BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah kegiatan pertukaran barang ataupun jasa yang dilakukan antara satu negara dengan negara lainnya yang timbul akibat aktivitas permintaan dan penawaran ekonomi. Perdagangan atau pertukaran memiliki arti khusus dalam ilmu ekonomi. Perdagangan timbul karena salah satu atau kedua belah pihak melihat adanya manfaat atau keuntungan tambahan yang dapat diperoleh dari pertukaran tersebut. Motif atau dorongan dari suatu negara melakukan perdagangan adalah karena adanya kemungkinan diperolehnya manfaat tambahan dari kegiatan yang dilakukan yang disebut gains from trade (Boediono, 2012:11). Menurut Tambunan (2000:1) perdagangan internasional merupakan lalu lintas transaksi yang dilakukan antar negara yang mencakup ekspor dan impor. Perdagangan antar negara ini dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu perdagangan barang (fisik) dan perdagangan jasa. Perdagangan internasional dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, meskipun jumlah barang yang tersedia secara keseluruhan sama sekali tidak berubah. Melakukan perdagangan dengan negara lain memungkinkan dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu dapat membeli barang yang harganya lebih rendah (dengan impor barang tertentu) dan menjual barang keluar negeri dengan harga yang relatif lebih tinggi. Perbedaan harga dapat terjadi akibat perbedaan kombinasi penggunaan faktor produksi, perbedaan selera dan pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat. Perdagangan internasional pada dasarnya adalah kegiatan ekspor ataupun impor yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lainnya baik berupa barang atau jasa. Teori perdagangan internasional terdiri dari tiga teori yang mendukung yaitu teori pra-klasik, teori klsik dan teori modern. 1. Teori Pra Klasik (Merkantilisme) Teori perdagangan internasional pertama kali muncul pada abad ke-16 dan 17 yaitu diawali dengan munculnya kaum Merkantilisme yang berkembang di Eropa Barat. Teori ini awalnya dikembangkan oleh pedagang (merchant). Menurut Raharja (2006:75) ajaran Merkantilis memiliki keyakinan bahwa kemakmuran suatu negara sangat tergantung dari adanya surplus dalam kegiatan perdagangan, yaitu keadaaan nilai ekspor lebih besar daripada impor (X>M). Merkantilis pada prinsipnya adalah suatu paham yang menganggap bahwa penimbunan logamlogam mulia dan peningkatan nilai total ekspor adalah tujuan utama kebijakan nasional. Ajaran ini berpendapat apabila ekspor terus meningkat maka negara akan banyak memperoleh logam-logam mulia sebagai bayaran dari kegiatan ekspor, yang akan diikuti dengan kemakmuran di negara tersebut juga akan meningkat. Dalam pencapaian tujuannya tersebut merkantilis menerapkan intervensi pemerintah yang sangat ketat dalam hal kegiatan perdagangan. Hal ini dilakukan agar ekspor terus meningkat dan impor dapat ditekan bahkan dikurangi, dengan melakukan proteksi yang ketat dan pemberian hak monopoli kepada produsen dalam negeri. 2. Teori Klasik a. Teori Keunggulan Absolut (Absolute Advantage ) Adam Smith Setiap negara akan memperoleh manfaat dari dilakukannya perdagangan internasional (gains from trade) karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan absolut serta mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut. Teori keunggulan absolut (absolute adventage) ini dikembangkan oleh Adam Smith. Lebih lanjut Smith menganjurkan perdagangan bebas sebagai kebijakan yang paling efektif untuk negara-negara didunia karena dapat melakukan spesialisasi dalam produksi komoditi yang mempunyai keunggulan absolut dan mengimpor komoditi yang mengalami kerugian absolut (Hady, 2004:29). Dengan adanya spesialisasi dari faktor-faktor produksi akan memberikan pertambahan produksi dunia yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama melalui perdagangan internasional sehingga keuntungan suatu negara tidak diperoleh dengan pengorbanan dari negara lain tetapi semua negara secara serempak dapat memperolehnya. Suatu negara akan mengekspor atau mengimpor suatu jenis barang, apabila negara tersebut dapat atau tidak dapat memproduksinya lebih efisien atau lebih murah dibandingkan negara lain. Jadi, teori ini lebih menekankan bahwa efisiensi dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja, didalam proses produksi sangat menentukan keunggulan atau tingkat daya saing. Tingkat keunggulan diukur 3 berdasarkan nilai tenaga kerja yang sifatnya homogeny (Tambunan, 2000:21). Adam Smith berpendapat bahwa nilai ekonomis ditetapkan dan diukur berdasarkan jam kerja dari tenaga kerja. Biaya tenaga kerja untuk menghasilkan satu unit barang adalah nilai atau harga unit barang itu (Lindert, 1994:19). b. Teori Keunggulan Relatif (Comparative Adventage) David Ricardo Teori David Ricardo didasarkan pada nilai tenaga kerja atau Theory of Labour Value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya (Hady, 2001:32). Suatu negara mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang-barang dimana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien dan mengimpor barang yang produksinya kurang efisien. Artinya, suatu negara hanya akan mengekspor barang yang mempunyai keunggulan komperatif tinggi, dan mengimpor barang yang mempunyai keunggulan komperatif rendah (Boediono, 2012:21). Berdasarkan contoh hipotesis pada Tabel 2.1. Dapat dikatakan bahwa teori comperative adventage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage. Tabel 2.1. Teori Keunggulan Komperatif Permadani Rempah-rempah Sumber: Boediono, (2012:21) Persia 2 3 Indonesia 4 4 Persia mempunyai keunggulan mutlak dalam kedua barang tersebut, karena keduanya bisa diproduksikan lebih murah di Persia. Ricardo mengatakan bahwa hal ini tidak berarti bahwa Persia akan mengekspor baik permadani maupun rempah-rempah ke Indonesia. Dalam hal ini Indonesia masih akan mengekspor rempah-rempah ke Persia dan Persia mengekspor permadani ke Indonesia. Sebelum ada perdagangan, di Persia 3 helai permadani mempunyai nilai yang sama dengan 2 kg rempah-rempah, sedangkan di Indonesia sehelai permadani sama dengan 1 kg rempah-rempah. Dinyatakan dalam rempah-rempah, permadani di Persia relatif lebih murah dibandingkan permadani di Indonesia. Sebanyak 1 kg rempah-rempah Indonesia di Persia bisa ditukarkan dengan 1,5 helai permadani. Persia disini dikatakan memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi permadani dan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi rempah-rempah. Perdagangan yang dilakukan oleh kedua negara tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak. Keunggulan komparatif ini dapat memberikan manfaat perdagangan (gains from trade), yaitu mendorong Persia untuk mengekspor permadaninya ke Indonesia dan mengimpor rempahrempah dari Indonesia. Sebaliknya, Indonesia akan terdorong untuk mengekspor rempah-rempahnya ke Persia dan mengimpor permadani dari Persia. 3. Teori Modern a. Teori Heckscher-Ohlin (H-O) Teori perdagangan internasional selanjutnya dikembangkan oleh ahli ekonomi Swedia yaitu Eli Hecksher dan Berti Ohlin, dimana teori ini dikenal dengan teori faktor proporsi. Teori yang lebih modern ini menyatakan bahwa terjadinya perdagangan internasional disebabkan karena adanya perbedaan relatif faktorfaktor produksi dan intensitas penggunaan faktor produksi (Lindert, 1995:35). Dalam teori H-O memaparkan suatu model dengan memperhatikan faktor 5 produksi (factors endowment). Asumsi yang digunakan dalam model ini yaitu, hanya ada dua negara, hanya ada dua faktor produksi dan hanya ada dua komoditas yang diproduksi (Raharja, 2008:99). Perdagangan internasional terjadi disebabkan oleh perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara dengan negara lain dan perbedaan dalam jumlah proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara. Negara-negara yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan lebih murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Tetapi, suatu negara akan mengimpor barang tertentu apabila negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka dan lebih mahal. Dalam analisisnya, teori H-O menggunakan dua kurva. Pertama, adalah kurva isocost, yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama. Kedua, adalah kurva isoquant, yaitu kurva yang menggambarkan total produksi yang sama. Dalam teori ekonomi mikro, khususnya teori produksi dan biaya, keseimbangan akan terjadi apabila kurva isocost bersinggungan dengan kurva isoquant. Pada titik persinggungan tersebut akan terjadi produksi yang optimal dengan biaya yang tertentu. 2.1.2. Teori Ekspor Menurut Priadi (2000), ekspor merupakan total barang dan jasa yang diperdagangkan antara satu negara dengan negara lainnya yang terdiri atas barang- barang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu periode tertentu. Ekspor suatu negara adalah kegiatan impor yang dilakukan oleh negara lain. Kegiatan ekspor mencerminkan aktivitas perdagangan antar negara yang mampu memberikan dorongan dalam dinamika pertumbuhan perdagangan internasional, sehingga negara berkembang yang terlibat dalam kegiatan tersebut akan mampu lebih memajukan perekonomiannya. Suatu negara dapat mengekspor barang yang diproduksi ke negara lain apabila barang tersebut diperlukan oleh negara lain dan mereka tidak dapat memproduksi barang tersebut atau produksinya tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri. Kebijakan ekspor lebih diarahkan pada peningkatan daya saing dan perluasan pangsa pasar luar negeri, yang ditempuh dengan upaya peningkatan efisiensi produksi, perbaikan kualitas komoditas, jaminan kesinambungan serta mampu menciptakan produksi yang bervariasi di pasar. Untuk mendukung agar aktivitas ekspor dapat berjalan lebih baik, maka perlu didukung dengan penyempurnaan sarana dan prasarana perdagangan, termasuk informasi pasar, peningkatan akses pasar dan peningkatan promosi terhadap produk yang akan diekspor tersebut. Kegiatan ekspor merupakan komponen penting dalam perdagangan luar negeri dalam upaya memperoleh keuntungan dari perdagangan sehingga pendapatan nasional akan meningkat, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output yang semakin meningkat lingkaran setan kemiskinan dapat diputuskan dan pembangunan ekonomi dapat lebih ditingkatkan (Jhingan, 2004:448). Menurut Mankiw (2009:231), ada beberapa faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi ekspor, impor ataupun ekspor neto, yaitu meliputi: a. Selera konsumen terhadap barang-barang produksi dalam negeri dan luar negeri. 7 b. Harga barang, baik di dalam maupun luar negeri. c. Kurs yang menjadi satuan hitung terhadap jumlah mata uang domestik yang dibutuhkan untuk membeli mata uang asing. d. Pendapatan konsumen baik yang di dalam maupun luar negeri. e. Ongkos transportasi atau angkutan barang antar negara. f. Kebijakan pemerintah mengenai perdagangan internasional. Gambar 2.1. Fungsi Ekspor X X0 X Y Sumber: Nopirin (2011:242) Berdasarkan fungsi ekspor pada Gambar 2.1. dapat di jelaskan bahwa ketika tingkat harga dianggap tetap, nilai ekspor tergantung dari pendapatan luar negeri dari suatu negara, bukan dari pendapatan dalam negeri negara tersebut. Oleh karena itu dalam grafik ekspor terhadap pendapatan nasional, fungsi ekspor digambarkan sebagai garis lurus horizontal. Berapapun besarnya tingkat pendapatan nasional, ekpor akan tetap. Ini berarti, pendapatan nasional tidak mempengaruhi ekspor. Tetapi sebaliknya seperti halnya investasi, ekspor akan mempengaruhi pendapatan nasional (Nopirin, 2011:243). Indonesia sebagai negara yang memiliki letak geografis yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keunggulan komperatif dalam memproduksi suatu produk. Ketika suatu negara dapat memproduksi suatu produk dengan biaya yang lebih efisien dan memiliki kelebihan kuantitas produksi maka kelebihan tersebut akan diekspor ke negara lainnya. Salah satu produk industri yang dianggap memiliki peluang ekspor dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik adalah ekspor makanan dan minuman. Sampai saat ini produk makanan dan minuman Indonesia telah dikenal di berbagai negara di dunia. Pasar industri makanan dan minuman olahan di Indonesia adalah Jepang, RRT, Eropa, Filipina, Amerika Serikat, Korea dan beberapa negara lainnya. Ekspor makanan dan minuman Indonesia untuk beberapa dekade terakhir terus diupayakan untuk dapat mengalami peningkatan. Adapun jenis makanan dan minuman Indonesia yang diekspor ke berbagai negara adalah seperti jus, minuman rasa buah, teh, kopi, biskuit, kacang panggang, kopi, jamur, mi instan, saus, bumbu masak, wafer, cokelat, minyak goreng, produk-produk rendah gula, makanan dan minuman susu, ice cream, mamin Indonesia yang berbasis kelapa seperti, biskuit kelapa, air kelapa kemasan, virgin coconut oil, susu rasa kelapa dan lain sebagainya (Gapmmi,2015). 2.1.3. Konsep Kurs Valuta Asing Menurut Krugman dan Obstfeld (2005:40), nilai tukar merupakan harga mata uang dari suatu negara yang diukur dalam mata uang lainnya. Kurs juga dapat diartikan sebagai perbandingan nilai atau harga antara mata uang suatu negara dengan negara lainnya (Amalia, 2007:79). Selanjutnya, Mudjarat Kuncoro (2005:114) mendefinisikan nilai tukar sebagai jumlah mata uang dalam negeri yang harus dibayarkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Kurs memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan perdagangan internasional, 9 seperti menurunkan permintaan valuta asing kepada currency dalam negeri atau meningkatkan penawaran currency dalam negeri kepada luar negeri. Nilai mata uang disuatu negara akan mengalami fase apresiasi dan depreasi atas mata uang asing. Apabila kurs valuta dalam negeri naik, maka harga barang dalam negeri juga akan naik dan secara relatif harga barang-barang diluar negeri menjadi lebih murah, hal itu akan mendorong terjadinya impor dan menghambat ekspor, tetapi term of trade akan menjadi lebih baik apabila ekspornya tidak terhambat oleh kenaikan kurs tersebut. Kestabilan nilai tukar rupiah sangat penting untuk diperhatikan, karena kurs memiliki pengaruh yang besar dalam kegiatan perekonomian, khususnya dikanca perdagangan dan bisnis internasional. Hal ini dapat membantu agar produsen atau eksportir dapat merencanakan kegiatan mereka secara lebih pasti. Ada beberapa sistem kurs yang dapat menjaga kestabilan nilai tukar, yaitu: a. Sistem Kurs Tetap Menurut sistem kurs tetap (fixed exchange rate), nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya ditetapkan oleh pemerintah. Walaupun nilai tukar ditetapkan oleh pemerintah, namun tidak berarti bahwa tidak ada perubahan permintaan dan penawaran atas suatu mata uang di pasar valuta asing. Dampak dari perubahan permintaan dan penawaran mata uang asing di pasar valuta asing tersebut akan diredam oleh pemerintah. Jika terjadi kelebihan penawaran, pemerintah akan membelinya. Sebaliknya, jika terjadi kelebihan permintaan terhadap mata uang asing tertentu, pemerintah akan menjual persediaan mata uang yang dimilikinya. Kelebihan sistem kurs tetap adalah bahwa sistem ini mampu memberikan kepastian mengenai nilai tukar. Namun, pemerintah harus memiliki cadangan devisa yang besar untuk berjaga-jaga jika dibutuhkan untuk melakukan intervensi pasar. b. Sistem Kurs Bebas Kurs bebas adalah nilai kurs uang ditentukan oleh kekuatan pasar, yang biasa juga disebut dengan kurs mengambang. Keuntungan dari sistem kurs bebas adalah bahwa tingkat kurs yang berlaku selalu sama dengan tingkat kurs keseimbangan. Dalam sistem kurs devisa yang murni mengambang, tidak ada masalah surplus atau defisit neraca pembayaran, sebab bekerjanya pasar selalu menyeimbangkan jumlah devisa yang masuk dengan devisa yang keluar. c. Sistem Kurs Mengambang Pada sistem kurs mengambang terkendali, nilai tukar pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Untuk menghindari gejolak yang terlalu perekonomian, pemerintah melakukan intervensi dengan batas-batas yang telah ditentukan, misalnya 5 persen di atas atau di bawah kurs keseimbangan. Campur tangan pemerintah dalam mempengaruhi nilai kurs ini dapat dilakukan secara langsung yaitu membeli atau menjual valuta asing di pasar atau pun secara tidak langsung melalui pengaturan tingkat bunga. Apabila pemerintah melakukan campur tangan secara langsung maka sistem kurs valuta asing yang dianut disebut mengambang kotor (dirty floating). Sedangkan jika pemerintah melakukan campur tangan secara tidak 11 langsung, maka sistem kurs valuta asing yang dianut disebut mengambang bersih (clean floating). Kurs valuta asing yang sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut disebabkan oleh perubahan permintaan dan penawaran. Menurut Winarno (2006:116) disamping hal tersebut diatas perubahan kurs valuta asing juga disebabkan oleh beberapa faktor lain yaitu: a. Tingkat inflasi, yaitu dalam pasar valuta asing perdagangan internasional baik dalam bentuk barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar valuta asing, sehingga perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing. b. Aktifitas neraca pembayaran yang secara langsung mempengaruhi nilai tukar. Dengan demikian, neraca pembayaran aktif meningkatkan mata uang nasional dengan meningkatnya permintaan dari debitur asing. Ukuran dampak neraca pembayaran pada nilai tukar ditentukan oleh tingkat keterbukaan ekonomi. Ketika keseimbangan positif dalam perdagangan ada di muka terdapat peningkatan permintaan untuk mata uang negara yang meningkatkan laju, dan dalam hal keseimbangan negatif proses sebaliknya terjadi. Pergerakan modal jangka pendek dan jangka panjang bergantung pada tingkat suku bunga domestik, pembatasan atau mendorong impor dan ekspor modal. c. Tingkat kemajuan pasar, yaitu harus ada penyesuain antara keadaan perekonomian dengan sistem kurs yang diterapkan. Di negara yang sedang berkembang sistem kurs bebas kurang cocok untuk diterapkan karena volume perdagangan uang yang kecil dan dapat menyebabkan terjadinya gejolak yang cukup besar bagi perekonomian. d. Kredibilitas Otoriter Moneter, yaitu apabila kredibilitas dari otoritas moneter masih kurang, sistem kurs bebas akan menyebabkan terjadinya lonjakan nilai kurs valuta asing. e. Mobilitas modal, yaitu negara yang memiliki lalu lintas modal tanpa adanya mekanisme pembatasan akan sulit dalam mempertahankan sistem kurs tetap. f. Sifat peraturan perburuhan yaitu sifat fleksibel atau kaku yang lebih mudah untuk diadaptasi sehingga mampu bersaing atau memiliki daya saing. 2.1.4. Hubungan Kurs Valuta Asing dengan Ekspor Permintaan dan penawaran terhadap valuta asing akan membentuk nilai tukar mata uang uang domestik terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu. Dalam nilai tukar internasional mengambang depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan mempengaruhi aktivitas ekspor ataupun impor. Apabila nilai tukar terdepresiasi, yaitu melemahnya nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing maka akan menyebabkan ekspor semakin meningkat dan impor akan menurun. Sejalan dengan hal tersebut, dari hasil penelitian Smith (2004) mengenai pengaruh kurs terhadap volume ekspor di New Zealand menunjukan 13 hasil bahwa nilai tukar mempengaruhi volume ekspor. Penelitian lain oleh Nanang (2010) yang menganalisis tentang pengaruh harga kayu dunia, nilai tukar (kurs), GDP rill dan hutang luar negeri terhadap permintaan ekspor kayu Ghana di pasar dunia menunjukan bahwa kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan ekspor kayu Ghana. Begitu pula dengan penelitian Cahyadi (2015) yang mendapatkan hasil bahwa secara parsial kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor kertas di Indonesia. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukan bahwa nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan ekspor. 2.1.5. Konsep Inflasi Menurut Nanga (2005:237), inflasi merupakan sebuah gejala dimana terjadi kenaikan pada tingkat harga umum secara terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat dikatakan sebagai inflasi kecuali kenaikan harga itu meluas atau mempengaruhi kenaikan harga pada barang lainnya. Selanjutnya, Santoso (2008) menjelaskan bahwa definisi inflasi mencakup beberapa aspek-aspek, yaitu: a. Tendency, yaitu harga-harga cenderung mengalami peningkatan, artinya pada suatu periode tertentu yang dimungkinkan terjadinya penurunan harga tetapi secara keseluruhan justru mempunyai kecenderungan meningkat. b. Sustained, yaitu terjadinya kenaikan harga jangka panjang. c. General Level of Price, dalam konteks inflasi harga yang dimaksudkan adalah kenaikan harga secara umum, bukan dalam artian sempit satu atau dua jenis barang saja. Dilihat dari tingkat keparahannya, inflasi yang terjadi dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (Nanga, 2005:247): a. Inflasi Sedang (moderate inflation), yaitu inflasi yang ditandai dengan adanya kenaikan harga secara lambat dan tidak terlalu menimbulkan distorsi terhadap pendapatan dan harga relatif. b. Inflasi Ganas (galloping inflation), yaitu inflasi yang mencapai antara dua atau tiga digit seperti 20 persen, 100 persen, atau 200 persen pertahun yang dapat menimbulkan gangguan terhadap perekonomian. c. Hiperinflasi (hyperinflation), yaitu keadaan inflasi pada tingkat yang sangat parah, bisa mencapai ribuan atau milyaran persen per-tahun dan merupakan jenis inflasi yang mematikan bagi perekonomian. Menurut Totonchi (2011), penyebab inflasi yang terjadi di negara berkembang bukanlah fenomena moneter yang bersifat murni, tetapi berhubungan dengan terjadinya ketidakseimbangan fiskal seperti tingginya pertumbuhan jumlah dan depresiasi nilai tukar yang timbul dari krisis neraca pembayaran. Lain halnya dengan Nanga (2005:245), mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab terjadinya inflasi kedalam 3 kategori yaitu: a. Inflasi Tarikan Permintaan (demand pull inflation) merupakan inflasi yang terjadi akibat adanya kenaikan permintaan agregat pada skala besar dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat. 15 b. Inflasi Dorongan Biaya (cost push inflation) merupakan inflasi yang terjadi akibat adanya kenaikan biaya produksi secara drastis dibandingkan produktivitas ataupun efisiensi, yang mengakibatkan perusahaan akan mengurangi supply barang dan jasa mereka ke pasar. c. Inflasi struktural (structural inflation) merupakan inflasi yang terjadi akibat kendala atau kekuatan struktural yang menyebabkan penawaran di dalam perekonomian kurang atau tidak responsif pada peningkatan permintaan. Selama ini inflasi dianggap sebagai penyakit ekonomi yang harus diberantas akibat mengganggu stabilitas pasar barang yang menyebabkan mahalnya harga input dan faktor produksi menjadi naik (Jakaria, 2008). Tetapi, inflasi pada tahap yang normal sebenarnya diperlukan untuk menjadi rangsangan bagi produsen dalam negeri untuk meningkatkan produksinya. Dengan peningkatan produksi maka perusahaan akan menambah tenaga kerjanya sehingga pengangguran akan terserap ke pasar kerja. Semakin banyak banyak output yang dihasilkan oleh produsen maka akan semakin besar peluang untuk melakukan ekspor sehingga perekonomian akan berangsur pulih dan membaik. 2.1.6 Hubungan Inflasi dengan Ekspor Dalam upaya mencapai laju perkembangan perekonomian yang lebih baik dan cepat pada tingkat perkembangan yang diperlukan, maka perekonomian di suatu negara akan selalu mengalami inflasi. Inflasi pada tingkat tertentu dengan ukuran normal diperlukan untuk memacu produsen dalam negeri agar lebih meningkatkan produksi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wardhana (2011) memperoleh hasil bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap ekspor non migas Indonesia ke singapura tahun 1990-2010. Artinya, semakin tinggi tingkat inflasi dapat menyebabkan ekspor semakin rendah. Inflasi yang semakin tinggi dapat menyebabkan harga-harga barang menjadi naik, termasuk bahan baku untuk melakukan suatu kegiatan produksi. Naiknya harga bahan baku menyebabkan para produsen akan mengalami penurunan kuantitas produksi dan akhirnya akan mempengaruhi nilai ekspor (Raharja dan Manurung, 2004:319). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widhi Ari (2014) yang menyatakan bahwa secara parsial inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor ukiran kayu Indonesia ke Amerika Serikat tahun 1996-2012. 2.1.7 Konsep Penanaman Modal Asing (PMA) Penanaman Modal Asing (PMA) adalah investasi dari aset luar negeri ke dalam negeri baik ke dalam struktur, peralatan maupun organisasi domestik (Isayeva, 2012). Di Indonesia Penanaman Modal Asing diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 1970. Dalam Undang-Undang tersebut lebih jelas diberikan penjabaran mengenai definisi penanaman modal asing yaitu: a. Alat pembayaran luar negeri dan bukan bagian dari kekayaan devisa negara yang atas persetujuan pemerintah digunakan sebagai pembiayaan perusahaan di Indonesia. b. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukan dari luar negeri ke dalam negeri, dimana alat-alat tersebut tidak dibiayai oleh persediaan devisa negara. 17 cadangan c. Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan peraturan perundangundangan, keuntungan ini diperkenankan untuk ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia. Penanaman Modal Asing memiliki banyak kelebihan diantaranya, bersifat jangka panjang, banyak memberikan adil dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen dan penyediaan lapangan kerja. Dengan adanya aliran dari modal asing tersebut diharapkan pengusaha dalam negeri dapat lebih produktif sehingga output akan meningkat yang akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Investasi asing juga dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan nilai tukar dengan negara tujuan (investment GAP). Industri makanan dan minuman di Indonesia memiliki peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data menunujukan bahwa pertumbuhan dan nilai investasi di sektor pangan selalu meningkat dalam beberapa kurun waktu terakhir. Sebagai negara dengan populasi ke-4 terbesar di dunia serta pertumbuhan kelas menengah yang tinggi, pasar makanan dan minuman Indonesia sangat menjanjikan dan paling diminati untuk investasi. Investasi di industri makanan dan minuman di Indonesia relatif stabil dari tahun ke tahun dengan trend pertumbuhan yang positif (Gapmmi, 2015). 2.1.8. Hubungan PMA dengan Ekspor Menurut Sukirno (2000:105), dalam teori investasi dijelaskan bahwa dengan meningkatnya investasi akan menyebabkan bertambahnya kuantitas produksi sehingga akan berefek positif terhadap peningkatan ekspor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramana dan Meydianawathi (2013) yang menyatakan bahwa investasi yang berupa PMA memiliki dampak positif dan signifikan terhadap peningkatan ekspor non migas Indonesia ke Amerika Serikat periode 1991-2012. Selain itu, hasil penelitian Ranna dan Muhammad (2010) juga menunjukan bahwa PMA berpengaruh positif terhadap ekspor di negara Pakistan. Maka dari itu, hubungan antara PMA dengan ekspor adalah positif dan signifikan. 2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan dan kajian pustaka yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini, yaitu: 1. Kurs dollar Amerika Serikat, inflasi dan PMA secara simultan berpengaruh signifikan terhadap ekspor makanan dan minuman di Indonesia periode 1992-2014. 2. Kurs dollar Amerika Serikat secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor makanan dan minuman Indonesia periode 1992-2014. 3. Inflasi secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor makanan dan minuman Indonesia periode 1992-2014. 4. Penanaman Modal Asing (PMA) secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor makanan dan minuman Indonesia periode 1992-2014. 19