itu, beliau juga dianggap
mampu mendapatkan berbagai jawaban dari permasalahan yang terjadi di dalam
masyarakat dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan. Hal tersebut
dikarenakan beliau memiliki pandangan bahwa para pemimpin harus turun ke
bawah (Ambarita, 2014: 248). Pandangan ini tidak terlepas pula dari rasa empati
yang dimiliki Jokowi terhadap orang-orang di sekitarnya. Karena Jokowi pernah
merasakan kehidupan yang prihatin, seperti pernah tinggal di Bantaran Kali Anyar
sewaktu masih kecil, beliau pun mampu berkomunikasi dengan kalangan bawah.
Beliau menyadari dalam kondisi susah, orang akan mampu menghargai tindakantindakan manusiawi, dari sinilah beliau belajar untuk menjadi rendah hati
(https://id-id.facebook.com/joko.widodo.presiden.republik.indonesia/posts/
493130327379382). Rasa empati ini pun secara tidak langsung mampu
mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal serta citra yang terbentuk dari
Jokowi.
Kesederhanaan Jokowi dapat dikatakan sebagai suatu simbol yang dapat
menjadi sebuah citra yang tersirat dari komunikasi nonverbal yang dimilikinya.
Adapun dalam wawasan Saussurean, simbol adalah diagram yang mampu
menampilkan gambaran suatu objek, meskipun objek itu tidak dihadirkan.
Misalnya, peta bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu
meskipun objek itu tidak dihadirkan. Simbol memiliki arti sebagai media primer
dalam proses komunikasi yang dapat berupa bahasa, isyarat, gambar, warna, dan
lain sebagainya (Elbadiansyah, 2014: 63). Sedangkan menurut Eickelman dan
Piscatori, simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai, dan
seringkali simbol ini diungkapkan melalui bahasa. Kadang-kadang juga
diungkapkan melalui citra di samping bahasa. Keterkaitan antara nilai, simbol,
dan bahasa, menurut mereka, memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hal ini sejalan
dengan pendapat Pekonen, yaitu dimana ungkapan simbolik yang saling terjalin
dan diartikulasikan melalui bahasa, merupakan sarana sosialisasi yang sekaligus
dapat menciptakan suatu ikatan sosial antara individu dan kelompok, sebab peranperan dan relasi sosial yang ada di masyarakat disampaikan melalui bahasa
(Sobur, 2004: 176).
Simbol meliputi apa yang dirasakan atau dialami. Simbol tersebut adalah
objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada suatu hal. Semua simbol, baik
kata-kata yang terucapkan, sebuah objek seperti sebuah bendera, suatu gerak
tubuh seperti melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau
suatu peristiwa seperti perkawinan, merupakan bagian-bagian suatu sistem
simbol. Clifforg Geertz mengatakan makna hanya dapat disimpan di dalam
simbol. Hal ini terjadi karena manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan
ungkapan-ungkapan
yang
simbolis.
Setiap
orang,
dalam
arti
tertentu
membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada
dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa atau pelaksana makna atau pesan
yang akan dikomunikasikan. Makna atau pesan yang sesuai dengan maksud pihak
komunikator diharapkan dapat ditangkap dengan baik oleh pihak lain (Sobur,
2004: 177-178).
Kaum profesional dan eksekutif pada umumnya berharap akan produkproduk berkelas, bercita rasa tinggi dan bernilai tinggi untuk membentuk suatu
pesan atau citra positif. Meskipun Jokowi saat ini telah menjabat sebagai pejabat
negara dan di sisi lain juga sebagai pengusaha di bidang bisnis perkayuan, beliau
tetap bersikap low profile dengan terlihat nyaman menggunakan pakaian yang
berkisar seratusan ribu rupiah (Putra dkk., 2014: 120). Menurut Desmond Morris,
sekurangnya ada tiga fungsi mendasar dari pakaian yang dikenakan manusia,
yakni memberikan kenyamanan, sopan-santun, dan pamer (display). Setiap bentuk
dan apapun yang mereka kenakan, baik secara gamblang maupun samar-samar,
akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya
(Sobur, 2004: 170).
Komunikasi nonverbal Jokowi memiliki kemungkinan berasal dari
pengalaman hidupnya yang pernah merasa susah. Karenanya, gaya hidup yang
dijalaninya selama ini pun terlihat lebih sederhana dibandingkan pejabat negara
pada umumnya. Orang yang punya status tertentu kerap kali dihubungkan dengan
gaya hidup, terutama bagi para pejabat yang biasanya dihubungkan dengan gaya
hidup mewah. Gaya hidup merupakan istilah menyeluruh yang meliputi cita rasa
seseorang dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan, dan lainnya. Gaya
menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian dan bertingkah laku (Sobur,
2004: 167).
Gambar 1.2
Jokowi Terlihat Menunjukkan Kedekatannya terhadap Warga disertai Raut
Muka yang Ramah Ketika Melakukan Blusukan
Sumber: google.com
Citra sederhana yang diikuti oleh kedekatan Jokowi dengan masyarakat
dan wartawan dianggap tidak terlepas dari asas yang kuat dalam mengadakan
komunikasi yang baik antara dirinya sendiri dengan orang lain. Jokowi memiliki
citra yang mampu diterima banyak masyarakat, dimana beliau juga mampu
memberikan pengaruh kepada mereka. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya
Jokowi dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden
Republik Indonesia pada periode 2014-2019 dan tetap dekat dengan rakyat.
Komunikasi yang telah terjalin tersebut mampu meningkatkan aspirasi masyarakat
dan membantu pemimpin negara dalam membuat keputusan di tengah kehidupan
bermasyarakat (Nasution, 2004: 103). Cara berkomunikasi secara verbal maupun
nonverbal sangat menentukan citra diri seorang pemimpin, seperti cara
berkomunikasi Jokowi yang dinilai sangat sederhana dan merakyat.
Komunikasi verbal dan nonverbal merupakan komponen yang wajib hadir
dalam setiap proses komunikasi. Komunikasi verbal merupakan penyampaian
pesan melalui kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Sedangkan komunikasi
nonverbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata (Sobur, 2004: 122).
Komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal memiliki perbedaan dan persamaan
yang turut ambil bagian dalam proses penelitian ini. Adapun persamaan yang
dimiliki oleh keduanya adalah aturan-perintah dan kesengajaan. Aturan-aturan
dalam pesan nonverbal dapat diidentifikasi seperti halnya dalam pesan verbal.
Beberapa pola aturan tersebut berkaitan dengan produksi pesan nonverbal dan
emosi yang ditampilkan. Misalnya, bagaimana pesan verbal dan nonverbal
seseorang dalam pertemuan pertama dengan orang lain. Seperti pesan verbal,
beberapa pola pesan nonverbal bersifat umum dan dapat menjadi perilaku
perseorangan. Misalnya, ekspresi (mimik) muka sedih, gembira, terkejut, dan
takut, yang terlepas dari budaya seseorang. Persamaan lainnya adalah
kesengajaan. Bahasa digunakan secara sadar oleh orang untuk tujuan pengiriman
pesan, baik lisan maupun tulisan. Hal ini juga sering terjadi dalam komunikasi
nonverbal (Ruben, 2013: 171).
Perbedaan komunikasi verbal dan nonverbal adalah kesadaran dan
perhatian, aturan terbuka dan tertutup, pengendalian, status umum versus status
pribadi, dan spesialisasi belahan otak. Kesadaran dan perhatian orang pada
umumnya lebih tertuju kepada komunikasi verbal dibandingkan komunikasi
nonverbal. Dalam dunia pendidikan, keterampilan seseorang berkomunikasi
secara verbal dianggap sebagai salah satu keterampilan dasar, dibandingkan
komunikasi nonverbal yang kurang mendapatkan perhatian. Mengenai aturan,
komunikasi verbal bersifat terbuka. Informasi aturannya adalah berupa struktur
dan penggunaan bahasa yang tersedia dalam berbagai sumber. Sedangkan
komunikasi nonverbal bersifat tertutup, dimana terdapat pola-pola berupa ekspresi
kasih sayang, cara berjabat tangan, dan sebagainya, yang adalah bukan
kesepakatan universal (Ruben, 2013: 172-174).
Selain itu, pengendalian juga merupakan perbedaan antara komunikasi
verbal dan nonverbal yang terlihat mencolok. Di saat seseorang mampu
mengendalikan komunikasi verbal, terkadang orang tersebut tetap tidak dapat
mengendalikan komunikasi nonverbalnya. Misalnya, tata bahasa seseorang ketika
berbicara di depan umum adalah baik, namun diucapkan dengan suara yang
gemetar dan keringat yang mengucur deras. Dalam hal status, komunikasi verbal
atau pola penggunaan bahasa dianggap sebagai topik yang sesuai untuk diskusi
publik dan pengawasan dibandingkan komunikasi nonverbal yang berupa
penampilan, gerak-gerik, tingkah laku, dan posisi badan. Akan tetapi, saat ini
terdapat aturan untuk membahas perilaku nonverbal, terutama nonverbal para
tokoh masyarakat. Banyak perhatian yang diberikan ke berbagai bagian tubuh
atau pakaian yang digunakan oleh tokoh-tokoh tersebut. Perbedaan terakhir dari
komunikasi verbal dan nonverbal adalah spesialisasi belahan otak, dimana otak
kiri memainkan peran utama dalam proses bahasa atau komunikasi verbal, dan
otak kanan yang merupakan spesialisasi komunikasi nonverbal yang mampu
mengenali gambar, tubuh, seni, dan musik (Ruben, 2013: 174-175).
Komunikasi verbal dan nonverbal tersebut saling berkaitan. Akan tetapi,
menurut Birdwhistell, “barangkali tidak lebih dari 30% sampai 35% makna sosial
percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata.” Sisanya dilakukan dengan
pesan nonverbal. Mehrabian, penulis The Silent Message, bahkan memperkirakan
93% dampak pesan diakibatkan oleh pesan nonverbal. Komunikasi nonverbal
sangat penting dalam mencapai komunikasi yang efektif. Dale G. Leathers,
penulis Nonverbal Communication Systems, menyebutkan enam alasan mengapa
komunikasi nonverbal sangat dibutuhkan (Rakhmat, 2007: 287).
Pertama, faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam
komunikasi interpersonal. Ketika berkomunikasi tatap muka, kita banyak
menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Kedua,
perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal daripada
pesan verbal. Misalnya, menurut Mehrabian, hanya 7% perasaan kasih sayang
dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38% dikomunikasikan
lewat suara, dan 55% dikomunikasikan melalui ungkapan wajah (senyum, kontak
mata, dan sebagainya). Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna dan
maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Dalam situasi
komunikasi yang disebut “double binding”―ketika pesan nonverbal bertentangan
dengan pesan verbal―orang bersandar pada pesan nonverbal (Rakhmat, 2007:
288).
Alasan selanjutnya mengenai pentingnya komunikasi nonverbal adalah
pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan
untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi, dimana fungsi tersebut
memiliki arti memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan
makna pesan. Yang kelima, pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang
lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Pesan verbal membutuhkan lebih
banyak waktu untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran seseorang
dibandingkan menyampaikan pesan secara nonverbal. Alasan terakhir mengapa
pesan nonverbal sangat dibutuhkan, karena pesan nonverbal merupakan sarana
sugesti yang paling tepat. Sugesti yang dimaksud dalam hal ini adalah
menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (secara tersirat) (Rakhmat,
2007: 288).
Komunikasi sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Dengan berkomunikasi,
kita dapat menyamakan pendapat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Seperti
komunikasi diantara pemimpin negara dengan masyarakatnya. Komunikasi juga
dapat diasosiasikan sebagai simbol, dimana sebuah label arbitrer atau representasi
terdapat dari fenomena. Dalam berkomunikasi, terdapat proses sosial dimana
individu-individu
menggunakan
simbol-simbol
untuk
menciptakan
dan
menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West, 2009: 7). Simbolsimbol tersebut pun pada akhirnya dapat diketahui dengan jelas pada komunikasi
nonverbal seseorang. Karenanya, peneliti merasa tertarik untuk meneliti
komunikasi nonverbal, yang dalam hal ini adalah komunikasi nonverbal dari Joko
Widodo atau Jokowi ketika menjadi Presiden Republik Indonesia serta citra apa
saja yang terbentuk darinya.
1.2
Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah di atas, peneliti merumuskan bahwa fokus
masalah yang diteliti lebih lanjut adalah: “Bagaimana pemaknaan simbol
nonverbal serta citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo?”
1.3
Pembatasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah komunikasi nonverbal serta
citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo dalam tiga video mengenai
aktifitas beliau di awal masa kepemimpinannya (20 Oktober 2014 - Januari 2015)
yang masing-masing berdurasi di bawah 4 menit. Video tersebut merupakan
media dokumentasi yang dipilih dan diambil oleh peneliti secara acak dari website
Youtube. Adapun video yang dipilih tersebut mewakili ketiga pakaian yang sering
digunakan oleh beliau dalam berbagai kegiatannya sebagai presiden, yaitu setelan
jas dan celana berwarna hitam, kemeja berwarna putih dan celana berwarna hitam,
serta baju batik dan celana berwarna hitam.
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna dari simbol
nonverbal serta citra yang terbentuk dari orang yang paling berpengaruh di
Indonesia saat ini, dimana yang dimaksud oleh peneliti adalah Presiden Joko
Widodo (Jokowi).
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Secara
akademis,
perkembangan
Ilmu
penelitian
Komunikasi
diharapkan
FISIP
bermanfaat
USU.
Penelitian
bagi
ini
diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan refrensi bagi penelitian
serupa di hari dan masa yang akan datang. Dalam penelitian ini,
peneliti berharap dapat memberikan kontribusi untuk memahami cara
berkomunikasi dari seorang pemimpin yang memiliki citra sederhana
dan dianggap berbeda dengan para pemimpin sebelumnya.
2.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan
kontribusi pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi yang berkaitan
dengan analisis semiotika. Adapun yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah menganalisis makna dari komunikasi nonverbal dari
Presiden Joko Widodo serta citra yang terbentuk darinya.
3.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada siapa saja yang ingin menganalisis komunikasi nonverbal dan
citra seseorang melalui analisis semiotika. Peneliti juga berharap
pembaca dapat lebih memahami makna dari simbol yang terdapat
pada seseorang yang sangat berpengaruh di saat penelitian ini
dilakukan, yaitu Joko Widodo atau Jokowi (Presiden Republik
Indonesia periode 2014-2019).
Download