BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah kegiatan pertukaran barang ataupun jasa
yang dilakukan antara satu negara dengan negara lainnya yang timbul akibat
aktivitas permintaan dan penawaran ekonomi. Perdagangan atau pertukaran
memiliki arti khusus dalam ilmu ekonomi. Perdagangan timbul karena salah satu
atau kedua belah pihak melihat adanya manfaat atau keuntungan tambahan yang
dapat diperoleh dari pertukaran tersebut. Motif atau dorongan dari suatu negara
melakukan perdagangan adalah karena adanya kemungkinan diperolehnya
manfaat tambahan dari kegiatan yang dilakukan yang disebut gains from trade
(Boediono, 2012:11).
Menurut Tambunan (2000:1) perdagangan internasional merupakan lalu lintas
transaksi yang dilakukan antar negara yang mencakup ekspor dan impor.
Perdagangan antar negara ini dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu
perdagangan barang (fisik) dan perdagangan jasa. Perdagangan internasional
dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, meskipun jumlah barang yang
tersedia secara keseluruhan sama sekali tidak berubah. Melakukan perdagangan
dengan negara lain memungkinkan dapat memberikan keuntungan bagi kedua
belah pihak, yaitu dapat membeli barang yang harganya lebih rendah (dengan
impor barang tertentu) dan menjual barang keluar negeri dengan harga yang relatif
lebih tinggi. Perbedaan harga dapat terjadi akibat perbedaan kombinasi
penggunaan faktor produksi, perbedaan selera dan pendapatan yang diperoleh
oleh masyarakat.
Perdagangan internasional pada dasarnya adalah kegiatan ekspor ataupun
impor yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lainnya baik berupa
barang atau jasa. Teori perdagangan internasional terdiri dari tiga teori yang
mendukung yaitu teori pra-klasik, teori klsik dan teori modern.
1. Teori Pra Klasik (Merkantilisme)
Teori perdagangan internasional pertama kali muncul pada abad ke-16 dan 17
yaitu diawali dengan munculnya kaum Merkantilisme yang berkembang di Eropa
Barat. Teori ini awalnya dikembangkan oleh pedagang (merchant). Menurut
Raharja (2006:75) ajaran Merkantilis memiliki keyakinan bahwa kemakmuran
suatu negara sangat tergantung dari adanya surplus dalam kegiatan perdagangan,
yaitu keadaaan nilai ekspor lebih besar daripada impor (X>M). Merkantilis pada
prinsipnya adalah suatu paham yang menganggap bahwa penimbunan logamlogam mulia dan peningkatan nilai total ekspor adalah tujuan utama kebijakan
nasional. Ajaran ini berpendapat apabila ekspor terus meningkat maka negara
akan banyak memperoleh logam-logam mulia sebagai bayaran dari kegiatan
ekspor, yang akan diikuti dengan kemakmuran di negara tersebut juga akan
meningkat. Dalam pencapaian tujuannya tersebut merkantilis menerapkan
intervensi pemerintah yang sangat ketat dalam hal kegiatan perdagangan. Hal ini
dilakukan agar ekspor terus meningkat dan impor dapat ditekan bahkan dikurangi,
dengan melakukan proteksi yang ketat dan pemberian hak monopoli kepada
produsen dalam negeri.
2. Teori Klasik
a. Teori Keunggulan Absolut (Absolute Advantage ) Adam Smith
Setiap negara akan memperoleh manfaat dari dilakukannya perdagangan
internasional (gains from trade) karena melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan absolut serta
mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut. Teori
keunggulan absolut (absolute adventage) ini dikembangkan oleh Adam Smith.
Lebih lanjut Smith menganjurkan perdagangan bebas sebagai kebijakan yang
paling efektif untuk negara-negara didunia karena dapat melakukan spesialisasi
dalam produksi komoditi yang mempunyai keunggulan absolut dan mengimpor
komoditi yang mengalami kerugian absolut (Hady, 2004:29). Dengan adanya
spesialisasi dari faktor-faktor produksi akan memberikan pertambahan produksi
dunia yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama melalui perdagangan
internasional sehingga keuntungan suatu negara tidak diperoleh dengan
pengorbanan dari negara lain tetapi semua negara secara serempak dapat
memperolehnya.
Suatu negara akan mengekspor atau mengimpor suatu jenis barang, apabila
negara tersebut dapat atau tidak dapat memproduksinya lebih efisien atau lebih
murah dibandingkan negara lain. Jadi, teori ini lebih menekankan bahwa efisiensi
dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja, didalam proses produksi sangat
menentukan keunggulan atau tingkat daya saing. Tingkat keunggulan diukur
3
berdasarkan nilai tenaga kerja yang sifatnya homogeny (Tambunan, 2000:21).
Adam Smith berpendapat bahwa nilai ekonomis ditetapkan dan diukur
berdasarkan jam kerja dari tenaga kerja. Biaya tenaga kerja untuk menghasilkan
satu unit barang adalah nilai atau harga unit barang itu (Lindert, 1994:19).
b. Teori Keunggulan Relatif (Comparative Adventage) David Ricardo
Teori David Ricardo didasarkan pada nilai tenaga kerja atau Theory of Labour
Value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh
jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya (Hady,
2001:32). Suatu negara mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional jika
melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang-barang dimana negara
tersebut dapat berproduksi lebih efisien dan mengimpor barang yang produksinya
kurang efisien. Artinya, suatu negara hanya akan mengekspor barang yang
mempunyai keunggulan komperatif tinggi, dan mengimpor barang yang
mempunyai keunggulan komperatif rendah (Boediono, 2012:21). Berdasarkan
contoh hipotesis pada Tabel 2.1. Dapat dikatakan bahwa teori comperative
adventage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage.
Tabel 2.1. Teori Keunggulan Komperatif
Permadani
Rempah-rempah
Sumber: Boediono, (2012:21)
Persia
2
3
Indonesia
4
4
Persia mempunyai keunggulan mutlak dalam kedua barang tersebut,
karena keduanya bisa diproduksikan lebih murah di Persia. Ricardo mengatakan
bahwa hal ini tidak berarti bahwa Persia akan mengekspor baik permadani
maupun rempah-rempah ke Indonesia. Dalam hal ini Indonesia masih akan
mengekspor rempah-rempah ke Persia dan Persia mengekspor permadani ke
Indonesia. Sebelum ada perdagangan, di Persia 3 helai permadani mempunyai
nilai yang sama dengan 2 kg rempah-rempah, sedangkan di Indonesia sehelai
permadani sama dengan 1 kg rempah-rempah. Dinyatakan dalam rempah-rempah,
permadani di Persia relatif lebih murah dibandingkan permadani di Indonesia.
Sebanyak 1 kg rempah-rempah Indonesia di Persia bisa ditukarkan dengan 1,5
helai permadani. Persia disini dikatakan memiliki keunggulan komparatif dalam
memproduksi permadani dan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam
memproduksi rempah-rempah. Perdagangan yang dilakukan oleh kedua negara
tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak. Keunggulan komparatif ini
dapat memberikan manfaat perdagangan (gains from trade), yaitu mendorong
Persia untuk mengekspor permadaninya ke Indonesia dan mengimpor rempahrempah dari Indonesia. Sebaliknya, Indonesia akan terdorong untuk mengekspor
rempah-rempahnya ke Persia dan mengimpor permadani dari Persia.
3. Teori Modern
a. Teori Heckscher-Ohlin (H-O)
Teori perdagangan internasional selanjutnya dikembangkan oleh ahli ekonomi
Swedia yaitu Eli Hecksher dan Berti Ohlin, dimana teori ini dikenal dengan teori
faktor proporsi. Teori yang lebih modern ini menyatakan bahwa
terjadinya
perdagangan internasional disebabkan karena adanya perbedaan relatif faktorfaktor produksi dan intensitas penggunaan faktor produksi (Lindert, 1995:35).
Dalam teori H-O memaparkan suatu model dengan memperhatikan faktor
5
produksi (factors endowment). Asumsi yang digunakan dalam model ini yaitu,
hanya ada dua negara, hanya ada dua faktor produksi dan hanya ada dua
komoditas yang diproduksi (Raharja, 2008:99). Perdagangan internasional terjadi
disebabkan oleh perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara
dengan negara lain dan perbedaan dalam jumlah proporsi faktor produksi yang
dimiliki masing-masing negara. Negara-negara yang memiliki faktor produksi
yang relatif banyak dan lebih murah dalam memproduksinya akan melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Tetapi, suatu negara akan
mengimpor barang tertentu apabila negara tersebut memiliki faktor produksi yang
relatif langka dan lebih mahal.
Dalam analisisnya, teori H-O menggunakan dua kurva. Pertama, adalah kurva
isocost, yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama. Kedua,
adalah kurva isoquant, yaitu kurva yang menggambarkan total produksi yang
sama. Dalam teori ekonomi mikro, khususnya teori produksi dan biaya,
keseimbangan akan terjadi apabila kurva isocost bersinggungan dengan kurva
isoquant. Pada titik persinggungan tersebut akan terjadi produksi yang optimal
dengan biaya yang tertentu.
2.1.2. Teori Ekspor
Menurut Priadi (2000), ekspor merupakan total barang dan jasa yang
diperdagangkan antara satu negara dengan negara lainnya yang terdiri atas
barang- barang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu periode tertentu. Ekspor suatu
negara adalah kegiatan impor yang dilakukan oleh negara lain. Kegiatan ekspor
mencerminkan aktivitas perdagangan antar negara yang mampu memberikan
dorongan dalam dinamika pertumbuhan perdagangan internasional, sehingga
negara berkembang yang terlibat dalam kegiatan tersebut akan mampu lebih
memajukan perekonomiannya. Suatu negara dapat mengekspor barang yang
diproduksi ke negara lain apabila barang tersebut diperlukan oleh negara lain dan
mereka tidak dapat memproduksi barang tersebut atau produksinya tidak dapat
memenuhi permintaan dalam negeri.
Kebijakan ekspor lebih diarahkan pada peningkatan daya saing dan perluasan
pangsa pasar luar negeri, yang ditempuh dengan upaya peningkatan efisiensi
produksi, perbaikan kualitas komoditas, jaminan kesinambungan serta mampu
menciptakan produksi yang bervariasi di pasar. Untuk mendukung agar aktivitas
ekspor dapat berjalan lebih baik, maka perlu didukung dengan penyempurnaan
sarana dan prasarana perdagangan, termasuk informasi pasar, peningkatan akses
pasar dan peningkatan promosi terhadap produk yang akan diekspor tersebut.
Kegiatan ekspor merupakan komponen penting dalam perdagangan luar negeri
dalam upaya memperoleh keuntungan dari perdagangan sehingga pendapatan
nasional akan meningkat, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan jumlah
output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output yang semakin
meningkat lingkaran setan kemiskinan dapat diputuskan dan pembangunan
ekonomi dapat lebih ditingkatkan (Jhingan, 2004:448).
Menurut Mankiw (2009:231), ada beberapa faktor ekonomi yang dapat
mempengaruhi ekspor, impor ataupun ekspor neto, yaitu meliputi:
a. Selera konsumen terhadap barang-barang produksi dalam negeri dan luar
negeri.
7
b. Harga barang, baik di dalam maupun luar negeri.
c. Kurs yang menjadi satuan hitung terhadap jumlah mata uang domestik
yang dibutuhkan untuk membeli mata uang asing.
d. Pendapatan konsumen baik yang di dalam maupun luar negeri.
e. Ongkos transportasi atau angkutan barang antar negara.
f. Kebijakan pemerintah mengenai perdagangan internasional.
Gambar 2.1. Fungsi Ekspor
X
X0
X
Y
Sumber: Nopirin (2011:242)
Berdasarkan fungsi ekspor pada Gambar 2.1. dapat di jelaskan bahwa ketika
tingkat harga dianggap tetap, nilai ekspor tergantung dari pendapatan luar negeri
dari suatu negara, bukan dari pendapatan dalam negeri negara tersebut. Oleh
karena itu dalam grafik ekspor terhadap pendapatan nasional, fungsi ekspor
digambarkan sebagai garis lurus horizontal. Berapapun besarnya tingkat
pendapatan nasional, ekpor akan tetap. Ini berarti, pendapatan nasional tidak
mempengaruhi ekspor. Tetapi sebaliknya seperti halnya investasi, ekspor akan
mempengaruhi pendapatan nasional (Nopirin, 2011:243).
Indonesia sebagai negara yang memiliki letak geografis yang strategis dengan
kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menjadikan Indonesia sebagai salah
satu negara yang memiliki keunggulan komperatif dalam memproduksi suatu
produk. Ketika suatu negara dapat memproduksi suatu produk dengan biaya yang
lebih efisien dan memiliki kelebihan kuantitas produksi maka kelebihan tersebut
akan diekspor ke negara lainnya. Salah satu produk industri yang dianggap
memiliki peluang ekspor dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi
menjadi lebih baik adalah ekspor makanan dan minuman. Sampai saat ini produk
makanan dan minuman Indonesia telah dikenal di berbagai negara di dunia. Pasar
industri makanan dan minuman olahan di Indonesia adalah Jepang, RRT, Eropa,
Filipina, Amerika Serikat, Korea dan beberapa negara lainnya.
Ekspor makanan dan minuman Indonesia untuk beberapa dekade terakhir terus
diupayakan untuk dapat mengalami peningkatan. Adapun jenis makanan dan
minuman Indonesia yang diekspor ke berbagai negara adalah seperti jus, minuman
rasa buah, teh, kopi, biskuit, kacang panggang, kopi, jamur, mi instan, saus,
bumbu masak, wafer, cokelat, minyak goreng, produk-produk rendah gula,
makanan dan minuman susu, ice cream, mamin Indonesia yang berbasis kelapa
seperti, biskuit kelapa, air kelapa kemasan, virgin coconut oil, susu rasa kelapa
dan lain sebagainya (Gapmmi,2015).
2.1.3. Konsep Kurs Valuta Asing
Menurut Krugman dan Obstfeld (2005:40), nilai tukar merupakan harga mata
uang dari suatu negara yang diukur dalam mata uang lainnya. Kurs juga dapat
diartikan sebagai perbandingan nilai atau harga antara mata uang suatu negara
dengan negara lainnya (Amalia, 2007:79). Selanjutnya, Mudjarat Kuncoro
(2005:114) mendefinisikan nilai tukar sebagai jumlah mata uang dalam negeri
yang harus dibayarkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Kurs
memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan perdagangan internasional,
9
seperti menurunkan permintaan valuta asing kepada currency dalam negeri atau
meningkatkan penawaran currency dalam negeri kepada luar negeri. Nilai mata
uang disuatu negara akan mengalami fase apresiasi dan depreasi atas mata uang
asing. Apabila kurs valuta dalam negeri naik, maka harga barang dalam negeri
juga akan naik dan secara relatif harga barang-barang diluar negeri menjadi lebih
murah, hal itu akan mendorong terjadinya impor dan menghambat ekspor, tetapi
term of trade akan menjadi lebih baik apabila ekspornya tidak terhambat oleh
kenaikan kurs tersebut.
Kestabilan nilai tukar rupiah sangat penting untuk diperhatikan, karena kurs
memiliki pengaruh yang besar dalam kegiatan perekonomian, khususnya dikanca
perdagangan dan bisnis internasional. Hal ini dapat membantu agar produsen atau
eksportir dapat merencanakan kegiatan mereka secara lebih pasti. Ada beberapa
sistem kurs yang dapat menjaga kestabilan nilai tukar, yaitu:
a. Sistem Kurs Tetap
Menurut sistem kurs tetap (fixed exchange rate), nilai tukar mata uang suatu
negara terhadap mata uang negara lainnya ditetapkan oleh pemerintah.
Walaupun nilai tukar ditetapkan oleh pemerintah, namun tidak berarti bahwa
tidak ada perubahan permintaan dan penawaran atas suatu mata uang di
pasar valuta asing. Dampak dari perubahan permintaan dan penawaran mata
uang asing di pasar valuta asing tersebut akan diredam oleh pemerintah. Jika
terjadi kelebihan penawaran, pemerintah akan membelinya. Sebaliknya, jika
terjadi kelebihan permintaan terhadap mata uang asing tertentu, pemerintah
akan menjual persediaan mata uang yang dimilikinya. Kelebihan sistem kurs
tetap adalah bahwa sistem ini mampu memberikan kepastian mengenai nilai
tukar. Namun, pemerintah harus memiliki cadangan devisa yang besar untuk
berjaga-jaga jika dibutuhkan untuk melakukan intervensi pasar.
b. Sistem Kurs Bebas
Kurs bebas adalah nilai kurs uang ditentukan oleh kekuatan pasar, yang
biasa juga disebut dengan kurs mengambang. Keuntungan dari sistem kurs
bebas adalah bahwa tingkat kurs yang berlaku selalu sama dengan tingkat
kurs keseimbangan. Dalam sistem kurs devisa yang murni mengambang,
tidak ada masalah surplus atau defisit neraca pembayaran, sebab bekerjanya
pasar selalu menyeimbangkan jumlah devisa yang masuk dengan devisa
yang keluar.
c. Sistem Kurs Mengambang
Pada sistem kurs mengambang terkendali, nilai tukar pada dasarnya
ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Untuk menghindari
gejolak yang terlalu perekonomian, pemerintah melakukan intervensi dengan
batas-batas yang telah ditentukan, misalnya 5 persen di atas atau di bawah
kurs keseimbangan. Campur tangan pemerintah dalam mempengaruhi nilai
kurs ini dapat dilakukan secara langsung yaitu membeli atau menjual valuta
asing di pasar atau pun secara tidak langsung melalui pengaturan tingkat
bunga. Apabila pemerintah melakukan campur tangan secara langsung maka
sistem kurs valuta asing yang dianut disebut mengambang kotor (dirty
floating). Sedangkan jika pemerintah melakukan campur tangan secara tidak
11
langsung, maka sistem kurs valuta asing yang dianut disebut mengambang
bersih (clean floating).
Kurs valuta asing yang sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar akan
selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut disebabkan
oleh perubahan permintaan dan penawaran. Menurut Winarno (2006:116)
disamping hal tersebut diatas perubahan kurs valuta asing juga disebabkan oleh
beberapa faktor lain yaitu:
a. Tingkat inflasi, yaitu dalam pasar valuta asing perdagangan internasional
baik dalam bentuk barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar
valuta asing, sehingga perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap
harga luar negeri dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi
pergerakan kurs valuta asing.
b. Aktifitas neraca pembayaran yang secara langsung mempengaruhi nilai
tukar. Dengan demikian, neraca pembayaran aktif meningkatkan mata
uang nasional dengan meningkatnya permintaan dari debitur asing. Ukuran
dampak neraca pembayaran pada nilai tukar ditentukan oleh tingkat
keterbukaan ekonomi. Ketika keseimbangan positif dalam perdagangan
ada di muka terdapat peningkatan permintaan untuk mata uang negara
yang meningkatkan laju, dan dalam hal keseimbangan negatif proses
sebaliknya terjadi. Pergerakan modal jangka pendek dan jangka panjang
bergantung pada tingkat suku bunga domestik, pembatasan atau
mendorong impor dan ekspor modal.
c. Tingkat kemajuan pasar, yaitu harus ada penyesuain antara keadaan
perekonomian dengan sistem kurs yang diterapkan. Di negara yang sedang
berkembang sistem kurs bebas kurang cocok untuk diterapkan karena
volume perdagangan uang yang kecil dan dapat menyebabkan terjadinya
gejolak yang cukup besar bagi perekonomian.
d. Kredibilitas Otoriter Moneter, yaitu apabila kredibilitas dari otoritas
moneter masih kurang, sistem kurs bebas akan menyebabkan terjadinya
lonjakan nilai kurs valuta asing.
e. Mobilitas modal, yaitu negara yang memiliki lalu lintas modal tanpa
adanya mekanisme pembatasan akan sulit dalam mempertahankan sistem
kurs tetap.
f. Sifat peraturan perburuhan yaitu sifat
fleksibel atau kaku yang lebih
mudah untuk diadaptasi sehingga mampu bersaing atau memiliki daya
saing.
2.1.4. Hubungan Kurs Valuta Asing dengan Ekspor
Permintaan dan penawaran terhadap valuta asing akan membentuk nilai
tukar mata uang uang domestik terhadap mata uang negara lain pada tingkat
tertentu. Dalam nilai tukar internasional mengambang depresiasi atau apresiasi
nilai mata uang akan mempengaruhi aktivitas ekspor ataupun impor. Apabila nilai
tukar terdepresiasi, yaitu melemahnya nilai mata uang dalam negeri terhadap mata
uang asing maka akan menyebabkan ekspor semakin meningkat dan impor akan
menurun. Sejalan dengan hal tersebut, dari hasil penelitian Smith (2004)
mengenai pengaruh kurs terhadap volume ekspor di New Zealand menunjukan
13
hasil bahwa nilai tukar mempengaruhi volume ekspor. Penelitian lain oleh Nanang
(2010) yang menganalisis tentang pengaruh harga kayu dunia, nilai tukar (kurs),
GDP rill dan hutang luar negeri terhadap permintaan ekspor kayu Ghana di pasar
dunia menunjukan bahwa kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap
permintaan ekspor kayu Ghana. Begitu pula dengan penelitian Cahyadi (2015)
yang mendapatkan hasil bahwa secara parsial kurs berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ekspor kertas di Indonesia. Dari hasil penelitian-penelitian
tersebut menunjukan bahwa nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan
terhadap permintaan ekspor.
2.1.5. Konsep Inflasi
Menurut Nanga (2005:237), inflasi merupakan sebuah gejala dimana
terjadi kenaikan pada tingkat harga umum secara terus menerus. Kenaikan harga
dari satu atau dua barang saja tidak dapat dikatakan sebagai inflasi kecuali
kenaikan harga itu meluas atau mempengaruhi kenaikan harga pada barang
lainnya. Selanjutnya, Santoso (2008) menjelaskan bahwa definisi inflasi
mencakup beberapa aspek-aspek, yaitu:
a. Tendency, yaitu harga-harga cenderung mengalami peningkatan, artinya
pada suatu periode tertentu yang dimungkinkan terjadinya penurunan
harga tetapi secara keseluruhan justru mempunyai kecenderungan
meningkat.
b. Sustained, yaitu terjadinya kenaikan harga jangka panjang.
c. General Level of Price, dalam konteks inflasi harga yang dimaksudkan
adalah kenaikan harga secara umum, bukan dalam artian sempit satu atau
dua jenis barang saja.
Dilihat dari tingkat keparahannya, inflasi yang terjadi dapat dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu (Nanga, 2005:247):
a. Inflasi Sedang (moderate inflation), yaitu inflasi yang ditandai dengan
adanya kenaikan harga secara lambat dan tidak terlalu menimbulkan
distorsi terhadap pendapatan dan harga relatif.
b. Inflasi Ganas (galloping inflation), yaitu inflasi yang mencapai antara dua
atau tiga digit seperti 20 persen, 100 persen, atau 200 persen pertahun
yang dapat menimbulkan gangguan terhadap perekonomian.
c. Hiperinflasi (hyperinflation), yaitu keadaan inflasi pada tingkat yang
sangat parah, bisa mencapai ribuan atau milyaran persen per-tahun dan
merupakan jenis inflasi yang mematikan bagi perekonomian.
Menurut Totonchi (2011), penyebab inflasi yang terjadi di negara berkembang
bukanlah fenomena moneter yang bersifat murni, tetapi berhubungan dengan
terjadinya ketidakseimbangan fiskal seperti tingginya pertumbuhan jumlah dan
depresiasi nilai tukar yang timbul dari krisis neraca pembayaran. Lain halnya
dengan Nanga (2005:245), mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab terjadinya
inflasi kedalam 3 kategori yaitu:
a. Inflasi Tarikan Permintaan (demand pull inflation) merupakan inflasi yang
terjadi akibat adanya kenaikan permintaan agregat pada skala besar
dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat.
15
b. Inflasi Dorongan Biaya (cost push inflation) merupakan inflasi yang
terjadi akibat adanya kenaikan biaya produksi secara drastis dibandingkan
produktivitas ataupun efisiensi, yang mengakibatkan perusahaan akan
mengurangi supply barang dan jasa mereka ke pasar.
c. Inflasi struktural (structural inflation) merupakan inflasi yang terjadi
akibat kendala atau kekuatan struktural yang menyebabkan penawaran di
dalam perekonomian kurang atau tidak responsif pada peningkatan
permintaan.
Selama ini inflasi dianggap sebagai penyakit ekonomi yang harus diberantas
akibat mengganggu stabilitas pasar barang yang menyebabkan mahalnya harga
input dan faktor produksi menjadi naik (Jakaria, 2008). Tetapi, inflasi pada tahap
yang normal sebenarnya diperlukan untuk menjadi rangsangan bagi produsen
dalam negeri untuk meningkatkan produksinya. Dengan peningkatan produksi
maka perusahaan akan menambah tenaga kerjanya sehingga pengangguran akan
terserap ke pasar kerja. Semakin banyak banyak output yang dihasilkan oleh
produsen maka akan semakin besar peluang untuk melakukan ekspor sehingga
perekonomian akan berangsur pulih dan membaik.
2.1.6 Hubungan Inflasi dengan Ekspor
Dalam upaya mencapai laju perkembangan perekonomian yang lebih baik
dan cepat pada tingkat perkembangan yang diperlukan, maka perekonomian di
suatu negara akan selalu mengalami inflasi. Inflasi pada tingkat tertentu dengan
ukuran normal diperlukan untuk memacu produsen dalam negeri agar lebih
meningkatkan produksi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wardhana (2011)
memperoleh hasil bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap ekspor non migas
Indonesia ke singapura tahun 1990-2010. Artinya, semakin tinggi tingkat inflasi
dapat menyebabkan ekspor semakin rendah. Inflasi yang semakin tinggi dapat
menyebabkan harga-harga barang menjadi naik, termasuk bahan baku untuk
melakukan suatu kegiatan produksi. Naiknya harga bahan baku menyebabkan
para produsen akan mengalami penurunan kuantitas produksi dan akhirnya akan
mempengaruhi nilai ekspor (Raharja dan Manurung, 2004:319). Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Widhi Ari (2014) yang menyatakan bahwa
secara parsial inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor ukiran
kayu Indonesia ke Amerika Serikat tahun 1996-2012.
2.1.7 Konsep Penanaman Modal Asing (PMA)
Penanaman Modal Asing (PMA) adalah investasi dari aset luar negeri ke
dalam negeri baik ke dalam struktur, peralatan maupun organisasi domestik
(Isayeva, 2012). Di Indonesia Penanaman Modal Asing diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 1970. Dalam Undang-Undang tersebut lebih jelas
diberikan penjabaran mengenai definisi penanaman modal asing yaitu:
a. Alat pembayaran luar negeri dan bukan bagian dari kekayaan devisa
negara yang atas persetujuan pemerintah digunakan sebagai pembiayaan
perusahaan di Indonesia.
b. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik
orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukan dari luar negeri ke dalam
negeri, dimana alat-alat tersebut tidak dibiayai oleh persediaan
devisa negara.
17
cadangan
c. Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan peraturan perundangundangan, keuntungan ini diperkenankan untuk ditransfer, tetapi
dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia.
Penanaman Modal Asing memiliki banyak kelebihan diantaranya, bersifat
jangka panjang, banyak memberikan adil dalam alih teknologi, alih keterampilan
manajemen dan penyediaan lapangan kerja. Dengan adanya aliran dari modal
asing tersebut diharapkan pengusaha dalam negeri dapat lebih produktif sehingga
output akan meningkat yang akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Investasi asing juga dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan
nilai tukar dengan negara tujuan (investment GAP).
Industri makanan dan minuman di Indonesia memiliki peranan penting dalam
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data menunujukan bahwa pertumbuhan dan
nilai investasi di sektor pangan selalu meningkat dalam beberapa kurun waktu
terakhir. Sebagai negara dengan populasi ke-4 terbesar di dunia serta pertumbuhan
kelas menengah yang tinggi, pasar makanan dan minuman Indonesia sangat
menjanjikan dan paling diminati untuk investasi. Investasi di industri makanan
dan minuman di Indonesia relatif stabil dari tahun ke tahun dengan trend
pertumbuhan yang positif (Gapmmi, 2015).
2.1.8. Hubungan PMA dengan Ekspor
Menurut Sukirno (2000:105), dalam teori investasi dijelaskan bahwa dengan
meningkatnya investasi akan menyebabkan bertambahnya kuantitas produksi
sehingga akan berefek positif terhadap peningkatan ekspor. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramana dan Meydianawathi (2013) yang
menyatakan bahwa investasi yang berupa PMA memiliki dampak positif dan
signifikan terhadap peningkatan ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat
periode 1991-2012. Selain itu, hasil penelitian Ranna dan Muhammad (2010) juga
menunjukan bahwa PMA berpengaruh positif terhadap ekspor di negara Pakistan.
Maka dari itu, hubungan antara PMA dengan ekspor adalah positif dan signifikan.
2.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan dan kajian pustaka yang telah diuraikan
maka dapat dirumuskan hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini, yaitu:
1. Kurs dollar Amerika Serikat, inflasi dan PMA secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap ekspor makanan dan minuman di
Indonesia periode 1992-2014.
2. Kurs dollar Amerika Serikat secara parsial berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ekspor makanan dan minuman Indonesia periode
1992-2014.
3. Inflasi secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor
makanan dan minuman Indonesia periode 1992-2014.
4. Penanaman Modal Asing (PMA) secara parsial berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ekspor makanan dan minuman Indonesia periode
1992-2014.
19
Download