perbedaan kecukupan protein, zinc, kalsium, dan vitamin d pada

advertisement
PERBEDAAN KECUKUPAN PROTEIN, ZINC, KALSIUM, DAN VITAMIN D
PADA REMAJA PUTRI STUNTING DAN NON-STUNTING
DI SMP N 1 NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada
Jurusan Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
DINAR PUTRI RAHMAWATI
J 310 130 052
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
HALAMAN PERSETUJUAN
PERBEDAAN KECUKUPAN PROTEIN, ZINC, KALSIUM, DAN VITAMIN D
PADA REMAJA PUTRI STUNTING DAN NON-STUNTING
DI SMP N 1 NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO
PUBLIKASI ILMIAH
oleh:
DINAR PUTRI RAHMAWATI
J 310 130 052
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:
Dosen
Pembimbing
Ir. Listyani Hidayati, M.Kes
NIK/NIDN: 673/0620126703
i
HALAMAN PENGESAHAN
PERBEDAAN KECUKUPAN PROTEIN, ZINC, KALSIUM, DAN VITAMIN D
PADA REMAJA PUTRI STUNTING DAN NON-STUNTING
DI SMP N 1 NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO
OLEH
DINAR PUTRI RAHMAWATI
J 310 130 052
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Sabtu, 05 Agustus 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji:
1. Ir. Listyani Hidayati, M. Kes
(
)
(
)
(
)
(Ketua Penguji)
2. Endang Nur Widiyaningsih, S.ST., M.Si., Med
(Anggota I Dewan Penguji)
3. Dyah Intan Puspitasari S.Gz., M.Nutr. Endang Nur Wid
(Anggota II Dewan Penguji)
Dekan,
Dr. Mutalazimah, SKM., M.Kes
NIK/NIDN. 786/06-1711-7301
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang
lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas, maka akan saya
pertanggungjawabkan sepenuhnya.
.
Surakarta, 9 Agustus 2017
Penulis
DINAR PUTRI RAHMAWATI
J 310 130 052
iii
PERBEDAAN KECUKUPAN PROTEIN, ZINC, KALSIUM, DAN VITAMIN
D PADA REMAJA PUTRI STUNTING DAN NON-STUNTING
DI SMP N 1 NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO
Abstrak
Defisiensi zat gizi pada remaja hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
dunia. Remaja putri merupakan kelompok yang rawan terhadap masalah gizi yaitu stunting Masalah
ini berkaitan dengan berbagai defisiensi baik makronutrien maupun mikronutrien. Defisiensi
makronutrien dan mikronutrien seperti protein, zinc, kalsium, dan vitamin D. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecukupan protein, zinc, kalsium, dan vitamin D
pada remaja putri stunting dan non-stunting. Jenis penelitian menggunakan observasional dengan
pendekatan cross-sectional terdapat 80 subjek diperoleh dengan teknik simple random sampling.
Data tingkat kecukupan asupan diperoleh melalui wawancara recall 24 jam sebanyak enam kali
dengan tidak berturut-turut, dan tinggi badan diukur menggunakan microtoice. Uji hipotesis
menggunakan Mann Whitney. Pada kelompok stunting rata-rata persen kecukupan protein sebesar
76,62%, zinc 35,84%, kalsium 30,96%, vitamin D 14,44% , sedangkan kelompok non-stunting
kecukupan protein sebesar 88,57%, zinc 40,26%, kalsium 30,96%, vitamin D 19,79%. Terdapat
perbedaan kecukupan protein, zinc, kalsium pada remaja putri stunting dan non-stunting, sedangkan
kecukupan vitamin D tidak terdapat perbedaan remaja putri stunting dan non-stunting.
Kata Kunci: Remaja putri, asupan zat gizi, stunting.
Abstract
Nutrient deficiency in adolescents is still be come worldwide public health problems. Adolescent
girls are the group that is vulnerable to nutrition problem, such as stunting. This problem is related
to makronutrien and mikronutrien. Makronutrien and mikronutrien deficiency including protein,
zinc, calcium, and vitamin D. The purpose of this study was to determine the differences in the
adequacy of protein, zinc, calcium, and vitamin D between stunting and non stunting adolescents
girls. The research using observational with cross-sectional method eighty subjects were obtained by
simple random sampling technique. Data of adequacy level of food intake obtained through of 24
hours recall for 6 non-consecutive days, and height measured using microtoice. The analysys of
hypothesis using Mann Whitney. In the stunting group, the average percent age of adequacs of
protein is 76,62%, zinc 35,84%, calcium 30,96% , vitamin D 14,44%, while in the non-stunting
group the adequacy of protein 88,57%, zinc 40,26%, calcium 30,96%, vitamin D 19,79%. There was
a difference in adequacy of protein, zinc, calcium between stunting and non-stunting adolescent
girls, while there is no difference in vitamin D adequacy between stunting and non-stunting
adolescent girls.
Keywords: adolescent girl, nutrient intake, stunting.
1. PENDAHULUAN
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor utama yang
diperlukan untuk
melaksanakan pembangunan nasional. Pencapaian SDM berkualitas, faktor gizi memegang peranan
penting. Gizi yang baik akan menghasilkan SDM yang berkualitas yaitu sehat, cerdas dan memiliki
fisik yang tangguh serta produktif. Perbaikan gizi diperlukan pada seluruh siklus kehidupan, mulai
1
sejak kehamilan, bayi dan anak balita, pra sekolah, anak sekolah dasar, remaja dan dewasa sampai
usia lanjut (Depkes, 2005).
Zat gizi merupakan salah satu faktor penunjang agar proses tumbuh kembang tersebut dapat
berjalan dengan memuaskan. Masalah gizi pada remaja menjadi salah satu perhatian utama di
bidang kesehatan karena terdapat fase pertama dari beberapa perubahan yang akan membawa
seorang remaja pada kematangan secara fisik maupun seksual atau di sebut dengan growth spurt.
Perubahan fisik tersebut dapat terjadi dengan cepat hingga masa pubertas (Rasool dkk, 2011).
Masalah yang terdapat pada remaja salah satunya stunting. Menurut Kurniawan, dkk (2007)
bahwa malnutrisi kronis yang terjadi salah satunya akan mengakibatkan stunting pada kehidupan
selanjutnya dan hal ini merupakan konsekuensi yang merugikan pada periode remaja. Hal ini akan
mempengaruhi perkembangan reproduksinya atau masa pubertas, karena remaja putri pada saat
masa kehamilan akan memiliki keturunan yang stunting. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Yang, dkk (2010) menjelaskan ibu yang memiliki tinggi badan pendek mempunyai risiko 1,36 kali
memiliki balita stunting.
Stunting atau pendek, merupakan suatu retardasi pertumbuhan linier telah digunakan sebagai
indikator secara luas untuk mengukur status gizi individu maupun kelompok masyarakat. Stunting
memiliki rentang antara -3 SD sampai dengan kurang dari -2 SD (WHO, 2015). Menurut Caulfield,
dkk (2006) stunting dapat menghambat pertumbuhan linier dan merupakan keadaan kekurangan
nutrisi dalam masa pertumbuhan. .
Masalah stunting dapat disebabkan salah satunya oleh rendahnya asupan zat gizi baik pada
masa lampau maupun pada masa sekarang. Menurut Jumirah dan Aritonang (2007) status gizi yang
berkaitan dengan stunting dapat berupa asupan makronutrien dan mikronutrien. Zat gizi makro
merupakan zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah besar, contoh dari zat gizi makro antara lain
karbohidrat, lemak dan protein. Protein berfungsi dalam pembentukan jaringan tulang yang baru
dan pergantian jaringan tulang yang rusak (Almatsier, 2011). Menurut penelitian Fitri, dkk (2012)
bahwa anak dengan asupan protein kurang memiliki risiko stunting sebesar 1,91 kali dibandingkan
dengan anak yang mempunyai asupan protein kurang. Kecukupan mikronutrien seperti zinc,
kalsium, dan vitamin D yang berperan penting dalam kebutuhan tulang, hal ini sejalan dengan
pertumbuhan tinggi badan anak pada rentang usia tersebut. Menurut WHO (2004) defisiensi zinc
merupakan satu dari 10 faktor penyebab kematian pada anak-anak di negara sedang berkembang
dan defisiensi zinc dapat menyebabkan 40% anak menjadi malnutrisi, salah satunya yaitu stunting.
Manifestasi dari defisiensi zinc adalah gangguan pertumbuhan linear seperti stunting
(Taufiqurrahman dkk, 2009). Menurut Arsenault, dkk (2008) bahwa tingkat konsumsi zinc defisit
2
pada anak stunting lebih besar dari pada asupan anak yang non stunting dan defisiensi zinc terbukti
dapat menghambat pertumbuhan.
Penelitian Winzenberg, dkk (2006) menggunakan sampel anak-anak berusia 3 tahun hingga
usia 18 tahun dengan pemberian kalsium mulai 300-1200 mg per hari selama minimal 6 bulan,
hasilnya menunjukkan bahwa suplemen kalsium pada anak dapat meningkatkan kepadatan mineral
yang penting dalam pembentukan tulang hingga masa remaja dengan cara memacu pertambahan
tulang selama pertumbuhan
Defisiensi kalsium dapat menyebabkan penurunan kepadatan tulang. Penelitian di Jepang
menyebutkan bahwa orang yang diet rendah kalsium lebih pendek dibandingkan dengan diet
kalsium yang adekuat (Tucker dkk, 2002). Vitamin D membantu penyerapan terhadap kalsium,
karena apabila penyerapan kalsium terganggu maka pertumbuhan juga terganggu. Vitamin D juga
membantu pengerasan tulang dengan cara mengatur agar kalsium tersedia dalam darah pada proses
pengerasan tulang (Almatsier, 2009).
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi stunting di Indonesia tahun
2013 adalah 37,2%, terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (36,6%) dan 2007 (36,8%).
Prevalensi pendek sebesar 37,2%, terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 9,2% pendek. Pada tahun
2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8% tahun 2007 dan 18,5% tahun
2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0% pada tahun 2007 menjadi 19,2% pada tahun 2013.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30-39% dan serius
bila prevalensi pendek ≥ 40% (WHO, 2011). Sebanyak 14 provinsi termasuk kategori berat dan
sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan
April 2016 di SMP N 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo pada remaja putri didapatkan prevalensi
stunting sebesar yaitu 63,80%. Berdasarkan hasil recall sehari dari 20 siswa didapat rata-rata
konsumsi protein sebanyak 39,5 gram; konsumsi zinc sebanyak 4,2 mg; kalsium sebanyak 239,8
mg; vitamin D sebanyak 0,7 µg jika dibandingkan dengan AKG (2013) maka tergolong masih
kurang.
2. METODE
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo.Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Agustus 2016-Januari 2017. Penelitian ini menggunakan desain penelitian
observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel dipilih dengan cara simple random
sampling yang memenuhi kriteria inklusi dengan jumlah sampel sebanyak 80 siswa. Kriteria inklusi
pada penelitian ini adalah tidak cacat anggota tubuhnya yang dapat mengganggu proses pengukuran
status gizi, termasuk kategori normal (z-score TB/U 0-(+1) SD) dan stunting (mild stunting (z-score
TB/U -2-(-1)) SD),moderate stunting (z-score TB/U -2-(-3) SD) dan severe stunting (z-score TB/U
3
<-3) SD, tidak dalam puasa, serta bersedia menjadi subjek penelitian. Data kecukupan protein, zinc,
kalsium, dan vitamin D dikumpulkan dengan melakukan wawancara secara langsung kepada subjek
menggunakan formulir recall 24 jam lalu sebanyak enam kali dengan hari tidak berturut-turut.
Tinggi badan diukur menggunakan microtoice dan dianalisis menggunakan WHO Anthro Plus. Uji
Kolmogorov-Smirnov dilakukan untuk melihat kenormalaan data Mann Whitney dilakukan untuk
melihat perbedaan kecukupan protein, zinc, kalsium, dan vitamin D pada remaja stunting dan nonstunting.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Univariat
3.1.1 Deskripsi Subjek Berdasarkan Umur
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Subjek Penelitian
Usia (Tahun)
11
12
13
14
Total
Stunting
n
6
19
15
0
40
%
15
47,5
37,5
0
100
Kelompok
Non-Stunting
n
%
2
5
13
32,5
18
45
7
8,8
40
100
Berdasarkan Tabel 1, sebagian besar subjek penelitian berusia 12 dan 13 tahun. Pada subjek
yang berusia 12 tahun terdapat 19 orang stunting (47,5%) dan usia 13 tahun terdapat 18 orang
(45%) non-stunting. Pada masa remaja terjadi pertumbuhan yang sangat cepat sehingga kebutuhan
gizi untuk pertumbuhan dan aktivitas juga meningkat. Remaja umumnya mempunyai nafsu makan
yang berubah-ubah, sehingga sering mencari makanan tambahan berupa jajanan di luar waktu
makan. Kecukupan gizi remaja akan terpenuhi dengan pola makan yang beragam dan gizi
seimbang. Modifikasi menu dilakukan terhadap jenis olahan pangan dengan memperhatikan jumlah
dan sesuai kebutuhan gizi pada usia tersebut (Hasdianah dkk, 2014).
3.1.2 Status Stunting
Stunting merupakan kondisi tubuh yang pendek berdasarkan umurnya. Stunting atau pendek
berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan kategori non-stunting 0-(+1) SD) dan
stunting (mild stunting (z-score TB/U -2-(-1) SD), moderate stunting (z-score TB/U -2-(-3) SD) dan
severe stunting (z-score TB/U <-3) (WHO, 2010).
Menurut (Aguayo, 2016) stunting mengakibatkan pada kehidupan selanjutnya dan hal ini
merupakan konsekuensi yang merugikan pada periode remaja terutama pada remaja putri. Hal ini
4
akan mempengaruhi perkembangan reproduksinya atau masa pubertas, karena pada saat masa
kehamilan akan memiliki keturunan yang stunting pula. Rata-rata tinggi badan subjek penelitian
149,19 ± 9,20 dengan nilai minimal 120,80 cm dan nilai maksimalnya 162,30 cm. Rerata z-score
(TB/U) adalah -0,81 ± 1,13 dengan nilai minimal -4,61 dan nilai maksimal 1,10. Stunting dengan
kategori mild stunting yaitu 62,5%, kategori moderate stunting yaitu 35%, dan kategori severe
stunting yaitu 2,5%.
3.1.3 Distribusi Subjek Berdasarkan Kecukupan Protein
Tabel 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Kecukupan Protein
Kategori
Kecukupan Zinc
Defisit
Kurang
Ringan
Normal
Lebih
Jumlah
Stunting
n
15
13
6
5
1
40
Non-Stunting
%
37,5
32,5
15
12,5
2,5
100
n
9
3
8
18
2
40
%
22,5
7,5
20
45
5
100
Tabel 2. menunjukkan tingkat konsumsi protein subjek yang stunting memiliki nilai
terendah yaitu 2,5% untuk kategori lebih sedangkan subjek non-stunting memiliki nilai terendah 5%
yaitu kategori lebih. Subjek remaja yang stunting memiliki nilai tertinggi pada kategori defisit yaitu
sebanyak 37,5%, sedangkan yang non-stunting memiliki nilai tertinggi pada kategori normal yaitu
sebanyak 45%.
Kecukupan protein didapat dari beraneka ragam bahan makanan seperti tahu, tempe, ikan,
telur dan lain sebagainya. Hasil wawancara, subjek memiliki kebisaan makan yang kurang beraneka
ragam, rata-rata subjek mengonsumsi tahu dan tempe ketika di rumah. Pada saat sekolah, subjek
yang tidak sarapan biasanya lebih memilih mengonsumsi jajanan kemasan dibandingkan dengan
mengonsumsi makanan dengan energi dan protein tinggi seperti nasi, mie, telur, ikan, susu dan lainlain. Protein sangat dibutuhkan pada masa remaja karena protein memiliki fungsi
untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh dan sangat efisien dalam memelihara jaringan dalam tubuh,
protein yang ada dan menggunakan kembali asam amino yang diperoleh dari pemecahan jaringan
untuk membangun kembali jaringan yang sama atau jaringan lain (Almatsier, 2004).
Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang
baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit (Sharlin dan Edelstein, 2011). Ukuran
panjang badan yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi kurang akibat kekurangan protein.
Gangguan pertumbuhan (Growth Faltering) menunjukkan resiko untuk mengalami stunting pada
periode umur berikutnya (Whitney, 2008).
5
3.1.4 Distribusi Subjek Berdasarkan Kecukupan Zinc
Tabel 3. Distribusi Subjek Berdasarkan Kecukupan Zinc
Kategori
Kecukupan Zinc
Defisit
Kurang
Ringan
Normal
Jumlah
Stunting
Non-Stunting
n
40
0
0
0
40
%
100
0
0
0
100
n
40
0
0
0
40
%
100
0
0
0
100
Berdasarkan Tabel 3, tingkat konsumsi zinc seluruh subjek defisit, baik pada kelompok
stunting maupun non-stunting. Bahan makanan yang mengandung zinc berasal dari lauk hewani
seperti bebek, daging sapi, hati sapi, hati ayam, dan lauk hewani laut seperti kepiting, kerang, cumicumi, udang (Mardewi, 2014). Rata-rata subjek mengonsumsi lauk hewani yaitu daging ayam dan
telur, sedangkan sumber zinc terbesar terdapat di lauk hewani laut. Kebiasaan tersebut dikarenakan
kurangnya kesadaran orangtua mengenai keanekaragam bahan makanan, sedangkan kandungan
mikronutrien yaitu zinc hanya sedikit pada beberapa jenis bahan makanan lain. Zinc dalam tubuh
akan sangat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh, sehingga berperan penting dalam pencegahan
infeksi oleh berbagai jenis bakteri patogen, dan apabila kekurangan asupan zinc dampaknya adalah
terhambatnya pertumbuhan (Almatsier, 2005).
3.1.5 Distribusi Subjek Berdasarkan Kecukupan Kalsium
Tabel 4. Distribusi Subjek Berdasarkan Kecukupan Kalsium
Kategori
Kecukupan kalsium
Defisit
Kurang
Ringan
Normal
Jumlah
Stunting
Non-Stunting
n
%
n
%
40
0
0
0
40
100
0
0
0
100
40
0
0
0
40
100
0
0
0
100
Tabel 4. menunjukkan tingkat konsumsi kalsium seluruh subjek defisit, baik pada kelompok
stunting maupun non-stunting. Kurangnya asupan makanan yang mengandung kalsium
menyebabkan kebutuhan kalsium dalam sehari tidak mencukupi sehingga terjadinya defisiensi.
Bahan makanan yang mengandung kalsium yaitu daging sapi, tahu, daging ayam, ikan teri, ikan
segar, coklat, susu. Kandungan kalsium terbesar terdapat pada jenis hewani, sedangkan subjek
mengonsumsi makanan dari sumber nabati, sehingga terjadi kebutuhan yang defisit pada kalsium.
Menurut Miekawati, dkk (2012) Penyebab rendahnya konsumsi kalsium dikarenakan rendahnya
6
pengetahuan tentang pentingnya kalsium bagi tubuh dan jenis sumber makanan yang mengandung
kalsium seperti susu
3.1.6 Distribusi Subjek Berdasarkan Kecukupan Vitamin D
Tabel 5. Distribusi Subjek Berdasarkan Kecukupan Vitamin D
Kategori
Kecukupan Vitamin D
Defisit
Kurang
Ringan
Normal
Jumlah
Stunting
Non-Stunting
n
%
n
%
40
0
0
0
40
100
0
0
0
100
40
0
0
0
40
100
0
0
0
100
Tingkat kecukupan vitamin D yang didapat merupakan rata-rata keseluruhan jumlah vitamin
D yang dikonsumsi selama 24 jam yang lalu. Berdasarkan Tabel 5, tingkat konsumsi vitamin D
pada subjek stunting maupun non-stunting seluruhnya (100%) termasuk dalam kategori defisit.
Vitamin D membantu penyerapan kalsium jadi apabila vitamin D kurang maka kalsium juga
mengalami defisit (Abrams, dkk 2005). Bahan makanan yang mengandung vitamin D yaitu susu,
daging ayam, ikan teri, ikan asin, keju, jamur, kedelai. Subjek lebih banyak mengonsumsi makanan
dari sumber nabati daripada hewani, sedangkan vitamin D terbanyak terdapat pada jenis bahan
makanan hewani.Vitamin D sendiri yaitu membantu penyerapan kalsium, jadi apabila kalsium
defisit maka kecukupan vitamin D juga defisit.
Menurut penelitian Valentina, dkk (2014) vitamin D dalam darah dapat berpengaruh besar
oleh asupan vitamin D yang terdapat pada paparan sinar matahari. Aktifitas seorang anak yang
berhubungan dengan paparan sinar matahari akan berpengaruh terhadap peningkatan vitamin D.
Vitamin D pada tulang dapat membantu kepadatan tulang untuk mencegah patah tulang (Laird dkk,
2010).
3.2 Analisis Bivariat
3.2.1 Perbedaan Kecukupan Protein antara Remaja Putri Stunting dan Non-Stunting.
Hubungan protein dengan pertumbuhan menyebabkan seorang anak yang kurang asupan
proteinnya akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat daripada anak dengan jumlah asupan
protein yang cukup (Bender, 2002) dan pada keadaan yang lebih buruk kekurangan protein dalam
jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan (Andarini dkk,
2013).
7
Tabel 6. Hasil Analisis Perbedaan Kecukupan Protein antara
Remaja Putri yang Stunting dan Non-Stunting
Persen Kecukupan
Protein (%)
Nilai Minimal
Nilai Maksimal
SD
Mean
Stunting
45,07
121,33
17,65
76,62
Kelompok
Non-Stunting
44,33
133,62
20,61
88,57
p value
0,003*
*) p value hasil uji Mann-Whitney
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, rata-rata
persen kecukupan protein
remaja putri yang stunting kategori kurang yaitu sebesar 76,62%, sedangkan kelompok remaja putri
yang non- stunting memiliki kategori ringan yaitu sebesar 88,57%. Hasil uji beda Mann-Whitney
dalam penelitian ini diperoleh nilai signifikan (p=0,003) yang berarti terdapat perbedaan
kecukupan protein antara remaja putri yang stunting dengan remaja yang non-stunting.
Menurut Bender (2002) seorang anak yang kekurangan protein akan tumbuh lebih lambat
daripada anak yang cukup asupan proteinnya. Kekurangan protein dalam jangka waktu yang lama
dapat mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan. Pertumbuhan tulang pada manusia dimulai
dari sintesis kartilago, yang kemudian kartilago tersebut mengalami osifikasi. Sintesis kartilago
membutuhkan sulfur, sedangkan tubuh memperoleh sulfur melalui katabolisme asam amino
methionin dan sistein, asam amino itu sendiri merupakan molekul penyusun protein, maka
diperlukan asupan protein yang adekuat atau makanan yang mengandung asam amino sulfur yang
tinggi untuk anak (Andarini dkk, 2013)
Konsumsi protein yang rendah, akan mempengaruhi produksi dan juga kerja dari hormon
IGF-1. Hormon IGF-1 atau dikenal juga sebagai somatomedin adalah hormon protein polipeptida
yang mempunyai struktur molekul mirip insulin yang berperan sebagai mediator kerja GH (Growth
Hormone). Hormon ini berperan penting dalam pertumbuhan masa anak dan berlanjut pada saat
dewasa. Konsentrasi hormon IGF-1 dalam darah pada saat lahir rendah, kemudian meningkat secara
bertahap pada saat bayi dan anak serta mencapai puncaknya pada masa remaja. Kadar IGF-1 akan
menurun secara bertahap selama masa dewasa (Guyton dan Hall, 2007)
Penelitian Cahya (2014) pada anak SD di Kecamatan Kartasura menunjukkan adanya
perbedaan asupan protein pada anak yang mengalami stunting dan tidak stunting. Penelitian tersebut
sejalan dengan penelitian Regar (2013) di Jakarta Timur pada anak usia 5-7 tahun yaitu adanya
hubungan asupan protein dengan status gizi indikatir TB/U.
3.2.2 Perbedaan Kecukupan Zinc antara Remaja Putri yang Stunting dan Non-Stunting
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang berperan sangat penting pada pertumbuhan manusia
karena memiliki struktur serta peran di beberapa sistem enzim yang terlibat dalam pertumbuhan
8
fisik, imunologi dan fungsi reproduksi. Akibatnya, saat terjadi defisiensi zinc maka dapat
mempengaruhi pertumbuhan fisik anak-anak (Abunada dkk, 2013). Zinc berperan di berbagai
reaksi, sehingga kekurangan zinc akan berpengaruh terhadap jaringan tubuh, terutama pada proses
pertumbuhan (Almatsier, 2009).
Tabel 7. Hasil Analisis Perbedaan Kecukupan Zinc antara
Remaja yang Stunting dan Non Stunting
Persen Kecukupan
Zinc (%)
Nilai Minimal
Nilai Maksimal
SD
Mean
Kelompok
Non-Stunting
21,25
59,38
10,07
40,26
Stunting
19,23
64,62
9,82
35,84
p value
0,022*
*) p value hasil uji Mann-Whitney
Berdasarkan Tabel 7, didapatkan rata-rata persen kecukupan zinc remaja putri yang stunting
sebesar 35,84% termasuk kategori defisit, sedangkan kelompok remaja putri yang non-stunting
memiliki rata-rata persen kecukupan zinc sebesar 40,26 % termasuk kategori defisit. Hasil uji
beda Mann-Whitney dalam penelitian ini diperoleh nilai signifikan (p=0,022), berarti terdapat
perbedaan kecukupan zinc antara remaja putri yang stunting dengan remaja yang non-stunting.
Zinc berperan dalam sintesis DNA dan RNA yang penting dalam replikasi dan diferensiasi
kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan sintesis somatomedin, osteokalsin dan kolagen serta
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Selain protein, zinc juga membantu dalam sintesis dan
sekresi Growth Hormone (GH) dan aktivasi Insulin-like Growth Factor 1 (IGF-1) atau
somatomedin di hati dan tulang (Salgueiro dkk, 2002).
Kebutuhan zinc secara fisiologis meningkat pada periode pertumbuhan cepat akibat
terjadinya proses replikasi DNA, transkripsi DNA dan fungsi endokrin (Gibson dan Ferguson,
2008). Zinc yang rendah menyebabkan penyebab perawakan pendek melalui mekanisme
kekurangan zinc yang dapat menimbulkan anoreksia sehingga asupan energi rendah dan
pertumbuhan terganggu. Penelitian yang dilakukan oleh Mardewi (2014) menggunakan kadar serum
zinc, terdapat perbedaan rata-rata kadar serum zinc pada anak perawakan pendek dan normal. Kadar
serum zinc pada anak perawakan pendek lebih rendah secara signifikan dibandingkan anak
perawakan normal.
Penelitian yang dilakukan Hidayati (2010) pada anak usia 1-3 tahun di Surakarta
menunjukkan kekurangan asupan zinc mempunyai risiko 2,67 kali lebih besar terhadap kejadian
stunting pada anak. Hasil penelitian Makonnen, dkk (2003) menunjukkan bahwa kematian pada
anak yang mendapat suplementasi zinc juga lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan
9
anak yang tidak mendapatkan zinc. Arsenault, dkk (2008) menyatakan hasil penelitiannya di Peru,
bahwa defisiensi zinc dapat menghambat pertumbuhan pada anak.
3.2.3 Perbedaan Kecukupan Kalsium antara Remaja yang Stunting dan Non-Stunting.
Asupan kalsium yang optimal dibutuhkan untuk mencapai puncak massa tulang (peak bone mass)
yang optimal (Mahan, 2008). Seorang anak yang sedang dalam masa pertumbuhan dapat mencapai
massa tulang optimum secara genetis, apabila asupan zat gizi anak tersebut harus disesuaikan untuk
memenuhi ambang batas minimal kebutuhan kalsium tubuhnya. Perbedaan kecukupan kalsium
antara remaja yang stunting dan non stunting dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Analisis Perbedaan Kecukupan Kalsium antara
yang Stunting dan Non-Stunting
Persen Kecukupan
Kalsium (%)
Nilai Minimal
Nilai Maksimal
SD
Mean
Stunting
8,13
68,18
15,50
23,35
Kelompok
Non-Stunting
5,09
57,50
14,34
30,96
p value
0,005*
*) p value hasil uji Mann-Whitney
Tabel 8. menunjukkan rata-rata kecukupan kalsium remaja
putri yang stunting adalah
23,35% termasuk kategori defisit, sedangkan kelompok remaja putri yang non-stunting memiliki
rata-rata sebesar 30,96 % termasuk kategori defisit. Tampak bahwa terdapat perbedaan kecukupan
kalsium yang signifikan antara remaja putri yang stunting dengan remaja putri yang non-stunting
dibuktikkan dengan uji beda Mann-Whitney sebesar p=0,005 yang berarti terdapat perbedaan
kecukupan kalsium antara remaja putri stunting dan non-stunting. Kalsium yang cukup selama
masa prepubertas akan berpengaruh peak bone mass pada saat dewasa nantinya, terutama lebih
penting pada kelompok perempuan karena berdampak pada saat hamil dan menopause (Mahan,
2008). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Apriyanti (2014) yaitu terdadat perbedaan bermakna
antara asupan kalsium pada remaja 10-19 tahun di Pulau Jawa yang tinggal di daerah perkotaan dan
perdesaan.
3.2.4 Perbedaan Kecukupan Vitamin D antara Remaja yang Stunting dan Non-Stunting
Vitamin D meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfor serta mempunyai pengaruh mobilisasi
kaslium dari tulang. Vitamin D tersebut mempertahankan kadar kalsium, jadi asupan vitamin
berpengaruh terhadap kalsium dan fosfor dalam darah hingga memungkinkan kalsifikasi yang
normal pada matriks tulang dan tulang rawan, untuk aktivitas tersebut vitamin D harus diubah
terlebih dahulu dalam bentuk yang aktif. Di hati vitamin D diubah menjadi 25-hidroksi vitamin D2
dan D3, kemudian diubah lagi menjadi 25(OH)2D3. Jika kebutuhan kalsium atau fosfor meningkat,
maka ginjal akan membentuk 1,25 (OH)2D3 yang berfungsi sebagai hormon (Pudjiadi, 2003).
10
Tabel 9. Hasil Analisis Perbedaan Kecukupan Vitamin D antara
Remaja yang Stunting dan Non-Stunting
Persen Kecukupan
Vitamin D(%)
Nilai Minimal
Nilai Maksimal
SD
Mean
Kelompok
Non-Stunting
4,00
67,33
13,79
19,79
Stunting
0,00
59,33
11,69
14,44
p value
0,064
*) p value hasil uji Mann-Whitney
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan rata-rata persen kecukupan vitamin D
remaja putri yang stunting sebesar 14,44% termasuk kategori defisit. Kelompok remaja putri
yang non-stunting memiliki rata-rata persen kecukupan vitamin D sebesar 19,79 % termasuk
kategori defisit. Hasil uji beda Mann-Whitney dalam penelitian ini diperoleh nilai tidak
signifikan (p=0,064) yang berarti tidak terdapat perbedaan kecukupan vitamin D antara remaja
putri yang stunting dengan remaja putri yang non-stunting. Penelitian tersebut sejalan dengan
penelitian Kremer, dkk (2008) pada remaja putri bahwa tidak ada korelasi vitamin D dengan
pertumbuhan tulang. Subjek yang memiliki postur tubuh tinggi bukan hanya dipengaruhi oleh
asupan makan tetapi kebiasaan aktifitasnya seperti olahraga yang dapat mempengaruhi postur
tubuhnya yaitu tinggi badan (Kremer dkk, 2008).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Houghton, dkk (2014) pada anak usia
sekolah berusia 6-14 tahun yaitu terdapat hubungan positif vitamin D dengan tinggi badan anak.
Vitamin D meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein
pengikat kalsium. Vitamin D membantu absorbsi kalsium, apabila dalam absorbsi kalsium
terganggu, maka pertumbuhan akan menurun (Felicia, 2009). Defisiensi vitamin D akan
meningkatkan hormon paratiroid (PTH) sehingga dapat terjadi resorpsi tulang yang selanjutnya
akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan pertumbuhan tulang dan fraktur (Setiati, 2008).
Kekurangan vitamin D dalam tubuh menimbulkan gangguan yaitu dapat mengganggu pertukaran
kalsium dan fosfor dan gangguan sistem pertulangan karena vitamin D berperan terhadap
pertahanan tulang dan kepadatan tulang (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).
5. PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini Terdadat perbedaan tingkat kecukupan protein (p=0,007), zinc
(p=0,005), dan
kalsium (p=0,025) pada remaja putri stunting dan non-stunting. Tidak ada
perbedaan tingkat kecukupan vitamin D (p=0,065) pada remaja putri stunting dan non-stunting.
11
5.2 DAFTAR PUSTAKA
Abrams, SA., Ian JG., Keli MH., Sheila KG., Caren M., and Thomas OC. 2005. Relationships
Among Vitamin D Levels, Parathyroid Hormone, and Calcium Absorption in Young
Adolescents. Journal Clinic Endorinol Metabolisme. 90(10): 1-14.
Abunada,S., Jalambo, O., Ramadan, dan Zabut. 2013. Nutritional Assessment of
Zinc Among Adolescents in the Gaza Strip-Palestine. Journal of Epidemiology. 10(3): 10510.
Aguayo, VM. and Purnima M. 2016. Stop Stunting: Improving Child Feeding, Women’s Nutrition
and houseold Sanitation in South Asia. Maternal and Child Nutrition. 12(1): 3-11.
Andarini, S., Ventiyaningsih, ADI., & Samosir, N. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi (Energi,
Protein dan Zink) Dengan Stunting Pada Anak Umur 2-5 Tahun di Desa Tanjung Kamal
Wilayah Kerja Puskesmas Mangaran Kabupaten Situbondo. Skripsi. UIN Jakarta.
Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Almatsier, S. 2011. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Angka Kecukupan Gizi (AKG). 2013. Tabel Angka Kecukupan Gizi 2013 bagi
Orang Indonesia. Tersedia dalam:http://gizi.depkes.go.id [Diakses tanggal 28 Juli 2014].
Apriyanti, D. 2014. Perbedaan Antara Asupan Zat Gizi Makro dan MikroTerhadap Status Gizi
Remaja di Perkotaan dan Pedesaan di Pulau Jawa (Analisis Data sekunder Riskesdas 2010.
Esa
Unggul.
Retrieved
from
http://digilib.esaunggul.ac.id/UEU-Undergraduateundergraduit_2012-32190/3267
Arsenault, JE., de Romaña, DL., Penny, ME., Van Loan, MD., Brown, KH. 2008. Additional Zinc
Delivered in a Liquid Supplement, but Not in a Fortified Porridge, Increased Fat-Free Mass
Accrual among Young Peruvian Children with Mild-to-Moderate Stunting. Journal
Nutrition. 13(8):108-114.
Bender, D. 2002. Introduction to Nutrition and Metabolism Third Edition. Taylor and Francis eLibrary. London.
Cahya, IA. 2014. Perbedaan Tingkat Asupan Energi, Protein Dan Zat Gizi Mikro (Besi, Vitamin A,
Seng) Antara Anak Sd Stunting Dan Non Stunting Di Kecamatan Kartasura Kabupaten
Sukoharjo. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Caulfield L., Richard S., Rivera J., Musgrove P., Black R. 2006. Stunting, wasting, and
micronutrient deficiency disorders. In: Jamison D, Breman J, Measham A, Alleye G,
Claeson M, Evans D, Jha P, Mills A, Musgrove P,. Disease Control priorities in Developing
Countries. 2nd ed. Washington, DC: Oxford University Press.
Depkes RI. 2005. Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar dan Madrasah
Jakarta.
12
Ibtidaiyah.
Felicia, C. 2009. Osteoporosis: Panduan Lengkap agar Tulang Anda Tetap Sehat: Bintang Pustaka.
Solo.
Fitri, J., Saam, Z., Hamidy, MY. 2012. Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Kecacingan Murid
Sekolah Dasar di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan. Jurnal Ilmu
Lingkungan. 6 (2): 146-161.
Gibson, RS. dan Ferguson, EL. 2008. An Interactive 24-hour Recall for Assessing the Adequacy of
Iron and Zinc Intakes in Developing Countries. Harvest Plus.
Guyton, A. and Hall, J. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed: 11. EGC Medical Publisher.
Jakarta.
Hasdianah, HR., Sandu, S., Yuli, P. 2014. Pemanfaatan Gizi, Diet, dan Obesitas. Nuha Medika.
Yogyakarta.
Hidayati, L., Hadi, H., & Kumara, A. 2010. Kekurangan Energi dan Zat Gizi Merupakan Risiko
Kejadian Stunted Pada Anak Usia 1-3 Tahun yang Tinggal di Wilayah Kumuh Perkotaan
Surakarta. Jurnal Kesehatan. 3(1): 89-104.
Houghton LA., Gray AR., Harper MJ., Winichagoon P., Pongcharoen T., Gowachirapant S., Gibson
RS. 2014. Vitamin D Status among Thai School Children and Association with 1,25Dihydroxyvitamin D and Parathyroid Hormone Levels. Plos One. 9(8):1-8.
Jumirah, L Z. dan Aritonang E. 2007. Status Gizi dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak
Sekolah Dasar di Desa Nemo Gajah, Kecamatan Medan Tuntungan. Skripsi. Medan.
Kartasapoetra, G. dan Marsetyo. 2008. Ilmu Gizi (Korelasi gizi kesehatan dan produktivitas kerja).
Rineka Cipta. Jakarta.
Kremer, R., Campbell, P.P., Reinhardt, T., Gilsanz, V., 2008. Vitamin D Status and Its Relationship
to Body Fat, Final Height and Peak Bone Mass in Young Women. Journal Clinic Endocrin
Metabolisme. 10(12): 1-17.
Kurniawan YAI, Muslimatun S, Achadi EL, Sastroamidjojo S. 2007. Nutritional Status of
Adolescent Girls in Rural Coastal Area of Tangerang District. Majalah Kedokteran
Indonesia 57(5): 140-145.
Laird, E., Mary, W., Emeir, M., J.J, Strain, and Julie, W. 2010. Vitamin D and Bone Health;
Potential Mechanisms. Journal Nutrients. 10(2): 693-724.
Mahan K. and Escott S. 2008. Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B Saunders Company.
Makonnen, B., Venter, A., Joubert, G. 2003. A Randomized Controlled Study of the Impact of
Dietary Zinc Supplementation in the Management of Children with Protein–Energy
Malnutrition in Lesotho. I: Mortality and Morbidity. Journal of Tropical Pediatrics.
49(6):340-352.
Mardewi, KW. 2014. Kadar Seng Serum Rendah Sebagai Faktor Risiko Perawakan Pendek pada
Anak. Tesis. Program Studi Ilmu Biomedik Universitas Udayana.
13
Miekawati, W., Sayono, dan Ulfa N., 2012. Hubungan Konsumsi Kalsium dalam Makanan dan
Minuman dengan Keparahan Karies Gigi pada Murid Kelas IV dan V SDN Melati 1 dan 2
Kudus. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Notoatmodjo. 2007. Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta.
Pudjiadi, S. 2003. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Balai Penerbit FK UI. Jakarta
Rajeshwari R., Nicklas TA., Yang SJ., Berenson GS. 2004. Longitudinal Changes in Intake and
Food Sources of Calcium from Childhood to Young Adulthood: The Bogalusa Heart Study.
J Am Coll Nutr. 23(4):341-350.
Rasool,G., Hassan, Zubair A., Khalid A. 2011. Puberty Growth Spurt Age In Local Population — A
Study. Pakistan Oral & Dental Journal. 31(1): 78-83.
Regar, E. dan Sekartini, R. 2013. Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan Makronutrien dengan
Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun
2012. Jurnal Kesehatan.1(3):184-189.
Riskesdas. 2013. Riskesdas provinsi Jawa Tengah 2013 (buku 1), Buku 2: Riskesdas dalam angka
provinsi Jawa Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Salgueiro, MJ., Zubilaga, MB., Lysionex, E., Caro, RA., Weill, R., Boccio, R.
2002. The Role of Zinc in the Growth and Development of Children. Nutrition 24(18): 510519.
Setiati S. 2008. Pengaruh Pajanan Ultraviolet B Bersumber dari Sinar Matahari terhdap Konsentrasi
Vitamin D (25(Oh)D) Dan Hormon Paratiroid Pada Perempuan Usia Lanjut Indonesia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2(4): 147-153.
Sharlin, J. and Edelstein, S. 2011. Essentials of Life Cycle Nutrition. Jones and Bartlett Publisher,
LCC.
Taufiqurrahman, Haman H., Madarina J., Sosilowati H. 2009. Defisiensi vitamin A dan Zinc
Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Stunting pada Balita di Nusa Tenggara Barat. Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Nusa TenggaraBarat.19(2): 84-94.
Tucker LJ., Snelling AM., Adams TB. 2002. Development and validation of a stages of change
algorithm for calcium intake for college female students. Journal Clinical Nutrition. 21(6):
530-535.
WHO. 2004. Malnutrition: The Global Picture. WHO. Geneva
WHO. 2011. WHO Global Database on Child Growth and Malnutrition. Geneva.
Whitney, E. and Rolfes, SR. 2008. Understanding Nutrition Eleventh Edition. Belmont: Thomson
Wadworth.
Winzenberg T., Shaw K., Fryer J., Jones G. 2010. Calcium Supplementation for Improving Bone
Mineral Density in Children. Australia. The Cochrane Collaboration
14
Valentina V., Palupi NS., Andarwulan N. 2014. Asupan Kalsium dan Vitamin D pada Anak
Indonesia Usia 2-12 tahun. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 25(1): 83-89.
Yang XL., Ye RW., Zheng JC., and Jin L. 2010. Analysis on Influencing Factors for Stunting and
Underweight Among Children aged 3—6 years in 15 Counties of Jiangsu and Zhejiang
Provinces. Journal Clinical Nutrition i. 31(5). 506—509.
15
Download