MANEJEMEN MARAH MENURUT AJARAN RASULULLAH MUHAMMAD S.A.W. Masrum M Noor (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) APERSEPSI Senior saya sesama hakim tinggi bercerita tentang ayahnya yang di usia tuanya sangat sensitif, pemarah yang kadang-kadang tidak pasti juntrungannya. Ketika dia bertanya kepada ayahnya; kenapa beliau tidak seperti pada masa mudanya dulu yang penyabar dan tidak pernah marah-marah, tetapi sekarang berubah, sensitif dan suka marah-marah sama anak-anak. Sang ayah menjawab; “nak.. marah dan sensi saya ini sebenarnya bawaan masa tua, oleh karena itu kalau ayah marah-marah janganlah dimasukkan dalam hati”. Setelah mendengar cerita itu semalaman perasaan saya gelisah karena pikiran saya terngiang-ngiang tentang jawaban sang ayah itu. Rupanya orang yang sudah berumur lanjut memang lebih sensitif ketimbang orang muda, sehingga orang yang sudah lanjut usia lebih sering marah-marah ketimbang orang muda. Saya salut dengan kejujuran sang ayah yang dengan sadar menjelaskan, bahwa kemarahannya bukanlah kemarahan atas kemauannya, tetapi kemarahan yang spontan, muncul tiba-tiba dan tak terkendali lantaran sensitivitas alamiah di masa tuanya. Namun di lingkungan sekitar kita ternyata banyak orang-orang muda yang mudah tersulut kemarahannya dengan sebab yang kadang-kadang sangat sepele. Bahkan sering kali hanya dengan pandangan mata, mengakibatkan perkelahian antar warga yang sulit dikendalikan. Tentu kemarahan kaum muda yang sering destruktif dan membabi buta itu bukanlah lantaran perkembangan sensivitasnya, akan tetapi karena ketidak berdayaannya memenej kemarahannya dan keberagamaannya yang sangat lemah karena nafsu amarahnya telah dikuasai oleh iblis, hingga kemanusiaannya berubah kesyetanan. MENGENAL MARAH Abu Ali Ahmad Ibnu Miskawaih, ulama ahli filsafat etika dalam kitabnya “tahdlibu alAkhlaq” menjelaskan, bahwa sesungguhnya marah itu adalah gejolak jiwa yang mengakibatkan darah mendidih dalam nafsu membalas (dendam). Jika gejolak itu sangat keras, ia akan mengobarkan api marah, akibatnya darah mendidih semakin dahsyat, sehingga seluruh urat syaraf dan otak tergelapi oleh asap pekat yang merusak dan melemahkan aktivitas benak. Dalam keadaan ini tak ubahnya seperti gua yang dipenuhi api yang berkobar hingga sangat menyesakkan. Kobaran api itu semakin dahsyat dan sulit dipadamkan, upaya apapun untuk memadamkan bukan saja sia-sia, tapi malah menambah hebatnya kobaran api tersebut. Oleh karena itu orang yang sedang marah akan tertutup mata dan telinganya dari saran dan nasehat, pada saat itu segala anjuran dan saran justru semakin memperbesar amarah. Dalam kondisi seperti itu sudah tidak ada lagi tempat untuk berfikir panjang. Ibnu Miskawaih melanjutkan penjelasannya, bahwa marah itu adalah gila sesaat yang disebabkan oleh kesombongan, kepedihan, perubahan temperamen, persaingan popularitas atau nafsu balas dendam dan dapat mengakibatkan kematian atau penyakit yang mengakibatkan kematian melalui panas yang mencekam hati. Dalam hal ini dikutip pendapat socrates: “saya lebih suka pada kapal yang diserang badai dan ombak dahsyat dibanding menghadapi orang yang sedang marah, kapal yang diterjang badai dan ombak dapat diatasi oleh awak kapal dengan berbagai cara dan alat, tapi jiwa yang sedang marah tidak dapat diselamatkan dengan alat dan cara apapun juga, sebab upaya apapun untuk meredakan marah, entah dengan nasehat, memohon atau dengan sikap menyembah sekalipun malah seperti tumpukan kayu api yang justru menambah kobaran api”. Seturut dengan penjelasan Ibnu Miskawaih diatas, mari kita arahkan pandangan kita pada perubahan temperament yang menjadi penyebab marah bagi orang-orang tua yang berada di sekitar kita. Mungkin tidak ilmiyah, tetapi memang kenyataan, bahwa orang-orang lansia atau yang telah berusia diatas 60 tahun seperti nenek-nenek kita di kampung, ratarata mudah tersinggung dan mereka gampang sekali marah-marah, meskipun hanya disebabkan oleh hal-hal yang sepele. Kurang perhatian sedikit saja sudah naik pitam, terlambat menunduk kepala kepadanya dianggap menghina, lalu marah-marah, sms karena sifatnya yang singkat, dikira sombong, lantas ngomel-ngomel. Pokoknya semua orang serba salah. Padahal sebenarnya dia yang salah. Lucunya sewaktu mereka marah, kita diam salah, apalagi kita menjawab, lebih salah lagi. Oleh karena itu, yang muda yang harus sadar, bahwa marah mereka memang bawaan lanjut usia karena secara alamiyah orang yang telah berumur 60 tahun ke-atas bawaannya memang bertemperamental tinggi. Na’uzu billahi min zalik. Yang paling berbahaya apabila sifat temperamental itu di miliki oleh orang-orang yang punya kekuasaan; Penguasa yang temperamental, pasti bawahan dan pembantunya hari-hari akan terkena sasaran kemarahannya yang penuh dengan makian: “bodoh kamu”, “syetan lue”, “lonte kau”, “asu kamu” atau kata kotor lainnya, syukur-syukur jika Penguasa itu tidak membabi buta seperti gebrak-gebrak meja, menghancurkan perabotan disekitarnya atau memecat bawahannya. Charles Spielberger Ph.D, seorang psikolog ahli tentang marah menyatakan, bahwa marah adalah eksperesi emosi manusia dan dapat berpengaruh baik secara psikologis maupun biologis. Marah itu ada yang disengaja, ada yang spontan, ada yang kunsruktif dan ada marah yang distruktif. Banyak orang yang dalam mengekspresi kemarahannya dengan diam, tetapi banyak juga yang mengekspresikan kemarahannya dengan ngomel-ngomel, memaki, bahkan banyak yang dengan membabi buta. Mana yang lebih berbahaya anatara murka dengan diam dan murka dengan berteriak-teriak sangat kasuistik. Kadang diam dalam murka bisa lebih berbahaya ketimbang dengan muring-muring atau sebaliknya, hanya saja biasanya murka dengan diam dilakukan oleh orang yang lemah atau sedang tak berdaya, sehingga diam-diam mereka mencari cara lain yang mereka sendiri bisa lakukan atau meminjam orang lain untuk menumpahkan kemarahannya dengan penuh dendam. Sedang orang yang marahnya dengan ngamukngamuk atau memaki-maki, biasanya lebih mudah reda dan lebih pendek masa kemarahannya. Hanya saja marah yang kedua ini salalu menyakitkan orang yang dimarahi dan terkesan tidak beretika. Marah yang baik adalah diam tetapi tidak dendam. TATA KELOLA MARAH Dahulu ada seorang sahabat nabi dari badui yang dengan penuh semangat berulangulang meminta fatwa kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, berikanlah fatwa kepadaku tentang islam”, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama bersabda kepadanya dengan satu kalimat pendek: “LA TAGHDLAB” (Jangan Marah). Setiap kali sahabat itu mengulangi permintaannya, maka Rasulullah selalu menjawab: “la taghdlab”, sampai-sampai sahabat itu mengira ajaran islam telah tersimpul di dalam statemen singkat Rasulullah itu. Yang dimaksud oleh Rasulullah dengan marah dengan istilah “ghadab” adalah marah-marah dengan mraco dan memaki-maki sebagaimanba telah digambarkan di atas. Terbukti kemudian, bahwa ternyata marah itu adalah kunci tumbuhnya arogansi dan pintu masuknya kejahatan. Jadi marah itu sangat membahayakan kehidupan. Pertikaian dikalangan ummat islam yang terus menerus berlangsung sejak dahulu hingga mencabikcabik persatuan ummat islam hingga hari ini, sebab utamanya adalah marah. Pertengkaran dan percekcokan antara suami dan isteri hingga mengakibatkan keluarga pecah berantakan juga di sebabkan oleh marah, demonstrasi yang terus terjadi diseluruh dunia dengan alasan apapun, pangkal penyebabnya adalah marah, buruh mogok adalah akibat dari marah, hakim yang mengancam mogok juga karena marah, bawahan melawan atasan juga karena marah, pembunuhan juga bermula dari marah dan masih banyak lagi tindak pidana dan petaka dunia yang disebabkan oleh marah. Pendek kata marah itu biang kemadlaratan dunia. Nabi Agung Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallama sebagaimana disitir dalam berbagai kitab hadits dan tarikh telah memberikan teladan yang sangat menarik. Diriwayatkan bahwa Rasulullah hanya akan marah jika ada pelecehan terhadap tauhid atau pelanggaran syari’ah. Kemarahan Rasulullah itupun dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi etika, bukan kemarahan yang bengis, murka atau ngamuk brangasan dan membabi buta. Jika beliau marah hanya ditunjukkan dengan raut muka yang berubah merah masam. Yang mengagumkan kita, kemarahan Rasulullah justru selalu diberengi dengan kasih sayang dan sifat pemaafnya, sehingga bila marah Rasulullah tidak pernah mengatakan; bodoh, goblok, tolol, gilo, syetan, bangsat, babi, bodat, asu, anjing, ketek, cukimai, lonte, kakekane, slodech, chotverdom, atau kata caci-makian yang sejenisnya, karena maaf dan kasih sayang Rasulullah berada jauh diatas murkanya, tawadlu’nya telah mampu mengalahkan kesombongannya, padahal beliau orang yang paling berkuasa. Rasulullah bersabda: “mencaci maki seorang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah kufur” (muttafaq alaih). Oleh karena itu Rasulullah telah membersihkan lisannya dari melaknat atau berkata kotor walau dengan orang kafir sekalipun. Suatu saat seorang sahabat yang bernama Abu Hurairah meminta kepada Rasulullah untuk mendoakan celaka kepada orang-musyrik, tetapi Rasulullah malahan menjawab: “Sesungguhnya aku tidak diutus menjadi tukang laknat, akan tetapi aku diutus menjadi pembawa rahmat” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, ketika ada seorang sahabat mendoakan kepada orang yang sedang mabuk-mabukan: “ semoga engkau dihinakan oleh Allah” Nabipun menasehati sahabat tersebut: “Janganlah kamu katakan ini, jangan kamu membantu syetan atas saudaramu” (HR. Bukhari). Sifat mulia Rasulullah itu telah terukir di dalam al-qur’an, surat al-taubah ayat 128 dan 129 yang artinya: “ sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatanmu, amat berbelas kasihan dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Jika mereka berpaling (mengabaikan/membangkang), maka katakanlah; Cukuplah Allah bagiku, tidak ada tuhan selain Dia, hanya kepadanya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki arasy yang agung”. Konon para dokter di Inggris dalam sebuah penelitiannya berkesimpulan bahwa ketidak mampuan mengendalikan marah telah menjadi fenomena yang berkembang dan menyebabkan kenaikan jumlah tindak pidana serta disintegrasi keluarga disamping masalahmasalah kesehatan, baik fisik maupun mental. Menurut mereka terdapat korelasi kuat antara marah dengan penyakit jantung, kanker, stroke dan frustasi. Dr. Andrew Makaloc, seorang dokter yang menjadi ketua Yayasan Perawatan Mental di Inggris mengatakan, bahwa kemarahan yang terus menerus akan mengakibatkan hancurnya kehidupan seseorang, karena akan mengakibatkan depresi, frustasi, kecemasan, kepanikan, ketakutan dan masalah psikologis lainnya. Oleh karena itu maka para ahli kejiwaan eropa serempak menyerukan agar “tidak marah” dijadikan terapi pengobatan bagi penyembuhan penyakit masyarakat. Informasi itu menjadi sangat penting jika kita kembali kepada hadit Rasulullah yang disampaikan berkali-kali kepada sahabatnya dari badui di atas.Ternyata para ahli dari kaum nashranilah yang telah mampu membuktikan kemukjizatan sepenggal kalimat sabda nabi “la taghdlab” (jangan marah) itu. Subhanallah, kita yang mengaku ummat Muhammad sering tidak ingat lagi larangan marah dari beliau itu, kadang-kadang malah ada yang berkilah; marah itu perlu, apalagi bagi yang sedang berkuasa, marah seakan menjadi syarat kepemimpinannya. Mereka berpandangan seseorang yang tidak bisa marah tidak layak jadi pemimpin. Subhanaka allahumma wabihamdika ya Allah, nastaghfiruka. Marah memang bawaan manusia dan tidak mungkin dihilangkan, tetapi islam mengajarkan agar marah dikendalikan dan ditahan seketat mungkin agar tidak berlebihan. Marah yang dilarang oleh islam adalah marah yang telah sampai kepada tingkat ghadlab. Yakni marah yang tak terkendali, seperti marah dengan memaki-maki disertai sederet namanama binatang dan kalimat-kalimat jorok dan keji sebagai mana contoh di atas hingga melakukan penghinaan, kekerasan dan pembunuhan. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda: “ Orang Islam itu disebut Muslim jika orang-orang muslim lainnya selamat dari lidah dan tangannya”. Di dalam hadits yang lain al-imam al-Bukhari dan al-Hakim meriwayatkan, bahwa nabi bersabda: “seorang mukmin bukanlah orang yang suka mengumpat, mengutuk, berkata keji atau berkata busuk”.Kesimpulan kita, bahwa marah atau tepatnya marah-marah (ghadlab) itu hukumnya haram dan tidak islamiy. Di bawah ini adalah beberapa prinsip dalam memenej marah sesuai tata kelola yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai berikut: 1. Pertama-tama yang harus kita lakukan ketika marah adalah menyadari bahwa kita sedang marah, kemudian dengan sekuat tenaga berusaha menahan diri dari kemarahan itu dengan berulang-ulang membaca ta’awudz; “a’udzu billahi mina al--syaithani alrajim” (aku berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk). (HR. Muslim). 2. Apabila dengan berta’awudz kemarahan masih tetap berkobar-kobar, maka segeralah mengambil wudlu’, 3. Apabila ketika marah posisi anda sedang berdiri atau mondar mandir, maka duduklah, 4. Jika setelah duduk kemarahan masih meledak-ledak, maka berbaringlah. Langkah ke-dua, ke-tiga dan ke-empat sebagaimana tersebut di atas ittiba’ kepada hadits Rasulullah: “sesungguhnya kemarahan itu adalah bagian dari perbuatan syetan dan syetan itu diciptakan dari api, sedangkan api itu dapat dipadamkan dengan air, maka jika diantara kamu sedang marah, berwudlulah dan jika ketika marah posisi kamu berdiri atau mondar-mandir maka segera duduklan, jika kamu sudah duduk, tetapi kemarahanmu juga masih saja meledak-ledak, maka hendaklah kamu berbaring (hadits shohih imam Ahmad). Para kyai, cerdik pandai dan beberapa guru Penulis menambahkan tips tentang caracara mengelola marah guna melengkapi tata-kelola marah menurut Rasulullah di atas sebagai berikut: 1. Pada saat anda marah, segeralah bercermin dan atau pikirkanlah, betapa jeleknya wajah anda. 2. Ketika anda marah, sadarkan dirimu, bahwa anda sedang berperang melawan syetan. Syetan sedang tertawa melihat anda marah-marah. 3. Yakinkan dirimu, bahwa marah-marah itu haram dan berdosa. 4. Ingatlah, bahwa menahan nafsu marah dan memberi maaf disediakan pahala yang sangat agung oleh Allah swt. 5. Camkan, bahwa memaki-maki, melaknat, berkata jorok dan yang sejenisnya adalah perangai orang-orang bodoh yang dibenci Rasulullah. 6. Segera cari tempat yang sepi, misalnya di pantai, lalu berteriaklah sekeraskerasnya menyebut asma Allah. Misalnya dengan takbir. TAKHTIMAH Demikiianlah islam mengajarkan; marah itu manusiawi, tetapi harus dilakukan dengan etika yang muliya; hindari marah-marah dengan kalimat kotor dan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan orang yang dimarahi. Penguasa, majikan atau pimpinan boleh marah kepada bawahan atau pembantunya, tetapi marahnya harus dimenej, sehingga marahnya menjadi marah yang konstruktif dan dilandasi kasih sayang. “LA TAGHDLAB, INSYAALLAH DUNIA AKAN DAMAI”. Wa Allahu a’lamu bi al-shawab