BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN MASALAH Bab ini mengkaji landasan teori, konsep-konsep yang digunakan, dan hasil penelitian sebelumnya yang diperlukan dalam menjawab masalah penelitian yang akan dibahas dalam skripsi ini. 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Keagenan Masalah konflik agensi dalam korporasi biasanya terjadi karena pemilik perusahaan (principal) tidak dapat berperan aktif dalam manajemen perusahaan. (Eisenhardt, 1989). Mereka mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan perusahaan kepada para manajer profesional (agent) untuk bekerja atas nama dan untuk kepentingannya. Delegasi otoritas ini menyebabkan para manajer memiliki insentif untuk membuat keputusan-keputusan strategik, taktikal dan operasional yang dapat menguntungkan mereka sendiri. Menurut teori keagenan, konflik agensi terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dan para manajernya. Di satu sisi, pemilik menginginkan manajer bekerja keras untuk memaksimalkan utilitas pemilik. Namun, di sisi lain, manajer juga cenderung berusaha keras memaksimumkan utilitasnya sendiri. Teori keagenan mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa jika kedua kelompok (agent dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang. Jensen dan Meckling (1976) mengidentifikasi kos keagenan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) the monitoring expenditure by the principal adalah kos pengawasan yang harus dikeluarkan oleh pemilik; 2) the bonding cost adalah kos yang harus dikeluarkan akibat pemonitoran yang harus dikeluarkan prinsipal kepada agen; dan 3) the residual loss adalah pengorbanan akibat berkurangnya kemakmuran prinsipal karena perbedaan keputusan antara prinsipal dan agen. Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenanan yang terjadi jika pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda. Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent), yang melakukan pekerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989). Pertama, adalah masalah keagenan yang timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, adalah masalah pembagian risiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko. Dengan demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda yang dikarenakan adanya perbedaan preferensi terhadap risiko. Teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, sehingga fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Teori keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi (Eisenhardt, 1989). Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-interest), memiliki kcterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk avertion). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan. Jensen dan Meckling (1976) juga menunjukkan adanya tambahan tiga unsur yang dapat membatasi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen. Unsur-unsur tersebut adalah bekerjanya pasar tenaga manajerial, bekerjanya pasar modal dan unsur bekerjanya pasar bagi keinginan menguasai dan mendominasi kepemilikan perusahaan (market for corporate control). Agen bisa tidak bermasa depan bila kinerjanya buruk sehingga diberhentikan oleh pemegang saham. Pasar tenaga kerja manajerial akan menghapus kesempatan pengelola yang tidak mempunyai kinerja baik dan berperilaku menyimpang dari keinginan pemegang saham perusahaan yang dikelolanya. Bekerjanya pasar modal secara efisien bisa menjadi cermin kinerja manajer dari harga saham perusahaannya. Bekerjanya market for corporate control bisa menghambat tindakan menguntungkan diri pengelola sendiri dalam hal menghentikan pengelola dari jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya mempunyai kinerja rendah yang memungkinkan pemegang saham baru menggantinya dengan pengelola lain setelah perusahaan diambil alih. (Schleifer dan Vishny, 1986). 2.1.2 Asimetri Informasi Asimetri informasi merupakan suatu keadaan di mana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Ada dua tipe asimetri informasi, yaitu: adverse selection dan moral hazard. 1) Adverse selection Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan/akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihakpihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor luar. 2) Moral hazard Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakantindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendaliaan yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar. Terjadinya moral hazard dan adverse selection bias menimbulkan sejumlah implikasi serius bagi kinerja dan sustainabilitas perusahaan. Dua masalah tersebut dapat mendorong para manajer berperilaku malas dan tidak etis. Mereka dapat mengelabui pemilik dan stakeholder lainnya dalam pelaporan informasi tentang kinerja dan sumber daya ekonomi perusahaan. Selain itu, mereka dapat pula membiaskan atau mendistorsi penyajian informasi tentang peluang investasi dan prospek perusahaan (Lako, 2007). 2.1.3 Efisiensi Pasar Menurut Fama (1970) dalam Hartono (2013:548 – 553) suatu pasar modal dikatakan efisien apabila harga-harga sekuritas yang terdaftar di dalamnya secara penuh mencerminkan seluruh informasi yang relevan. Efisiensi dalam pengertian ini disebut sebagai efisiensi secara informasional. Informasi relevan yang dimaksud bisa berupa informasi masa lalu, informasi yang tersedia kepada publik, atau informasi yang tersedia baik kepada publik maupun tidak. Tingkat efisiensi pasar modal terbagi atas tiga jenis, yakni: 1) Efisiensi bentuk lemah (weak form efficiency) Pasar dianggap efisien bentuk lemah apabila harga-harga sekuritas yang terdaftar di dalamnya mencerminkan secara penuh informasi masa lalu. Efisiensi pasar bentuk lemah berhubungan dengan random walk theory yang mana menyatakan bahwa informasi masa lalu tidak dapat digunakan untuk memprediksi harga-harga sekuritas sekarang. Jadi, dalam kondisi seperti ini investor tidak bisa memperoleh abnormal return dengan memanfaatkan informasi masa lalu. 2) Efisiensi bentuk setengah kuat (semi strong form efficiency) Pasar dianggap efisien bentuk setengah kuat apabila harga-harga sekuritas yang terdaftar di dalamnya mencerminkan secara penuh informasi yang dipublikasikan. Informasi yang dipublikasikan itu sendiri dapat mempengaruhi harga saham berbagai perusahaan. Ada jenis informasi yang hanya mempengaruhi harga saham dari perusahaan yang mempublikasikan informasi tersebut, misalnya informasi laba dan pergantian CEO. Ada pula jenis informasi yang bisa mempengaruhi harga saham beberapa perusahaan, misalnya pemerintah memberlakukan peraturan perpajakan baru terhadap suatu industri. Ada juga jenis informasi yang mempunyai dampak pada harga saham seluruh perusahaan di suatu pasar modal, misalnya pemerintah menerapkan kebijakan akuntansi baru terhadap seluruh perusahaan di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini investor tidak bisa memperoleh abnormal return dengan memanfaatkan informasi yang dipublikasikan. 3) Efisiensi bentuk kuat (strong form efficiency) Pasar dianggap efisien bentuk kuat apabila harga-harga sekuritas yang terdaftar di dalamnya mencerminkan secara penuh baik informasi yang dipublikasikan maupun informasi privat perusahaan. Dalam kondisi seperti ini tidak ada satupun investor yang bisa memperoleh abnormal return karena setiap investor memiliki akses yang sama terhadap informasi privat perusahaan, sehingga tidak terjadi asimetri informasi di mana pihak tertentu mempunyai informasi lebih yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan keuntungan. 2.1.4 Laporan Keuangan 2.1.4.1 Tujuan Laporan Keuangan PSAK No. 1 (IAI, 2004) menyebutkan bahwa tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban sumberdaya-sumberdaya yang dipercayakan kepada mereka. Suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai perusahaan, meliputi: aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian serta rus kas. Informasi tersebut, beserta informasi lainya yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan membantu pengguna laporan dalam memprediksi laba dan arus kas masa depan. 2.1.4.2 Pemakai Informasi Laporan Keuangan Menurut Konsep Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (IAI, 2004) pemakai laporan keuangan meliputi investor potensial, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok, dan kreditor lainya, pelanggan, pemerintah, serta lembaga-lembaga, dan masyarakat. Mereka menggunakan laporan keuangan untuk memenuhi kebutuhan informasi yang berbeda. Beberapa kebutuhan informasi ini meliputi: 1) Investor Investor membutuhkan informasi untuk membantu mereka dalam menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi saham mereka. Pemegang saham juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam membayar dividen. 2) Karyawan Karyawan sebagai pengguna informasi keuangan tertarik dengan stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja. 3) Pemberi pinjaman Pemberi pinjaman memungkinkan mereka tertarik untuk dengan informasi memutuskan apakah keuangan yang pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo. 4) Pemasok dan kreditor usaha lainnya Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. 5) Pelanggan Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan, terutama jika mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang atau tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan. 6) Pemerintah Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaanya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena itu berkepentingan dengan aktivitas perusahaan dalam menetapkan kebijakan pajak, sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan lainya. 7) Masyarakat Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, dalam hal banyaknya orang yang dipekerjakan dan perlindungan terhadap modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya. 2.1.5 Return on Assets (ROA) Menurut Hanafi dan Halim (2003:27), Return on Assets (ROA) merupakan rasio keuangan perusahaan yang berhubungan dengan profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan atau laba pada tingkat pendapatan, aset dan modal saham tertentu. Dengan mengetahui ROA, kita dapat menilai apakah perusahaan telah efisien dalam menggunakan aktivanya dalam kegiatan operasi untuk menghasilkan keuntungan. Laba bersih (net income) merupakan ukuran pokok keseluruhan keberhasilan perusahaan. Laba dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mendapat pinjaman dan pendanaan ekuitas, posisi likuiditas perusahaan dan kemampuan perusahaan untuk berubah. Jumlah keuntungan (laba) yang diperoleh secara teratur serta kecenderungan atau trend keuntungan yang meningkat merupakan suatu faktor yang sangat penting yang perlu mendapat perhatian penganalisa di dalam menilai profitabilitas suatu perusahaan. Munawir (2001:57) menjelaskan bahwa profitabilitas atau rentabilitas digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal dalam suatu perusahaan dengan memperbandingkan antara laba dengan modal yang digunakan dalam operasi, oleh karena itu keuntungan yang besar tidak menjamin atau bukan merupakan ukuran bahwa perusahaan itu rentable. Bagi manajemen atau pihak-pihak yang lain, rentabilitas yang tinggi lebih penting daripada keuntungan yang besar. Menurut Mardiyanto (2009: 196) ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas investasi. Menurut Dendawijaya (2003: 120) rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan tersebut dan semakin baik pula posisi perusahaan tersebut dari segi penggunaan asset. Menurut Lestari dan Sugiharto (2007: 196) ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari penggunaan aktiva. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan daya tarik perusahaan kepada investor. Peningkatan daya tarik perusahaan menjadikan perusahaan tersebut semakin diminati oleh investor, karena tingkat pengembalian atau deviden akan semakin besar. Hal ini juga akan berdampak pada harga saham dari perusahaan tersebut di pasar modal yang akan semakin meningkat sehingga ROA akan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan. Menurut Lestari dan Sugiharto (2007: 196) angka ROA dapat dikatakan baik apabila > 2%. ROA dapat membantu perusahaan yang telah menjalankan praktik akuntansi dengan baik untuk dapat mengukur efisiensi penggunaan modal yang menyeluruh, yang sensitif terhadap setiap hal yang mempengaruhi keadaan keuangan perusahaan sehingga dapat diketahui posisi perusahaan terhadap industri. Hal ini merupakan salah satu langkah dalam perencanaan strategi. Dalam penelitian ini hanya menggunakan ROA sebagai proksi dari kinerja perusahaan karena penelitian ini dalam menghitung kinerja perusahaan hanya menggunakan rasio antara laba bersih sesudah pajak (net income after tax) tehadap total asset terhadap perusahaan yang melakukan pergantian CEO. 2.1.6 Pergantian Chief Executive Officer (CEO) Perubahan kepemilikan suatu perusahaan kemungkinan akan diikuti dengan redefinisi misi, visi, dan strategi bisnis, sehingga menuntut adanya restrukturisasi organisasi yang sesuai dengan formulasi misi, visi, dan strategi yang baru tersebut. Biasanya, restrukturisasi organisasi akan diikuti dengan pergantian CEO. Penggantian ini seharusnya mampu memicu peningkatan kinerja dan nilai perusahaan tersebut. Prediksi ini diperkuat oleh temuan empiris Lopezde-Silanes (1997) yang mengakui bahwa manajemen BUMN yang existing kemungkinan mengalami kesenjangan kompetensi dalam memimpin BUMN yang baru diprivatisasi untuk membawa BUMN-nya berkompetisi di pasar. Lopez-deSilanes (1997) juga menemukan adanya hubungan positif antara pergantian CEO dengan market value BUMN yang diprivatisasi. Barberis, et al. (1996) menyatakan bahwa kompetensi CEO merupakan faktor yang sangat penting dalam peningkatan profitabilitas perusahaan. Megginson, et al. (1994) juga menyimpulkan bahwa pergantian eksekutif akan mempengaruhi kinerja perusahaan, dan mereka melaporkan bahwa peningkatan efisiensi secara signifikan ternyata hanya terjadi pada perusahaan yang melakukan pergantian pada tingkatan top management-nya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari apakah pergantian pemimpin pada suatu perusahaan akan mempengaruhi kinerja dan nilai dari suatu perusahaan besar. Hannan dan Freman (1997) mendapati bahwa sesungguhnya perusahaan terutama perusahaan besar telah memiliki sistem yang memungkinkan perusahaan tersebut berjalan dengan sendirinya sehingga perubahan atau pergantian kepemimpinan tidak akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Demikian juga dengan hasil penelitian Lieberson dan O’Connor (1972) serta Mintzberg (1979) menghasilkan kesimpulan bahwa pergantian pemimpin dalam perusahaan tidak akan mempengaruhi kinerja. Gamson dan Scotch pada tahun 1964 bahkan menemukan bahwa pergantian kepemimpinan dalam suatu perusahaan merupakan ritual yang salah dan tidak mengacu pada perubahan kinerja. Sejalan dengan hasil riset di atas, Pfeffer dan Blake (1986) menemukan bahwa pengaruh yang akan muncul dari pergantian pemimpin tersebut akan menjadi penghambat pengaruh positif yang seharusnya muncul ketika terjadi proses penggantian pergantian manajer yang memiliki kinerja yang tidak baik. Sebetulnya pengaruh pergantian eksekutif perusahaan terhadap kinerja perusahaan tersebut tergantung pada kecocokan antara karakteristik pemimpin dan pekerjaan tersebut. (Gufta dan Govindarajan, 1984; Hambrick dan Mason, 1984). Berdasarkan studi ini, Lubatkin, Chung, Rogers dan Owers melakukan riset untuk menguji dua faktor yang menentukan keberhasilan proses pergantian kepemimpinan yang biasa disebut contingent factor yaitu konteks organisasi (organizational context) dan asal pengganti (successor’s origin). Dilakukan riset ini bertujuan untuk mencari faktor pengaruh pergantian pemimpin terhadap kinerja keuangan perusahaan besar. Penelitian ini diharapkan dapat mendukung anekdot dalam dunia bisnis nyata bahwa faktor kepemimpinan dapat memberi perbedaan, dapat melihat pengaruh dari pemimpin pengganti tidak saja hanya di saat perusahaan sedang dalam kondisi krisis, dalam kondisi menghadapi perubahan dan ketika sedang berkembang (Hall, 1997). Selain itu, riset ini juga bertujuan untuk mencari faktor yang tepat untuk mengukur performa perusahaan karena selama ini faktor penentu yang digunakan hanya berdasarkan ukuran akuntansi misalnya dengan mengukur return on assets serta dengan ukuran security market seperti excess returns (Scholes dan Williams, 1978). 2.1.7 Kinerja Perusahaan Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis suatu organisasi (Bastian, 2001). Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (2001), kinerja adalah suatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan kerja. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu. Pengukuran terhadap kinerja perusahaan diperlukan untuk mengetahui apakah kinerja perusahaan baik atau buruk. Kinerja perusahaan secara umum mengukur keefektifan dan keefisienan (Horngren, et al. 2000). Demikian pula menurut Hitt (1995) bahwa nilai utama yang akan dihasilkan dari evaluasi terhadap kinerja perusahaan adalah efektif dan efisien. Pengukuran kinerja perusahaan menyediakan indikator-indikator untuk mengetahui bagaimana menjalankan suatu organisasi secara baik. Aspek keuangan terlebih dahulu diukur dengan rasio keuangan. Kinerja perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan ROA (Retturn On Assets). Pengukuran kinerja dengan ROA diyakini bisa memberikan gambaran mengenai penilaian pasar terhadap perusahaan. ROA memberikan sejauh mana pasar menilai perusahaan dari berbagai aspek yang dilihat oleh pihak luar termasuk investor. 2.1.8 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Tujuan utama perusahaan menurut theory of the firm adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan (value of the firm) (Salvatore, 2005). Memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting artinya bagi suatu perusahaan, karena dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan. Menurut Husnan (2000) nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Sedangkan menurut Keown (2004) nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar. Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Nilai perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya tidak hanya pada kinerja perusahaan saat ini namun juga pada prospek perusahaan di masa depan.Suatu perusahaan dikatakan mempunyai nilai yang baik jika kinerja perusahaan juga baik. Nilai perusahaan dapat tercermin dari harga sahamnya. Jika nilai sahamnya tinggi bisa dikatakan nilai perusahaannya juga baik. Karena tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham. Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk mengukur nilai pasar perusahaan, salah satunya Tobin’s Q. Rasio ini dinilai bisa memberikan informasi paling baik, karena dalam Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004). Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004).