BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sektor informal

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sektor informal berkembang pesat di negara berkembang seperti Indonesia.
Sektor informal merupakan unit usaha masyarakat di luar institusi formal yang telah
melembaga pada kegiatan ekonomi yang muncul sebagai akibat dari keterbatasan
yang dilakukan negara dalam menyeimbangkan struktur produksi dan struktur
ketenagakerjaan yang ada. S.V Sethuraman (dalam Kartasapoetra,1985:h.90) sektor
informal lebih merupakan suatu manifestasi dari situasi dan pertumbuhan kerja di
negara berkembang karena mereka yang memasuki sektor ini terutama bertujuan
untuk memperoleh pekerjaan daripada keuntungan.
Salah satu sektor informal yang menyerap banyak tenaga kerja yaitu sektor
industri kreatif. Industri kreatif sebagai ekonomi rakyat, UMKM ,dan sektor informal
sangat berperan dalam peningkatan perekonomian negara. Industri kreatif dalam
perekonomian sebagai katup pengaman over urbanization dan katup pengaman dari
krisis ekonomi, Berkaitan dengan hal tersebut Mazumdar menjelaskan bahwa faktor
pelayanan dan jasa terutama yang ada di sektor informal mempunyai kesempatan
yang cukup besar dalam menyerap pekerja karena mobilitas angkatan kerja di sektor
informal adalah tinggi. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang mendorong
tenaga kerja masuk sektor informal (Tadjuddin,1995:h.98).
Industri kecil dan menengah banyak muncul di daerah dengan mayoritas
penduduk di bawah garis kemiskinan. Pemerintah kemudian mulai mengembangkan
sektor
ini
dengan
harapan
dapat
membantu
mengatasi
masalah-masalah
kesejahteraan masyarakat antara lain banyaknya pengangguran, ketimpangan
distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata serta masalah klasik
bangsa kita yaitu kemiskinan. Ini berarti, dibutuhkan program pengentasan
kemiskinan secara terpadu yaitu dari pemerintah dan dari masyarakat dengan cara
melakukan peningkatan kemampuan masyarakat miskin untuk melakukan kegiatan
produktif. Hal ini dimaksudkan agar mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih
tinggi dan pendapatan yang lebih besar dari suatu kegiatan.
Upaya meningkatkan kemampuan menghasilkan nilai tambah, paling tidak harus
ada perbaikan akses terhadap empat hal, yaitu (1) akses terhadap sumber daya; (2)
akses terhadap teknologi, yaitu suatu kegiatan dengan cara dan alat yang lebih baik
dan efisien; (3) akses terhadap pasar. Produk yang dihasilkan harus dapat dijual
untuk mendapatkan nilai tambah. Ini berarti, penyediaan sarana produksi dan
peningkatan keterampilan harus diimbangi dengan tersedianya pasar secara terus
menerus; (4)
akses terhadap sumber pembiayaan. Di sini, koordinasi dan
pengembangan sistem kredit kecil yang menjangkau masyarakat bawah perlu
dilanjutkan dan ditingkatkan (Gunawan Sumodiningrat,1998:h.45). Industri kerajinan
merupakan salah satu jenis industri kreatif yang berkembang pesat di negara kita
karena produknya banyak diminati baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini
disebabkan karena setiap industri kerajinan yang ada memiliki kreatifitas dan inovasi
dari pengrajinnya sehingga menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah dan
daya saing tinggi serta tidak melupakan trend pasar yang sedang berkembang.
Faktor-faktor produksi bukan lagi seperti yang dinyatakan dalam teori ekonomi
klasik, anggapan itu menyatakan bahwa faktor-faktor produksi adalah sumber daya
manusia yang kreatif dan tingkat infrastruktur yang tersedia. Tanpa manusia yang
kreatif,
sulit
digambarkan
prestasi
dunia
seperti
saat
ini
(Fadel
Muhammah,1992:h.39). Industri kerajinan memiliki peran dalam perkembangan
perekonomian nasional karena mampu menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan
pendapatan masyarakat, dan menggerakkan kegiatan ekonomi di daerah.
Sebagai kota yang menggantungkan perekonomian dari bidang pariwisata,
kehidupan industri baik dari bidang perdagangan, jasa, industri kerajinan dan yang
lainnya menjadi tulang punggung sebagian besar perekonomian warga Yogyakarta.
Industri kerajinan berkembang hampir di setiap wilayah di Indonesia terutama di
Yogyakarta. W.J.S. Poerwadarminta menyebutkan bahwa :
“Kerajinan adalah industri; perusahaan membuat sesuatu;barang-barang, barangbarang hasil pekerjaan tangan; rumah tangga, perusahaan kecil-kecil yang dikerjakan di
rumah; pekerjaan tangan bukan dengan mesin” (Poerwadarminta.1984:h.294).
Dari dulu sektor ini memang menjadi andalan bagi sebagian besar masyarakat
sehingga industri kerajinan tumbuh subur di kota ini namun selama itu pula sektor ini
dibiarkan tumbuh begitu saja karena dianggap hanya tersegmentasi pada kalangan
masyarakat dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah. Baru setelah
terjadinya krisis ekonomi, muncul wacana baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah untuk lebih mengembangkan sektor ini. Pemerintah pusat dengan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya mulai dari masalah pembiayaan hingga
penciptaan iklim
usaha
yang kondusif serta
pemerintah daerah melalui
Disperindagkoptan dengan program-programnya yang akan turut serta memajukan
sektor ini. Yogyakarta sebagai kota budaya sekaligus sebagai kota industri kerajinan
tangan banyak memproduksi produk kerajinan yang banyak diburu oleh wisatawan
domestik dan wisatawan asing, antara lain industri batik, industri gerabah, industri
perak, industri wayang, industri kulit, dan semua barang yang bersifat handmade.
Salah satu sentra kerajinan yang berkembang di Yogyakarta ialah “Kampung
Kerajinan” di Keparakan Kidul Yogyakarta. Kampung Keparakan terletak di tepi
sungai Code yang masuk di wilayah Kecamatan Mergangsan Yogyakarta. Industri
kerajinan tersebut sudah ada sejak tahun 1970 dan berkembang hingga saat ini.
Produk yang dihasilkan ialah kerajinan berbahan baku kulit seperti sandal, dompet,
tas, dan jaket namun dominan pada produk sandal kulit. Selain itu, para pengrajin
juga memproduksi kerajinan berbahan baku kain batik seperti tas batik perca, sandal
batik, kipas, maupun kerajinan berbahan baku natural seperti agel, mendong dan lidi.
Kemudahan memperoleh bahan baku menjadikan industri kerajinan ini mampu
bertahan dari waktu ke waktu. Dibuat secara manual oleh pengrajin mulai dari tahap
pembuatan pola, pengguntingan bahan, pewarnaan, pengecatan,
hingga tahap
finishing. Setiap pengrajin memiliki tenaga pembantu, dari keluarga maupun dari
orang luar yang direkrut sebagai karyawan.
Produk paling banyak dipasarkan di Yogyakarta melalui para pengepul atau
langsung menyetorkan hasil produksi ke toko-toko. Untuk memperoleh pendapatan
maksimal, pemasaran produksi tidak hanya didistribusikan di wilayah Yogyakarta,
namun juga didistribusikan hingga ke Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Jawa
Timur, Palembang, Sulawesi, namun tidak semua pengrajin dapat mengembangkan
produknya hingga ke luar daerah. Keanekaragaman produk yang dihasilkan menjadi
daya tarik tersendiri bagi konsumen. Sebuah usaha yang melibatkan banyak pihak
tentu membutuhkan pengorganisasian yang baik agar usaha tersebut dapat terus
berlangsung, begitu juga yang terjadi di kampung kerajinan Keparakan Kidul.
Dalam melestarikan budaya industri tersebut, masyarakat setempat khususnya
para pengrajin senior membentuk suatu wadah yaitu Paguyuban Kerajinan Indonesia
(KERIND). Paguyuban KERIND merupakan organisasi usaha yang berbasis
komunitas atau perkumpulan. Sebuah perkumpulan atau kelompok menurut Reitz
dapat diidentifikasikan berdasarkan karakteristiknya, antara lain (1) adanya dua
orang atau lebih (2) berinteraksi satu sama lainnya (3) saling membagi beberapa
tujuan yang sama (4) dan melihat dirinya sebagai suatu kelompok (Miftah Thoha,
2010: h.83). KERIND bertujuan untuk memberikan pelatihan, konsultasi bisnis, dan
promosi produk melalui pameran berkala. Harapan akan kemajuan yang akan
diperoleh bersama menjadi basis pembentukan paguyuban ini. Pada awal
pembentukannya, KERIND memiliki dana yang masih terbatas kemudian pengurus
memprakarsai pembentukan suatu wadah yang lebih besar dan lebih formal untuk
menggerakkan kegiatan pengrajin secara terstruktur. Atas dasar itulah, para pengurus
setuju untuk mendirikan organisasi formal yang diharapkan lebih bisa membantu
perkembangan kegiatan produksi pengrajin setempat yaitu dengan dibentuknya
koperasi yang bernama Koperasi Kerajinan Keparakan Mandiri Sejahtera
(KOKKMAS). KOKKMAS menaungi pengrajin yang berdomisili di Keparakan
Kidul.
Koperasi merupakan salah satu lembaga keuangan non bank yang cukup bereran
dalam menumbuhkembangkan perekonomian Indonesia. Suatu koperasi menghadapi
dua bentuk uji (test) dalam memperoleh anggotanya, yaitu dengan memberikan
“manfaat bersih” bagi mereka; koperasi harus memiliki keunggulan kompetitif yang
potensial dibanding dengan lembaga lain (market test) dan koperasi harus
mengimplementasikan atau mewujudkan keunggulan ini
bagi
kepentingan
anggotanya (participant test). Kedua test ini bersama-sama membentuk “cooperative
test” (Jochen Ropke,2000:h.40). Dasar hukum keberadaan koperasi di Indonesia
adalah pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 antara lain
dikemukakan :
”...perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Sementara itu, UU Koperasi No.25 Tahun 1992 telah digantikan dengan UU
No.17 Tahun 2012 yang disahkan pada 29 Oktober 2012 dan diUndangkan pada
30 Oktober 2012. Pengertian koperasi menurut UU No 17 Tahun 2012, koperasi
adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum
koperasi untuk dengan pemisahan kekayaan para anggotannya sebagai modal
dalam menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di
bidang ekonomi, sosial, dan juga budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.
Undang-undang baru ini ditujukan untuk melindungi masyarakat dari praktek
penipuan yang mengatasnamakan koperasi. Prinsip koperasi berdasarkan UU No.
17 Tahun 2012 adalah keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, pengawasan
oleh anggota diselenggarakan secara demokratis, anggota berpartisipasi aktif
dalam kegiatan ekonomi koperasi, koperasi merupakan badan swadaya yang
otonom dan independen, koperasi harus mengadakan pelatihan kepada anggota,
pengawas, dan karyawan, serta memberikan jati diri kegiatan dan pemanfaatan
koperasi, koperasi melayani anggotannya secara prima dan memperkuat gerakan
koperasi dengan kerjasama melalui jaringan kegiatan pada tingkat lokal, nasional,
regional, dan internasional, serta koperasi bekerja untuk pembangunan
berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakatnya melalui kebijakan dengan
disepakati oleh anggota. (http://anakikopin.blogspot.com/2014/01/nilai-prinsipdan-jenis-koperasi.html)
Pendirian koperasi ini tentu tidak lepas dari motivasi dan keinginan banyak pihak
karena masing-masing orang dalam suatu organisasi mempunyai tujuan individu.
Setelah memiliki koperasi maka bantuan yang lebih besar dari pemerintah akhirnya
dapat didistribusikan, dengan kata lain, koperasi menjembatani kebutuhan pengrajin
dan bantuan dari pihak-pihak terkait seperti pemerintah kota, dan Desperindagkoptan
Yogyakarta. KOKKMAS berdasarkan jenis komoditinya tergolong sebagai koperasi
industri dan kerajinan. Sebagaimana halnya dengan kegiatan industri dan kerajinan
pada umumnya, maka kegiatan koperasi jenis ini biasanya berkaitan dengan usaha
pengadaan bahan baku, usaha pengolahan bahan baku menjadi barang jadi atau
setengah jadi, usaha pemasaran hasil produksi atau gabungan dari ketiga jenis usaha
tersebut.
Pemkot Yogyakarta memberikan bantuan 100 juta untuk modal awal usaha
kepada KOKKMAS. Selain itu, bantuan juga diberikan dalam peningkatan SDM,
antara lain pelatihan pengembangan desain, pelatihan manajemen pemasaran,
pelatihan pembukuan sederhana, pelatihan penataan ruang kerja dan pelatihan ecommerce. Pengoperasian koperasi dilakukan oleh para pengurus dan dikerjakan
bersama secara sukarela tanpa digaji. Koperasi ini dibuat untuk memberikan akses
bagi perkembangan usaha tiap pengrajin. Modal lunak yang diberikan tentu menjadi
pendorong kegiatan produksi. Permasalahan yang dihadapi setiap pengrajin tentu
banyak macamnya, yang paling kentara ialah masalah modal. Pada dasarnya setiap
koperasi bertujuan untuk menyejahteraan anggotannya melalui program-program
yang dijalankan. Jika masing-masing usaha dapat berkembang dengan baik maka
akan berdampak positif bagi pengrajin dan orang-orang di sekelilingnya karena
dengan adanya industri ini akan mengurangi pengangguran di kampung Keparakan
Kidul dan menambah pendapatan para pekerja.
Manfaat dari keanggotaan KOKKMAS seharusnya dirasakan oleh semua
anggotanya karena bertujuan memberi kesejahteraan bagi anggota melalui programprogram yang telah dicanangkan. Dengan adanya KOKKMAS tentu permasalahan
yang dihadapi masing-masing pengrajin akan mendapat tanggapan dan solusi yang
akan dibahas dalam pertemuan rutin. Keanggotaan KOKKMAS yang terbuka juga
seharusnya membuka peluang bagi setiap pengrajin di Keparakan Kidul yang ingin
bergabung namun dalam perkembangannya justru ditemui beberapa pengrajin yang
dari awal menolak untuk ikut serta dalam koperasi meskipun mereka berdomosili di
Keparakan Kidul, maupun para anggota yang mengundurkan diri di tengah
perkembangan KOKKMAS. Ketidak-ikutsertaan para pengrajin tersebut akhirnya
memunculkan sebuah kelompok minoritas yang berseberangan visi misi dengan
pengurus dan anggota koperasi. Hal ini tentu saja menjadi perhatian khusus bagi
penulis untuk meneliti lebih lanjut lagi tentang alasan ketidak-ikutsertaan pengrajin
dan alasan keluarnya pengrajin dalam koperasi yang seharusnya memberikan
dampak positif bagi perkembangan usaha mereka.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang yang telah disampaikan, maka dirumuskan masalah
sebagai berikut:
Mengapa para pengrajin tidak bergabung dalam keanggotaan KOKKMAS
guna mengembangkan usaha kerajinannya?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui alasan ketidak-ikutsertaan dan alasan keluarnya pengrajin
dalam keanggotaan KOKKMAS (Koperasi Kerajinan Keparakan Mandiri
Sejahtera).
2. Menganalisis dari aspek tinjauan teoritis aktor.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang tingkat keefektifan
koperasi bagi kepentingan anggotanya.
2. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan
terkait dengan perkembangan industri kecil dan menengah.
3. Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dan referensi bagi
peneliti selanjutnya.
E. KERANGKA TEORI
Teori merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih yang biasanya dapat diuji
secara empiris. Dalam sosiologi, keberadaan teori itu salah satunya sebagai alat
untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari. Selain itu, teori
juga sangat berguna untuk mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina
struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi yang penting untuk
penelitian (Soekanto,1990:h.30). Keberadaan teori dalam sosiologi menjadi sebuah
prioritas karena fakta tanpa teori menjadi sangat sulit dibuktikan secara empiris,
sedangkan teori tanpa fakta adalah suatu hal yang sia-sia, maka dari itu perlu adanya
keselarasan antara fakta dengan teori dalam sebuah penelitian.
Desires, Beliefs, and Opportunities Theory (DBO Theory)
Setiap individu dalam melakukan tindakan tentu melahirkan aksi dan
interaksi. Untuk itu, apa yang akan dikerjakan tentu sudah dipikirkan dengan
matang karena setiap individu mempunyai tujuan yang akan dicapai dalam
hidupnya. Tindakan yang telah diniatkan inilah yang pada akhirnya memunculkan
konsep aksi. Konsep aksi dapat dijelaskan menggunakan DBO Theory. Teori
DBO (Desires, Beliefs, Opportunities) secara garis besar merupakan sebuah
gagasan yang mencoba menjelaskan tentang berbagai hal yang melatar- belakangi
tindakan seorang aktor sosial. Berdasarkan definisinya, tindakan sosial lebih
dipahami sebagai suatu perbuatan, perilaku, ataupun aksi yang dilakukan oleh
manusia yang berperan sebagai aktor sosial yang berorientasi pada tujuan tertentu.
DBO sendiri mencoba menjelaskan mengenai faktor-faktor pendorong tindakan
sosial seorang aktor yang dilakukan secara sengaja atau telah direncanakan
sebelumnya. Artinya, tindakan tersebut telah dipikirkan, dipersiapkan, dan
memiliki tujuan yang jelas. Maka cukup jelas bahwa suatu tindakan sosial yang
dimaksud disini bukanlah tindakan seorang aktor sosial yang secara tidak sengaja
dilakukan, misalnya: perilaku menangis karena terjatuh, mendengkur saat tidur,
dan perilaku-perilaku lainnya yang terjadi karena ketidaksengajaan dari si aktor
tersebut.
Dalam konteks ini, DBO berperan untuk menjelaskan latar belakang atau
alasan yang mendasari tindakan dari si aktor sosial. Dalam rangka memudahkan
pemahaman mengenai fungsi DBO kaitannya dengan tindakan, dapat dilihat
bagan sederhana dibawah ini yang dibuat oleh Peter Hedstrom sebagai berikut :
Gambar 1. Komponen DBO
Desire of actor j
Beliefs of actor j
Aktor (j)
\
Opportunities of
actor j
Sumber : Hedstrom, 2005: h.39
Gambar di atas menunjukkan bahwa aksi dari setiap individu (actor i)
dipengaruhi oleh tiga hal yaitu desires (D), beliefs (B), dan opportunities (O).
Desires adalah keinginan atau kehendak para aktor, beliefs adalah preposisi
mengenai keyakinan yang dipegang secara benar oleh para aktor, dan opportunities
adalah menu bagi alternatif tindakan yang tersedia yang akan dipilih oleh para aktor.
(Headstrom, 2005:h.38).
Dalam kondisi tertentu, keinginan (desires) dan keyakinan (beliefs) yang
dimiliki sekaligus dipegang serta peluang tindakan (opportunities) yang dimiliki oleh
seorang aktor juga dipengaruhi oleh tindakan aktor lainnya. Maksudnya, ketiga hal
mendasar tersebut (DBO) pada saat tertentu tidak murni berasal dari diri seorang
aktor, akan tetapi baik secara langsung maupun tidak langsung telah terpengaruh
oleh tindakan orang lain. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut dapat dilihat
dalam bagan penjelasan berikut ini:
Gambar 2. Interaksi Dyadic Dalam Teori DBO
Desire of actor j
Aktor (i)
Beliefs of actor j
Aktor (j)
\
Opportuonities of
actor j
Sumber : Hedstrom, 2005:h.44
Dalam bagan diatas, Hedstrom mencoba menjelaskan bagaimana aksi atau
tindakan aktor lain (dalam bagan disebut dengan actor i) dapat mempengaruhi
tindakan dari aktor utama (dalam bagan disebut dengan actor j). Namun demikian,
pengaruh tindakan yang dimunculkan oleh aktor i kepada aktor j tidaklah
diberikan secara langsung. Itu artinya, tindakan aktor i belum tentu bisa
memberikan efek terhadap tindakan yang dilakukan oleh aktor j, karena untuk
dapat memberikan pengaruh tersebut, diperlukan sebuah mediator. Hedstrom
kembali menjelaskan bahwa pengaruh tindakan dari aktor i terhadap tindakan
aktor j akan dapat terlihat ketika ketiga hal yang mendasari sebuah tindakan dari
seorang aktor yaitu keinginan (desires), keyakinan (beliefs) dan menu alternatif
tindakan (opportunities) berperan sebagai mediator (Hedstrom,2005:h.44).
Maksudnya adalah, tindakan aktor j akan terpengaruh oleh tindakan dari aktor i
ketika desires dan beliefs aktor j telah dipengaruhi oleh tindakan aktor i, di mana
kemudian opportunities yang dimiliki oleh aktor j juga turut terpengaruh. Perlu di
garis bawahi bahwa pengaruh-pengaruh tindakan yang dimaksudkan disini dapat
muncul apabila kedua aktor (actor i dan j) melangsungkan sebuah interaksi secara
tatap muka atau face to face. Interaksi semacam itu disebut Hedstrom sebagai
dyadic interaction (Hedstrom, 2005:h. 43).
Kaitannya dengan penelitian adalah bahwa seseorang dalam memilih
profesinya tentu memiliki tujuan yang akan dicapai, dalam hal ini menjadi
seorang pengrajin. Pengrajin di Keparakan Kidul cukup banyak jumlahnya
sehingga muncul organisasi formal yang menaungi segala kegiatan yang
dilakukan, dalam hal ini adalah koperasi. Dengan tujuan serta visi misi yang
dicanangkan koperasi tersebut seharusnya tidak ada alasan lagi bagi para
pengrajin untuk tidak ikut serta dalam keanggotaan koperasi namun setiap
individu tentu memiliki tujuan dan tindakan yang berbeda dalam menyikapi
keberadaan koperasi tersebut. Berbagai tujuan yang pastinya dilandasi oleh
beragam alasan ataupun latar belakang. Beberapa alasan mendasar tersebut adalah
desires, beliefs, dan opportunities itu sendiri.
Sama halnya dengan penjelasan Peter Hedstrom melalui bagan yang pertama
(Gambar 1) diatas, pengrajin yang berperan sebagai aktor i juga memiliki
keinginan atau kepentingan (desires), keyakinan yang dipegang (beliefs), serta
menu alternatif tindakan (opportunities) yang muncul dari kombinasi keinginan
dan keyakinan ketika mereka menjatuhkan pilihan untuk tidak ikut serta dalam
koperasi.
Di lain pihak, tindakan pengrajin ini juga bisa jadi dipengaruhi oleh hal-hal di
luar diri pengrajin itu sendiri yaitu tindakan dari aktor lain. Seperti yang ada pada
bagan kedua (Gambar 2), tindakan pengrajin (dalam gambar disebut actor j) yang
memilih keluar dari koperasi dapat muncul karena adanya pengaruh tindakan yang
berasal dari aktor lain (dalam gambar disebut actor i) pada sebuah proses interaksi
yang dyadic. Sehingga disadari atau tidak disadari, sebenarnya tindakan yang
telah dilakukan tersebut tidaklah murni bersumber dari dalam diri, karena
kenginan (desires) yang dimiliki dan keyakinan (beliefs) yang dipegang terhadap
tindakan pengrajin secara tidak langsung telah terpengaruh oleh tindakan aktor
lain (misalnya pengurus koperasi), di mana pada akhirnya alternatif tindakan
(opportunities) yang dimiliki juga turut terpengaruh. Analisis terhadap latar
belakang atau alasan yang mendasari tindakan pengrajin (desire, beliefs dan
opportunities) tersebut berguna untuk mengetahui tujuan-tujuan yang ingin
dicapai pengrajin ketika mereka memilih untuk tidak ikut serta dalam koperasi.
F.
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus tipe eksplanatoris. Studi kasus merupakan tipe pendekatan
yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam,
mendetail, dan komperehensif. Subjek penelitian studi kasus dapat berupa individu,
kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Tujuan penelitiannya adalah memberikan
gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat serta karakter yang khas dari
kasus ataupun status dari individu yang kemudian hasilnya dijadikan suatu hal yang
bersifat umum. Hasil dari penelitian kasus merupakan suatu generalisasi dari polapola kasus yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga, dsb. (M.Iqbal Hasan,
2000:h.15)
2. Unit Analisis Penelitian
Unit analisis adalah unit bagian terkecil atau sasaran atau obyek yang diteliti di
lapangan. Unit analisis penelitian ini ialah pengrajin non anggota KOKKMAS .
Untuk menambah kedalaman informasi dan data, penulis juga melakukan wawancara
dengan 1 orang pelopor berdirinya kampung kerajinan, 2 orang pengurus
KOKKMAS, 2 anggota KOKKMAS, 4 pengrajin non anggota KOKKMAS yang
terdiri dari pengrajin yang tidak ikut serta dan 2 orang pengrajin yang keluar dari
koperasi serta ketua RW 13.
Informan dalam penelitian ini didapatkan secara purposive, yaitu menentukan
siapa yang layak menjadi sampel dengan menggunakan karakteristik tertentu yang
dapat memberikan informasi yang diperlukan.
3. Sumber Data
Data dalam penelitian setidaknya dapat dilihat dalam dua jenis data ,yaitu data
primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer diperoleh melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang berupa
interview, observasi, maupun penggunaan instrumen pengukuran yang khusus
dirancang sesuai dengan tujuannya yaitu mendapatkan data yang diperlukan.
Instrumen pengukuran khusus ini misalnya respon responden ketika melakukan
wawancara, dilihat dari gerak gerik muka, badan, apakah jawaban yan dikemukakan
benar atau tidak dan selanjutnya dapat dicari kebenarannya dengan crossceck data
lain. Wawancara untuk mendapatkan data primer ini meliputi wawancara dengan
interview guide dan wawancara bebas mendalam langung dengan informan.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari sumber yang tidak langsung yang biasanya berupa
data dokumentasi dan arsip resmi. Data ini diperoleh dari arsip pengurus dan
koperasi, maupun dari laporan penelitian, skripsi, jurnal, majalah, artikel, media
massa, dan lainnya yang sifatnya tidak sebagai data langsung
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan :
a. Observasi semi partisipan
Yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan observasi atau pengamatan di
lapangan. Peneliti terliat secara langsung namun hanya pada saat produksi dilakukan
dan pada saat pertemuan rutin dilakukan (semi partisipan).
b. Wawancara mendalam
Yaitu teknik pengumpulan data dengan jalan wawancara yaitu mendapatkan
informasi dengan bertanya langsung kepada informan memakai teknik wawancara
terstruktur guna mendapatkan informasi secara mendalam. Wawancara ditujukan
kepada pengrajin non anggota KOKKMAS, pengurus dan anggota KOKKMAS,
serta wawancara untuk melengkapi data oleh perangkat desa.
5. Studi literatur dan dokumentasi
Yaitu teknik pengumpulan data dari literatur terkait seperti dari buku, artikel,
majalah, dan semua sumber informasi yang terkait dengan kegiatan industri
kerajinan, organisasi, bisnis, serta kebijakan pemerintah. Selain itu, pengumpulan
data juga dilakukan dengan cara mendokumentasikan kegiatan yang berlangsung
selama penelitian.
6. Teknik Studi Kasus dan Interpretasi Data
Pada dasarnya penelitian ini menggunakan metode eksplanatoris dengan
pendekatan kualitatif. Analisis data kualitatif dalam penelitian ini terdiri dari 3 alur
kegiatan yang terjadi secara bersamaan atau melalui tiga tahapan model alir dari
Miles dan Huberman yaitu : reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan/verifikasi (Sugiyono,2012:hal.247).
Gambar 3. Komponen Analisis Data Kualitatif
Data
Collection
Data Display
Data
Reduction
Conclusions:drawing
/verifying
Sumber : Sugiyono,2012:h.247
Langkah-langkah analisisnya sebagai berikut :
1. Data Reduction (Reduksi Data)
Reduksi data merupakan proses merangkum, memilah hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya. Dengan
mereduksi, akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Dalam mereduksi
data, peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai, yaitu temuan. Oleh
karena itu, kalau peneliti melakukan penelitian menemukan segala sesuatu
yang dipandang asing , tidak dikenal, belum memiliki pola justru itulah yang
harus dijadikan perhatian peneliti.
2. Data Display (Penyajian data)
Setelah melakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah menyajikan data.
Bentuk penyajian data bisa berupa uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, maupun flowcard. Penyajian data merupakan kegiatan untuk
menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan menyajikan data akan dapat
dipahami apa yang sedang terjadi,apa yang harus dilakukan dan lebih jauh
lagi menganalisis atau mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman
yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.
3. Conclusion Drawing /Verification (Penarikan Kesimpulan)
Langkah
selanjutnya
adalah
penarikan
kesimpulan
dan
verifikasi.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan
berubah bila tidak ditemukan bukti yang kuat. Tetapi apabila kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Ketiga tahapan tersebut berlangsung secara simultan maka teknik bongkar pasang
dalam menyusun laporan hasil penelitian ini dilakukan oleh peneliti apabila
ditemukan fakta pemahaman baru yang lebih akurat. Data-data yang dianggap tidak
memiliki relevansi dengan maksud penelitian ini dikesampingkan.
7. Teknik pemeriksaan keabsahan data
a. Triangulasi
Triangulasi adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif (Patton dalam Moleong, 2005:330). Cara-cara dalam triangulasi antara lain:
membandingkankan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara,
membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakannya secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang
tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu,
membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang serta membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang
berkait.
Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan hasil
pengamatan peneliti dalam observasi semi partisipan dengan hasil wawancara,
membandingkan perkataan seorang informan dalam wawancara dengan perkataan
seseorang dalam keadaan tidak diwawancara atau membandingkan perkataannya
dengan orang lain, juga dapat dilakukan dengan mengajukan bermacam variasi
pertanyaan dan mengeceknya dengan berbagai sumber data.
b. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas dilakukan dengan observasi secara mendalam dan bukan hanya
sekilas saja serta dengan melukukan pengecekan terhadap data atau informasi yang
diperoleh. Obervasi tidak dilakukan hanya sekilas dalam satu waktu, melainkan
dilakukan selama beberapa hari dan memerlukan waktu yang cukup untuk dapat
memahami hasil pengamatan.
c. Referensi yang cukup
Untuk menghindari kedangkalan kajian, penulis berusaha untuk mencari
referensi yang berkaitan dengan masalah yang diangkat, tidak tergantung pada bukubuku akademik namun peneliti juga menggunakan sumber lain seperti laporan
penelitian, skripsi, informasi-informasi yang didapat dari media massa baik
elektronik maupun media cetak dan sebagainya.
8.
Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan tempat dari penelitian ini adalah Kampung Kerajinan
Keparakan Kidul RW 13, Kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan. Wilayah
Keparakan Kidul merupakan wilayah industri yang berkembang sejak tahun 1970
namun baru diresmikan menjadi Kampung Kerajinan setelah mendapat bantuan dari
Pemerintah Kota Yogyakarta.
9. Deskripsi Subjek Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah pengrajin kulit dan batik di Kampung
Keparakan Kidul. Menurut data yang didapatkan ketika wawancara, jumlah
pengrajin adalah 38 yang tergabung dalam organisasi KOKKMAS pada tahun 2010.
Belum setahun beroperasi terjadi penurunan jumlah anggota KOKKMAS. Dalam
penelitian ini, peneliti mewawancarai informan sebanyak 9 orang yang terdiri dari
ketua RW 13, 1 orang pelopor berdirinya Kampung Kerajinan, 2 pengurus
KOKKMAS , 2 anggota KOKKMAS, dan 4 non anggota KOKKMAS. 4 anggota
non anggota ini terdiri dari 2 orang pengrajin yang memang dari awal tidak mau
bergabung ke dalam koperasi dan 2 orang pengrajin yang keluar dari keanggotaan
KOKKMAS.
Subjek penelitian yang diwawancarai adalah sebagai berikut:
1. NGH (37 thn)
Bapak NGH sebagai ketua RW 13 memberikan keterangan bahwa sentral
kerajinan terdapat di RW nya yang terdiri dari empat RT yaitu RT 54, 55, 56, dan 57.
Mayoritas pengrajin terdapat di RT 55. Bapak NGH tidak berprofesi sebagai
pengrajin sehingga ia bukan anggota KOKKMAS. Ia tidak terlibat langsung dalam
kegiatan pengrajin seperti pelatihan skill maupun hubungannya dengan KOKKMAS,
ia hanya berperan sebagai penasehat sedangkan aplikasinya sepenuhnya adalah
tanggung jawab para pengrajin. Menurutnya, KOKKMAS selain sebagai legalitas
organisasi namun juga sebagai tempat untuk pemberdayaan sosial ekonomi
masyarakat setempat karena memberikan peluang bisnis bagi setiap orang sekaligus
sebagai tempat untuk bersosialisasi dan tempat untuk bertukar pikiran bagi para
pengrajin.
2. SYD (60thn)
Bapak SYD ialah pelopor pengrajin kulit di Keparakan Kidul. Beliau menekuni
usaha bidang kerajinan sudah 33 tahun. Awalnya ia bekerja menjadi buruh di pabrik
sepatu ternama di Semarang namun gaji yang dihasilkan kurang mampu memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari sehingga muncul niat untuk berdikari. Akhirnya ia
memutuskan untuk keluar dari pabrik dan mendirikan usaha sendiri dengan basic
skill membuat alas sepatu yang didapat dari pabrik, ia berinovasi untuk membuat
sandal. Dengan modal awal Rp 18.000,00 dan dibantu satu pegawai, Bapak SYD
bisa memproduksi 30 pasang sandal kulit. Pemasaran awal ia lakukan di Solo,
Klaten, Semarang, dan Salatiga. Pada tahun 1970, ia pindah ke Jogja di Keparakan
Kidul dan mulai mencari pasaran dari perko Malioboro hingga Pasar Beringharjo.
Pekembangan usaha Bapak SYD mulai terlihat signifikan pada tahun 1980-1982
dengan karyawan 30 orang yang terdiri dari warga keparakan RW 13 khususnya RT
55 dan beberapa orang dari Boyolali. Pada tahun 1983, karyawan bertambah menjadi
40 orang dan mulai memproduksi tas kulit. Tahun 1985 produksi mulai berkurang
karena situasi yang tidak pasti dan pada tahun 1990 karyawannya mulai banyak
berkurang karena keinginan mereka untuk mandiri hingga sekarang.
Karyawan asuhan Bapak SYD sudah mampu berkembang dengan baik bahkan
sudah banyak yang memiliki karyawan. Semakin banyaknya karyawan mandiri
berdampak positif bagi perkembangan ekonomi di RT 55. Berkat keterampilan yang
diturunkan olehnya, pengrajin di kampung Keparakan mampu berinovasi sendiri dan
mengembangkan produknya hingga ke luar kota. Kegiatan produksi dikerjakan oleh
karyawan di rumahnya masing-masing sehingga Bapak SYD hanya menyiapkan
bahan baku. Untuk setiap pasang sandal yang dikerjakan, karyawan menerima upah
Rp 1.250,00. Ia bukanlah anggota KERIND namun ia anggota KOKKMAS karena
menurutnya KOKKMAS lebih berperan besar bagi perkembangan pengrajin di
Keparakan Kidul.
3. SJD (45 thn)
Bapak SJD ialah pelopor terbentunya sekaligus ketua KOKKMAS. Bapak SJD
merupakan salah satu pengrajin yang usahanya berkembang pesat. Awalnya ia
menggeluti bisnis jual beli mobil tapi ternyata menemukan banyak kendala sehingga
ia beralih pada bisnis kerajinan kulit. Modal awal usahanya diperoleh dari modal
sendiri. Usaha kerajinan ini sudah dirintis selama 10 tahun. Produknya tidak hanya
sandal namun juga sepatu kulit. Sebagian besar produknya diambil oleh pengepul
sehingga ia tidak perlu menyetorkan hasil produksi, sebagian lagi dipakai untuk
pameran. Banyaknya jumlah karyawan, menumpuknya orderan, serta luasnya
bengkel kerajinan miliknya menandakan bahwa ia tergolong pengrajin sukses. Bapak
SJD juga menjadi pelopor berdirinya KERIND sebelum KOKKMAS terbentuk.
4. AGS (35 thn)
Bapak AGS merupakan salah satu pengrajin sekaligus pengurus KOKKMAS.
Bapak AGS menjabat sebagai sekretaris KOKKMAS. Ia menjadi pengrajin karena
melihat kesuksesan ayahnya (SYD) sehingga ia juga ingin mengembangkan usaha
kerajinan. Usaha ini telah berjalan 8 tahun. Modal finansial yang didapat juga berasal
dari dana pribadi namun modal ilmu yang didapat berasal dari ayahnya, Bapak SYD
yang menjadi pelopor pengrajin. Ia menggeluti usaha kerajinan kulit dan vinyl
sehingga produknya terdiri dari sandal kulit dan vinyl sekaligus kombinasi keduanya.
5. YNT (40 thn)
Bapak YNT sudah 6 tahun menjadi pengrajin. Awalnya ia hanya bekerja sebagai
buruh pengrajin di tempat orang namun akhirnya ia tergiur membuka usaha kerajinan
sendiri karena melihat peluang kesuksesan yang cukup besar. Bapak YNT
memproduksi tas dan sandal di awal produksi namun karena ada karyawan yang
keluar, ia hanya memproduksi sandal saja. Bahan sandal kulit berupa kulit sapi dan
kulit kuda didapatkan di jalan Parangtritis. Modal awal ia dapatkan sendiri karena
pada saat itu belum terbentuk
koperasi. Dalam sehari, ia dan karyawan bisa
memproduksi sandal 100 pasang kecuali hari Minggu karena libur. Produk
dipasarkan di Malioboro dan kebanyakan ada pengepul dari Pasar Gedhe yang
datang untuk mengambil pesanan sehingga ia tidak perlu repot-repot menemui
pembeli. Bapak YNT adalah anggota KOKKMAS. Ia juga pernah mendapat modal
kredit di awal pembentukan KOKKMAS.
6. SGR (62 thn)
Bapak SGR menjadi pengrajin sudah 20 tahun. Alasannya karena kerjaannya
mudah. Produk yang dihasilkan ialah sandal kulit dan sandal batik. Ia memproduksi
barang jika hanya ada pesanan, biasanya 100 pasang. Modal awal ia dapatkan sendiri
karena sebelumnya ia adalah buruh lepas yang bekerja di pabrik sampai akhirnya
menetap di Keparakan Kidul dan beralih profesi sebagai pengrajin. Ia tidak memiliki
karyawan sehingga hanya dibantu anak dan istrinya. Pesanan yang sudah jadi akan
diambil oleh pengepul dan dijual kembali ke Pasar Gedhe. Bapak SGR adalah
anggota KOKKMAS sehingga ia juga pernah mengikuti pameran untuk promosi
barang namun sayangnya minimnya pesanan akhirnya mengganggu stabilitas
usahanya. Untuk menarik pasaran lagi, Bapak SGR membuat produk dengan
mengikuti trend yang ada misalnya dari majalah.
7. PJYNT (61 thn)
Bapak PJYNT sudah menjadi pengrajin selama 27 tahun. Modal awal ia peroleh
dari modal sendiri namun tidak terlalu ingat berapa modal yang ia keluarkan pada
saat itu. Produk yang dihasilkan dulunya adalah tas namun collapse karena adanya
tragedi bom bali sehingga beralih memproduksi sandal kulit sampai sekarang. Setiap
bulan, ia bisa menghasilkan 30 kodi sandal tanpa karyawan dan hanya dibantu oleh
istri dan anaknya. Bapak PJYNT menyetorkan produknya ke Mirota Batik, Ragam,
dan Prapanca sehingga setiap bulan sudah ada pesanan tetap tanpa harus mencari
pembeli lagi. Mengingat tenaga kerja yang terbatas, beliau tidak menerima pesanan
dari pedagang kaki lima. Bapak PJYNT bukanlah anggota KOKKMAS meskipun ia
telah lama menjadi pengrajin sehingga ia tidak mendapat bantuan dan fasilitas dari
pemerintah. Usahanya selama ini memang dijalankan sendiri dan nyatanya tetap
stabil serta tidak terpengaruh oleh keberadaan koperasi.
8. ATK (35 thn)
Mbak ATK menjadi pengusaha kerajinan sudah 10 tahun dan telah memiliki 18
karyawan di Wonosari sementara hasil produksi ia tempatkan di Keparakan Kidul.
Usahanya dirintis turun temurun dari orang tuanya sehingga modal awal produksi
diusahakan oleh orang tuanya dan ia hanya meneruskan bisnis tersebut. Produk yang
dihasilkan berbahan baku batik dan vynil mulai dari dompet, sandal, tas sekolah, tas
jinjing, hingga tas laptop. Ia memiliki galeri di daerah Borobudur namun banyak
juga pengepul yang mengambil sendiri barangnya di rumah. Mbak ATK merupakan
salah satu pengrajin yang tidak ikut KOKKMAS dikarenakan kerja kerasnya selama
ini berjalan tanpa campur tangan koperasi pun sudah berkembang pesat. Usaha Mbak
ATK tergolong cukup besar dilihat dari banyaknya pegawai dan orderan setiap
minggu serta kepemilikan galeri dan web serta blog khusus untuk pemasaran
sehingga keberadaan koperasi dirasa tidak lagi berperan bagi usahanya. Inovasi yang
dilakukan terus menerus membuat usahnya tidak monoton sehingga terus dicari oleh
konsumen.
9. MJ (39 thn)
Bapak MJ baru 5 tahun menjadi pengrajin. Dulu ia bekerja menjual CD
kepingan namun tidak berhasil sehingga beralih menjadi pengrajin. Awalnya, ia
memproduksi tas sekolah namun tidak berkembang sehingga ia beralih membuat
sandal kulit dan sandal vynil. Produksi sandalnya justru lebih berkembang dari usaha
sebelumnya dengan modal awal milik pribadi dan hanya berkisar ratusan ribu.
Kemudahan memperoleh bahan menumbuhkan keyakinan bahwa usahanya tidak
akan mandeg karena setiap orang pasti butuh alas kaki. Untuk itu, ia membuat
produk sandal yang bervariasi. Selain itu, ia juga menyediakan bahan baku untuk
dijual sehingga para pengrajin bisa mengambil bahan baku dari tempatnya. Banyak
hasil inovasi Bapak MJ yang laku di pasaran hingga akhirnya dijiplak oleh pengrajin
lain namun tak jadi soal baginya karena menurutnya, rejeki sudah diatur oleh Tuhan
sehingga tidak perlu khawatir jika ada pesaing yang berbuat curang. Usahanya
dipasarkan di Borobudur dan diambil oleh pengepul dari Malioboro.
Bapak MJ merupakan pengrajin yang pernah mengikuti KOKKMAS namun
tidak lama setelah peresmian koperasi ia langsung keluar. Alasannya ialah karena ia
merasa ada kejanggalan dalam tubuh KOKKMAS di mana selama ia menjadi
anggota, kepengurusan dan manajemen KOKKMAS dianggap tidak transparan
seperti masalah-masalah dana yang masuk ke koperasi tidak dilaporkan dalam rapat
anggota secara terperinci.
10. EI (40 thn)
Bapak EI sudah 9 tahun menjadi pengrajin. Dulu ia memproduksi tas vynil dan
sprei namun gulung tikar hingga akhirnya sekarang ia memproduksi tas batik. Tas
batik yang ia produksi berupa tas sekolah, tas slempang, maupun tas laptop full batik
maupun kombinasi dengan vynil. Modal yang ia peroleh adalah milik pribadi,
berawal hanya coba-coba akhirnya ia menekuni profesi ini. Batik merupakah bahan
baku yang mudah diperoleh , ragam dan motifnya juga tidak monoton sehingga
selalu diminati banyak orang. Peluang usaha inilah yang dibidik Bapak EI untuk
memperoleh keuntungan sekaligus mengembangkan produk batik di pasaran. Bapak
EI memiliki lapak di Pasar Beringharjo di los khusus batik. Ia dibantu 4 karyawan
dalam proses produksinya dan dalam setiap harinya mereka bisa memproduksi tas
sebanyak 2 lusin (24 potong tas). Selain dipasarkan di Pasar Beringharjo, produk
miliknya juga diambil oleh pengepul dan dipasarkan hingga ke Sumatera dan
Kalimantan. Bapak EI juga merupakan mantan anggota KOKKMAS. Ia keluar dari
KOKKMAS karena tidak terlalu merasakan manfaat yang diberikan KOKKMAS
kepadanya. Prinsip koperasi yang seharusnya bersifat terbuka dan adil tidak dapat ia
temukan di koperasi ini.
Download