TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman cabai besar (Capsicum annuum L.) menurut sejarah berasal dari Peru. Pada abad ke-15 baru menyebar ke benua Eropa dan Arnerika. Bangsa Eropa inilah yang menyebarkan ke daerah-daerah tropis seperti Indonesia (Rukmana 1996). Tanaman ini mempunyai manfaat yang bermacam-macam, misalnya digunakan sebagai rempah dan bahan pengobatan. Cabai mengandung vitamin A dan C yang cukup tinggi. Cabai besar (Capsicum annuum L) termasuk tanaman semusim yang berbentuk perdu, mempunyai akar yang menyebar. Penyebaran akamya dangkal sehingga cabang dan rambut akar banyak terdapat di permukaan tanah, dan semakin ke dalam akar-aka. tersebut semakin berkurang. Akar horizontal cepat berkembang di dalam tanah dan menyebar dengan kedalaman 10 - 15 cm (Messiaen 1992). Tanaman ini mempunyai batang tegak, tingginya 50 - 90 cm dari permukaan tanah. Daun berbentuk lonjong dan bagian ujungnya meruncing. Panjang daun antara 4 - 10 cm, dan lebarnya antara 1,5 - 4 cm. Cabai besar berbunga tunggal, yang keluar dari ketiak-ketiak dam. Posisi bunga menggantung, dan memiliki 5 - 6 daun mahkota bunga. Panjang bunga biasanya 1 - 1,s cm, lebar 0,5 cm dan panjang tangkai bunga 1 - 2 cm. Tangkai putik berwarna putih, panjangnya sekitar 0,5 cm. Sedangkan kepala putiknya berwarna kekuning-kuningan. Tangkai sari berwarna putih dengan panjang sekitar 0,5 cm. Kepala sarinya yang belum matang berwarna biru atau ungu (Rukmana 1996). Struktur buah cabai besar terdiri atas kulit, daging buah clan sebuah plasenta tempat melekatnya biji. Bentuk buahnya memanjang antara 1 - 30 cm dan setelah tua berwarna merah kecoklatan sarnpai merah tua. Biji buah berwarna kuning kecoklatan (Prajnanta 1999). Di Indonesia tanaman cabai telah dikenal secara luas di kalangan para petani. Sentra produsen cabai sekarang ini tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga di luar pulau Jawa. Berdasarkan data Departemen Pertanian bahwa luas areal panen cabai pada tahun 1999 di Indonesia mencapai 183.347 hektar dengan produksi sebesar 298.856 ton. Produktivitas rata-ratanya sebesar 1,63 tonlha (Deptan 2000). Produksi ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata produksi dunia 9,5 tonha. Berdasarkan data Informasi Hortilcultura dan Aneka Tanaman, Deptan (2000) produsen terbesar cabai adalah daerah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Tanarnan cabai ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga berpeluang besar menjadi salah satu komoditas ekspor yang unggul. Berdasarkan data ekspor komoditi hortikultura, cabai merah telah berhasil diekspor ke negara Singapura, Taiwan, Emirat Arab dan Arab Saudi. Jenis-jenis cabai yang sudah dibudidayakan secara komersial dan berkembang di Indonesia ada 2 spesies, yaitu cabai besar (Capsicum annuum L.) dan cabai kecil (Capsicum fmtescens L.). Cabai besar di kenal 3 varietas, yaitu cabai merah (varietas longurn), cabai keriting, dan cabai paprika (varietas grossum). Perbedaan varietas cabai merah besar dengan cabai merah keriting terletak pada morfologi buahnya. Cabai merah besar ukuran buahnya besar, panjang, ujungnya runcing, dan rasanya sedikit pedas serta agak manis. Buah pada saat muda berwarna hijau, dan setelah tua menjadi merah. Sedangkan cabai merah keriting ukuran buahnya panjang, runcing, kecil dan rasanya lebih pedas dari cabai merah besar. Disamping itu kulit buah agak tipis serta diameter buahnya lebih kecil dibanding cabai merah besar (Messiaen 1992; Rukmana 1996). Biologi Reproduksi Tanaman Pengetahuan tentang cara perkembangbiakan tanaman sangat penting bagi pemuliaan tanaman, karena dapat menentukan metode seleksi yang dipergunakan untuk memperoleh varietas unggul yang diharapkan. Cara perkembangbiakan tanaman secara seksual menggunakan 2 bagian organ reproduktif, yaitu mikrosporofil (androesium) dan megasporofil (ginoesium) (Kaufinan 1989; Sedgley & Griffin 1989). Mikrosporofil (Androesium) Menurut Crepet (1983); Sedgley & Griffin (1989) androesium adalah keseluruhan benang sari (stamen) yang terdiri atas kepala sari (anter) dan tangkai sari (filamen). Kepala sari yang matang mempunyai 2 kantung (lokus). Di dalam kantung ini terdapat serbuk sari (polen) yang jurnlahnya banyak sekali. Proses ringkas terbentuknya inti sperma berawal dari sebuah sel induk serbuk sari (mikrospora) dalam kepala sari (anter) yang mengalami dua kali meiosis. Meiosis pertama menghasilkan sepasang sel haploid. Meiosis kedua menghasilkan 4 mikrospora haploid. Tiap mikrospora tersebut mengalami karyokinesis, sehingga memiliki 2 inti haploid. Inti tersebut adalah inti generatif dan inti saluran serbuk sari. Setelah terbentuk serbuk sari, inti generatif membelah membentuk 2 inti sperma (Kaufinanl989; Sedgley & Griffi 1989). Sebutir serbuk sari yang telah matang mengandung 3 inti haploid, yaitu sebuah inti salur- an serbuk sari (inti vegetatif) dan dua buah inti sperma (inti generatif) (Satifah & Darjanto 1990; Suradinata 1998). Megasporofil (Ginoesium) r Menurut Suradinata (1998) karpel yang secara keseluruhan disebut alat kelamin betina (ginoesium) adalah megasporofil yang melipat memanjang, yang menutup satu atau lebih bakal biji. Megasporogenesis adalah proses pembentukan megaspora di dalam ovarium (Satifah & Darjanto, 1990). Proses awal terbentuknya inti sel telur adalah dimulai dari sebuah sel megaspora dalam ovulurn. Kemudian sel megaspora mengalami proses meiosis dua kali, sehingga menghasilkan 4 megaspora haploid. Tiga diantaranya mengalami degenerasi dan mati, sedangkan yang satu mengalami pembelahan secara mitosis 3 kali berturut-turut tanpa diikuti pembelahan plasma. Hasilnya sebuah sel besar yang mengandung 8 inti haploid yang disebut kantung embrio (Kaufman 1989; Sedgley & Griffin 1989). Tiga dari 8 inti ini menempatkan diri di dekat mikrofil, tetapi dua diantaranya mengalami degenerasi (sinergid). Inti yang ketiga ini berkembang menjadi sel telur yang nantinya akan dibuahi oleh inti sperma. Tiga buah inti lainnya bergerak ke arah yang berlawanan lalu mengalami degenerasi pula (antipoda). Kemudian 2 inti yang tersisa bersatu di tengah kantung ernbrio dm membentuk sebuah inti diploid yang nantinya akm dibuahi f nti s p m a membentuk endosperma (Kaufman 1989; Satifah & Darjanto 1990;Suradinata I 998). Untuk lebih jelasnya tahapan pertumbuhan dm perkem- bangan megaspom &pat dilihat pada Gambar 1. Kandung E d l l o Garnbar 1. Tahap perhmbuhan dm perkembangan megaspom pada tanaman (dari Kaufman, 1989). Penyerbukan dan Pembuahan Serbuk sari yang telah matang akan melekat di kepala putik oleh berbagai vektor. Kepala putik yang reseptif akan mengeluarkan lendir. Lendir ini mengandung larutan gula dan zat-zat lain yang dibutuhkan untuk perkecambahan serbuk sari. Serbuk sari yang telah melekat di kepala putik akan menyerap lendir tadi, lalu akan menggembung dan berkecambah. Kemudian membentuk tabung serbuk sari yang memanjang dan masuk ke dalam tangkai putik. Tabung serbuk sari melekat pada ovulum dan masuk ke dalarn kantung embrio lewat mikrofil (Satifah & Darjanto 1990; Suradinata 1998). Di dalam tabung serbuk sari terdapat tiga inti haploid, yaitu inti saluran serbuk sari terdapat di depan sedang kedua inti spenna mengikuti dibelakangnya. Kedua inti spenna masuk ke kantung embrio. Salah satu inti spenna bersatu dengan inti sel telur dan membentuk zigot diploid, yang kemudian &an berkembang menjadi embrio. Inti spenna lainnya bersatu dengan inti diploid yang merupakan hasil penyatuan dari dua inti kutublinti polar yang menghasilkan inti triploid (3n). Setelah mengalami pembelahan berkali-kali, inti triploid ini akan membentuk jaringan besar yang berisi zat makanan untuk pertumbuhan embrio, yang biasa disebut endosperma atau putih lembaga (Crepet 1983; Kaufinan 1989; Satifah & Darjanto 1990). Pembuahan akan berjalan normal, bila serbuk sari dan inti sel telur dalam keadaan sehat dan subur (fertil). Oleh karena itu serbuk sari harus mempunyai daya turnbuh yang tinggi, sedang kepala putik hams merupakan medium yang baik untuk perkecambahan dan pertumbuhan serbuk sari. Untuk lebih jelasnya proses pembuahan pada tanarnan dapat dilihat pada Gambar 2. Garnbar 2. Proses pembuahan dm embriogenesis pada tamman dik~til (dari Kaufman, 1989). Usaha-Usaha Mendolpatkan Twnaman Haploid Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai jumlah kromosum yang sama dengan jumlah kromosom pada garnetnya (Wanimena 1992). Tanaman ini dapat dipergunakan untuk pembentukan galur murni. S e m alami tanaman haploid dapat terjadi, namun fiekuensinya sangat kecil sekali. Pierik (1987) menyebutkan cara-cara mendapatkan tanaman haploid baik secara in vivo maupun secara in vitro. Secara in vivo, tanaman haploid diperoleh dengan cara-cara: (1) Ginogenesis yaitu perkembangan sel telur yang tidak dibuahi sebagai hasil persilangan antar jenis. (2) Androgenesis, perkembangan sel telur yang mengalami eliminasi, intinya diganti oleh inti gamet jantan. (3) Eliminasi genom, perkembangan zigot yang mengalami eliminasi salah satu genomnya sebagai hasil persilangan antar jenis atau antar marga. (4) Semigami, inti sel telur dan inti sel generatif serbuk sari berkembang dan menghasilkan khimera haploid. (5) Perlakuan kimiawi untuk mengeliminasi kromosom. (6) Pemberian kejutan dengan suhu tinggi atau rendah, dan (7) Radiasi dengan sinar X atau sinar UV. Tanaman haploid yang dihasilkan dengan cara in vitro dapat diperoleh melalui: (1) Kultur kepala sari, yaitu kepala sari yang telah diisolasi dari tanaman induk ditumbuhkan dalam medium buatan secara aseptik. (2) Kultur serbuk sari, yaitu serbuk sari dalam tingkat perkembangan tertentu diisolasi dari kepala sari, kemudian ditumbuhkan dalam medium sintetis. (3) Kultur perbungaan, seluruh perbungaan ditumbuhkan dalam medium buatan secara aseptik. (4) Kultur embrio yaitu penyelamatan embrio dari hasil persilangan antar jenis atau antar marga. Embrio ditumbuhkan secara aseptik dalam medium buatan. (5) Fertilisasi semu ailtar marga yang kemudian ditanam dalam kultur buatan secara aseptik. (6) Penumbuhan ovul yang tidak dibuahi dalam kultur buatan secara aseptik, dan (7) kombinasi antara radiasi gamet dan kultur ovarium. Menurut Foroughi & Wenzel(1994), tanaman haploid diperoleh melalui dua cara: spontan dan secara induksi. Cara induksi diterapkan pada proses androgenesis dan partenogenesis. Pada androgenesis tanaman haploid dapat diperoleh melalui kultur anter, kultur floret, dan kultur mikrospora. Sedangkan pada partenogenesis tanaman haploid dapat dihasilkan melalui pseudogami, menggunakan gen-gen khusus, persilangan dengan tingkat ploidi yang berbeda, kultur ovul, dan penyelamatan embrio setelah kromosomnya tereliminasi. Tanaman haploid yang berasal dari gametofit betina berupa kantung embrio dan sel telur disebut partenogenesis. Untuk menghasilkan tanaman haploid, maka metode ini menerapkan pemisahan sel telur yang belum dibuahi, lalu diregenerasikan secara in vitro (Foroughi & Wenzel, 1994). Proses partenogenesis sama dengan proses ginogenesis, yaitu perkembangan dari bunga betina dengan diinduksi serbuk sari yang belum masak, atau serbuk sari yang diradiasi, dan juga dari serbuk sari kerabat jauh (Pierik 1987; Yang & Zhao 1990; Foroughi & Wenzel 1994). Proses ini telah dilakukan oleh Cuny et al. (1993) pada tanaman Cucumis melo L) yang dikombinasikan dengan cara in vitro. Keberhasilan Ginogenesis In Vitro Keberhasilan dalam induksi ginogenesis in vitro untuk menghasilkan tanaman haploid sangat ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut Yang & Zhou (1990); Mukhambekzhanov (1997) faktor tersebut terutama adalah umur gino- genesium, genotipe tanaman, komposisi medium kultur, serta metode dan kondisi kultur. Sedangkan menurut Pierik (1987), selain faktor-faktor tersebut keberhasilan induksi genogenesis in vitro ditentukan pula oleh suhu, cahaya, oksigen, dan kondisi pertumbuhan tanaman induk. Medium kultur untuk induksi ginogenesis adalah medium yang lengkap dan spesifik dibanding dengan kultur organ yang lain. Kultur embrio muda membutuhkan medium lebih lengkap dan spesifik daripada embrio dewasa (Yang & Zhou 1990). Biasanya zat pengatur tumbuh BAP dan IAA ditambahkan ke dalam medium untuk merangsang proses diferensiasi atau dediferensiasi. Jenis dan konsentrasinya akan mempengaruhi arah pertumbuhan eksplan. Auksin adalah zat pengatur turnbuh yang berperan dalam pembesaran sel dan diferensiasi akar @odds & Robert 1995). Auksin berpengaruh pula terhadap pembentukan kalus, senyawa etilen, buah partenokarpi, dominasi apikal dan respirasi (Wattimena 1988). Salah satu jenis auksin yang digunakan untuk menginduksi eksplan menjadi tanaman adalah indoleacetic acid (IAA). Pada konsentrasi optimum 0.1 mgll IAA dapat merangsang pembentukan tanaman pada kultur anter Nicotiana tabacum (Nitsch & Nitsch 1969). Pada kultur in vitro sitokinin berpengaruh terhadap pembelahan sel (Wattimena 1988). Benzylamino purine (BAP) merupakan sitokinin yang banyak digunakan dalam kultur in vitro. Seperti yang dilaporkan oleh Sukamto (1998), penambahan BAP pada medium MS dapat meningkatkan fi-ekuensi terbentuknya embrio somatik belimbing. BAP adalah zat pengatur turnbuh yang berfbngsi untuk merangsang terbentuknya tunas-tunas. Kombinasi BAP dan IAA pada konsentrasi BAP yang tinggi dan IAA yang rendah cocok untuk regenerasi , pengakaran dan pemanjangan tunas (Christopher & Rajam 1996). Sedangkan bila menggunakan kombinasi BAP dan IAA yang hampir seimbang, maka yang terinduksi adalah kalus. Seperti hasil penelitian Kesaulya (1996), penggunaan BAP 1,35 mg/l dan IAA 1,05 mg/l hanya mampu menginduksi pembentukan kalus dari jaringan somatik serbuk sari kentang kultivar ASX 5. Pernberian Gibberellic acid (GA3) pada tanarnan menyebabkan pertambahan panjang batang, menambah luas dam, dan menambah besar bunga serta daun (Wattimena 1988). GA3 pada konsentrasi 1 mg/l medium tidak meningkatkan pembentukan embrio, tetapi memacu pembentukan tunas pada kultur anter Nicotiana spp. (Nitsch & Nitsch 1969). Pada konsentrasi 1 mgfl medium, GA3 menyebabkan pemanjangan hipokotil dan menghasilkan tanaman yang kurus serta klorosis. Sukrosa merupakan sumber karbon yang paling baik dan biasa dipakai dalam kultur embrio, tetapi glukosa dan fruktosa terkadang juga dapat dipakai (Yang & Zhou 1990; Dodds & Roberts 1995). Selain sebagai sumber karbon, sukrosa berfiingsi pula sebagai pengatur tekanan osmotik yang sangat penting bagi embrio muda. Embrio dewasa biasanya tumbuh baik dalam kadar gula 2-3%, sedangkan embrio muda pada kadar 8 - 12% (Pierik 1987). Peningkatan konsentrasi gula dalam media kultur ternyata menghambat pembesaran sel somatik dan pembentukan kalus, namun dapat merangsang pembelahan sel dari serbuk sari. Frekuensi pembentukan embrioid tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan kandungan gula sebanyak 10% dan terendah pada kadar 2% pada media tumbuh tanpa zat pengatur turnbuh (Gandawidjaja 1997). Redenbaugh et al. (198 1) dalam Gandawidjaja (1997), menyatakan bahwa pembentukan tanaman dihaploid pada kultur anter Ulmus americana makin meningkat dengan adanya interaksi antara kandungan gula dengan zat pengatur tumbuh dalam media kultur. Untuk mencapai keberhasilan pada kultur ginogenesis, khususnya kultur embrio atau biji muda maka vitamin, ekstrak malt, air kelapa dan kasein hidrolisat sering pula ditambahkan pada medium kultur. Ekstrak tersebut mengandung beberapa asam amino yang merupakan sumber nitrogen yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan embrio selanjutnya (Yang & Zhou 1990; Dodds & Roberts 1995). Selain itu stadium perkembangan ginoesium (ovarium dan ovul) sangat penting untuk keberhasilan induksi tanaman haploid. Pada penelitian Castillio dan Cistue (1993), bahwa penginduksian ovarium Hordeum vulgare untuk membentuk tanaman haploid terjadi pada kantung embrio stadium trinucleate, sedangkan pada tanaman barley kantung embrionya berada pada stadium uninuclear (berinti satu). Metode dan kondisi kultur sangat mempengaruhi keberhasilan induksi ginogenesis dalam membentuk tanaman haploid. Seperti yang dikatakan Mukharnbetzhanov (1997), pengisolasian ovarium dan ovul biasanya ditumbuhkan pada kondisi suhu 22 - 26 "C, namun kadang-kadang juga dapat diturnbuhkan pada suhu rendah yaitu 20 - 21 OC. Beberapa hasil penelitian telah dilaporkan bahwa umur tanaman untuk sumber eksplan, dan kondisi kultur sangat berpengaruh terhadap respons morfogenetik didalam memacu pertumbuhan kultur ovarium untuk membentuk tanaman haploid (Honkanen et al. 1992). Menurut Mukhambetzhanov (1997) bahwa untuk menginduksi tanaman menjadi haploid sangat bergantung pada genotipe tanaman. Dilaporkan bahwa frekuensi untuk mendapatkan tanaman haploid terhadap perbedaan genotipe tanaman hanya 0,2 sampai dengan 1,I%. Interaksi antara umur biji muda dengan media dan kombinasi zat pengatur tumbuh dapat mempercepat proses perkecambahan biji muda cabai. Seperti yang dilaporkan Supena dan Suharsono (1997) media MS dengan kombinasi ZPT 0,l mgll BA + 0,5 mgll GA3 dan 0,l mg/l BA + 0,s mg/l IAA + 0,s mg/l GA3 mempercepat perkecambahan serta menginduksi perakaran pada biji muda cabai. Mukhambetzhanov (1997) melaporkan pula bahwa ada beberapa tanarnan yang telah berhasil diinduksi menjadi tanaman haploid melalui kultw ovarium yang tidak dibuahi yaitu Nicotiana tabacum, Triticum aestivum dan Beta vulgaris Efek Radiasi Sinar Gamma Menurut Djojosoebagio (1988) bahwa sinar gamma termasuk dalam kelompok radiasi elektromagnetik. Terjadinya kerusakan-kerusakan akibat radiasi bergantung kepada besarnya energi yang diserap oleh organisme. Satuan dosis radiasi dinyatakan sebagai banyaknya energi yang diserap oleh satu kesatuan benda disebut rad (radiation absorbes dose). Satu rad saka dengan penyerapan dosis radiasi sebanyak 100 erg oleh bahan yang diradiasi (Bosemark et at. 1994; van Harten 1998). Salah satu efek yang ditimbulkan oleh radiasi pada organisme adalah terjadinya mutasi. Mutasi adalah perubahan-perubahan yang permanen pada struktur DNA (Bosemark et al. 1994). Mutasi gen terjadi karena perubahan pada struktur primer dari DNA.Mutasi gen dapat terjadi karena substitusi, tambahan ataupun hilangnya satu atau lebih basa-basa di dalam sebuah molekul DNA (Bosemark et 01. 1994; van Harten 1998). Substitusi dapat timbul karena pasangan yang keliru pada susunan basa pada saat terjadinya proses replikasi. Kekeliruan di dalam pasangan dapat ditimbulkan karena terjadinya ionisasi pada basa-basa dan karena pergeseran secara tautomeris di dalam posisi atom-atomnya. Sedangkan penambahan atau kehilangan satu atau beberapa nukleotida akan menyebabkan mutasi ubah kerangka. Mutasi kromosom dapat disebabkan karena kerusakan benang gelendong atau tefhambatnya pembentukan bakal dinding sel, sehingga pembagian sel tidak dapat terbentuk setelah proses mitosis tejadi (Bosemark et al. 1994). DNA sangat sensitif terhadap radiasi, sehingga radiasi sinar gamma dapat menyebabkan perubahan DNA makhluk hidup (van Harten 1998). DNA memiliki peranan yang sangat penting di dalam sel, maka perubahan molekul ini akan menimbulkan efek atau gangguan dalam aktivitas sel. Serbuk sari cabai yang telah diradiasi yang digunakan untuk penyerbukan menyebabkan terbentuknya buah dan biji cabai yang berukuran kecil dibanding dengan hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang tidak diradiasi (Fahrni 1996). Berbagai penelitian tentang pengaruh radiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah dilikukan. Raquin (1984) dalam Suharsono (1993) menggunakan serbuk sari Petunia yang telah diradiasi untuk penyerbukan dalam rangka mendapatkan tanaman haploid. Demikian pula Suharsono (1993) yang meradiasi serbuk sari tanaman Nicotiana tabacum untuk menghasilkan tanaman haploid dengan menggunakan dosis 600, 1000, 2000 Gy. Daya kecambah serbuk sari tembakau yang telah diradiasi 2000 Gy masih mencapai 65%, dan tidak berbeda nyata dengan yang tidak diradiasi. Abak & Caglar (1999), telah meradiasi serbuk sari ketimum (Cucumis sativus L.) untuk mendapatkan tanarnan haploid. Penggunaan dosis 300 Gy pada serbuk sari yang digunakan untuk penyerbukan, hanya menghasilkan 25 - 35% tanaman haploid. Demikian pula Faris et al. (1999) yang meradiasi serbuk sari ketimun untuk pembentukan embrio haploid. Pada Cucumis melo, Cuny et al. (1993) mendapatkan buah dan biji yang dihasilkan dari penyerbukan dengan menggunakan serbuk sari yang diradiasi dengan dosis 0,15 dan 1,6 kGy tidak berbeda nyata dengan yang dihasilkan dengan serbuk sari normal. Namun pada dosis 2,s kGy hanya menginduksi embrio sekitar 3,4%. Dari pembentukan embrio ini dapat menghasilkan 70% tanarnan haploid. Radiasi sinar gamma sering dipakai pula dalam usaha pernuliaan tanaman (Wattimena 1992; Zottini et al. 1997). Pada tanaman semangka, dosis 800 Gy yang diberikan pada serbuk sari yang digunakan untuk penyerbukan dapat menyebabkan buah yang terbentuk berbiji kecil dan jumlahnya sedikit dibanding dengan yang yang tidak diradiasi (Sugiyama & Morishita 1998). Demikian pula pada pir Jepang kultivar Hosui buah yang terbentuk dari hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang telah diradiasi 20 Gy menghasilkan buah dan biji lebih sedikit dibanding dengan yang tidak diradiasi (Kotobuki et al. 1998). Organ generatif (serbuk sari) cabai (Capsicum annuum L.) dapat diradiasi dengan sinar