2 Sifat Organisasi Teori Organisasi Sebuah asumsi umum dari sebuah profesi administrasi adalah bahwa member-nya dapat dibedakan menurut pengetahuan mereka yang superior mengenai organisasi, superior, yakni, dibandingkan dengan member organisasi non -administratif. Oleh karenanya, sebuah perhatian terhadap filosofi administratif akan sesuai dengan klaim ini. Logika apa yang mendasari dan value/nilai apa yang diimplikasikan oleh badan teori organisasi? Fenomena organisasi manusia telah menarik sejumlah perha tian energetik para akademisi dan peneliti; timbunan literatur dalam teori organisasi dan korelatifnya, termasuk teori administratif, adalah bukti yang cukup akan hal ini. Tapi ilmu sosial merupakan sebuah status rendah dalam persaudaraan akademi dan beberapa diantaranya merupakan cabang yang baru -baru ini keluar, seperti misalnya psikologi organisasi, teori informa si dan pengembangan organisasi, yang merupakan junior bagi administrasi sebagai sebuah bidang studi . Sebaliknya, administrasi publik telah lama dikembangkan sebagai sebuah bidang ilmu dibawah inisiatif ilmu politik; dan Waldo telah menyatakan (1961) bahwa sebuah trend dapat dibedakan dari teori administratif seperti misalnya teori organisasi, sebuah pergeseran yang akan konsisten dengan mode behav iouralisme di pertengahan abad dua puluh. Dia juga menunjukkan bahwa teori administratif akan menyatakan ‘sebuah keterlibatan dengan dunia, sebuah perjuangan setelah value’ dimana teori organisasi memiliki konotasi yang lebih faktual, dan kurang value -involved (ibid, 217, 218). Tentu saja, teori organisasi tidak meloloskan, dan apalagi menyelesaikan, permasalahan value yang melekat dalam tindakan administratif, tapi hal ini menyatakan adanya kemungkinan teori, model dan bantuan konseptual dalam bernavigasi, yang mungkin akan dapat menanam administrasi dengan sebuah kompetensi khusus, sebuah kompetensi yang tidak dapat dengan mudah diakses oleh sembarang pria di jalanan atau anggota manapun dari organisasi dan yang lebih berbasis-sains serta dihormati secara intelektual. Apa dimensi dan viabilitas dari klaim ini? Apakah memungkinkan untuk membedakan antara logika administrasi dengan mengarahkan perhatian kita ke studi organisasi? Kita akan menjawab pertanyaan pertama dalam bab ini. Sementara untuk pertanyaan kedua, Waldo, dari perspektif ilmu politik, menyatakan tidak. Merujuk pada fabel pria buta yang mendeskripsikan seekor gajah, dia mengataka n: ‘Dalam memandang inklusifitas, keragaman, amorphousness dari material-material yang diletakkan dibawah judul Teor i Organisasi saat ini, seseorang harus menyimpulkan bahwa, jika mereka semua beranggapan tentang gajah yang sama, ini adalah gajah yang sangat besar dengan elephantiasis umum’ (ibid. 216). Ahli teori organisasi sendiri akan harus setuju dengan hal ini . Haas dan Drabek, misalnya, membedakan tidak lebih dari delapan ‘perspektif’ atas plethora konsep, hipotesis dan perwakilan data dalam pemikiran dan riset organisasi: perspektif rasional, klasik, human relation, sistem alami, konflik, exchange, teknologi dan s istem terbuka (1973, 23 -93). Masing-masing dari perspektif ini dapat dikarakterisasikan dengan sebuah model teoretis, dan masing -masing dapat berfungsi dalam struktur persepsi peneliti dan seleksi variabelnya untuk studi penelitian. Dan masing masing ‘penjelasan’ mencerminkan Weltanschauung -nya sendiri. Namun tidak ada, menurut peneliti, yang dapat berfungsi sebagai basis teoretis yang sepenuhnya memadai (ibid). Dalam teks standar lain, Hall membedakan antara teori manajemen, ekonomi dan strukturalis dibawah sebuah perspektif sistem tertutup dan ahli teori grup, individu, teknologi dan power di bawah sebuah perspektif sistem terbuka (1972, 35). Sekali lagi, terdapat kesimpulan bahwa pemahaman organisasi tidak cukup memadai untuk membiarkan orang -orang di dalamnya ‘merealisasikan keinginan mereka sendiri, untuk membiarkan organisasi mencapai tujuannya, dan membiarkan organisasi untuk mencapai semua yang mereka bisa bagi masyarakat’ (38). La Porte berbicara menganai ‘celoteh’ literatur dan bersimpati dengan ‘mahasiswa dalam mencari sebuah bidang yang koheren yang ingin melarikan diri dari luasnya variasi semantik dan konsep -konsep yang tampaknya tidak terbatas’ (Marini, 1971, 26). Akan merupakan sebuah tugas yang mustahil untuk meringkas atau bahkan untuk mens urvei kumpulan hasil, studi dan spekulasi teoretis yang dapat diperhatikan dalam rubrik besar ini. Apa yang sebaiknya kita coba lakukan adalah dengan ringkas memilih topik teori organisasi tertentu yang bersama -sama akan dapat membentuk tonggak yang lebih kuat dalam melandasi logika perilaku administratif. Jika masalah subyek sains ini terbatas pada kalimat -kalimat faktual (dan dapat diverifikasikan memperhatikan secara empiris) batasan -batasan dimana maka ilmu kita juga harus organisasi dapat diharapkan mu lai berakhir. Hubungan antara ilmu sosial dan administrasi adalah hubungan yang produktif. Administrasi publik, secara khusus dan administrasi privat, hampir dapat dipastikan mendapatkan keuntungan dari pengetahuan sosiologis Max Weber dan teorinya menge nai struktur birokratis (1947). Teori organisasi kompleks oleh Parsons (1951), March dan Simon (1958), Etzioni (1961), Blau dan Scott (1962) dan lainnya telah memberikan analisa logika organisasi, diagnosa atas beragam disfungsi organisasi, dan model konse ptual atau sistem interpretif yang telah meningkatkan basis pengetahuan untuk kompetensi administratif. Tentu saja, tidak setiap administrator akan au fait dengan rentang penuh hasil -hasil temuan ini, tapi meski demikian terdapat sebuah pola menuju profesi onalisasi yang cenderung bergabung dalam semacam simbiosis dari lengan studi penelitian dan lengan praktisi dari profesi yang bersangkutan. Terdapat pemberian dan pengambilan informasi dan sejumlah eksekutif dari pengalaman dan ranking mungkin tidak akan m embuat perkenalan dengan teori organisasi. Banyak orang akan cukup familiar dengan jargon salah satu ilmu sosial, dan banyak pula yang akan familiar dengan beberapa perspektif konseptual yang disebutkan diatas. Outcome lain yang menguntungkan dari ketert arikan dalam organisasi manusia adalah pengembangan teori sistem umum, sebuah pergerakan yang berasal dari biologi (von Bertalanffy, 1950) dan menjangkau hingga filosofi sintetik (Laszlo, 1972). Pendekatan sistem terhadap pemikiran organisasi memberikan se buah framework untuk kontribusi interdisipliner (antar bidang). Analog dari biologi mungkin kadang digunakan dan definisi organisasi manusia mungkin menjadi kabur, condong ke satu sisi ke dalam makrosistem yang dikenal oleh sosiologi sebagai sebuah institu si dan di sisi lain ke dalam mikrosistem dari ‘grup primer’; tapi meski adanya kesulitan -kesulitan definisi batasan, konsepsi sistem terbuka dari aliran energi dan informasi tidak tidak diragukan lagi menstimulasi sebuah ketertarikan langsung intelektual d alam fenomena organisasi dan sebuah ketertarikan tidak langsung dalam fenomena administrasi. Barnard, seperti yang sudah dikatakan, merupakan seorang pemikir sistem yang maju di masanya. Teori sistem memang meluas melampaui batasan organisasi dan hal ini bisa dengan mudah menjadi sebuah flosofi atau sebuah cara dalam memandang hidup (Allport, 1960; Boulding, 1956; Etzioni, 1968; Laszlo, 1972; de Chardin, 1959). Bahkan ketika terbatasi dalam domain organisasi, sebuah domain yang dengan sendirinya dipotong dan dibatasi oleh metavalue efisiensi dan efektivitas, hal ini bisa menjadi, pernyataan digunakan dalam sejumlah bebas -value yang mendukung posisi kesepakatan dalam bertentangan dengannya, ideologi. Sehingga, psikologi sisoal dan data terdapat empiris pendukung, untuk praktek -praktek organisasi yang dapat dianggap demokratis atau participatory (Likert, 1961; Katz dan Kahn, 1966, 470; Wiener, 1954). Sekali lagi, teori organisasi jika bukan teori sistem per se telah digunakan untuk mendukung, misalnya, sebuah etika Judeo Christian (Golembiewski, 1965) dan sebuah model ‘human resources’ (Miles, 1975; Leavitt, 1972). Organisasi telah didefinisikan secara beragam atau dibiarkan tidak terdefinisikan (Waldo, 1961). Sehingga Simon telah, Organisasi manusia adala h sistem dengan aktivitas interdependen, meliputi setidaknya beberapa grup primer dan biasanya terkarakterisasi, di level consciousness partisipasn, dengan sebuah tingkatan arah perilaku rasional yang lebih tinggi menuju ends (tujuan akhir) yang merupakan obyek dari pengakuan dan ekspektasi umum (Simon, 1954, 157). Khas Simon, penekanannya ada pada karakter rasional organisasi. Bakke (1960, 37) lebih terperinci: Sebuah organisasi sosial adalah sebuah sistem kontinyu dari aktivitas dalam manusia yang menggunakan, serangkaian set terdiferensi asi mengubah spesifik dan dan sumberdaya terkoordinasi menghubungkan manusia, material, kapital, ideasional dan sumberdaya alam ke dalam sebuah keutuhan problem -solving unik yang terlibat dalam memenuhi kebutuhan manusia tertentu dalam berinteraksi dengan sistem aktivitas manusia lain dan sumberdaya lain dalam lingkungannya. Disini, organisasi merupakan unit problem -solving dan penekanan terhadap sistem-nya sangat jelas. Argyris, dengan ringkas, mengatakan, ‘organisasi ad alah strategi besar yang diciptakan oleh individu untuk mencapai tujuan yang membutuhkan upaya dari banyak pihak’ (1960, 24). Disini seseorang dapat mendeteksi sebuah kecondongan fenomenologis, yakni, sebuah pandangan organisasi manusia yang melihat mereka sebagai konsep pengalaman manusia yang didasarkan dalam kehidupan subyektif individual . Untuk tujuan kami, organisasi manusia dapat dipahami sebagai entitas sistemik yang eksis didalam sebuah lingkungan tertentu dan memiliki setidaknya dua anggota manus ia. Maksudnya dengan entitas sistemik adalah sebuah integritas struktur yang dapat dibedakan dan diasosiasikan dengan tujuan, bahkan meskipun bentuk, artikulasi, dan lokus dari tujuan ini masih samar, unconscious (tidak sadar) atau sengaja disembunyikan. anggota/member Harus merupakan diketahui sebuah bahwa prakondisi setidaknya dua organisasi dan karenanya menurut definisi merupakan sebuah pengandaian sebuah struktur sosial dan hierarki. Harus pula diketahui bahwa koeksistensi tujuan kolektif dan individua l-lah yang menciptakan dinamika atau tensi organisasi fundamental. Bahkan di level yang sepenuhnya kolektif maka tujuan -tujuan organisasi itu sendiri bisa berada dalam konflik dinamis atau dialektik, dan konflik semacam ini bisa merupakan dinamika consciou s (sadar) atau unconscious (tidak sadar) di dalam bidang administrator. Aspek tujuan dari organisasi dapat dikategorikan dalam beberapa cara. Perrow memberikan sebuah klasifikasi tingkat empat: (1) Tujuan output (barang dan jasa) (2) Tujuan sistem (maint enance dan growth/pertumbuhan) (3) Tujuan produk (berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan permintaan untuk barang dan jasa) (4) Tujuan turunan (misal., tujuan politik, investasi, pengembangan karyawan) (1970, 135 Meski definisi organisasi manusia tidak d isepakati oleh ahli teori – Simon merasa puas untuk menganggapnya ‘sebagai level pengelompokan manusia di suatu tempat diatas grup primer (pekerjaan face-to-face atau pengelompokan keluarga yang merupakan unit dasar dari aliran ‘human relation’) dan di sua tu tempat dibawah entitas yang disebutnya ‘sebuah institusi’ – dimana contoh -contohnya bisa jadi berupa ‘industri baja’, ‘perdagangan ritel’, ‘administrasi publik’.’ (Dunsire, 1973, 112 -113) – terdapat konsensus mengenai keunggulan tindakan purposif dalam perilaku organisasi; organisasi memiliki sebuah karakter purposif. Jika, oleh karenanya, teori organisasi akan mengarah ke filosofi organisasi, atau sebaliknya, maka hal ini akan berasal dari dorongan fakta ini atau aspek logika organisasi ini. Struktur O rganisasi Keanggotaan dalam organisasi mendiktekan beberapa bentuk struktur sosial, yakni, sejumlah bentuk diferensiasi status. Apa yang kurang jelas dari sudut pandang logika, tapi sepenuhnya benar sebagai fakta empiris – baik dalam lintas waktu dan lint as kultur – adalah bahwa tampaknya hal ini mendiktekan beberapa bentuk yang secara konvensional dikenal sebagai line dan staff. Pengecualian eksotik, meskipun ada, power dan otoritas biasanya dirasakan sebagai hal yang mengalir di sepanjang garis dari inti filosofis bidang organisasi ke level tindakan di tepian organisasi. Aliran ini, dan line of flow yang diasosiasikan dengannya, mengimplikasi sebuah prinsip hierarki, sebuah tatanan atau susunan yang harus didasarkan sepenuhnya dalam tujuan organisasi. Hal ini menghasilkan dan termanifestasikan oleh sebuah sistem hubungan subordinat -subordinat -koordinat diantara anggota-anggota organisasi. Merupakan hak istimewa dari administrasi untuk mendefinisikan, mengklarifikasikan, mempertahankan, memperluas dan membu mbui pengaturan ini. Status organisasi dan sistem reward cenderung simetri isomorfis dengan line of command, dan hal ini diperhitungkan dalam kebijakan konvensional sebagai hal yang fungsional dan menguntungkan (Barnard, 1946, 46). Sebagai akibatnya, tiap administrator dan manajer tahu apa yang dimaksud dengan line, dan dengan sejumlah kesenangan, posisinya di dalam line. Ahli teori kontemporer mengakui prinsip ini dan cenderung menemukan ekspresi terjelasnya dalam teori birokrasi formal rasional milik Max Weber: Setiap studi empiris dan kebanyakan ringkasan teoretis secara eksplisit atau implisit akan bersandar pada konsep organisasi formal Weberian. Bahkan Social Psychology of Organization milik Katz dan Kahn, yang jelas merupakan magnum opus dari dekade ini, juga terikat pada ide -ide tersebut. Basis Weberian tidak tampak jelas di dalam kasus ini karena penulis memulai treatise mereka dengan sebuah survei yang komprehensif terhadap sistem dan teori peranan (role theory) yang mengarah pada seseorang untuk m eyakini bahwa perumusan mereka akan ditandai secara berbeda. Namun demikian, tidak begitu adanya. Pola hierarki dari birokrasi yang melandasi konseptualisasi analisa mereka mereka mengenai diungkapkan leadership. Di dalam dalam framework mereka, introduksi perubahan struktural untuk mencapai tujuan organisasi dimulai di puncak sistem peranan; bagian tengah level leadership berkenaan dengan penguraian dan pengadaptasian sebuah struktur tertentu untuk mencapai sebuah tujuan tertentu (interpolasi); dan terakhi r, bagian bawah sistem leadership ini berkaitan dengan penggunaan struktur tersebut. Terdapat sejumlah studi penelitian empiris yang secara eksplisit menggunakan model Weberian dan menunjukkan bahwa realitas organisasi jarang berkorelasi sangat erat penyimpangan dieksplorasi dengan dari dan parameterm konsekuensi ‘model’. ‘murni’ dikonseptualisasikan, Biasanya, pengaturan tapi ini paradigma dasarnya tidak dipertanyakan secara fundamental. (Marini, 1971, 144). Tambahan terhadap line ini adalah anggota -anggota organisasi yang fungsinya adalah sebagai tambahan di dalam teori klasik dan suportif terhadap personel line. Dalam proses -proses keputusan, staf dapat memberikan saran tapi tidak bisa memberikan perintah sama seperti, katakanlah, College of Cardinals d apat memberikan saran kepada Paus tapi tidak melakukan subvene untuk menginstruksikan seorang uskup di dalam line yang terdiri atas pope -bishop-priest. Tapi konsep staf ini mengurangi kejernihan konsep line. Observasi empiris akan menyatakan bahwa personel staf akan berfluktuasi dalam definisi peranan mereka dengan bergerak masuk dan keluar line atau mereka menggunakan sebuah otoritas line yang de facto jika bukan de jure (Thompson, 1961; Dalton, 1950, 342). Permasalahan ini tidak menyangkal perlunya resolu si. Jika logika diterima bahwa organisasi merupakan kolektivitas purposif dengan sebuah ‘line’ dari filosofi (tujuan) menuju tindakan (pekerjaan organisasi) maka dapat dimungkinkan bahwa semua anggota entah bagaimana akan berada di dalam line ini. Saran semacam ini akan menimbulkan pertanyaan yang sulit mengenai sistem reward organisasi dan, bahkan, logikanya masih belum diterima secara umum. Kebijakan konvensional eksis dalam mempertahankan perbedaan line – staff dengan semua kekhawatiran yang menyertai terkait rentang kontrol dan organisasi yang bersangkutan (Ouchi dan Dowling, 1974; Blau dan Schoenherr, 1970). Struktur staff dan line menciptakan piramida konseptual yang, akan kita akui, kini sangat tertanam dalam kesadaran administratif dalam membentuk sebuah archet ype. Struktur piramidal dihasilkan dari konsekuensi spesialisasi terkait dan dari logika line divisi/pembagian dan staff seperti tenaga kerja. Meski misalnya demikian, upaya-upaya ikonoklastik di pengaturan struktural alternatif telah dibuat dari waktu ke waktu. Bagan 2, diambil dari penelitian Likert dan Miles, menunjukkan alternatif -alternatif seperti misalnya struktur terhubung-pin, A, B, C; tim proyek D; dan model collegial E. Hal ini akand diamati oleh inspeksi sederhana, bahwa sebuah line eksis di dalam masing-masing kasus (ditunjukkan dengan garis titik -titik di dalam diagram) dan tidak ada member yang secara simultan menjadi member di lebih dari dua grup primer. Juga signifikan bahwa, dengan pengecualian model collegiate, E, puncak line selau terpotong dari ‘level action’ dan hanya dapat berkomunikasi melalui intermediasi manajerial atau supervisory. Sekali lagi, Bagan 3, dari Golembiewski, menunjukkan dua metode mengorganisasi pekerjaan, tidak satupun yang tampaknya menggantikan (meski a danya upaya non ortodoks untuk memodifikasi) struktural esensial dari logika line dan staff, yakni, hierarki dan flow proses -proses keputusan organisasi. Poin yang hendak kami tekankan disini tidaklah untuk menyangkal keunggulan relatif dari pengaturan -pengaturan ini – yang secara meyakinkan dicapai oleh beberapa peneliti yang terlibat – tapi untuk menunjukkan persistensi dan ketahanan struktur yang melandasi. Kedalaman struktur ini membuatnya sulit untuk menemukan hal -hal baru dibawah pengaturan organisasi , dan tidak diragukan lagi akan mendukung archet ype piramidal yang sangat fundamental bagi sikap administratif. Karakter konservatif dari strukturalisme ini tidak sepenuhnya mengimplikasikan bahwa organisasi memiliki sebuah esensi statik; justru sebalikn ya mereka merupakan komposisi dalam flux goal directed, essay dalam strategi pencapaian tujuan. Wajah lain dari struktur adalah fugnsi, aspek dinamis dari pengaturan peranan yang merupakan pembentuk struktur. Dan struktur kembali lagi kepada kita dalam elemen tujuan. Struktur organisasi apapun di dalam analisa terakhirnya haruslah fungsional terkait dengan tujuan. Entitas dinamisnya tetap ada sejalan dengan waktu. Struktur ini harus menstrukturkan tidak hanya peranannya melainkan juga prosedur pengambilan k eputusannya, dan telah lama dinyatakan bahwa minima dapat ditentukan dalam prosedur untuk: (1) memilih leadership (administrasi), (2) penstrukturan peranan (definisi pekerjaan), (3) menentukan tujuan (kebijakan), (4) tujuan pencapaian (operasional). (Morphet et al., 1967, 88). Hal ini mengandaikan reduksi administrasi orisinal kita menjadi sebuah kompleks tujuan, teknologi dan pria yang reflektif. Tipe-Tipe Organisasi Sejumlah upaya yang serius telah dibuat untuk mengklasifikasikan genus organisasi menurut spesiesnya, untuk mendeduksikan sebuah tipologi atau taksonomi organisasi, dan upaya -upaya ini merupakan hal yang penting bagi thesis kita, dimana eksistensi subset yang berbeda di dalam organisasi mungkin saja menghalangi kemungkinan adanya filosofi adminsitrasi yang dilandaskan pada kesamaan struktur dan fungsi organisasi. Sebuah taksonomi yang populer dinyatakan oleh Blau dan Scott (1962). Mereka mengklasifikasikan organisasi sebagai (a) asosiasi mutual benefit/sama -sama menguntungkan (perserikatan, gereja), (b) terkait bisnis (perusahaan manufaktur, bank, (c) organisasi jasa (rumah sakit, sekolah), (d) organisasi commonwealth (angkatan bersenjata, polisi). Taksonomi Blau dan Scott jelas valuasional dalam artian taksonomi ini didasarkan pada konsep cui bono. Dengan kata lain, salah satu cara dimana organisasi dapat dikategorikan adalah menurut sifat dan distribusi reward yang mereka hasilkan. Atau bisa dikatakan, mereka bisa dikategorikan menurut tujuan dan keuntungan. Etzioni, dari perspektif sosiologi , telah mengkategorikan organisasi terkait dengan variabel dikatakan compliance -structure. koersif, remuneratif, atau Sehingga, normatif organisasi dalam bisa struktur compliance mereka sementara anggota individu dapat memberikan respon dalam cara -cara kalkulatif, moral atau alienatif – sebuah sekolah dapat dikatakan sebagai koersif -alienatif, sementara gereja termasuk normatif-moral (1961). Sekali lagi klasifikasi semacam ini jelas valuasional. Mengambil pendekatan sistem sosial, Katz dan Kahn sekali lag i mengembangkan klasifikasi empat arah terhadap organisasi sehingga menjadi (a) produktif, (b) maintenance, (c) adaptif, (d) manajerial politik (1966: 112). Organisasi produktif atau ekonomis memberikan barang dan jasa terhadap masyarakat; organisasi maint enance (sekolah, gereja, partai politik) mempertahankan dan menopang masyarakat dengan ideologi dan sistem kepercayaan yang bersangkutan; organisasi adaptif (rumah permasalahan masyarakat; sakit, sosial dan unit dan organisasi riset) menyelesaikan memberikan permasalahan - pengetahuan manajerial -politik baru berkoordinasi bagi dan berajudikasi antara kelompok -kelompok sosial (misal., perserikatan buruh dan birokrasi negara) (147). Disini logika cui bono tetap ada, tapi penerima benefit secara keseluruhan dian ggap sebagai masyarakat. Masyarakat adalah sintesis didalam mana organisasi dialektik yang berkompetisi untuk keunggulan kompetitif mereka sedang berfungsi. Negara, sebagai perwakilan sintesis sosial, mempertahankan fungsi sebagai organisasi penengah. Katz dan Kahn juga mendeduksi set ‘second -order/susunan kedua’ dalam pengklasifikasian. Mereka membedakan organisasi dalam basis produk akhir mereka – apakah hal ini berkenaan dengan orang atau obyek (misal., sekolah vs pabrik) – dalam basis jenis reward organisasi – apakah termasuk ekspresif dan intrinsik (terminal value) atau extranoues dan ekstrinsik (instrumental value); dalam basis apakah organisasi memiliki tingkatan birokratis tinggi atau rendah; dan dalam basis apakah organisasi cenderung menuju ke st abilitas atau pertumbuhan (ibid. 148). Dapat dilihat disini bahwa organisasi bisa dikategorikan dalam beragam cara: mula-mula menurut genus, di level analisa mana perbedaan ini mengabur antara organisasi dan institusi. Masyarakat, dengan proses-proses simbolik yang tersarang di dalam negara, menjadi penentu utama bidang tindakan organisasi dan administratif. Kedua, organisasi bervariasi menurut spesies, dan meski pilihan klasifikasi bisa jadi arbitrary atau dialektikal, akan tampak sejumlah kecenderungan diantara pihak otoritas teoretis untuk mengklasifikasikan dalam basis yang terkait dengan kepentingan atau value. Tampaknya juga tidak ada dalam taksonomi konvensional ini yang bisa menyangkal proposisi Litchfield mengenai kesamaan proses administratif ant ara beragam bentuk organisasi. Dan terakhir, tentu saja, organisasi dapat diklasifikasikan sebagai individual. Di dalam masing-masing organisasi tersebut terdapat entitas fenomenologi yang unik, membawa kondisi -kondisi yang berlaku untuknya dan hanya untuknya, sehingga mendefinisikan aksi administratif dalam contoh ini dalam cara yang paling tajam. Terdapat subdivisi lain, yang merupakan internal atau domestik dan telah mengarahkan banyak perhatian di dalam teori organisasi, yakni, ide mengenai organisasi formal dan informal. Organisasi formal dikatakan memiliki satu atau lebih organisasi informal. Barnard sendiri merupakan pendukung pertama dari organisasi informal (1967, 114 123). Sejak saat inilah merupakan sebuah keyakinan bagi administrator untuk ‘mengetahui organisasi informal’. Isu ini masih tetap hidup untuk Etzioni sehingga melabeli pekerjaan March dan Simon sebagai pekerjaan klasik (sebuah istilah yang cenderung dislogistik terhadap eulogistik ‘modern’) karena pra -posesif mereka dengan organisasi formal, perilaku rasional dan ‘pencarian untuk alat organisasi yang paling tepat untuk memenuhi serangkaian tujuan tertentu, dan bukan alat organisasi yang bisa tetap mempertahankan partisipan untuk merasa bahagia’ (Etzioni, 1964, 31). Meski demikian, tamp aknya cukup adil untuk mengatakan bahwa hubungan antara organisasi formal dan informal yang dipengaruhi oleh perubahan dalam tipe organisasi di tahap pengembangan teori ini masih belum bisa dipahami sepenuhnya. Apa yang sudah dipahami adalah bahwa pola hu bungan informal di dalam sebuah organisasi, adalah hal yang penting bagi administrator dalam berbagai level, khususnya dibawah mereka yang mengepalai beragam iklim, moral, leadership dan komunikasi organisasi. Pemerintahan domestik ini, dan pemerintahan ya ng meluas diantara tipe organisasi, semuanya berbagi satu kualitas, faktor reward, interest, value. Organisasi bisa dikategorikan secara logis tapi logka itu sendiri akan valuasional dalam basisnya. Karena tidak ada di dalam teori tipe organisasi yang menyebutkan sebuah filosofi sintetik maka kita dapat berlanjut dari anatomi komparatif organisasi ke kepantasan anatomi (anatom y proper). Biologi Organisasi Godaan untuk menganalogikan antara organisasi dan organisme sudah ada sejak lama. Dan banyak pengamat yang kemudian menyerah. Menganggapnya sebagai level analisa terbesar yang mungkin pernah ada, de Chardin berbicara mengenai sebuah ‘biosfer’ (1959) dan, menurunkan satu not dalam skala, Spencer telah mempertahankan analogi organik untuk masyarakat secara keseluruhan. Sehingga, … sel-sel sebuah organisme berkorespondensi dengan individu di dalam masyarakat, jaringan -jaringan berkorespondensi dengan kelompok-kelompok voluntary sederhana, organ -organ merujuk pada organisasi-organisasi yang lebih kompleks. Ak tivitas ekonomi, yuridis dan politik akan paralel dengan aspek fisiologis, morfologi dan unitary dari sebuah organisme. Merchandise dalam transisi adalah hal yang sama seperti makanan yang tidak terasimilasi. Ras penakluk adalah pria, ras yang ditaklukkan adalah wanita; perjuangan mereka sama seperti perjuangan spermatozoa disekeliling ovum (1910, 430, ff). Selznick, meski membedakan organisasi dari institusi, mendeskripsikan institusi sebagai ‘organisme responsif dan adaptif’ (1957, 5) dan Michels (1915) dan Parsons (1951) berbicara mengenai ‘keutuhan alami’ organisasi sebagai sebuah organisme hidup yang responsif. Ide organisasi sebagai sistem dengan kebutuhan -kebutuhan yang ada di dalam lingkungan dan membuat perubahan yang adaptif untuk survival sangat berakar dalam, dan dapat dilacak balik hingga sejauh Plato. Versi kontemporer dari analog yang persisten ini cenderung lebih abstrak, lebih mekanis, lebih termatematis. Versi ini paling mudah diekspresikan dalam konsep dasar atau inti dari teori sistem umum, sebuah sistem teoretis untuk sintesis interdisipliner yang berasal dari bidang biologi maternal (von Bertalanffy, 1968). Bagan 4 mewakili elemen-elemen esensial. Bentuk dari sebuah sistem umum terdiri atas sebuah input, througput dan output energis y ang selfdirecting sesuai dengan mekanisme targeting dan feedback -nya. Sistem konseptual juga memberikan ekonomi logis dari sebuah ‘kotak hitam’, karena dibawah berbagai situasi bisa jadi tidak diperlukan atau mustahil untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang berlangsung di dalam sebuah sistem. Sudah cukup untuk membedakan output, input dan hubungan diantara mereka. Sebuah sistem seperti yang ada di Bagan 4 adalah mempertukarkan lingkungannya. sebuah sistem (exchange) Dan sistem terbuka energi ini dan diatur dimana sistem informasi oleh ini deng an hukum fisika termodinamika. Yang pertama dari hukum ini, bahwa materi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan, menentukan sebuah limit terhadap kuantum energi di jagat raya. Butir kedua dari hukum ini menyatakan adanya kecednerungan bagi sistem energi untuk bergerak, ceteris paribus, dari kondisi teratur atau kompleksitas ke kondisi pengacakan atau randomness. Pada tingkatan dimana organisme, dan organisasi, membaurkan tren alami ini menjadi ketidakteraturan, kek acauan dan homogenitas, mereka menunjukkan properti negentropi (negative entropy) dari sistem. Dugaan lebih lanjut, kali ini dari teori informasi, adalah bahwa tingkatan entropi yang terkandung dalam sistem atau organisasi apapun berada dalam jumlah yang b erkebalikan dengan kuantitas informasi yang dimilikinya (Shannon dan Weaver, 1949). Karakteristik lain dari sistem juga telah diidentifikasi, seperti misalnya homeostasis, diferensiasi dan ekuifinalitas, semuanya memiliki analog biologi yang jelas. Selai n itu, sistem terbuka berada dalam perniagaan konstan dengan lingkungan mereka. Hal ini berarti bahwa tiap sistem dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah subsistem dari sebuah supersistem dan dengan sendirinya merupakan supersistem dari subsistem -subsistemnya. Dibawa ke tingkat logika yang ekstrim, hal ini memberikan kita sebuah visi jagat raya dalam kotak-Cina, satu terminus dimana sistem energi tertutup dari makrokosmos dan yang lainnya adalah terminus yang hilang di suatu tempat di batas ketiadaan subatomik. Mari kita kembali ke isomorfisme biologi. Organisasi dapat membagai analogi dengan organisme hanya hingga tingkat sejauh ini. Meski keduanya merupakan entitas purposif, mereka tidaklah purposif dalam cara yang sama. Sebuah organisasi tidak memilik i ‘kesadaran’ atau ‘will/kemauan’. Hal ini hanya bisa menjadi properti dari anggota anggota individualnya. Implikasi dari pembedaan ini bagi filosofi administratif adalah hal yang krusial, karena hal ini menanggung masalah moralitas dan tanggungjawab orani sasi. Mari kita lihat bahwa bentuk organisasi dan organisme berbeda. Katz dan Kahn menunjukkan bahwa … proses -proses sistemik dasar termasuk energis dan melibatkan flow, transformasi dan exchange energi. Organisasi manusia memiliki properti yang unik, yang membedakan mereka dari kategori sistem terbuka lainnya. Mungkin properti unik yang paling menda sar adalah ketiadaan struktur dalam pengertian yang umum – sebuah anatomi yang dapat diidentifikasi, bertahan lama, dan fisik dan dapat diamati dalam kondisi di am dan kondisi bergerak serta dalam geraknya akan menghasilkan dan melakukan aktivitas -aktivitas yang membentuk fungsi sistemik. Organisasi manusia kurang memiliki struktur dalam pengertian anatomik ini; lahan dan bangunannya tidak bergerak; anggota -anggotanya datang dan pergi. Namun organisasi memiliki struktur; bukan sebuah agregat tak berbentuk berinteraksi dan dari individu -individu terlibat dalam yang penciptaan saling beberapa kombinasi event secara acak (453, 454). Dengan kata lain, sebuah organisa si manusia termasuk protean tapi memiliki bentuk yang logis, sama seperti sebuah sungai yang eksis dengan adanya tepian sungai, atau seorang manusia yang eksis dengan adanya misteri ego atau ‘I-ness’, meski dalam kasus sungai tadi seseorang tidak pernah bi sa ‘melangkah ke dalam sungai yang sama dua kali’ dan di kasus yang terakhir kita percaya bahwa semua sel -sel kita secara konstan akan mati atau digantikan. Sebuah kritik kontemporer dari fallacy biologi menempatkannya dalam paragraf berikut: … Dalam teori sistem, imej yang domin asn mengenai organisasi adalah sebuah organisme. Organisasi eksis; mereka merupakan entitas yang dapat diamati dan memiliki kehidupan mereka sendiri. Organisasi mirip seperti orang orang meskipun kadang imej ini lebih mirip anak rekalsitran, dan bukannya orang dewasa yang matang. Dalam kasus manapun, teori ini memberikan organisasi banyak properti seperti manusia. Mereka memiliki tujuan dimana mereka; mereka mereka dapat mengarahkan memberikan respon aktivitas -aktivitas dan beradapta si terhadap lingkungan mereka. Organisasi juga tidak dapat lari dari nasib organisme yang tidak dapat beradaptasi terhadap lingkungannya. Nasib organisasi akan tergantung pada kemampuan mereka untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang sangat kompleks dan turbulent. Mengikuti logika Darwinian yang melekat dalam imej mereka tentang organisasi, ahli teori sistem (Bennis, 1968) melihat organisasi kecil, demokratif, quick -witted menggantikan bentuk birokratik yang kini mulai memudar di sekitar kita. Fakta bahwa organisasi birokratik tampil besar, kuat dan hebat tampaknya tidak menggoyahkan keyakinan yang menganggap organisasi sebagai entitas hidup yang menjadi subyek dari hukum keras yang hanya mengijinkan yang terbaik untuk bertahan hidup … (Greenfield, 1974, 4 ). Sebuah divisi/pembagian akan muncul di dalam teori organisasi antara mereka yang akan menurut pada orientasi ilmu sosial dan mereka yang lebih condong pada sebuah pendekaatn humanistik dan fenomenologis. Argumen ini cenderung tergantung pada sifat rea litas sosial, dimana grup yang pertama mencari penjelasan ilmiah, keteraturan rasional, analisa kuantitatif sementara grup yang terakhir disebut cenderung pada penekanan pada tatanan individual dan dialektik, analisa linguistik kualitatif. Dimensi dari per debatan ini paling tajam diuraikan dalam Greenfield, 1975, sebuah paper yang menuai banyak kontroversi. Penulis menginterpretasikan perbedaan akar filosofis sebgai antara realisme dan idealisme dengan aliran ‘ilmiah’ berada di dalam kamp realis. Dari sudut pandang paper yang sekarang ini, dikotomi antara realisme dan idealisme tidaklah memadai dan dapat menyesatkan. Sudah cukup memadai untuk mengetahui bahwa dialektik argumen adalah antara aliran pemikiran (pandangan atas sistem) yang cenderung mengarah pad a memperlakukan organisasi sebagai entitas riil yang memiliki sejumlah ‘kehidupan mereka sendiri’ dan aliran-aliran lawan (fenomenologi) yang cenderung pada pandangan organisasi sebagai sebuah ciptaan sosial, artifak dari sebuah kultural yang diciptakan ol eh para anggotanya. Pihak dari sisi pertama (Parsons, 1973; Parsons dan Shils, 1962) dengan penekanannya pada kolektivitas, memiliki resiko melakukan organismic fallacy, sementara pihak dari sisi kedua (Greenfield, 1975; Filmer et al., 1972), dengan penekanan terhadap individual, memiliki resiko mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang melekat dalam ide organizational Gestalt. Organisasi organisasi lebih memiliki dari sekadar imortalitas jumlah relatif bagian -bagiannya; dimana organisasi mementingkan entrie s dan exits para member -nya, dan organisasi juga memiliki quasi -personalit y atau karakter hingga tingkatan tertentu dimana kehidupan simboliknya menginstitusionalisasikan value dan berguna sebagai carrier value disemua perubahan yang ada dalam membership. Sehingga, dalam sebuah pengertian gereja Kristen, hal ini dapat dianalogikan dengan sebuah ‘Mystical Body of Christ’ sama seperti organisasi manusia biasa dapat menjadi bagian dari ‘badan politik’. Organisasi memang dapat dianalisa secara logis seperti yan g dilakukan dalam teori sistem, tapi saya harus menyangkal bahwa hal ini merupakan penginvestasian framework logika di dalam sebuah ‘life of its own – kehidupannya sendiri’ yang valuasional dan merupakan inisiatif khusus administrator. Bahwa sebuah organis asi tidak ‘mati’ ketika administrasinya digantikan mengandung arti bahwa administrasi yang baru telah dapat mengarahkan tidak hanya sistem energi, informasi dan aliran pengambilan keputusan yang logis tetapi juga, dan yang lebih penting lagi, mengarahkan v aluasional dan kekompleksan kepentingan yang memberikan raison d’etre sesungguhnya dari organisasi. Dapat dikatakan bahwa untuk sebuah profesi yang baru muncul, mencari basis rasional, ilmiah dan intelektual, teori sistem, dengan rentang metafora sugesti f-nya, landasannya dalam biologi dan matematika, serta kapasiasnya untuk memungkinkan dilakukannya transduksi dan translasi dari jargon multidisipliner, hal ini cenderung akan terbukti atraktif dan bahkan seduktif. Organisasi dan Motivasi Manusia Sebuah kritik dari pendekatan strukturalis dan juga dari perspektif sistem adalah bahwa individual dan motivasinya masih belum cukup diperhitungkan. Meski demikian, kini telah terdapat sejumlah besar literatur teori dan riset mengenai permasalahan motivasi kerja (Steers dan Porter, 1975; Vroom, 1964; Herzberg, 1968; Maslow, 1965 interalia). Mengingat banyaknya pengetahuan dan pengandaian yang sudah ada, seseorang mungkin merasa terbatasi dalam menambahkan ‘babble of the literature’ yang lebih banyak lagi. Model ya ng disajikan berikut ini dimaksudkan sebagai ilustratif dan khas dalam menyajikan pemahaman – sebuah upaya untuk menunjukkan konsistensi pola atau sindrom atas level analisa yang berbeda. Bagan 5 menunjukkan sindrom dasar. Seorang member organisasi diwakil i dengan lingkaran bertitik-titik memiliki ego unik dan kompleks value -nya yang diarahkan secara lateral dalam mencari tujuan (goals), insentif ataupun aspirasi yang disediakan oleh sistem reward organisasi – gaji, promosi, jabatan. Untuk mencapai tujuan -tujuan ini dia memperluas upayanya dalam bentuk bekerja mengatasi hambatan dari berbagai jenis yang dispesifikasikan di bagian tengah diagram. Komitmennya terhadap tujuan-tujuan ini (C) akan menjadi sebuah fungsi p (probabilitasnya dalam mencapai mereka) da n v (evaluasi personalnya terhadap mereka). Secara logis, tujuan-tujuan dapat dicapai atau pencapaian tujuan ini akan membuatnya frustasi. Jika tercapai, kondisi dikatakan sukses; member menemukan pelepasan tensi yang menyenangkan dan merasa terkuatkan d alam perilaku pencapaian -tujuan yang telah dilakukannya. Kompleks value -motivasional -nya terkuatkan. Jika, disisi lain, tujuan tersebut tidak tercapai setelah berlalunya waktu dan pengeluaran upaya – jika promosi, misalnya, tidak muncul, maka dikatakan m engalami kegagalan dan tiba di titik keputusan P 1 . P 1 memberikan tiga alternatif: (1) keluar atau mengundurkan diri dari organisasi jika hal ini memang memungkinkan, (2) sebuah pembaruan upaya dalam mencapai tujuan atau melakukan perubahan dalam persepsi tujuan; mungkin sebuah pengabaian terhadap tujuan tersebut; (3) beragam terbawah bentuk perilaku Bagan 5, agresi yang diklasifikasikan dalam … sabotase. Opsi (2) dan kotak (3) mempertahankan member di dalam organisasi dan telah dilabeli + positif dan – negatif. Masing-masing hal ini akan mempengaruhi kompleks value dan karenanya juga akan mempengaruhi upaya -kerja. Waktu, t 1 , berlangsung dalam repetisi pola siklik ini. Logika motivasi yang sama berlaku dalam level analisa mikro ini dapat diperluas hingga le vel analisa medial untuk perilaku grup di dalam organisasi (Bagan 6). Disini kompleks value merupakan karakteristik dari sebuah grup dan bukannya individu dimana grup menggandakan upaya mereka melalui mode struktur oragnisasi, tugas dan teknologi dalam ran gka mencapai tujuan organisasi dan insentif bagi grup. Komitmen (C) terhadap tujuan -tujuan tersebut kini merupakan sebuah fungsi parsial dari metavalue maintenance dan growth (M 1 , M 2 , dan lihat dibawah ini, Bab 11). Sukses akan diperkuat seperti sebelumnya dan kemudian memperdalam metavalue (M 1 - 4 ). Kegagalan akan mengarah pada opsi yang ditunjukkan oleh P 2 : pembubaran grup atau respon positif atau negatif. Waktu (t 2 ) sekali lagi berlalu. Di level analisa terbesar atau makro (Bagan 7) organisasi terhubung dengan institusi (Commerce, militer, pendidikan publik) yang diciptakan dan diatur oleh etos kemasyarakatan. Perbedaan besar dari pola sebelumnya adalah bahwa level ini, dalam event frustasi, tidak memiliki opsi exit di P 3 . Sebuah masyarakat tidak bisa mel arikan diri dari dirinya sendiri. Waktu historik, t 3 , berlalu. Model-model ini termasuk bergaya behavioristik. Mereka dilandaskan sepenuhnya pada sebuah konsep reward dan punishment, dan penting untuk mengetahui bahwa orang -orang bertindak dalam mengamankn reward atau menghindari kehilangan reward (cf. Simon et al., 1950, 472-3). Model-model ini juga dengan jelas termasuk valuasional dalam dua pengertian: pertama, dalam masing -masing terdapat inisiasi perilaku dalam individu, grup dan sistem value sosial, serta kedua, karakterisasi respon kegagalan alternatif sebagai positif atau negatif mengimplikasikan bahwa respon semacam ini lebih baik daripada yang lainnya dan ini merupakan penilaian pure value. Teori Organisasi sebagai sebuah Basis untuk Filosofi Ad ministrasi Tidak akan mudah untuk menangkap atau mengepitomisasi atau bahkan mengkategorikan perkembangbiakan tenaga kerja yang dengan satu atau lain cara telah muncul dibawah judul teori organisasi. Juga tidak akan lebih memungkinkan dalam menyatakan den gan akurat tentang apa saja prinsip -prinsip atau postulat -postulat administratif dari sebuah teori administratif yang dapat dilandaskan dalam hasil dan verifikasi sebuah ilmu organisasi. Meski demikian akan memungkinkan untuk menentukan pola elemen -elemen esensial yang mengembangkan parameter bagi teori organisasi dan administratif. Di dalam bentuk yang paling primordialnya, pola ini akan terdiri atas set variabel dualistik yang terkait di satu sisi dengan individu sebagai anggota organisasi dan disisi lain dengan organisasi sebagai sebuah kolektivitas purposif dari para member individualnya. Yang disebut pertama termasuk mengembangkan realitas variabel -variabel yang diasosiasikan dengan kepribadian manusia, value, sikap, kebutuhan, motif, kapasitas dan skil ls, sementara yang disebut terakhir akan merengkuh variabel -variabel teknologi, tujuan, struktur dan fungsi. Menghubungkan dan berusaha mensintesiskan kedua set ini adalah set ketiga dari variabel administratif, komponen-komponen yang kritis: filosofi administrasi yang efektif, level keahlian administratif, resource flow, dan potensi metavalue. Kita kemudian memiliki sekumpulan kluster variabel administrasi. yang mewakili Masing -masing membership, kluster telah dan kolektivitas, menjadi dan sumber penyelidikan empiris. Tidak dapat dikatakan bahwa prinsip -prinsip umum yang jelas tidak dapat dibandingkan telah muncul dari upaya ini. Meski pseudo-laws dari administrasi sebagai ‘efektivitas organisasi diperkuat dengan memiliki satu kepala eksekutif’ atau ‘efekti vitas organisasi semakin kuat dengan delegasi wewenang’ atau ‘organisasi dengan pembagian tenaga kerja yang tinggi akan lebih efisien dibandingkan dengan mereka yang memiliki pembagian tenaga kerja yang rendah’ merupakan subyek dari perdebatan (Miller, 196 5, 403; March dan Simon, 1958, 41 -42; Haas dan Drabek, 1973, 29 ff). Di sisi lain, subskripsi terhadap ‘sains’ dan ‘metode ilmiah’ mengkarakterisasikan begitu banyak hal dalam studi ini dan mengarah pada devaluasi value dalam bentuk preskripsi etika apapun untuk bidang kompetensi administratif. Di level analisa lain, perdebatan memasuki realitas ideologi, yakni, kompleks skala besar dan pola -pola keyakinan, sikap dan value yang tidak dapat menemukan pijakan positivistik di dalam batasan logika dan rasiona litas yang ditentukan oleh metode ilmiah dan empirisme. Sehingga, terdapat perdebatan antara pendukung teori struktur organisasi monokratik -birokratik dengan pendukung counter model demokratik -collegial. Max Weber adalah pendukung utama dari posisi yang pe rtama disebut diatas. Bumbu dari polemiknya dapat diperoleh dari kutipan berikut, dan kekuatan argumennya dapat diperoleh dari bukti historik persistensi dan pertumbuhan bentuk birokratik: Birokrasi berkembang lebih sempurna, lebih komplit dalam kesuksesannya menghilangkan love, hatred (kebencian) dan semua elemen personal, irasional serta emosional yang terlepas dari perhitungan dalam sebuah bisnis resmi. Esensi pengaturan birokratik adalah rasionalitas. Sebuah semangat impersonalitas formalistik dibutuhkan organisasi untuk dari memisahkan kehidupan hak pribadi dan kewajiban karyawan. Hanya dengan melakukan hal ini secara impersonal maka ofisial dapat menjamin rasionalitas dalam pengambilan keputusan, dan hanya dengan cara ini maka mereka dapat memastikan perlakuan yang setara terhadap semua subordinat (Abbott dan Lovell, 1965, 42 -3). … Pengalaman cenderung secara universal menunjukkan bahwa tipe birokratik murni dari organisasi administratif – yakni, ragam monokratik dari birokrasi, dari sebuah sudut pan dang yang sepenuhnya teknis, dapat mencapai tingkatan efisiensi tertinggi dan dalam pengertian ini secara formal merupakan cara yang paling rasional untuk melakukan kontrol imperatif terhadap manusia. Hal ini superior dibandingkan dengan bentuk lain dalam hal presisi, stabilitas, reliabilitasnya. stringensi/keketatan Hal ini disiplin, memungkinkan adanya dan hasil terkalkulasikan yang tinggi untuk kepala organisasi dan untuk mereka yang bertindak dalam kaitannya dengannya. Hal ini juga superior dalam efisie nsi intensif dan dalam cakupan operasionalnya, dan secara formal dapat diaplikasikan untuk semua jenis tugas administratif. (Weber, 1947, 337). Daftar yang menentang Weber telah dimasuki oleh banyak pendukung inovasi modern, seperti misalnya Thompson ( 1961, 1965). Kita harus mengingat bahwa sebuah perdebatan dalam teori organisasi seperti ini harus mencari solusinya dalam landasan yang sepenuhnya valuasional dan ekstra-empiris. Resolusi akan menjadi filosofis dimana hal ini akan tergantung pada analisa va lue dan basis value. Pada waktu yang sama dengan timbulnya isu permasalahan, teori organisasi juga merupakan kontributor filosofi administratif disepanjang dimensi logis, hingga tingkatan yang membuatnya melakukan penemuan faktual dan menguji hipotesis men entang realitas obyektif. Dalam cara ini basis fakturl untuk pemfilosofian administratif akan diperluas. Jelasnya studi terhadap manusia dan mungkin juga non -manusia, organisasi merupakan hal yang penting bagi manajer, eksekutif, administrator. Pada tingka tan dimana hal ini termasuk ilmiah dengan jalan mengeksplorasi data empiris, dan termasuk logis dalam cara manipulasi konseptual, aktivitas ini memberikan sebuah landasarn untuk filosofi administratif dan pada tingkatan dimana teori organisasi di bentuk, filosofi administratif harus memberikan sebuah landasan untuknya. Di akhir pembicaraan ini mungkin kita sama -sama setuju pada setidaknya satu hal, dan hal itu adalah bahwa jika ada jenis filosofi administratif yang koheren maka hal ini harus memperhitungk an semua opini aliran pemikiran yang dihasilkan oleh teori organisasi dan semua hasil temuan empirisnya. Bahwa sebuah literatur seperti filosofi masih belum dapat dibedakan memang merupakan sebuah fakta yang mencurigakan ketika seseorang menganggap bahwa l iteratur sosiologi organisasi, psikologi sosial, psikologi dan teori sistem mengalami kemajuan dan berkembang biak dalam arah yang berkebalikan. Sains itu sendiri memiliki sebuah filosofi sains yang bagi sains itu sendiri merupakan logika formal terhadap m atematika, tapi filosofi administrasi yang berakar dari teori organisasi masih belum muncul. Perbedaan dalam paralelitas ini memiliki satu penjelasan yang memungkinkan; meski discourse sains dan matematika dapat menjadi kurang dipahami dan sulit namun para digma yang mendasarinya termasuk sederhana dan bebas -value. Sebaliknya, administrasi dan bidang penerapannya dalam organisasi mnusia membentuk sebuah kompleksifikasi dimana dalam beberapa tingkatan tertentu tidak dapat dikurangi, dan meski discourse -nya dapat disederhanakan hingga tingkatan common propert y di dalam kristalisasi bahasa ordinary, konten dasarnya tidak pernah bebas -value melainkan selalu lebih dari obyektif. Subyektivitas ini memasuki penteorian organisasi di sejumlah tempat, paling nyata dala m pembahasan tujuan organisasi dan motivasi manusia. Hal ini tertanam di teori organisasi sebuah dualisme yang melampaui struktur dan fungsi, formal dan informal, nomotetik dan idiografik terhadap pemisahan primordial fundamental antara value dan fakta, antara apa yang sebenarnya dan apa yang seharusnya.