II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut

advertisement
[Type text]
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty
2.1.1 Biologi
Rumput laut terdiri atas beberapa jenis yaitu karaginofit, agarofit dan
alginofit. Jenis tersebut beberapa diantaranya sudah diketahui dan dapat
digunakan di berbagai industri. Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung
bahan utama polisakarida karaginan, agarofit mengandung agar-agar, dan
keduanya termasuk golongan rumput laut merah (Rhodophyceae). Alginofit
adalah rumput laut coklat (Phaeophyceae) yang mengandung polisakarida alginat.
Rumput laut karaginofit merupakan salah satu yang paling dibutuhkan dalam
berbagai jenis industri baik makanan, kertas, kosmetik hingga obat-obatan.
Rumput laut ini antara lain berasal dari marga Eucheuma yang salah satunya
tersebar di wilayah Indonesia yaitu Kappaphycus alvarezii Doty.
Alga merah mengandung pigmen fotosintetik berupa karotin, xantofil,
fikobilin, terutama r-fikoeritrin (penyebab warna merah) dan klorofil a dan d yang
dalam dinding selnya terdapat selulosa dan produk fotosintesis berupa karaginan,
agar, furcelaran dan porpiran. Karaginan merupakan dinding sel polisakarida
yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari rumput laut tertentu pada
bangsa Gigartinales (Caceres et al., 1996).
Secara taksonomi Doty (1988) dalam Guiry (1998), menyebutkan bahwa
K. alvarezii diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Biliphyta
Phylum
: Rhodophyta
Subphylum
: Eurhodophytina
Class
: Florideophyceae
Subclass
: Rhodymeniophycidae
Order
: Gigartinales
Family
: Areschougiaceae
Genus
: Kappaphycus
Species
: Kappaphycus alvarezii Doty
[Type text]
[Type text]
K.
4
alvarezii
merupakan
salah
satu
jenis
rumput
laut
merah
(Rhodophyceae). Menurut Doty (1985) dalam Neish (2003), Eucheuma cottonii
berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan
termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut
Kappaphycus alvarezii. Nama daerah cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa
dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional.
Ciri umum fisik K. alvarezii adalah mempunyai talus silindris, permukaan
licin dan cartilagenous (menyerupai tulang rawan/muda). Keadaan warna tidak
selalu tetap, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna
sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu
proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan
berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Penampakan talus bervariasi mulai
dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada talus runcing memanjang,
agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari talus. Percabangan bersifat
alternates (berseling), tidak teratur, serta dapat bersifat dichotomus (percabangan
dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga). Percabangan ke
berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah
basal (pangkal). Di alam, rumput laut ini, tumbuh melekat ke substrat dengan alat
perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan
membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya
sinar matahari (Atmadja, 1979).
Perkembangbiakan rumput laut dapat terjadi melalui dua cara yaitu secara
vegetatif dengan talus dan secara generatif dengan talus diploid yang
menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan stek,
yaitu potongan talus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Sementara,
perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun
melalui budidaya. Pertemuan dua gamet membentuk zygot yang selanjutnya
berkembang menjadi sporofit. Individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan
berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit.
Neish (2003) menyatakan bahwa anakan vegetatif terbukti dapat tumbuh
dan beberapa varietas telah dikembangkan dengan cara ini selam lebih dari 30
[Type text]
[Type text]
5
tahun. Di alam Kappaphycus dipandang memiliki siklus hidup triphasic (trifase)
seperti yang ditunjukan dalam gambar di bawah ini (Gambar 1):
Gambar 1. Siklus hidup rumput laut Kappaphycus alvarezii
Siklus hidup rumput laut mempunyai fase gametofit (N), tetrasporofit (2N)
dan carposporofit (2N). Siklusnya disebut trifase karena carpogonium yang telah
dibuahi menghasilkan diploid carposporofit bukannya mengeluarkan carpospora.
2.1.2 Penyebaran
Rumput laut K. alvarezii memerlukan sinar matahari untuk proses
fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin hidup pada
lapisan fotik, yaitu kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya.
K. alvarezii hidup baik bila jauh dari muara sungai yang bersalinitas yang rendah.
Jenis ini telah dibudidayakan dengan cara diikat pada tali sehingga tidak perlu
melekat pada substrat karang atau benda lainnya (Anggadiredja, 2008).
Pengembangan budidaya rumput laut sendiri telah dilaksanakan sejak
1968 oleh Lembaga Penelitian Laut bekerjasama dengan Dinas Hidrografi
Angkatan Laut di Pulau Pari Kepulauan Seribu melalui uji coba budidaya
E.spinosum dan E. edule yang bibitnya berasal dari perairan setempat. Kemudian
dikembangkan juga E. cottonii yang bibitnya berasal dari Bali yang kemudian
[Type text]
[Type text]
6
memasyarakat sampai saat ini (Sulistijo, 1996). Adapun jenis K. alvarezii
tersebar luas di wilayah Indonesia seperti Kepulauan Banggai, Togian, Pulau Dua
dan Pulau Tiga (Sulawesi Tengah), Pulau Seram Timur, Selat Alas Sumbawa
(Atmadja dan Sulistijo, 1983). Wilayah potensial untuk pengembangan budidaya
rumput laut K. alvarezii terletak perairan pantai Nanggro Aceh Darusalam
(Sabang), Bangka Belitung, Teluk Banten/Pulau Panjang), DKI Jakarta
(Kepulauan Seribu), Jawa Tengah (Karimun Jawa), Jawa Timur (Situbondo dan
Banyuwangi), Bali (Nusa Dua/Kutuh Gunung Payung, Nusa Penida, Nusa
Lembongan), Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat dan Lombok Selatan, pantai
Utara Sumbawa Besar, Bima, dan Sumba), Nusa Tenggara Timur (Maumere,
Larantuka, Kupang, Pulau Roti selatan), Sulawesi, Kalimantan, Maluku
(Kepulauan Aru) dan Papua.
2.1.3 Kondisi Lingkungan Kappaphycus alvarezii Doty
Lokasi budidaya untuk pertumbuhan rumput laut K. alvarezii di wilayah
pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi oseanografis yang meliputi
parameter lingkungan fisik, kimia dan biologi perairan (Puslitbangkan, 1991).
2.1.3.1 Fisika
Kerusakan fisik sarana budidaya maupun rumput laut akibat pengaruh
angin topan dan ombak yang kuat harus dihindari, maka diperlukan lokasi yang
terlindung dari ombak dan gelombang besar seperti di perairan teluk atau terbuka
tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau di depannya untuk budidaya
rumput laut (Puslitbangkan, 1991). Dasar perairan yang paling baik untuk
pertumbuhan K. alvarezii adalah yang stabil terdiri dari patahan karang mati
(pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas dari lumpur dengan gerakan air
(arus) yang cukup 20-40 cm/detik (Ditjenkan Budidaya, 2005).
Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan K. alvarezii adalah antara 215 m pada saat surut terendah untuk metode apung (Ditjenkan Budidaya, 2005)
dengan suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 22.8 – 29.2 °C
(Glen dan Doty, 1981 dalam Neish, 2003). Namun demikian Njoman et al. (1987)
[Type text]
[Type text]
7
dalam Neish (2003) menemukan temperatur antara 27 sampai 320C baik untuk
budidaya K. alvarezii di pantai Barat Daya Sumatera.
Puslitbangkan (1991) menyatakan bahwa kondisi air yang jernih dengan
tingkat transparansi tidak kurang dari 5 m cukup baik untuk pertumbuhan rumput
laut. Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal
ini dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk kedalam air.
Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh talus merupakan faktor utama
dalam proses fotosintesis. Badan Standarisasi Nasional (2009) menetapkan
persyaratan lokasi untuk produksi rumput laut E. cottonii dengan metode longline
pada Tabel 1.
Tabel 1. Persyaratan perairan untuk budidaya Kappaphycus alvarezii dengan
metode longline
Parameter
Nilai dengan satuan
lokasi
Arus
20 cm/detik – 40cm/detik
Kedalaman
Minimal 2 meter
Dasar perairan
Pasir berkarang
Suhu
25 – 29 0C
Salinitas
28 -33 g/l
pH
7,0 – 8,5
Sumber : BSN (2009) dengan nomor RSNI3 7579.2:2009
2.1.3.2 Kimia
Rumput laut tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat
air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan K. alvarezii menjadi tidak
normal. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari
muara sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut K. alvarezii
adalah 28-35 ppt dan mengandung cukup makanan berupa makro dan mikro
nutrien (Ditjenkan Budidaya, 2005). Baku mutu air laut untuk biota laut
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) dapat diketahui
berdasarkan Tabel 2.
[Type text]
[Type text]
8
Tabel 2. Baku mutu air laut untuk biota laut
Parameter
Fisika
Satuan
Kecerahan
m
Suhu
0
C
Baku mutu
Keterangan
coral: >5
mangrove: lamun: >3
Alami
coral: 28-30
mangrove: 28-32
lamun: 28-30
Diperbolehkan terjadi
perubahan sampai dengan
<10% kedalaman euphotic
Diperbolehkan terjadi
perubahan sampai dengan
<20C dari suhu alami
Kimia
pH
7 - 8,5
Salinitase
Alami
coral: 33-34
mangrove: s/d 34
lamun: 33-34
Diperbolehkan terjadi
perubahan sampai dengan
<0,2 satuan pH
Diperbolehkan terjadi
perubahan sampai dengan
<5% salinitas rata-rata
musiman
mg/l
>5
-
mg/l
0,3
-
mg/l
mg/l
0,008
0,015
-
Oksigen terlarut
(DO)
Amonia total
(NH3-N)
Nitrat (NO3-N)
Fosfat (PO4-P)
0
/00
Keterangan : alami = kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan
musim).
Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhtumbuhan (Dugan, 1972). Fosfor juga merupakan unsur yang sangat esensial bagi
tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas
bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas
perairan.
Neish (2003) menyebutkan bahwa respon umum tumbuhan laut termasuk
K. alvarezii terhadap makronutrien diyakini mengikuti pola berupa terjadinya
peningkatan pada pertumbuhan dan simpanan nutrient sampai kapasitas
penyimpanan jenuh sehingga setelah itu pertumbuhan maupun simpanan nitrogen
akan tetap. Jenis kandungan nitrogen buangan binatang merupakan nutrisi penting
bagi rumput laut yang bisa diperoleh dari buangan metabolisme predatornya.
Nitrogen amonia di daerah hulu perairan lebih kecil jumlahnya dibandingkan
daerah hilir tetapi memiliki kandungan nitrit dan nitrat serta fosfat yang lebih
banyak dibandingkan daerah hilir.
[Type text]
[Type text]
9
2.1.3.3 Biologi
Eucheuma hidup di perairan yang secara alami juga dapat ditumbuhi oleh
komunitas dari berbagai makroalga seperti Ulva, Caulerpa, Padina, dan Hypnea.
Hewan air yang besifat herbivora merupakan predator yang memangsa rumput
laut. Predator K. alvarezii terutama ikan baronang/lingkis (Siganus. spp), penyu
laut (Chelonia midos) dan bulu babi (Diadema sp) yang dapat memakan rumput
laut (Puslitbangkan, 1991). Fitoplankton yang hidup di perairan laut sebagai
tempat budidaya terdiri dari Trichodesmium, Pleurosigma, Navicula, Fragilaria,
Leptocylindris, Tintinnopsis, Globegerina dan Protoperidinium dengan jenis
fitoplankton dominan yaitu Nitzschia dan Chaetoceros (Adnan, 1999).
Faktor biologi utama yang menjadi pembatas produktivitas rumput laut
yaitu faktor morbiditas dan mortalitas. Morbiditas dapat disebabkan oleh penyakit
akibat dari infeksi mikroorganisme, tekanan lingkungan perairan (fisika dan kimia
perairan) yang buruk serta tumbuhnya tanaman penempel (parasit). Sementara,
mortalitas dapat disebabkan oleh pemangsaan hewan-hewan herbivora.
2.2 Budidaya Rumput laut Kappaphycus alvarezii
2.2.1 Bibit
Bibit K. alvarezii memiliki beberapa varietas kultivar yang terdiri dari
jenis tambalang, kembang, sacol dan sumba. Tipe tambalang memiliki
karakteristik bertalus panjang, diameter cabang kecil sampai besar dan jumlah
cabang yang lebih sedikit dari jenis kembang. Tipe kembang terlihat rimbun
dengan talus pendek dan ikatan beberapa cabang terlihat seperti kembang. Pada
tipe sakol memiliki rumpun yang terdiri dari cabang-cabang pendek dengan
bantang yang kecil sedangkan tipe sumba merupakan K. alvarezii asal pulau
Sumba yang memiliki morfologi cabang tebal, panjang dan terlihat kasar (Neish,
2003). Akmal et al. (2008) menyebutkan beberapa kriteria bibit yang baik yaitu :
a.
Bercabang banyak dan rimbun
b.
Tidak terdapat bercak dan terkelupas
c.
Warna spesifik (cerah)
d.
Umur 25 – 35 hari
e.
Berat bibit 50 – 100 gram
[Type text]
[Type text]
10
Umur rumput laut akan sangat menentukan kualitas rumput laut tersebut.
Jika rumput laut tersebut akan digunakan sebagai bibit maka pemanenan
dilakukan setelah rumput laut berumur 25 – 35 hari karena pada saat itu tanaman
belum terlalu tua. Sedangkan jika rumput laut tersebut dipanen untuk dikeringkan
maka sebaiknya dipanen pada saat berumur 1,5 bulan atau lebih karena pada umur
tersebut kandungan karaginan cukup tersedia.
2.2.2 Produktivitas
Kusriyanto (1993) menyatakan bahwa produktivitas merupakan nisbah
atau ratio antara hasil kegiatan (output) dan segala pengorbanan (biaya) untuk
mewujudkan hasil tersebut (input). Selanjutnya, Gagne (1985) menyebutkan
bahwa, pengukuran produktivitas didasarkan kepada jumlah kalori yang diikat
tiap satuan waktu menjadi hasil produksi, pengukurannya dengan menimbang
hasil kering panen sedangkan untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya
dalam meningkatkan produksi diperlukan peningkatan produktivitas melalui
pengelolaan lahan dan sarana produksi seperti penggunaan pupuk, penggunaan
varietas baru dan perluasan areal irigasi serta peningkatan managemen usaha para
petani itu sendiri (Iskandar, 2002). Effendi (2004) menyebutkan bahwa pada suatu
perairan, produktivitas merupakan bobot biomassa biota per satuan volume air.
Dengan demikian, produktivitas budidaya rumput laut adalah rasio antara hasil
kegiatan budidaya berupa biomassa rumput laut per luasan budidaya dalam jangka
waktu tertentu dengan biaya yang dikeluarkan.
Produktivitas rumput laut sangat dipengaruhi oleh pertumbuhannya.
Ukuran bibit rumput laut yang ditanam sangat berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan, bibit talus yang berasal dari bagian ujung akan memberikan laju
pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit talus dari bagian pangkal
(Mamang, 2008). Menurut Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan rumput laut
yang dianggap cukup menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat per
hari. Rumput laut merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat
lingkungan tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai
kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin
baik pertumbuhannya (Syaputra, 2005).
[Type text]
[Type text]
11
Soegiarto (1978), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut
berkisar antara 2-3% per hari. Selanjutnya, Neish (2003) menyebutkan bahwa
umumnya tingkat pertumbuhan harian Kappaphycus yaitu 2 – 5 % dan baik untuk
dijadikan
lahan
komersil.
Bibit
Kappaphycus
memiliki
pertumbuhan
eksponensial, pada pengamatan yang dilakukan dengan bibit yang ditanam dengan
jarak tanam berkisar 15-20 cm ditemukan pada lahan-lahan komersil. Mamang
(2008) menyatakan bahwa E. cottonii yang ditanam selama 7 minggu memiliki
laju pertumbuhan harian tertinggi di minggu ke 6 dan menurun pada minggu ke 7.
Selanjutnya dikatakan bahwa bibit rumput laut basah seberat 50 g mencapai bobot
akhir seberat 215, 180 dan 170 g di akhir pemeliharaan yang masing-masing bibit
berasal dari bagian ujung, tengah dan pangkal talus rumput laut.
2.3 Kerusakan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
2.3.1 Hama dan Gulma
Rumput musiman seperti Ulva sp. dan Enteromorpha sp. telah menjadi
masalah yang serius dari awal masa pembudidayaan K. alvarezii tetapi masalah
ini belum dipelajari lebih lanjut. Neish (2003) menunjukan adanya dampak yang
terjadi pada budidaya K. alvarezii akibat gulma. Tiga jenis gulma yang dapat
dikenali yaitu :
1. Makroalga seperti Ulva sp., Enteromorpha sp., Cladophora sp. dan beberapa
genus lainnya yang hidup mengapung atau menetap akibat tersangkut pada
penyangga lahan dan tanaman budidaya serta dapat meningkat jumlahnya
dalam waktu beberapa minggu atau bulan.
2. Epifit sejati; seringkali kronis karena umumnya berupa ganggang surai
tertempel pada lapisan kortikal sehingga merusak tanaman.
3. Mikroalga seperti butiran-butiran kecil yang membentuk ”gumpalan” pada
tanaman. Seringkali diakibatkan oleh kualitas air yang buruk misalnya akibat
aliran lambat, silikon tinggi dan terjadi eutrofikasi.
Hama yaitu predator yang merupakan jenis herbivora laut dan telah
menjadi persoalan bagi pembudidaya K. alvarezii. Predator ini juga dikenal
dengan sebutan ”grazer”. Ukurannya beragam, mulai dari yang kecil seperti siput
laut (Nudibranch) sampai yang besar seperti penyu (Chelonia midas). Munculnya
[Type text]
[Type text]
12
predator biasanya berhubungan dengan penempatan habitat lahan di atau dekat
dengan hamparan rumput laut dan di area dimana herbivora laut merupakan
populasi endemi (Doty dan Alvarez, 1981).
Neish (2003) menyebutkan bahwa ikan hanya akan memakan cabangcabang K. alvarezii yang kecil. Anak parrotfish (Scarids), surgeonfish
(Acanthurids) dan baronang (Siganids) diamati mengkonsumsi sekitar 50 – 80 %
populasi Kappaphycus pada kedalaman 0,5 sampai 2 m. Keluarga ikan herbivora
lainnya termasuk pufferfish dikenal atau diduga sebagai predator K. alvarezii serta
beberapa invertebrata lainnya seperti holothuria dan crustacea selalu terlihat di
lahan Kappaphycus. Adapun jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh predator
dapat dilihat pada Gambar 2.
(b)
(a)
(c)
(d)
(e)
Gambar 2. Kerusakan Kappaphycus alvarezii : (a) akibat siput, (b) akibat urchin
laut yang lebih besar, (c) kehilangan lapisan kortikal, (d) akibat ikan
baronang dan (e) akibat segala jenis predator
2.3.2 Penyakit
Penyakit ice-ice pertama kali ditemukan pada budidaya rumput laut
komersial di Filipina pada 1974.
Istilah ini diberikan oleh petaninya untuk
menggambarkan jaringan yang mati karena kehilangan pigmen yang berakibat
[Type text]
[Type text]
13
pada tangkai patah. Penyakit ini juga ditemukan pada rumput laut seperti pada K.
alvarezii dan E. denticulatum yang termasuk penghasil karaginan (Fresco, 2004).
Largo (1995b) menyebutkan bahwa pada isolat bakteri dari cabang K.
alvarezii yang terserang penyakit ice-ice memiliki jumlah bakteri 10-100 kali
lebih banyak dibanding dengan cabang yang sehat. Bakteri yang ditemukan yaitu
Cytophaga flavobacterium dan Vibrio sp. yang bersifat patogen serta hadir secara
berkala pada budidaya K. alvarezii. Timbulnya penyakit ice-ice diakibatkan oleh
perubahan lingkungan seperti menurunnya salinitas dan intensitas cahaya.
Selanjutnya, Shinta (2007) menemukan bahwa bakteri yang terdapat pada talus K.
alvarezii yang terserang ice-ice di Pulau Panggang Kepulauan Seribu yaitu
Alcaligenes sp., Corynebacterium sp., Vibrio sp., Kurthia sp., Branhamella sp.,
Flavobacterium sp., Necromonas sp. dan Pseudomonas sp. Selain itu penempelan
biofoulling sebagai hama yang juga menghambat pertumbuhan rumput laut diduga
sebagai agen pembawa atau penyebab penyakit ice-ice, karena memiliki
kelimpahan bakteri yang lebih banyak. Onny (2008) juga menemukan adanya
koloni bakteri yang sama pada talus K. alvarezii yang terserang ice-ice di Pulau
Pari.
Penyakit ice-ice dapat terjadi karena kurangnya intensitas cahaya. Largo et
al. (1995a) menyatakan bahwa bakteri tertentu dapat menyebabkan timbulnya iceice pada bibit yang stress akibat faktor abiotik yang menjadi pemicu gejalanya
seperti pada produksi K. alvarezii skala laboratorium dengan intensitas cahaya
kurang dari 50 µmol photon m-2s-1 dan salinitas dibawah 20 ppt menyebabkan
timbulnya ice-ice pada segmen bagian tengah cabang K. alvarezii. Pada 2004 di
Zamboanga Filipina, ice-ice terjadi ketika suhu perairan di atas 33-350C sehingga
menyebabkan penurunan laju pertumbuhan harian dari 3,7 % menjadi – 2,0 %.
Penyakit ini menurunkan produksi rumput lautnya, sementara di Indonesia
khususnya Bali mengalami wabah yang sama di 2009.
Ice-ice terjadi akibat perubahan salinitas, suhu dan intensitas cahaya di
laut yang menyebabkan stres pada rumput laut, sehingga rumput laut
menghasilkan "zat organik basah" yang menarik bakteri dari dalam air kemudian
menginduksi karakteristik "pemutihan" serta pengerasan jaringan ganggang laut.
Bakteri melisiskan sel epidermal dan kloroplas kemudian mengubah jaringan
[Type text]
[Type text]
14
rumput laut menjadi putih. Neish (2003) menyebutkan bahwa perkembangan
sindrom ice-ice secara umum yaitu sebagai berikut :
Tahap 1 : Bersih, sehat dan tumbuh dengan baik meskipun, tanaman tersebut
kehilangan pigmennya.
Tahap 2 : Dalam hitungan hari kehilangan pigmen ini semakin parah dan
pertumbuhan pun semakin lambat.
Tahap 3 : Pucuk baru, terlihat cenderung keriting dan lemah. Pada kasus ini
tanaman kelihatan seperti ulat. Banyak pucuk tapi tumbuhan kehilangan berat.
Tahap 4 : Bagian-bagian yang kehilangan pigmen terlihat pada lengkunglengkung talus sehingga tanaman menjadi lemah dan patah.
Uyenco et al. (1981) menyatakan terdapat populasi bakteria yang tinggi
pada talus K. alvarezii dan kemudian menyimpulkan bahwa hal tersebut
merupakan masalah sekunder. Selanjutnya, Doty (1987) dalam Neish (2003) juga
memperhatikan bahwa terlihatnya ice-ice merupakan keadaan musiman dan
berkaitan dengan perubahan angin musiman serta berhubungan dengan
keberadaan epifit.
2.4 Perendaman Air Tawar
Kegiatan
dipping
(perendaman)
merupakan
salah
satu
kegiatan
penanganan yang dilakukan dengan cara merendam biota kultur ke dalam larutan
tertentu yang bertujuan untuk mengurangi parasit. Pengendalian berbagai jenis
hama dan penyakit akan membantu menunjang kelangsungan hidup dan
peningkatan produksi. Kegiatan yang sering dilakukan pada biota kultur laut
adalah dengan dipping di air tawar. Kegiatan ini selain dapat menghilangkan
parasit yang menempel pada tubuh ikan juga diduga dapat meningkatkan nafsu
makan ikan. Kegiatan seperti ini dilakukan di Keramba jaring apung (KJA) secara
rutin. Pada umumnya setiap seminggu sekali dengan lama perendaman ikan
disesuaikan dengan kepadatan ikan serta penggunaan aerasi. Ikan yang akan
direndam diangkut dari wadah pemeliharaannya dan ditempatkan pada ember /
styrofoam yang sudah diisi dengan air tawar. Berdasarkan informasi dari petani
ikan di Kep. Seribu, ikan dengan kepadatan tinggi dan direndam tanpa aerasi
dilakukan selama ± 3 menit sedangkan jika menggunakan aerasi direndam selama
[Type text]
[Type text]
15
± 5 menit. Namun jika dilakukan pada kepadatan rendah perendaman dapat
dilakukan lebih lama (Oktarina, 2009).
Selanjutnya diberikan perlakuan stress pertama pada ikan kerapu berupa
perendaman dalam air tawar selama 15 menit tanpa aerasi. Perlakuan stress
berupa perendaman dalam air tawar tanpa aerasi selama 15 menit dipilih karena
pada umumnya treatmen yang diberikan para pembudidaya di keramba jaring
apung (KJA) untuk mengendalikan parasit kutu kulit (Benedenia sp. dan
Neobenededia sp.) pada kerapu adalah dengan perendaman dalam air tawar
(BBRPBL, 2002 dalam Tasik, 2009). Wedemeyer dan McLeay (1981)
menyebutkan bahwa aplikasi perendaman ikan air laut pada air tawar dilakukan
untuk melihat kondisi akibat pengaruh dari stressor terhadap kemampuan
osmoregulasi ikan serta berguna untuk meningkatkan kelangsungan hidup ikan
dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Perubahan salinitas media hidup ikan yang terjadi saat perendaman juga
mempengaruhi tekanan osmotik ikan secara langsung dan melibatkan penggunaan
energi yang besar untuk melakukan pengaturan kerja osmotik. Kegiatan
pemindahan ikan pada saat perendaman dalam air tawar sangat berpengaruh
terhadap keseimbangan antara air dan garam dalam tubuh ikan. Keseimbangan ini
berkaitan dengan proses osmoregulasi. Menurut Fujaya (2002), osmoregulasi
dapat terjadi karena adanya penyesuaian keseimbangan antara substansi tubuh dan
lingkungan serta perbedaan tekanan osmosis antara cairan dengan lingkungannya
dimana cairan akan mengalir dari tekanan osmosis rendah ke tekanan osmosis
yang lebih tinggi.
Oktarina (2009) menyatakan bahwa ikan kerapu bebek Cromileptes
altivelis yang diberikan perlakuan perendaman dalam air tawar 1 X 30 hari
memberi pengaruh terhadap kinerja pertumbuhan ikan kerapu bebek. Perlakuan
dengan frekuensi perendaman ikan uji di air tawar sebanyak 1 X selama 20 menit
dalam masa pemeliharaan 30 hari merupakan frekuensi perendaman air tawar
optimum
yang
cenderung
tidak
menghambat
pertumbuhan
ikan.
Laju
pertumbuhan harian ikan kerapu pada perendaman dengan air tawar 1 X 30 hari
sebesar 150,31%.
[Type text]
Download