BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Osteoarthritis Lutut Osteoarthritis adalah penyakit degeneratif pada daerah lokal sendi yang bersifat kronis. Proses dari penyakit osteoarthritis melibatkan seluruh bagian sendi yaitu ligament, kartilago dan otot disertai adanya penyempitan ruang sendi, adanya osteofit, dan sklerosis pada X-Ray (Bennel KL dan Hinman RS, 2011). Proses ini akan menyebabkan tulang rawan sendi mengalami erosi, pembentukan osteofit (Iversen,2012), seperti ditunjukkan oleh gambar 2.1. Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang biasa dialami lansia di dunia. Sekitar sepertiga dari jumlah lansia memiliki gambaran radiologi peradangan pada sendi, meskipun lansia yang positif mengalami osteoarthritis pada lutut, tangan atau pinggul hanya 8.9% dari populasi lansia. Osteoarthritis lutut adalah tipe yang paling umum (6% dari semua lansia). Terjadinya kasus osteoarthritis meningkat seiring dengan peningkatan usia. Terjadinya osteoarthritis pada lutut lebih tinggi di antara usia 70 sampai 74 tahun, meningkat setinggi 40 %. (Michael, 2010). Gambar 2.1 Osteoarthritis Sumber : Goodman & Fuller (2009) 7 8 2.1.1. Anatomi dan Biomekanik Terapan pada Osteoarthritis Lutut Lutut memiliki fungsi biomekanik yang penting saat beraktifitas seperti saat berjalan dan berlari. Keadaan jaringan otot dan struktur tulang pada area lutut mempengaruhi stabilitas dari lutut. Terjadinya cedera pada ligamen dan kartilago adalah akibat dari adanya pembebanan atau kerja yang berlebihan pada lutut (Neumann, 2009). Sendi lutut terbentuk oleh tulang distal femur, proksimal tibia dan fibula dan pattela. Lutut terdiri dari lateral dan medial sendi tibiofemoral dan sendi patellofemoral. Gerakan pada lutut terjadi dalam dua bidang, memungkinkan fleksi dan ekstensi pada bidang sagittal dan internal dan eksternal rotasi pada bidang horizontal. Secara fungsional, jarang terjadi gerakan mandiri dari beberapa sendi di ekstremitas bawah. Sebagai pertimbangan, contohnya adalah interaksi antara pinggul, lutut dan ankle selama berlari atau memanjat atau berdiri dari posisi duduk. Hubungan kuat fungsional dalam sendi pada ekstremitas bawah terlihat dari fakta bahwa otot yang melintasi lutut juga melintasi pinggul ataupun ankle (Neumann, 2009). Sendi lutut terbentuk oleh Tibiofemoral joint dan Pattelofemoral joint. Kemudian dilapisi oleh kapsul sendi yang lentur, dan disertai beberapa jaringan konektif seperti bursa (suprapatellaris, subpopliteal, dan bursa gastrocnemius) dan ligamen-ligamen yang memperkuat dan membantu stabilitas sendi lutut seperti ligament collateral medial, ligament collateral lateral, ligament popliteal oblique, ligament cruciatum anterior, ligament cruciatum posterior, ligament tranversal, serta traktus iliotibialis (Neumann, 2009). 9 Pada sendi tibiofemoral dibentuk oleh tulang tibia dan femur dan membentuk biaxial modified hinge joint. Pada ujung permukaan tulang femur dilapisi oleh kartilago hyaline, dan pada ujung permukaan tulang tibia juga dilapisi oleh kartilago hyaline dan dilapisi oleh jaringan fibrokartilago yang membentuk meniskus. Kartilago hyaline ini berfungsi untuk mengurangi gaya friksi antar kedua permukaan tulang selama terjadinya gerakan pada sendi lutut dan meniskus berfungsi memperbaiki kongruenitas dan sebagai peredam gaya antara kedua permukaan sendi (Sudaryanto, 2011). Sendi tibiofemoral memungkinkan perpindahan berat badan dari femur ke tibia ketika perputaran sendi, rotasi bidang sagittal sendi dengan sudut kecil dari rotasi aksial tibia. Secara fungsional, grup otot quadriceps dan pergerakan patellofemoral – sepanjang dengan anterior tibialis dan sendi ankle – bertindak untuk menghilangkan penerusan momentum ketika tubuh mengalami fase berdiri dari siklus jalan (Fred Flandry, 2011). Otot pada lutut dibedakan menjadi dua grup yaitu grup ekstensor lutut dan grup fleksi-rotasi lutut. Otot quadriceps berfungsi sebagai ekstensor sendi lutut dengan arah tarikan yang berbeda-beda setiap bagian otot, sedangkan otot hamstring berfungsi utama untuk fleksor sendi lutut. Arah tarikan yang berbedabeda pada setiap bagian otot quadriceps dapat dilihat pada gambar 2.2. Otot quadriceps terdiri dari otot rectus femoris, vastus lateralis, vastus medialis, dan vastus intermedius. Sedangkan otot hamstring terdiri dari otot biceps femoris, semimembranosus, dan semitendinosus. Otot- otot ini berfungsi sebagai 10 penggerak utama dan juga berfungsi untuk stabilitas aktif sendi lutut (Neumann,2009). Gambar 2.2. Arah tarikan otot Quadricep Femoris Sumber : Neumann (2009) Bagian medial pada sendi lutut normal mendapatkan pembebanan sekitar 70% dari berat badan. Hal ini terjadi oleh karena lintasan dari vektor ground reaction force (GRF) pada sendi lutut. Lintasan GFR berjalan melewati bagian medial dan posterior lutut. Gambar 2.3 menggambarkan perbedaan lintasan GRF pada lutut normal dan lintasan GFR pada lutut dengan peradangan. Momen yang diciptakan oleh gaya pada sendi lutut ini dibentuk oleh momen gaya fleksi dan adduksi. Pada pasien dengan osteoarthritis akan terjadi peningkatan momen aduksi pada lutut (Reeves & Bowling, 2012). 11 Gambar 2.3. Lintasan GRF pada lutut normal dan lutut dengan peradangan Sumber : Reeves & Bowling (2012) Pada gambar 2.4 menunjukkan bahwa magnitude pada adduksi lutut menghasilkan penyempitan ruang sendi, melonggarnya kapsul bagian medial, timbulnya nyeri dan terganggunya aktivitas fungsional (Reeves & Bowling, 2012). Fenomena melonggarnya kapsul sendi tersebut juga dikenal dengan istilah pseudo-laxity. Gambar 2.4 Ruang sendi pada osteoarthritis dan pada lutut normal Sumber : Lidtke (2011) 12 Untuk mengatasi sensasi instabilitas sendi ini otot-otot yang memperkuat bagian medial mengalami kontraksi untuk menstabilisasi aspek medial sendi lutut, yang mana hal ini meningkatkan pembebanan pada bagian medial dan mempercepat proses degeneratif (Creaby et al., 2010). Peningkatan pembebanan di sisi medial lutut pada pasien osteoarthritis ditunjukkan oleh gambar 2.5. Gambar 2.5. Pembebanan selama berjalan pada osteoarthritis Sumber : Neumann (2009) Penurunan ruang sendi akan meningkatakan gaya reaksi pada sendi pada bagian medial selama aktivitas berjalan yang akan meningkatkan gaya friksi pada kedua permukaan sendi. Gaya friksi tersebut dapat menyebabkan nyeri yang berdampak pada inhibisi otot dan mempengaruhi aktivitas fungsional. Friksi pada kartilago akan mengganggu artrokinematika (slide & roll) pada sendi lutut, sehingga akan mempengaruhi osteokinematika sendi lutut (Neumann,2009). 13 2.1.2. Insiden Osteoarthritis Lutut Diperkirakan 42,7 juta penduduk Amerika (15% dari populasi total) mengalami osteoarthritis lutut pada tahun 1995, dan dengan melihat pertumbuhan rata- rata umur penduduk dari populasi, jumlah penderita osteoarthritis diperkirakan akan meningkat 59,4 juta penduduk (18,2%) pada tahun 2020 (Vennu, 2014). Osteoarthritis bisa menyerang berbagai sendi yang menopang berat tubuh seperti tangan, pinggul dan lutut namun osteoarthritis lutut merupakan penyakit sendi yang paling umum dan terbanyak terjadi di dunia. Prevalensi osteoarthritis pada panggul adalah 5,5%, osteoarthritis lutut 7,1% dan osteoarthritis tangan 4,3% (Mody & Wolf, 2003). Prevalensi penderita osteoarthritis di seluruh dunia adalah sekitar 9% pada laki-laki dan 18% pada perempuan (Mody & Wolf, 2003). Di Indonesia, penyakit osteoarthritis merupakan penyakit rematik yang paling banyak ditemukan pada golongan usia lanjut di Indonesia, sebanyak 50-60 %. Yang kedua adalah kelompok rematik luar sendi (gangguan pada komponen penunjang sendi, peradangan, penggunaan berlebihan, dan sebagainya). Yang ketiga adalah asam urat (gout) sekitar 6 - 7%. Sementara penyakit rematoid arthritis (RA) di Indonesia hanya 0,l % (1 di antara 1000-5000 orang), sedangkan di negara-negara Barat sekitar 3 % (Nainggolan, 2009). Gejala dari osteoarthritis lutut terjadi pada kurang lebih 6 % dari orang dewasa usia 30 tahun dan persentasenya meningkat sampai 11 % pada orang tua berusia 65 tahun. Pada penelitian rutin dimana wanita dan pria yang ditanyakan perhitungan kesehatan harian, keluhan lutut adalah gejala masalah kesehatan yang 14 umumnya dialami oleh wanita berusia 65 tahun keatas dan masalah kesehatan kedua yang umumnya dialami oleh wanita yang berusia antara 45 sampai 64 tahun. Pada pria, keluhan lutut yang dirasakan dianggap sebagai osteoarthritis yang merupakan masalah kesehatan yang biasa ditemukan (Felson, 1998). 2.1.3. Etiologi Osteoarthritis Berdasarkan kriteria American Rheumatoid Association (ARA), osteoarthritis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Osteoarthritis primer Jenis ini paling sering ditemukan, dikatakan primer karena penyebabnya tidak diketahui atau herediter dan dapat dibedakan menjadi peripheral dan spinal. Biasanya terjadi karena proses penuaan (Rekomendasi IRA, 2014). Penjelasannya karena pada orangtua, volume air dari tulang muda meningkat dan susunan protein tulang mengalami degenerasi. Akhirnya, kartilago mulai degenerasi dengan mengelupas atau membentuk tulang muda yang kecil. Pada kasus-kasus lanjut, ada kehilangan total dari bantalan kartilago antara tulang-tulang dan sendi-sendi. Penggunaan berulang dari sendi-sendi yang terpakai dari tahun ke tahun dapat membuat bantalan tulang mengalami iritasi dan meradang, menyebabkan nyeri dan pembengkakan sendi. Kehilangan bantalan tulang ini menyebabkan gesekan antar tulang, menjurus pada nyeri dan keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan dari kartilago dapat juga menstimulasi pertumbuhan pertumbuhan tulang baru yang terbentuk di sekitar sendi-sendi. Persendian yang biasa terkena yaitu jari-jari tangan, jari-jari kaki, lutut dan panggul. Namun paling banyak mengenai lutut (Shamley & Louis, 2005). 15 2. Osteoarthritis sekunder Disebut osteoarthritis sekunder karena diketahui penyebabnya. Jenis ini meliputi osteoarthritis yang timbul pada sendi yang sebelumnya sudah ditemukan adanya kerusakan atau kelainan sendi. Osteoarthritis sekunder adalah osteoarthritis yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi lain yang sudah diketahui yaitu pada post-traumatik, kelainan kongenital dan pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi, penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin, metabolik, inflamasi, imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya seperti obesitas, operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya (Rekomendasi IRA, 2014). Adanya obesitas merupakan faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya osteoarthritis lutut. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan. Studi di Chingford menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita osteoarthritis lutut secara radiografik meningkat sebesar 1,36 poin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh akan meningkatkan risiko menderita osteoarthritis lutut. Pengukuran termudah untuk mengetahui kategori berat badan berlebih bisa menggunakan IMT (Nainggolan, 2009). Kategori IMT di beberapa negara berbeda-beda, untuk kategori IMT di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.1. 16 Tabel 2.1 Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT) IMT KATEGORI <18,5 Berat badan kurang 18,5 – 22,9 Berat badan normal ≥ 23,0 Kelebihan berat badan 23,0 – 24,9 Berisiko menjadi obes 25,0 – 29,9 Obes I ≥ 30,0 Obes II Sumber : Centre for Obesity Research and Education 2007 Berat badan kurus kelihatannya tidak mempunyai perbedaan risiko dengan berat badan normal dengan sedangkan berat badan obes mempunyai resiko yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal untuk mengalami osteoarthritis. Osteoarthritis bukanlah jenis penyakit yang muncul seketika. Prosesnya melalui beberapa tahap dan bila sudah terkena biasanya menjadi kronis. Radang sendi bisa bermula dari tubuh yang kegemukan. Berat badan yang berlebih memberikan beban yang besar pada tulang sehingga mempengaruhi kesehatan sendi (Nainggolan, 2009). 2.1.4. Patogenesis Osteoarthritis Faktor patogenesis dapat dikelompokkan menjadi (1) kerusakan kartilago (misalnya dalam penyakit deposisi kristal), (2) kerusakan tulang subchondral (misalnya pada penyakit Paget’s), dan (3) kerusakan akibat pembebanan (misalnya permukaan sendi yang tidak teratur setelah fraktur intra-artikular). 17 Proses penyakit terdiri dari degradasi kartilago, pembentukan tulang baru dan synovitis kronis (Shamley & Louis, 2005). 1. Degradasi Kartilago dan Sinovitis Secara normal, perusakan dan perbaikan jaringan kartilago articular terjadi secara seimbang yang dikontrol oleh Sitokin (perusakan) dan Growth Factor (perbaikan). Namun, pada osteoarthritis lutut, lebih terjadi dominasi pada proses kerusakan kartilago. Proses degradasi kartilago pada osteoarthritis dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu: I) degradasi proteolitik pada matrix kartilago, II) Fibrilasi pada permukaan kartilago, III) Chronic Synovitis (Shamley & Louis, 2005). 2. Pembentukan Tulang Periartikular Pada osteoarthritis¸ terjadi pembentukan tulang baru dalam bentuk subchondral sclerosis serta pembentuk osteophyte. Subchondral sclerosis terbentuk saat kartilago sendi mengalami kerusakan dan menghilangnya kemampuan peredam gaya. Menghilangnya kemampuan meredam gaya tersebut, menyebabkan gaya pembebanan akan ditransmisikan langsung menuju tulang dan hal tersebut menstimulasi pembentukan tulang baru. Hal ini menjelasakan terhadap fenomena penebalan trabeculae dan peningkatan densitas tulang dibawah permukaan tulang pada titik dimana terjadinya pembebanan maksimal. (Shamley & Louis, 2005). Substansi kimia seperti Growth Factor yang dihasilkan oleh synovium juga memiliki andil dalam stimulasi pembentukan tulang baru. Tulang pada pasien dengan osteoarthritis lutut memilki kadar growth factor IGF-1, IGF-2, dan TGF-β yang lebih tinggi daripada sendi yang tidak mengalami peradangan. 18 Namun, penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan osteoarthritis, terutama pada hypertrophic osteoarthritis cenderung memiliki densitas tulang yang baik dan mengurangi resiko terjadinya osteoporosis dibandingkan orang yang normal (Shamley & Louis, 2005). 3. Sinovitis Kronis Synovial Phagocyte meliputi partikel-partikel yang berasal dari degradasi kartilago, melepasakan enzim degradatif yang memicu chronic synovitis. Synovitis diasosiasikan dengan meningkatnya produksi cytokine, kerusakan kartilago lebih lanjut, dan menyebabkan lebih banyak synovitis, yang disebut dengan cycle of destruction. Synovitis menyebabkan penebalan dan fibrosis pada kapsul sendi yang mana dapat menghasilkan deformitas sendi (Shamley & Louis, 2005). 2.1.5. Gambaran Klinis Osteoarthritis Manifestasi klinis yang khusus pada osteoarthritis lutut meliputi pembesaran tulang, nyeri, keterbatasan Range of Motion (ROM), adanya krepitasi, pembengkakan sendi, deformitas sendi, morning stiffness, dan tanda-tanda inflamasi (American College of Rheumatology, 2012). Beberapa manifestasi klinis yang dialami pasien osteoarthritis diantaranya : 1. Nyeri Nyeri adalah gejala yang paling umum dan dominan yang mewakili gejala klinis osteoarthritis lutut. Menurut kriteria diagnostik yang disarankan oleh American Collage of Reumatism pada tahun 1986, adanya nyeri lutut diperlukan untuk diagnosis klinis dari osteoarthritis lutut. Akibatnya, nyeri digunakan sebagai 19 sasaran untuk kebanyakan modalitas dalam pengobatan dan penurunan maupun peningkatan rasa sakit adalah faktor kunci dalam mengevaluasi efek dari suatu intervensi. Rasa sakit yang berasal dari struktur intracapsular, juga jaringan periartikular, misalnya otot dapat menjadi sumber rasa sakit (Henriksen, 2006). Nyeri yang dikeluhkan oleh pasien osteoarthritis lutut adalah bervariasi pada tiap-tiap individu. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nyeri pada osteoarthritis lutut antara lain : 1) Nyeri oleh karena faktor lokal adalah perubahan bentuk pada sendi yang mengalami peradangan dengan adanya osteophite dan pada kasus lebih lanjut terjadi destruksi dan instabilitas. Semua ini dapat menyebabkan abnormal kekakuan mekanik terhadap ligamen, kapsul dan struktur inervasi yang lainya, sehingga menimbulkan nyeri dan lokasi nyeri tekan. Hal ini mungkin menyebabkan timbulnya nyeri tekan dan nyeri yang tajam saat aktivitas. 2) Nyeri oleh karena faktor tulang adalah peningkatan tekanan intraosseous pada tulang subkondal yang menyebabkan hambatan aliran vena, sehingga timbulnya nyeri. 3) Nyeri oleh karena faktor otot adalah terjadi kelemahan otot pada sendi yang terlibat, sehingga terjadi kelainan fungsi otot. Dengan latihan penguatan otot akan dapat mengurangi nyeri (Diepe et al., 1995). Peranan otot quadriseps selain sebagai proteksi yang penting pada sendi lutut, dapat pula bertindak untuk mengurangi kecepatan tungkai sebelum penumpuan tumit, sehingga beban dapat berkurang. Adanya kelemahan otot quadriceps akan menambah beban pada sendi lutut sehingga dapat meningkatkan nyeri lutut yang dirasakan pasien osteoarthritis lutut. Pada kebanyakan pasien osteoartrithis lutut, nyeri yang dirasakan dikarenakan adanya kelemahan otot quadriceps (Rice et al., 2011). 20 Nyeri pada osteoarthritis lutut, terjadi pada saat menumpu berat badan dan diperberat pada saat berjalan, berlari, naik turun tangga, dari duduk ke berdiri atau jongkok-berdiri dan nyeri akan hilang jika di istirahatkan. Rasa nyeri awalnya ringan, timbul secara intermiten dan sembuh atau hilang dengan sendirinya. Nyeri pada OA dapat bertambah parah oleh adanya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dapat memperberat nyeri yang dirasakan pasien osteoarthritis ialah adanya osteofit, kekakuan,kelemahan otot dan deformitas. Faktor eksternal yang dapat memperberat nyeri diantaranya aktivitas fisik, kebiasaan olahraga dan jenis pekerjaan pasien (Rekomendasi IRA, 2014). 2. Menurunnya Range Of Motion Pada pasien osteoarthritis akan ditemukan kesulitan atau rasa kaku saat akan memulai gerakan pada kapsul, ligamen, otot, dan permukaan sendi lutut. Timbulnya osteofit dan penebalan kapsuler, spasme otot serta nyeri membuat pasien tidak mau melakukan gerakan secara maksimal sampai batas normal, sehingga mengakibatkan menurunnya keterbatasan lingkup gerak sendi. Keterbatasan gerak tersebut bersifat pola kapsuler akibat kontraktur kapsul sendi. Keterbatasan pola kapsuler yang terjadi yaitu gerak fleksi lebih terbatas dari gerak ekstensi (Kuntono, 2011). 3. Krepitasi Permukaan sendi yang kasar karena degradasi dan rawan sendi menyebabkan munculnya krepitasi yang terdengar seperti suara gesekan permukaan tulang yang kasar pada saat sendi digerakkan. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau 21 dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu (Kuntono, 2011). 4. Kelemahan Otot Quadriceps dan Atrofi Otot Sekitar Sendi Lutut Muscle Wasting atau kelemahan otot akan terjadi seiring dengan meningkatknya progresifitas dari Osteoarthritis. Penelitian telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara osteoarthritis dengan menurunnya kekuatan otot-otot utama disekitar sendi yang mengalami osteoarthritis merupakan salah satu gejala klinis yang khas dari osteoarthritis. Apabila nyeri dan kekakuan sendi berlangsung lama, maka akan terjadi penurunan penggunaan dan pergerakan otot quadriceps sehingga akan menunjukan atrofi (Kuntono, 2011). 5. Deformitas Osteoarthritis lutut yang berat akan menyebabkan destruksi kartilago, tulang, dan jaringan. Deformitas varus terjadi bila adanya kerusakan pada kompartemen medial dan kendornya ligamentum collateral lateral, serta variasi subluksasi karena perpindahan titik tumpu pada lutut atau diakibatkan oleh pembatasan adanya osteofit yang besar (Kuntono, 2011). 2.1.6. Klasifikasi Osteoarthritis Lutut Kriteria klasifikasi osteoarthritis lutut menurut Kellgren dan Lawrence dapat dijabarkan pada tabel 2.2 sebagai berikut : 22 Tabel 2.2. Kriteria Klasifikasi Osteoarthritis Lutut Menurut Kellgren dan Lawrence Deskripsi Original Alternatif A Alternatif B Alternatif C Alternatif D Grade I Penyempitan sendi Osteofit yang Kemungkinan Kemungkinan Patologi yang meragukan, meragukan hanya tampak adanya osteofit pada yang osteofit tepi meraguukan dan kemungkinan osteofit pada tepi Grade 2 Osteofit yang jelas, Osteofit yang Osteofit yang Osteofit yang jelas, Minimal dan kemungkinan jelas, tidak ada jelas, kemungkinan osteofit, adanya gangguan pada kemungkinan penyempitan sendi kemungkinan penyempitan sendi space sendi penyempitan penyempitan, sendi cyst dan sceloris Grade 3 Adanya osteofit Penyempitan Osteofit Adanya osteofit Osteofit moderat, di ruang sendi moderat dan moderat, di moderat dan beberapa tempat, yang cukup penyempitan beberapa tempat, jelas, penyempitan sendi besar dengan sendi yang jelas penyempitan sendi dengan yang jelas, osteofit yang jelas, sclerosis, penyempitan sclerosis, kemungkinan bony sendi yang kemungkinan attrition cukup besar defromitas Grade 4 Otseofit besar, Gangguan pada Osteofit besar, Otseofit besar, Gangguan penyempitan sendi ruang sendi penyempitan penyempitan sendi yang yang besar, yang parah ruang sendi yang besar, bermakna, sclerosis yang dengan sclerosis yang parah, sclerosis yang osteofiit parah, dan subchondral sclerosis. parah, dan yang besar deformitas yang deformitas yang dan jelas jelas (bony attrition) penyempitan ruang sendi yang jelas. Sumber : Schiphof D, 2011 23 2.1.7. Diagnosis Osteoarthritis Lutut Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tak dapat didasarkan hanya pada satu jenis pemeriksaan saja. Biasanya kita lakukan pemeriksaan reumatologi ringkas berdasarkan prinsip pemeriksaan GALS (Gait, arms, legs, spine). Penegakan diagnosis osteoarthritis dapat berdasarkan beberapa gejala klinis. Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus yang dapat menentukan diagnosis osteoarthritis. Pemeriksaan penunjang saat ini terutama dilakukan untuk meonitoring penyakit dan untuk menyingkirkan kemungkinan osteoarthritis karena sebab lainnya. Pemeriksaan radiologi dapat menentukan adanya osteoarthritis, namun tidak berhubungan langsung dengan gejala klinis yang muncul (Rekomendasi IRA, 2014). Untuk mendiagnosis osteoarthritis lutut, dapat digunakan pemeriksaan berdasarkan American College of Rheumatology dimana pemeriksaan ini menggunakan hasil laboratorium, radiografi dan gejala klinis yang muncul pada pasien (Tabel 2.3). Tabel 2.3 Diagnosis Osteoarthritis Lutut Berdasarkan American College of Rheumatology Klinis dan Klinis dan radiografi Klinis Nyeri lutut ditambah Nyeri lutut ditambah Nyeri lutut ditambah dengan dengan sedikitnya lima dengan sedikitnya tiga dari enam hal dari satu dari tiga hal Laboratorium Sembilan hal berikut : menit berikut : berikut : Usia > 50 tahun Kekakuan sedikitnya < 30 Usia > 50 tahun Usia > 50 tahun Kekakuan < 30 Kekakuan < 30 menit menit 24 Krepitasi Krepitasi dan Krepitasi Nyeri tulang Osteofit Nyeri tulang Pembengkakan (penampakan Pembengkakan tulang osteofit dapat tulang Perabaan tidak Diperoleh dengan Perabaan tidak hangat pemeriksaan hangat Laju endap darah < Rontgen) 40 mm/jam Faktor Rheumatoid 1:40 Terdapat cairan synovial OA 92% sensitive, 91% sensitive 95% sensitive 75% specific. 86% specific 69% specific Keterangan: tanda cairan synovial osteoarthritis adalah jernih, viskus atau jumlah sel darah putih kurang dari 2000/mm3. Sumber : Rekomendasi IRA, 2014 2.2. Nyeri pada Osteoarthritis Lutut 2.2.1. Efek Kelemahan Otot dan Instabilitas dalam Peningkatan Nyeri pada Osteoarthritis Lutut Seseorang dengan osteoarthritis pada lutut ditemukan mengalami kelemahan kelemahan otot pada otot quadriceps, dengan defisit kekuatan sekitar 20% - 45% jika dibandingkan dengan kekuatan otot pada orang normal. Kelemahan otot quadriceps yang persisten merupakan kondisi klinis yang sangat penting pada pasien osteoarthritis lutut karena mempengaruhi gangguan stabilitas pada lutut dan kemampuan fungsional penderita (Rice et al., 2011). Selebihnya, 25 otot quadriceps memilki fungsi protektif pada persendian lutut dimana otot quadriceps bekerja secara eksentrik selama fase awal menapak (stance phase) dan berperan untuk memperlambat (deselerasi) pergerakan tungkai saat menuju fase heel strike dengan tujuan untuk menurunkan gaya impulsif menuju lutut (Brandt et al., 2008). Kelemahan pada otot quadriceps diasosiasikan dengan meningkatnya ratarata pembebanan pada sendi lutut (Rice et al., 2011). Beberapa data menunjukkan bahwa semakin besar gaya tension yang dihasilkan otot quadriceps akan melindungi lutut dari beberapa insiden nyeri, kehilangan kartilago, serta penyempitan ruang sendi tibiofemoral (Segal et al., 2010). Stabilitas pada sendi lutut memerlukan gaya internal dalam magnitude yang untuk melawan gaya eksternal yang dialami oleh lutut. Otot quadriceps dinyatakan mampu meredam gaya pada lutut dan menyediakan stabilitas dinamis. Kelemahan otot quadriceps dapat merubah stress kontak pada kartilago artikular yang diasosiasikan dengan insiden nyeri lutut dan dapat berkontribusi terhadap kejadian osteoarthritis lutut (Segal et al., 2010). Kelemahan otot, nyeri, dan gagguan fungsional membentuk sebuah siklus pada pasien dengan osteoarthritis lutut. Dalam siklus tersebut, dinyatakan bahwa kelemahan otot menghasilkan pembebanan yang abnormal pada sendi lutut dan dikaitkan dengan instabilitas, dimana pembebanan yang abnormal pada lutut tentunya memicu nyeri di sekitar persendian. Nyeri yang dialami pasien kemudian membatasi aktivitas fungsional pasien yang kemudian akan memperberat 26 kelemahan otot yang dialami pasien. Siklus tersebut terus berputar dan mempengaruhi progresifitas penyakit tersebut (Iwamoto et al., 2011). 2.2.2. Efek Nyeri pada Penurunan Kemampuan Fungsional Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan pada jaringan. Perubahan fungsi pada nyeri memicu respon protektif dengan maksud untuk menjaga agar kerusakan jaringan tetap minimal. Kapasitas pengalaman nyeri memiliki fungsi protektif. Jika kerusakan jaringan tidak dapat dihindarkan, akan terjadi perubahan bertahap pada sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat yang bertanggung jawab terhadap persepi nyeri (Henriksen, 2006). Banyak teori yang menjelaskan mekanisme nyeri yang terjadi dan bagaimana nyeri tersebut dirasakan. Mekanisme nyeri diawali oleh adanya stimulus noxious pada reseptor sensorik yang kemudian dilanjutkan melalui empat tahap yaitu: transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Transduksi adalah suatu proses dimana terjadi konversi daripada energy panas, mekanis, atau kimia menjadi sebuah energy listrik yang dilakukan oleh reseptor sensoris yang bernama nociceptor. Transmisi merupakan mekanisme penghantaran energi listrik yang diterima oleh nociceptor menuju ke medulla spinalis dan otak. Persepsi merupakan pemaparan atau penggambaran sinyal listrik tersebut menjadi sebuah pengalaman sensoris. Modulasi merupakan suatu mekanisme inhibisi yang mempengaruhi transimsi nyeri di level spinal cord (International Association for Study of Pain , 2014). 27 Pada osteoarthritis lutut, nyeri terjadi sebagai akibat adanya kontak antara kedua permukaan tulang. Pada sendi yang normal, kedua permukaan tulang pembentuk sendi ditutupi oleh jaringan kartilago yang tidak memiliki persarafan sensoris di dalamnya, sehingga kontak pada kedua permukaan kartilago ini tidak menghasilkan input sensoris (Kuntono, 2011). Namun pada sendi yang mengalami osteoarthritis, degenerasi kartilago dan subchondral scelorosis menyebabkan terjadinya kontak antara kedua permukaan tulang yang dimana tulang memiliki persarafan sensoris dan free nerve ending yang berfungsi sebagai nociceptor K. Pembentukan tulang (osteophyte) juga memiliki peran terhadap timbulnya nyeri pada kondisi osteoarthritis (Kuntono, 2011). 2.2.3. Indeks Pengukuran Fungsional pada Osteoarthritis Lutut WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities Osteoarhtritis Index) adalah indeks yang digunakan untuk menilai keadaan pasien dengan osteoarthritis pada lutut (Choundhary & Kishor, 2013). Sibel Basaran et al mengemukakan bahwa semua subskala dan WOMAC total memiliki konsistensi internal dan validitas yang lebih memuaskan dibandingkan dengan Lequesne. Validitas WOMAC berkisar antara 0,78-0,94, sedangkan reliabilitasnya antara 0,80 - 0,98 untuk OA lutut. Oleh karena itu, WOMAC dapat digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian. Total 24 parameter yang terdiri dari nyeri, kekakuan (stiffness), fungsi fisik dan sosial dievaluasi menggunakan WOMAC. WOMAC juga dapat digunakan untuk memantau perkembangan penyakit atau untuk menentukan efektivitas obat anti-rematik (Susilawati et al., 2015). Semakin tinggi nilai yang diperoleh 28 menunjukkan besarnya keterbatasan fungsional pasien sedangkan nilai yang rendah menunjukkan perbaikan kemampuan fungsional. Parameter WOMAC antara lain (1) adanya nyeri yang mana aspek yang dinilai saat berjalan kaki, menaiki anak tangga, melakukan aktivitas pada malam hari, saat istirahat dan saat menumpu (2) adanya kekakuan pada pagi hari dan kekakuan sepanjang hari (3) keadaan fungsi fisik pasien meliputi kesulitan turun tangga, kesulitan naik tangga, kesulitan dari posisi duduk ke berdiri, kesulitan berdiri, kesulitan duduk di lantai, kesulitan berjalan pada permukaan datar, kesulitan masuk dan keluar dari kendaraan, kesulitan berbelanja, kesulitan memakai kaos kaki, kesulitan berbaring di tempat tidur, kesulitan melepaskan kaus kaki, kesulitan bangun dari tempat tidur, kesulitan masuk dan keluar kamar mandi, kesulitan duduk , kesulitan melakukan tugas – tugas berat serta kesulitan melakukan tugas-tugas ringan (AAOS, 2013). 2.2.4. Penilaian dan Interpretasi Indeks WOMAC 1. Penilaian WOMAC menghasilkan nilai algofungsional yang dapat diperoleh melalui kuesioner untuk mengukur nyeri sendi dan disabilitas pasien osteoarthritis lutut. Dalam kuesioner tersebut, jawaban dari masing-masing pertanyaan diberi skor 0 sampai 4. Setiap skor mewakili keadaan yang dirasakan pasien. Keterangan mengenai skor pada pertanyaan kuisioner WOMAC dapat dilihat pada tabel 2.4. Selanjutnya skor dari 24 pertanyaan dijumlah, dibagi 96 dan dikalikan 100% untuk mengetahui skor totalnya. Semakin besar skor menunjukkan semakin berat nyeri dan disabilitas pasien osteoarthritis lutut tersebut, dan sebaliknya. 29 Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Indeks WOMAC Skor Keterangan 0 Tidak 1 Ringan 2 Sedang 3 Parah 4 Sangat Parah 2. Interpretasi Hasil penilaian indeks WOMAC dapat diinterpretasikan sesuai dengan jumlah skor yang didapatkan. Tabel 2.5 Intepretasi Nilai Indeks WOMAC Jenis Pemeriksaan Total Skor Keterangan Sakit 0 Minimum 20 Maksimum 0 Minimum 8 Maksimum 0 Minimum 68 Maksimum 96 Maksimum Skor Kekakuan Fungsi Fisik Total Keterangan Hasil skor WOMAC: Minimum skor total: 0 Maksimum skor total: 96 30 2.3. Ultrasound 2.3.1. Definisi Bunyi/ suara adalah peristiwa getaran mekanik dalam bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu dengan frekuensi yang variabel. Berdasarkan frekuensinya, bunyi/suara dibagi menjadi : infrasonik (<20 Herzt), audio sonik (20 – 20.000 Herzt) dan ultrasonik (>20.000 Herzt) (Pusdiknakes, 1993). Ultra Sound adalah gelombang suara yang merupakan getaran mekanik di dalam sebuah medium yang mudah berubah bentuk atau elastis dengan frekuensi antara 20 dan 20.000 Hertz. Gelombang suara yang digunakan adalah gelombang longitudinal yang dalam frekuensi tersebut dapat diregistrasi oleh telinga manusia untuk mengurangi nyeri 1-2 w/cm2 kontinyu (serabut saraf) selama 3-5 menit, 0,51 w/cm2 kontinyu (akar saraf dan ganglia) selama 3-4 menit atau pulsed selama 68 menit diberikan selama 15 menit di setiap pengobatan sebanyak 5 kali setiap 2-3 hari sekali (Pusdiknakes, 1993). 2.3.2. Fisika Dasar Ultrasound Ultrasound dibentuk oleh gelombang suara dengan frekuensi tinggi yang dihasilkan oleh generator piezoelectric yang terdapat pada ujung transduser. Transduser dibentuk oleh Kristal piezoelectric seperti quartz dengan ketebalan sekitar 2-3 mm. Kristal piezoelectric ini berfungsi mengkonversi energi listrik yang didistribusikan menjadi energi akustik melalui deformasi yang dihasillkan oleh Kristal piezoelectric. Pada transduser ultrasound, terdapat permukaan yang benar-benar menghasilkan gelombang suara yang disebut dengan effective 31 radiating area (ERA). Ultrasound memiliki beberapa jenis transduser dengan ukuran ERA yang berbeda-beda. Besarnya area yang diobati harus lebih besar sekitar 2 hingga 3 kali dibandingkan dengan ukuran ERA (Draper & Pretince, 2005). Ultrasound terapi memiliki rentangan frekuensi antara 0,75 hingga 3.0 MHz. Dalam ultrasound terapi, frekuensi yang umumnya digunakan adalah 1 MHz dan 3 MHz. Frekuensi pada ultrasound menentukan dalamnya penetrasi yang dihasilkan. Penggunaan frekuensi 1 MHz mampu melewati jaringan superfisial dan utamanya diabsorpsi pada jaringan yang lebih dalam pada kedalaman 2 hingga 5 cm. Sedangkan pada frekuensi 3 MHz, energi yang dihasilkan diserap utamanya pada jaringan superfisial sehingga menghasilkan penetrasi yang lebih dangkal sekitar 1 hingga 3 cm (Draper & Pretince, 2005). Ultrasound dapat menghasilkan dua jenis gelombang yaitu gelombang countinuous dan pulsed. Pada gelombang continuous, gelombang yang dihasilkan tetap konstan selama pengaplikasian dan energi yang dihasilkan sebesar 100%. Dengan pulsed ultrasound, intensitas yang ditransmisikan akan diinterupsi secara periodik sehingga memiliki fase on-time dan off-time. Dengan penggunaan gelombang pulsed, rata-rata intensitas yang dihasilkan menjadi berkurang (Draper & Pretince, 2005). Amplitudo merupakan besarnya gelombang arah dari suatu gelombang. Amplitudo dideskripsikan sebagai pergerakan partikel dalam suatu medium. Dalam ultrasound terapi, amplitude digambarkan sebagai besarnya intensitas yang 32 dihasilkan oleh generator. Intensitas merupakan power yang dihasilkan per unit area dengan satuan W/cm2 (Draper & Pretince, 2005). 2.3.3. Efek – Efek Ultrasound terhadap Tubuh Secara umum, energi ultrasonik menyebabkan molekul jaringan lunak bergetar dari paparan kompresi dan penghalusan yang disebabkan oleh gelombang akustik. Gerak molekul meningkat menyebabkan gesekan antara molekul mikro dan panas gesekan yang dihasilkan, sehingga meningkatkan suhu jaringan (Allen, 2006). Penjelasan efek- efek ultrasound secara khusus pada tubuh ialah : 1. Efek Mekanik Jika gelombang ultra sound masuk ke tubuh efek pertama yang muncul adalah efek mekanik. Adanya gelombang longitudinal menyebabkan adanya pemempatan dan peregangan dengan frekuensi yang sama menghasilkan variasi tekanan di dalam jaringan. Variasi tekanan merupakan efek mekanik yang disebut efek micromassage. Adanya variasi tekanan tersebut akan menghasilkan perubahan volume dari sel-sel tubuh sebesar 0,02%, perubahan permeabilitas dari membran sel dan membran jaringan, dan mempermudah proses metabolisme (Pusdiknakes, 1993). Melalui efek nonthermal penggunaan ultrasound dapat menghasilkan kavitasi dan microstreaming pada pergerakan molekul. Hal tersebut merangsang pelepasan histamin dari mast cells yang meningkatkan transport ion kalsium melintasi membran sel sehingga merangsang pelepasan histamin. Histamin menarik polimorfonuklear leukosit, bersama dengan monosit yang fungsi utamanya adalah untuk melepaskan agen chemotactic dan faktor pertumbuhan yang merangsang fibroblast dan sel endotel untuk membentuk 33 kolagen, vascularized digunakan untuk pengembangan jaringan ikat baru yang sangat penting untuk perbaikan yang cepat. Dengan demikian pemakaian ultrasound dengan efek non-thermal dapat efektif dalam memfasilitasi proses penyembuhan terutama pada kondisi kerusakan jaringan akut (Draper & Pretince, 2005). 2. Efek Panas Micromassage yang ditimbulkan dari ultrasound akan menimbulkan efek panas dalam jaringan. Efek panas yang diproduksi tidak sama untuk setiap jaringan tergantung dari beberapa faktor yang ditentukan diantaranya bentuk aplikasi ultrasound (kontinyu/ terputus-putus), intensitas, lamanya terapi dan keoefisien absorpsi (Pusdiknakes, 1993). Dari peningkatan temperatur jaringan tersebut akan menghasilkan pemanjangan serat kolagen pada tendon dan kapsul sendi, penurunan kekakuan sendi, pengurangan spasme otot, modulasi nyeri, peningkatan aliran darah, dan respon inflamasi ringan yang dapat membantu dalam resolusi peradangan kronis. Peningkatan suhu 10C membantu meningkatkan metabolisme dan proses penyembuhan, peningkatan suhu 20-30C mengurangi nyeri dan spasme otot, dan peningkatan 40C meningkatkan ekstensibilitas kolagen dan mengurangi kekakuan sendi (Draper & Pretince, 2005). 3. Efek Fisiologis Gelombang ultrasound dapat menginduksi respon pada sel, jaringan, dan organ melalui efek thermal dan efek non-thermal secara signifikan. Jaringan yang 34 mengalami kerusakan memiliki respon yang lebih tinggi terhadap energi ultrasound dibandingkan dengan jaringan yang normal (Draper & Pretince, 2005). 2.3.4. Dosis Pemberian Ultrasound Dosis merupakan hasil perkalian antara intensitas dan lamanya terapi. Dalam menentukan dosis terapi dengan menggunakan ultra sound harus memperhatikan beberapa faktor diantaranya memilih frekuensi yang berbeda, memilih gelombong kontinyu atau terputus-putus, pilihan arus gelombang disesuaikan dengan efek terapi yang ingin dicapai (Pusdiknakes, 1993). Gelombang terputus-putus akan memberikan dosis yang rendah. Bila menginginkan efek panas terapis dapat memilih gelombang kontinyu. Jaringan mana yang akan diterapi serta bagaimana aktualitas kondisinya. Prinsip menggunakan terapi ultra sound tidak boleh terjadi rasa sakit di jaringan (Speed, 2001). 2.3.5. Indikasi dan Kontraindikasi Ultrasound Indikasi pemberian ultrasound dibedakan berdasarkan efek yang diinginkan. Indikasi untuk pemberian continuous ultrasound adalah ketika efek utama yang diinginkan adalah peningkatan temperatur jaringan seperti pada beberapa kondisi seperti adanya jaringan parut, kontraktur sendi, inflamasi kronis, spasme otot, nyeri, meningkatkan ekstensibilitas kolagen, regenerasi jaringan, tendonitis kronis, epicondylitis, phantom pain, dan lain-lain Sedangkan pada pulsed ultrasound baik dipakai pada kondisi cidera akut, inflamasi akut dan sub akut, dan aktualitas nyeri yang tinggi (Allen, 2006). 35 Kontraindikasi pemberian ultrasound adalah paparan langsung kepada daerah malignan, pada kehamilan, adanya implan plastik, daerah yang mengalami hemmorhagic, daerah yang mengalami ischemic, daerah yang mengalami infeksi, adanya pace-maker, pada daerah ephyphysial plate, thrombotic, pada daerah mata, gonad, dan medulla spinalis pasca laminectomy, dan total joint replacement. (Allen, 2006). 2.3.6 Ultrasound untuk Osteoarthritis Lutut Pemberian modalitas Ultrasound banyak memberikan manfaat dalam terapi pada pasien dengan osteoarthritis. Pengaruh mekanik, pengaruh thermal dan pengaruh biologis yang dipilih dapat menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis (Suja, 2014). Sebuah penelitian yang dilakukan di Mexico menyebutkan adanya pengaruh penurunan nyeri dan peningkatan fungsional pasien osteoarthritis lutut grade 2 menurut Kellgren and Lawrence setelah pemberian ultrasound (Sanchez et al., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Levent Ozqonene, Ebru Ayketin dan Gulis Durmusoqlu tentang “A Double Blind Trial of Clinical Effect of Therapeutic Ultrasound in Knee Osteoarthritis” untuk menentukan efektivitas US pada osteoarthritis lutut. meningkatkan fungsi fisik dan memperbaiki tulang rawan pada penderita osteoarthritis lutut. Hasil penelitian menunjukan bahwa US adalah modalitas yang aman dan efektif dalam menghilangkan rasa sakit dan peningkatan fungsi pada pasien osteoarthritis lutut. Hal tersebut dikarenakan US memanfaatkan energi mekanik yang dirubah menjadi bentuk gelombang suara melalui kristal yang menghasilkan efek piezoelektrik sehingga menyebabkan 36 pemanasan pada jaringan yang lebih dalam sehingga efek thermal yang dihasilkan dapat menimbulkan efek fisiologis seperti peningkatan aliran darah, peningkatan metabolisme jaringan, perubahan aktivasi neuromuskuler yang menyebabkan relaksasi otot dan penurunan nyeri (Ozqonene et al., 2009). Beberapa uji klinis kualitas tinggi mengemukakan keuntungan – keuntungan dari penggunaan ultrasound dalam rehabilitasi (Iversen, 2012). Pemberian ultrasound sebagai modalitas standard yang diberikan pada pasien osteoarthritis banyak dilakukan di klinik fisioterapi di Bali terutama di Daerah Badung merupakan hal yang biasa menimbang manfaat pemberian US yang dapat membantu menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis dengan efek yang dimiliki. 2.4. Closed Kinematic Chain Exercise Closed kinematic chain exercise melibatkan pergerakan yang dimana bagian distal segmen berada dalam keadaan stabil (fixed) pada bagian permukaan. Dalam latihan jenis ini, pergerakan pada salah satu sendi menyebabkan pergerakan simultan pada bagian distal yang disertai dengan pergerakan pada bagian sendi proximal. Closed kinematic chain exercise pada umumnya dilakukan dalam keadaan Weight Bearing (Colby & Kisner, 2007). Contoh gerakan dari closed kinematic chain exercise dapat dilihat pada gambar 2.6. 37 Gambar 2.6 Closed Kinematic Chain Exercise (Sumber : Colby & Kisner, 2007) Berbeda dari open kinematic chain exercise, pada closed kinematic chain exercise tidak akan didapatkan kontraksi otot yang bersifat individual, melainkan juga akan terjadi kontraksi oleh grup-grup otot yang sinergis yang berkontribusi dalam gerakan substitusi selama proses latihan ini. Selama closed kinematic chain exercise pasien lebih menggunakan kemampuan otot-otot untuk menstabilisasi dalam mengontrol pergerakan sendi yang dituju, serta mengontrol gerakan sendi proksimal serta distal dari sendi yang dituju (Colby & Kisner, 2007). Bentuk-bentuk latihan closed kinematic chain exercise pada penderita osteoarthritis lutut merupakan kombinasi dari half squats dan wall slides. Berikut rincian bentuk latihan: 1. Half Squates Latihan ini dilakukan untuk mengembangkan masa otot dan tenaga. Squat dikatakan sebagai ‘King of Exercise’, gerakan dasar/kompon nomor 1 untuk paha, latihan yang paling berat, melibatkan paling banyak otot, dan merangsang pengeluaran hormon pertumbuhan (Growth Hormone=GH) paling besar. Latihan 38 ini dilakukan pada posisi berdiri dengan kaki selebar bahu, letakkan tangan di pinggang. Rendahkan dan tekuk lutut seperti ketika akan duduk sampai mencapai sudut 900. Posisi kepala dan punggung tetap lurus. Kembali berdiri seperti semula dan ulangi gerakan yang sama. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 6-12 repetisi (Darren, 2015). Gambar 2.7 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Half Squates (Sumber: Darren, 2015) 2. Wall Slides Wall slides adalah latihan yang efektif untuk meningkatkan otot quadriceps. Gambaran latihan wall slides dapat dilihat pada gambar 2.8. Latihan ini dilakukan pada posisi berdiri tegak pada tembok, tempelkan punggung dan posisikan kaki sesuai dengan lebar bahu pasien. Perlahan-lahan tekuklah lutut pasien, kemudian gerakan punggung kebawah sampai lutut pasien tertekuk 45 derajat dan tahan sampai hitungan kelima. Angkat kembali punggung pasien sampai lutut pasien lurus. Ulangi langkah diatas 8-12 kali jika pasien tidak mengalami kesulitan melakukannya maka tingkatkan repetisi latihan dan modifikasi wall slides dengan menggunakan satu kaki atau dapat menambahkan berat dengan cara meletakkan beban ditangan. Keuntungan lain yang diperoleh 39 dari latihan ini adalah juga dapat meningkatkan keseimbangan (Emrani et al., 2006). Gambar 2.8 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Wall Slides (Sumber: Perfomance Physical Therapy + Fitness, 2016) 2.4.1. Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Closed Kinematic Chain Exercise pada Pasien Osteoarthritis Lutut Pada latihan ini, akan terjadi aproksimasi sendi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan open kinematic chain exercise. Aproksimasi sendi ini berdampak pada menurunnya gaya potong (shear) antara kedua permukaan sendi selama terjadinya pergerakan. Aproksimasi sendi yang terjadi selama closed kinematic chain exercise ini dapat meningkatkan kongruenitas pada sendi yang akan berkontribusi terhadap peningkatan kestabilan sendi (Colby & Kisner, 2007). Posisi closed kinematic chain exercise dilakukan dalam keadaan weightbearing, banyak penelitian yang melaporkan bahwa closed kinematic chain exercise dapat menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan sendi, memfasilitasi ko-aktivasi daripada sekelompok otot agonis dan antagonis (ko-kontraksi) yang selanjutnya meningkatkan stabilitas dinamis. Selama posisi squat, otot hamstring dan otot quadriceps melakukan kontraksi secara bersamaan untuk mengontrol 40 pinggul dan lutut. Pada ekstremitas atas, closed kinematic chain exercise dalam posisi menumpu berat badan menghasilkan ko-aktivasi pada otot-otot yang menstabilisasi scapula dan glenohumeral, sehingga hal tersebut berdampak pada peningkatan stabilitas dinamis pada shoulder complex (Colby & Kisner, 2007). Awareness (kesadaran) terhadap posisi sendi atau gerakan merupakan salah satu pondasi penting dalam proses pembelajaran motoris (motor learning) selama latihan pada fase awal yang berperan sebagai kontrol neuromuscular selama pergerakan fungsional. Diperkirakan bahwa closed kinematic chain exercise menyediakan stimulus proprioseptif dan kinestetik yang lebih besar jika dibandingkan dengan open kinematic chain exercise. Secara teori, hal tersebut dikarenakan kontraksi multiple yang dihasilkan selama menumpu berat bedan, menghasilkan lebih banyak reseptor sensoris pada otot, struktur intraartikular dan ekstraartikular yang terstimulasi untuk mengontrol gerakan. Elemen menumpu berat badan (pembebanan axial) selama proses closed kinematic chain exercise menyebabkan aproksimasi pada sendi, hal ini menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan reseptor disekitar sendi untuk meningkatkan input sensoris dalam proses kontrol gerakan. Closed kinematic chain exercise merupakan pilihan utama dalam meningkatkan keseimbangan dan kontrol postural selama posisi tegak (Colby & Kisner, 2007). 2.5. Open Kinematic Chain Exercise Open kinematic chain exercise merupakan suatu bentuk latihan dengan gerakan satu sendi, hanya terjadi pergerakan pada segmen distal tanpa disertai 41 pergerakan segmen proksimal. Open kinematic chain exercise pada umumnya dilakukan pada posisi Non-Weight Bearing (Colby & Kisner, 2007). Menurut Yudha, 2007 bahwa latihan yang melibatkan satu sendi (single join exercise) lebih efektif dalam meningkatkan kekuatan per group otot dimana sebagian besar gaya beban akan diterima. Pada latihan jenis ini, bagian distal dari segmen yang akan dilatih dapat bebas bergerak, tanpa melibatkan pergerakan pada sendi di sekitarnya. Dalam open kinematic chain exercise, pembebanan yang diberikan diaplikasikan pada bagian distal dari segmen yang bergerak (Colby & Kisner, 2007). Gambar 2.9 Open Kinematic Chain Exercise (Sumber : Colby & Kisner, 2007) Open kinematic chain exercise lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan otot secara individual. Individual diartikan sebagai kontraksi pada salah satu otot saja atau satu kelompok otot saja. Selama Openkinematic chain exercise, akan dihasilkan kontrol gerakan yang lebih baik karena hanya terjadi pergerakan sendi tunggal saja dibandingkan dengan Closed 42 kinematic chain exercise yang terjadi pergerakan pada multiple joint (Colby & Kisner, 2007). Latihan Open kinematic chain exercise pada dasarnya dilakukan dalam keadaan tidak menumpu berat badan (non-waeight bearing) karena itu, latihan jenis ini tepat diberikan pada keadaan dimana menumpu berat badan (weightbearing) merupakan kontraindikasi atau pada kondisi dimana terjadinya keterbatasan LGS yang sangat signifikan. Latihan jenis ini juga sangat tepat digunakan pada keadaan inflamasi akut seperti adanya tanda-tanda pembengkakan dan nyeri. Pada Open kinematic chain exercise, stabilisasi diaplikasikan oleh fisioterapis dengan melakukan manual kontak pada bagian proksimal sendi. Kontrol pergerakan yang lebih besar pada open kinematic chain exercise dapat bermanfaat pada fase awal dalam proses rehabilitasi (Colby & Kisner, 2007). Bentuk-bentuk latihan open kinematic chain pada penderita osteoerthritis lutut merupakan kombinasi dari leg extension dan leg curl. Berikut rincian bentuk latihan: 1. Leg Curl Latihan ini dapat membantu meningkatkan definisi otot paha bagian belakang terutama otot hamstring. Ini merupakan gerakan isolasi untuk paha belakang. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 6-12 repetisi (Darren, 2015). Posisi saat melakukan leg curl dapat dilihat pada gambar 2.10. 43 Gambar 2.10 Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Curl (Sumber : Colby & Kisner, 2007) 2. Leg Extension Latihan ini dapat membantu meningkatkan definisi otot quadriceps. Duduk pada bangku leg extension dan posisikan kaki di belakang bantalan penyangga. Dorong dan ekstensikan kaki (luruskan) setinggi mungkin, tahan sebentar lalu kembali ke posisi semula. Gambaran gerakan leg extension dapat dilihat pada gambar 2.11. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 612 repetisi (Darren, 2015). Gambar 2.11 Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Extension (Sumber: human kinetics, 2016) 44 2.5.1. Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Open Kinematic Chain Exercise pada Pasien Osteoarthritis Lutut Ko-aktivasi pada otot agonis dan otot antagonis terjadi selama proses latihan open kinematic chain exercise. Beberapa latihan yang bersifat open kinematic chain yang dapat menghasilkan ko-aktivasi tersebut antara lain seperti metode stabilisasi dalam PNF (Stabilizing Reversal, Rhythmic Stabilization). Latihan ini juga dapat meningkatkan kekuatan otot fleksor dan ekstensor knee yang kemudian dapat meningkatkan stabilisasi daerah lutut . Meningkatnya stabilitas di daerah lutut akan mencegah pembebanan yang berlebih pada sendi lutut dan mengurangi nyeri (Iwamoto, 2007). Beberapa peneliti menyebutkan bahwa open kinematic chain exercise dengan intensitas tinggi memiliki efek samping pada sendi yang tidak stabil, cidera, atau sendi yang sedang berada dalam proses penyembuhan akut (Colby & Kisner, 2007). 2.6 Perbandingan Closed Kinematic Chain Exercise dengan Open Kinematic Chain Exercise Closed kinematic chain exercise merupakan suatu metode penerapan resistance exercise dimana dalam pemberian latihan, pasien berada pada posisi menumpu berat badan dan tungkai kontak langsung dengan permukaan dasar. open kinematic chain exercise adalah suatu latihan gerak aktif yang melibatkan satu otot dan sendi saja (single joint) dan tanpa disertai pergerakan pada segmen proksimalnya (Kinandana, 2015). 45 Penelitian yang dilakukan oleh Sadhana Verma di India menunjukkan bahwa pemberian closed kinematic chain exercise dan open kinematic chain exercise pada pasien dengan osteoarthritis menunjukkan penurunan skala WOMAC yang meliputi penurunan nyeri, penurunan kekakuan dan peningkatan aktivitas fungsional tubuh pada pasien osteoarthritis (Verma, 2012). Penelitian lainnya yang dilakukan di poliklinik RSUD Kota Mataram tahun 2014 menunjukkan pemberian closed kinematic chain exercise dapat meningkatan aktivitas fungsional tubuh lebih signifikan daripada pemberian open kinematic chain exercise (Susilawati et al, 2015). Pada penelitian yang dilakukan oleh Meylisa Putri di Surakarta pada tahun 2014 menunjukkan bahwa pemberian closed kinematic chain exercise menunjukkan hasil yang lebih signifikan daripada open kinematic chain exercise dalam meningkatkan aktivitas fungsional pasien. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan di daerah Badung pada tahun 2015 menunjukkan bahwa pemberian closed kinematic chain exercise sama baik dengan open kinematic chain exercise dalam menurunkan skala WOMAC yang meliputi penurunan nyeri, penurunan kekakuan serta peningkatan aktivitas fungsional. Pada prinsipnya closed kinematic chain exercise adalah latihan yang menguatkan otot agonis dan antagonis secara bersamaan dan merupakan latihan yang lebih fisiologi untuk anggota gerak bawah, dimana latihan ini melibatkan sendi hip, knee dan ankle. Dengan posisi trunk tegak dan pada saat hip fleksi 150, pada keadaan ini otot quadricep berfungsi sebagai penggerak fleksi, dan otot hamstring berfungsi sebagai pengerak ekstensi dan pada saat knee fleksi 300, 46 maka kerja otot tersebut menjadi berbeda, dimana otot quadriceps sebagai kontraksi eksentrik untuk mengontrol fleksi lutut dan group otot hamstring sebagai kontraksi konsentris untuk mengontrol ekstensi lutut atau memperpanjang lutut, paha belakang dan ankle fleksi 100 yang mana disini otot yang bekerja adalah otot soleus berfungsi untuk menstabilkan tibia, otot tibialis anterior sebagai kontraksi eksentrik dan otot gastrocnemius sebagai kontraksi kosentrik dari sendi ankle selain itu gastrocnemius berfungsi sebagai daya penggerak, walaupun pada kondisi ini ankle hanya berfungsi sebagai stabilisasi tubuh. Dengan penguatan yang melibatkan lingkup gerak sendi yang dapat terjadi perubahan panjang otot akan dapat menguatkan otot secara bersamaan antara otot agonis dan antagonis. Sehingga untuk meningkatkan kemampuan fungsional pada sendi lutut, latihan ini lebih efektif daripada open kinematic chain exercise, yang mana pada latihan ini hanya menekankan pada statik kontraksi pada satu group otot saja (Ayunanda, 2014). Perbedaan karakteristik closed kinematic chain exercise dan open kinematic chain exercise dapat dilihat pada tabel 2.6. Tabel 2.6 Karaktersitik Closed Kinematic Chain Exercise dengan Open Kinematic Chain Exercise Open Kinematic Chain Exercise Bagian distal segmen dapat bergerak bebas Pergerakan sendi secara individual, Closed Kinematic Chain Exercise Bagian distal tetap kontak dengan permukaan Gerakan sendi yang saling tidak ada pergerakan pada sendi berhubungan dengan sendi di sekitar sekitarnya dan membentuk pola Pergerakan pada segmen tubuh terjadi Pergerakan pada segmen tubuh 47 pada bagian distal dari sendi terkait terjadi pada bagian distal dan proksimal sendi terkait Terjadi aktivasi pada otot, terutama otot prime mover Terjadi aktivasi pada beberapa grup otot, baik distal maupun proksimal dari sendi terkait Dilakukan dalam posisi tidak menumpu berat badan Tahanan diberikan pada segmen distal yang bergerak Dilakukan dalam posisi menumpu berat badan Tahan diberikan secara multiple pada segmen yang bergerak Peggunaan beban eksternal Penggunaan beban axial Stabilisasi eksternal biasanya Stabilisasi internal oleh aktivasi otot, diperlukan (secara manual atau menggunakan peralatan) Sumber : Colby &Kisner, 2007 kompresi sendi, dan kontrol postural