ANALISIS EKONOMI Antiklimaks RAPBN 2010 Senin, 10 Agustus 2009 | 02:59 WIB FAISAL BASRI Perekonomian dunia mulai sedikit berseri. Pada triwulan kedua 2009, perekonomian Amerika Serikat hanya mengalami kontraksi sebesar 1 persen, jauh lebih baik daripada triwulan sebelumnya yang menyusut 6,4 persen. Angka pengangguran pada bulan Juli turun untuk pertama kali sejak krisis keuangan meledak pada Desember 2007 menjadi 9,4 persen dari 9,5 persen pada bulan Juni. Ekspor Jerman mulai tumbuh positif 7 persen pada bulan Juli lalu. Perekonomian China pada triwulan kedua tumbuh 7,9 persen, lebih tinggi dari perkiraan. Koreksi ke atas sejumlah indikator ekonomi di sejumlah negara menumbuhkan keyakinan baru bahwa perekonomian dunia akan tumbuh lebih tinggi tahun depan. Versi terakhir Dana Moneter Internasional (IMF) yang dikeluarkan bulan lalu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan sebesar 2,5 persen, naik 0,6 persen dibandingkan dengan perkiraan yang dikeluarkan bulan April. Serangkaian indikator ekonomi Indonesia pun menunjukkan kecenderungan yang sama. Ekspor bulan Juni naik, walau hanya 1,32 persen, dibandingkan dengan ekspor bulan Mei. Indeks produksi industri manufaktur besar dan sedang sudah kembali tumbuh positif pada triwulan kedua 2009, setelah dua triwulan berturut-turut sebelumnya berada pada zona negatif. Konsumsi semen dalam empat bulan terakhir juga terus menunjukkan akselerasi. Penjualan otomotif dan sepeda motor pun merangkak naik. Arus masuk wisatawan mancanegara juga tetap mencatatkan pertumbuhan positif. Demikian pula dengan wisatawan domestik. Perkembangan positif ini mendongkrak tingkat hunian hotel hampir 5 persen, dari 47,8 persen pada bulan Mei menjadi 52,6 persen pada bulan Juni. Memang, masih ada beberapa indikator yang terus melemah. Volume angkutan barang dalam negeri lewat laut, misalnya, pada bulan Juni turun dibandingkan Mei 2009. Perbaikan indikator-indikator sektor riil beriringan dengan penguatan indikator makroekonomi jangka pendek. Laju inflasi (year-on year) selama 10 bulan turun tanpa jeda hingga mencapai tingkat terendah 2,7 persen pada bulan Juli—suatu pencapaian yang cukup menakjubkan selama sejarah perjalanan kita pascakemerdekaan. Dengan tingkat inflasi yang rendah, Bank Indonesia secara konsisten melanjutkan penurunan suku bunga acuan (BI Rate) yang sudah berlangsung selama 11 bulan berturut-turut menuju 6,5 persen pada bulan Agustus ini. Koordinasi yang lebih baik antara Bank Indonesia dan Departemen Keuangan diharapkan bisa lebih cepat menurunkan suku bunga pinjaman. Penanaman modal asing Nilai tukar rupiah cenderung mengalami penguatan hingga di bawah Rp 10.000 per dollar AS. Penguatan rupiah diharapkan bisa berkelanjutan seandainya kita bisa memanfaatkan peluang dari kecenderungan penanaman modal asing langsung yang akan lebih banyak mengalir ke negaranegara yang skala pasar domestiknya relatif besar seperti Indonesia. Bertolak dari kecenderungan itu, agaknya cukup beralasan untuk menyambut tahun 2010 dengan lebih optimistis. Apalagi mengingat pemenang pemilihan umum presiden adalah calon yang masih menjabat, dan satu putaran pula, sehingga memiliki keleluasaan untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik menyongsong era baru. Pemerintahan baru secara de facto sudah terbentuk sehingga tidak membutuhkan masa transisi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) bisa segera dirampungkan, tidak seperti pengalaman periode sebelumnya, yakni RPJM baru disahkan setahun setelah pelantikan kabinet. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen untuk tahun depan sebagaimana tercantum di dalam RAPBN 2010 tampaknya kurang sejalan dengan geliat optimisme yang sedang merekah. Selain itu, pertumbuhan 5 persen adalah awal yang kurang meyakinkan untuk mewujudkan janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang mematok target pertumbuhan rata-rata 7 persen selama periode 2010-2014. Nisbah pajak (tax ratio) yang hanya naik tipis dari 12 persen tahun 2009 menjadi 12,1 persen pada tahun 2010 kurang mencerminkan klaim pemerintah atas keberhasilan reformasi pajak dan tekad untuk bekerja lebih keras. Selain itu, asumsi nilai tukar rupiah yang dipatok Rp 10.000 per dollar AS tak sejalan dengan optimisme yang belakangan ini didengungkan oleh Menteri Keuangan dan petinggi Bank Indonesia. Jika pemerintah memandang bahwa tahun 2010 masih merupakan masa transisi dan konsolidasi mengingat imbas krisis global masih belum akan sirna, mengapa defisit APBN justru diturunkan dengan cukup drastis, dari 2,5 persen produk domestik bruto (PDB) pada tahun anggaran berjalan menjadi hanya 1,6 persen PDB untuk tahun anggaran mendatang? Bukankah masih diperlukan ekspansi anggaran untuk mengimbangi penurunan laju konsumsi masyarakat yang sudah hampir pasti terjadi mengingat tak ada lagi stimulus dan subsidi seperti bantuan langsung tunai (BLT) maupun doping yang mengalir dari padatnya agenda politik? Sebaliknya, masyarakat harus bersiap-siap menghadapi tekanan daya beli akibat kenaikan hargaharga barang dan jasa karena selama dua tahun terakhir terkesan kuat sangat dikendalikan untuk menjaga popularitas pemerintah menghadapi pemilu lalu. Sangat boleh jadi asumsi-asumsi RAPBN 2010 yang terkesan konservatif disebabkan oleh bayangbayang pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua yang melemah. Menurut prognosis pemerintah, pertumbuhan ekonomi triwulan kedua akan merosot di bawah 4 persen, lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 4,4 persen. Namun, masih cukup waktu untuk membalikkan kecenderungan pada semester kedua. Jika tidak banyak gangguan baru dan perbaikan ekonomi global terus berlanjut, tak tertutup kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun ini justru mendekati 5 persen sehingga optimisme kita semakin besar untuk memasuki tahun 2010. Ada baiknya anggota DPR menorehkan tinta emas pada akhir masa jabatannya untuk menghasilkan APBN 2010 yang lebih optimistis ketimbang rancangan pemerintah. Sepantasnya pemerintah baru nanti diberikan pekerjaan rumah yang lebih banyak dan terukur.