Biodata Penulis Dr. H. Sarbaini, M.Pd adalah Lektor Kepala pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) di Banjarmasin. Lahir di Banjarmasin, pada tanggal 27 Desember 1959. Penilis menyelesaikan pendidikan S1 (Drs) di Jurusan PPMP-KN FKIP Unlam Tahun 1984, gelar M.Pd diperoleh di IKIP Bandung tahun 1993, dan gelar Dr diperoleh tahun 2011 di UPI Bandung, keduanya berbasis kajian Pendidikan nilai. Sejak tahun 1986 menjadi pengajar di Program Studi PPKn, pernah menjadi pengajar di mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di berbagai PTS Banjarmasin. Aktif juga sebagai pengajar di Pascasarjana Pendidikan IPS Unlam, dan Pascasarjana STIA Banjarmasin. Pelaku sejarah dan pelibat Pusat Studi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unlam bersama alm Prof. Dr. Noerib H. Radam, Ketua Program Studi PPKn FKIP Unlam (2000-2004). Ketua UPT MKU Unlam (2006-sekarang), Tim Pokja PUG Bidang Pendidikan Dinas Pendidikan Kalsel (2007sekarang), Konsultan LPMP (2002-2004), Tim Pokja Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Non Formal (2007-sekarang), Tutor UT UBJJ Banjarmasin (2007-sekarang), anggota Forum Penelitian Balitbangda Kalsel (2008-sekarang), Tim Jaringan Penelitian Balitbangda Kalsel (2002-sekarang), dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalsel (2005sekarang), Assesor Sertifikasi Guru, Penyunting Jurnal Wiramartas, Jurnal Sosial dan Pendidikan IPS (2003-sekarang), Ketua Micro Teaching FKIP Unlam (2011-2015), nara sumber berbagai kegiatan seminar, pendidikan dan pelatihan, menulis beberapa artikel di Vidya Karya, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Wiramartas, dan Jurnal Triwulan LITBANG. Penulis, ketua tim penyusun, penerjemah dan editor buku: Masalah Hukum dan Politik (editor, 2000), Model Pembelajaran Kognitif Moral, dari Teori ke Implementasi (penulis, 2001), Pembinaan Nilai, Moral dan Karakter Kepatuhan Peserta Didik terhadap Norma Ketertiban di sekolah: Landasan Konseptual, Teori, Juridis dan Empiris (penulis,2012), dan Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral, dari Teori ke Aplikasi (penulis, edisi revisi, 2012), Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik (penerjemah, Juni 2012), Pedoman Pendidikan Karakter “WASAKA” (Waja Sampai Kaputing) UNLAM (Ketua Penyusun, November 2012), Panduan Kurikulum MKU (MPK-MBB) Unlam (Ketua Penyusun, November 2012), Standar Kompetensi Dosen MKU (MPK-MBB) Unlam (Ketua Penyusun, November 2012). Muhammad Elmy, M.Pd adalah Asisten Ahli pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) di Banjarmasin. Lahir di Desa Kubur Jawa, Kalimantan Selatan pada tanggal 25 April 1984. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 (S.Pd) di Prodi PPkn FKIP Unlam Tahun 2006, gelar M.Pd diperoleh di SPS UPI Bandung tahun 2013, keduanya berbasis kajian Pendidikan Kewarganegaraan. Sejak tahun 2008 menjadi pengajar di Program Studi PPKn, pernah menjadi pengajar di mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di berbagai PTS Banjarmasin. Penulis, hingga saat ini masih memperdalam pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian, pengabdian, pemngembangan media dan modul pembelajaran. KATA PENGANTAR Alhamdulillah, Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan YME atas Karunia, Ridha, Nikmat dan Ijinnya yang telah memperkenankan kami tim penulis, untuk menyelesaikan penulisan buku ini. Materi tulisan tentang Negara Hukum, Konstitusi, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia, pada dasarnya ingin mengajak anda untuk mengkaji aspek-aspek yang terkait dengan konsep dan wawasan Negara Hukum, Kontitusi, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia serta diharapkan dapat memenuhi tantangan dan keadaan yang dinamis di masa mendatang. Mata kuliah ini sangat penting untuk Anda pelajari karena mempunyai muatan pandangan dan wawasan ke depan yang luas, mempunyai bahasan analisis tentang berbagai kesulitan yang mungkin terjadi di lapangan, serta mempunyai tambahan materi Negara hukum dan demokrasi untuk memperkuat bekal pengetahuan kenegaraan yang Anda miliki. Mudah-mudahan modul ini berguna bagi pembinaan generasi muda kita, para mahasiswa calon pemimpin bangsa menjadi pelopor dan teladan dari warga Negara yang baik, setelah mempelajari modul ini. Segala kekurangan tentu ada, namun saran kami terima dengan lapang dada dan tangan terbuka. Banjarmasin, Oktober 2013 Sarbaini dan M.Elmy DAFTAR ISI KATA PENGANTAR MODUL 1 : NEGARA HUKUM Kegiatan Belajar 1 : Kebutuhan terhadap negara hukum dan konsep negara hukum .................................... 2 Kegiatan belajar 2 : Indonesia sebagai negara hukum dan proses penegakan hukum di indonesia ............... 9 Latihan ........................................................................................................................... 21 Tes formatif .................................................................................................................... 21 MODUL 2 : KONSTITUSI Kegiatan Belajar 1 : Istilah dan Pengertian Konstitusi (Undang-Undang Dasar) serta Keberadaan dan Tujuan Konstitusi ....................................................................................................................... 24 Kegiatan Belajar 2 : Konstitusi dan Undang-Undang Dasar di Indonesia, Serta Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ................................................................................................................................ 33 Latihan ........................................................................................................................... 72 Tes formatif .................................................................................................................... 72 MODUL 3 : DEMOKRASI DI INDONESIA Kegiatan Belajar 1 : Istilah dan Definisi Demokrasi serta Sejarah Perkembangan Demokrasi ..................... 76 Kegiatan Belajar 2 : Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Bentuk–Bentuk Demokrasi .......................................... 83 Kegiatan Belajar 3 : Perkembangan Demokrasi di Indonesia, Pemilihan Umum dan Pembangunan Masyarakat Demokrasi ...................................................................................................................... 96 Latihan ........................................................................................................................... 124 Tes formatif .................................................................................................................... 124 Modul 4 : HAK ASASI MANUSIA Kegiatan Belajar 1 : Istilah dan Pengertian HAM serta Sejarah Perkembangan HAM .................................. 127 Kegiatan Belajar 2 : HAM dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia serta Upaya Penegakan terhadap Hukum dan HAM ....................................................................................................................... 135 Latihan ........................................................................................................................... 156 Tes formatif .................................................................................................................... 156 Modul 1 NEGARA HUKUM Dalam modul ini Anda akan diajak menganalisis konsep negara hukum secara umum dan Negara hukum dalam konteks Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi dalam modul ini Anda diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut: Kegiatan Belajar 1: a. Dapat memahami kebutuhan terhadap negara hukum b. Dapat memahami konsep negara hukum Kegiatan belajar 2: a. Dapat memaham Indonesia sebagai negara hukum b. Dapat memaham proses penegakan hukum di Indonesia Agar semua harapan di atas dapat terwujud maka di dalam modul ini disajikan pembahasan dan latihan dengan butir uraian sebagai berikut: a. Kebutuhan Terhadap Negara Hukum b. Konsep Negara Hukum c. Indonesia Negara Hukum d. Penegakan Hukum di Indonesia Untuk membantu Anda dalam mencapai harapan kemampuan di atas ikutilah petunjuk belajar sebagai berikut: a. Bacalah petunjuk bagaimana mempelajari modul ini. b. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci. c. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui pemahaman sendiri dan atau tukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen Anda. d. Temukan prinsip, konsep, dan prosedur. e. Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi mengenai pengalaman simulasi dalam kelompok kecil atau klasikal. 1 Kegiatan Belajar 1 Kebutuhan Terhadap Negara Hukum dan Konsep Negara Hukum A. Kebutuhan Terhadap Negara Hukum Negara menurut Mac Iver (Soehino, 1998; Agustino, 2007) negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat pada suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud itu diberi kekuasaan memaksa. Apa yang disampaikan oleh Mac Iver memiliki kesamaan esensial dengan Roger Soltau, yakni negara merupakan kesatuan masyarakat, bertujuan mengatur untuk mencapai tujuan, serta adanya kewenangan untuk memaksa didasarkan pada kekuasaan atau hukum yang berlaku. Pengertian terhadap negara yang dikemukakan oleh Mac Iver dan Roger Soltau menunjukkan adanya substansi yang sama, bahwa salah satu unsur dari negara, yaitu pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya adalah berdasarkan pada sistem hukum (Mac Iver) dan hukum yang berlaku (Roger Soltau). Negara yang pemerintahnya menjalankan kekuasaan berdasarkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau menurut hukum yang berlaku, berarti negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum. Ada tiga esensial bagi keberadaan negara hukum, pertama, hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, tidak berdasarkan kekuasaan (rule of power, macht, goverment not by man, but by law), melainkan berdasarkan suatu norma objektif yang mengikat kedua belah pihak secara timbal balik, seimbang dan proporsional. Kedua, norma objektif itu merupakan hukum yang memenuhi syarat formal dan material (nomocratie, cratie 'kekuasaan', nomos 'hukum). Ketiga, norma objektif dilaksanakan secara pasti, baik, benar dan adil. Dalam kehidupan modern sekarang dapat dipastikan bahwa semua bangsa yang telah bernegara memiliki aturan hukum yang mengikat seluruh 2 warga negaranya. Lebih khusus lagi yang mengatasnamakan negaranya sebagai Negara Demokrasi, karena salah satu unsur negara demokrasi adalah adanya hukum negara. Oleh karena itu, mutlak diperlukan adanya hukum dalam Negara Demokrasi. Hukum diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebab hukum berfungsi memberi dasar, menentukan tujuan yang yang hendak dicapai, arah yang dituju dan cara bertindak bagi negara dan aparatnya termasuk warganegara dan masyarakat. Negara berkewajiban mewujudkan tujuan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku dan tidak boleh berbuat sesuatu tanpa didasari oleh peraturan yang ada atau bertindak diktator, yang dapat berbuat sewenangwenang dengan pembenaran untuk kepentingan negara. Bagi warga masyarakat hukum, aturan hukum memberikan tuntunan bertindak, yaitu sebagai sarana untuk mengontrol dan membatasi keinginan yang bebas baik penguasa untuk tidak bertindak diktator atau kepada warga agar tidak bertindak semaunya atas nama masyarakat yang dapat mengarah pada tindakan anarkis. Meskipun hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum, dalam kenyataan di masyarakat selalu terjadi perbedaan kepentingan dan rasa keadilan subjektif sehingga terjadi pelanggaran atau perlawanan terhadap hukum yang berlaku. Karenanya, hukum memerlukan kekuatan pendorong, dan pengawal terhadap hukum yang berlaku, yakni kekuasaan memaksa. Dengan adanya kekuasaan untuk memaksa akan memberikan kekuatan untuk menjalankan fungsi hukum, tanpa adanya kekuatan dan kekuasaan memaksa hukum sulit untuk ditegakkan. Meskipun hukum membutuhkan kekuasaan, kekuasaan tidak boleh mendominasikan hukum untuk kepentingan golongan atau kelompoknya sebagai pemegang kekuasaan negara. Kekuasaan yang merupakan kekuatan memaksa, juga merupakan sumber kekuatan penggerak dinamika masyarakat. Oleh karena 3 itu, tidak mengherankan bila sejak manusia mewujudkan kehidupan bernegara sering terjadi perebutan kekuasaan, baik sebagai individu maupun kelompok atau sosial, yang dilakukan berdasar hukum yang berlaku seperti melalui pemilihan umum, maupun dengan cara melawan hukum yang berlaku melalui revolusi. Menurut Satjipto Rahardjo (1996), pada tataran individu kekuatan merupakan dorongan untuk menguasai harta benda dan mendapatkan kekuasaan, keberhasilan tersebut sepenuhnya tergantung pada kemampuan individu. Pada peringkat sosial, kekuatan berupa perjuangan kelompokkelompok, kelas-kelas dalam masyarakat untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga menimbulkan pelapisan-pelapisan struktur masyarakat. Apabila dorongan kekuasaan mulai timbul, maka masyarakat sudah mulai bergerak kearah keinginan untuk diatur oleh hukum. Pelembagaan hukum dalam masyarakat mempunyai suatu aspek penting sebagai sarana untuk mengontrol dan membatasi keinginan orang terhadap kekuasaan. Hukum yang memberikan arahan kontrol kekuasaan dan kemungkinan tindak anarkis di satu pihak, pada sisi lain hukum juga menyalurkan dan memberikan kekuasaan kepada orang-orang baik secara indvidu maupun kelompok-kelompok manusia. Pada masyarakat yang struktur organisasinya semata-mata didasarkan pada kekuasaan, orang tidak memerlukan hukum sebagai penyalur kekuasaan, tetapi bagi masyarakat yang diatur oleh hukum, kekuasaan pada masyarakat tersebut hanya dapat dibeikan melalui hukum. Dari ketentuan hukum sebenarnya kekuasaan negara itu dibagi-bagi. Pembagian kekuasaan Negara yang sangat populer adalah kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yang diatur oleh hukum adalah menjadikan sesuatu itu terkendali, baik menyangkut, cara memperoleh kekuasaan, ruang lingkup, maupun isi dari kekuasaan itu sendiri. Dengan demikian negara hukum dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar kekuasaan yang 4 dijalankan penguasa (pemerintah) dapat disalurkan, dibatasi, dikontrol, dan dikendalikan, baik isi, ruang lingkup, dan prosedur serta implementasinya berdasarkan sistem hukum yang berlaku secara efektif. B. Konsep Negara Hukum Apabila kita mempelajari kepustakaan hukum, istilah Negara hukum sudah sangat populer. Istilah Negara hukum berasal dari dua konsep yaitu rechtsstaat dan rule of law. Konsep rechtsstaat dan rule of law, yang keduanya diartikan sebagai Negara hukum pada dasarnya bermuara pada sasaran sama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Meskipun rechtsstaat dan rule of law terdapat kesamaan untuk menegakkan pengakuan dan perlindungan HAM, namun di antara keduanya, terdapat perbedaan dalam sistem hukumnya. Hal demikian dapat dilihat dari konsep kedua sistem hukum tersebut, yaitu: 1. Konsep rechtsstaat: Konsep rechtsstaat banyak dianut di Negara Eropa Kontinental (Eropa daratan) yang bertumpu pada civil law, yang menitikberatkan pada administrasi. Menurut F.J. Stahl (Priyanto, 2003) dan Philipus M. Hadjon (Kaelan dan Zubaidi, 2010) menyebutkan ciri-ciri rechtsstaat adalah: 1) adanya perlindungan hak asasi manusia; 2) adanya pemisahan kekuasaan; 3) adanya pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4) adanya peradilan administrasi dalam perselisihan; dan 5) mempunyai ciri lebih revolusioner, sebagai hasil perjuangan menentang absolutisme raja, khususnya gerakan revolusioner Perancis, hingga menjadi Republik Perancis. 2. Konsep rule of law Konsep rule of law dikembangkan oleh Negara Anglo Saxon yang menekankan pada common law, yang bertumpu pada judicial. Friedman (1959, Sarbaini, 2009) membedakan rule of law menjadi dua arti, yaitu 5 secara formal dan hakiki/material. Rule of law secara formal diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi, seperti negara. Sementara arti rule of law secara hakiki/material dikaitkan dengan penegakan hukum yang berukur baik atau buruk (just and unjust law), berkait dengan keadilan dan menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat dan bangsa. Menurut A, V. Dicey (Koesnardi dan Saragih, 1998; Priyanto, 2003) dan Philipus M. Hadjon (Kaelan dan Zubaidi, 2010) menyebutkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) adanya jaminan hak-hak asasi manusia dalam undangundang/UUD; 2) adanya jaminan kedudukan yang sama dalam hukum; 3) adanya supremasi hukum, dan 4) lebih memiliki ciri evolusioner, yang dirintis oleh kaum bangsawan Inggris, yang sedikit demi sedikit mengurangi kekuasaan raja, hingga menjadi kerajaan konstitusional. Kedua konsep Negara hukum tersebut merupakan produk abad ke 19 yang lahir dari keberhasilan/kemenangan pejuangan hak individu manusia dalam melawan monarki absolut yang dimulai sejak zaman Magna Charta di Inggris dan diikuti perjuangan di berbagai negara di Eropa yang lebih bersifat yuridis dan menyangkut hukum dalam batas sempit, yakni gerakan individualisme menuntut negara dan pemerintah tidak diperkenankan turut campur tangan terhadap urusan warga negara, kecuali yang menyangkut kepentingan umum. Konsep rechtsstaat maupun rule of law adalah lahir dari perjuangan gerakan individualisme, yang menjadikan negara sebagai penjaga malam (nachtwachtersstaat) dalam aktivitas warga memperjuangkan kebebasan individu dalam menentukan jalan hidupnya. Pola pikir yang demikian menjadikan negara hanya sebagai penjaga malam, merupakan konsep Negara hukum yang sempit, karena ruang lingkup tugas negara menjadi sangat sempit, terbatas hanya pada tugas melaksanakan keputusankeputusan parlemen yang dituangkan dalam undang-undang. Negara memiliki tugas pasif, sebatas bertindak, jika hak-hak asasi manusia dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Konsep negara hukum demikian 6 dikenal sebagai Negara Hukum Klasik atau Negara Hukum Formal (Sri Hartini, 2002). Paradigma Negara Hukum Klasik mulai bergeser setelah Perang Dunia ke II, seiring dengan berkembangnya pemikiran negara, yang mengarah pada tuntutan kesejahteraan rakyat (welfare state), karena tugas negara tidak sekedar penjaga malam, tetapi negara dan pemerintah harus aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat (social service state). Dengan adanya perkembangan pemikiran bahwa Negara harus aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat (social service state) tersebut konsep Negara Hukum Klasik ditinjau kembali, dan mulai ditinggalkan. Menurut hasil konggres International Commission of Jurist sebagai organisasi ahli hukum internasional di Bangkok tahun 1965 (Mahfud, MD, 1999), telah merumuskan konsep Negara hukum yang dinamis atau konsep hukum material, yang merupakan ciri-ciri dari negara berbasis Rule of Law yakni: a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari menjamin hak-hak asasi individu, konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; b. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; c. Pemilihan umum yang bebas; d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; e. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi; f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education). Dalam praktik kehidupan negara modern, konsep Negara Hukum Klasik telah banyak ditinggalkan, bergeser ke konsep Negara Hukum yang dinamis, yaitu Negara Hukum Material, dan tidak sekedar Negara Hukum Formal. Dalam konsep Negara Hukum Material, negara tidak pasif, melainkan negara harus aktif menjamin perlindungan hak-hak individu di satu pihak, dan negara 7 harus aktif mewujudkan hak-hak warga negara yang harus dijamin oleh negara. Negara Hukum Klasik adalah negara hukum dalam arti formal yang didasarkan pada paham legalis, berpandangan bahwa hukum itu sama dengan undang-undang, sehingga tindakan penegakan hukum, berarti menegakkan undang-undang, atau apa yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif. Sementara Negara Kesejahteraan adalah negara hukum dalam arti material, berpandangan bahwa hukum bukan hanya sekedar undang-undang, atau secara formal yang ditetapkan oleh lembaga legislatif saja, tetapi yang diutamakan adalah nilai keadilannya yang dirasakan oleh warga negaranya. Dalam konsep Negara Kesejahteraan (welfare state), tidak satupun negara membiarkan seorang atau sekelompok orang sebagai warganegaranya menjadi miskin, terlantar, bodoh atau tidak berpendidikan, atau sakit-sakitan. Keberadaan atau kondisi warga atau sekelompok warga yang miskin, terlantar, bodoh atau tidak berpendidikan, atau sakit-sakitan tersebut tidak sejalan dengan konsep Negara Kesejahteraan (welfare state). Karena itu negaranya bebas dari kemiskinan, kebodohan atau kesakitan, dan kewajiban dari negara itu merupakan hak dari warga negara dalam konsep Negara Hukum Modern guna mewujudkan Negara Kesejahteraan (welfare state). 8 Kegiatan Belajar 2 Indonesia Sebagai Negara Hukum dan Proses Penegakan Hukum di Indonesia A. Indonesia Negara Hukum Para pendiri negara telah berwawasan jauh ke depan, dengan pemikiran idealnya untuk mewujudkan Indonesia merdeka sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika pemikiran Negara Hukum Modern dapat dikuantifikasi, maka rata-rata pemikiran idealis mewujudkan Negara Hukum Modern dari bangsa Indonesia, telah mendahului pemikiran organisasi ahli hukum internasional. Bila organisasi ahli hukum internasional baru merumuskan Negara Hukum Modern tahun 1965, maka bangsa Indonesia telah merumuskannya pada tahun 1945, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yang mengatur: a. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak diatur dalam pasal 24, b. Pemilihan umum yang bebas, yang memilih lembaga perwakilan (DPR) meskipun baru dilaksanakan pertama tahun 1955, c. Kebebasan untuk menyatakan pendapat, diatur dalam pasal 28, d. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi, diatur dalam pasal 28. Ini prestasi bangsa Indonesia yang seharusnya mendunia, atau bentuk keunggulan dari bangsa Indonesia, tetapi bangsa Indonesia, belum bisa meyakinkan pada dunia terhadap pemikiran tersebut, atau sengaja bangsabangsa di dunia masih menganggap kerdil bangsa Indonesia, atau sebenarnya di antara bangsa Indonesia sendiri ada yang membuat kerdil pemikiran bangsa sendiri. Hal demikian masih dimilikinya sikap mental yang belum bisa menghargai karya orang lain, terutama karya sesama bangsa Indonesia sendiri. Semua ini hendaknya menjadikan pelajaran untuk semua bangsa Indonesia, terutama bagi mahasiswa dan generasi muda lainnya, dalam mempersiapkan 9 diri meningkatkan kualitas SDM, dan dapat menghargai karya, dan prestasi baik dari bangsa sendiri atau bangsa lain dalam persaingan di era globalisasi. Bukti idealisme bangsa Indonesia mendahului hasil kongres ahli hukum internasional dapat dikaji dengan indikator ciri-ciri Negara Hukum Dinamis, dari hasil kongres di Bangkok 1965, UUD 1945 juga memuat dasar-dasar sebagaimana terdapat dalam konsep rechtsstaat maupun rule of law, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Perlindungan Konstitusional Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari dari menjamin hak-hak asasi individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin. Sebelum Indonesia merdeka bangsa Indonesia telah mempersiapkan perlunya UUD tertulis yang telah dirumuskan dalam Piagam Jakarta yang awalnya akan dibuat sebagai pembukaan UUD Indonesia merdeka. Ketentuan tersebut dimuat dalam alinea keempat dan rencana tersebut berhasil diwujudkan dengan beberapa perubahan, namun untuk perlu adanya suatu UUD, maka tetap dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 Proklamasi, Yaitu”…, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”. Konstitusi atau UUD akhirnya berhasil ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, adalah bukti nyata bahwa bangsa Indonesia sungguh-sungguh mewujudkan konstitusi sebagai dasar pengaturan hidup Negara Indonesia yang baru merdeka. Pernyataan ini diperkuat dengan Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Hal ini berarti bahwa Pemerintah Indonesia diatur berdasarkan Hukum Dasar Indonesia. Pengaturan tentang perlindungan 10 individu, maupun kelompok sebagai bangsa di dunia tercermin pada pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 Proklamasi, yaitu: 1) Pengaturan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu alinea satu sampai alinea ke empat yaitu hak untuk merdeka, hak mewujudkan kemerdekaan, pernyataan merdeka, serta perlindungan hak seperti untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar Negara, 2) Pengaturan dalam batang tubuh UUD 1945 Proklamasi, ketentuan tentang perlindungan hak individu, seperti hak memilih pekerjaan, kebebasan berkumpul dan berserikat, persamaan dalam hukum dan pemerintahan, kebebasan beragama, perlindungan terhadap fakir miskin dan anak terlantar. b. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak Indonesia sebagai negara hukum memberikan penegasan bahwa pemerintahan yang dijalankan adalah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Penegasan ini juga berlaku pada Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman. Pasal 24 UUD 1945, menyatakan: Kekuasaan kehakiman dilakukan sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Setelah UUD 1945 diamandemen pernyataan dari penjelasan ditetapkan dalam batang tubuh UUD 1945 Amandemen yang berbunyi: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan (kekuasaan kehakiman yang mandiri). c. Pemilihan umum yang bebas Meski negara Indonesia yang baru merdeka, namun UUD 1945 Proklamasi secara formal telah memuat pemikiran untuk penyelenggaraan 11 pemilihan umum di kelak pemerintahan sudah berjalan normal dan stabil. Pemilihan umum pertama kemudian dilaksanakan pada tahun 1955 dengan UUD Negara adalah UUDS Tahun 1950. Pemilihan umum pertama di Indonesia tersebut telah menetapkan asas pemilihan umum yang bebas, umum dan rahasia. Dalam pemerintahan Orde Baru asas pemilihan umum langsung, bebas, umum dan rahasia, dengan dikenal istilah luber. Pada era Reformasi asas ini ditambah dengan jujur dan adil. Penambahan asas jujur dan adil ini merupakan reaksi pemilihan umum era Orde Baru, yang dianggap tidak jujur sehingga perlu adanya penekanan bahwa asas langsung, umum, bebas dan rahasia perlu ditambah dengan jujur dan adil (luber dan jurdil) d. Kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi Pentingnya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan kebebasan berserikat/berorganisasi merupakan hal yang penting dalam menjamin hak warga dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu dirasa perlu oleh pendiri negara, sehingga dimasukkan dalam ketentuan batang tubuh UUD 1945, yakni dalam pasal 28, yang menyatakan: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Satu ketentuan yang tidak tersurat adalah kebebasan beroposisi, karena sistem pemerintahan Indonesia tidak mengenal oposisi, meskipun dalam era Reformasi ada partai yang menyatakan diri sebagai oposisi dan tidak bersedia bergabung dengan partai yang memimpin Pemerintahan. Namun posisi oposisi tersebut, tidak sebagaimana partai oposisi dalam sistem pemerintahan parlementer, bisa jadi posisi partai oposisi itu disebut posisi semu (quasi opposition) 12 e. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education) Sejak berlakunya UUD 1945 Proklamasi, pendidikan di Indonesia telah memasukkan Pendidikan Kewarganegaraan, meski dalam perkembangannya terjadi perubahan-perubahan. Misalnya dari nama Civics, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan kembali pada Pendidikan Kewarganegaraan. Di perguruan tinggi juga pernah diberikan mata kuliah Pancasila, Kewiraan, dan sekarang Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan demikian sejak UUD 1945 Proklamasi, bangsa Indonesia secara konsisten memberikan materi Pendidikan Kewarganegaraan dalam pendidikan formal, meski dengan sebutan yang disesuaikan dengan era pemerintahan Indonesia. Karena dalam pelaksanaan, materinya banyak mendapatkan intervensi pemerintah yang sedang berkuasa, guna pembenaran kekuasaannya. Oleh karena itu dalam Pendidikan Kewarganegaraan sekarang, diarahkan untuk pembinaan pendidikan karakter bangsa yang bertanggungjawab terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk semua kehidupan yang mendukung hak dan kewajiban warga negara, bertanggung jawab dalam proses demokrasi, serta mendukung pemerintahan yang demokratis, tanpa memandang golongan atau partai tertentu yang diakui secara sah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. f. Adanya pemisahan kekuasaan Pemisahan kekuasaan Negara adalah teori yang dicetuskan oleh John Locke, yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dan kemudian dikenal dengan Trias Politika Montesquieu. Menurut John Locke pemisahan kekuasaan Negara menjadi legislatif atau badan pembuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang yang merangkap tugas peradilan, sedang federatif kekuasaan dalam hubungan 13 luar negeri. Teori ini diperbarui oleh Montesquieu yaitu, legislatif badan pembuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dan hubungan luar negeri, dan kekuasaan yudikatif sebagai badan kehakiman. Negara Indonesia yang memiliki lembaga sebagaimana disebut dalam tugas-tugas legislatif, eksekutif dan yudikatif, namun kekuasaan ketiga lembaga tersebut tidak terpisah sama sekali, karena dalam melaksanakan kekuasaan di antara ketiga lembaga tersebut, masih ada diperlukan kerja sama. Namun demikian tidak dapat disangkal, bahwa ketiga kekuasaan tersebut, kekuasaan utamanya adalah kekuasaan seperti disebut Montesquieu. Disamping ketiga kekuasaan seperti yang disebut dalam Trias Politika Montesquieu, di Indonesia masih terdapat lembaga Negara lain, seperti MPR, DPD, BPK, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Dengan kenyataan tersebut, nampaknya Indonesia termasuk negara yang dipengaruhi oleh teori Montesquieu, namun pengaruh tersebut tidak mutlak diikuti bangsa Indonesia baik sifat pemisahan kekuasaan maupun jumlah Lembaga Negara yang ada. Indonesia tidak menganut pemisahan kekuasaan, tetapi menggunakan sistem pembagian kekuasaan. g. Adanya pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan Pada Pembukaan UUD 1945 Amandemen alenia keempat dipaparkan, bahwa:”…, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia” juga dalam penjelasan tentang Indonesia sebagai Negara hukum, dan UUD 1945 Amandemen juga menyebutkan: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan (kekuasaan kehakiman yang mandiri), serta pengaturan dan tugas lembaga telah digariskan dalam UUD 1945 sampai pada UUD 1945 Amandemen, adalah bukti pemerintahan Negara Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 14 h. Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan Peradilan administrasi dalam perselisihan tidak lain adalah Peradilan Tatausaha Negara atau Peradilan Administrasi Negara. Peradilan ini dianut pada konsep rechtsstaat, tetapi tidak dilaksanakan di Negara Anglo saxon. Indonesia yang mewarisi hukum Belanda dari konsep rechtsstaat dalam realisasinya peradilan di Indonesia terdapat peradilan Tata Usaha Negara. Adanya Peradilan Tata Usaha atau Administrasi Negara terlihat dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menetapkan empat lingkungan peradilan yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Administrasi Negara. i. Adanya jaminan kedudukan sama dalam hukum Jaminan dari Negara terhadap warga Negara khususnya di Indonesia, telah ditegaskan dalam UUD 1945 Proklamasi maupun Amandemen dalam pasal 27, yang menyatakan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Berdasarkan ketentuan tersebut, menunjukkan bangsa Indonesia menjunjung nilai demokrasi secara nyata baik dalam bidang hukum maupun pemerintahan, serta kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan, tanpa terkecuali apakah kedudukannya sebagai pejabat atau warga Negara pada umumnya. j. Adanya supremasi hukum Supremasi hukum adalah bagian ciri utama dari konsep Anglo Saxon, namun dalam konsep Eropa Kontinental, diwakili Krabbe maupun Kranenburg yang menganut teori kedaulatan hukum konsisten dengan idenya, bahwa hukum merupakan kedaulatan tertinggi Negara, juga menempatkan hukum di atas kekuasaan lain. Indonesia yang dipengaruhi konsep Kontinental juga terpengaruh teori tersebut. Sebagaimana telah disebut pada Negara berdasar konstitusi dan persamaan hukum, 15 pengakuan tentang supremasi hukum di Indonesia, tidak terpisah dengan ketentuan tersebut. Pembukaan, Penjelasan dan Batang Tubuh UUD 1945 Proklamasi dan Amandemen, mengatur pengakuan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karenanya pengaturan Negara baik yang mengatur lembaga Negara maupun warga Negara harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. k. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia dalam UUD Semua alinea dalam Pembukaan UUD 1945 Proklamasi dan Amandemen, tidak mengalami perubahan, semua mengandung akan jaminan hak asasi manusia. Batang Tubuh UUD 1945 Proklamasi dan Amandemen yang telah mengatur hak-hak asasi manusia banyak mengalami penambahan ayat, meski pasal-pasalnya tidak mengalami perubahan, seperti pasal 27, 28, 29, 32, 33, dan 34. Untuk mengetahui lebih rinci tentang hak-hak asasi manusia dari perspektif historis, dan jaminannya, baik dalam UUD maupun dalam Undang-Undang di Indonesia, akan dibahas lebih lanjut pada bagian sub Bab, HAM dalam pengaturan dan pelaksanaan hukum di Indonesia. B. Penegakan Hukum di Indonesia Proses penegakkan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga penegak hukum seperti: a. Kepolisian Fungsi kepolisian Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dalam negeri yang meliputi keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dari fungsi tersebut Kepolisian Republik Indonesia memiliki tugas pokok, sebagai berikut: 16 1) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, 2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan, 3) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, 4) Melayani kepentingan masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/ atau pihak yang berwenang, 5) Melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk menjalankan fungsi dan tugas tersebut, kepolisian diberikan wewenang, antara lain: 1) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatua bangsa, 2) Memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum ataupun kegiatan masyarakat lainnya, 3) Memberikan ijin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam, 4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, 5) Melakukan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan, 6) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan dalam putusan pengadilan, kegitan isntansi lain dan kegiatan masyarakat. b. Kejaksaan 17 Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan dan penyidikan pidana khusus berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaksanaan kekuasaan tersebut di tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh Kejaksaan Negeri, tingkat provinsi oleh Kejaksaan Tinggi dan di tingkat pusat oleh Kejaksaan Agung. Untuk melaksanakan kekuasaannya kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: 1) Melakukan penuntutan, 2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, 3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat, 4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, 5) Melengkapi bekas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. c. Komisi Pemberantasan Korupsi Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan tugas dan wewenang KPK sebagai berikut: 1) Tugas KPK Beberapa tugas pokok KPK adalah: a) Berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, b) Supervisi terhadap instansi berwenang terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, 18 c) Melakukan peyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, d) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, e) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara. 2) Wewenang KPK: a) Melakukan pengawasan, penelitian, penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang dengan pemberantasan korupsi, b) Mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan, c) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi, d) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi e) Hanya menangani korupsi yang terjadi setelah 27 Desember 2002 f) Pengadilan tindak pidana korupsi tidak bisa berjalan dengan landasan hukum KPK, MK telah memutuskan bahwa UU tentang TIPIKOR harus sudah selesai dalam waktu 3 tahun (2009). Jika tidak selesai, maka keberadaan pengadilan TIPIKOR harus dinyatakan bubar serta merta kewenangannya dikembalikan pada pengadilan umum. d. Badan Peradilan Menurut Undang-Undang No. 4 dan 5 Tahun 2004, tentang kekuasaan Kehakiman dan MA, bahwa MA bertindak sebagai lembaga penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta membantu pencari keadilan. Badan peradilan di Indonesia berada di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan tingkat nasional, terdiri atas: 19 1) Peradilan Negeri, berkedudukan di kabupaten/kota adalah peradilan umum tingkat pertama, 2) Peradilan Tinggi, berkedudukan di tingkat provinsi, adalah peradilan umum yang menangani tingkat banding, dengan penekanan perkara prioritas korupsi, terorisme, narkoba, maupun pencucian uang, 3) Mahkamah Agung (MA), puncak kekuasaan kehakiman yang berhak mengadili tingkat kasasi, serta menguji peraturan di bawah UU, 4) Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir, untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik, serta memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum. 20 LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas kerjakan latihan berikut ini: 1. Jelaskan kebutuhan terhadap negara hukum 2. Jelaskan konsep negara hukum 3. Jelaskan Indonesia sebagai negara hukum 4. Jelaskan proses penegakan hukum di Indonesia Petunjuk Jawaban Latihan: 1. Pelajari kembali materi pada kegiatan belajar 1 dan 2 2. Diskusikan dengan teman-teman Anda 3. Kerjakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 3-5 orang anggota TES FORMATIF SOAL TEMATIK 1. Sebutkan lembaga yang bertugas dalam menangani pemberantasan korupsi, tetapi tidak tercantum dalam UUD 1945? SOAL PILIHAN 1. Warga negara dan penduduk pada hakekatnya mempunyai satatus hukum ..... Jawaban: a. Sama status hukumnya b. Tidak sama status hukumnya 2. Salah satu lingkungan peradilan yang disebut dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945 adalah lingkungan peradilan umum. Lembaga peradilan tertinggi dalam lingkungan peradilan umum adalah... Jawaban: a. Mahkamah Konstitusi b. Mahkamah Agung 3. Yang mengesahkan Undang-Undang agar mempunyai kekuatan hukum yang mengikat adalah.... Jawaban: a. Presiden 21 b. DPR 4. Yang berwenang memberikan pengurangan masa hukuman atau pembebasan adalah . Jawaban: a. Mahkamah Agung b. Presiden 5. Menurut UUD 1945, salah satu lingkungan peradilan yang disebut dalam pasal 24 ayat 2 adalah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Peradilan TUN adalah sebuah lembaga peradilan yang menangani sengketa hukum ... Jawaban: a. Hukum Ketenagakerjaan b. Hukum Administrasi Negara 22 Modul 2 KONSTITUSI Dalam modul ini Anda akan diajak menganalisis konsep konstitusi secara umum dan konstitusi dalam konteks Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi dalam modul ini Anda diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut: Kegiatan Belajar 1: a. Dapat memahami istilah dan pengertian konstitusi (undang-undang dasar) b. Dapat memahami keberadaan dan tujuan konstitusi Kegiatan Belajar 2: a. Dapat memahami konstitusi atau undang-undang dasar di Indonesia b. Dapat memahami Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Agar semua harapan di atas dapat terwujud maka di dalam modul ini disajikan pembahasan dan latihan dengan butir uraian sebagai berikut: a. Istilah dan Pengertian Konstitusi (Undang-Undang Dasar) b. Keberadaan dan Tujuan Konstitusi c. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar di Indonesia d. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Untuk membantu Anda dalam mencapai harapan kemampuan di atas ikutilah petunjuk belajar sebagai berikut: a. Bacalah petunjuk bagaimana mempelajari modul ini. b. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci. c. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui pemahaman sendiri dan atau tukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen Anda. d. Temukan prinsip, konsep, dan prosedur. e. Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi mengenai pengalaman simulasi dalam kelompok kecil atau klasikal. 23 Kegiatan Belajar 1 Istilah dan Pengertian Konstitusi (Undang-Undang Dasar) serta Keberadaan dan Tujuan Konstitusi A. Istilah dan Pengertian Konstitusi (Undang-Undang Dasar) Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis "Constituere" yang berarti menetapkan atau membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan sebagai pembentukan atau penyusunan suatu negara. Dalam ketatanegaraan, istilah konstitusi di berbagai negara dipergunakan beragam. Di Belanda menggunakan kata "constitutie" di samping kata "grond wet". Inggris dan Amerika Serikat menggunakan kata "constitution". Dalam istilah sehari-hari Konstitusi sering disamakan dengan Undang-Undang Dasar (UUD). UUD sendiri adalah terjemahan dari kata "grond wet" yang berasal dari bahasa Belanda, yakni grond artinya dasar, sementara kata wet berarti undang-undang. Makna konstitusi secara mendalam ada dalam konstitusionalisme (Mahfud MD, 2000; Budiardjo, 2008), yaitu suatu istilah yang kemunculannya di abad ke 18, untuk menegaskan Doktrin Amerika tentang supremasi konstitusi tertulis yang hierarkinya berada di atas Undang-Undang, yang hanya dibuat oleh lembaga legislatif. Meskipun istilah konstitusionalisme baru popular abad ke 18, tetapi sebagai gagasan dan praksis kehidupan modern, konstitusionalisme telah berkembang lebih lama, yakni suatu gagasan pembatasan kekuasaan penguasa di dalam sebuah konstitusi, sebenarnya telah ada sejak berkembangnya negara teritorial di bawah kekuasaan raja-raja dan dalam kehidupan negara-negara di Eropa Barat sejak abad ke 12. Gagasan konstitusionalisme sebagai alat pembatasan kekuasaan sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan gagasan Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi dan negara hukum, yang harus dimuat di dalam sebuah aturan dasar kegiatan politik yang kemudian disebut konstitusi. Dalam perkembangan teoritis dan praktik kenegaraan, terdapat pandangan yang mempersamakan Konstitusi dengan UUD, tetapi juga terdapat pandangan 24 lain yang menyatakan bahwa Konstitusi tidak sama dengan UUD. Perbedaan pandangan ini terjadi karena perbedaan sudut pandang dalam memberikan pengertian terhadap konstitusi, yakni pengertian dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian konstitusi dalam arti sempit, hanya mencakup konstitusi tertulis saja, yaitu UUD. Pada saat sekarang, banyak sarjana yang menyamakan kedua istilah itu, yakni konstitusi dan UUD. Karena dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara menganggap konstitusi atau UUD itu dibuat sebagai pegangan untuk menyelenggarakan negara. Penyamaan istilah konstitusi dengan UUD adalah pengaruh aliran kodifikasi, tapi sebelum itu sudah terjadi, ketika Oliver Cromwell menjadi Lord Protector Inggris (1649-1660) yang menyebut UUD sebagai Instrument of Goverment, yaitu pegangan untuk memerintah. (Subardi, 2001). Pandangan yang menyamakan Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, antara lain CF. Strong, James Bryce (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), dan K.C. Wheare (Subardi, 2001) . CF. Strong mengemukakan bahwa konstitusi adalah sekumpulan asas-asas yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak dari yang diperintah, dan hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Sementara James Bryce memberikan pengertian konstitusi sebagai kerangka negara yang diorganisasikan dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan; a) peraturan mengenai pendirian lembaga-lembaga permanen; b) fungsi dari lembaga-lembaga tersebut; dan c) hak-hak tertentu yang ditetapkan. K.C. Wheare (1975) mengartikan kontitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Peraturan-peraturan ini sebagian bersifat legal (bersifat hukum) dalam arti pengadilan berwenang mempertahankannya, dan sebagian tidak bersifat hukum (nonlegal) atau ekstralegal yang berasal dari kebiasaan dan konvensi, karena pengadilan tidak dapat mempertahankan terhadap pelanggaran yang terjadi. 25 Wheare juga menegaskan bahwa konstitusi, untuk sebagian besar negara di dunia diartikan sebagai aturan-aturan yang mengatur ketatanegaraan suatu negara yang telah dibukukan dalam suatu dokumen (kodifikasi), dan sejak diumumkan Konstitusi Amerika pada tahun 1787, istilah maupun pengertian konstitusi sebagai dokumen tertulis disamakan dengan UUD. Konstitusi yang disamakan artinya dengan UUD, memiliki ciri-ciri umum (Subardi, 2001) : a. Konstitusi itu sebagai kumpulan kaidah hukum yang diberi kedudukan tertinggi dalam negara (supreme law), karena dimaksudkan sebagai alat untuk membatasi wewenang penguasa. b. Konstitusi memuat prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang dianggap paling pokok mengenai kehidupan bernegara. c. Konsitusi biasanya lahir dari momen sejarah yang terpenting bagi masyarakat (negara) yang bersangkutan, seperti pembebasan dari penjajahan, keberhasilan dari suatu revolusi dan sebagainya. Sistem ketatanegaraan Indonesia juga pernah mempersamakan antara Undang-Undang Dasar dengan Konstitusi, yang keduanya digunakan untuk saling mengisi/mengganti sebagai hukum dasar Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949, dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Sementara pengertian konstitusi dalam arti luas, maka konstitusi adalah mencakup keseluruhan peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur secara mengikat bagaimana suatu pemerintahan negara diselenggarakan dalam masyarakat. Pengertian UUD menurut E.C.S. Wide dan G.Philips (Mahfud MD, 200, Budiardjo, 2008 ; Priyanto, 2003) adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah atau negara dan menentukan cara kerja badan-badan tersebut. Konstitusi berarti sebagai peraturan dasar dari suatu negara. Menurut Sri Sumantri (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), konstitusi berarti suatu naskah yang memuat suatu bangunan 26 negara dan sendi-sendi sistem pemerintahan negara. Tim ICCE UIN (2003) memberikan pengertian konstitusi adalah sejumlah aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara negara dan masyarakat (rakyat) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengertian konstitusi dalam arti luas diberikan oleh kelompok yang membedakan Konstitusi dan Undang-Undang Dasar di antaranya Apeldoorn (Supriatnoko, 2008), yang mengemukakan bahwa konstitusi memuat aturan tertulis dan tidak tertulis, sedang Undang-Undang Dasar merupakan bagian tertulis dari Konstitusi. Pendapat senada dikemukakan Herman Heller (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003) bahwa Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis melainkan bersifat sosiologis dan politis, sedangkan Undang-Undang Dasar hanya merupakan bagian dari pengertian Konstitusi. Heller membagi pengertian konstitusi dalam tiga cakupan, (Koesnardi dan Saragih, 1974) yaitu: a. Konstitusi sebagai pengertian sosial politik. Pada tingkat ini, konstitusi baru mencerminkan keadaan sosial politik, kenyataan yang ada dalam masyarakat, belum merupakan pengertian hukum. b. Konstitusi sebagai pengertian hukum (juridis). Pada tingkat ini , keputusankeputusan yang ada dalam masyarakat tersebut dijadikan sebagai rumusan yang normatif, yang harus ditaati. Pada tingkat ini, konstitusi tidak selalu tertulis, tapi ada juga yang tidak tertulis, dan yang tertulis biasanya dalam arti terkodifikasi. c. Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum, yakni peraturan hukum yang tertulis. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ferdinand Lasalle (Saiful Anwar, 1996:47), yang membagi konstistusi dalam dua pengertian, yaitu : a. Konstitusi dalam pengertian sosiologis dan politis, yaitu berupa faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan nyata yang ada dalam negara, antara lain seperti; 27 raja, parlemen, kabinet, kelompok penekan (pressure group), dan partai politik. b. Konstitusi dalam pengertian juridis, yaitu yang tertulis dalam suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan. Dalam praktik kenegaraan hukum dasar yang tidak tertulis merupakan bagian dari Konstitusi disebut dengan konvensi. Di Inggris keberadaan konvensi dimulai dengan Piagam Magna Charta 1215. Di Amerika Serikat konvensi dilaksanakan oleh para presiden yang telah dua kali berturut-turut tidak ada lagi yang mencalonkan diri, meskipun pembatasan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat. Di Indonesia Pidato Kenegaraan setiap tanggal 16 Agustus termasuk salah satu konvensi yang sampai sekarang masih dilestarikan. B. Keberadaan dan Tujuan Konstitusi Menurut Mahfud MD (2000), secara umum konstitusi diartikan sebagai aturan dasar ketatanegaraan yang setelah disarikan dari ajaran kedaulatan rakyat. Rousseau memandang konstitusi sebagai perjanjian masyarakat yang berisikan pemberian hak oleh masyarakat dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara. Dengan kata lain konstitusi sebenarnya tidak lain dari realisasi demokrasi dengan kesepakatan bahwa kebebasan penguasa ditentukan oleh warga masyarakat dan bukan sebaliknya, kebebasan masyarakat ditentukan oleh penguasa. Oleh sebab itu, setiap pelanggaran atas konstitusi harus dipandang sebaga pelanggaran atas kontrak sosial. Dalam kesimpulan analisisnya Mahfud MD (2000), menyatakan esensi dari konstitusionalisme yang melahirkan konstitusi minimal terdiri atas 2 hal: a. Konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah, oleh karena itu hukum harus mengontrol dan mengendalikan politik, 28 b. Konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi, sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara terhadap warga negara. Terkait dengan kedua ciri konstitusionalisme tersebut, maka beberapa hal yang harus ditegaskan dalam konstitusi menurut Bambang Widjoyanto (1998) adalah: a. Public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi; b. Menurut pelaksanaan kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan dengan menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan pengangkatan eksekutif harus melalui pemilihan yang demokratis; c. Pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasan wewenang; d. Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan hukum dan keadilan baik terhadap rakyat maupun terhadap penguasa; e. Adanya sistem kontrol terhadap militer dan kepolisian untuk menegakkan hukum dan menghormati hak-hak rakyat; f. Adanya jaminan perlndungan HAM. Keadaan yang hampir sama tentang hal-hal yang harus ditegaskan dalam konstitusi menurut Mahfud MD (2000) adalah: a. Supremasi hukum dalam arti memberikan posisi sentral pada hukum sebagai pedoman dan pengarah menurut hierarkinya dan menegakkan tanpa pandang bulu, b. Pengambilan keputusan secara legal oleh Pemerintah dalam arti bahwa dalam setiap keputusan haruslah sah baik formal-prosedurnya maupun substansinya, c. Jaminan atas rakyat untuk menikmati hak-haknya secara bebas berdasarkan ketentuan hukum yang adil, d. Kebebasan pers untuk mengungkap dan mengekspresikan kehendak, kejadian, dan aspirasi yang berkembang di masyarakat maupun aspirasi institusi itu sendiri, 29 e. Partisipasi masyarakat dalam proses kenegaraan, f. Pembuatan kebijaksanaan yang tidak diskriminatif terhadap golongan, gender, agama, ras, dan ikatan primordial lainnya, g. Akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat, h. Terbukanya akses masyarakat bagi keputusan negara dan pemerintah. Dari cakupan materi, maka keberadaan konstitusi diadakan untuk suatu fungsi dan tujuan dalam kehidupan bernegara. Keberadaan konstitusi dalam suatu negara yang berkaitan dengan fungsi adalah sebagaimana dikemukakan oleh C.J. Friedrich (Miriam Budiardjo, 2008) bahwa konstitusi merupakan proses (tata cara) untuk membatasi perilaku pemerintah secara efektif. Konstitusi mempunyai fungsi khusus dan meupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya rakyat, tetapi juga oleh pemerintah. Pembatasan-pembatasan kekuasaan dalam konstitusi diwujudkan dalam bentuk membagi kekuasaan dalam negara, membatasi kekuasaan dari penguasa dalam negara, dan adanya akses yang bebas untuk mengawasi kekuasaan yang dilaksanakan para penguasa, baik melalui saling mengawasi dan mengendalikan secara seimbang dan proporsial (checks, balances and proportional system) antara lembaga negara maupun akses terbuka dan bebas dari warganegara (free and open information). Terhadap fungsi yang dimiliki oleh konstitusi atau UUD, maka Joeniarto (1980) melihat sebagai fungsi konstitusi pada umumnya memiliki dua dimensi : a. Ditinjau dari tujuannya, adalah untuk menjamin hak-hak anggota warga masyarakatnya, terutama warganegara dari tindakan sewenang-wenang penguasa; b. Ditinjau dari penyelenggaraan pemerintahannya, adalah untuk dijadikan landaan struktural penyelenggaraan pemerintahan menurut sistem ketatanegaraan yang pasti dan pokok-pokoknya telah digambarkan dalam aturan-aturan konstitusi atau UUD. 30 Sementara keberadaan konstitusi yang berkaitan dengan tujuan adalah seperti dikemukakan oleh Karl Loewenstein (Astawa, 1993): a. Sebagai aturan yang memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik, b. Sebagai sarana melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasa sendiri, c. Memberikan batasan-batasan ketetapan para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Keberadaan konstitusi baik dilihat dari fungsi maupun tujuannya esensinya adalah membatasi kekuasaan pemerintahan negara sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan negara tidak bersifat sewenang-wenang atau melakukan penyalahgunaan wewenang. Dari pembatasan itu, maka hak-hak warga negara lebih terjamin dan terlindungi secara pasti. Gagasan ini disebut dengan konstitusionalisme. Konstitusionalisme menurut C.J. Friederich (Koenardi dan Saragih, 1994) adalah pemerintahan yang merupakan kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan menjamin, bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu, tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Pembatasan kekuasaan atas lembaga-lembaga penyelenggara negara itu, menurut Padmo Wahyono (Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni'matul Huda, 2001) adalah mencakup dua hal : a. Pembatasan kekuasaan yang meliputi isi kekuasaannya. b. Pembatasan kekuasaan yang berkenan dengan waktu dijalankannya kekuasaan tersebut. Pembatasan kekuasaan dalam arti mengandung arti, bahwa dalam konstitusi, kekuasaan lembaga negara ditentukan tugas dn wewenangnya. Pemerintah harus diawasi oleh Badan Perwakilan Rakyat dan juga elemen-elemen warganegara yang ada di dalam masyarakat, termasuk rakyat sendiri. Sementara pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan waktu, menyangkut pembatasan kekuasaan 31 mengenai masa waktu itu dapat dijalankan. Hal demikian berkenaan dengan masa jabatan masing-masing lembaga negara atau pejabatnya dalam menjalankan kekuasaannya. Agar keberadaan konstitusi jelas kepastiannya tentang fungsi dan tujuannya, maka menurut Sri Sumantri (1979), konstitusi berisi tiga hal pokok: a. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara, b. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, dan c. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Sementara Miriam Budiardjo (1977) mengemukakan setiap UUD hendaknya memuat ketentuan-ketentuan mengenai : a. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedu penyelesaian masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya. b. Hak-hak asasi manusia. c. Prosedur mengubah UUD d. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. 32 Kegiatan Belajar 2 Konstitusi dan Undang-Undang Dasar di Indonesia, Serta Amandemen UndangUndang Dasar 1945 A. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar di Indonesia Sebagaimana disebut di bagian awal, bahwa di Indonesia istilah Konstitusi dan Undang-Undang Dasar pernah disejajarkan keberadaannya sebagai hukum dasar tertulis. Oleh karena itu dalam pembahasan berikut khusus berlaku di Indonesia akan menggunakan istilah tersebut sesuai dengan masa berlakunya Konstitusi atau Undang-Undang Dasar di Indonesia. 1. Penetapan Undang-Undang Dasar dan Konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar Proklamasi yang kemudian kita kenal dengan UUD 1945, ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Perumusan tentang rencana dasar negara dan UUD 1945 sebelumnya telah dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dimulai dalam siding pertama BPUPKI pada tanggal 9 Mei sampai 1 Juni 1945 dengan ketua Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Dalam sidang pertama BPUPKI, permasalahan mendasar yang menjadi agenda persidangan adalah perumusan dasar negara. Tiga tokoh Moh. Yamin, Supomo, dan Sukarno, menyampaikan usulan dasar negara. Sukarno yang mendapatkan kesempatan menyampaikan pokok pikirannya dengan mengusulkan lima dasar negara yang dinamai dengan Pancasila. Sidang pertama BPUPKI belum menghasilkan keputusan berarti, sehingga sidang dilanjutkan dengan dibentuknya dua panitia, yaitu Panitia Kecil, dikenal sebagai Panitia Sembilan yang diketuai oleh Sukarno dan Panitia Perancang UUD yang diketuai oleh Supomo. Panitia Sembilan berhasil merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang akan direncanakan sebagai Pembukaan UUD negara, sedang Panitia Perancang UUD berhasil merumuskan rancangan UUD negara tanggal 16 Juni 1945. 33 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang ditandatangani oleh SukarnoHatta atas nama Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, ditindaklanjuti dengan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang didahului kompromi antara wakil-wakil kelompok Islam dan wakil Indonesia Bagian Timur yang mayoritas berasal dari penganut agama Nasrani tentang sila pertama dasar negara dari Piagam Jakarta. Pertemuan ini terjadi karena wakil Indonesia Timur yang mayoritas pemeluk agama Nasrani merasa dinomorduakan dengan rumusan rencana dasar negara, yakni terdapat rumusan syariat Islam bagi pemeluknya. Perjuangan Bung Hatta sebagai mediator berhasil meyakinkan kedua belah pihak, yaitu kelompok Islam dan wakil Indonesia Timur, tentang rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta, dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana kita kenal sekarang. Perubahan dari sila pertama berdampak pada perubahan pasal 29, UUD 1945, serta syarat Presiden yang tadinya ada kata-kata harus beragama Islam cukup dengan orang Indonesia asli. Berdasarkan kesepakatan tersebut akhirnya UUD 1945 berhasil ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, bersama dengan pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden pertama di Indonesia. Struktur dan sistematika UUD 1945 Proklamasi terdiri dari: a. Pembukaan UUD yang terdiri dari empat alinea. b. Batang tubuh UUD, yang terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan. c. Penjelasan resmi UUD. Dengan keberhasilan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, yang menetapkan UUD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai Kepala Pemerintahan baru di Indonesia, maka keberadaan negara Indonesia baik secara de jure maupun de facto telah terpenuhi secara sempurna, yaitu: a. Rakyat, yaitu bangsa Indonesia. 34 b. Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, yakni mencakup bekas wilayah jajahan Pemerintah Hindia Belanda. c. Pemerintah yang berdaulat, Pemerintah dipimpin Sukarno-Hatta, dengan penuh kedaulatan ke dalam dan keluar. Kedaulatan ke dalam karena Indonesia telah memiliki Presiden dan Wakil Presiden dan bertanggungjawab terhadap politik pemerintahan dalam negara Indonesia, sedang kedaulatan keluar seperti adanya pengakuan dari negara sahabat yang banyak memberi dukungan moril terhadap perjuangan bangsa Indonesia, yaitu negara India dan Mesir yang langsung menyambut baik dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Keberadaan Negara Proklamasi yang telah memenuhi persyaratan utama sebagai negara, ternyata tidak demikian dengan pandangan pemerintah kerajaan Belanda yang tidak mau mengakui berdirinya negara Indonesia, karena Belanda menganggap secara de jure Indonesia (Hindia Belanda) masih berada di bawah kekuasaannya berdasarkan perjanjian-perjanjian yang diperoleh Belanda, sejak era VOC sampai Hindia Belanda dari raja-raja Indonesia, sehingga dengan berbagai cara Belanda berusaha ingin menguasai kembali Indonesia yang telah merdeka, sebagaimana sebelum kedatangan Jepang di Indonesia. Penyerangan tentara Belanda terhadap Pemerintah Indonesia tidak mendapatkan dukungan penuh dari sekutu Belanda. Hal demikian terjadi karena kepiawaian diplomasi politik yang dilakukan oleh kementerian luar negeri dan diplomat Indonesia di luar negeri, sekaligus begitu kuatnya perlawanan rakyat dengan kekuatan intinya TNI di dalam negeri. Sehingga ketika agresi Belanda pertama dilakukan, Belanda harus terpaksa berunding dengan Indonesia atas prakarsa Amerika Serikat, dan berhasil melahirkan persetujuan Renville. Para agresi Belanda ke dua diakhiri dengan perundingan Meja Bundar yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag Belanda. Salah satu hasil 35 penting adalah pengakuan kemerdekaan Indonesia dengan bentuk negara serikat, sehingga Indonesia menjadi Negara Indonesia Serikat dengan dasar negara Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya KRIS, maka UUD 1945 yang tidak pernah dicabut, tatap berlaku sebagai UUD Negara Indonesia Proklamasi yang merupakan bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS) sebagai negara federal yang berdasarkan pada KRIS. Bentuk negara serikat sesungguhnya bertentangan dengan cita-cita perjuangan awal Bangsa Indonesia yang mencita-citakan bentuk negara kesatuan. Bentuk serikat diterima oleh delegasi Indonesia di bawah pimpinan Moh Hatta sebenarnya merupakan bagian strategi perjuangan diplomasi Bung Hatta, agar Pemerintah Indonesia mampu menata pemerintahan dengan politik de vide at impera, namun kondisi dan kesadaran Bangsa Indonesia sudah berubah, tidak sebagaimana awal Belanda datang di Indonesia. Kekhawatiran akan kegagalan politik de vide at impera untuk memecah belah Indonesia telah diantisipasi Belanda, yakni dengan masih mempertahankan Irian Barat untuk dibahas di kemudian hari tanpa batas waktu yang jelas. Kondisi ini sengaja dibuat Belanda untuk menyisakan bom waktu yang setiap saat akan meledakan persatuan dan kesatuan di wilayah Indonesia. Meskipun NIS berdiri atas tekanan Belanda, namun strategi Bung Hatta ternyata cukup berhasil berkat dukungan Bangsa Indonesia yang setia kepada negara Proklamasi dengan bentuk negara kesatuan, dalam waktu delapan bulan NIS bubar dan Bangsa Indonesia kembali kepada negara kesatuan, yang diikuti dengan perubahan UUD, dengan mengubah KRIS menjadi UUD Sementara Tahun 1950 yang kemudian dikenal dengan UUDS tepat pada hari ulang tahun Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1950. UUDS, yang diadopsi dari KRIS berlaku hampir Sembilan tahun. Keberadaan Badan Konstintuante hasil pemilihan umum 1955, yang harus 36 membuat UUD baru untuk menggantikan UUDS gagal mencapai kata sepakat, khususnya tentang penetapan dasar negara antara Islam dan Pancasila. Hal yang sama juga terjadi terhadap anjuran Presiden Sukarno kepada Konstintuante untuk kembali kepada UUD 1945, tidak berhasil memenuhi quorum untuk menentukan/menetapkan UUD baru. Adanya pernyataan dari sebagian anggota Konstintuante untuk tidak hadir dalam pembahasan penetapan UUD, menjadikan salah satu alasan Negara Indonesia dalam keadaan bahaya. Pernyataan kondisi negara dalam keadaan bahaya dari Presiden Sukarno mendapat dukungan tentara dan Perdana Menteri Juanda, sehingga Presiden mengeluarkan dekrit yang kemudian lebih dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan salah satu diktumnya adalah berlakunya kembali UUD 1945. Dengan berlakunya kembali UUD 1945 sampai dilakukannya kembali amandemen UU 1945, pelaksanaan UUD 1945 mengalami pasang surut, baik pada masa Orde Lama, maupun Orde Baru. Dalam kedua periode ini UUD 1945 yang sifatnya disebut-sebut sebagai UUD yang singkat dan supel justru memberikan peluang kepada pemegang kekuasaan untuk menafsirkan sesuai dengan kehendak penguasa, sehingga dalam dua periode tersebut, mendorong Pemerintah untuk menyimpang, mesti atas nama konstitusi untuk melaksanakan secara murni dan konsekwen. Kondisi ini akhirnya dikoreksi pada era Reformasi. Untuk menghindarkan dominasi eksekutif yang pernah terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru, MPR hasil pemilihan umum tahun 1999 melakukan empat kali Amandemen, yang hasilnya adalah naskah UUD 1945 Amandemen yang sekarang berlaku. 2. Perubahan Konstitusi atau UUD a. Cara Merubah Konstitusi atau UUD 37 Dalam Hukum Tata Negara dikenal adanya dua cara perubahan UUD sebagai konstitusi tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan menurut prosedur yang diatur sendiri oleh UUD. Perubahan cara yang pertama ini disebut Verfassung Anderung, yang sering disebut perubahan cara konstitusional. Kedua, perubahan yang dilakukan tidak berdasarkan pada ketentuan yang diatur dalam UUD. Perubahan dengan cara kedua ini disebut Verfassung Wandlung, perubahan ini sering disebut dengan cara yang bersifat revolusioner (Jimly Asshiddiqie, 2001). Berlaku tidaknya UUD hasil perubahan yang revolusioner tergantung pada kekuatan politik yang mendukung atau yang memberlakukannya sebagai konstitusi negara yang bersangkutan (Subardi, 2001). Menurut Robert Carr (I Gde Pantja Astawa, 1993) ada tiga cara untuk mengubah UUD, yaitu: 1) Melalui tata cara di luar UUD.Hal ini dimungkinkan, karena UUD itu, misalnya menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang Organik. 2) Melalui penafsiran yang dilakukan oleh; a) pengadilan (kekuasaan yudikatif); 2) kongres (kekuasaan legislatif); dan 3) presiden (kekuasaan eksekutif). 3) Melalui perubahan secara formal. Sebelum naskah UUD tersebut diakui dan diterima keberlakuannya oleh masyarakat luas, UUD itu biasanya masih dianggap tidak sah dan prosedur perubahannya dinilai inkonstitusional, atau setidak-tidaknya bersifat ekstrakonstitusional (Jimly Asshiddiqie, 2001). Menurut C.F. Strong (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), menyatakan bahwa prosedur perubahan Konstitusi ada empat (4) macam perubahan, yaitu: 1) Perubahan Konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu; 38 2) Perubahan Konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum; 3) Perubahan Konstitusi yang berlaku di negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian; 4) Perubahan Konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. Pendapat senada dikemukakan Miriam Budiardjo (2008), juga mengetengahkan tentang cara perubahan Konstitusi atau UUD suatu negara mengemukakan dengan 4 (empat) cara atau prosedur dalam perubahan Konstitusi atau UUD, yaitu: 1) Melalui sidang badan legislatif dengan ditambah beberap syarat, misalnya dapat ditetapkan quorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan Konstitusi atau UUD dari jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerimanya; 2) Melalui referendum atau peblesit; 3) Melalui persetujuan negara-negara bagian dalam negara federal, dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Konstitusi atau UUD federal; 4) Musyawarah khusus (special convention) Sementara Jimly Asshiddiqie (2001) berpendapat bahwa cara melakukan perubahan UUD dilakukan melalui: 1) Pembaharuan naskah, jika perubahan dalam teks UUD menyangkut hal-hal tertentu. 2) Pergantian naskah lama dengan naskah yang baru, jika materi perubahannya bersifat mendasar dan cukup banyak, maka perubahan itu dapat disebut penggantian naskah dari yang lama menjadi yang baru sama sekali. 39 3) Naskah tambahan (annex atau addendum) yang terpisah dari naskah asli UUD, yang menurut tradisi Amerika Serikat disebut Amandemen. Dalam praktik ketatanegaraan modern, kita mengenal dua teknik dalam perubahan Konstitusi atau UUD, yaitu renewal dan amandement. 1) Renewal adalah perubahan yang berupa pembaharuan dari Konstitusi atau UUD lama secara keseluruhan, sehingga yang diberlakukan adalah Konstitusi atau UUD yang baru secara keseluruhan. Cara ini dianut di Eropa Kontinental seperti Belanda, Perancis maupun Jerman, 2) Amandement (Amandemen) adalah cara perubahan Konstitusi atau UUD, yakni Konstitusi atau UUD yang lama tetap berlaku, sehingga amandemen yang dilakukan dapat mengubah, dengan cara mengurangi atau menambah pasal-pasal, dari Konstitusi atau UUD, dapat merupakan bagian lampiran, atau menyertai Konstitusi atau UUD awal. Cara amandemen ini dilaksanakan di Amerika Serikat dan di Indonesia. Terdapat dua tradisi dalam teknik perubahan UUD, yaitu tradisi Erofah Kontinental dan tradisi Amerika Serikat. Berdasarkan tradisi Erofah Kontinental, teknik perubahan dilakukan langsung ke dalam teks UUD. Jika perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD yang asli, tidak banyak mengalami perubahan. Tetapi jika materi yang diubah banyak, apalagi kalau perubahannya sangat mendasar, biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru sama sekali (pergantian). Menurut tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakkan terhadap materi tertentu dengan menetapkan naskah Amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD (Subardi, 2001). 40 b. Perubahan UUD atau Konstitusi di Indonesia Beberapa cara perubahan UUD atau Konstitusi di Indonesia dapat dilihat dari ketentuan dalam UUD atau Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia, yaitu: 1) Perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUD 1945 Proklamasi Ketentuan perubahan UUD tercantum dalam pasal 37 yang menyatakan: a) Ayat (1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah Majelis Permusyawaratan harus hadir. b) Ayat (2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Dengan mengacu pada pasal tersebut berarti perubahan UUD 1945 Proklamasi memberikan kewenangan pada MPR untuk mengubah UUD dengan persyaratan quorum tertentu atau suar terbanyak bersyarat yaitu 2/3, baik didasarkan pada kehadiran anggota MPR, dan keputusan yang diambil disetujui minimum 2/3 dari anggota MPR yang hadir. 2) Perubahan Konstitusi Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 Ketentuan tentang perubahan KRIS 1949 diatur dalam pasal 190, yaitu: a) Ayat (1) Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal 51 ayat (2), maka Konstitusi ini hanya dapat diubah dengan Undang-Undang Federal dan menyimpang dari ketentuanketentuannya hanya diperkenankan atas kuasa Undang-Undang Federal: Baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Senat tidak boleh bermufakat atau pun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, jika tidak sekurang-kurangnya 2/3 anggota sidang menghadiri rapat, 41 b) Ayat (2), Undang-Undang dimaksud dalam ayat pertama, dirundingkan oleh Senat menurut ketentuan-ketentuan Bagian 2 Bab IV. Catatan penulis, inti pada Bagian 2Bab IV dimaksud dalam keterkaitan dengan Undang-Undang adalah tentang pelaksanaan untuk membuat Undang-Undang harus ada kesepekatan Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, c) Ayat (3), Usul Undang-Undang untuk mengubah Konstitusi ini atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau pun oleh Senat dengan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir. Jika usul itu dirundingkan lagi menuntut yang ditetapkan pada pasal 132, maka Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat menerima dengan sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang hadir. Adapun pasal 132 dimaksud adalah: a) Ayat (1), Apabila Senat menolak usul yang sebelumnya itu sudah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka sungguhpun demikian, usul itu dapat juga disahkan oleh Pemerintah, jika Dewan Perwakilan Rakyat menerima dengan tidak mengubahnya lagi dan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah suara anggota yang hadir, b) Ayat (2), Keputusan yang tersebut dalam ayat pertama, hanya akan dapat diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat yang di dalamnya sekurang-kurangnya hadir 2/3 dari jumlah aggota sidang. Pola dianut KRIS 1949 dalam perubahan Konstitusi menganut pada cara badan legislatif dengan persyaratan tertentu. Sebagaimana telah kita sebut bahwa KRIS 1949 adalah produk dari KMB tampak sekali rumusan Bahasa Indonesia dalam kalimat yang berbelit-belit, sebagaimana konsep dari seseorang yang pasti bukan usulan murni 42 dari bangsa Indonesia. Struktur kalimat dalam KRIS 1949 sangat berbeda dalam struktur kalimat dalam UUD 1945 Proklamasi. 3) Perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUDS 1950 Ketentuan perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUDS 1950 diatur dalam pasal 140, yaitu: a) Ayat (1), Segala usul untuk mengubah Undang-Undang Dasar ini menunjuk dengan tegas perubahan yang diusulkan, b) Ayat (2), Usul perubahan Undang-Undang Dasar, yang telah dinyatakan dengan undang-undang itu oleh Pemerintah dengana amanat Presiden disampaikan kepada suatu badan bernama Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara dana anggota-anggota Komite Nasional Indonesia Pusat yang tidak menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, c) Ayat (3), Yang ditetapkan dalam Pasal 66, 72, 74, 75, 91, 92, dan Pasal 94 juga berlaku bagi Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Catatan penulis, ketentuan Pasal-Pasal tersebut menyangkut persidangan Dewan Perwakilan Rakyat, mulai dari kehadiran, hak suara hilang bagi yang tidak hadir dalam sidang, serta keputusan yang sah dalam sidang, d) Ayat (4), Pemerintah harus dengan segera mengesahkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar yang telah diterima oleh Majelsi Perubahan Undang-Undang Dasar. Dengan melihat ketentuan pasal 140 UUDS 1950, maka cara perubahan untuk merubah UUDS adalah dengan membentuk Badan Baru, dalam hal ini anggota legislatif dengan penambahan di luar anggota yang khusus diperuntukkan untu merubah UUD, yang disebut dengan Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Badan 43 Baru ini akhirnya diberi nama Konstituante yang terbentuk setelah pemilihan umum 1955. 4) Perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUD 1945 pada Periode Orde Lama dan Orde Baru Dengan diberlakukannya kembali UUD ’45 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan tentang perubahan UUD 1945 tidak mengalami perubahan sebagaimana diatur dalam pasal 37. Orde Lama dan Orde Baru yang tidak berniat untuk merubah UUD 1945, sehingga ketentuan tentang perubahan UUD pada pasal 37 tetap tidak mengalami perubahan. Meskipun era Orde Baru bertekad melaksanakan UUD ’45 secara murni dan konsekwen, Pemerintah Orde Baru menetapkan referendum sebagai antisipasi tuntutan perubahan UUD 1945. Penetapan referendum diatur dalam Ketetapan MPR no. IV/MPR/1983, dan ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Referendum No. 5 Tahun 1985. Pengertian referendum menurut pasal 1 UU No. 5 Tahun 1985 (No. 5/1985) adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap pendapat kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Referendum diadakan apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Tap MPR No. IV/MPR/1983. Apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945, maka terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum. Pelaksanaan referendum dilakukan oleh Presiden, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Referendum. Referendum diselenggarakan dengan cara mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat mengubah UUD 1945 bila mayoritas 44 penduduk sekurang-kurangnya 90% dari jumlah pemberi pendapat rakyat (pemilih) tersebut menyatakan setuju terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945. Dengan memperhatikan Tap. MPR No. IV/MPR/1983 serta UU No. 5/1985, bahwa Referendum untuk meminta pendapat rakyat sebagai prasyarat bagi MPR mengubah UUD 1945 sebagaimana diatur dalam pasal 37 UUD 1945, merupakan persyaratan yang sangat berat perwujudannya dan tidak pernah dilaksanakan, meskipun UUD 1945 dilakukan amandemen. Tekad Orde Baru untuk mempertahankan UUD 1945 terlihat dari ketentuan pasal 1 Tap MPR No. IV/MPR/1983, bahwa MPR tidak berkehendak untuk mengubah UUD 1945. Jelas ketentuan 90% pemilik suara harus ikut ambil bagian dan minimum 90% menyatakan setuju adalah persyaratan yang dibuat untuk menghambat, karena dalam pemilihan umum sejak tahun 1955 tidak ada suara mayoritas mendekati 90%. Ketentuan Tap MPR No. IV/MPR/1983 mengandung kontradiksi, yakni MPR tidak berkehendak mengubah UUD 1945, namun pada sisi lain MPR menetapkan aturan bagaimana bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945. Ketentuan pasal 37 dengan referendum terdapat suatu keganjilan logika, MPR yang tidak berkehendak merubah UUD 1945, MPR membuat celah sendiri dengan kemungkinan merubah, dan didukung oleh Presiden dan DPR bagaimana proses sebelum merubah dengan terbitnya UU No. 15 Tahun 1985, adalah produk yang dibuat Presiden bersama-sama dengan DPR. 5) Perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUD 1945 Amandemen Pada era Reformasi, MPR berhasil melakukan perubahan UUD 1945 sebanyak empat (4) kali, dengan meniadakan ketentuan 45 Referndum. Ketentuan tentang perubahan UUD tetap diatur dalam pasal 37, dengan ketentuan sebagai berikut: e) Ayat (1), Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, f) Ayat (2), Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar, diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, g) Ayat (3), Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, h) Ayat (4), Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, i) Ayat (5), Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. B. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Kedudukan UUD sebagai hukum dasar tertulis merupakan sumber hukum setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan lainnya. UUD juga merupakan acuan tindakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Terhadap kebijakan pemerintah, UUD berfungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Undang-Undang Dasar 1945, yang memiliki sifat singkat dan supel, satu sisi memiliki keuntungan mudah mengikuti perkembangan dinamika masyarakat, 46 tetapi pada sisi lain, dengan sifat yang supel yang mengandung multitafsir, memberikan peluang kepada penguasa untuk menafsirkannya guna mendukung dan menjadi alat pembenaran dalam kebijakan penguasa. Semua ini telah terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru, sehingga mendorong MPR hasil pemilihan umum 1999 melakukan amandemen UUD 1945 Proklamasi (Mahfud MD, 2000). Dalam era Reformasi, MPR telah empat kali melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tersebut dilakukan MPR pada sidang-sidang MPR dari tahun 1999 sampai tahun 2002. Dalam empat kali amandemen telah terjadi perubahan jumlah Bab dalam batang tubuh, meskipun jumlah pasal tetap dipertahankan 37, dengan penambahan sejumlah ayat yang disesuaikan dan pemikiran demokrasi, serta perubahan pasal Aturan Peralihan menjadi 3 pasal, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Bila UUD 1945 mengenal Penjelasan sebagai bagian tidak terpisahkan dengan UUD, maka dalam UUD 1945 Amandemen Penjelasan yang pernah ada, tidak lagi merupakan bagian dari UUD 1945 Amandemen. Namun demikian untuk kajian akademik terutama di perguruan tinggi Pejelasan UUD 1945 Proklamasi masih relevan untuk dipelajari, mengingat isi penjelasan tidak lain merupakan penegasan nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan dan batang tubuh UUD, dan dapat dikaji secara ilmiah, karena tidak menutup kemungkinan nilai ilmiah dan rasional dapat diaplikasikan dalam pasalpasal UUD, bila rakyat Indonesia melalui MPR berkehendak melakukan amandemen kembali terhadap UUD yang sekarang berlaku. Dasar pemikiran ini tidaklah berlebihan, karena dari pengalaman amandemen, terdapat bagian pasal diambil dari penjelasan UUD 1945 Proklamasi, yaitu Pasal 1 ayat (3), yaitu: Negara Indonesia adalah negara hukum. Namun demikian diakui terdapat ketentuan yang dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan pemikiran bangsa Indonesia tentang kedudukan MPR yang disebut sebagai Lembaga Negara Tertinggi tidak dikenal lagi dalam UUD 47 1945 Amandemen, karena kedudukan MPR sama-sama sebagai Lembaga Tinggi Negara yang keberadaannya sejajar dengan Lembaga Tinggi negara lainnya. 1. Pembukaan UUD 1945 Amandemen Pembukaan UUD 1945 Amandemen, tidak mengalami perubahan sebagaimana awalnya UUD 1945 ditetapkan. Dapat tidaknya Pembukaan UUD 1945 dilakukan perubahan terdapat dua pandangan. Menurut Notonegoro, Pembukaan UUD 1945, sebagai pokok kaidah yang fundamental keberadaan negara Republik Indonesia, Pembukaan merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga tidak boleh diubah oleh siapapun termasuk MPR hasil pemilihan umum. Perubahan terhadap Pembukaan berarti pembubaran negara Proklamasi, meski masih ada negara Indonesia, tetapi negara tersebut bukan negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Pendapat lain dikemukakan Mahfud MD (2000), bahwa semua hasil perbuatan manusia dapat diubah, termasuk pembukaan UUD 1945. Semua itu sangat tergantung pada dinamika masyarakat Indonesia. Dalam praktik kenegaraan bangsa Indonesia telah mengalami perubahan UUD seperti KRIS dan UUDS. Keduanya baik KRIS dan UUDS juga mencantumkan pembukaan, dan pembukaan yang ada, rumusannya berbeda atau bukan permbukaan seperti dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai kaidah fundamental bagi bangsa dan negara Indonesia , Pembukaan UUD 1945 mengandung makna nilai universal bagi kehidupan manusia pada umumnya, serta nilai nasional bagi kehidupan bangsa Indonesia. a. Alinea pertama berbunyi, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajah di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pada alinea ini tegas dinyatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian bangsa di dunia memiliki hak kemerdekaan. Hak kemerdekaan bukanlah hak milik pribadi maupun hak golongan atau hak 48 bangsa tertentu saja, tetapi kemerdekaan adalah hak segala bangsa, hak universal yang diberikan Tuhan kepada umat manusia. Karena itu bangsa Indonesia harus menentang setiap bentuk penjajahan, karena tindakan penjajahan tidak sesuai Perjuangan melawan dengan menjajah perikemanusiaan adalah suatu dan keadilan. kewajiban, untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Alinea pertama, adalah keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa tanpa kecuali untuk bangsa Indonesia. Dengan keyakinan ini, bangsa Indonesia akan menentang setiap bentuk penjajahan dan akan membela setiap bangsa yang terjajah dalam mewujudkan kemerdekaannya. Bentuk penjajahan terhadap bangsa lain bagi bangsa Indonesia merupakan tindakan yang bertentangan dengan kodrat manusia. Beberapa prinsip mendasar pada alinea pertama adalah: 1) Hak kemerdekaan, artinya setiap bangsa didunia memiliki hak untuk merdeka, termasuk bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya ke depan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. 2) Penjajahan, adalah penguasaan suatu wilayah dan bangsa tertentu oleh bangsa lain. Penguasaan ini merupakan tindakan yang melanggar hak mendasar bagi suatu bangsa yang dijajah. Bangsa Indonesia termasuk yang merasakan langsung penderitaan akibat perlakuan penjajahan dari bangsa lain. 3) Kemanusiaan, pada dasarnya adalah pengakuan atas harkat, derajat dan martabat sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang maha Kuasa. Kemanusiaan adalah bagaimana kita sesama manusia dapat menghormati sesamanya, atau dapat memanusiakan manusia sesamanya. Penjajahan adalah tindakan yang menghinakan sesama manusia, termasuk bangsa-bangsa yang pernah menjajah dan berkuasa di Indonesia telah memperlakukan bangsa Indonesia dalam status yang lebih rendah. 49 4) Keadilan, adalah keadaan, pandangan, sikap dan perbuatan adil. Penjajahan adalah sikap dan perbuatan yang tidak adil dari penjajah terhadap yang dijajah. Dalam praktiknya sebaiknya apapun yang dilakukan penjajah, sebenarnya berorientasi pada kepentingan penjajah, bukan untuk memakmurkan yang dijajah. b. Alinea ke dua berbunyi, “Dan perjuangan pergerakkan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada saat yang berbahagia dengan selamat sentaosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur”. Pada alinea ini menunjukkan, pernyataan tekad perjuangan bangsa Indonesia, serta kesiapan bangsa Indonesia untuk merdeka, bersatu guna mewujudkan suatu kehidupan ke depan bagi bangsa Indonesia yang adil dan makmur. Beberapa prinsip mendasar pada alinea ke dua adalah: 1) Perjuangan pergerakan, adalah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan di bumi Indonesia guna mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pergerakan adalah gerakan dalam bentuk organisasi dalam mencapai kemerdekaan. Pergerakan menunjukkan dinamika organisasi yan selalu bergerak positif, dinamis dan kontruktif dalam mencapai kemerdekaan. 2) Merdeka adalah wujud dari kemerdekaan suatu bangsa dan negara yang bebas dari campur tangan pihak asing dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pemerintahan negara. 3) Bersatu mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia adalah sukusuku bangsa yang ada di wilayah Nusantara yang menyatu dalam satu wadah negara kesatuan Indonesia. 4) Berdaulat, adalah bentuk eksistensi kemerdekaan bangsa yang merdeka dengan kekuasaan untuk mengatur ke dalam dab 50 berhubungan dengan negara lain berdasarkan kesamaan derajat sesama bangsa yang bernegara. 5) Adil, yang mengadung multidimensi, karena rasa keadilan yang berbeda-beda. Adil dalam kehidupan bernegara adalah perlakuan yang sama antarsesama warga baik dalam hubungannya dengan sesama warga, atau hubungan antara warga dengan negara. 6) Makmur mengandung makna terpenuhinya kebutuhan manusia baik materiil dan spiritual, tercapainya tingkatan pemenuhan kodrat cita-cita manusia pada umumnya. c. Alinea ke tiga yang berbunyi, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Alinea ini menunjukkan kemerdekaan Indonesia dicapai dari hasil perjuangan yang mendapat rakhmat. Beberapa prinsip mendasar pada alinea ke tiga adalah: 1) Berkat Rahmat Allah, adalah bentuk pengakuan bangsa bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan yang mendapatkan ridha dari Allah Yang Maha Kuasa. Tanpa ridha Allah, bangsa Indonesia berkeyakinan, meski perjuangan bangsa telah siap untuk merdeka, tetapi semua itu Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa adalah penentu segalanya termasuk Indonesia. Pengakuan ini menunjukkan paham keseimbangan antara usaha, doa dan takdir. Ketentuan takdir adalah hasil dari usaha dan doa, sehingga melahirkan ridha Allah berupa takdir kepada bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. 2) Allah Yang Maha Kuasa, adalah pengakuan bangsa Indonesia terhadap segala kausa prima di dunia, dengan kekuasaan-Nya yang serba lebih dari segala yang ada di dunia dan Maha Penentu bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Pernyataan kemerdekaan Indonesia sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan penegasan 51 bangsa Indonesia terhadap takdir Tuhan, bahwa perjuangan kemerdekaan itu berhasil bukan semata-mata perjuangan bangsa Indonesia, tetapi perjuangan yang mendapatkan ridha dan rahmat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. 3) Keinginan luhur, adalah cita-cita mulia bangsa Indonesia untuk mewujudkan hak kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, bebas dari penguasaan bangsa lain dan berhasil mewujudkan kemerdekaan Indonesia. d. Alinea ke empat adalah “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea ke empat, merupakan pernyataan yang menggambarkan cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan Indonesia merdeka, yaitu: 1) Tentang tujuan negara yang akan dicapai negara Indonesia; 2) Negara Indonesia akan diatur dengan UUD; 3) Rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara; 4) Tentang dasar negara Indonesia Pancasila. 52 2. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 Pembukaan UUD 1945, mengandung pokok-pokok pikiran yang diciptakan dan dijelmakan dalam Batang Tubuh UUD ke dalam pasalpasalnya. Empat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 adalah: a. Pokok Pikiran I, Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok pikiran ini sejalan dengan sila ketiga Pancasila, yakni mewujudkan negara kesatuan, guna melindungi rakyat dan keutuhan negara Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan perkataan lain keadilan sosial bangsa dapat terwujud dalam kesatuan negara Indonesia yang mampu melindungi keutuhan bangsa dan tanah air Indonesia. b. Pokok Pikiran II, Negara berkehendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok Pikiran yang hendak diwujudkan adalah menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia bukan kemakmuran kelompok atau golongan tertentu, apalagi orientasi pada kepentingan individu. c. Pokok Pikiran III, Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Pokok pikiran ini menegaskan tentang rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sebelum amandemen pelaksanaan dalam praktik kenegaraan dilakukan oleh lembaga permusyawaratan seperti MPR dan lembaga perwakilan yang tercermin dalam DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah pelaksanaan amandemen kedaulatan rakyat ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar, termasuk rakyat secara langsung memilih Presiden dan Wakil Presiden serta memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah salah satu bentuk kedaulatan rakyat. Pokok pikiran 53 ketiga juga tercermin pada nilai sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. d. Pokok Pikiran IV, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran ini memberikan arahan bahwa penyelenggara, atau pejabat negara, serta warga negara, dalam segala tindak tanduk serta keputusan yang diambil harus senantiasa berdasarkan pada dasar-dasar Ketuhanan serta nilai-nilai moral kemanusiaan. Bila kita cermati Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan pencerminan dari Pancasila, yaitu: a. Pokok Pikiran I cerminan sila ketiga. b. Pokok Pikiran II cerminan sila kelima. c. Pokok Pikiran III cerminan sila keempat. d. Pokok Pikiran IV cerminan sila kesatu dan dua. 3. Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Amandemen Sebelum amandemen UUD 1945 ketentuan tentang Sistem Pemerintahan Indonesia dijelaskan secara rinci dalam pelaksanaan UUD 1945. Dengan dilaksanakan amandemen, maka Penjelasan bukan lagi bagian dari UUD 1945 Amandemen, pada sisi lain terdapat perubahan pasal yang terkait dengan ketentuan Sistem Pemerintahan, termasuk peniadaan DPA, serta penambahan Mahkamah Konstitusi. Wacana penghapusan DPA yang tugasnya sebagai lembaga konsultasi belaka bagi Presiden pernah disarankan oleh Bedjo (1976). Perubahan Sistem Pemerintahan yang ada merupakan pencerminan kedaulatan rakyat yang sekarang terus diperjuangkan, dengan harapan Sistem Pemerintahan Indonesia tetap relevan dan perlu penyesuaian dengan ketentuan pasal-pasal Batang Tubuh yang telah diubah dalam UUD 1945 Amandemen. 54 Sistem Pemerintahan yang selama ini dikenal dengan Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara yang pernah dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 Proklamasi dapat didiskusikan nilai-nilai positifnya dengan generasi muda sebagai berikut: a. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Hal ini mengandung arti bahwa negara termasuk di dalamnya Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun, harus dilandasi oleh peraturan hukum atau harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Tekanan pada hukum (recht) di sini dihadapkan pada kekuasaan (macht). Prinsip dari sistem ini di samping akan tampak dalam rumusan pasalpasalnya, juga akan sejalan dan merupakan pelaksanaan dari pokokpokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechsidee) yang menjiwai UUD 1945 dan hukum dasar yang tidak tertulis. Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan UUD 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud berarti negara bukan hanya sebagai polisi atau penjaga malam saja, yang menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran dan menindak para pelanggar hukum. Pengertian negara hukum baik dalam arti formal yang melindungi seluruh warga dan seluruh tumpah darah, juga dalam pengertian negara hukum material yaitu negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kecerdasan seluruh warganya. Dengan landasan dan semangat negara hukum dalam arti material itu, setiap tindakan negara haruslah mempertimbangkan dua kepentingan atau landasan, ialah kegunaannya (doelmatogheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid). Dalam segala hal harus senantiasa diusahakan agar setiap tindakan negara (pemerintah) itu selalu memenuhi 55 dua kepentingan atau landasan tersebut. Adalah suatu seni tersendiri untuk mengambil keputusan yang tepat apabila ada pertentangan kepentingan atau salah satu kepentingan tidak terpenuhi, sehingga harus dilakukan secara bijaksana yang dengan sendirinya harus berlandasan atas peraturan hukum yang berlaku. b. Sistem Konstitusional Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Sistem ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional, Ketetapan MPR, Undang-Undang dan sebagainya. Dengan demikian sistem ini memperkuat dan menegaskan lagi sistem negara hukum seperti dikemukakan di atas. Dengan landasan kedua sistem negara hukum dan sistem konstitusional diciptakan sistem mekanisme hubungan dan hukum antar lembaga negara, yang sekiranya dapat menjamin terlaksananya sistem itu sendiri dan dengan sendirinya juga dapat memperlancar pelaksanaan citacita nasional. c. Kekuasaan negara yang tertinggi ada di tangan rakyat Dengan perubahan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Amandemen, yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti terjadi pergeseran, bahwa pelaksana kedaulatan yang sebelum amandemen dilakukan oleh MPR, kembali diserahkan pada pengaturan dalam Undang-Undang Dasar, meskipun esensinya sama, rakyatlah yang memiliki kedaulatan negara. Pergeseran ini karena Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR, sekarang Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. 56 Kekuasaan MPR berdasar UUD 1945 Amandemen meliputi kekuasaan merubah UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai dengan masa jabatan, atau karena Presiden/ Wakil Presiden melanggar suatu Konstitusi. Pergeseran lain adalah kedudukan Presiden bukan lagi di bawah MPR tetapi sejajar dengan MPR karena sama-sama langsung dipilih oleh rakyat. d. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan tertinggi di samping MPR dan DPR Sebelum amandemen, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi kedudukannya di bawah MPR, yang kemudian dikenal dengan mandataris MPR. Setelah amandemen, Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi di samping MPR dan DPR, dan kedudukan Presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR, meskipun MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum masa jabatan terakhir, bila Presiden nyata-nyata melanggar ketentuan UUD setelah keputusan dari MK menyatakan bahwa Presiden telah melanggar UUD. e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk UndangUndang, dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. f. Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat 57 Presiden dalam menjalankan tugas pemerintahannya dibantu oleh menteri-menteri negara. Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan para menteri negara tidak tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. g. Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas Presiden yang bukan lagi sebagai Mandataris MPR, Presiden yang tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai diktator, artinya kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Presiden tidak dapat membubarkan DPR maupun MPR, kecuali itu Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat, dalam banyak hal Presiden harus sejalan dengan mayoritas DPR, mengingat banyak kebijakan Presiden yang harus mendapat persetujuan DPR. h. Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Amandemen Sebelum amandemen UUD 1945 lembaga Negara dibagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara yang dipegang oleh MPR dan Lembaga Tinggi Negara yang meliputi Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Setelah amandemen tidak lagi dikenal Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara, melainkan disebut sebagai Lembaga Negara. Lembaga tersebut adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). 1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Keberadaan MPR dalam UUD 1945 Amandemen diatur dalam Pasal Bab II, pasal 2 dan pasal 3. MPR terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 tahun di 58 ibukota negara. Tugas-tugas dan wewenang MPR diatur dalam UUD 1945 adalah: a) Mengubah dan menetapkan UUD pasal 3 ayat (1); b) MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden pasal 3 ayat (2); c) MPR dapat memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD, pasal 7; d) Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti atau diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatan, pasal 8 ayat (1); e) Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatan, pasal 8 ayat (2); f) Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatan, pasal 8 ayat (3). Di samping tugas dan wewenang, MPR memiliki hak, yaitu: a) Mengajukan usul perubahan pasal-pasal UUD, pasal 37. b) Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan. c) Hak imunitas. d) Hak protokoler. 2) Presiden dan Wakil Presiden Pengaturan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD 1945 Amandemen, diatur dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, mulai pasal 4 sampai pasal 16, serta Bab V tentang Kementrian Negara pasal 17. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Dalam melakukan tugasnya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Presiden berhak mengajukan RUU dan menetapkan PP untuk menjalankan UU. Calon Presiden dan Wakil Presiden harus Warga Negara Indonesia (WNI) dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, karena kehendak sendiri. 59 Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Kekuasaan, tugas, dan wewenang Presiden meliputi menurut UUD 1945 Amandemen adalah: a) Memegang kekuasaan pemerintahanmenurut UUD 1945 Amandemen, pasal 4 ayat (1); b) Mengajukan RUU kepada DPR, meberikan persetujuan atas RUU bersama DPR, serta mengesahkan RUU menjadi UU, pasa 5 ayat (1); c) Memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU, pasal 10; d) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU, dalam kegentingan yang memaksa, pasal 11 ayat (1); e) Presiden menyatakan Negara dalam keadaan bahaya, pasal 12; f) Presiden mengangkat duta dan konsul, pasal 13 ayat (1); g) Presiden member grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan MA, pasal 14 ayat (1); h) Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR, pasal 14 ayat (2); i) Presiden memberikan gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan, pasal 15; j) Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri, pasal 17; k) Meresmikan anggota BPK yang dipilih oleh DPR, pasal 23F ayat (1); l) Menetapkan Hakim Agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR, pasal 24A ayat (3); m) Mengangkat/ memberhentikan KY dengan persetujuan DPR, pasal 24B ayat (3); n) Menetapkan Hakim Konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan MA, pasal 24C ayat (3). 60 3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Keberadaan DPR diatur dalam Bab VII, mulai pasal 19 sampai dengan 22B UUD 1945 Amandemen. DPR dipilih melalui pemilihan umum, dengan susunan DPR akan diatur dengan UU, DPR bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (pasal 19). Kekuasaan DPR meliputi fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Untuk menjalankan fungsinya DPR memiliki tugas dan wewenang, antara lain: a) Kekuasaan membentuk UU bersama dengan Pemerintah, termasuk persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti UU, untuk menjadi UU, pasal 20; b) Bersama-sama Presiden menetapkan APBN, dengan memperhatikan pertimbangan DPD, pasal 23 ayat (2); c) Setiap anggota mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas, pasal 20A ayat (2); d) Memilih calon BPK setelah memperhatikan pertimbangan dari DPD, pasal 23F ayat (1); e) Memberikan persetujuan calon Hakim Agung yang diajukan oleh KY, pasal 24A ayat (2); f) Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima pengangkatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam amnesti dan abolisi, pasal 13; g) Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, pasal 11 ayat (1); h) Menyerap, menghimpun, dan menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat. 61 4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Jumlah DPD dari setiap provinsi sama sebanyak 4 orang dan tidak melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Jumlah anggota DPD sebanyak 128 orang. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Kekuasaan terkait dengan fungsi DPD, adalah: a) DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR terkait dengan UU otonomi daerah, pasal 22D ayat (1); b) Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU terkait dengan pajak, pendidikan, dan agama, pasal 22D ayat (2); c) Melakukan pengawasan atas pelaksanaan mengenai undang-undang otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama, pasal 22D ayat (3); d) Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPD tentang RUU yang berkaitan dengan APBN, pasal 23E ayat (2); e) Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK, pasal 23F ayat (1). 5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pengaturan keberadaan BPK dalam UUD 1945 Amandemen diatur dalam Bab VIIIA, mulai pasal 23E sampai dengan pasal 23G. anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari DPD dan diresmikan oleh Presiden. BPK adalah badan yang bertugas memeriksa dan bertanggung jawab tentang keuangan negara (pasal 23E ayat (1) dengan tugas bebas dan mandiri. Hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, pasal 23E ayat (2). Sesuai dengan kewenangannya. BPK berkedudukan di 62 ibukota Negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi, pasal 23G ayat (1). 6) Mahkamah Agung (MA) Pengaturan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX UUD 1945 Amandemen, mulai dari pasal 24 sampai pasal 25. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di wilayahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mewakili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU dan wewenang lainnya yang diberikan oleh UU. Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Tugas dari MA adalah: a) Mengadili pada tingkat kasasi dan wewenang yang diberikan UU, pasal 24A; b) Mengajukan tiga orang Hakim Konstitusi, pasal 24A ayat (3); c) Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi dan amnesti, pasal 14 ayat (2). 7) Komisi Yudisial (KY) Sebagaimana MK, keberadaan KY adalah lembaga negara baru yang dibentuk setelah UUD 1945 Amandemen. KY merupakan lembaga yang mandiri dan dalam melaksanakan wewenangnya bebas 63 dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial memiliki wewenang untuk: a) Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, pasal 24A ayat (2); b) Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, pasal 24B ayat (1). Dalam melaksanakan wewenangnya, KY memiliki tugas lainnya, yaitu: a) Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; b) Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; c) Menetapkan calon Hakim Agung; d) Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR; e) Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; f) Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; g) Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada MA dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. 8) Mahkamah Konstitusi (MK) Sebagaimana telah disebut dalam amandemen bahwa, di samping MA terdapat Mahkamah Konstitusi. Menurut UUD 1945 Amandemen, MK berkewajiban dan berwenang untuk: a) Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, pasal 24C ayat (1); b) Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, pasal 24C ayat (1); 64 c) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, pasal 24C ayat (1); d) Wajib memberikan putusan atas pendapat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud UUD 1945, pasal 7B ayat (5). Agar penafsiran terhadap kemungkinan pelanggaran hukum Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa, maka ditetapkan pengertian pelanggaran tersebut adalah: a) Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang; b) Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang; c) Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih. i. Pemerintah Daerah Pengaturan tentang Pemerintahan Daerah dalam UUD 1945 Amandemen, diatur dalam pasal 18, yaitu: 1) Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. 2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 65 3) Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4) Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepla pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. 5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. 6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. 7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang. Pemerintah daerah dengan prinsip otonomi daerah dan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah. Daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah untuk member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasar tugas, wewenang, dan kewajiban yang seharusnya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan 66 demikian, isi dan jenis otonomi setiap daerah di Indonesia tidak selalu sama. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang dalam penyelenggaraannya, harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Dengan demikian otonomi seluasluasnya, bukan berarti daerah bebas melakukan apa saja yang dikehendaki, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab dalam kerangka negara kesatuan Indonesia. 1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pemerintahan daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, yaitu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagai kepala daerah dan kepala pemerintah daerah memiliki tugas dan wewenang: a) Memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b) Mengajukan rancangan Perda; c) Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d) Menyusun dan mengajukan Rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD; 67 e) Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; f) Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepala Daerah yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Wakil Kepala Daerah. Dalam membantu Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah memiliki tugas: a) Membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; b) Membantu Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan hasil pengawasan aparat pegawasan, melakukan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial-budaya dan lingkungn hidup; c) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah di wilayah kecamatan dan, kelurahan, dan desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/ kota; d) Memberikan saran kepada Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah; e) Melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan oleh kepala daerah; f) Melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah berhalangan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, memiliki kewajiban: a) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI; 68 b) Meningkatkan kesejahteraan rakyat; c) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d) Melaksanakan kehidupan demokrasi; e) Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; f) Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah; g) Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; h) Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; i) Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; j) Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; k) Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Rapat Paripurna DPRD. 2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat di daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah. Ketentuan tentang DPRD, sepanjang tidak diatur dalam UndangUndang Pemerintah Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berlaku ketentuan Undang-Undang tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebagaimana DPR, maka DPRD juga memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Sebagai unsur penyeleggaraan pemerintah daerah, DPRD mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: a) Membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama; b) Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah; 69 c) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, serta kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerja sama internasional di daerah; d) Mengusulkan pengangkatan kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui menteri dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan Kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/ Kota; e) Memilih Wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah; f) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah; g) Meminta laporan keterangan pertanggungjawban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah; h) Membentuk panitia pengawas pemilihan Kepala Daerah; i) Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah; j) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. Tentang jumlah anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan dalam UU No. 10 Tahun 2008 adalah: a) Untuk anggota DPRD Provinsi sedikitnya 35 orang dan paling banyak 100 orang. b) Untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota sedikitnya 20 orang dan paling banyak 50 orang. Setelah UUD 1945 dilakukan amandemen, ternyata dalam pelaksanaannya kemudian, masih menyisakan ketidakpuasan, karena sistem pemerintahan yang dilaksanakan di era reformasi ini lebih 70 banyak didominasi oleh partai-partai politik, sehingga kebijakankebijakan yang dilahirkan berupa undang-undang lebih banyak mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik dan kalangan pengusaha. Sementara itu aspirasi-aspirasi daerah yang diperjuangkan DPD selalu kandas, baik karena kurang mendapat dukungan dari kalangan partai politik, di samping secara normatif, hak-hak DPD hanya sebatas mengajukan rancangan perundangundangan, tetapi belum punyai hak untuk menetapkan dan mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang. Hal demikian sesuai dengan pasal 22D ayat (1) DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR terkait dengan UU otonomi daerah, dan pasal 22D ayat (1); Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU terkait dengan pajak, pendidikan, dan agama, pasal 22D ayat (2). Kondisi ini kemudian memunculkan wacana untuk melakukan Amandemen ke 5 terhadap UUD 1945. 71 LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas kerjakan latihan berikut ini: 1. Jelaskan istilah dan pengertian konstitusi (Undang-Undang Dasar) 2. Jelaskan keberadaan dan tujuan konstitusi 3. Jelaskan tentang konstitusi atau Undang-Undang Dasar di Indonesia 4. Jelaskan tentang amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Petunjuk Jawaban Latihan: 1. Pelajari kembali materi pada kegiatan belajar 1 dan 2 2. Diskusikan dengan teman-teman Anda 3. Kerjakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 3-5 orang anggota TES FORMATIF SOAL TEMATIK 1. Jelaskan dasar pemikiran yang melatarbelakangi perubahan UUD 1945? SOAL PILIHAN 1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditinjau dari aspek sistematikanya sebelum dilakukan perubahan, terdiri atas ... Jawaban: a. Pembukaan, Batang tubuh (pasal-pasal) dan penjelasan b. Pembukaan dan pasal-pasal 2. Bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan, hal itu diamanatkan oleh.... Jawaban: a. UUD 1945 b. Kesepakatan dasar MPR. 72 3. Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945, memfokuskan perubahan kekuasaan dan wewenang pada dua lembaga negara. Kedua lembaga negara itu adalah... Jawaban: a. MPR dan DPR b. Presiden dan DPR 4. DPR membahas Rancangan Undang-Undang APBN merupakan implementasi dari... Jawaban: a. Fungsi DPR b. Wewenang DPR 5. Pengambilan keputusan oleh MPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945 adalah... Jawaban: a. Suara yang terbanyak (pasal 2 ayat 3) b. Musyawarah mufakat dan suara terbanyak 73 Modul 3 DEMOKRASI DI INDONESIA Dalam modul ini Anda akan diajak menganalisis konsep demokrasi di Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi dalam modul ini Anda diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut: Kegiatan Belajar 1: a. Dapat memahami istilah dan definisi demokrasi b. Dapat memahami sejarah perkembangan demokras Kegiatan belajar 2: a. Dapat memahami prinsip-prinsip demokrasi b. Dapat memahami bentuk–bentuk demokrasi Kegiatan belajar 3: a. Dapat memahami perkembangan demokrasi di indonesia b. Dapat memahami demokrasi dan pemilihan umum c. Dapat memahami pembangunan masyarakat demokrasi Agar semua harapan di atas dapat terwujud maka di dalam modul ini disajikan pembahasan dan latihan dengan butir uraian sebagai berikut: a. Istilah dan Definisi Demokrasi b. Sejarah Perkembangan Demokrasi c. Prinsip-Prinsip Demokrasi d. Bentuk–Bentuk Demokrasi e. Perkembangan Demokrasi di Indonesia f. Demokrasi dan Pemilihan Umum a. Pembangunan Masyarakat Demokrasi Untuk membantu Anda dalam mencapai harapan kemampuan di atas ikutilah petunjuk belajar sebagai berikut: a. Bacalah petunjuk bagaimana mempelajari modul ini. b. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci. 74 c. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui pemahaman sendiri dan atau tukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen Anda. d. Temukan prinsip, konsep, dan prosedur. e. Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi mengenai pengalaman simulasi dalam kelompok kecil atau klasikal. 75 Kegiatan Belajar 1 Istilah dan Definisi Demokrasi serta Sejarah Perkembangan Demokrasi A. Istilah dan Definisi Demokrasi Apa itu "demokrasi"? Istilah ini punya daya tarik yang sangat luar biasa. Semakin banyak dibicarakan, semakin menarik dan tak ada habis-habisnya. Sepintas demokrasi seolah bersifat elitis, tapi semakin dalam diselami, semakin diketahui bahwa demokrasi adalah kehidupan kita sendiri. Itulah yang sekarang dikenal dengan sebutan "living democracy". Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa demokrasi merupakan produk pemikiran manusia yang cerdas. Walaupun demikian, tak mudah untuk memaknai demokrasi secara memuaskan. Lebih-lebih karena istilah demokrasi, memang tak pernah dipahami secara monolitik. Mengambil satu arti, berarti kita terjebak ke dalam satu arus pemikiran. Karena itu, diperlukan pemahaman substantif, agar demokrasi bisa diterima sebagai suatu keniscayaan, untuk kemudian diperjuangan, diperbaiki, dipertahankan dan disempurnakan (Bernard Lewis, 2002). Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani "demokratia" berarti "kekuasaan dari rakyat" (rule of people), yang dirangkai dari kata "demos" artinya "rakyat", dan "kratos" atau "cratein" berarti "kekuasaan". Demokrasi adalah bentuk politis dari pemerintahan yang mengatur kekuasaan yang diperoleh dari rakyat, baik melalui pemilihan langsung (direct democracy) maupun perwakilan rakyat yang dipilih (representative democracy). Sementara terhadap definisi demokrasi, terdapat beberapa kategori definisi demokrasi, yakni definisi secara singkat, klasik dan modern. Kategorikategori definisi demokrasi nampaknya dipengaruhi oleh pendekatan sejarah. 76 1. Definisi Singkat Demokrasi a. Abraham Lincoln (1809-1865), mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Government of the people, by the people, for the people) b. Demokrasi menurut bahasa Yunani adalah pemerintah oleh rakyat (Rule by the 'simple' people) c. Demokrasi dalam pengertian orang-orang Athena dan Romawi Kuno adalah bentuk pemerintahan yang muncul sebagai reaksi terhadap pemusatan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa, dan para filosof menentukan elemen-elemen esensial dari demokrasi berupa pemisahan dari kekuasaan, hak-hak sipil/hak-hak manusia, kebebasan beragama dan pemisahan gereja dan negara. 2. Definisi Klasik Demokrasi Demokrasi sering dikemukakan berlawanan dengan tipe-tipe pemerintahan yang lain, seperti pemerintahan dari satu penguasa, berupa raja, atau ratu maupun kaisar (monarki); pemerintahan oleh para bangsawan atau keturunan (aristokrasi); pemerintahan oleh beberapa orang (oligarki); pemerintahan berasal dari Tuhan, yang pada kenyataannya dimaksudkan adalah pemerintahan oleh pemimpin-pemimpin religius (theokrasi); dan pemerintahan berasal dari rakyat, direbut dengan kekuatan, lazimnya dikenal sebagai kediktatoran militer (kediktatoran). Mayoritas negara-negara demokrasi di dunia dikenal sebagai republikrepublik, yakni para pemimpin pemerintahannya dibentuk melalui pemilihan. Bahkan terdapat beberapa negara yang dikenal sebagai negara demokrasi yang dijalankan dengan baik, namun menganut Kerajaankerajaan Konstitusional, seperti Inggris, Spanyol Belgia, Nederland, Luxemburg dan Skandanavia. Pada negara-negara tersebut, meskipun raja atau ratu sebagai kepala negara, namun kepala pemerintahan dijabat oleh perdana menteri. Raja atau ratu dijamin oleh konstitusi, dan membatasi 77 secara jelas kewajiban-kewajiban maupun kompetensi-kompetensi dari kerajaan. Posisi raja hanya dipandang sebagai faktor stabilisator dari pada sesuatu yang membahayakan demokrasi. Oleh karena itu definisi klasik dari demokrasi adalah sedikit berguna, sedikitnya masih peduli dengan monarki. 3. Definisi Modern Demokrasi Definisi modern dari demokrasi juga sering dihadapkan dengan rezimrezim otoritarian, totaliter dan teokrasi. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menjamin hak-hak dasar pribadi dan politik, pemilihanpemilihan yang jujur dan bebas, serta lembaga peradilan yang bebas. Rezim Totalitarian adalah pemerintahan oleh kelompok kecil dari para pemimpin yang berbasis pada ideologi. Validitas tuntutan-tuntutan umum untuk semua aspek dari kehidupan dan upaya-upaya biasanya untuk menempatkan kembali rezim. Rezim tidak toleran terhadap penyimpangan dari ideologi negara. Para penentang rezim dianiaya, disiksa, dan ditahan dalam penjara dan kalangan minoritas etnis dibunuh secara massal (genocide). Rezim otoritarian adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh sekelompok kecil pemimpin. Berbeda dengan rezim-rezim totalitarian, rezim-rezim otoritarian memiliki ideologi negara yang tidak jelas dan mengakui sejumlah kebebasan (misalnya ekonomi dan kultural) sepanjang tidak membahayakan peraturan-peraturan mereka. Tujuan yang paling penting dari rezim-rezim otoritarian adalah memelihara kekuasaan dan memperkaya pribadi di atas negara dan penduduknya. Rezim Teokrasi adalah "Pemerintahan oleh Tuhan"; dalam kenyataannya adalah pemerintahan oleh para pemimpin agama. Biasanya interpretasi tertentu dari hukum-hukum agama religius secara murni ditempatkan kembali ke dalam bentuk-bentuk modern dan diperkuat dan dilaksanakan sepenuhnya dengan ketat. Misalnya, Republik Islam Iran. 78 Samuel P. Huntington (Bernard Lewis, 2002) mengemukakan bahwa seseorang dapat menyebut sebuah negara itu demokrasi, jika negara tersebut telah melaksanakan pergantian pemerintahan secara damai melalui pemilihan umum. Jadi menurut Bernard Lewis (2002) demokrasi adalah kebijakan pemerintah yang dapat diubah oleh pemilu, bukan sebaliknya pemilihan umum dapat diubah oleh pemerintah. Oleh karena itu, supaya berhak mendapatkan label demokrasi modern, negara butuh untuk memenuhi beberapa persyaratan dasar, dan membutuhkan tidak hanya tertulis dalam konstitusinya, tetapi harus dijaga dalam kehidupan sehari-hari oleh kalangan politisi dan penguasa. Beberapa persyaratan kunci yang harus dipenuhi oleh negara demokrasi modern adalah: a. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia terhadap setiap pribadi secara individual berhadapan dengan negara dan penguasanya, seperti dengan berbagai kelompok sosial (khususnya institusi-institusi religius) dan berhadapan dengan pribadi-pribadi lain. b. Pemisahan kekuasaan di antara institusi-institusi negara, yaitu Pemerintahan (kekuasaan eksekutif), Parlemen (kekuasaan legislatif) dan Lembaga Kehakiman (kekuasaan yudikatif) c. Kebebasan berpendapat, berbicara, pers dan massmedia d. Kebebasan beragama e. Hak yang sama untuk memberikan suara (satu orang, satu suara) f. Pemerintahan yang baik (fokus pada kepentingan publik dan tidak ada korupsi) B. Sejarah Perkembangan Demokrasi Dalam berbagai pustaka dalam kehidupan demokrasi telah terjadi jauh pada abad ke 4 dan 5 sebelum masehi (SM) yang dipraktikkan sebagai sistemsistem politik pada zaman Yunani kuno, tepatnya di Negara Kota (polis) 79 Athena (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007). Dalam pemahaman awal Yunani sendiri, seperti dijelaskan Aristoteles menyebut tiga pemerintahan yang baik dan tiga pemerintahan yang buruk (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007), yakni demokrasi termasuk pemerintahan orang banyak yang berorientasi pada kelompoknya sendiri. Sedang pemerintahan orang banyak yang baik disebut timokrasi. Plato yang juga guru Aristoteles menekankan perlunya orang terdidik menjadi bijak dalam kehidupan demokrasi. Agar semakin banyak orang yang menjadi terdidik, Plato mendirikan sekolah yang disebut dengan Academica (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002). Sekolah ini bermaksud mendirikan kesempatan lebih banyak pada warga, guna memberikan kesempatan lebih banyak pada warga guna mempersiapkan orang–orang bijak untuk ikut berperan aktif dalam pemerintahan Negara. Kehidupan demokrasi mengalami pasang surut, dengan kehancuran Yunani dan Romawi serta kokohnya kekuasaan monarkhi absolut di Eropa sampai dengan dengan abad pertengahan, terjadi kondisi yang tidak diharapkan dalam kehidupan demokrasi, yang dalam perkembangan sejarah Eropa disebut zaman kegelapan (Dark Ages) yakni terjadinya akumulasi kekuasaan absolut dari para raja yang mendapat restu dari para pemimpin gereja. Pemerintahan absolut ini telah memasung kebebasan berfikir manusia, sehingga menimbulkan reaksi para pemikir abad renainsance yang melahirkan teori–teori tentang kekuasaan Negara, sampai dengan teori kedaulatan rakyat yang mampu menopang perkembangan demokrasi meluas ke berbagai penjuru dunia. Rose Wilder Lane penulis buku "Islam and the Discovery of Freedom" (Bernard Lewis, 2002) menyebutkan, bahwa orang-orang Erofa banyak mempelajari nilai dan pentingnya kebebasan dari kaum Muslim. Islam memperkenalkan konsep kebebasan kepada dunia dan khususnya ke Erofa. Sejak itu cita-cita kuno demokrasi dan pertanggungjawaban pemerintahan, dikaji ulang dan dikembangkan. 80 Aristoteles adalah pemikir untuk kehidupan demokrasi yang baik, tetapi ia tidak mendukung demokrasi di masanya. Aristoteles memimpikan dan meramalkan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang akan berkembang untuk kehidupan bernegara ke depan. Aristoteles memberikan catatan untuk pemerintahan demokrasi yang akan menjadi pilihan tebaik di masa datang. Untuk itu perlu dipersiapkan prakondisi yang akan mendukung orang-orang terbaik menjadi pilihan dari masyarakat, apabila warga negara yang akan memilih dalam pemerintahan demokrasi, telah memiliki pendidikan dan kesadaran bernegara yang baik, serta kondisi ekonomi yang mapan. Bila prakondisi belum seperti yang diharapkan, maka mungkin orang yang pintar dan jujur, yang kurang atau tidak popular dan tidak memiliki kemampuan finansial, akan kalah dengan orang kaya yang mampu mengambil kesempatan dari kondisi masyarakat yang miskin dan tidak terdidik dengan berbagai macam cara, akan terpilih dalam pemerintahan, meskipun orang tersebut sebenarnya, tidak ada niat baik memimpin dan mensejahterakan rakyatnya. Kondisi inilah yang sering terjadi di Negara berkembang, karena pemerintah dikuasai oleh keinginan sosial, ekonomi, politik mayoritas yang mengabaikan kemakmuran warga, seperti Nigeria tahun 1983, Sudan tahun 1989, oleh Casper dan Taylor dinyatakan sebagai demokrasi serampangan (Agustino,2007). Inilah bukti yang dikhawatirkan Aristoteles bahwa kehancuran demokrasi, karena euphoria demokrasi yang bertumpu pada pemilikan kebebasan semu, yang tanpa disadari, kebebasan yang diekspresikan berbenturan dengan kebebasan orang lain. Pengalaman aneh dan menarik justru terjadi di Indonesia. Setelah Pemilihan Umum calon legislatif (caleg) untuk anggota legislatif, justru tidak siap. Banyak caleg yang tidak terpilih menderita penyakit jiwa, dan dapat menjadi bahan diskusi kualitas caleg Indonesia mendatang. Hal senada disampaikan oleh De Tocquiville (Charmim,dkk,2003) bahwa demokrasi memerlukan moral menahan diri, tanpa kemampuan menahan diri, 81 demokrasi akan berubah menjadi democrazy yang melahirkan tirani. Gabriel Almond yang melakukan penelitian tentang keberhasilan demokrasi, dalam kaitannya dengan kultur dan struktur sosial politik menyimpulkan: 1. Kultur demokrasi adalah kultur campuran,yaitu antara kebebasan/partisipasi di satu pihak dan norma-norma perilaku di pihak lain, 2. Kultur demokrasi bersumber pada kultur masyarakat secara umum, yang mengandung social trust yang tinggi dan civicness, kecenderungan hubungan kerja yang bersifat horizontal/sederajat, 3. Kultur demokrasi senantiasa memerlukan dan berbasis masyarakat madani, 4. Seberapa jauh masyarakat memegang kultur demokrasi sangat tergantung pada perilaku pemerintahan dalam berdemokrasi. Tidaklah berlebihan bahwa demokrasi berjalan dengan baik, bila warga bersikap arif dan masing-masing mampu mengendalikan diri demi kepentingan bersama yang lebih besar di bawah keteladanan pemerintahan demokratis. Sebaliknya demokrasi masyarakat akan mendukung kehidupan demokrasi, bila pemerintahan dapat memberikan keteladan demokratis. Pemerintahan demokratis tidak akan terbentuk di suatu di negara, jika suatu kehidupan para elit negara tidak memberikan keteladanan dan melaksanakan prinsip-prinsip demokratis. Sudahkah para elit politik Indonesia membrikan contoh perilaku demokrasi yang sehat, baik dan benar? 82 Kegiatan Belajar 2 Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Bentuk–Bentuk Demokrasi A. Prinsip-Prinsip Demokrasi Prinsip-prinsip demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokrasi. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah pemerintahan demokrasi dapat ditegakkan. Nilai atau prinsip demokrasi tersebut adalah kebebasan (kebebasan, kelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan (Charmin,2003). Nilai tersebut menurut Supriatnoko (2008) merupakan prinsip-prinsip umum demokrasi,yang meliputi, kebebasan, pluralism, paham individual, kesetaraan, dan keadilan. Menurut Robet A. Dahl (Srijanty,dkk,2008) prinsip demokrasi mencakup; adanya kontrol terhadap kebijakan pemerintah; adanya pemilihan yang jujur; diakuinya hak memilih dan dipilih; kebebasan menyatakan pendapat; kebebasan mengakses informasi; serta kebebasan berserikat. Esensi pendapatpendapat tersebut pada hakekatnya terdapat kesamaan mendasar sebagai prinsip demokrasi. Hakekat kesamaan tersebut akan diuraikan pada paparan sebagai berikut: 1. Kebebasan Kebebasan adalah keleluasaan seseorang untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan sendiri. Kebebasan adalah hak dan kemampuan seseorang untuk menentukan sendiri apa yang menjadi pilihan sepanjang hak dan kemampuan seseorang tersebut tidak berbenturan dengan hak orang lain. Bentuk-bentuk kebebasan itu, antara lain: a. Kebebasan Menyatakan Pendapat Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak seseorang dalam kehidupan bermasyarakat/bernegara yang wajib dijamin olaeh 83 undang-undang dalam sistem demokratis. Kebebasan ini senantiasa diperlukan, karena warga negara dalam kehidupan demokratis juga berkewajiban dan bertanggungjawab atas proses kehidupan itu sendiri. Warga negara dapat menyampaikan usulan atau kritik kepada pejabat negara, anggota perwakilan, atau pandangan terhadap sesuatu yang baik, atau menurutnya dianggap baik. Dalam negara diktator, kebebasan berpendapat pada umumnya sangat terbatas atau justru dilarang, karena membahayakan kelangsungan eksistensi kekuasaan sang ditaktor. b. Kebebasan Berkelompok Kebebasan berkelompok adalah kebebasan untuk berorganisasi bagi setiap warga negara sebagai makhluk sosial. Kehidupan berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak mungkin diingkari. Dalam kehidupan kelompok manusia sebagai individu berharap akan memperoleh kemudahan dalam hidupnya, serta perlindungan kolektif dari kelompoknya. Pada kehidupan demokrasi kelompok-kelompok warga dapat memperjuangkan keinginan kelompoknya, termasuk membentuk partai politik sampai pada tingkat kegiatan dalam lingkup nasional. Pemerintahan demokrasi akan memberikan alternatif untuk memberikan kebebasan kelompok bagi warga negaranya. c. Kebebasan Berpartisipasi Kebebasan berpartisipasi merupakan kebebasan untuk berperanserta dalam suatu kegiatan. Kebebasan ini sebagai perwujudan gabungan kebebasan berpendapat dan kebebasan berkelompok. Pada negara berkembang atau negara otoriter ada kecenderungan untuk mewujudkan kebebasan partisipasi secara berlebihan. Misalnya dalam pemilihan umum, partisipasi warga cenderung diarahkan, sehingga tingkat partisipasi jumlah pemilih 84 terdaftar begitu tinggi. Harapan yang tinggi terhadap partisipasi pemilih merupakan bentuk propaganda bagi penguasa diktator, bahwa pemerintahan diktator tersebut mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Dalam kebebasan partisipasi, tidak membenarkan seseorang memaksa orang lain melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendakinya. Kebebasan partisipasi juga dapat diberikan kepada warga negara dalam bentuk kontrol terhadap jalannya pemerintahan suatu negara. Dalam negara diktator tidak mungkin terjadi hal seperti. Gejala ini pernah terjadi di Indonesia, bahkan dalam menghadapi pemilihan umum 2009, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sampai memberikan fatwa haram bagi warga negara yang mempunyai hak pilih, tetapi tidak ikut dalam pemilihan umum atau tidak memilih calon yang ada. Warga negara tersebut popular dengan sebutan Golongan Putih (Golput). Suatu fatwa yang perlu mendapatkan renungan bagi semua insan demokrasi di Indonesia, semoga tidak lagi muncul fatwa-fatwa sejenis yang dapat membingungkan umat Islam di Indonesia. Fatwa MUI tentang golput masih terdapat pro dan kontra, dan kelompok pro dan kontra ini terjadi di antara kalangan umat Islam sendiri. 2. Kesetaraan Antar Warga atau Individu Kesetaraan atau persamaan kedudukan (egalitarianisme) merupakan nilai dasar demokrasi. Kesetaraan dalam demokrasi adalah bentuk pengkuan terhadap pribadi manusia, bahwa manusia di dunia ini mempunyai kedudukan harkat dan martabat yang sama, karena manusia sama-sama sebagai umat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Kesadaran ini sangat penting, karena dalam sejarah manusia, sering terjadi perilaku individu maupun kelompok yang tidak bisa memahami keadaan sesama manusia. 85 Banyak di antara manusia di dunia yang tidak mendapatkan haknya secara baik dan benar, karena perilaku manusia yang lain, baik secara individu maupun kelompok. Bahkan suatu bangsa yang menganggap dirinya sebagai manusia unggul atau bangsa pilihan, sedang manusia lainnya sebagai manusia budak dengan martabat rendah. Dalam pergaulan internasional perjuangan menuju kesetaraan manusia, bukan proses yang mudah dan cepat. Perjuangan ini berlangsung bertahun-tahun, bahkan berabad-abad lamanya. Pengakuan internasional dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia, posisi kesetaraan sesama manusia diakui oleh sebagian besar bangsa-bangsa di dunia pada abad 20, setelah dunia dilanda perang besar yang dikenal dengan Perang Dunia Kedua. Kehidupan demokrasi harus dapat menjamin kesetaraan antar sesama manusia, termasuk hak-haknya dalam bernegara. Bagi bangsa Indonesia yang heterogen, kesadaran terhadap kesetaraan sesama manusia atau warga Indonesia sangat diperlukan. Bangsa Indonesia pernah mengalami penderitaan di bawah penguasaan bangsa lain. Semua ini memberikan pelajaran berharga terhadap kesadaran bagi bangsa Indonesia, untuk menempatkan kedudukan manusia di dunia pada derajat, harkat dan martabat manusia yang sama. Bangsa Indonesia senantiasa harus dapat menghargai sesama manusia dengan prinsip saling menghargai dan dapat berbuat serta berperilaku untuk memanusiakan manusia. 3. Pluralistik Pluralis berarti majemuk, tidak tunggal. Sesuatu yang sifatnya plural memiliki ciri tidak sama. Pluralistik dalam kehidupan manusia dapat bermakna bahwa manusia di dunia itu tidak sama, namun dengan ketidaksamaan tersebut, faham pluralis memberikan intensitas yang sama sebagaimana adanya. Eksistensi individu diakui apa adanya. Perbedaan individu merupakan perbedaan yang melekat pada diri pribadi, diakui dan dihormati. Realisasi perwujudan pruralistik tidak dapat dipisahkan dengan 86 prinsip atau nilai kesetaraan. Dalam pergaulan global, individu atau kelompok, bangsa tidak mungkin menghindar dari kehidupan pluralis. Indonesia yang heterogen telah menyadari kondisi pluralis bangsa Indonesia, sehingga para pemimpin bangsa telah menetapkan Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara serta menetapkan Garuda Pancasila sebagai lambang negara dan membuat slogan Bhinneka Tunggal Ika. Slogan Bhineka Tunggal Ika adalah pengakuan keberadaan di dalam bangsa dan negara yang mengakui adanya pluralistik dalam kesatuan negara Indonesia. Pengakuan derajat, harkat dan martabat bangsa Indonesia juga dirumuskan dalam alenia pertama pembukaan UUD 1945, dan sila kedua Pancasila. 4. Paham Individualisme Kehidupan berdemokrasi tidak dapat dipisahkan dengan paham individualisme, yakni paham yang memposisikan dan menjunjung tingi individu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan individu atau pribadi menjadi acuan utama dalam hidup seseorang, Karena manusia sebagai ciptaan Tuhan pada dasarnya baik, hanya lingkungan masyarakat yang menjadikan individu tidak baik. Sebagai makhluk Tuhan, paham individu mendasari HAM, pluralisme, serta kesetaraan. Secara ekstrim, individu hanya dibatasi oleh kebebasan individu yang lain, tidak dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan atau negara. Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pada dasarnya demokrasi di Indonesia mengakui hak individu, tetapi bukan yang bersifat ekstrim atau mutlak tanpa batas sama sekali. Karena hak individu yang berhadapan dengan hak Tuhan (sila kesatu), individu yang lain (sila kedua dan sila ketiga) dan negara (sila keempat dan kelima), yang berkaitan dengan kepentingan umum. Hak individu dapat dipaksakan dan diambil alih oleh negara, meski harus ada jalan musyawarah atau 87 perundingan antar pihak. Namun demikian apabila perundingan atau musyawarah gagal, negara dapat memaksakan dengan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang–undangan berlaku. Pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksana kepentingan umum ialah: a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api, saluran air minum, dan saluran pembuangan air/sanitasi, b. Waduk, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya, c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan, d. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal, e. Peribadatan, f. Pendidikan,dan sekolah, g. Pasar umum, h. Fasilitas pemakaman umum, i. Fasilitas keselamatan umum, j. Pos dan telekomunikasi, k. Sarana olahraga, l. Stasiun radio, televisi, dan sarana pendukungnya, m. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, PBB, dan atau lembaga internasional di bawah naungan PBB, n. Fasilitas TNI dan Polri sesuai dengan tugas dan fungsinya, o. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, p. Rumah susun sederhana, q. Tempat pembuangan sampah, r. Cagar alam dan cagar budaya, s. Pertamanan, t. Panti sosial, u. Pembangkit, transmisi, distribusi listrik. 88 5. Keadilan Kebebasan, kesetaraan, dan plualisme, adalah satu realisasi bentuk keadilan. Karenanya, kehidupan praktik demokraksi tidak dapat dipisahkan dengan nilai keadilan pada umumnya. Keadilan dalam demokrasi tidak terbatas pada keadilan immaterial sebagaimana telah disebut, tetapi juga menyangkut keadilan material bagi sesama warga masyarakat. Bagi bangsa Indonesia, nilai keadilan adalah prinsip yang sangat mendasar, sebagaimana tercermin pada sila kedua dan kelima dari Pancasila. Keadilan yang menjadi dambaan bangsa, sejak awal perjuangan kemerdekaan, sampai saat ini keadilan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat masih dalam proses usaha. Keadilan adalah dambaan ideal yang telah diupayakan dalam perwujudannya sejak zaman Plato maupun Aristoteles. B. Bentuk–Bentuk Demokrasi Kesepahaman tentang konsep demokrasi sebagai kekuasaan pemerintahan di tangan rakyat, pada tingkat implementasinya dalam kehidupan bernegara, terdapat berbagai pola kehidupan demokrasi, sesuai dengan paham ideologi atau paham yang dianut dan dikembangkan masing–masing negara. Selain pembedaan bentuk demokrasi, sistem demokrasi juga dikembangkan berdasarkan prinsip filosofi atau ideologi yang dianutnya. Misalnya demokrasi liberal, dan demokrasi komunis. 1. Demokrasi Liberal Prinsip demokrasi liberal didasarkan pada filosofi kenegaraan, bahwa manusia adalah makhluk individu yang bebas. Kehidupan manusia sebagai individu yang bebas ini, banyak menimbulkan benturan, sehingga menjadikan individu-individu dalam masyarakat membentuk persekutuan hidup bersama. Misalnya bagaimana teori pemimpin masyarakat dalam suatu Negara yang dikembangkan Thomas Hobbes, John Locke, maupun 89 Rousseau. Meski ketiga tokoh tersebut teori dasar dan terbentuknya masyarakat sama, tetapi dalam konsep tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya berbeda. Perbedaan mendasar dari teori Hobbes dan Rousseau terletak pada dapat tidaknya mandat yang diberikan ditarik lagi oleh pemberi mandat. Menurut Hobbes, pemimpin yang mendapatkan penyerahan mandat tidak dapat diganggu gugat dan tidak dapat ditarik lagi mandatnya, karena pemimpin yang mendapat mandat harus diberikan kekuasaan mengatur, dan untuk mengatur yang baik, tidak terikat dengan pihak-pihak yang diatur. Teori Hobbes mendorong bentuk kekuasaan yang absolut. Kondisi absolut inilah yang ditentang Rousseau, dan teori Rousseau dianggap paling sesuai dengan konteks demokrasi sekarang, yakni rakyat yang memilih pemimpin sebenarnya, dan tidak otomatis kehilangan hak kedaulatannya. Karenanya, pemimpin rakyat yang mendapatkan mandat untuk memimpin, dan kepemimpinannya tidak sesuai lagi dengan kehendak rakyat sebagai pemberi mandat, maka rakyat dapat mencabut mandatnya kembali. Pada dasarnya paham pemikiran demokrasi liberal merupakan reaksi dari tekanan kekuasaan absolut para raja di Eropa abad pertengahan. Untuk mewujudkan keseimbangan kekuasaan absolut, rakyat perlu kekuatan penyeimbang dalam bentuk perwakilan. Bentuk perwakilan ini merupakan manifestasi perlindungan serta jaminan akan kebebasan individu, yang akhirnya berkembang, bahwa kekuatan rakyat bukan sekedar penyeimbang, tetapi kekuatan rakyat adalah kekuatan yang menentukan, sehingga Negara tidak dibenarkan mencampuri urusan pribadi warga negaranya tidak lagi relevan. Tugas Negara sebagaimana teori Van Valenhoven yang mengembangkan trias politika menjadi catur praja, yakni Negara tidak ubahnya penjaga malam (nachtwachtersstaat) bagi warga negaranya, telah mengalami perubahan dan perkembangan 90 dimana Negara berhak campur tangan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya (welfare state, social service state) Dampak perkembangan faham liberalis-kapitalis dalam demokrasi liberal adalah munculnya kekuatan individu pemilik modal yang yang berhasil mempengaruhi dan memenangkan melalui proses pemilihan umum. Akibatnya kekuasaan kapital sangat menguasai kehidupan Negara. Keadaan ini terbukti pada era global seperti sekarang ini, kaum kapitalis dunia mampu menjalankan kapitalnya tanpa terkendala pada batas-batas Negara, seperti perusahaan-perusahan korporasi internasional, Freeport, dan lain-lain. Dengan kelebihan modal, kaum kapitalis dapat menekan kelompok pekerja dalam lingkungannya. Kaum kapitalis yang pada awalnya mencari kesimbangan, karena tekanan kaum feodal, dalam proses perkembangannya juga melakukan penekanan pada kelompok lain dengan pola dan gaya yang berbeda. Ketidakseimbangan kondisi inilah yang memunculkan reaksi pada gerakan sosialis dan komunis. Bentuk nyata contoh keberhasilan perjuangan kaum liberalis dalam pemerintahan Negara memunculkan sistem pemerintahan parlementer sebagaimana di Inggris, serta pemerintahan presidensial sebagaimana dipraktikkan di Amerika Serikat. Sistem pemerintahan parlementer, pada dasarnya terjadi pemisahan kekuasaan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Kepala Negara dapat dijabat seorang Presiden, bila berbentuk Republik atau Raja, bila negara bentuk kerajaan, sedangkan Kepala Pemerintahan dalam sistem parlementer dipimpin oleh Perdana Menteri. Keberadaan Perdana Menteri dan para Menteri sangat tergantung pada DPR, karena sewaktu-waktu DPR dapat menyampaikan mosi tidak percaya, baik secara kelembagaan atau seluruh anggota kabinet atau orang-perorang sebagai Menteri Negara. Untuk pemerintahan presidensial, berlaku pada negara Republik, yakni Presiden merangkap sebagai Kepala Negara dan Kepala 91 pemerintahan. Para menteri diangkat oleh Presiden. Kabinet di bawah pimpinan Presiden dan tidak dapat dijatuhkan atau dibubarkan oleh DPR. 2. Demokrasi Komunis Ideologi komunis yang dikembangkan Marx memiliki pengaruh cukup meluas dan berhasil diterapkan dalam praktik kenegaraan oleh beberapa negara di dunia, bahkan Uni Soviet pernah menjadi kekuatan besar dalam bersaing dan perang dingin dengan kelompok liberalis di bawah koordinasi kepemimpinan Amerika Serikat. Pada era terkini, nampaknya Cina dengan pemerintahan di bawah Partai Komunis menjadi pengganti Uni Soviet, sebagai negara pengusung ideologi komunis ala Cina telah berhasil menunjukkan dirinya sebagai kekuatan besar di dunia. Bila dalam demokrasi kapitalis, kebebasan politik tercermin dalam keberadaan partai politik penguasa dan oposisi, sehingga partai politik pada demokrasi liberal sedikitnya ada dua partai. Dalam demokrasi komunis hanya dibenarkan hidup satu partai, yaitu partai komunis, tidak mengenal adanya partai penguasa dan partai oposisi, karena persaingan pemimpin didasarkan pada kemampuan persaingan individu dalam internal partai komunis. Demokrasi komunis sebagai wujud perjuangan ideologi komunis, ada dan tumbuh melalui gerakan revolusioner, berada pada kondisi era posliberalis. Dalam ideologi komunis, tidak akan ada toleransi terhadap praktik-praktik liberal, termasuk sistem demokrasi dengan multipartai. Pada era transisi kekuasaan liberal ke arah komunis, telah ditetapkan seorang yang kuat dengan segala bentuk kekuasaan yang mutlak dengan kewenangan penuh sebagai diktator proletariat, sehingga tidak relevan lagi dalam kehidupan demokrasi komunis akan jaminan kebebasan individu dalam kehidupan praktik demokrasi sebagaimana pada ideologi dan demokrasi liberal. Pemimpin partai dengan para elitnya menentukan 92 pemimpin untuk menjalankan politik partainya, guna mewujudkan citacita dalam Negara komunis. 3. Demokrasi dan Islam Banyak kalangan Muslim mengatakan bahwa Islam dan demokrasi adalah serasi, cocok (compatible), tetapi bagaimana keduanya bisa compatible ? Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan demokrasi itu ? Bagaimana demokrasi demokrasi bekerja dalam konteks Islam? Bentuk demokrasi yang mana yang lebih diutamakan (preferable) ? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang dikumandang oleh Bernard Lewis (2002) ketika membahas Islam, Liberalisme dan Demokrasi. Bagi sebagian kalangan, ada persoalan antara Islam dan demokrasi. Dari sekedar persoalan pengalaman demokrasi Islam yang terbatas hingga persoalan serius menyangkut ketidakcocokan (incompatibility) Islam dan demokrasi. Secara sederhana ada tiga kecendrungan besar mengenai pola hubungan Islam dan demokrasi (Bernard Lewis, 2002), yaitu : a. Islam dan demokrasi dipandang sebagai dua sistem politik yang berbeda. Sebagai sistem politik, Islam tidak dapat disubordinasikan kepada demokrasi. b. Islam berbeda dengan demokrasi, apabila demokrasi dipahami secara prosedural sebagaimana dipraktekkan di Barat. Tetapi Islam dapat dianggap sebagai sistem politik demokratis, jika demokrasi dipahami secara substantif. c. Islam dipandang sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap demokrasi yang didefinisikan secara prosedural dan dipraktekkan di Barat. Kendati demikian, pandangan ini belum begitu mengkristal dalam masyarakat Muslim, dan karenanya rezim demokrasi masih menjadi fenomena yang jarang ditemui. Menurut Bernard Lewis (2002) apapun alasannya, persoalanpersoalan yang mengganjal dalam hubungan Islam dan demokrasi harus 93 diselesaikan, sehingga dihasilkan pemahaman komprehensif yang memungkinkan relasi Islam-demokrasi menyatu dalam format yang ideal. Dalam upaya untuk menemukan suatu basis ideologis yang diterima oleh semua kalangan di dunia Islam, para pemikir dari kalangan Islam maupun sekular dari masyarakat Muslim, mulai merambah misi baru untuk merekonsiliasi perbedaan-perbedaan antara berbagai kelompok politik. Seiring dengan intensitas kajian tentang hubungan Islam dan demokrasi, persoalannya kini mulai bergeser, bukan lagi menyangkut kompatibilitas Islam dengan demokrasi, melainkan bagaimana demokrasi dapat built-in dalam tradisi kaum Muslim, baik secara paradigmatik, etik maupun epistemologi. Upaya ke arah itu merupakan tugas besar yang tak terelakkan, agar Islam dapat bergumul dalam kehidupan modern. Walaupun upaya merumuskan sintesis yang memungkinkan dalam rekonsiliasi Islam-demokrasi sangat menantang, ternyata suara-suara yang mengalunkan irama keharmonisan kian menggema jauh ke jantung Islam dan Barat. Sebagaimana demokrasi tidak selalu dipahami secara tunggal, Islam juga bukanlah tafsir yang monolitik. Karena itu, selalu ada titik temu yang memungkinkan keduanya berhubungan secara dialektis. Dengan kata lain, jika dikatakan bahwa Islam, tidak sesuai dengan demokrasi, maka perlu dipertanyakan "Islam yang mana dan dengan demokrasi apa?", atau jika demokrasi tidak Islami, pertanyaannya adalah " Demokrasi yang mana dan dengan Islam apa?" Pembahasan tentang format ideal Islam-demokrasi menjadi lebih urgen di abad ke 21 ini. Karena kebangkitan agama dan demokratisasi merupakan fenomena paling monumental di era globalisasi ini. Di berbagai wilayah di dunia, gerakan-gerakan kebangkitan agama berjalan seiring dan terkadang memperkuat sistem politik yang lebih demokratis. Sementara di wilayah-wilayah lain, kedua dinamika itu saling berlawanan. Di dunia Islam, isu-isu tersebut muncul ke permukaan secara 94 istimewa, disebabkan adanya kekuatan kebangkitan Islam dan menguatnya tuntutan terhadap partisipai rakyat yang lebih besar dalam proses politik pada tahun-tahun belakangan ini. Bagaimanapun keanekaragaman pemahaman dan penggunaan konsep demokrasi itu, tuntutan terhadap demokratisasi, partisipasi politik, dan demokrasi Islam menunjukkannya diterimanya demokrasi di banyak masyarakat Muslim kontemporer. Sementara sebagian orang masih tetap yaknin bahwa demokrasi itu "tidak Islami" atau anti-Islam, atau bahwa ia semata upaya Barat dalam era pasca Perang Dingin, untuk meraih hegemoni ideologi dan politik, banyak pula kalangan Muslim yang menjadikan dukungan pada demokrasi sebagai perangkat uji bagi kredibiitas atau legitimasi rezim dan bagi partai politik serta oposisi. 95 Kegiatan Belajar 3 Perkembangan Demokrasi di Indonesia, Pemilihan Umum dan Pembangunan Masyarakat Demokrasi A. Perkembangan Demokrasi di Indonesia Konsepsi demokrasi modern di Indonesia menurut Mahfud, MD (2000) baru dikumandangkan awal tahun 1918 oleh HOS Cokroaminoto, di depan Volksraad. Pada waktu itu Cokroaminoto mengajukan mosi tentang pembentukan parlemen di negeri jajahan Hindia Belanda. Pada awalnya demokrasi bangsa Indonesia adalah demokrasi tradisional yang berdasar pada kelompok-kelompok dari marga (Batak), atau kehidupan kelompokkelompok masyarakat yang bersifat patron. Kehidupan demokrasi tradisional tersebut tergoncang dengan kehadiran agama Hindu dan munculnya kerajaan-kerajaan Hindu, dengan pengelompokkan kasta-kasta yang dianut dalam strata agama Hindu. Kehidupan demokrasi mulai mengalami revitalisasi dan reaktualisasi dengan berkembangnya pengaruh agama Islam. Agama Islam yang membawa kesamaan derajat manusia di hadapan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, dan memberikan nuansa demokrasi yang lebih kondusif. Kesamaan derajat manusia inilah yang membawa perubahan besar dan menghidupkan kembali prinsip kerakyatan tradisonal. Perjuangan masyarakat Indonesia sebelum merdeka ke arah demokrasi ditandai dengan berdirinya Budi Utomo, Organisasi-organisasi Politik, Organisasi-organisasi Sosial Kepemudaan, serta Perhimpunan Pelajar Indonesia sampai pada pelaksanaan Sumpah Pemuda. Nilai-nilai demokrasi mulai tersosialisasi, bahkan pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno dalam pidato di depan BPUPKI, yang memberikan konsep dasar negara, juga menyinggung konsep geopolitik Indonesia, yang menggambarkan konsep demokrasi kaitannya antara ruang, negara dan rakyat. Semua ini menandai 96 awal dan proses kehidupan demokrasi Indonesia modern yang dimulai awal abad 20 (Mahfud MD., 2000). Nilai demokrasi seperti kebebasan (berpendapat, berelompok, berpartisipasi), menghormati hak orang lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan, sesungguhnya merupakan nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis. Berdasarkan nilai-nilai demokrasi yang ada, sebuah pemerintahan demokrasi dapat ditegakkan, sebaliknya tanpa adanya nilainilai demokrasi dalam negara, maka pemerintahan negara yang demokratis tersebut sulit ditegakkan. 1. Demokrasi Liberal di Awal Proklamasi Awal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Indonesia masih disibukkan untuk menata negara yang baru berdiri, pada sisi lain bangsa Indonesia harus berjuang mempertahankan kemerdekaan dari penjajah Belanda yang masih ingin berkuasa lagi di Indonesia. Sistem pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945 Proklamasi mengacu pada sistem presidensial, hanya bertahan beberapa bulan dan berubah menjadi sistem parlementer sebagai lambang demokrasi liberal yang banyak dianut Negara-negara Eropa. Perubahan sistem presidensial ke parlemen mulai tanggal 14 Nopember 1945. Perubahan ini atas inisiatif Sutan Syahrir, sebagai tinak lanjut Maklumat Wakil Presiden 16 Oktober 1945, karena menanggapi propaganda Belanda bahwa Indonesia adalah Negara bentukan Jepang yang tidak sah, karena Jepang telah menyerah tanggal 14 Agustus 1945, dan Indonesia bentukan Jepang adalah Negara diktator yang tidak sesuai dengan perkembangan negara kerakyatan atau demokrasi. Hal ini terbukti, karena tidak adanya kekuasaan legislatif maupun Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan/lembaga kehakiman, karena lembaga tersebut dirangkap Presiden, meskipun itu bersifat darurat, sebab lembaga yang tetap belum terbentuk. Untuk menanggapi propaganda Belanda yang dapat menyudutkan Indonesia, 97 Wakil Presiden Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor. X Tahun 1945 yang isinya adalah: Mengubah kedudukan dan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berdasarkan Aturan Peralihan pasal 4 berkedudukan sebagai Pembantu Presiden menjadi sebuah lembaga Pembuat Undang-Undang bersama-sama Presiden, dan berfungsi sebagai Lembaga yang menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, KNIP tidak lagi sekedar Pembantu Pesiden, tetapi KNIP berubah status yang berkedudukan sebagai DPR dan MPR sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 Proklamasi. Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, sistem Pemerintahan Indonesia berubah dari presidensial menjadi sistem parlementer, dengan Perdana Menteri pertamanya adalah Sutan Syahrir. Meski dalam sistem perundang-undangan kita tidak pernah menye but adanya Maklumat, namun dalam kondisi perjuangan yang serba darurat, sebagai generasi penerus kita perlu menghargai niat baik perjuangan para pemimpin kemerdekaan yang tidak punya kesempatan berpikir lama dan harus segera mengambil keputusan karena kondisi serba darurat. Kita tidak boleh dengan semena-mena menganggap tindakan tersebut dianggap inkonstitusional, karena tindakan tersebut tidak terdapat niat untuk keuntungan pribadi maupun kelompok, tetapi semata-mata untuk tetap tegaknya Negara Proklamasi. Adanya pendapat yang menganggap bahwa tindakan tersebut inkonstitusional adalah pernyataan egois yang tidak memahami kondisi, dan hanya untuk kepentingan popularitas pribadi yang egois, mabuk kehormatan dan haus kekuasaan. Penegasan ini ditekankan, karena pada masa Orde Baru, pergeseran ini dianggap sebagai penyelewengan konstitusional. Kita perlu menyadari sebagai orang yang beragama, bahwa perbuatan seseorang tergantung 98 pada niatnya. Jadi bila kita tahu, niat pemimpin tujuannya baik harus didukung, tetapi meskipun kebijakan pemimpin didasarkan pada undangundang, tetapi undang-undang itu ternyata dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu, kebijakan yang berdasarkan undang-undang sebenarnya perbuatan pembenaran belaka, karena undang-undang dibuat untuk pembenaran kelompoknya. Semua itu terbukti Demokrasi Liberal dengan sistem parlementer berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959, dan sistem presidensial masih dipertahankan sampai sekarang. 2. Demokrasi Terpimpin Di awal kemerdekaan, Mahfud MD. (2000) menyebut sebagai pemikiran demokrasi Sukarno–Hatta, yang kemudian diupayakan lagi setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak mempersiapkan Proklamasi, Sukarno-Hatta yang berorientasi pada pluralistik dan cenderung memisahkan negara dengan agama, tidak berarti negara, tidak membolehkan agama masuk dalam konsep-konsep kenegaraan Indonesia. Negara akan memberikan jaminan penganut agama, untuk tidak menutup kemungkinan konsep agama masuk dalam perundingan Negara sebagaimana dikutip Mahfud.MD (2000) yang mengutip pernyataan Bung Karno ”…rakyatnya dapat memasukkan segala paham keagamaannya ke dalam tiap-tiap tindakan Negara, ke dalam tiap-tiap undang-undang yang dipakai dalam Negara, ke dalam tiap-tiap politik yang diadakan oleh Negara, walaupun di situ agama dipisahkan dari Negara…”Agar sebagian besar dari anggota parlemen politiknya politik Islam, maka tidak akan dapat berjalanlah satu usul juapun yang tidak bersifat Islam”. Pada kutipan lain dilanjutkan “…Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang sebagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakan segenap rakyat agar menggerakkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini…. 99 Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan Negara Indonesia memuat Injil, bekerjalah matimatian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk Badan Perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil- fair play”. Meskipun Sukarno mengutip kebebasan pluralistik ala Barat, Sukarno tidak tertarik penerapan demokrasi demokrasi Barat di bidang sosial ekonomi, karena Negara hanya bertindak sebagai penjaga malam. Sukarno ingin mewujudkan faham welfare state, yaitu Negara berperan aktif untuk membangun kesejahteraan sosial. Sukarno berusaha membangun dua konsep yang berbeda, yang dalam praktiknya menjadikan demokrasi terpimpin yang akhirnya menjurus pada otoriter. Demokrasi terpimpin adalah konsep Presiden Sukarno untuk menggantikan praktik demokrasi liberal parlementer di bawah UUDS tahun 1950. Praktik demokrasi liberal tersebut, ternyata menjadikan Pemerintahan Negara Indonesia tidak stabil, karena sering terjadi mosi tidak percaya dari DPR terhadap pemerintah. Jatuh bangunnya Pemerintahan Indonesia dalam waktu yang relatif singkat, Pemerintah yang berkuasa tidak mampu melaksanakan pembangunan secara baik, dengan masa periodisasi pemerintahan yang dilaksanakan terlalu singkat, tidak terdapat partai mayoritas yang menguasai parlemen. Pada sisi lain, tidak ada koalisi yang kuat, karena praktik politik dagang sapi yang berorientasi pada kepentingan kelompok atau partai. Misalnya terdapat pemerintahan yang periode kekuasaannya tidak sampai satu tahun, seperti pada masa pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Kondisi seperti ini jelas tidak menguntungkan jalannya pemerintahan Indonesia yang baru merdeka, yang memerlukan stabilitas politik dalam membangun bangsa dan Negara. Keadaan yang tidak menguntungkan ini mendorong Presiden sukarno berinisiatif, memberikan masukkan kepada Konstituante sebagai lembaga 100 yang bertugas membuat dan menetapkan UUD, agar bangsa Indonesia kembali kepada dasar Negara proklamasi yang sekarang dikenal sebagai UUD 1945. Tawaran Presiden Sukarno diterima baik oleh Konstituante, namun tanggapan tawaran tersebut terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menghendaki berlakunya kembali UUD 1945 tanpa perubahan apapun, satu kelompok lainnya diberlakukan kembali dengan beberapa perubahan. Perbedaan dua kelompok ini tidak pernah mendapat kesepakatan mayoritas dalam Konstituante, bahkan ada beberapa anggota Konstituante yang mengancam tidak akan hadir dalam penentuan dan penetapan UUD baru guna menggantikan UUDS, sehingga kondisi ini dianggap sebagai situasi yang membahayakan kepentingan nasional, karena tidak segera terwujud UUD yang baru untuk menggantikan UUDS. Keadaan inilah mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945, Presiden Sukarno tidak sekedar kepala Negara tetapi merangkap sebagai Kepala Pemerintahan. Konsep Demokrasi Terpimpin yang mengacu pada sila keempat Pancasila, disampaikan Presiden Sukarno pada Sidang Konstituante tanggal 22 April 1959, dengan pokok-pokok pemikiran Demokrasi Terpimpin adalah: a. Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, b. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia, yaitu kekeluargaan dan gotong royong, c. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi bidang politik, sosial dan ekonomi, d. Inti pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, serta 101 e. Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam Demokrasi Terpimpin. Ide Presiden Sukarno tersebut akhirnya disepakati oleh MPRS, kemudian dituangkan dalam ketetapan MPRS No. VIII/MPRS 1965, yang mengatur tentang Prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin. Menurut Demokrasi Terpimpin inti dari permusyawaratan adalah musyawarah untuk mufakat, bilamana tidak tercapai, maka musyawarah akan ditempuh salah satu jalan di antaranya adalah: a. Persoalan diserahkan kepada pemimpin untuk mengambil kebijakan dengan memperhatikan pendapat yang bertentangan, b. Persoalannya ditangguhkan, c. Persoalannya ditiadakan sama sekali. Dalam praktik Demokrasi Terpimpin, peran Presiden sebagai pemimpin nasional sangat dominan. Dengan kekuasaan yang ada, ide-ide Presiden dalam pidato kenegaraan menjadi landasan kebijakan Negara sebagai Garis Besar Haluan Negara. Kondisi inilah menjadian Presiden Sukarno mampu mengendalikan sistem kenegaraan, dan Lembaga Negara lainnya termasuk MPRS yang kedudukan formalnya berdasarkan hukum positif saat itu berada di atas Presiden. Munculnya pengangkatan Presiden Sukarno seumur hidup adalah kuatnya pengaruh Presiden dalam lembaga MPRS. 3. Demokrasi Pancasila Pada esensinya Demokrasi Pancasila adalah berasal dari pemikiran politik Soekarno, yang kemudian dituangkan ke dalam UUD 1945 Proklamasi. Amat sulit kiranya untuk menolak andil pemikiran Soekarno terhadap Pancasila dan sistem demokrasi yang memakai predikat Pancasila adalah amat besar. Oleh karena itu, kejujuran sejarah kiranya tidak mungkin bisa membenarkan penghapusan pengaruh dominan pemikiran Soekarno dalam Demokrasi Pancasila (Alfian, 1981). 102 Secara teoritis kerangka pemikiran yang melandasi Demokrasi Pancasila ialah membangun sistem politik Indonesia di atas keseimbangan yang wajar antara konsensus dan konflik. Namun menurut Alfian (1981), pola tingkah laku politik masyarakat selama ini menunjukkan dua sikap ekstrim yang bisa membahayakan, yaitu : a. Kecendrungan untuk memiliki kebebasan tanpa batas, yang mudah meningkatkan kadar politik menjadi tinggi dan berlarut-larut, sehingga masyarakat tetap terpecah-pecah dalam kotak-kotak ikatan subnasional dan primordial, b. Kecendrungan untuk mematikan sama sekali konflik (kritik atau perbedaan pendapaat) yang menjurus kepada sikap dan tingkah laku diktator. Demokrasi Pancasila sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 baik Proklamasi maupun Amandemen esensinya mengakui bahwa kedaulatan atau kekuasaan berada di tangan rakyat, yang menghendaki agar masyarakat Indonesia yang majemuk dapat mengemukakan aspirasi dan keinginannya secara jujur dan murni. Persoalannya bagaimana mengaturnya? Demikian pula secara ideal dan teoritis Demokrasi Pancasila menghendaki antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terwujud keseimbangan (check and balance), bagaimana mengusahakan agar tingkah laku politik penguasa dan masyarakat dapat mendekati pola "check and balance" yang proporsional, antara konsensus dan konflik, atau di antara kecendrungan perilaku politik, kebebasan tanpa batas, atau mematikan sama sekali konflik ? Tampilnya Orde Baru di pentas politik Indonesia telah menggeser kehidupan politik dari titik ekstrim otoriter ke sistem demokrasi Orde Baru. Sebagai ganti sistem Demokrasi Terpimpin, ditetapkan Demokrasi Pancasila, meski sumber demokrasi dimaksud tetap sama yakni sila keempat dari Pancasila. Konsep Demokrasi Pancasila tetap 103 mengutamakan musyawarah mufakat, tetapi pemimpin tidak diberikan hak untuk mengambil keputusan sendiri, dalam hal musyawarah tidak mencapai mufakat. Sebagaimana konsep Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila juga mendasarkan pada demokrasi berdasarkan kekeluargaan dan gotong royong, yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung: a. Unsur-unsur kesadaran religious dan menolak atheism, b. Kebenaran, kecintaan, landasan budi pekerti luhur dan kepribadian Indonesia, c. Keseimbangan dalam arti keseimbangan antara individu dan masyarakat. Penetapan Demokrasi Pancasila diatur dalam Tap MPRS No. XXXVII/MPRS/1968, yakni bila mufakat tidak dapat dilakukan, maka akan dilakukan voting (pemungutan suara, sesuai dengan pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Ketetapan ini juga dicabut dengan Tap No.V/MPR/1973 bersama produk MPR lainnya yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, atau karena materinya sudah diatur oleh ketetapan lain. Awal Orde Baru sebagai konsep demokrasi lebih berlanggam liberal di bidang politik, dan berusaha memberikan kepuasan kerakyatan di bidang ekonomi. Langkah awal ini dapat diambil, karena Orde baru perlu langkah legitimasi, dengan membuat antitesa sistem yang terjadi pada Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Orde Baru setelah mendapatkan legitimasi, dalam perjalanannya mengarah pada pola organis, yang muncul sebagai kekuasaan Negara yang kuat dan mengatasi segala kekuatan yang ada dalam masyarakat, termasuk kelembagaan Negara. Pada perkembangannya, Orde Baru yang awalnya mengkritik kekuasaan otoriter Sukarno, dalam praktiknya juga terjebak dalam kondisi yang sama, yakni Suharto berhasil mengkondisikan kekuasaaanya 104 untuk mengontrol kekuasaan lain dan menempatkan kekuasaan Presiden menjadi sangat dominan dalam penetapan kebijakan politik kenegaraan. Format baru seperti kesatuan dan persatuan harus dijaga, apapun dampak dan berapapun biaya, serta stabilitas politik merupakan prasyarat usahausaha lain, termasuk pembangunan ekonomi terus dipetahankan. Strategi Orde baru tersebut menurut pandangan Mahfud MD (2000) adalah: a. Orientasi program, dengan slogan pembangunan Yes, politik No. b. Pergumulan menjelang Pemilu, bagaimana memperoleh suara mayoritas dalam mengamankan komitmen Orde Baru c. Pengangkatan anggota DPR d. Penggarapan partai dan penguatan Golkar, termasuk penyederhanaan sistem kepartaian, dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Upaya Orde Baru cukup berhasil membangun birokratik otoritarian, atau hegemonik birokratik yang menurut Mohtar Mas’oed (Mahfud MD, 2000) bercirikan: a. Pemerintah dipimpin oleh militer sebagai lembaga yang bekerja sama dengan teknorat sipil, b. Pemerintah didukung oleh pemilik modal domestik yang bersamasama Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat internasional, c. Pendekatan kebijakan didominasi oleh pendekatan teknokratik dan menjauhi proses bargaining yang panjang antara kelompokkelompok kepentingan, d. Masa dimobilisasi, termasuk dalam pemilu, e. Pemerintah menggunakan tindakan represif untuk mengontrol oposisi. Meskipun Orde Baru mampu bertahan sampai tiga dasawarsa, namun pelaksanaan Demokrasi Pancasila hanya terbatas pada retorika, dan hanya menguntungkan kelompok penguasa dan kroni-kroninya. Usaha monopoli terselubung dibalut dengan usaha tata niaga yang memberikan hak kepada pengusaha tertentu dalam usahanya, termasuk kepada yang dekat dengan 105 lingkungan istana Orde Baru. Banyaknya gagasan yang ada, tidak pernah sampai pada tataran pelaksanaan. Orde Baru yang pada awalnya mendapat dukungan mayoritas mengalami krisis kepercayaan. Dalam perkembangan pemerintahan, akhir masa pemerintah penguasa Orde Baru tidak memberikan ruang gerak bagi kehidupan demokrasi. Menurut M. Rusli Karim (1998), Orde Baru ditandai oleh: a. Dominannya peranan ABRI, b. Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, c. Penggebirian peran dan fungsi partai politik, d. Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik, e. Masa mengambang, f. Monolitasi Ideologi Negara, g. Inkorporasi lembaga nonpemerintah. Praktik kenegaraan yang terjadi antara tatanan konsep yang berbeda dengan pelaksanaan praktik kenegaraan pada masa Orde Baru mengkristal dan berakhir bersamaan dengan adanya krisis multidimensi di Indonesia tahun 1998. Ini semua menjadi pelajaran bagi kita bangsa Indonesia, betapapun percaya diri yang kuat yang tidak didasarkan pada hukum yang adil dalam kekuasaan yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya, dan melakukan represi pada kelompok lain yang dianggap kelompok penghalang, dengan berbagai dalih mengganggu stabilitas, merongrong wibawa pemerintah, padahal semua diciptakan untuk kelesatrian kekuasaan pribadi atau kelompok, seperti permainan, pemerintahan diktator pada akhirnya akan tumbang oleh kekuatan demokrasi rakyat. Siapa menduga bahwa tahun 1998 kekuasaan mayoritas Orde Baru yang baru memenangkan pemilu tahun 1997, tumbang sebagaimana Orde Baru menumbangkan Orde Lama tahun 1966. Sekali lagi ini suatu pelajaran berharga yang patut direnungkan 106 oleh pemimpin dan para generasi penerus bangsa, semoga permainan pembenaran untuk kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan umum tidak lagi terjadi. 4. Demokrasi Era Reformasi Akhir Orde Baru ditandai dengan tekanan kekuatan reformasi dan pengunduran diri Presiden Suharto pada bulan Mei 1998. Bila demokrasi di Indonesia pernah dikenalkan dengan label Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasilam maka sampai saat ini kita tidak lagi mendapatkan label tentang pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Beberapa perubahan mendasar dalam praktik kenegaraan di era reformasi adalah terjadinya amandemen UUD 1945 yang telah berjalan empat kali, yang pada masa Orde Baru perubahan ini sangat disakralkan sebagaimana telah dibahas adanya ketentuan referendum, juga berdampak pada berbagai perubahan dalam praktik politik kenegaraan Indonesia, seperti: a. Perubahan keanggotaan MPR Anggota MPR sebelum amandemen terdiri dari anggota DPR ditambah dengan Utusan Daerah dan golongan-golongan, dan ada sebagian anggota MPR maupun DPR yang diangkat, meskipun dibenarkan oleh undang-undang Pemilihan Umum saat itu. Dari kondisi ini terlihat ada upaya terstruktur menguntungkan golongan tertentu dengan mencari pembenaran melalui undang-undang. b. Tidak lagi anggota DPR dan MPR yang diangkat Bedjo (1976), telah memberikan wacana perlunya semua anggota perwakilan dan permusyawaratan dipilih langsung, bila kondisinya seperti saat itu (1976), sebaiknya Undang-Undang Pemilihan Umum diubah namanya menjadi Undang-Undang pemilihan dan Pengangkatan MPR, DPR dan DPRD. Setelah amandemen anggota MPR hanya terdiri dari dari DPR dan DPD yang semuanya dipilih melalui pemilihan umum, tidak lagi ada anggota MPR yang diangkat 107 sebagaimana masa Orde Baru. Terdapat ketidakadilan dalam pelaksanaan pemilihan umum masa Orde Baru, seperti Golkar sebagai peserta pemilihan umum mendapatkan tambahan wakil yang diangkat dalam anggota DPR, sedang partai yang lain tidak mendapatkan tambahan kursi sebagaimana diperoleh Golkar. c. Penetapan Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, demikian juga Kepala Daerah dan Wakilnya tidak lagi dipilih oleh DPRD, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pemilihan umum yang memilih Presiden secara langsung pertama dilaksanakan tahun 2004, dengan presiden terpilih adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. d. Pembatasan masa kekuasaan Presiden Sebelum amandemen tidak pernah ada masa pembatasan periode masa jabatan Presiden, karena UUD 1945 hanya mengatur masa jabatan Presiden lima tahun dan sesudahnya dapat dipilh kembali. Inilah keluwesan UUD 1945, yang dapat ditafsirkan benar menurut penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya. Masa Orde Lama, banyak anggota MPRS berkeyakinan Bung Karno akan selalu terpilih sebagai Presiden bila diadakan pemilihan presiden, maka akhirnya ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup. Masa Orde Baru Presiden Suharto selalu terpilh dalam enam periode, meski periode terakhir harus lengser, karena tekanan rakyat yang sudah jenuh dengan permainan politik Orde Baru. Untuk menghindari terulangnya kembali kekuasaan Kepala Negara yang tidak terbatasi, maka periodisasinya dibatasi menjadi dua periode. Demikian juga untuk menghindarkan terulangnya kembali kekuasaan Kepala Negara yang sangat dominan dalam keputusan politik kenegaraan, maka kekuasaan Presiden dalam 108 pemerintahan Negara beberapa kebijakan Presiden dalam era reformasi harus memperhatikan suara DPR atau persetujuan DPR. Terhadap praktik kenegaraan bahwa dalam banyak hal Presiden harus berkonsultasi atau harus mendapat persetujuan DPR, maka sering terjadi perdebatan politik kenegaraan Indonesia lebih dekat pada praktik demokrasi parlementer. e. Jaminan hak warga Negara dalam bidang politik lebih terakomodir, era reformasi memunculkan kehidupan multipartai yang menjurus pada euforia demokrasi. Satu sisi memberikan kelonggaran berpolitik, pada sisi lain muncul euforia dan anarkisme yang berlebihan dan kurang bertanggungjawab. Kebebasan mendirikan partai politik, lebih terbuka, bahkan kebebasan politik yang bersifat individual dalam memperebutkan jabatan politik lembaga eksekutif telah menjadi wacana. Suatu kebebasan yang perlu mendapat perhatian bersama adalah kecenderungan warga berbuat anarkhis, atas nama demokrasi. Kebebasan menjadi legitimasi kehidupan demokrasi yang ambisius. Kasus demo warga dengan korban meninggal dunia Ketua DPRD di Sumatra Utara tahun 2009, adalah benuk anarkis dampak euforia demokrasi. Kita pernah mengecam dan mengkritik tindakan sewenang-wenang aparat Negara, tetapi kenyataannya tindakan atas nama rakyat, justru membawa korban wakil rakyat. Ironis memang, tapi itulah salah satu bentuk perilaku bangsa Indonesia pada era reformasi yang perlu mnedapat perhatian semua pihak. Banyaknya wakil rakyat di DPR yang terlibat KKN menambah daftar panjang tindak penyimpangan dan euphoria di era reformasi, meski pada satu sisi pemberantasan korupsi termasuk program prioritas era Presiden Susilo bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sisi lain dari perjalanan demokrasi era Reformasi adalah muncul gejala bahwa demokrasi justru melayani the tirani of minority. Tirani ini 109 menyusup lewat pintu belakang prosedur demokrasi, menguasainya dan mengambil alih perangkat-perangkat demokrasi. Penelitian Demos (Fisip UI, 2008) telah memperlihatkan bagaimana di dalam politik lokal, demokrasi "dibajak" oleh kekuatan-kekuatan oligarikis melalui kekuatan penetrasi modal. Kondisi ini menimbulkan keresahan terhadap sosok ideal demokrasi, karena demokrasi di era Reformasi telah dikontaminasi dan dibajak oleh "tirani modal", baik oleh kekuatan globalisasi maupun kaum oligarki politik lokal. Keduanya bekerjasama melalui kekuatan hukum pasar menyikirkan masyarakat dan rakyat ke tepian marginal kue ekonomi bangsa. Kondisi inilah yang menghasilkan reproduksi kekerasan, kemiskinan, kemelaratan pendidikan dan kesehatan, dan yang mnyangkut hajat hidup orang banyak. B.Demokrasi dan Pemilihan Umum Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi dalam mewujudkan hak warga Negara atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Sebagian besar Negara di dunia melaksanakan pemilihan umum guna memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan,baik atas nama wakil rakyat atau atas nama wakil daerah. Pemilihan umum juga dilaksanakan untuk memilih kepala pemerintahan pada Negara dengan sistem Parlementer, tetapi juga memilih kepala Negara dan merangkap kepala pemerinahan pada sistem presidensial. 1. Pemilihan Umum di Indonesia Sistem pemilihan umum yang banyak diselenggarakan dalam praktik kenegaraan secara garis besarnya dapat dibedakan berdasar cara pemilihan dan perwakilan yang dipilih. a. Sistem pemilihan dilihat dari cara pemilihan: 110 Berdasarkan cara bagaimana pemilihan umum dalam menentukan wakil-wakilnya dibedakan menjadi pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung; 1) Pemilihan langsung adalah pemilihan yang dilakukan untuk memilih wakil rakyat, yaitu pemilih akan memilih calon secara langsung dari daftar calon wakil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundangan dari masing-masing Negara. Pemilihan umum di era Reformasi dapat dikategorikan dalam pemilihan langsung. 2) Pemilihan tidak langsung adalah pemilihan yang dilakukan untuk memilih wakil rakyat, caranya pemilih tidak memilih langsung calon yang menjadi pilihannya, karena peraturan perundangundangan Negara, tidak semua warga dapat ikut memilih langsung dalam pemilihan umum. Terdapat kelompok warga yang diwakili oleh kelompok tertentu sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pemilihan pada era Orde Baru dapat dikategorikan pada pemilihan langsung dan tidak langsung. Untuk wakil rakyat (DPR dan DPRD) dapat dikatakan pemilihan langsung, sedang untuk pemilihan Presiden yang dipilih dan diangkat oleh MPR, dan Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD setempat masuk pada pemilihan tidak langsung. b. Sistem pemilihan dilihat dari jumlah dan wilayah pemilihan: 1) Sistem distrik (single member constituency) adalah sistem pemilihan umum, yakni wilayah Negara atau wilayah pemilihan dibagi-bagi dalam distrik atau wilayah pemilihan. Tiap wilayah akan dipilih satu wakil atau calon wakil yang mendapatkan suara terbanyak di wilayahnya. 2) Sistem proporsional (multy member constituency) adalah sistem pemilihan umum, yakni wilayah Negara atau wilayah pemilihan 111 dibagi-bagi dalam daerah-daerah pemilihan yang dikenal dengan singkatan dapil. Tiap-tiap daerah jumlah wakil yang akan duduk dalam perwakilan lebih dari satu orang wakil. Dalam pelaksanaannya, sistem pemilihan distrik dan sistem proporsional, keduanya terdapat kelebihan dan kekurangan. c. Kelebihan Sistem Distrik 1) Mendorong pada integrasi partai. Dengan ketentuan hasil suara terbanyak dalam wilayah pemilihan yang akan menjadi wakil, maka partai-partai kecil mengalami kesulitan untuk memenangkan pemilihan di setiap daerah pemilihan. Kondisi ini akan mendorong partai-partai kecil untuk bergabung dengan partai besar, sehingga dapat mempercepat integrasi partai. Bila partai yang sudah ada berkecendrungan untuk bergabung, kemungkinan kelompok masyarakat untuk mendirikan partai baru relatif sangat kecil. 2) Wakil adalah tokoh yang dikenal pemilih Wakil-wakil yang terpilih dalam sistem distrik pada umumnya adalah tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal baik di wilayah pemilihan, dengan demikian antara wakil yang dipilih dengan warga pemilih terdapat kedekatan emosional yang erat, sehingga wakil terpilih akan berjuang dengan sungguh-sungguh dalam memperjuagkan aspirasi rakyat atau warga yang memilih. Wakil terpilih yang gagal memperjuangkan aspirasi pemilih, akan ditinggalkan pemilihnya untuk periode pemilhan berikutnya, karena akan muncul tokoh baru yang dianggap akan mampu membawakan aspirasinya. 3) Partai lebih mudah mencapai kedudukan mayoritas Dengan jumlah partai yang cenderung sedikit, maka partai peserta pemilihan umum akan lebih mudah mendapatkan suara 112 mayoritas dibanding dengan jumlah partai yang relatif banyak. Suara mayoritas sangat diperlukan dalam pemerintahan demokrasi, sehingga partai yang memperoleh suara terbanyak, tidak perlu koalisi dengan partai politik lain, dalam mewujudkan visi, misi dan program pembangunan yang dijanjikan kepada warga atau rakyat sebagai pemilih. Resiko pemerintahan mayoritas tanpa koalisi, bila pemerintahan yang dilakukan gagal dan tidak dapat memenuhi aspirasi rakyat, maka partai berkuasa akan sulit untuk memenangkan pemilihan umum periode berikutnya. Dengan demikian partai yang berkuasa harus sungguhsungguh memperjuangkan program yang telah ditawarkan saat kampanye, bila ingin memenangkan kembali pemilihan umum berikutnya. 4) Sederhana dan ekonomis Dengan cara perhitungan suara terbatas di wilayah pemilihan, maka perhitungan suara dapat dilakukan serentak dan tidak perlu lagi melakukan penjumlahan suara sampai tingkat nasional dalam menentukan calon jadi. Dengan demikian perhitungan relatif cepat dan tidak memakan banyak waktu, dengan waktu perhitungan yang singkat, tentu akan lebih menghemat biaya dibanding dengan perhitungan yang memerlukan waktu lama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu seperti Pemilu Indonesia 2009 yang banyak mendapatkan kritik, tidak saja dari partai politik peserta pemilu, tetapi masyarakat awam yang segera ingin mengetahui hasil perhitungan akhir suara yang resmi. d. Kekurangan Sistem Distrik: 1) Kurang memperhatikan partai kecil Partai kecil dalam pemilihan distrik, aspirasinya kurang mendapatkan perhatian, karena kalah dengan partai-partai besar. 113 Dengan demikian aspirasi kelompok-kelompok kecil yang tersebar dalam wilayah nasional, tidak dapat menyuarakan aspirasinya, meskipun dalam skala nasional sebenarnya cukup signifikan untuk diperhitungkan. Kondisi ini saling terkait dengan keadaan yang lain yang merupakan akumulasi dari sistem distrik. 2) Banyak suara hilang Dalam sistem distrik suara yang diperhitungkan dalam pemilihan umum adalah suara terbanyak di wilayah pemilihan, sedang suara yang kalah tidak lagi diperhitungkan. Dengan demikian, suara-suara yang secara kumulatif cukup banyak pada tingkat nasional tidak diperhitungkan, karena jumlah setiap di daerah pemilihan selalu kalah dengan partai yang lain yang lebih besar. Karena suara yang kalah tidak diperhitungkan, maka banyak suara pemilih yang hilang atau tidak dapat menyalurkan aspirasinya dalam lembaga perwakilan Negara. 3) Kurang efektif dalam masyarakat yang plural Dalam kondisi masayarakat yang plural, dengan peserta pemilihan lebih dari dua partai dan kecenderungan hasil pemilihan relatif berimbang, atau hanya terdapat perbeaan yang relatif kecil, sehingga dapat terjadi calon yang menang dalam suatu wilayah pemilihan, belum tentu menggambarkan suara mayoritas. Dengan perkataan lain, calon terpilih yang mendapat suara terbanyak, tidak memenuhi suara mayoritas (setengahnya lebih) dari total pemilih di wilayahnya. 4) Wakil terlalu berorientasi pada daerah pemilih Dengan keterikatan emosional antara pemilih dan yang dipilih, wakil terpilih cenderung memperjuangkan wilayah pemilihan secara berlebihan, sehingga wakil terpilih terlalu berorientasi pada daerah pemilihannya. Kondisi ini kurang 114 menguntungkan dalam kehidupan nasional, karena kepentingan nasional yang berorientasi pada kepentingan publik harus mendapatkan perhatian yang utama. e. Kelebihan Sistem Proporsional Celah-celah kelemahan sistem distrik menjadi kelebihan dalam sistem proporsional, demikian juga kelebihan sistem distrik menjadi kelemahan pada sistem proporsional. Kelebihan sistem proporsional antara lain: 1) Proporsional lebih representatif Dalam sistem proporsional semua suara dijumlahkan sampai pada tingkat nasional, dengan demikian semua suara pemilih diperhitungkan untuk mendapatkan wakil-wakilnya sesuai dengan tingkat perwakilan di daerah sampai level nasional. Dengan demikian tidak ada suara yang hilang, dalam arti semua suara diperhitungkan, sehingga aspirasi kelompok-kelompok kecil di wilayah yang tidak terwakili, kemungkinan akan mendapatkan wakil pada perwakilan tingkat pusat atau nasional. Karena semua suara diperhitungkan untuk menentukan perwakilan nasional, maka jumlah pemilh akan sebanding dengan proporsi perwakilan yang diperebutkan dan akan diperoleh partai politik peserta pemilihan umum, sehingga perwakilan dapat lebih mempresentasikan aspirasi pemilih. 2) Karena lebih representatif dianggap lebih demokratis Karena semua suara diperhitungkan dan tidak banyak suara yang hilang. Kehilangan suara terjadi, karena dalam perhitungan akhir terdapat sisa suara yang tidak memenuhi proporsi untuk perhitungan satu orang perwakilan, suara yang hilang akan relatif kecil dibanding dengan sistem distrik. Pada sistem distrik, setiap daerah pemilihan akan banyak suara yang hilang, karena suara 115 yang kalah di masing-masing wilayah pemilihan tidak diperhitungkan. f. Kelemahan Sistem Proporsional 1) Sulit terjadinya integrasi partai, karena partai cenderung bertambah Tanpa ada kesadaran nasional warga tentang perlunya pembatasan partai politik, pada warga Negara dengan pemilu sistem proporsional terdapat kecenderungan untuk untuk tumbuh partai politik dalam Negara. Indonesia pada era reformasi yang memadukan sistem proporsional dan distrik, jumlah partai cenderung bertambah, karena berharap dari penjumlahan suarasuara daerah yang akan menguntungkan kelompok elit politik di tingkat pusat maupun elit tingkat daerah. 2) Kader partai sulit berkembang, karena penentuan calon jadi didasarkan nomor urut Dengan sistem proporsional terdapat kecenderungan, bahwa elit partai tetap bertahan dalam kepengurusan partai, sehingga kader-kader muda sulit menembus dominasi kelompok tua yang telah lama bertahan sebagai elit partai. Semua ini memberikan keuntungan pada elit partai yang dalam perebutan kekuasaan, perwakilan suara akan diurutkan sesuai dengan nomor urut, yang didasarkan pada senioritas. 3) Wakil terpilih belum tentu orang dikenal pemilih secara baik Dalam sistem ini, pemilih hanya memilih tanda gambar partai, bukan memilih orang, maka wakil terpilih belum tentu dikenal oleh pemilih yang diwakilinya, sehingga hubungan emosional pemilih dengan yang mewakili, tidak terbina dengan baik, bahkan pemilih tidak tahu pasti siapa yang terpilih, yang akan mewakili daerahnya. Dalam era Orde Baru banyak wakil 116 yang mengatasnamakan daerah pemilihan tertentu yang didominasi atau diisi oleh kelompok elit politik yang tinggal di Jakarta, sehingga pemilih banyak tidak kenal dengan orang yang akan mewakilinya. 4) Karena banyak partai sulit mendapatkan suara mayoritas Dengan banyaknya partai yang ikut dalam pemilihan umum, maka sulit bagi partai peserta pemilihan mendapatkan suara mayoritas. Pemilihan Umum di Indonesia era Reformasi, telah membuktikan tidak satupun partai politik mampu mendapatkan suara mayoritas mutlak sampai dengan Pemilu tahun 2009. 2. Sistem Pemilu di Indonesia Sejak tahun 1955 sampai tahun 1997 Indonesia menggunakan sistem proporsional. Pemilihan Umum 2004 menggunakan gabungan, antara sistem distrik dan proporsional, namun dominasi proporsional lebih mewarnai pelaksanaan pemilihan umum 2004, yaitu wilayah pemilihan dibagi dalam daerah pemilihan, wakil lebih dari satu suara untuk masingmasing wakil jadi ditetapkan berdasar suara terbanyak, dan penetapan untuk menjadi anggota DPR maupun DPRD, bila suara yang diperoleh masing-masing calon tidak mencukupi, maka suara yang diperoleh dari calon dalam partai tertentu, akan dikumpulkan berdasarkan daftar nomor urut. Nuansa proporsional yang masih dominan ini terjadi, meskipun nomor urut calon nomor 1 (satu), hanya mendapatkan suara paling sedikit di antara calon lain dalam daftar calon partai peserta pemilihan umum, dan tidak satupun calon memenuhi jumlah suara menjadi calon jadi, maka bila suara gabungan itu memenuhi jumlah suara untuk menjadi DPR atau DPRD, calon nomor urut 1 (satu), yang dinyatakan terpilih sebagai calon jadi, meskipun dalam daftar perolehan suara, calon tersebut mendapatkan suara paling sedikit. 117 Dalam pemilihan umum tahun 2009, sistem gabungan distrik dan proporsional mengalami perubahan yang lebih dekat kepada penentuan suara sistem distrik, karena bila dalam suatu daftar calon tidak memenuhi suara untuk menjadi anggota DPR atau DPRD, maka calon yang mendapatkan suara terbanyak yang akan mendapatkan pelimpahan suara dari calon lain yang jumlahnya lebih sedikit. Mulai pemilihan umum tahun 2004 dengan UUD 1945 Amandemen, pemilihan umum di Indonesia, di samping memilih anggota DPR, juga dipilih anggota DPD sebagai wakil daerah, yang pencalonannya dilakukan secara individual dengan wilayah pemilihan pada tingkat Provinsi. Setiap provinsi ditetapkan 4 orang wakil sebagai anggota DPD mewakili daerahnya. Hasil pemilihan umum tahun 2004 telah melahirkan wacana dengan menetapkan electoral threshold sebesar 3% mewakili wakil atau perolehan suara di DPR 3% sebagai persyaratan partai politik untuk ikut pemilihan umum tahun 2009. Namun dalam Undang-Undang yang akan digunakan untuk pemilu 2009, menganulir lagi, yakni semua parpol yang mendapatkan kursi di DPR dapat langsung ikut Pemilu tanpa memperhitungkan electoral threshold yang sebelumnya telah disepakati. Kembali sikap tidak konsistennya pihak Pemerintah dan DPR sebagai badan pembuat UU dipertontonkan kepada rakyat. Penetapan electoral threshold sebesar 3% diharapkan dapat memperkecil partai politik peserta pemilih, atas nama euphoria demokrasi jumlah partai politik peserta pemilu tahun tahun 2009 menjadi lebih besar dibanding Pemilu tahun 2004. C. Pembangunan Masyarakat Demokrasi 1. Pembangunan Masyarakat Demokrasi dalam RPJP Pembangunan masyarakat demokrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang kelembagaan (RPJP), demokratis mengamanatkan yang lebih kokoh, untuk memantapkan memperkuat peran 118 masyarakat sipil, memperkuat peran masyarakat desentralisasi dan otonomi daerah, menjamin pengembangan media dan kebebasan media, dalam mengkomunikasikan kepentingan masyarakat dan melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum, serta menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak kepada rakyat kecil. Terwujudnya Indonesia yang demokratis, berlandasan hukum dan berkeadilan ditunjukkan oleh hal-hal berikut: a. Terciptanya supremasi hukum dan penegakan HAM yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 serta tertatanya hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif dan asosiatif. Terciptanya penegakkan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang, demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada HAM, b. Menciptakan landasan konstitusional untuk memperkuat kelembagaan demokrasi, c. Memperkuat peran masyarakat sipil dan partai politik, d. Memantapkan kelembagaan nilai-nilai demokrasi yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip toleransi, nondiskriminatif, dan kemitraan, e. Mewujudkan konsolidasi demokrasi pada berbagai aspek kehidupan politik yang dapat diukur dengan adanya pemerintahan yang berdasarkan pada hukum, birokrasi yang profesional dan netral, masyarakat sipil, partai politik dan masyarakat ekonomi yang mandiri, serta adanya kemandirian sosial. 2. Pembangunan Masyarakat Demokrasi dalam RPJM a. Permasalahan Pelaksanaan dan peningkatan kualitas kelembagaan demokrasi yang sudah terbentuk akan terus dikembangkan, penyelesaian persoalan sosial, pelanggaran HAM, serta pers, media komunikasi dan 119 informasi menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan konsolidasi demokrasi. Berbagai masalah tersebut adalah: 1) Belum optimalnya implementasi peran dan fungsi lembaga politik. 2) Pola hubungan Negara dan masyarakat yang belum sesuai dengan kebutuhan demokratisasi. 3) Masih belum optimalnya hubungan kelembagaan pusat dan daerah. 4) Masih adanya persoalan-persoalan mengganjal pada masa lalu yang belum tuntas, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakantindakan kejahatan politik. 5) Belum optimalnya media massa menjalankan fungsinya secara otonom dan independen. b. Sasaran Sasaran pembangunan untuk mengatasi peramsalahan perwujudan lembaga demokrasi yang semakin kokoh adalah: 1) Terlaksananya peran dan fungsi lembaga penyelenggara Negara dan lembaga kemasyarakatan sesuai konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik, 3) Terlaksananya pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil pada tahun 2009. c. Arah kebijakan Arah kebijakan dari perwujudan Lembaga Demokrasi yang makin kokoh ditempuh dengan kebijakan sebagai berikut: 1) Mewujudkan pelembagaan demokrasi yang lebih kokoh dengan mempertegas tugas, wewenang dan tanggung jawab dari seluruh kelembagaan Negara/pemerintahan yang berdasarkan mekanisme checks and balances, 120 2) Memperkuat peran masyarakat sipil (civil society), 3) Memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah, 4) Mewujudkan pelembagaan dan mendorong berjalannya rekonsiliasi nasional beserta segala kelengkapan kelembagaannya. 5) Menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengkomunikasikan kepentingan masyarakat. d. Program Pembangunan 1) Program Penyempurnaan Penguatan Kelembagaan Demokrasi Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini mencakup: a) Perumusan standar dan parameter politik terkait dengan hubungan checks and balances di antara lembaga-lembaga penyelenggara. b) Peningkatan kemampuan lembaga eksekutif yang profesional dan netral. c) Perumusan kerangka politik yang lebih jelas mengenai kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah. d) Fasilitasi perumusan yang lebih menyeluruh terhadap semua peraturan perundangan yang berkaitan dengan pertahanan keamanan Negara untuk mendorong profesionalisme POLRI/TNI dan menjaga netralitas politik kedua lembaga tersebut. e) Fasilitasi peningkatan kualitas fungsi dan peran lembaga legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). f) Promosi dan sosialisasi pentingnya independensi, kapasitas dan integritas lembaga Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai upaya memperkuat wibawa dan kepastian konstitusional dalam proses penyelenggaraan Negara. 121 g) Pelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi h) Fasilitas pemebrdayaan politik dan masyarakat sipil yang otonom dan independen, serta memiliki kemampuan melakukan pengawasan terhadap proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan kebijakan publik. i) Memfasilitasi pemberdayaan masyarakat agar dapat menerapkan budaya politik demokratis. 2) Program Perbaikan Proses Politik Kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan dalam program perbaikan proses politik mencakup: a) Perumusan standar dan parameter penyelenggaraan debat publik yang berkualitas bagi calon pemimpin nasional, b) Perumusan standar dan parameter uji kelayakan untuk merekrut pejabat politik dan pejabat publik. c) Perwujudan komitmen politik yang tegas terhadap pentingnya memelihara dan meningkatkan komunikasi politik yang sehat, bebas dan efektif, d) Fasilitasi penyelenggaraan pemilu 2009 yang jauh lebih berkualitas, demokratis, jujur dan adil, e) Pengembangan mekanisme konsultasi publik sebagai sarana dalam proses penyusunan kebijakan. 3) Program Pengembangan Komunikasi, Informasi dan Media Massa Kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini mencakup: a) Fasilitasi peninjauan atas aspek-aspek politik terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan pers dan media massa. 122 b) Pengkajian dan penelitian yang relevan dalam rangka pengembangan kualitas dan kuantitas implementasi dan komunikasi. c) Fasilitasi peningkatan profesionalisme di bidang komunikasi dan informasi. 123 LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas kerjakan latihan berikut ini: 1. Jelaskan istilah dan definisi demokrasi 2. Jelaskan sejarah perkembangan demokrasi 3. Jelaskan prinsip-prinsip demokrasi 4. Jelaskan bentuk–bentuk demokrasi 5. Jelaskan perkembangan demokrasi di Indonesia 6. Jelaskan demokrasi dan pemilihan umum 7. Jelaskan pembangunan masyarakat demokrasi Petunjuk Jawaban Latihan: 1. Pelajari kembali materi pada kegiatan belajar 1, 2 dan 3 2. Diskusikan dengan teman-teman Anda 3. Kerjakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 3-5 orang anggota TES FORMATIF SOAL TEMATIK 1. Bagaimana proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden hingga dinyatakan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden? SOAL PILIHAN 1. Pengambilan keputusan oleh MPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945 adalah... Jawaban: a. Suara yang terbanyak (pasal 2 ayat 3) b. Musyawarah mufakat dan suara terbanyak 2. Mahkamah konstitusi memiliki wewenang memutus sengketa hasil pemilihan umum. Seperti apa sifat keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut... Jawaban: a. Keputusan MK bisa ditinjau kembali b. Keputusan MK bersifat final 124 3. Lembaga-lembaga negara yang terlibat dalam proses impechment adalah menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah... Jawaban: a. DPR dan MPR. b. MK,DPR dan MPR 4. Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Rumusan ini merupakan... Jawaban: a. Salah satu pasal UUD 1945 sebelum amandemen b. Salah satu pasal UUD 1945 sesudah amandemen 5. Di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam UUD 1945 juga disebut adanya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perlu adanya DPD adalah .... Jawaban: a. untuk menyalurkan keanekaragaman aspirasi daerah (menampung prinsip perwakilan daerah), b. amanat dari UUD 1945 125 Modul 4 NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Dalam modul ini Anda akan diajak menganalisis konsep negara hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi dalam modul ini Anda diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut: Kegiatan Belajar 1: a. Dapat memahami istilah dan pengertian HAM b. Dapat memahami sejarah perkembangan HAM Kegiatan belajar 2: a. Dapat memahami HAM dan pelaksanaan hukum di Indonesia b. Dapat memahami upaya penegakan terhadap hukum dan HAM Agar semua harapan di atas dapat terwujud maka di dalam modul ini disajikan pembahasan dan latihan dengan butir uraian sebagai berikut: a. Istilah dan Pengertian HAM b. Sejarah Perkembangan HAM c. HAM dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia d. Upaya Penegakan terhadap Hukum dan HAM Untuk membantu Anda dalam mencapai harapan kemampuan di atas ikutilah petunjuk belajar sebagai berikut: a. Bacalah petunjuk bagaimana mempelajari modul ini. b. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci. c. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui pemahaman sendiri dan atau tukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen Anda. d. Temukan prinsip, konsep, dan prosedur. e. Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi mengenai pengalaman simulasi dalam kelompok kecil atau klasikal. 126 Kegiatan Belajar 1 Istilah dan Pengertian HAM serta Sejarah Perkembangan HAM A. Istilah dan Pengertian HAM Hak adalah sesuatu yang tidak boleh diambil alih oleh orang lain, karena seseorang berhak, mempunyai hak atas hal-hal yang mendasar yang melekat dalam dan pada dirinya sebagai manifestasi eksistensinya sebagai insan manusia sesuai dengan kemanusiannya, yaitu terdiri dari susunan kodratnya (jiwa dan raga), sifat kodratnya (makhluk individu dan makhluk sosial), dan kedudukan kodratnya (makhluk pribadi yang mandiri dan hamba Tuhan YME). Hak asasi menurut Miriam Budiardjo (2008) adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan mayarakat, tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk brkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Menurut Jan Materson dari Komisi HAM PBB, sebagaimana diikuti Baharudin Lopa, (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), hak azasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia tidak dapat hidup sebagai manusia. HAM merupakan hak alamiah yang melekat pada diri setiap manusia. Karena itu, tidak seorangpun diperkenankan merampas hak-hak tersebut, HAM juga merupakan instrumen untuk menjaga harkat, derajat dan martabat manusia sesuai dengan kodrat kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia. Hal ini senada dengan mukadimah Declaration of Human Rights, bahwa pengakuan atas martabat yang luhur dan hak-hakyang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia merupakan dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia. 127 B. Sejarah Perkembangan HAM Pada umumnya, dalam kajian literature Barat lahirnya pemikiran HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), Petition of Right (1628), Habeas Corpus (1678), Petition of Right (1628), Declaration of Independence (1776), Declaration des droit de I’hommes et du citoyen (1789). Magna Charta (1215), yaitu suatu dokumen yang ditandatangani Raja Joh Lockland karena desan kaum bangsawan (baron) dan Gereja (Paus dan para klerus) Inggris, bahwa raja tidak boleh berbuat sewenang-wenang, seperti menghukum atau merampas hak seseorang oleh kerajaan. Petition of Right (1628) adalah dokumen yang ditandatangi oleh Rajah Charles I atas desakan para utusan rakyat di parlemen (House of Commons). Bill of Rights (1689), suatu Undang-Undang yang diterima oleh Raja James II, esensinya kekuasaan raja harus dibatasi, yang kemudian dikenal dengan istilah revolusi tidak berdarah di Inggris. Declaration of Independence (1776), merupakan pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat ini di dalamnya memuat hak-hak dari Tuhan yang tidak dapat dialihkan,seperti hak hidup, hak kemerdekaan dan hak memperoleh kebahagiaan. Declaration des droit de I’hommes et du citoyen (1789), dalam pernyataan kemerdekaan Perancis telah disebutkan adanya hak-hak warga yang harus dijamin oleh Negara, yaitu hak kebebasan, hak milik, hak atas keamanan dan perlawanan terhadap penindasan. Setelah Perang Dunia ke II, upaya mewujudkan perdamaian dunia juga diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat Rosevelt, yang menggagas perlunya ditegakkan HAM yang dikenal sebagai "The Four Freedom" meliputi, kebebasan berbicara atau berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kemelaratan. Perjuangan perlindungan terhadap HAM akhirnya disepakati PBB tanggal 10 Desember 1948, dengan ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights. HAM dalam Universal Declaration of Human Rights yang menyangkut hak hukum, hak politik, hak sipil, serta hak asasi yang menyangkut hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak asasi yang mencakup hak hukum, hak politik dan hak sipil meliputi: 128 1. Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi. 2. Hak bebas dari perbudakan dan perhambaan. 3. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, hak berperikemanusiaan dan merendahkan martabat kemanusiaan. 4. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi. 5. Hak untuk pengampunan hukum secara efektif. 6. Hak bebas dari penangkapan, penahanan dan pembuangan yang sewenang-wenang. 7. Hak untuk peradilan independen dan tidak memihak. 8. Hak untuk praduga tidak bersalah sampai terbukti bersalah. 9. Hak bebas dari campur tangan dan sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat menyurat. 10. Hak bebas dari serangan kehormatan dan nama baik, dan perlindungan hukumnya. 11. Hak untuk bergerak. 12. Hak memperoleh suaka. 13. Hak atas suatu kebangsaan. 14. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga. 15. Hak untuk mempunyai hak milik. 16. Hak bebas berfikir, menyatakan pendapat dan berkesadaran dari beragama. 17. Hak untuk berkumpul dan berserikat. 18. Hak untuk mengambil bagian yang sama dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat. Untuk hak asasi yang menyangkut hak ekonomi, hak sosial dan budaya meliputi: 1. Hak atas jaminan sosial, 2. Hak untuk bekerja, 3. Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, 4. Hak untuk bergabung dalam serikat buruh, 129 5. Hak atas istirahat dan waktu senggang, 6. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan, 7. Hak atas pendidikan, 8. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat, Untuk memperkuat kedudukan hukum perlindungan hak asasi manusia di suatu negara, telah ditandatangani sejumlah kovenan yang diprakarsai Majelis Umum PBB. Kovenan-kovenan ini akan mengikat negara anggota PBB yang telah meratifikasinya dan mulai berlaku, bila 35 negara telah meratifikasinya. Beberapa kovenan yang telah diterima baik oleh Majelis Umum PBB adalah Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomis, Sosial dan Kultural; Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik; dan Protokol Manasuka pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik mengenai Keluhan-keluhan yang diajukan individu-individu (Idrus dan Karim, 2006). Kategori HAM juga dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno (Dirjen Dikdasmen, 2004), yang mengelompokkan HAM menjadi empat kelompok, yaitu hak asasi negatif, hak asasi aktif, hak asasi positif dan hak asasi sosial, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Hak Asasi Negatif atau Liberal Hak asasi ini pada dasarnya ingin melindungi kehidupan pribadi manusia terhadap campur tangan Negara dan kekuatan sosial lainnya. Hak ini didasarkan pada kebebasan dan hak individu mengurus diri sendiri, dan oleh karena itu juga disebut hak kebebasan liberal. Dikatakan negatif, karena prinsip yang dianutnya adalah kehidupan pribadi, tidak boleh dicampuri pihak luar. Kehidupan pribadi adalah otonomi setiap orang yang harus dihormati. Berbagai hak negatif atau liberal ini adalah: a) Hak atas hidup, b) Hak keutuhan jasmani, c) Kebebasan bergerak, d) Kebebasan memilih jodoh, 130 e) Perlindungan hak milik, f) Hak untuk mengurus rumah tangga sendiri, g) Hak memilih tempat tinggal dan kebebasan beragama, h) Hak mengikuti suara hati sejauh tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain, i) Kebebasan berfikir, j) Kebebasan berkumpul dan berserikat, k) Untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang. 2) Hak Asasi Aktif atau Demokrasi Hak ini didasari pada keyakinan akan kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat memerintah dirinya sendiri, sehingga pemerintah harus dapat dikontrol oleh rakyat. Hak ini disebut aktif, karena merupakan hak atau sesuatu aktivitas manusia untuk ikut menentukan arah perkembangan masyarakat/negara. Termasuk hak aktif ini adalah: a) Hak untuk memilih wakil dalam pemerintahan/badan pembuat undang-undang, b) Hak untuk mengangkat dan mengontrol pemerintah, c) Hak untuk menyatakan pendapat, d) Hak atas kebebasan pers, e) Hak untuk membentuk perkumpulan politik. 3) Hak Asasi Positif Hak positif adalah hak yang harus dipenuhi kepada warga negaranya. Negara diadakan bukan untuk kepentingan negara sendiri, tetapi harus merupakan lembaga yang diciptakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat atau publik, sehingga menjadi kewajiban negara, dan menjadi hak warga untuk mendapatkan pelayanan umum dari negara. Termasuk dalam hak positif ini adalah: a) Hak atas perlindungan hukum, b) Hak atas kewarganegaraan. 131 4) Hak Asasi Sosial Hak asasi ini merupakan paham tentang kewajiban negara untuk menjamin hasil kerja kaum buruh secara wajar dan merupakan kesadaran kaum buruh melawan kaum borjuis. Hak ini mencerminkan kesadaran bahwa setiap anggota masyarakat berhak atas bagian yang adil dari harta benda material dan kultural bangsanya atas bagian yang wajar dari hasil nilai ekonomis. Hak sosial ini harus dijamin dengan tindakan negara. Termasuk hak sosial adalah; a) Hak atas jaminan sosial, b) Hak atas pekerjaan, c) Hak membentuk serikat sekerja, d) Hak atas pendidikan, e) Hak ikut serta dalam kehidupan kultural masyarakat. Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia, pelaksanaan HAM setelah Declaration of Human Rights ditetapkan, sampai saat ini dapat dibedakan dalam 4 generasi, yaitu: a. Generasi pertama. Pada generasi ini substansi HAM berpusat pada aspek hukum dan politik, hal ini sebagai dampak dari Perang Dunia ke II, sebab banyak Negara baru merdeka dan menuntut jaminan perbaikan dalam hak untuk hidup, hak tidak menjadi budak, hak tidak ditahan dan kesamaan dalam hukum dan praduga tidak bersalah. b. Generasi kedua, generasi kedua dipelopori oleh Negara-negara berkembang yang menuntut pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Hal ini berarti perlunya perluasan horizontal HAM dalam cakupan sosial , ekonomi, dan kebudayaan. c. Generasi ketiga merupakan penekanan dari generasi kedua, karena telah terjadi ketidakseimbangan aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dalam praktik tuntutan ini dari warga negara terhadap negara, sangat tergantung kepada kondisi Negara, karena masih banyak Negara yang mendominasi kegiatan diberbagai bidang kehidupan warga Negaranya. 132 d. Generasi keempat, pada era ini banyak perjuangan untuk mengkritisi peran Negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan, sehingga telah mengabaikan hak-hak rakyat, termasuk mengabaikan kesejahteraan rakyat. Tuntutan yang dipelopori Negara-negara Asia ini menuntut hak azasi rakyatnya, karena urusan hak azasi bukan lagi urusan orangperorang, tetapi menjadi tugas Negara. Dari perkembangan kehidupan bangsa-bangsa khususnya yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, maka dapat ditarik benang merahnya dari perspektif tipologi heuristik kewarganegaraan (heuristic typology of citizenship), yakni terdiri dari empat konteks secara politik untuk institusionalisasi atau munculnya hak-hak kewargangaraan, (Arthur dan Davies, ed, 2008) yaitu; a. Hak-hak kewarganegaraan diperoleh dalam konteks revolusioner gabungan tuntutan dari bawah dengan dukungan kuat dari arena publik, yang memandang dunia pribadi (private) dari individu dengan curiga. Perjuangan-perjuangan secara revolusioner terhadap hak-hak sering berakhir dalam bentuk-bentuk teror publik, dan gagal yang kemudian menjadi totalitarianisme. Misalnya kasus Tradisi revolusioner Perancis; b. Dalam konteks pluralisme liberal, sementara pembentukan kelompok kepentingan secara unik mengarah kepada gerakan-gerakan untuk hakhak berasal dari bawah, dorongan secara revolusioner melalui protes sosial mungkin dimuati oleh tekanan-tekanan secara terus-menerus terhadap hak-hak dari individu yang secara pribadi ditolak. Dalam pandangan liberal klasik terhadap politik menuntut keragaman dan kebebasan dari opini pribadi terhadap perlakuan penyeragaman keyakinan. Contohnya, kasus Liberalisme Amerika. c. Dalam konteks demokrasi pasif yang mengakui fungsi legitimasi dari institusi-intitusi perwakilan, pengadilan dan sistem negara kesejahteraan, yang tidak membentuk tradisi perjuangan-perjuangan untuk hak-hak warganegara. Hak-hak warganegara berasal dari atas, yakni dari institusiinstitusi negara, seperti kasus Inggris. 133 d. Dalam konteks otoritarian dari demokrasi, maka hak-hak warganegara datang dari atas, yaitu dari negara yang mengelola wilayah publik, mengundang para warga negara secara periodik untuk memilih pemimpin, yang kemudian bertanggungjawab kepada para pemilihnya, antara lain kasus Fasis Jerman. 134 Kegiatan Belajar 2 HAM dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia serta Upaya Penegakan terhadap Hukum dan HAM A. HAM dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia Perkembangan pengaturan pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami pasang surut dalam perumusannya, sejalan dengan dasar negara yang diberlakukan serta kehidupan politik di Indonesia yang berubah-ubah, mulai dari UUD 1945 Proklamasi, KRIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 Dekrit, sampai dengan UUD 1945 Amandemen. Dalam era Reformasi terlihat adanya upaya pemerintah Indonesia yang berusaha untuk mewujudkan dan melindungi hak-hak azasi manusia yang lebih transparan, seperti dituntut dalam Declaration of Human Rights sebagai dasar perlindungan HAM di seluruh dunia. 1. Periode 1945 – 1949 Awal kemerdekaan bangsa Indonesia berhasil menyusun UUD yang kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Dalam UUD ini, bangsa Indonesia sangat menyadari penderitaan yang dialami bangsa Indonesia sebagai akibat penjajahan di Indonesia. Meski PBB belum merumuskan HAM, namun bangsa Indonesia telah memberikan penekanan pentingnya kemerdekaan suatu bangsa dari penindasan bangsa lain. Pernyataan ini dituangkan dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, bahwa kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pernyataan perlindungan HAM juga diatur dalam pasal-pasal UUD 1945 misalnya: a. Hak memilih pekerjaan untuk penghidupan yang layak, b. Hak untuk berkumpul, dan berserikat, serta mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis, c. Hak untuk memilih dan beribadah sesuai dengan agama yang dianutnya, 135 d. Jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak terlantar yang akan dipelihara oleh Negara, e. Dalam praktik kenegaraan, karena lembaga perwakilan belum terbentuk ditetapkan adanya lembaga KNIP, yang awalnya sebagai pembantu Presiden, kemudian ditingkatkan perannya sebagai lembaga perwakilan, pergeseran lain juga terjadi pada tanggung jawab pemerintahan, tidak lagi pada Presiden, tetapi pada para menteri Negara. 2. Periode 1949-1959 Dengan berlakunya KRIS 1949 dan UUDS 1950 dan lahir setelah Declaration of Human Rights, maka dihimbau terhadap setiap Negara anggota harus memasukkan HAM dalam konstitusi atau UUD Negara, karena itu Indonesia juga memasukkan ketentuan HAM dalam KRIS 1949 maupun UUDS 1950. Bila UUD 1945 tidak lebih dari lima pasal dalam mengatur HAM, maka KRIS mengatur cukup banyak mulai dari pasal 7 sampai pasal 33, sedang UUDS mulai pasal 7 sampai dengan 34. 3. Periode 1959-1966 Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka pengaturan HAM dalam UUD tetap sebagaimana berlaku pada periode 1945-1949. Meskipun dalam KRIS 1949 maupun UUDS 1950 telah banyak mengatur HAM, namun UUD 1945 tetap dipertahankan kemurniannya dengan pemikiran bahwa UUD 1945 telah memuat pokok-pokok pikiran tentang HAM, pada sisi lainnya, UUD 1945 lahir lebih dulu dibanding dengan Declaration of Human Rights. Dalam era Demokrasi Terpimpin, karena peran pemimpin sangat dominan, maka pelaksanaan HAM tidak berjalan sebagaimana yang seharusnya, bahkan tidak berlebihan apa yang ditulis Tim ICCE UIN Jakarta (2003), telah terjadi pemasungan HAM seperti hak sipil maupun hak politik, misalnya, hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. 136 4. Periode 1966-1998 Dengan berakhirnya Demokrasi Terpimpin ke Demokrasi Pancasila, pengaturan HAM dalam UUD 1945 ditambahkan aturan baru dengan referendum. Referendum yang melibatkan rakyat dalam perubahan UUD 1945, sepertinya memberikan hak rakyat untuk ikut memikirkan tentang keberadaan UUD Negara, namun pada sisi lain Referendum ini justru sebagai upaya agar UUD 1945 tidak diwacanakan untuk diubah, karena dalam Ketetapan MPR yang mengatur tugas dan kedudukan Lembaga Negara, menyatakan bahwa MPR telah menyatakan untuk tidak merubah UUD 1945. Upaya memasukkan HAM dalam perundang-undangan Indonesia, pernah diwacanakan oleh MPRS tentang perlunya pengaturan HAM, dan pernah dibahas dalam Panitia Ad Hoc ke IV, namun hasil tersebut tidak pernah tuntas. Jaminan HAM sebagaimana tercermin dalam UUD 1945 serta perundangan Partai Politik dan Pemilihan Umum dalam praktiknya menyimpang dari HAM itu sendiri. Kontrol pemerintah di bawah Presiden Suharto yang tercermin dalam kehidupan Demokrasi Pancasila, yang aturan formalnya tidak sesuai dengan kondisi empiris dalam realisasi HAM, misalnya adanya azas monoloyalitas terhadap negara yang diarahkan pada monoloyalitas pada pemerintah yang berkuasa, Pegawai negeri dan ABRI harus netral, dan telah dikondisikan untuk mendukung pemerintah yang berkuasa, sehingga kehidupan partai politik di luar Partai Pemerintah, tidak dapat bersaing secara objektif. Tidaklah berlebihan dikatakan, bahwa kehidupan partai politik di luar pemerintah sering mendapatkan sebutan dibonsai. Silahkan partai politik ada dan hidup, tetapi kehidupannya dikontrol dan dikendalikan, jangan sampai tumbuh menjadi besar. Sepertinya semua berdasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Aturan perundang-undang hanya bersifat formal, bukan material, ada dasar hukumnya, tetapi melahirkan ketidakadilan. Inilah salah satu bentuk 137 pembenaran yang diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu sebagai kelompok penguasa. 5. Periode 1998 – sampai sekarang Pergantian pemerintahan Indonesia tahun 1998 memberikan dampak besar pada pelaksanaan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada awal Reformasi MPR berhasil menetapkan Ketetapan No.XVII/MPR 1998 tentang HAM, yang diikuti dengan ratifikasi beberapa konvensi seperti UU No. 5 Tahun 1999 tentang Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya, UU No. 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi, juga Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU No. 19 Tahun 1999, serta UU No. 20 Tahun 1999 tentang Usia Maksimum untuk diperbolehkan bekerja. Dalam amandemen UUD 1945, pengaturan HAM juga mendapatkan penekanan lebih rinci dengan penambahan ayat-ayat pada pasal 28A-28J yang mengatur: a. Hak untuk hidup b. Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan c. Hak mengembangkan diri d. Hak atas hukum, hak bekerja, hak atas pemerintahan dan hak akan status warga kewarganegaraan e. Hak beragama, hak atas kepercayaan, hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan hak mengeluarkan pendapat f. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi g. Hak atas perlindungan pribadi dan keluarga h. Hak atas kejejahteraan lahir dan batin i. Jaminan pemenuhan tidak dapat dikurangi hak asasi manusia dalam keadaan apapun, seperti hak hidup, bebas dan perlakuan diskriminatif, atas identitas budaya, hak atas masyarakat tradisional, kewajiban pemerintah untuk melakukan perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia j. Kewajiban bagi setiap orang untuk menghormati hak asasi orang lain. 138 Untuk melakukan HAM lebih operasional ditetapkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menegaskan kebebasan dasar manusia sebagai berikut: 1) Hak untuk hidup, misalnya hak: a) Mempertanyakan hidup b) Memperoleh kesejahteraan lahir batin c) Memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat 2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan 3) Hak mengembangkan diri, misalnya hak: a) Pemenuhan kebutuhan dasar b) Meningkatkan kualitas hidup c) Memperoleh manfaat dari iptek d) Memperoleh informasi, melakukan pekerjaan sosial 4) Hak memperoleh keadilan, misalnya hak: a) Kepastian hukum dan b) Persamaan di depan hukum. 5) Hak atas kebebasan pribadi, misalnya: a) Memeluk agama b) Keyakinan politik c) Memilih status kewarganegaraan d) Berpendapat dan menyebarluaskan e) Mendirikan partai politik f) Mendirikan LSM dan organisasi lain g) Bebas bergerak dan bertempat tinggal 6) Hak atas rasa aman, misalnya hak: a) Memperoleh suaka politik b) Perlindungan terhadap ancaman ketakutan c) Melakukan hubungan komunikasi d) Perlindungan terhadap penyiksaan e) Perlindungan terhadap penghilangan dengan paksa 139 f) Perlindungan dari penghilangan nyawa 7) Hak atas kesejahteraan, misalnya hak: a) Milik pribadi dan kolektif b) Memperoleh pekerjaan yang layak c) Mendirikan serikat kerja d) Bertempat tinggal yang layak e) Kehidupan yang layak f) Jaminan sosial 8) Hak turut serta dalam pemerintahan, misalnya: a) Memilih dan dipilih dalam pemilu b) Partisipasi langsung dan tidak langsung c) Diangkat dalam jabatan pemerintah d) Mengajukan usulan kepada pemerintah 9) Hak wanita, misalnya hak: a) Kesamaan yang tidak diskriminasi antar pria dan wanita, baik di bidang politik, pekerjaan, dan status kewarganegaraan b) Status dalam perkawinan/keluarga 10) Hak anak, misalnya hak: a) Perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara b) Beribadah menurut agamanya c) Berekspresi d) Perlindungan khusus bagi anak cacat e) Perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, dan pelecehan seksual f) Perlindungan perdagangan anak, penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif lainnya. Di samping hak dasar, UU Nomor 39 Tahun 1999 juga mengatur kewajiban dasar bagi warga Negara Indonesia. Kewajiban dasar adalah sisi lainnya dari hak asasi manusia. Jika hak asasi lebih bertitik tolak pada kepemilikan manusia secara pribadi (individual, private), maka kewajiban asasi adalah pengakuan terhadap baik terhadap kepemilikan orang lain, 140 maupun yang bersangkut dengan dirinya sendiri tetapi ada kontribusi dan pengaruh dari orang, bahkan bersangkut paut dengan hak Tuhan. Kewajiban-kewajiban dasar atau asasi dalam perspektif Indonesia, antara lain: a. Setiap orang di wilayah Indonesia wajib patuh kepada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima oleh Negara RI, b. Setiap warga Negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, c. Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain, moral, etika, agama dan tata tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, d. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain, e. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. 6. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM Meski secara perundangan Indonesia telah mengatur perlindungan HAM, namun dalam praktek kehidupan kenegaraan masih terjadi praktek pelanggaran HAM. Penyebab tersebut antara lain: a. Belum ada kesepahaman tataran konsep HAM secara universal dan partikularisme. Aliran universal melihat penegakan HAM berdasarkan pada sifat universal manusia di dunia. Karena itu penegakkan HAM hendaknya mengacu pada pengakuan HAM sebagaimana telah disepakati bersama dalam Declaration of Human Rights, sehingga tidak ada lagi kekhususan yang diberlakukan oleh suatu negara dengan alasan apapun. Masing-masing negara tidak diperkenankan menafsirkan HAM berdasarkan persepsi sendiri. Keadaan ini berbeda dengan pandangan kedua atau partikularisme yang menganggap bahwa HAM harus dilihat dari beragam perspektif, karena masyarakat dunia juga beragam, sehingga tidak ada salahnya masing- 141 masing memberikan penilaian terhadap HAM sesuai dengan konsep dan pandangan masing-masing negara. Negara-negara berkembang terutama Asia, termasuk Indonesia sampai dengan masa Orde Baru cenderung menerapkan paham partikularisme. b. Adanya dikotomi antara individualisme dan kolektivisme. Hak individu adalah hak yang melekat pada diri seseorang dan orang lain tidak berhak mencampurinya, termasuk negara. Aliran kolektif menganggap bahwa hak kolektif (kewajiban?) harus lebih diutamakan dari pada kepentingan individu. Karenanya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hak individu sering dihadapkan pada hak kolektif, hak kolektif dianggap lebih harus diutamakan atau diprioritaskan dari pada hak individu. Hak individu atau hak kolektif kadang dalam posisi yang tak terpisahkan, misalnya dalam kebebasan beragama dan beribadah, maka di sana melekat hak individu dan hak kolektif. Tidaklah adil bila hak atas nama hak kolektif diutamakan demi kepentingan umum, dan hak individu tidak diakomodir. c. Kurang berfungsinya penegak hukum. Lembaga penegak hukum di Indonesia dinilai lambat terhadap penanganan pelanggaran HAM. Meski hal ini sering dibantah oleh para aparat yang berwenang dalam menegakkan hukum, namun dari rasa keadilan warga sebagaimana dihimpun dalam jajak pendapat Kompas 25 Maret 2002, terdapat 61, 2% menyatakan pemutusan kasus pelanggaran HAM tidak yakin, artinya masih banyak putusan terhadap pelanggaran HAM yang tidak memenuhi keadilan masyarakat. Hal ini diperkuat Syahrir, yang pernah menjabat Ketua Partai Perhimpunan Indonesia, menyoroti masih maraknya korupsi di Indonesia. Kasus terakhir yang tentang permainan jual beli perkara seperti kasus Jaksa Urip, meski akhirnya diketahui, serta pemberhentian Rahmadi sebagai Kajati di Sulawesi yang akan memeras salah satu Bupati. Semua bantahan penegak hukum sepertinya justru menjadi bumerang petugas, karena dengan 142 pembelaan yang asal-asalan menjadikan alasan tersebut seolah-olah sebagai usaha menutupi kurang berfungsinya penegak hukum di Indonesia. d. Pemahaman belum merata di kalangan sipil dan militer. Tindakan militer yang sering bertindak represif menganggap warga seperti musuh dalam perang, sering menimbulkan masalah dengan HAM. Kasus orang hilang atau kasus Munir merupakan salah satu bentuk penanganan terhadap orang-orang yang dianggap pengkhianat bangsa adalah salah dalam penanganan, sehingga menjadi sorotan sebagai kasus pelanggaran HAM. Di kalangan sipil, masih sering juga terjadi tindakan anarkis, seperti pembakaran toko, pemerkosaan massal terhadap etnis tertentu, yang dapat menjurus pada tindakan pelanggaran HAM. Masyarakat sipil yang sering menganggap militer bertindak represif, ternyata masyarakat sipil juga melakukan, bahkan kadang lebih brutal dari tentara. Kasus meninggalnya tokoh masyarakat Sumatera Utara yang berstatus ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara meninggal dalam peristiwa demonstrasi yang dilakukan masyarakat sipil. Dampak informasi, atau politik berbeda dengan dampak yang dilakukan militer yang melaksanakan tugas sampai ada warga negara yang terbunuh. Dalam hal ini nampak ada usaha menyudutkan tentara, terhadap setiap tindakan yang menimbulkan korban manusia. Bila korban terjadi, karena tindakan tentara langsung disorot sebagai pelanggaran HAM, sedang korban, karena tindakan sipil dengan cara anarkis tidak disorot sebagai pelanggaran HAM. Kasus dan fenomena seperti ini perlu diwaspadai, agar bangsa Indonesia terjebak pada skenario orang asing atau bangsa Indonesia sendiri yang tidak ingin Indonesia aman, tenteram, dan damai, hanya karena kepentingan sesaat pribadi atau kelompok tertentu. Untuk itu, baik kalangan militer atau sipil hendaknya tidak gegabah bertindak yang dapat menimbulkan korban manusia, sehingga citra Indonesia, tidak terus 143 dianggap sebagai negara dan bangsa yang tidak menghargai HAM, baik itu anggapan dari individu orang Indonesia sendiri atau masyarakat internasional yang mengatasnamakan gerakan perlindungan HAM. 7. Permasalahan HAM di Indonesia Faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM, setidaknya memberikan kontribusi terhadap berbagai masalah HAM yang terjadi di Indonesia. Belum adanya kesepahaman tataran konsep HAM secara universal dan partikularisme, masih sering terjadi perbedaan pendapat diantara pejabat Pemerintah atau Pemerintah dengan aktivis HAM terhadap kasus-kasus HAM. Adanya dikotomi antara individualism dan kolektivisme, dan kurang berfungsinya penegak hukum, menjadikan hak-hak individu kurang mendapat perhatian yang seimbang dalam penanganannya, sehinggga banyak pihak merasa dirugikan dan kurang mendapat perhatian perlindungan dari pemerintah. Demikian juga masih adanya pemahaman belum merata di kalangan sipil dan militer, meski diperlukan tindakan hati-hati, namun perlu juga diperhatikan bahwa tindakan represif dari aparat keamanan terhadap warga yang tidak melakukan perbuatan pidana tidak seharusnya diperlakukan dengan sewenang-wenang. Sebaliknya bagi masyarakat sipil, dengan atas nama demokrasi perlu juga diberikan kesadaran bahwa demokrasi bukan berarti masyarakat bebas berbuat semaunya sendiri tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku. Demokrasi selain memberikan kebebasan, juga menuntut semua pihak untuk dapat saling menghargai hak-hak orang lain, serta diperlukan kesadaran untuk mengendalikan diri dan mematuhi peraturan perundangundangan dari hukum Negara. Bangsa Indonesia perlu meningkatkan kesadaran bersama terhadap perlindungan HAM, mengingat masih banyak permasalahan HAM yang sadar atau tidak sadar masih terjadi di Indonesia. Menurut Priyanto (2003), berbagai masalah HAM di Indonesia antara lain, adalah: 144 a. Banyaknya pelanggaran HAM yang tidak dapat dihukum, b. Tidak berfungsinya institusi negara yang berwenang dan wajib menegakan HAM, c. Penegakan dan kepastian hukum belum dinikmati oleh masyarakat Indonesia, d. Penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas, dan masih diskriminatif, e. Penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan Agung tidak secara optimal dipublikasikan secara luas kepada masyarakat, f. Besarnya harapan masyarakat terhadap kinerja KPK dan pengadilan Tipikor untuk menegakan hukum dan kepastian hukum, g. Tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi seringkali tidak tuntas. 8. Indikator Pelaksanaan dan Pelanggaran HAM Pelaksanaan praktik kenegaraan dalam melindungi HAM menurut Lukman Sutrisno (Dirjen Dikdasmen, 2004) menunjukkan beberapa indikator antara lain: a. Dalam bidang politik, berupa kemauan pemerintah dan masyarakat untuk mengakui pluralisme pendapat dan kepentingan dalam masyarakat, b. Dalam bidang sosial berupa, perlakuan sama dalam hukum bagi setiap orang, toleransi dalam masyarakat terhadap perbedaan atau latar belakang agama, dan ras warga negara, c. Dalam bidang ekonomi, tidak adanya monopoli dalam sistem ekonomi yang berlaku. Meskipun perlindungan HAM telah diupayakan dengan penetapan berbagai peraturan, dalam kehidupan sehari-hari masih sering terjadi pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia. Beberapa indikator masih terjadinya pelanggaran HAM menurut Mulyana W. Kusumah (Dirjen Dikdasmen, 2004), antara lain: 145 a. Pembunuhan besar-besaran, b. Rasialisme resmi, c. Teroris berskala besar, d. Pemerintahan otoriter, e. Penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, f. Perusakan lingkungan, g. Kejahatan-kejahatan perang. 9. Sikap Positif Upaya Penegakan HAM Seiring dengan perkembangan dunia, maka tuntutan untuk menegakkan HAM lebih sering dikumandangkan, bahkan instrumen HAM sering dijadikan indikator untuk kerjasama antar negara. Isu-isu internasional yang sering dikaitkan dengan kebijakan negara berkembang serta pelaksanaan HAM yang bersifat partikularisme memberikan aspirasi dan dorongan bangsa Indonesia kembali menegaskan diri akan komitmen untuk melaksanakan perlindungan HAM lebih kongkrit. Sikap positif upaya Indonesia menegakan HAM di dalam negeri antara lain: a. Penetapan Komnas HAM Pada masa Presiden Suharto melalui Kepres No. 50 Tahun 1993, menetapkan pembentukan Komnas HAM. Keberadaan Komnas HAM ditegaskan kembali pada Pemerintahan Presiden B.J. Habibi, dalam UU No. 39 Tahun 1999. Dengan pengaturan Komnas HAM secara lebih tegas dan rinci, Komnas HAM lebih mendapat penegasan kembali, dengan penegasan tujuan, fungsi, dan kewenangannya. 1) Tujuan Komnas HAM Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah: a) Membantu pengembagan yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia b) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. 146 2) Fungsi Komnas HAM Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM dipertegas dalam fungsinya sebagai berikut: a) Fungsi pengkajian dan penelitian Dalam melaksanakan fungsi pengkajian dan penelitian Komnas HAM berwenang: Melakukan pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan-kemungkinan aksesi dan ratifikasi, Melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan mengenai untuk pembentukan memberikan perubahan dan rekomendasi pencabutan peraturan perundang-undangan dan berkaitan dengan hak asasi manusia. b) Fungsi penyuluhan: Dalam melaksanakan fungsi penyuluhan, Komnas HAM berwenang: Menyebarluaskan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia, Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta kalangan lainnya, Kerja sama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain baik tingkat nasional, regional maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia. c) Fungsi pemantauan: Untuk melaksanakan fungsi pemantauan, Komnas HAM berwenang: Pengamatan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut, 147 Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia, Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai atau didengar keterangannya, Pemanggilan kesaksiannya saksi untuk dan kepada dimintai saksi dan didengar pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan, Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperluan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan, Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan, Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak. d) Fungsi mediasi Untuk melaksanakan fungsi mediasi, Komnas HAM berwenang: Melakukan perdamaian kedua belah pihak Melakukan penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, 148 Melakukan pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, Melakukan penyampaian rekomendasi atas kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti penyelesaiannya, Melakukan penyampain rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR RI untuk ditindak lanjuti. 10. Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komisi ini dibentuk berdasarkan Kepres No. 181 Tahun 1998. Pembentukan komisi ini sebagai upaya mencegah terjadinya dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini bersifat independen dan bertujuan: a. Penyebarluasan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan, b. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan, c. Meningkatkan upaya pencegaha dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan. Dalam rangka mewujudkan tujuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan memiliki kegiatan sebagai berikut: 1) Penyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, 2) Pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan, 3) Pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah, 4) Penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat, 149 5) Pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan. 11. Pengadilan HAM Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, yang berwenang memutus perkara pelanggaran HAM berat seperti kejahatan genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genoside merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara: a. Membunuh anggota kelompok, b. Mengakibatkan penderitaan fisik maupun mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan fisik baik seluruh atau sebagian, d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Kejahatan kemanusiaan merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan berupa: a. Pembunuhan, b. Pemusnahan, c. Perbudakan, d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, e. Perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional, f. Penyiksaan, 150 g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara, h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, i. Menghilangkan seseorang secara paksa, j. Kejahatan apartheid. 12. Peran dan partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat, seperti Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang programnya terfokus pada Demokrasi dan pengembangan HAM dapat memberikan laporan terjadinya pelanggaran HAM. Partsipasi masyarakat dapat berbentuk sebagai berikut: a. Setiap orang, kelompok, atau organisasi politik, sosial atau LSM berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia, b. Masyarakat juga berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia, c. Masyarakat berhak mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lainnya, d. Masyarakat dapat bekerja sama dengan Komnas HAM melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia. 151 B. Upaya Penegakan terhadap Hukum dan HAM Upaya penegakan HAM dalam RPJP menjadi satu kebijakan dalam penegakan demokrasi yang berdasar hukum, sebagaimna telah disebut di bagian demokrasi, sedang pengakan hukum dan HAM dalam RPJM secara lebih rinci diatur dan diarahkan sebagai berikut: 1. Permasalahan Berbagai permasalahan yang diangkat sebagai issue dalam RPJM adalah: a. Masih banyaknya pelanggaran HAM, b. Banyaknya pelanggaran HAM yang tidak dapat bertanggung jawab dan tidak dapat dihukum (imunitas), c. Tidak berfungsinya institusi-institusi negara yang berwenang dan wajib menegakan HAM, d. Penegakan hukum dan kepastian hukum belum dinikmati oleh masyarakat Indonesia, e. Penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas dan diskriminatif, f. Penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan Agung selama kurun waktu 2001-2004 tidak secara optimal terinformasikan secara luas kepada masyarakat, g. Besarnya harapan masyarakat dan tuntutan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menegakan hukum dan kepastian hukum, h. Tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi seringkali tidak tuntas. 2. Sasaran Untuk mendukung upaya penghormatan dan pemenuhan serta penegakan terhadap hukum dan hak asasi manusia, sasaran ke depan adalah dilaksanakannya berbagai langkah-langkah Rencana Aksi yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan dan penegakan terhadap hukum dan hak asasi manusia antara lain Rencana Aksi HAM 2004-2009. 152 3. Arah Kebijakan Upaya penghormatan dan pemenuhan serta penegakan terhadap hukum dan hak asasi manusia, diarahkan pada kebijakan untuk meningkatkan pemahaman dan menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsisten terhadap HAM, perlu yang adil dan tidak diskriminatif dengan langkah-langkah: a. Meningkatkan upaya pemajuan, perlindungan, penegakan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, b. Menegakan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak kepada rakyat kecil, c. Menggunakan nilai-nilai budaya daerah sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan terciptanya kesadaran hukum masyarakat, d. Meningkatkan kerjas sama yang harmonis antara kelompok atau golongan dalam masyarakat, agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing, e. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi. 4. Program penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia Program penegakan hukum dan hak asasi manusia bertujuan untuk melakukan tindaka preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah hukum, norma sosial dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk menegakan hukum dan hak asasi manusia harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif, serta konsisten. Kegiatankegiatan pokok meliputi: a. Penguatan upaya pemberantasan korupsi, melalui Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi. Penguatan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan Program Nasional Bagi Anak Indonesia, 153 b. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai gerakan nasional, c. Peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya, d. Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas korupsi, e. Menegakan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakan hak asasi manusia, f. Peningkatan upaya-upaya penghormatan persamaan setiap warga negara di depan hukum, melalui keteladanan Kepala Negara dan pimpinan lainnya untuk mematuhi hukum dan hak asasi manusia secara konsisten dan konsekuen, g. Penyelenggaraan audit regular atas kekayaan seluruh dasar dalam rangka mewujudkan proses hukum yang sederhana, cepat, tepat dan dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, h. Peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam menyelenggarakan ketertiban sosial, agar dinamika masyarakat dapat berjalan dengan sewajarnya, i. Pembenahan sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses public, pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel, j. Pengembangan sistem manajemen kelembagaan hukum yang transparan, k. Penyelamatan bahan bukti akuntabilitas kinerja yang berupa dokumen/arsip lembaga Negara dan badan pemerintahan untuk mendukung penegakan hukum dan hak asasi manusia, l. Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektivitas penegakan hukum dan hak asasi manusia, m. Pembaruan materi hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi, 154 n. Peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas orang yang melakukan perjalanan baik keluar maupun masuk wilayah Indonesia, o. Peningkatan fungsi intelijen agar aktivis terorisme dapat dicegah pada tahap yang sangat dini, serta meningkatkan berbagai operasi keamanan dan ketertiban, p. Peningkatan penanganan dan tindakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya melalui identifikasi dan memutus jaringan peredarannya, peningkatan penyidikan, penyelidikan, penuntutan, serta menghukum para pengedar secara maksimal. 155 LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas kerjakan latihan berikut ini: 1. Jelaskan tentang istilah dan pengertian HAM 2. Kemukakan sejarah perkembangan HAM 3. Jelaskan tentang HAM dan pelaksanaan hukum di Indonesia 4. Jelaskan upaya penegakan terhadap hukum dan HAM Petunjuk Jawaban Latihan: 1. Pelajari kembali materi pada kegiatan belajar 1 dan 2 2. Diskusikan dengan teman-teman Anda 3. Kerjakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 3-5 orang anggota TES FORMATIF SOAL TEMATIK 1. UUD 1945 tidak hanya mengatur tentang HAM tetapijuga memuat kewajiban asasi manusia.Sebutkan kewajiban asasi menurut pasal 28J? SOAL PILIHAN 1. Yang berwenang memberikan pengurangan masa hukuman atau pembebasan adalah . Jawaban: a. Mahkamah Agung b. Presiden 2. Makna alenia II Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah.. Jawaban: a. Pernyataan kemerdekaan Indonesia b. Pernyataan tentang cita-cita luhur bangsa Indonesia 3. Konflik hukum antara Undang-Undang dengan peraturan yang ada dibawahnya penyelesaiannya ditangani oleh lembaga... Jawaban: a. Mahkamah Agung b. Mahkamah Konstitusi 4. Dokumen HAM pertama yang diakui oleh masyarakat internasional ialah 156 Jawaban: a. Piagam magna charta b. Dokumen bill of rights 5. Secara implisit, HAM dalam Pembukaan UUD 1945 tercantum pada alinea Jawaban: a. Pertama b. Kedua 157