BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Sejak lahirnya era reformasi dan tumbangnya rezim orde baru hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis kepemimpinan dan belum tampak adanya perbaikan yang signifikan. Beberapa tindakan kekerasan dan kesejahteraan rakyat yang tidak merata masih menjadi masalah utama di negeri ini, bahkan tindak pidana korupsi semakin marak terjadi di kalangan para pejabat dan elite politik. Pada saat kampanye, calon wakil rakyat mengatakan membela kepentingan rakyat. Namun, setelah menjabat sebagai wakil rakyat, mereka justru memperjuangkan kesejahteraan diri sendiri dan partai. Selain itu, banyak pemimpin bangsa ini yang membuat jarak pemisah dengan rakyat. Mereka memposisikan diri di tempat yang “tinggi”, hingga kurang dapat melihat secara dekat beserta permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan oleh masyarakat (Aditya, 2014: 3-4). Di tengah krisis kepercayaan dan kepemimpinan di negeri ini, hadir satu sosok yang memiliki citra sederhana namun tegas. Meskipun berasal dari desa dan anak “orang biasa”, prestasi dan jiwa kepemimpinannya telah mendunia. Sosok tersebut adalah Joko Widodo atau Jokowi yang saat ini telah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Nama Jokowi mulai dikenal masyarakat sebagai salah satu tokoh politik ketika menjadi Wali Kota Solo bersama FX Hadi Rudyatmo, sebagai Wakil Wali Kota Solo, untuk dua periode, yang terhitung dari tanggal 28 Juli 2005 sampai 1 Oktober 2012. Pada tanggal 3 Januari 2012, Jokowi berkomitmen untuk menggunakan Esemka, yaitu mobil rakitan siswa SMK 2 Solo dan SMK Warga Solo, sebagai mobil dinas. Niat beliau tersebut menjadi fenomenal karena sempat menjadi polemik di tingkat nasional, baik karena menyangkut dasar hukum penggunaan mobil dinas pejabat, sampai dengan penilaian yang dianggap terburu-buru karena Esemka belum diuji emisi (Ambarita, 2014: 180). Saat Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, Jokowi menjadi salah satu calon gubernur bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon wakil gubernurnya. Pasangan Jokowi-Ahok saat itu harus berhadapan dengan calon lainnya yang dianggap lebih kuat, diantaranya calon incumbent, Fauzi Bowo (Foke) yang berpasangan dengan Nahrowi Ramli (Nara). Selain itu, Hidayat Nur Wahid yang pernah menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) juga ikut menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Akhirnya, setelah melalui dua putaran pilkada, pada tanggal 29 September 2012, Jokowi dan Ahok ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk periode 2012-2017 (Aditya, 2014: 85 dan 107). Selama proses menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, beliau mendapat banyak dukungan dari masyarakat, terutama kalangan bawah, dan para wartawan yang selalu meliput kegiatan “blusukan” Jokowi. Blusukan tersebut merupakan kegiatan beliau yang bertujuan untuk meninjau permasalahan yang terdapat di dalam masyarakat dengan langsung turun ke lapangan. Setelah menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dipilih rakyat Indonesia sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019, dan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014. Jokowi tidak hanya dikenal di kalangan nasional, namun juga dunia. Satu minggu setelah pelantikannya sebagai presiden, Jokowi menjadi cover majalah Time, edisi 27 Oktober 2014, dan dinobatkan sebagai “A New Hope” bagi Republik Indonesia. Sebelumnya, ketika menjabat sebagai Wali Kota Solo, Jokowi juga dinobatkan oleh The City Mayors Foundation pada bulan Januari 2013 sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia. The City Mayors Foundation merupakan organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2003 untuk mempromosikan, mendorong, dan memfasilitasi pemerintahan lokal yang terbuka dan kuat. Organisasi ini memberikan penghargaan bagi para wali kota di seluruh dunia yang unggul dan berkualitas (Ambarita, 2014: 175). Dikutip dari www.worldmayor.com, Selasa, 8 Januari 2014, organisasi ini memilih Jokowi sebagai salah satu wali kota terbaik karena menjadikan Solo sebagai destinasi pariwisata bagi dunia internasional, kampanye melawan korupsi, menolak untuk mengambil gaji, pribadinya yang rendah hati, dermawan dan pendekatannya kepada masyarakat, dan beliau juga dianggap memiliki kualitas yang baik karena mau langsung terjun ke lapangan atau melakukan blusukan untuk melihat permasalahan yang sedang dialami oleh masyarakat. Ketika Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau dianggap sebagai pemimpin yang memiliki citra sederhana di awal masa kepemimpinannya. Pada umumnya, pemimpin atau pejabat lebih memilih untuk menggunakan busana ataupun setelan jas yang mahal, akan tetapi beliau tetap lebih memilih untuk menggunakan setelan kemeja putih dan celana hitam yang terlihat sederhana, bahkan sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo. Citra sederhana yang melekat padanya tersebut pun mengundang banyak tanya, apakah kesederhanaannya hanya sekedar pencitraan ataukah bukan. Terlepas dari hal tersebut, ketika berkomunikasi dengan masyarakat dan media, Jokowi tidak hanya menunjukkan bahasa verbal namun juga bahasa nonverbal yang apa adanya yang mendukung citranya tersebut. Karenanya, sikapnya yang sederhana dalam bertingkah laku dan berbicara menjadi salah satu karakter yang paling disukai rakyat Indonesia pada saat ini (Aditya, 2014: 236). Jokowi sebagai presiden ketujuh di Indonesia, juga membawa kebiasaannya yang sederhana dalam hal pemilihan busana kepada para menteri yang ditunjuknya untuk menjalankan tugas bersamanya. Ketika mengumumkan nama-nama menteri dalam Kabinet Kerja yang telah dibentuknya tersebut, seluruh menteri terlihat hadir menggunakan setelan yang serupa, kemeja putih dan celana hitam. Gerak atau langkah cepat yang sering dilakukannya ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta juga diterapkannya kepada seluruh menteri yang ada. Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 26 Oktober 2014 di halaman Istana Negara, Jakarta, yang juga dihadiri oleh istri Jokowi, Iriana Widodo, dan Jusuf Kalla beserta istrinya. Ketika melakukan blusukan ke beberapa daerah, Jokowi juga lebih memilih setelan yang serupa, kemeja putih dan celana hitam. Gambar 1.1 Jokowi Memakai Kemeja Putih dan Celana Hitam ketika Mengumumkan Nama-nama Menteri dalam Kabinet Kerja Sumber: hariansib.co Selain menggunakan setelan kemeja putih dan celana hitam, ketika menjabat sebagai presiden, Jokowi juga menggunakan batik dan setelan jas. Dalam beberapa kesempatan, beliau menggunakan batik, misalnya ketika melakukan kegiatan kenegaraan seperti menerima tamu negara ketika baru saja dilantik menjadi presiden dan ketika melakukan blusukan keluar negeri. Pada saat tertentu, Jokowi juga menggunakan setelan jas, seperti ketika menghadiri APEC CEO Summit di Beijing. Sebelumnya, Majalah Tempo edisi 31 Agustus 2014, mengatakan bahwa Jokowi sempat terlihat tidak nyaman menggunakan setelan jas. Jokowi menggunakan setelan jas tersebut karena permintaan Majalah Tempo untuk melakukan sesi wawancara di Kantor Redaksi Majalah Tempo. Menurut majalah tersebut, Jokowi mengaku bahwa beliau lebih nyaman menggunakan setelan kemeja putih, celana hitam, dan sepatu kets yang dipakainya ketika bermain bola pada acara tujuh belasan beberapa waktu yang lalu. Dari segi penampilan, Jokowi memang tidak seperti pemimpin pada umumnya yang sangat memperhatikan penampilan. Namun, beliau merupakan tipe pemimpin yang dianggap mau belajar. Selain itu, beliau juga dianggap mampu mendapatkan berbagai jawaban dari permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan. Hal tersebut dikarenakan beliau memiliki pandangan bahwa para pemimpin harus turun ke bawah (Ambarita, 2014: 248). Pandangan ini tidak terlepas pula dari rasa empati yang dimiliki Jokowi terhadap orang-orang di sekitarnya. Karena Jokowi pernah merasakan kehidupan yang prihatin, seperti pernah tinggal di Bantaran Kali Anyar sewaktu masih kecil, beliau pun mampu berkomunikasi dengan kalangan bawah. Beliau menyadari dalam kondisi susah, orang akan mampu menghargai tindakantindakan manusiawi, dari sinilah beliau belajar untuk menjadi rendah hati (https://id-id.facebook.com/joko.widodo.presiden.republik.indonesia/posts/ 493130327379382). Rasa empati ini pun secara tidak langsung mampu mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal serta citra yang terbentuk dari Jokowi. Kesederhanaan Jokowi dapat dikatakan sebagai suatu simbol yang dapat menjadi sebuah citra yang tersirat dari komunikasi nonverbal yang dimilikinya. Adapun dalam wawasan Saussurean, simbol adalah diagram yang mampu menampilkan gambaran suatu objek, meskipun objek itu tidak dihadirkan. Misalnya, peta bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu meskipun objek itu tidak dihadirkan. Simbol memiliki arti sebagai media primer dalam proses komunikasi yang dapat berupa bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya (Elbadiansyah, 2014: 63). Sedangkan menurut Eickelman dan Piscatori, simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai, dan seringkali simbol ini diungkapkan melalui bahasa. Kadang-kadang juga diungkapkan melalui citra di samping bahasa. Keterkaitan antara nilai, simbol, dan bahasa, menurut mereka, memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hal ini sejalan dengan pendapat Pekonen, yaitu dimana ungkapan simbolik yang saling terjalin dan diartikulasikan melalui bahasa, merupakan sarana sosialisasi yang sekaligus dapat menciptakan suatu ikatan sosial antara individu dan kelompok, sebab peranperan dan relasi sosial yang ada di masyarakat disampaikan melalui bahasa (Sobur, 2004: 176). Simbol meliputi apa yang dirasakan atau dialami. Simbol tersebut adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada suatu hal. Semua simbol, baik kata-kata yang terucapkan, sebuah objek seperti sebuah bendera, suatu gerak tubuh seperti melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau suatu peristiwa seperti perkawinan, merupakan bagian-bagian suatu sistem simbol. Clifforg Geertz mengatakan makna hanya dapat disimpan di dalam simbol. Hal ini terjadi karena manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Setiap orang, dalam arti tertentu membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa atau pelaksana makna atau pesan yang akan dikomunikasikan. Makna atau pesan yang sesuai dengan maksud pihak komunikator diharapkan dapat ditangkap dengan baik oleh pihak lain (Sobur, 2004: 177-178). Kaum profesional dan eksekutif pada umumnya berharap akan produkproduk berkelas, bercita rasa tinggi dan bernilai tinggi untuk membentuk suatu pesan atau citra positif. Meskipun Jokowi saat ini telah menjabat sebagai pejabat negara dan di sisi lain juga sebagai pengusaha di bidang bisnis perkayuan, beliau tetap bersikap low profile dengan terlihat nyaman menggunakan pakaian yang berkisar seratusan ribu rupiah (Putra dkk., 2014: 120). Menurut Desmond Morris, sekurangnya ada tiga fungsi mendasar dari pakaian yang dikenakan manusia, yakni memberikan kenyamanan, sopan-santun, dan pamer (display). Setiap bentuk dan apapun yang mereka kenakan, baik secara gamblang maupun samar-samar, akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya (Sobur, 2004: 170). Komunikasi nonverbal Jokowi memiliki kemungkinan berasal dari pengalaman hidupnya yang pernah merasa susah. Karenanya, gaya hidup yang dijalaninya selama ini pun terlihat lebih sederhana dibandingkan pejabat negara pada umumnya. Orang yang punya status tertentu kerap kali dihubungkan dengan gaya hidup, terutama bagi para pejabat yang biasanya dihubungkan dengan gaya hidup mewah. Gaya hidup merupakan istilah menyeluruh yang meliputi cita rasa seseorang dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan, dan lainnya. Gaya menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian dan bertingkah laku (Sobur, 2004: 167). Gambar 1.2 Jokowi Terlihat Menunjukkan Kedekatannya terhadap Warga disertai Raut Muka yang Ramah Ketika Melakukan Blusukan Sumber: google.com Citra sederhana yang diikuti oleh kedekatan Jokowi dengan masyarakat dan wartawan dianggap tidak terlepas dari asas yang kuat dalam mengadakan komunikasi yang baik antara dirinya sendiri dengan orang lain. Jokowi memiliki citra yang mampu diterima banyak masyarakat, dimana beliau juga mampu memberikan pengaruh kepada mereka. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya Jokowi dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden Republik Indonesia pada periode 2014-2019 dan tetap dekat dengan rakyat. Komunikasi yang telah terjalin tersebut mampu meningkatkan aspirasi masyarakat dan membantu pemimpin negara dalam membuat keputusan di tengah kehidupan bermasyarakat (Nasution, 2004: 103). Cara berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal sangat menentukan citra diri seorang pemimpin, seperti cara berkomunikasi Jokowi yang dinilai sangat sederhana dan merakyat. Komunikasi verbal dan nonverbal merupakan komponen yang wajib hadir dalam setiap proses komunikasi. Komunikasi verbal merupakan penyampaian pesan melalui kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata (Sobur, 2004: 122). Komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal memiliki perbedaan dan persamaan yang turut ambil bagian dalam proses penelitian ini. Adapun persamaan yang dimiliki oleh keduanya adalah aturan-perintah dan kesengajaan. Aturan-aturan dalam pesan nonverbal dapat diidentifikasi seperti halnya dalam pesan verbal. Beberapa pola aturan tersebut berkaitan dengan produksi pesan nonverbal dan emosi yang ditampilkan. Misalnya, bagaimana pesan verbal dan nonverbal seseorang dalam pertemuan pertama dengan orang lain. Seperti pesan verbal, beberapa pola pesan nonverbal bersifat umum dan dapat menjadi perilaku perseorangan. Misalnya, ekspresi (mimik) muka sedih, gembira, terkejut, dan takut, yang terlepas dari budaya seseorang. Persamaan lainnya adalah kesengajaan. Bahasa digunakan secara sadar oleh orang untuk tujuan pengiriman pesan, baik lisan maupun tulisan. Hal ini juga sering terjadi dalam komunikasi nonverbal (Ruben, 2013: 171). Perbedaan komunikasi verbal dan nonverbal adalah kesadaran dan perhatian, aturan terbuka dan tertutup, pengendalian, status umum versus status pribadi, dan spesialisasi belahan otak. Kesadaran dan perhatian orang pada umumnya lebih tertuju kepada komunikasi verbal dibandingkan komunikasi nonverbal. Dalam dunia pendidikan, keterampilan seseorang berkomunikasi secara verbal dianggap sebagai salah satu keterampilan dasar, dibandingkan komunikasi nonverbal yang kurang mendapatkan perhatian. Mengenai aturan, komunikasi verbal bersifat terbuka. Informasi aturannya adalah berupa struktur dan penggunaan bahasa yang tersedia dalam berbagai sumber. Sedangkan komunikasi nonverbal bersifat tertutup, dimana terdapat pola-pola berupa ekspresi kasih sayang, cara berjabat tangan, dan sebagainya, yang adalah bukan kesepakatan universal (Ruben, 2013: 172-174). Selain itu, pengendalian juga merupakan perbedaan antara komunikasi verbal dan nonverbal yang terlihat mencolok. Di saat seseorang mampu mengendalikan komunikasi verbal, terkadang orang tersebut tetap tidak dapat mengendalikan komunikasi nonverbalnya. Misalnya, tata bahasa seseorang ketika berbicara di depan umum adalah baik, namun diucapkan dengan suara yang gemetar dan keringat yang mengucur deras. Dalam hal status, komunikasi verbal atau pola penggunaan bahasa dianggap sebagai topik yang sesuai untuk diskusi publik dan pengawasan dibandingkan komunikasi nonverbal yang berupa penampilan, gerak-gerik, tingkah laku, dan posisi badan. Akan tetapi, saat ini terdapat aturan untuk membahas perilaku nonverbal, terutama nonverbal para tokoh masyarakat. Banyak perhatian yang diberikan ke berbagai bagian tubuh atau pakaian yang digunakan oleh tokoh-tokoh tersebut. Perbedaan terakhir dari komunikasi verbal dan nonverbal adalah spesialisasi belahan otak, dimana otak kiri memainkan peran utama dalam proses bahasa atau komunikasi verbal, dan otak kanan yang merupakan spesialisasi komunikasi nonverbal yang mampu mengenali gambar, tubuh, seni, dan musik (Ruben, 2013: 174-175). Komunikasi verbal dan nonverbal tersebut saling berkaitan. Akan tetapi, menurut Birdwhistell, “barangkali tidak lebih dari 30% sampai 35% makna sosial percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata.” Sisanya dilakukan dengan pesan nonverbal. Mehrabian, penulis The Silent Message, bahkan memperkirakan 93% dampak pesan diakibatkan oleh pesan nonverbal. Komunikasi nonverbal sangat penting dalam mencapai komunikasi yang efektif. Dale G. Leathers, penulis Nonverbal Communication Systems, menyebutkan enam alasan mengapa komunikasi nonverbal sangat dibutuhkan (Rakhmat, 2007: 287). Pertama, faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika berkomunikasi tatap muka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Kedua, perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal. Misalnya, menurut Mehrabian, hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38% dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan melalui ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya). Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Dalam situasi komunikasi yang disebut “double binding”―ketika pesan nonverbal bertentangan dengan pesan verbal―orang bersandar pada pesan nonverbal (Rakhmat, 2007: 288). Alasan selanjutnya mengenai pentingnya komunikasi nonverbal adalah pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi, dimana fungsi tersebut memiliki arti memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan. Yang kelima, pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Pesan verbal membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran seseorang dibandingkan menyampaikan pesan secara nonverbal. Alasan terakhir mengapa pesan nonverbal sangat dibutuhkan, karena pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Sugesti yang dimaksud dalam hal ini adalah menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (secara tersirat) (Rakhmat, 2007: 288). Komunikasi sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Dengan berkomunikasi, kita dapat menyamakan pendapat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Seperti komunikasi diantara pemimpin negara dengan masyarakatnya. Komunikasi juga dapat diasosiasikan sebagai simbol, dimana sebuah label arbitrer atau representasi terdapat dari fenomena. Dalam berkomunikasi, terdapat proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West, 2009: 7). Simbolsimbol tersebut pun pada akhirnya dapat diketahui dengan jelas pada komunikasi nonverbal seseorang. Karenanya, peneliti merasa tertarik untuk meneliti komunikasi nonverbal, yang dalam hal ini adalah komunikasi nonverbal dari Joko Widodo atau Jokowi ketika menjadi Presiden Republik Indonesia serta citra apa saja yang terbentuk darinya. 1.2 Fokus Masalah Berdasarkan konteks masalah di atas, peneliti merumuskan bahwa fokus masalah yang diteliti lebih lanjut adalah: “Bagaimana pemaknaan simbol nonverbal serta citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo?” 1.3 Pembatasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah komunikasi nonverbal serta citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo dalam tiga video mengenai aktifitas beliau di awal masa kepemimpinannya (20 Oktober 2014 - Januari 2015) yang masing-masing berdurasi di bawah 4 menit. Video tersebut merupakan media dokumentasi yang dipilih dan diambil oleh peneliti secara acak dari website Youtube. Adapun video yang dipilih tersebut mewakili ketiga pakaian yang sering digunakan oleh beliau dalam berbagai kegiatannya sebagai presiden, yaitu setelan jas dan celana berwarna hitam, kemeja berwarna putih dan celana berwarna hitam, serta baju batik dan celana berwarna hitam. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna dari simbol nonverbal serta citra yang terbentuk dari orang yang paling berpengaruh di Indonesia saat ini, dimana yang dimaksud oleh peneliti adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi). 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara akademis, perkembangan Ilmu penelitian Komunikasi diharapkan FISIP bermanfaat USU. Penelitian bagi ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan refrensi bagi penelitian serupa di hari dan masa yang akan datang. Dalam penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan kontribusi untuk memahami cara berkomunikasi dari seorang pemimpin yang memiliki citra sederhana dan dianggap berbeda dengan para pemimpin sebelumnya. 2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan kontribusi pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi yang berkaitan dengan analisis semiotika. Adapun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menganalisis makna dari komunikasi nonverbal dari Presiden Joko Widodo serta citra yang terbentuk darinya. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada siapa saja yang ingin menganalisis komunikasi nonverbal dan citra seseorang melalui analisis semiotika. Peneliti juga berharap pembaca dapat lebih memahami makna dari simbol yang terdapat pada seseorang yang sangat berpengaruh di saat penelitian ini dilakukan, yaitu Joko Widodo atau Jokowi (Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019).