Biodata Penulis Dr. H. Sarbaini, M.Pd adalah Lektor Kepala pada

advertisement
Biodata Penulis
Dr. H. Sarbaini, M.Pd adalah Lektor Kepala pada Program Studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat
(Unlam) di Banjarmasin. Lahir di Banjarmasin, pada tanggal 27 Desember 1959. Penilis
menyelesaikan pendidikan S1 (Drs) di Jurusan PPMP-KN FKIP Unlam Tahun 1984, gelar M.Pd
diperoleh di IKIP Bandung tahun 1993, dan gelar Dr diperoleh tahun 2011 di UPI Bandung,
keduanya berbasis kajian Pendidikan nilai. Sejak tahun 1986 menjadi pengajar di Program Studi
PPKn, pernah menjadi pengajar di mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan di berbagai PTS Banjarmasin. Aktif juga sebagai pengajar di Pascasarjana
Pendidikan IPS Unlam, dan Pascasarjana STIA Banjarmasin. Pelaku sejarah dan pelibat Pusat
Studi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unlam bersama alm Prof. Dr.
Noerib H. Radam, Ketua Program Studi PPKn FKIP Unlam (2000-2004). Ketua UPT MKU
Unlam (2006-sekarang), Tim Pokja PUG Bidang Pendidikan Dinas Pendidikan Kalsel (2007sekarang), Konsultan LPMP (2002-2004), Tim Pokja Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan Non Formal (2007-sekarang), Tutor UT UBJJ Banjarmasin (2007-sekarang),
anggota Forum Penelitian Balitbangda Kalsel (2008-sekarang), Tim Jaringan Penelitian
Balitbangda Kalsel (2002-sekarang), dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalsel (2005sekarang), Assesor Sertifikasi Guru, Penyunting Jurnal Wiramartas, Jurnal Sosial dan Pendidikan
IPS (2003-sekarang), Ketua Micro Teaching FKIP Unlam (2011-2015), nara sumber berbagai
kegiatan seminar, pendidikan dan pelatihan, menulis beberapa artikel di Vidya Karya, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Wiramartas, dan Jurnal Triwulan LITBANG. Penulis, ketua tim
penyusun, penerjemah dan editor buku: Masalah Hukum dan Politik (editor, 2000), Model
Pembelajaran Kognitif Moral, dari Teori ke Implementasi (penulis, 2001), Pembinaan Nilai,
Moral dan Karakter Kepatuhan Peserta Didik terhadap Norma Ketertiban di sekolah: Landasan
Konseptual, Teori, Juridis dan Empiris (penulis,2012), dan Model Pembelajaran Berbasis
Kognitif Moral, dari Teori ke Aplikasi (penulis, edisi revisi, 2012), Bagaimana Mengajar tentang
Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik (penerjemah, Juni 2012), Pedoman Pendidikan Karakter
“WASAKA” (Waja Sampai Kaputing) UNLAM (Ketua Penyusun, November 2012), Panduan
Kurikulum MKU (MPK-MBB) Unlam (Ketua Penyusun, November 2012), Standar Kompetensi
Dosen MKU (MPK-MBB) Unlam (Ketua Penyusun, November 2012).
Muhammad Elmy, M.Pd adalah Asisten Ahli pada Program Studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat
(Unlam) di Banjarmasin. Lahir di Desa Kubur Jawa, Kalimantan Selatan pada tanggal 25 April
1984. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 (S.Pd) di Prodi PPkn FKIP Unlam Tahun 2006,
gelar M.Pd diperoleh di SPS UPI Bandung tahun 2013, keduanya berbasis kajian Pendidikan
Kewarganegaraan. Sejak tahun 2008 menjadi pengajar di Program Studi PPKn, pernah menjadi
pengajar di mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di berbagai PTS
Banjarmasin. Penulis, hingga saat ini masih memperdalam pengetahuan dan pengalaman dalam
penelitian, pengabdian, pemngembangan media dan modul pembelajaran.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan YME atas Karunia, Ridha, Nikmat dan
Ijinnya yang telah memperkenankan kami tim penulis, untuk menyelesaikan penulisan buku ini.
Materi tulisan tentang Negara Hukum, Konstitusi, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia,
pada dasarnya ingin mengajak anda untuk mengkaji aspek-aspek yang terkait dengan konsep dan
wawasan Negara Hukum, Kontitusi, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia serta diharapkan
dapat memenuhi tantangan dan keadaan yang dinamis di masa mendatang.
Mata kuliah ini sangat penting untuk Anda pelajari karena mempunyai muatan pandangan dan
wawasan ke depan yang luas, mempunyai bahasan analisis tentang berbagai kesulitan yang
mungkin terjadi di lapangan, serta mempunyai tambahan materi Negara hukum dan demokrasi
untuk memperkuat bekal pengetahuan kenegaraan yang Anda miliki.
Mudah-mudahan modul ini berguna bagi pembinaan generasi muda kita, para mahasiswa calon
pemimpin bangsa menjadi pelopor dan teladan dari warga Negara yang baik, setelah
mempelajari modul ini. Segala kekurangan tentu ada, namun saran kami terima dengan lapang
dada dan tangan terbuka.
Banjarmasin, Oktober 2013
Sarbaini dan M.Elmy
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
MODUL 1
:
NEGARA HUKUM
Kegiatan Belajar 1 :
Kebutuhan terhadap negara hukum dan konsep negara hukum ....................................
2
Kegiatan belajar 2 :
Indonesia sebagai negara hukum dan proses penegakan hukum di indonesia ...............
9
Latihan ...........................................................................................................................
21
Tes formatif ....................................................................................................................
21
MODUL 2
: KONSTITUSI
Kegiatan Belajar 1 :
Istilah dan Pengertian Konstitusi (Undang-Undang Dasar) serta Keberadaan dan Tujuan
Konstitusi .......................................................................................................................
24
Kegiatan Belajar 2 :
Konstitusi dan Undang-Undang Dasar di Indonesia, Serta Amandemen Undang-Undang Dasar
1945 ................................................................................................................................
33
Latihan ...........................................................................................................................
72
Tes formatif ....................................................................................................................
72
MODUL 3
: DEMOKRASI DI INDONESIA
Kegiatan Belajar 1 :
Istilah dan Definisi Demokrasi serta Sejarah Perkembangan Demokrasi .....................
76
Kegiatan Belajar 2 :
Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Bentuk–Bentuk Demokrasi ..........................................
83
Kegiatan Belajar 3 :
Perkembangan Demokrasi di Indonesia, Pemilihan Umum dan Pembangunan Masyarakat
Demokrasi ......................................................................................................................
96
Latihan ...........................................................................................................................
124
Tes formatif ....................................................................................................................
124
Modul 4
: HAK ASASI MANUSIA
Kegiatan Belajar 1 :
Istilah dan Pengertian HAM serta Sejarah Perkembangan HAM ..................................
127
Kegiatan Belajar 2 :
HAM dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia serta Upaya Penegakan terhadap Hukum
dan HAM .......................................................................................................................
135
Latihan ...........................................................................................................................
156
Tes formatif ....................................................................................................................
156
Modul 1
NEGARA HUKUM
Dalam modul ini Anda akan diajak menganalisis konsep negara hukum secara umum
dan Negara hukum dalam konteks Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi
dalam modul ini Anda diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
Kegiatan Belajar 1:
a. Dapat memahami kebutuhan terhadap negara hukum
b. Dapat memahami konsep negara hukum
Kegiatan belajar 2:
a. Dapat memaham Indonesia sebagai negara hukum
b. Dapat memaham proses penegakan hukum di Indonesia
Agar semua harapan di atas dapat terwujud maka di dalam modul ini disajikan
pembahasan dan latihan dengan butir uraian sebagai berikut:
a. Kebutuhan Terhadap Negara Hukum
b. Konsep Negara Hukum
c. Indonesia Negara Hukum
d. Penegakan Hukum di Indonesia
Untuk membantu Anda dalam mencapai harapan kemampuan di atas ikutilah
petunjuk belajar sebagai berikut:
a. Bacalah petunjuk bagaimana mempelajari modul ini.
b. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci.
c. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui pemahaman
sendiri dan atau tukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen Anda.
d. Temukan prinsip, konsep, dan prosedur.
e. Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi mengenai pengalaman simulasi
dalam kelompok kecil atau klasikal.
1
Kegiatan Belajar 1
Kebutuhan Terhadap Negara Hukum dan Konsep Negara Hukum
A. Kebutuhan Terhadap Negara Hukum
Negara menurut Mac Iver (Soehino, 1998; Agustino, 2007) negara
adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat
pada suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh
suatu pemerintah yang untuk maksud itu diberi kekuasaan memaksa. Apa
yang disampaikan oleh Mac Iver memiliki kesamaan esensial dengan Roger
Soltau, yakni negara merupakan kesatuan masyarakat, bertujuan mengatur
untuk mencapai tujuan, serta adanya kewenangan untuk memaksa didasarkan
pada kekuasaan atau hukum yang berlaku. Pengertian terhadap negara yang
dikemukakan oleh Mac Iver dan Roger Soltau menunjukkan adanya substansi
yang sama, bahwa salah satu unsur dari negara, yaitu pemerintah dalam
menjalankan kekuasaannya adalah berdasarkan pada sistem hukum (Mac Iver)
dan hukum yang berlaku (Roger Soltau). Negara yang pemerintahnya
menjalankan kekuasaan berdasarkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum atau menurut hukum yang berlaku, berarti negara dapat dikategorikan
sebagai negara hukum.
Ada tiga esensial bagi keberadaan negara hukum, pertama, hubungan
antara yang memerintah dan yang diperintah, tidak berdasarkan kekuasaan
(rule of power, macht, goverment not by man, but by law), melainkan
berdasarkan suatu norma objektif yang mengikat kedua belah pihak secara
timbal balik, seimbang dan proporsional. Kedua, norma objektif itu
merupakan hukum yang memenuhi syarat formal dan material (nomocratie,
cratie 'kekuasaan', nomos 'hukum). Ketiga, norma objektif dilaksanakan
secara pasti, baik, benar dan adil.
Dalam kehidupan modern sekarang dapat dipastikan bahwa semua
bangsa yang telah bernegara memiliki aturan hukum yang mengikat seluruh
2
warga negaranya. Lebih khusus lagi yang mengatasnamakan negaranya
sebagai Negara Demokrasi, karena salah satu unsur negara demokrasi adalah
adanya hukum negara. Oleh karena itu, mutlak diperlukan adanya hukum
dalam
Negara
Demokrasi.
Hukum
diperlukan
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebab hukum berfungsi memberi
dasar, menentukan tujuan yang yang hendak dicapai, arah yang dituju dan
cara bertindak bagi negara dan aparatnya termasuk warganegara dan
masyarakat. Negara berkewajiban mewujudkan tujuan bersama dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku dan tidak boleh berbuat sesuatu tanpa didasari oleh
peraturan yang ada atau bertindak diktator, yang dapat berbuat sewenangwenang dengan pembenaran untuk kepentingan negara. Bagi warga
masyarakat hukum, aturan hukum memberikan tuntunan bertindak, yaitu
sebagai sarana untuk mengontrol dan membatasi keinginan yang bebas baik
penguasa untuk tidak bertindak diktator atau kepada warga agar tidak
bertindak semaunya atas nama masyarakat yang dapat mengarah pada
tindakan anarkis.
Meskipun hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan
kepastian hukum, dalam kenyataan di masyarakat selalu terjadi perbedaan
kepentingan dan rasa keadilan subjektif sehingga terjadi pelanggaran atau
perlawanan terhadap hukum yang berlaku. Karenanya, hukum memerlukan
kekuatan pendorong, dan pengawal terhadap hukum yang berlaku, yakni
kekuasaan memaksa. Dengan adanya kekuasaan untuk memaksa akan
memberikan kekuatan untuk menjalankan fungsi hukum, tanpa adanya
kekuatan dan kekuasaan memaksa hukum sulit untuk ditegakkan. Meskipun
hukum membutuhkan kekuasaan, kekuasaan tidak boleh mendominasikan
hukum untuk kepentingan golongan atau kelompoknya sebagai pemegang
kekuasaan negara. Kekuasaan yang merupakan kekuatan memaksa, juga
merupakan sumber kekuatan penggerak dinamika masyarakat. Oleh karena
3
itu, tidak mengherankan bila sejak manusia mewujudkan kehidupan bernegara
sering terjadi perebutan kekuasaan, baik sebagai individu maupun kelompok
atau sosial, yang dilakukan berdasar hukum yang berlaku seperti melalui
pemilihan umum, maupun dengan cara melawan hukum yang berlaku melalui
revolusi.
Menurut Satjipto Rahardjo (1996), pada tataran individu kekuatan
merupakan dorongan untuk menguasai harta benda dan mendapatkan
kekuasaan, keberhasilan tersebut sepenuhnya tergantung pada kemampuan
individu. Pada peringkat sosial, kekuatan berupa perjuangan kelompokkelompok, kelas-kelas dalam masyarakat untuk mendapatkan kekuasaan,
sehingga menimbulkan pelapisan-pelapisan struktur masyarakat. Apabila
dorongan kekuasaan mulai timbul, maka masyarakat sudah mulai bergerak
kearah keinginan untuk diatur oleh hukum. Pelembagaan hukum dalam
masyarakat mempunyai suatu aspek penting sebagai sarana untuk mengontrol
dan membatasi keinginan orang terhadap kekuasaan.
Hukum yang memberikan arahan kontrol kekuasaan dan kemungkinan
tindak anarkis di satu pihak, pada sisi lain hukum juga menyalurkan dan
memberikan kekuasaan kepada orang-orang baik secara indvidu maupun
kelompok-kelompok manusia. Pada masyarakat yang struktur organisasinya
semata-mata didasarkan pada kekuasaan, orang tidak memerlukan hukum
sebagai penyalur kekuasaan, tetapi bagi masyarakat yang diatur oleh hukum,
kekuasaan pada masyarakat tersebut hanya dapat dibeikan melalui hukum.
Dari ketentuan hukum sebenarnya kekuasaan negara itu dibagi-bagi.
Pembagian kekuasaan Negara yang sangat populer adalah kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yang
diatur oleh hukum adalah menjadikan sesuatu itu terkendali, baik
menyangkut, cara memperoleh kekuasaan, ruang lingkup, maupun isi dari
kekuasaan itu sendiri. Dengan demikian negara hukum dibutuhkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar kekuasaan yang
4
dijalankan penguasa (pemerintah) dapat disalurkan, dibatasi, dikontrol, dan
dikendalikan, baik isi, ruang lingkup, dan prosedur serta implementasinya
berdasarkan sistem hukum yang berlaku secara efektif.
B. Konsep Negara Hukum
Apabila kita mempelajari kepustakaan hukum, istilah Negara hukum
sudah sangat populer. Istilah Negara hukum berasal dari dua konsep yaitu
rechtsstaat dan rule of law. Konsep rechtsstaat dan rule of law, yang
keduanya diartikan sebagai Negara hukum pada dasarnya bermuara pada
sasaran sama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Meskipun rechtsstaat dan rule of law terdapat kesamaan untuk menegakkan
pengakuan dan perlindungan HAM, namun di antara keduanya, terdapat
perbedaan dalam sistem hukumnya. Hal demikian dapat dilihat dari konsep
kedua sistem hukum tersebut, yaitu:
1. Konsep rechtsstaat:
Konsep rechtsstaat banyak dianut di Negara Eropa Kontinental (Eropa
daratan) yang bertumpu pada civil law, yang menitikberatkan pada
administrasi. Menurut F.J. Stahl (Priyanto, 2003) dan Philipus M. Hadjon
(Kaelan dan Zubaidi, 2010) menyebutkan ciri-ciri rechtsstaat adalah: 1)
adanya perlindungan hak asasi manusia; 2) adanya pemisahan kekuasaan;
3) adanya pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4)
adanya peradilan administrasi dalam perselisihan; dan 5) mempunyai ciri
lebih revolusioner, sebagai hasil perjuangan menentang absolutisme raja,
khususnya gerakan revolusioner Perancis, hingga menjadi Republik
Perancis.
2. Konsep rule of law
Konsep rule of law dikembangkan oleh Negara Anglo Saxon yang
menekankan pada common law, yang bertumpu pada judicial. Friedman
(1959, Sarbaini, 2009) membedakan rule of law menjadi dua arti, yaitu
5
secara formal dan hakiki/material. Rule of law secara formal diartikan
sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi, seperti negara. Sementara arti
rule of law secara hakiki/material dikaitkan dengan penegakan hukum yang
berukur baik atau buruk (just and unjust law), berkait dengan keadilan dan
menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat dan bangsa.
Menurut A, V. Dicey (Koesnardi dan Saragih, 1998; Priyanto, 2003)
dan Philipus M. Hadjon (Kaelan dan Zubaidi, 2010) menyebutkan ciri-ciri
sebagai berikut: 1) adanya jaminan hak-hak asasi manusia dalam undangundang/UUD; 2) adanya jaminan kedudukan yang sama dalam hukum; 3)
adanya supremasi hukum, dan 4) lebih memiliki ciri evolusioner, yang dirintis
oleh kaum bangsawan Inggris, yang sedikit demi sedikit mengurangi
kekuasaan raja, hingga menjadi kerajaan konstitusional.
Kedua konsep Negara hukum tersebut merupakan produk abad ke 19
yang lahir dari keberhasilan/kemenangan pejuangan hak individu manusia
dalam melawan monarki absolut yang dimulai sejak zaman Magna Charta di
Inggris dan diikuti perjuangan di berbagai negara di Eropa yang lebih bersifat
yuridis dan menyangkut hukum dalam batas sempit, yakni gerakan
individualisme menuntut negara dan pemerintah tidak diperkenankan turut
campur tangan terhadap urusan warga negara, kecuali yang menyangkut
kepentingan umum. Konsep rechtsstaat maupun rule of law adalah lahir dari
perjuangan gerakan individualisme, yang menjadikan negara sebagai penjaga
malam
(nachtwachtersstaat)
dalam
aktivitas
warga
memperjuangkan
kebebasan individu dalam menentukan jalan hidupnya. Pola pikir yang
demikian menjadikan negara hanya sebagai penjaga malam, merupakan
konsep Negara hukum yang sempit, karena ruang lingkup tugas negara
menjadi sangat sempit, terbatas hanya pada tugas melaksanakan keputusankeputusan parlemen yang dituangkan dalam undang-undang. Negara memiliki
tugas pasif, sebatas bertindak, jika hak-hak asasi manusia dilanggar atau
ketertiban dan keamanan umum terancam. Konsep negara hukum demikian
6
dikenal sebagai Negara Hukum Klasik atau Negara Hukum Formal (Sri
Hartini, 2002).
Paradigma Negara Hukum Klasik mulai bergeser setelah Perang Dunia
ke II, seiring dengan berkembangnya pemikiran negara, yang mengarah pada
tuntutan kesejahteraan rakyat (welfare state), karena tugas negara tidak
sekedar penjaga malam, tetapi negara dan pemerintah harus aktif memberikan
pelayanan kepada masyarakat (social service state). Dengan adanya
perkembangan pemikiran bahwa Negara harus aktif memberikan pelayanan
kepada masyarakat (social service state) tersebut konsep Negara Hukum
Klasik ditinjau kembali, dan mulai ditinggalkan.
Menurut hasil konggres International Commission of Jurist sebagai
organisasi ahli hukum internasional di Bangkok tahun 1965 (Mahfud, MD,
1999), telah merumuskan konsep Negara hukum yang dinamis atau konsep
hukum material, yang merupakan ciri-ciri dari negara berbasis Rule of Law
yakni:
a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari
menjamin hak-hak asasi individu, konstitusi harus pula menentukan cara
procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
b. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
c. Pemilihan umum yang bebas;
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
e. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Dalam praktik kehidupan negara modern, konsep Negara Hukum Klasik
telah banyak ditinggalkan, bergeser ke konsep Negara Hukum yang dinamis,
yaitu Negara Hukum Material, dan tidak sekedar Negara Hukum Formal.
Dalam konsep Negara Hukum Material, negara tidak pasif, melainkan negara
harus aktif menjamin perlindungan hak-hak individu di satu pihak, dan negara
7
harus aktif mewujudkan hak-hak warga negara yang harus dijamin oleh
negara.
Negara Hukum Klasik adalah negara hukum dalam arti formal yang
didasarkan pada paham legalis, berpandangan bahwa hukum itu sama dengan
undang-undang, sehingga tindakan penegakan hukum, berarti menegakkan
undang-undang, atau apa yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif.
Sementara Negara Kesejahteraan adalah negara hukum dalam arti material,
berpandangan bahwa hukum bukan hanya sekedar undang-undang, atau
secara formal yang ditetapkan oleh lembaga legislatif saja, tetapi yang
diutamakan adalah nilai keadilannya yang dirasakan oleh warga negaranya.
Dalam konsep Negara Kesejahteraan (welfare state), tidak satupun
negara membiarkan seorang atau sekelompok orang sebagai warganegaranya
menjadi miskin, terlantar, bodoh atau tidak berpendidikan, atau sakit-sakitan.
Keberadaan atau kondisi warga atau sekelompok warga yang miskin,
terlantar, bodoh atau tidak berpendidikan, atau sakit-sakitan tersebut tidak
sejalan dengan konsep Negara Kesejahteraan (welfare state). Karena itu
negaranya bebas dari kemiskinan, kebodohan atau kesakitan, dan kewajiban
dari negara itu merupakan hak dari warga negara dalam konsep Negara
Hukum Modern guna mewujudkan Negara Kesejahteraan (welfare state).
8
Kegiatan Belajar 2
Indonesia Sebagai Negara Hukum dan Proses Penegakan Hukum di Indonesia
A. Indonesia Negara Hukum
Para pendiri negara telah berwawasan jauh ke depan, dengan pemikiran
idealnya untuk mewujudkan Indonesia merdeka sebagai negara yang
menjunjung tinggi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Jika pemikiran Negara Hukum Modern dapat dikuantifikasi, maka
rata-rata pemikiran idealis mewujudkan Negara Hukum Modern dari bangsa
Indonesia, telah mendahului pemikiran organisasi ahli hukum internasional.
Bila organisasi ahli hukum internasional baru merumuskan Negara Hukum
Modern tahun 1965, maka bangsa Indonesia telah merumuskannya pada tahun
1945, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yang mengatur:
a. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak diatur dalam
pasal 24,
b. Pemilihan umum yang bebas, yang memilih lembaga perwakilan (DPR)
meskipun baru dilaksanakan pertama tahun 1955,
c. Kebebasan untuk menyatakan pendapat, diatur dalam pasal 28,
d. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi, diatur dalam
pasal 28.
Ini prestasi bangsa Indonesia yang seharusnya mendunia, atau bentuk
keunggulan dari bangsa Indonesia, tetapi bangsa Indonesia, belum bisa
meyakinkan pada dunia terhadap pemikiran tersebut, atau sengaja bangsabangsa di dunia masih menganggap kerdil bangsa Indonesia, atau sebenarnya
di antara bangsa Indonesia sendiri ada
yang membuat kerdil pemikiran
bangsa sendiri. Hal demikian masih dimilikinya sikap mental yang belum bisa
menghargai karya orang lain, terutama karya sesama bangsa Indonesia sendiri.
Semua ini hendaknya menjadikan pelajaran untuk semua bangsa Indonesia,
terutama bagi mahasiswa dan generasi muda lainnya, dalam mempersiapkan
9
diri meningkatkan kualitas SDM, dan dapat menghargai karya, dan prestasi
baik dari bangsa sendiri atau bangsa lain dalam persaingan di era globalisasi.
Bukti idealisme bangsa Indonesia mendahului hasil kongres ahli hukum
internasional dapat dikaji dengan indikator ciri-ciri Negara Hukum Dinamis,
dari hasil kongres di Bangkok 1965, UUD 1945 juga memuat dasar-dasar
sebagaimana terdapat dalam konsep rechtsstaat maupun rule of law, dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Perlindungan Konstitusional
Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari
dari menjamin hak-hak asasi individu, konstitusi harus pula menentukan
cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin.
Sebelum
Indonesia
merdeka
bangsa
Indonesia
telah
mempersiapkan perlunya UUD tertulis yang telah dirumuskan dalam
Piagam Jakarta yang awalnya akan dibuat sebagai pembukaan UUD
Indonesia merdeka. Ketentuan tersebut dimuat dalam alinea keempat dan
rencana tersebut berhasil diwujudkan dengan beberapa perubahan, namun
untuk perlu adanya suatu UUD, maka tetap dirumuskan dalam
pembukaan UUD 1945 Proklamasi, Yaitu”…, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia”. Konstitusi atau UUD akhirnya berhasil
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, adalah bukti nyata bahwa
bangsa Indonesia sungguh-sungguh mewujudkan konstitusi sebagai dasar
pengaturan hidup Negara Indonesia yang baru merdeka.
Pernyataan ini diperkuat dengan Penjelasan UUD 1945 tentang
Sistem Pemerintahan Negara, Pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas). Hal ini berarti bahwa Pemerintah Indonesia diatur
berdasarkan Hukum Dasar Indonesia. Pengaturan tentang perlindungan
10
individu, maupun kelompok sebagai bangsa di dunia tercermin pada
pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 Proklamasi, yaitu:
1) Pengaturan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu alinea satu sampai
alinea ke empat yaitu hak untuk merdeka, hak mewujudkan
kemerdekaan, pernyataan merdeka, serta perlindungan hak seperti
untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
sebagai dasar Negara,
2) Pengaturan dalam batang tubuh UUD 1945 Proklamasi, ketentuan
tentang perlindungan hak individu, seperti hak memilih pekerjaan,
kebebasan berkumpul dan berserikat, persamaan dalam hukum dan
pemerintahan, kebebasan beragama, perlindungan terhadap fakir
miskin dan anak terlantar.
b.
Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
Indonesia sebagai negara hukum memberikan penegasan bahwa
pemerintahan yang dijalankan adalah berdasar atas sistem konstitusi
(hukum dasar), dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas). Penegasan ini juga berlaku pada Mahkamah Agung sebagai
pemegang kekuasaan kehakiman. Pasal 24 UUD 1945, menyatakan:
Kekuasaan kehakiman dilakukan sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang-undang.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Setelah UUD 1945
diamandemen pernyataan dari penjelasan ditetapkan dalam batang tubuh
UUD 1945 Amandemen yang berbunyi: Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan peradilan (kekuasaan kehakiman yang mandiri).
c.
Pemilihan umum yang bebas
Meski negara Indonesia yang baru merdeka, namun UUD 1945
Proklamasi secara formal telah memuat pemikiran untuk penyelenggaraan
11
pemilihan umum di kelak pemerintahan sudah berjalan normal dan stabil.
Pemilihan umum pertama kemudian dilaksanakan pada tahun 1955
dengan UUD Negara adalah UUDS Tahun 1950. Pemilihan umum
pertama di Indonesia tersebut telah menetapkan asas pemilihan umum
yang bebas, umum dan rahasia. Dalam pemerintahan Orde Baru asas
pemilihan umum langsung, bebas, umum dan rahasia, dengan dikenal
istilah luber. Pada era Reformasi asas ini ditambah dengan jujur dan adil.
Penambahan asas jujur dan adil ini merupakan reaksi pemilihan umum
era Orde Baru, yang dianggap tidak jujur sehingga perlu adanya
penekanan bahwa asas langsung, umum, bebas dan rahasia perlu
ditambah dengan jujur dan adil (luber dan jurdil)
d.
Kebebasan
menyatakan
pendapat
dan
kebebasan
untuk
berserikat/berorganisasi dan beroposisi
Pentingnya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan kebebasan
berserikat/berorganisasi merupakan hal yang penting dalam menjamin
hak warga dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu dirasa perlu oleh
pendiri negara, sehingga dimasukkan dalam ketentuan batang tubuh UUD
1945, yakni dalam pasal 28, yang menyatakan: Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Satu ketentuan yang tidak
tersurat adalah kebebasan beroposisi, karena sistem pemerintahan
Indonesia tidak mengenal oposisi, meskipun dalam era Reformasi ada
partai yang menyatakan diri sebagai oposisi dan tidak bersedia bergabung
dengan partai yang memimpin Pemerintahan. Namun posisi oposisi
tersebut, tidak sebagaimana partai oposisi dalam sistem pemerintahan
parlementer, bisa jadi posisi partai oposisi itu disebut posisi semu (quasi
opposition)
12
e.
Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education)
Sejak berlakunya UUD 1945 Proklamasi, pendidikan di Indonesia
telah
memasukkan
Pendidikan
Kewarganegaraan,
meski
dalam
perkembangannya terjadi perubahan-perubahan. Misalnya dari nama
Civics, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila,
Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan, dan kembali
pada
Pendidikan Kewarganegaraan. Di perguruan tinggi juga pernah diberikan
mata
kuliah
Pancasila,
Kewiraan,
dan
sekarang
Pendidikan
Kewarganegaraan. Dengan demikian sejak UUD 1945 Proklamasi,
bangsa Indonesia secara konsisten memberikan materi Pendidikan
Kewarganegaraan dalam pendidikan formal, meski dengan sebutan yang
disesuaikan
dengan
era
pemerintahan
Indonesia.
Karena
dalam
pelaksanaan, materinya banyak mendapatkan intervensi pemerintah yang
sedang berkuasa, guna pembenaran kekuasaannya.
Oleh karena itu dalam Pendidikan Kewarganegaraan sekarang,
diarahkan
untuk
pembinaan
pendidikan
karakter
bangsa
yang
bertanggungjawab terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk
semua kehidupan yang mendukung hak dan kewajiban warga negara,
bertanggung
jawab
dalam
proses
demokrasi,
serta
mendukung
pemerintahan yang demokratis, tanpa memandang golongan atau partai
tertentu yang diakui secara sah sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
f.
Adanya pemisahan kekuasaan
Pemisahan kekuasaan Negara adalah teori yang dicetuskan oleh John
Locke, yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dan kemudian
dikenal dengan Trias Politika Montesquieu. Menurut John Locke
pemisahan kekuasaan Negara menjadi legislatif atau badan pembuat
undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang yang
merangkap tugas peradilan, sedang federatif kekuasaan dalam hubungan
13
luar negeri. Teori ini diperbarui oleh Montesquieu yaitu, legislatif badan
pembuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dan
hubungan luar negeri, dan kekuasaan yudikatif sebagai badan kehakiman.
Negara Indonesia yang memiliki lembaga sebagaimana disebut dalam
tugas-tugas legislatif, eksekutif dan yudikatif, namun kekuasaan ketiga
lembaga tersebut tidak terpisah sama sekali, karena dalam melaksanakan
kekuasaan di antara ketiga lembaga tersebut, masih ada diperlukan kerja
sama. Namun demikian tidak dapat disangkal, bahwa ketiga kekuasaan
tersebut, kekuasaan utamanya adalah kekuasaan seperti disebut
Montesquieu. Disamping ketiga kekuasaan seperti yang disebut dalam
Trias Politika Montesquieu, di Indonesia masih terdapat lembaga Negara
lain, seperti MPR, DPD, BPK, Komisi Yudisial dan Mahkamah
Konstitusi. Dengan kenyataan tersebut, nampaknya Indonesia termasuk
negara yang dipengaruhi oleh teori Montesquieu, namun pengaruh
tersebut tidak mutlak diikuti bangsa Indonesia baik sifat pemisahan
kekuasaan maupun jumlah Lembaga Negara yang ada. Indonesia tidak
menganut pemisahan kekuasaan, tetapi menggunakan sistem pembagian
kekuasaan.
g.
Adanya pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
Pada
Pembukaan
UUD
1945
Amandemen
alenia
keempat
dipaparkan, bahwa:”…, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”
juga dalam penjelasan tentang Indonesia sebagai Negara hukum, dan
UUD 1945 Amandemen juga menyebutkan: Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan peradilan (kekuasaan kehakiman yang mandiri),
serta pengaturan dan tugas lembaga telah digariskan dalam UUD 1945
sampai pada UUD 1945 Amandemen, adalah bukti pemerintahan Negara
Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
14
h.
Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan
Peradilan administrasi dalam perselisihan tidak lain adalah Peradilan
Tatausaha Negara atau Peradilan Administrasi Negara. Peradilan ini
dianut pada konsep rechtsstaat, tetapi tidak dilaksanakan di Negara Anglo
saxon. Indonesia yang mewarisi hukum Belanda dari konsep rechtsstaat
dalam realisasinya peradilan di Indonesia terdapat peradilan Tata Usaha
Negara. Adanya Peradilan Tata Usaha atau Administrasi Negara terlihat
dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang menetapkan empat lingkungan peradilan
yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Administrasi Negara.
i.
Adanya jaminan kedudukan sama dalam hukum
Jaminan dari Negara terhadap warga Negara khususnya di Indonesia,
telah ditegaskan dalam UUD 1945 Proklamasi maupun Amandemen
dalam pasal 27, yang menyatakan: Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Berdasarkan
ketentuan tersebut, menunjukkan bangsa Indonesia menjunjung nilai
demokrasi secara nyata baik dalam bidang hukum maupun pemerintahan,
serta kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan, tanpa terkecuali
apakah kedudukannya sebagai pejabat atau warga Negara pada umumnya.
j.
Adanya supremasi hukum
Supremasi hukum adalah bagian ciri utama dari konsep Anglo Saxon,
namun dalam konsep Eropa Kontinental, diwakili Krabbe maupun
Kranenburg yang menganut teori kedaulatan hukum konsisten dengan
idenya, bahwa hukum merupakan kedaulatan tertinggi Negara, juga
menempatkan hukum di atas kekuasaan lain. Indonesia yang dipengaruhi
konsep Kontinental juga terpengaruh teori tersebut. Sebagaimana telah
disebut pada Negara berdasar konstitusi dan persamaan hukum,
15
pengakuan tentang supremasi hukum di Indonesia, tidak terpisah dengan
ketentuan tersebut. Pembukaan, Penjelasan dan Batang Tubuh UUD 1945
Proklamasi dan Amandemen, mengatur pengakuan supremasi hukum
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karenanya pengaturan Negara
baik yang mengatur lembaga Negara maupun warga Negara harus tunduk
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
k.
Adanya jaminan hak-hak asasi manusia dalam UUD
Semua alinea dalam Pembukaan UUD 1945 Proklamasi dan
Amandemen, tidak mengalami perubahan, semua mengandung akan
jaminan hak asasi manusia. Batang Tubuh UUD 1945 Proklamasi dan
Amandemen yang telah mengatur hak-hak asasi manusia banyak
mengalami penambahan ayat, meski pasal-pasalnya tidak mengalami
perubahan, seperti pasal 27, 28, 29, 32, 33, dan 34. Untuk mengetahui
lebih rinci tentang hak-hak asasi manusia dari perspektif historis, dan
jaminannya, baik dalam UUD maupun dalam Undang-Undang di
Indonesia, akan dibahas lebih lanjut pada bagian sub Bab, HAM dalam
pengaturan dan pelaksanaan hukum di Indonesia.
B. Penegakan Hukum di Indonesia
Proses penegakkan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga penegak
hukum seperti:
a. Kepolisian
Fungsi kepolisian Republik Indonesia adalah memelihara keamanan
dalam negeri yang meliputi keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan
hukum,
memberikan
perlindungan,
pengayoman
dan
pelayanan kepada masyarakat.
Dari fungsi tersebut Kepolisian Republik Indonesia memiliki tugas
pokok, sebagai berikut:
16
1) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan,
2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan,
3) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan
lingkungan hidup dari gangguan dan atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia,
4) Melayani kepentingan masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/ atau pihak yang berwenang,
5) Melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Untuk menjalankan fungsi dan tugas tersebut, kepolisian diberikan
wewenang, antara lain:
1) Mengawasi
aliran
yang
dapat
menimbulkan
perpecahan
atau
mengancam persatuan dan kesatua bangsa,
2) Memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum ataupun
kegiatan masyarakat lainnya,
3) Memberikan ijin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam,
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
5) Melakukan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan,
6) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan dalam
putusan pengadilan, kegitan isntansi lain dan kegiatan masyarakat.
b. Kejaksaan
17
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan dan penyidikan
pidana khusus berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pelaksanaan kekuasaan tersebut di tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh
Kejaksaan Negeri, tingkat provinsi oleh Kejaksaan Tinggi dan di tingkat
pusat oleh Kejaksaan Agung. Untuk melaksanakan kekuasaannya
kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1) Melakukan penuntutan,
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap,
3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat,
4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang,
5) Melengkapi bekas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
c. Komisi Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, KPK dibentuk
dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan tugas dan wewenang KPK
sebagai berikut:
1) Tugas KPK
Beberapa tugas pokok KPK adalah:
a) Berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi,
b) Supervisi terhadap instansi berwenang terhadap pemberantasan
tindak pidana korupsi,
18
c) Melakukan peyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi,
d) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi,
e) Melakukan
monitor
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan
Negara.
2) Wewenang KPK:
a) Melakukan pengawasan, penelitian, penelaahan terhadap instansi
yang menjalankan tugas dan wewenang dengan pemberantasan
korupsi,
b) Mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan
kejaksaan,
c) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
korupsi,
d) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak
pidana korupsi
e) Hanya menangani korupsi yang terjadi setelah 27 Desember 2002
f) Pengadilan tindak pidana korupsi tidak bisa berjalan dengan
landasan hukum KPK, MK telah memutuskan bahwa UU tentang
TIPIKOR harus sudah selesai dalam waktu 3 tahun (2009). Jika
tidak selesai, maka keberadaan pengadilan TIPIKOR harus
dinyatakan bubar serta merta kewenangannya dikembalikan pada
pengadilan umum.
d. Badan Peradilan
Menurut Undang-Undang No. 4 dan 5 Tahun 2004, tentang kekuasaan
Kehakiman
dan
MA,
bahwa
MA
bertindak
sebagai
lembaga
penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta
membantu pencari keadilan. Badan peradilan di Indonesia berada di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, dan tingkat nasional, terdiri atas:
19
1) Peradilan Negeri, berkedudukan di kabupaten/kota adalah peradilan
umum tingkat pertama,
2) Peradilan Tinggi, berkedudukan di tingkat provinsi, adalah peradilan
umum yang menangani tingkat banding, dengan penekanan perkara
prioritas korupsi, terorisme, narkoba, maupun pencucian uang,
3) Mahkamah Agung (MA), puncak kekuasaan kehakiman yang berhak
mengadili tingkat kasasi, serta menguji peraturan di bawah UU,
4) Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan lembaga peradilan tingkat
pertama dan terakhir, untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik,
serta memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum.
20
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas kerjakan latihan
berikut ini:
1.
Jelaskan kebutuhan terhadap negara hukum
2.
Jelaskan konsep negara hukum
3.
Jelaskan Indonesia sebagai negara hukum
4.
Jelaskan proses penegakan hukum di Indonesia
Petunjuk Jawaban Latihan:
1. Pelajari kembali materi pada kegiatan belajar 1 dan 2
2. Diskusikan dengan teman-teman Anda
3. Kerjakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 3-5 orang anggota
TES FORMATIF
SOAL TEMATIK
1. Sebutkan lembaga yang bertugas dalam menangani pemberantasan korupsi,
tetapi tidak tercantum dalam UUD 1945?
SOAL PILIHAN
1. Warga negara dan penduduk pada hakekatnya mempunyai satatus hukum .....
Jawaban:
a. Sama status hukumnya
b. Tidak sama status hukumnya
2.
Salah satu lingkungan peradilan yang disebut dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945
adalah lingkungan peradilan umum. Lembaga peradilan tertinggi dalam
lingkungan peradilan umum adalah...
Jawaban:
a. Mahkamah Konstitusi
b. Mahkamah Agung
3.
Yang mengesahkan Undang-Undang agar mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat adalah....
Jawaban:
a. Presiden
21
b. DPR
4.
Yang berwenang memberikan pengurangan masa hukuman atau pembebasan
adalah .
Jawaban:
a. Mahkamah Agung
b. Presiden
5.
Menurut UUD 1945, salah satu lingkungan peradilan yang disebut dalam pasal
24 ayat 2 adalah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Peradilan
TUN adalah sebuah lembaga peradilan yang menangani sengketa hukum ...
Jawaban:
a. Hukum Ketenagakerjaan
b. Hukum Administrasi Negara
22
Modul 2
KONSTITUSI
Dalam modul ini Anda akan diajak menganalisis konsep konstitusi secara umum dan
konstitusi dalam konteks Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi dalam
modul ini Anda diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
Kegiatan Belajar 1:
a. Dapat memahami istilah dan pengertian konstitusi (undang-undang dasar)
b. Dapat memahami keberadaan dan tujuan konstitusi
Kegiatan Belajar 2:
a. Dapat memahami konstitusi atau undang-undang dasar di Indonesia
b. Dapat memahami Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Agar semua harapan di atas dapat terwujud maka di dalam modul ini disajikan
pembahasan dan latihan dengan butir uraian sebagai berikut:
a. Istilah dan Pengertian Konstitusi (Undang-Undang Dasar)
b. Keberadaan dan Tujuan Konstitusi
c. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar di Indonesia
d. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Untuk membantu Anda dalam mencapai harapan kemampuan di atas ikutilah
petunjuk belajar sebagai berikut:
a. Bacalah petunjuk bagaimana mempelajari modul ini.
b. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci.
c. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui pemahaman
sendiri dan atau tukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen Anda.
d. Temukan prinsip, konsep, dan prosedur.
e. Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi mengenai pengalaman simulasi
dalam kelompok kecil atau klasikal.
23
Kegiatan Belajar 1
Istilah dan Pengertian Konstitusi (Undang-Undang Dasar) serta Keberadaan
dan Tujuan Konstitusi
A. Istilah dan Pengertian Konstitusi (Undang-Undang Dasar)
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis "Constituere" yang berarti
menetapkan atau membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan sebagai
pembentukan atau penyusunan suatu negara. Dalam ketatanegaraan, istilah
konstitusi di berbagai negara dipergunakan beragam. Di Belanda menggunakan
kata "constitutie" di samping kata "grond wet". Inggris dan Amerika Serikat
menggunakan kata "constitution". Dalam istilah sehari-hari Konstitusi sering
disamakan dengan Undang-Undang Dasar (UUD). UUD sendiri adalah
terjemahan dari kata "grond wet" yang berasal dari bahasa Belanda, yakni grond
artinya dasar, sementara kata wet berarti undang-undang.
Makna konstitusi secara mendalam ada dalam konstitusionalisme (Mahfud
MD, 2000; Budiardjo, 2008), yaitu suatu istilah yang kemunculannya di abad ke
18, untuk menegaskan Doktrin Amerika tentang supremasi konstitusi tertulis
yang hierarkinya berada di atas Undang-Undang, yang hanya dibuat oleh
lembaga legislatif. Meskipun istilah konstitusionalisme baru popular abad ke 18,
tetapi sebagai gagasan dan praksis kehidupan modern, konstitusionalisme telah
berkembang lebih lama, yakni suatu gagasan pembatasan kekuasaan penguasa di
dalam sebuah konstitusi, sebenarnya telah ada sejak berkembangnya negara
teritorial di bawah kekuasaan raja-raja dan dalam kehidupan negara-negara di
Eropa Barat sejak abad ke 12. Gagasan konstitusionalisme sebagai alat
pembatasan kekuasaan sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan gagasan Hak
Asasi Manusia (HAM), demokrasi dan negara hukum, yang harus dimuat di
dalam sebuah aturan dasar kegiatan politik yang kemudian disebut konstitusi.
Dalam perkembangan teoritis dan praktik kenegaraan, terdapat pandangan
yang mempersamakan Konstitusi dengan UUD, tetapi juga terdapat pandangan
24
lain yang menyatakan bahwa Konstitusi tidak sama dengan UUD. Perbedaan
pandangan ini terjadi karena perbedaan sudut pandang dalam memberikan
pengertian terhadap konstitusi, yakni pengertian dalam arti sempit dan dalam arti
luas.
Pengertian konstitusi dalam arti sempit, hanya mencakup konstitusi tertulis
saja, yaitu UUD. Pada saat sekarang, banyak sarjana yang menyamakan kedua
istilah itu, yakni konstitusi dan UUD. Karena dalam praktek ketatanegaraan di
berbagai negara menganggap konstitusi atau UUD itu dibuat sebagai pegangan
untuk menyelenggarakan negara. Penyamaan istilah konstitusi dengan UUD
adalah pengaruh aliran kodifikasi, tapi sebelum itu sudah terjadi, ketika Oliver
Cromwell menjadi Lord Protector Inggris (1649-1660) yang menyebut UUD
sebagai Instrument of Goverment, yaitu pegangan untuk memerintah. (Subardi,
2001).
Pandangan yang menyamakan Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar,
antara lain CF. Strong, James Bryce (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), dan K.C.
Wheare (Subardi, 2001) . CF. Strong mengemukakan bahwa konstitusi adalah
sekumpulan asas-asas yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak dari
yang diperintah, dan hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah.
Sementara James Bryce memberikan pengertian konstitusi sebagai kerangka
negara yang diorganisasikan dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum
menetapkan; a) peraturan mengenai pendirian lembaga-lembaga permanen; b)
fungsi dari lembaga-lembaga tersebut; dan c) hak-hak tertentu yang ditetapkan.
K.C. Wheare (1975) mengartikan kontitusi sebagai keseluruhan sistem
ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan peraturan-peraturan yang
membentuk dan mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
Peraturan-peraturan ini sebagian bersifat legal (bersifat hukum) dalam arti
pengadilan berwenang mempertahankannya, dan sebagian tidak bersifat hukum
(nonlegal) atau ekstralegal yang berasal dari kebiasaan dan konvensi, karena
pengadilan tidak dapat mempertahankan terhadap pelanggaran yang terjadi.
25
Wheare juga menegaskan bahwa konstitusi, untuk sebagian besar negara di dunia
diartikan sebagai aturan-aturan yang mengatur ketatanegaraan suatu negara yang
telah dibukukan dalam suatu dokumen (kodifikasi), dan sejak diumumkan
Konstitusi Amerika pada tahun 1787, istilah maupun pengertian konstitusi
sebagai dokumen tertulis disamakan dengan UUD.
Konstitusi yang disamakan artinya dengan UUD, memiliki ciri-ciri umum
(Subardi, 2001) :
a. Konstitusi
itu sebagai kumpulan kaidah hukum yang diberi kedudukan
tertinggi dalam negara (supreme law), karena dimaksudkan sebagai alat untuk
membatasi wewenang penguasa.
b. Konstitusi memuat prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang dianggap
paling pokok mengenai kehidupan bernegara.
c. Konsitusi biasanya lahir dari momen sejarah yang terpenting bagi masyarakat
(negara) yang bersangkutan, seperti pembebasan dari penjajahan, keberhasilan
dari suatu revolusi dan sebagainya.
Sistem ketatanegaraan Indonesia juga pernah mempersamakan antara
Undang-Undang Dasar dengan Konstitusi, yang keduanya digunakan untuk
saling mengisi/mengganti sebagai hukum dasar Republik Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik
Indonesia Serikat tahun
1949, dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.
Sementara pengertian konstitusi dalam arti luas, maka konstitusi adalah
mencakup keseluruhan peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang
mengatur
secara
mengikat
bagaimana
suatu
pemerintahan
negara
diselenggarakan dalam masyarakat. Pengertian UUD menurut E.C.S. Wide dan
G.Philips (Mahfud MD, 200, Budiardjo, 2008 ; Priyanto, 2003) adalah naskah
yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah
atau negara dan menentukan cara kerja badan-badan tersebut. Konstitusi berarti
sebagai peraturan dasar dari suatu negara. Menurut Sri Sumantri (Tim ICCE UIN
Jakarta, 2003), konstitusi berarti suatu naskah yang memuat suatu bangunan
26
negara dan sendi-sendi sistem pemerintahan negara. Tim ICCE UIN (2003)
memberikan pengertian konstitusi adalah sejumlah aturan-aturan dasar dan
ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur
lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara negara dan
masyarakat (rakyat) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengertian konstitusi dalam arti luas diberikan oleh kelompok yang
membedakan Konstitusi dan Undang-Undang Dasar di antaranya Apeldoorn
(Supriatnoko, 2008), yang mengemukakan bahwa konstitusi memuat aturan
tertulis dan tidak tertulis, sedang Undang-Undang Dasar merupakan bagian
tertulis dari Konstitusi. Pendapat senada dikemukakan Herman Heller (Tim
ICCE UIN Jakarta, 2003) bahwa Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis
melainkan bersifat sosiologis dan politis, sedangkan Undang-Undang Dasar
hanya merupakan bagian dari pengertian Konstitusi. Heller membagi pengertian
konstitusi dalam tiga cakupan, (Koesnardi dan Saragih, 1974) yaitu:
a. Konstitusi sebagai pengertian sosial politik. Pada tingkat ini, konstitusi baru
mencerminkan keadaan sosial politik, kenyataan yang ada dalam masyarakat,
belum merupakan pengertian hukum.
b. Konstitusi sebagai pengertian hukum (juridis). Pada tingkat ini , keputusankeputusan yang ada dalam masyarakat tersebut dijadikan sebagai rumusan
yang normatif, yang harus ditaati. Pada tingkat ini, konstitusi tidak selalu
tertulis, tapi ada juga yang tidak tertulis, dan yang tertulis biasanya dalam arti
terkodifikasi.
c. Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum, yakni peraturan hukum yang
tertulis.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ferdinand Lasalle (Saiful Anwar,
1996:47), yang membagi konstistusi dalam dua pengertian, yaitu :
a. Konstitusi dalam pengertian sosiologis dan politis, yaitu berupa faktor-faktor
kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Konstitusi menggambarkan hubungan
antara kekuasaan-kekuasaan nyata yang ada dalam negara, antara lain seperti;
27
raja, parlemen, kabinet, kelompok penekan (pressure group), dan partai
politik.
b. Konstitusi dalam pengertian juridis, yaitu yang tertulis dalam suatu naskah
yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Dalam praktik kenegaraan hukum dasar yang tidak tertulis merupakan
bagian dari Konstitusi disebut dengan konvensi. Di Inggris keberadaan konvensi
dimulai dengan Piagam Magna Charta 1215. Di Amerika Serikat konvensi
dilaksanakan oleh para presiden yang telah dua kali berturut-turut tidak ada lagi
yang mencalonkan diri, meskipun pembatasan tersebut tidak diatur dalam
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat. Di Indonesia Pidato Kenegaraan setiap
tanggal 16 Agustus termasuk salah satu konvensi yang sampai sekarang masih
dilestarikan.
B. Keberadaan dan Tujuan Konstitusi
Menurut Mahfud MD (2000), secara umum konstitusi diartikan sebagai
aturan dasar ketatanegaraan yang setelah disarikan dari ajaran kedaulatan rakyat.
Rousseau memandang konstitusi sebagai perjanjian masyarakat yang berisikan
pemberian hak oleh masyarakat dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
negara. Dengan kata lain konstitusi sebenarnya tidak lain dari realisasi demokrasi
dengan kesepakatan bahwa kebebasan penguasa ditentukan oleh warga
masyarakat dan bukan sebaliknya, kebebasan masyarakat ditentukan oleh
penguasa. Oleh sebab itu, setiap pelanggaran atas konstitusi harus dipandang
sebaga pelanggaran atas kontrak sosial. Dalam kesimpulan analisisnya Mahfud
MD (2000), menyatakan esensi dari konstitusionalisme yang melahirkan
konstitusi minimal terdiri atas 2 hal:
a. Konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal
kewibawaan hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah, oleh karena
itu hukum harus mengontrol dan mengendalikan politik,
28
b. Konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan
warga negara di bawah jaminan konstitusi, sekaligus adanya pembatasan
kekuasaan negara terhadap warga negara.
Terkait dengan kedua ciri konstitusionalisme tersebut, maka beberapa hal
yang harus ditegaskan dalam konstitusi menurut Bambang Widjoyanto (1998)
adalah:
a.
Public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi;
b.
Menurut pelaksanaan kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus
dilakukan dengan menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan
pengangkatan eksekutif harus melalui pemilihan yang demokratis;
c.
Pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasan wewenang;
d.
Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan
hukum dan keadilan baik terhadap rakyat maupun terhadap penguasa;
e.
Adanya sistem kontrol terhadap militer dan kepolisian untuk menegakkan
hukum dan menghormati hak-hak rakyat;
f. Adanya jaminan perlndungan HAM.
Keadaan yang hampir sama tentang hal-hal yang harus ditegaskan dalam
konstitusi menurut Mahfud MD (2000) adalah:
a. Supremasi hukum dalam arti memberikan posisi sentral pada hukum sebagai
pedoman dan pengarah menurut hierarkinya dan menegakkan tanpa pandang
bulu,
b. Pengambilan keputusan secara legal oleh Pemerintah dalam arti bahwa
dalam setiap keputusan haruslah sah baik formal-prosedurnya maupun
substansinya,
c. Jaminan atas rakyat untuk menikmati hak-haknya secara bebas berdasarkan
ketentuan hukum yang adil,
d. Kebebasan pers untuk mengungkap dan mengekspresikan kehendak,
kejadian, dan aspirasi yang berkembang di masyarakat maupun aspirasi
institusi itu sendiri,
29
e. Partisipasi masyarakat dalam proses kenegaraan,
f. Pembuatan kebijaksanaan yang tidak diskriminatif terhadap golongan, gender,
agama, ras, dan ikatan primordial lainnya,
g. Akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat,
h. Terbukanya akses masyarakat bagi keputusan negara dan pemerintah.
Dari cakupan materi, maka keberadaan konstitusi diadakan untuk suatu
fungsi dan tujuan dalam kehidupan bernegara. Keberadaan konstitusi dalam
suatu negara yang berkaitan dengan fungsi adalah sebagaimana dikemukakan
oleh C.J. Friedrich (Miriam Budiardjo, 2008) bahwa konstitusi merupakan proses
(tata cara) untuk membatasi perilaku pemerintah secara efektif. Konstitusi
mempunyai fungsi khusus dan meupakan perwujudan atau manifestasi dari
hukum tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya rakyat, tetapi juga oleh
pemerintah. Pembatasan-pembatasan kekuasaan dalam konstitusi diwujudkan
dalam bentuk membagi kekuasaan dalam negara, membatasi kekuasaan dari
penguasa dalam negara, dan adanya akses yang bebas untuk mengawasi
kekuasaan yang dilaksanakan para penguasa, baik melalui saling mengawasi dan
mengendalikan secara seimbang dan proporsial
(checks, balances and
proportional system) antara lembaga negara maupun akses terbuka dan bebas
dari warganegara (free and open information).
Terhadap fungsi yang dimiliki oleh konstitusi atau UUD, maka Joeniarto
(1980) melihat sebagai fungsi konstitusi pada umumnya memiliki dua dimensi :
a. Ditinjau dari tujuannya, adalah untuk menjamin hak-hak anggota warga
masyarakatnya, terutama warganegara dari tindakan sewenang-wenang
penguasa;
b. Ditinjau dari penyelenggaraan pemerintahannya, adalah untuk dijadikan
landaan
struktural
penyelenggaraan
pemerintahan
menurut
sistem
ketatanegaraan yang pasti dan pokok-pokoknya telah digambarkan dalam
aturan-aturan konstitusi atau UUD.
30
Sementara keberadaan konstitusi yang berkaitan dengan tujuan adalah
seperti dikemukakan oleh Karl Loewenstein (Astawa, 1993):
a. Sebagai aturan yang memberikan pembatasan sekaligus pengawasan
terhadap kekuasaan politik,
b. Sebagai sarana melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasa sendiri,
c. Memberikan batasan-batasan ketetapan para penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya.
Keberadaan konstitusi baik dilihat dari fungsi maupun tujuannya esensinya
adalah membatasi kekuasaan pemerintahan negara sedemikian rupa, sehingga
penyelenggaraan negara tidak bersifat sewenang-wenang atau melakukan
penyalahgunaan wewenang. Dari pembatasan itu, maka hak-hak warga negara
lebih terjamin dan terlindungi secara pasti. Gagasan ini disebut dengan
konstitusionalisme. Konstitusionalisme menurut C.J. Friederich (Koenardi dan
Saragih, 1994) adalah pemerintahan yang merupakan kumpulan kegiatan yang
diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi dikenakan beberapa
pembatasan yang diharapkan menjamin, bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk
pemerintahan itu, tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk
memerintah.
Pembatasan kekuasaan atas lembaga-lembaga penyelenggara negara itu,
menurut Padmo Wahyono (Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni'matul Huda,
2001) adalah mencakup dua hal :
a. Pembatasan kekuasaan yang meliputi isi kekuasaannya.
b. Pembatasan kekuasaan yang berkenan dengan waktu dijalankannya kekuasaan
tersebut.
Pembatasan kekuasaan dalam arti mengandung arti, bahwa dalam konstitusi,
kekuasaan lembaga negara ditentukan tugas dn wewenangnya. Pemerintah harus
diawasi oleh Badan Perwakilan Rakyat dan juga elemen-elemen warganegara
yang ada di dalam masyarakat, termasuk rakyat sendiri. Sementara pembatasan
kekuasaan yang berkenaan dengan waktu, menyangkut pembatasan kekuasaan
31
mengenai masa waktu itu dapat dijalankan. Hal demikian berkenaan dengan
masa jabatan masing-masing lembaga negara atau pejabatnya dalam menjalankan
kekuasaannya.
Agar keberadaan konstitusi jelas kepastiannya tentang fungsi dan tujuannya,
maka menurut Sri Sumantri (1979), konstitusi berisi tiga hal pokok:
a. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara,
b. Ditetapkannya
susunan
ketatanegaraan
suatu
negara
yang
bersifat
fundamental, dan
c. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.
Sementara Miriam Budiardjo (1977) mengemukakan setiap UUD hendaknya
memuat ketentuan-ketentuan mengenai :
a. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian; prosedu penyelesaian masalah pelanggaran
yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.
b. Hak-hak asasi manusia.
c. Prosedur mengubah UUD
d. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
32
Kegiatan Belajar 2
Konstitusi dan Undang-Undang Dasar di Indonesia, Serta Amandemen UndangUndang Dasar 1945
A. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar di Indonesia
Sebagaimana disebut di bagian awal, bahwa di Indonesia istilah Konstitusi
dan Undang-Undang Dasar pernah disejajarkan keberadaannya sebagai hukum
dasar tertulis. Oleh karena itu dalam pembahasan berikut khusus berlaku di
Indonesia akan menggunakan istilah tersebut sesuai dengan masa berlakunya
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar di Indonesia.
1. Penetapan Undang-Undang Dasar dan Konstitusi Indonesia
Undang-Undang Dasar Proklamasi yang kemudian kita kenal dengan
UUD 1945, ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 18 Agustus 1945. Perumusan tentang rencana dasar negara dan UUD
1945 sebelumnya telah dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dimulai dalam siding
pertama BPUPKI pada tanggal 9 Mei sampai 1 Juni 1945 dengan ketua Dr.
Radjiman Wedyodiningrat.
Dalam sidang pertama BPUPKI, permasalahan mendasar yang menjadi
agenda persidangan adalah perumusan dasar negara. Tiga tokoh Moh. Yamin,
Supomo, dan Sukarno, menyampaikan usulan dasar negara. Sukarno yang
mendapatkan
kesempatan
menyampaikan
pokok
pikirannya
dengan
mengusulkan lima dasar negara yang dinamai dengan Pancasila. Sidang
pertama BPUPKI belum menghasilkan keputusan berarti, sehingga sidang
dilanjutkan dengan dibentuknya dua panitia, yaitu Panitia Kecil, dikenal
sebagai Panitia Sembilan yang diketuai oleh Sukarno dan Panitia Perancang
UUD yang diketuai oleh Supomo. Panitia Sembilan berhasil merumuskan
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang akan direncanakan sebagai
Pembukaan UUD negara, sedang Panitia Perancang UUD berhasil
merumuskan rancangan UUD negara tanggal 16 Juni 1945.
33
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang ditandatangani oleh SukarnoHatta atas nama Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, ditindaklanjuti
dengan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang didahului
kompromi antara wakil-wakil kelompok Islam dan wakil Indonesia Bagian
Timur yang mayoritas berasal dari penganut agama Nasrani tentang sila
pertama dasar negara dari Piagam Jakarta. Pertemuan ini terjadi karena wakil
Indonesia
Timur
yang
mayoritas
pemeluk
agama
Nasrani
merasa
dinomorduakan dengan rumusan rencana dasar negara, yakni terdapat
rumusan syariat Islam bagi pemeluknya. Perjuangan Bung Hatta sebagai
mediator berhasil meyakinkan kedua belah pihak, yaitu kelompok Islam dan
wakil Indonesia Timur, tentang rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta,
dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana kita
kenal sekarang. Perubahan dari sila pertama berdampak pada perubahan pasal
29, UUD 1945, serta syarat Presiden yang tadinya ada kata-kata harus
beragama Islam cukup dengan orang Indonesia asli. Berdasarkan kesepakatan
tersebut akhirnya UUD 1945 berhasil ditetapkan oleh PPKI tanggal 18
Agustus 1945, bersama dengan pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden
pertama di Indonesia. Struktur dan sistematika UUD 1945 Proklamasi terdiri
dari:
a. Pembukaan UUD yang terdiri dari empat alinea.
b. Batang tubuh UUD, yang terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal peralihan,
dan 2 ayat Aturan Tambahan.
c. Penjelasan resmi UUD.
Dengan keberhasilan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, yang
menetapkan UUD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai Kepala
Pemerintahan baru di Indonesia, maka keberadaan negara Indonesia baik
secara de jure maupun de facto telah terpenuhi secara sempurna, yaitu:
a. Rakyat, yaitu bangsa Indonesia.
34
b. Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang membentang dari Sabang sampai
Merauke, yakni mencakup bekas wilayah jajahan Pemerintah Hindia
Belanda.
c. Pemerintah yang berdaulat, Pemerintah dipimpin Sukarno-Hatta, dengan
penuh kedaulatan ke dalam dan keluar. Kedaulatan ke dalam karena
Indonesia
telah
memiliki
Presiden
dan
Wakil
Presiden
dan
bertanggungjawab terhadap politik pemerintahan dalam negara Indonesia,
sedang kedaulatan keluar seperti adanya pengakuan dari negara sahabat
yang banyak memberi dukungan moril terhadap perjuangan bangsa
Indonesia, yaitu negara India dan Mesir yang langsung menyambut baik
dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Keberadaan Negara Proklamasi yang telah memenuhi persyaratan utama
sebagai negara, ternyata tidak demikian dengan pandangan pemerintah
kerajaan Belanda yang tidak mau mengakui berdirinya negara Indonesia,
karena Belanda menganggap secara de jure Indonesia (Hindia Belanda) masih
berada di bawah kekuasaannya berdasarkan perjanjian-perjanjian yang
diperoleh Belanda, sejak era VOC sampai Hindia Belanda dari raja-raja
Indonesia, sehingga dengan berbagai cara Belanda berusaha ingin menguasai
kembali Indonesia yang telah merdeka, sebagaimana sebelum kedatangan
Jepang di Indonesia. Penyerangan tentara Belanda terhadap Pemerintah
Indonesia tidak mendapatkan dukungan penuh dari sekutu Belanda. Hal
demikian terjadi karena kepiawaian diplomasi politik yang dilakukan oleh
kementerian luar negeri dan diplomat Indonesia di luar negeri, sekaligus
begitu kuatnya perlawanan rakyat dengan kekuatan intinya TNI di dalam
negeri. Sehingga ketika agresi Belanda pertama dilakukan, Belanda harus
terpaksa berunding dengan Indonesia atas prakarsa Amerika Serikat, dan
berhasil melahirkan persetujuan Renville. Para agresi Belanda ke dua diakhiri
dengan perundingan Meja Bundar yang dikenal dengan Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag Belanda. Salah satu hasil
35
penting adalah pengakuan kemerdekaan Indonesia dengan bentuk negara
serikat, sehingga Indonesia menjadi Negara Indonesia Serikat dengan dasar
negara Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), yang berlaku mulai
tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya KRIS, maka UUD 1945 yang tidak pernah dicabut,
tatap berlaku sebagai UUD Negara Indonesia Proklamasi yang merupakan
bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS) sebagai negara federal yang
berdasarkan pada KRIS. Bentuk negara serikat sesungguhnya bertentangan
dengan cita-cita perjuangan awal Bangsa Indonesia yang mencita-citakan
bentuk negara kesatuan. Bentuk serikat diterima oleh delegasi Indonesia di
bawah pimpinan Moh Hatta sebenarnya merupakan bagian strategi perjuangan
diplomasi Bung Hatta, agar Pemerintah Indonesia mampu menata
pemerintahan dengan politik de vide at impera, namun kondisi dan kesadaran
Bangsa Indonesia sudah berubah, tidak sebagaimana awal Belanda datang di
Indonesia. Kekhawatiran akan kegagalan politik de vide at impera untuk
memecah belah Indonesia telah diantisipasi Belanda, yakni dengan masih
mempertahankan Irian Barat untuk dibahas di kemudian hari tanpa batas
waktu yang jelas. Kondisi ini sengaja dibuat Belanda untuk menyisakan bom
waktu yang setiap saat akan meledakan persatuan dan kesatuan di wilayah
Indonesia.
Meskipun NIS berdiri atas tekanan Belanda, namun strategi Bung Hatta
ternyata cukup berhasil berkat dukungan Bangsa Indonesia yang setia kepada
negara Proklamasi dengan bentuk negara kesatuan, dalam waktu delapan
bulan NIS bubar dan Bangsa Indonesia kembali kepada negara kesatuan, yang
diikuti dengan perubahan UUD, dengan mengubah KRIS menjadi UUD
Sementara Tahun 1950 yang kemudian dikenal dengan UUDS tepat pada hari
ulang tahun Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1950.
UUDS, yang diadopsi dari KRIS berlaku hampir Sembilan tahun.
Keberadaan Badan Konstintuante hasil pemilihan umum 1955, yang harus
36
membuat UUD baru untuk menggantikan UUDS gagal mencapai kata sepakat,
khususnya tentang penetapan dasar negara antara Islam dan Pancasila. Hal
yang sama juga terjadi terhadap anjuran Presiden Sukarno
kepada
Konstintuante untuk kembali kepada UUD 1945, tidak berhasil memenuhi
quorum untuk menentukan/menetapkan UUD baru. Adanya pernyataan dari
sebagian anggota Konstintuante untuk tidak hadir dalam pembahasan
penetapan UUD, menjadikan salah satu alasan Negara Indonesia dalam
keadaan bahaya. Pernyataan kondisi negara dalam keadaan bahaya dari
Presiden Sukarno mendapat dukungan tentara dan Perdana Menteri Juanda,
sehingga Presiden mengeluarkan dekrit yang kemudian lebih dikenal dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan salah satu
diktumnya adalah berlakunya kembali UUD 1945. Dengan berlakunya
kembali UUD 1945 sampai dilakukannya kembali amandemen UU 1945,
pelaksanaan UUD 1945 mengalami pasang surut, baik pada masa Orde Lama,
maupun Orde Baru. Dalam kedua periode ini UUD 1945 yang sifatnya
disebut-sebut sebagai UUD yang singkat dan supel justru memberikan
peluang kepada pemegang kekuasaan untuk menafsirkan sesuai dengan
kehendak penguasa, sehingga dalam dua periode tersebut, mendorong
Pemerintah
untuk
menyimpang,
mesti
atas
nama
konstitusi
untuk
melaksanakan secara murni dan konsekwen. Kondisi ini akhirnya dikoreksi
pada era Reformasi. Untuk menghindarkan dominasi eksekutif yang pernah
terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru, MPR hasil pemilihan umum
tahun 1999 melakukan empat kali Amandemen, yang hasilnya adalah naskah
UUD 1945 Amandemen yang sekarang berlaku.
2. Perubahan Konstitusi atau UUD
a. Cara Merubah Konstitusi atau UUD
37
Dalam Hukum Tata Negara dikenal
adanya dua cara perubahan
UUD sebagai konstitusi tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan
menurut prosedur yang diatur sendiri oleh UUD. Perubahan cara yang
pertama ini disebut Verfassung Anderung, yang sering disebut perubahan
cara konstitusional. Kedua, perubahan yang dilakukan tidak berdasarkan
pada ketentuan yang diatur dalam UUD. Perubahan dengan cara kedua ini
disebut Verfassung Wandlung, perubahan ini sering disebut dengan cara
yang bersifat revolusioner (Jimly Asshiddiqie, 2001).
Berlaku tidaknya UUD hasil perubahan yang revolusioner tergantung
pada kekuatan politik yang mendukung atau yang memberlakukannya
sebagai konstitusi negara yang bersangkutan (Subardi, 2001). Menurut
Robert Carr (I Gde Pantja Astawa, 1993) ada tiga cara untuk mengubah
UUD, yaitu:
1) Melalui tata cara di luar UUD.Hal ini dimungkinkan, karena UUD itu,
misalnya menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang Organik.
2) Melalui penafsiran yang dilakukan oleh; a) pengadilan (kekuasaan
yudikatif); 2) kongres (kekuasaan legislatif); dan 3) presiden
(kekuasaan eksekutif).
3) Melalui perubahan secara formal.
Sebelum naskah UUD tersebut diakui dan diterima keberlakuannya
oleh masyarakat luas, UUD itu biasanya masih dianggap tidak sah dan
prosedur perubahannya dinilai inkonstitusional, atau setidak-tidaknya
bersifat ekstrakonstitusional (Jimly Asshiddiqie, 2001).
Menurut C.F. Strong (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), menyatakan
bahwa prosedur perubahan Konstitusi ada empat (4) macam perubahan,
yaitu:
1) Perubahan Konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan
legislatif, akan tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu;
38
2) Perubahan Konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu
referendum;
3) Perubahan Konstitusi yang berlaku di negara serikat yang dilakukan
oleh sejumlah negara-negara bagian;
4) Perubahan Konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau
dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus dibentuk hanya untuk
keperluan perubahan.
Pendapat senada dikemukakan Miriam Budiardjo (2008), juga
mengetengahkan tentang cara perubahan Konstitusi atau UUD suatu
negara mengemukakan dengan 4 (empat) cara atau prosedur dalam
perubahan Konstitusi atau UUD, yaitu:
1) Melalui sidang badan legislatif dengan ditambah beberap syarat,
misalnya dapat ditetapkan quorum untuk sidang yang membicarakan
usul perubahan Konstitusi atau UUD dari jumlah minimum anggota
badan legislatif untuk menerimanya;
2) Melalui referendum atau peblesit;
3) Melalui persetujuan negara-negara bagian dalam negara federal,
dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Konstitusi atau
UUD federal;
4) Musyawarah khusus (special convention)
Sementara Jimly Asshiddiqie (2001) berpendapat bahwa cara
melakukan perubahan UUD dilakukan melalui:
1) Pembaharuan naskah, jika perubahan dalam teks UUD menyangkut
hal-hal tertentu.
2) Pergantian naskah lama dengan naskah yang baru, jika materi
perubahannya bersifat mendasar dan cukup banyak, maka perubahan
itu dapat disebut penggantian naskah dari yang lama menjadi yang
baru sama sekali.
39
3) Naskah tambahan (annex atau addendum) yang terpisah dari naskah
asli
UUD,
yang
menurut
tradisi
Amerika
Serikat
disebut
Amandemen.
Dalam praktik ketatanegaraan modern, kita mengenal dua teknik
dalam perubahan Konstitusi atau UUD, yaitu renewal dan amandement.
1) Renewal adalah perubahan yang berupa pembaharuan dari Konstitusi
atau UUD lama secara keseluruhan, sehingga yang diberlakukan
adalah Konstitusi atau UUD yang baru secara keseluruhan. Cara ini
dianut di Eropa Kontinental seperti Belanda, Perancis maupun
Jerman,
2) Amandement (Amandemen) adalah cara perubahan Konstitusi atau
UUD, yakni Konstitusi atau UUD yang lama tetap berlaku, sehingga
amandemen
yang
dilakukan
dapat
mengubah,
dengan
cara
mengurangi atau menambah pasal-pasal, dari Konstitusi atau UUD,
dapat merupakan bagian lampiran, atau menyertai Konstitusi atau
UUD awal. Cara amandemen ini dilaksanakan di Amerika Serikat
dan di Indonesia.
Terdapat dua tradisi dalam teknik perubahan UUD, yaitu tradisi
Erofah Kontinental dan tradisi Amerika Serikat. Berdasarkan tradisi
Erofah Kontinental, teknik perubahan dilakukan langsung ke dalam teks
UUD. Jika perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah
UUD yang asli, tidak banyak mengalami perubahan. Tetapi jika materi
yang diubah banyak, apalagi kalau perubahannya sangat mendasar,
biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru sama sekali
(pergantian). Menurut tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakkan
terhadap materi tertentu dengan menetapkan naskah Amandemen yang
terpisah dari naskah asli UUD (Subardi, 2001).
40
b. Perubahan UUD atau Konstitusi di Indonesia
Beberapa cara perubahan UUD atau Konstitusi di Indonesia dapat
dilihat dari ketentuan dalam UUD atau Konstitusi yang pernah dan
sedang berlaku di Indonesia, yaitu:
1) Perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUD 1945 Proklamasi
Ketentuan perubahan UUD tercantum dalam pasal 37 yang
menyatakan:
a) Ayat (1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah Majelis Permusyawaratan harus hadir.
b) Ayat (2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Dengan mengacu pada pasal tersebut berarti perubahan UUD
1945 Proklamasi memberikan kewenangan pada MPR untuk
mengubah UUD dengan persyaratan quorum tertentu atau suar
terbanyak bersyarat yaitu 2/3, baik didasarkan pada kehadiran
anggota MPR, dan keputusan yang diambil disetujui minimum 2/3
dari anggota MPR yang hadir.
2) Perubahan Konstitusi Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(KRIS) 1949
Ketentuan tentang perubahan KRIS 1949 diatur dalam pasal 190,
yaitu:
a) Ayat (1) Dengan tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal
51 ayat (2), maka Konstitusi ini hanya dapat diubah dengan
Undang-Undang Federal dan menyimpang dari ketentuanketentuannya hanya diperkenankan atas kuasa Undang-Undang
Federal: Baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Senat tidak
boleh bermufakat atau pun mengambil keputusan tentang usul
untuk itu, jika tidak sekurang-kurangnya 2/3 anggota sidang
menghadiri rapat,
41
b) Ayat (2), Undang-Undang dimaksud dalam ayat pertama,
dirundingkan oleh Senat menurut ketentuan-ketentuan Bagian 2
Bab IV. Catatan penulis, inti pada Bagian 2Bab IV dimaksud
dalam keterkaitan dengan Undang-Undang adalah tentang
pelaksanaan
untuk
membuat
Undang-Undang
harus
ada
kesepekatan Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat,
c) Ayat (3), Usul Undang-Undang untuk mengubah Konstitusi ini
atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang dapat diterima
oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau pun oleh Senat dengan
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir. Jika usul itu
dirundingkan lagi menuntut yang ditetapkan pada pasal 132,
maka Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat menerima dengan
sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang hadir.
Adapun pasal 132 dimaksud adalah:
a) Ayat (1), Apabila Senat menolak usul yang sebelumnya itu sudah
diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka sungguhpun
demikian, usul itu dapat juga disahkan oleh Pemerintah, jika
Dewan Perwakilan Rakyat menerima dengan tidak mengubahnya
lagi dan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah suara anggota yang
hadir,
b) Ayat (2), Keputusan yang tersebut dalam ayat pertama, hanya
akan dapat diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat
yang di dalamnya sekurang-kurangnya hadir 2/3 dari jumlah
aggota sidang.
Pola dianut KRIS 1949 dalam perubahan Konstitusi menganut
pada cara badan legislatif dengan persyaratan tertentu. Sebagaimana
telah kita sebut bahwa KRIS 1949 adalah produk dari KMB tampak
sekali rumusan Bahasa Indonesia dalam kalimat yang berbelit-belit,
sebagaimana konsep dari seseorang yang pasti bukan usulan murni
42
dari bangsa Indonesia. Struktur kalimat dalam KRIS 1949 sangat
berbeda dalam struktur kalimat dalam UUD 1945 Proklamasi.
3) Perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUDS 1950
Ketentuan perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUDS 1950
diatur dalam pasal 140, yaitu:
a) Ayat (1), Segala usul untuk mengubah Undang-Undang Dasar ini
menunjuk dengan tegas perubahan yang diusulkan,
b) Ayat (2), Usul perubahan Undang-Undang Dasar, yang telah
dinyatakan dengan undang-undang itu oleh Pemerintah dengana
amanat Presiden disampaikan kepada suatu badan bernama
Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara dana
anggota-anggota Komite Nasional Indonesia Pusat yang tidak
menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara,
c) Ayat (3), Yang ditetapkan dalam Pasal 66, 72, 74, 75, 91, 92, dan
Pasal 94 juga berlaku bagi Majelis Perubahan Undang-Undang
Dasar.
Catatan
penulis,
ketentuan
Pasal-Pasal
tersebut
menyangkut persidangan Dewan Perwakilan Rakyat, mulai dari
kehadiran, hak suara hilang bagi yang tidak hadir dalam sidang,
serta keputusan yang sah dalam sidang,
d) Ayat (4), Pemerintah harus dengan segera mengesahkan
Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar yang telah diterima
oleh Majelsi Perubahan Undang-Undang Dasar.
Dengan melihat ketentuan pasal 140 UUDS 1950, maka cara
perubahan untuk merubah UUDS adalah dengan membentuk Badan
Baru, dalam hal ini anggota legislatif dengan penambahan di luar
anggota yang khusus diperuntukkan untu merubah UUD, yang
disebut dengan Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Badan
43
Baru ini akhirnya diberi nama Konstituante yang terbentuk setelah
pemilihan umum 1955.
4) Perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUD 1945 pada Periode
Orde Lama dan Orde Baru
Dengan diberlakukannya kembali UUD ’45 melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, ketentuan tentang perubahan UUD 1945 tidak
mengalami perubahan sebagaimana diatur dalam pasal 37. Orde
Lama dan Orde Baru yang tidak berniat untuk merubah UUD 1945,
sehingga ketentuan tentang perubahan UUD pada pasal 37 tetap tidak
mengalami
perubahan.
Meskipun
era
Orde
Baru
bertekad
melaksanakan UUD ’45 secara murni dan konsekwen, Pemerintah
Orde Baru menetapkan referendum sebagai antisipasi tuntutan
perubahan UUD 1945. Penetapan referendum diatur dalam Ketetapan
MPR no. IV/MPR/1983, dan ditindaklanjuti dengan Undang-Undang
Referendum No. 5 Tahun 1985.
Pengertian referendum menurut pasal 1 UU No. 5 Tahun 1985
(No. 5/1985) adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara
langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap pendapat
kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah
Undang-Undang Dasar 1945. Referendum diadakan apabila Majelis
Permusyawaratan Rakyat berkehendak mengubah Undang-Undang
Dasar 1945. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Tap MPR No.
IV/MPR/1983. Apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD
1945, maka terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui
Referendum. Pelaksanaan referendum dilakukan oleh Presiden,
sebagaimana
diatur
dalam
Undang-Undang
Referendum.
Referendum diselenggarakan dengan cara mengadakan pemungutan
suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Majelis
Permusyawaratan Rakyat dapat mengubah UUD 1945 bila mayoritas
44
penduduk sekurang-kurangnya 90% dari jumlah pemberi pendapat
rakyat (pemilih) tersebut menyatakan setuju terhadap kehendak MPR
untuk mengubah UUD 1945.
Dengan memperhatikan Tap. MPR No. IV/MPR/1983 serta UU
No. 5/1985, bahwa Referendum untuk meminta pendapat rakyat
sebagai prasyarat bagi MPR mengubah UUD 1945 sebagaimana
diatur dalam pasal 37 UUD 1945, merupakan persyaratan yang
sangat berat perwujudannya dan tidak pernah dilaksanakan,
meskipun UUD
1945 dilakukan amandemen. Tekad Orde Baru
untuk mempertahankan UUD 1945 terlihat dari ketentuan pasal 1
Tap MPR No. IV/MPR/1983, bahwa MPR tidak berkehendak untuk
mengubah UUD 1945. Jelas ketentuan 90% pemilik suara harus ikut
ambil bagian dan minimum 90% menyatakan setuju adalah
persyaratan yang dibuat untuk menghambat, karena dalam pemilihan
umum sejak tahun 1955 tidak ada suara mayoritas mendekati 90%.
Ketentuan Tap MPR No. IV/MPR/1983 mengandung kontradiksi,
yakni MPR tidak berkehendak mengubah UUD 1945, namun pada
sisi lain MPR menetapkan aturan bagaimana bila MPR berkehendak
mengubah UUD 1945. Ketentuan pasal 37 dengan referendum
terdapat suatu keganjilan logika, MPR yang tidak berkehendak
merubah UUD 1945, MPR membuat celah sendiri dengan
kemungkinan merubah, dan didukung oleh Presiden dan DPR
bagaimana proses sebelum merubah dengan terbitnya UU No. 15
Tahun 1985, adalah produk yang dibuat Presiden bersama-sama
dengan DPR.
5) Perubahan Undang-Undang Dasar Dalam UUD 1945 Amandemen
Pada era Reformasi, MPR berhasil melakukan perubahan UUD
1945 sebanyak empat (4) kali, dengan meniadakan ketentuan
45
Referndum. Ketentuan tentang perubahan UUD tetap diatur dalam
pasal 37, dengan ketentuan sebagai berikut:
e)
Ayat (1), Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat,
f)
Ayat (2), Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang
Dasar, diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas
bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya,
g) Ayat (3), Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar,
Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat,
h) Ayat (4), Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50%
ditambah
satu
anggota
dari
seluruh
anggota
Majelis
Permusyawaratan Rakyat,
i)
Ayat (5), Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
B. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Kedudukan UUD sebagai hukum dasar tertulis merupakan sumber hukum
setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau
peraturan lainnya. UUD juga merupakan acuan tindakan kebijakan pemerintah
dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Terhadap kebijakan pemerintah,
UUD berfungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan yang dilakukan
pemerintah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Undang-Undang Dasar 1945, yang memiliki sifat singkat dan supel, satu sisi
memiliki keuntungan mudah mengikuti perkembangan dinamika masyarakat,
46
tetapi pada sisi lain, dengan sifat yang supel yang mengandung multitafsir,
memberikan peluang kepada penguasa untuk menafsirkannya guna mendukung
dan menjadi alat pembenaran dalam kebijakan penguasa. Semua ini telah terjadi
pada era Orde Lama dan Orde Baru, sehingga mendorong MPR hasil pemilihan
umum 1999 melakukan amandemen UUD 1945 Proklamasi (Mahfud MD, 2000).
Dalam era Reformasi, MPR telah empat kali melakukan amandemen
terhadap UUD 1945. Amandemen tersebut dilakukan MPR pada sidang-sidang
MPR dari tahun 1999 sampai tahun 2002. Dalam empat kali amandemen telah
terjadi perubahan jumlah Bab dalam batang tubuh, meskipun jumlah pasal tetap
dipertahankan 37, dengan penambahan sejumlah ayat yang disesuaikan dan
pemikiran demokrasi, serta perubahan pasal Aturan Peralihan menjadi 3 pasal,
dan 2 pasal Aturan Tambahan. Bila UUD 1945 mengenal Penjelasan sebagai
bagian tidak terpisahkan dengan UUD, maka dalam UUD 1945 Amandemen
Penjelasan yang pernah ada, tidak lagi merupakan bagian dari UUD 1945
Amandemen.
Namun demikian untuk kajian akademik terutama di perguruan tinggi
Pejelasan UUD 1945 Proklamasi masih relevan untuk dipelajari, mengingat isi
penjelasan tidak lain merupakan penegasan nilai-nilai yang terkandung dalam
pembukaan dan batang tubuh UUD, dan dapat dikaji secara ilmiah, karena tidak
menutup kemungkinan nilai ilmiah dan rasional dapat diaplikasikan dalam pasalpasal UUD, bila rakyat Indonesia melalui MPR berkehendak melakukan
amandemen kembali terhadap UUD yang sekarang berlaku.
Dasar pemikiran ini tidaklah berlebihan, karena dari pengalaman
amandemen, terdapat bagian pasal diambil dari penjelasan UUD 1945
Proklamasi, yaitu Pasal 1 ayat (3), yaitu: Negara Indonesia adalah negara hukum.
Namun demikian diakui terdapat ketentuan yang dianggap tidak relevan lagi
dengan perkembangan pemikiran bangsa Indonesia tentang kedudukan MPR
yang disebut sebagai Lembaga Negara Tertinggi tidak dikenal lagi dalam UUD
47
1945 Amandemen, karena kedudukan MPR sama-sama sebagai Lembaga Tinggi
Negara yang keberadaannya sejajar dengan Lembaga Tinggi negara lainnya.
1. Pembukaan UUD 1945 Amandemen
Pembukaan UUD 1945 Amandemen, tidak mengalami perubahan
sebagaimana awalnya UUD 1945 ditetapkan. Dapat tidaknya Pembukaan
UUD 1945 dilakukan perubahan terdapat dua pandangan. Menurut
Notonegoro, Pembukaan UUD 1945, sebagai pokok kaidah yang fundamental
keberadaan negara Republik Indonesia, Pembukaan merupakan satu rangkaian
dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga tidak boleh diubah oleh
siapapun termasuk MPR hasil pemilihan umum. Perubahan terhadap
Pembukaan berarti pembubaran negara Proklamasi, meski masih ada negara
Indonesia, tetapi negara tersebut bukan negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pendapat lain dikemukakan Mahfud MD (2000), bahwa semua hasil
perbuatan manusia dapat diubah, termasuk pembukaan UUD 1945. Semua itu
sangat tergantung pada dinamika masyarakat Indonesia. Dalam praktik
kenegaraan bangsa Indonesia telah mengalami perubahan UUD seperti KRIS
dan UUDS.
Keduanya baik KRIS dan UUDS juga mencantumkan
pembukaan, dan pembukaan yang ada, rumusannya berbeda atau bukan
permbukaan seperti dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagai kaidah fundamental bagi bangsa dan negara Indonesia ,
Pembukaan UUD 1945 mengandung makna nilai universal bagi kehidupan
manusia pada umumnya, serta nilai nasional bagi kehidupan bangsa
Indonesia.
a. Alinea pertama berbunyi, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajah di atas dunia harus
dihapuskan
karena
tidak
sesuai
dengan
perikemanusiaan
dan
perikeadilan”. Pada alinea ini tegas dinyatakan bahwa bangsa Indonesia
sebagai bagian bangsa di dunia memiliki hak kemerdekaan. Hak
kemerdekaan bukanlah hak milik pribadi maupun hak golongan atau hak
48
bangsa tertentu saja, tetapi kemerdekaan adalah hak segala bangsa, hak
universal yang diberikan Tuhan kepada umat manusia. Karena itu bangsa
Indonesia harus menentang setiap bentuk penjajahan, karena tindakan
penjajahan
tidak
sesuai
Perjuangan
melawan
dengan
menjajah
perikemanusiaan
adalah
suatu
dan
keadilan.
kewajiban,
untuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Alinea pertama, adalah keyakinan
bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa tanpa
kecuali untuk bangsa Indonesia. Dengan keyakinan ini, bangsa Indonesia
akan menentang setiap bentuk penjajahan dan akan membela setiap
bangsa yang terjajah dalam mewujudkan kemerdekaannya. Bentuk
penjajahan terhadap bangsa lain bagi bangsa Indonesia merupakan
tindakan yang bertentangan dengan kodrat manusia. Beberapa prinsip
mendasar pada alinea pertama adalah:
1) Hak kemerdekaan, artinya setiap bangsa didunia memiliki hak untuk
merdeka, termasuk bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya ke
depan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
2) Penjajahan, adalah penguasaan suatu wilayah dan bangsa tertentu oleh
bangsa lain. Penguasaan ini merupakan tindakan yang melanggar hak
mendasar bagi suatu bangsa yang dijajah. Bangsa Indonesia termasuk
yang merasakan langsung penderitaan akibat perlakuan penjajahan
dari bangsa lain.
3) Kemanusiaan, pada dasarnya adalah pengakuan atas harkat, derajat
dan martabat sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
maha Kuasa. Kemanusiaan adalah bagaimana kita sesama manusia
dapat menghormati sesamanya, atau dapat memanusiakan manusia
sesamanya. Penjajahan adalah tindakan yang menghinakan sesama
manusia, termasuk bangsa-bangsa yang pernah menjajah dan
berkuasa di Indonesia telah memperlakukan bangsa Indonesia dalam
status yang lebih rendah.
49
4) Keadilan, adalah keadaan, pandangan, sikap dan perbuatan adil.
Penjajahan adalah sikap dan perbuatan yang tidak adil dari penjajah
terhadap yang dijajah. Dalam praktiknya sebaiknya apapun yang
dilakukan penjajah, sebenarnya berorientasi pada kepentingan
penjajah, bukan untuk memakmurkan yang dijajah.
b. Alinea ke dua berbunyi, “Dan perjuangan pergerakkan kemerdekaan
Indonesia telah sampai pada saat yang berbahagia dengan selamat
sentaosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan
makmur”. Pada alinea ini menunjukkan, pernyataan tekad perjuangan
bangsa Indonesia, serta kesiapan bangsa Indonesia untuk merdeka,
bersatu guna mewujudkan suatu kehidupan ke depan bagi bangsa
Indonesia yang adil dan makmur. Beberapa prinsip mendasar pada alinea
ke dua adalah:
1) Perjuangan pergerakan, adalah perjuangan bangsa Indonesia dalam
melawan
penjajahan
di
bumi
Indonesia
guna
mewujudkan
kemerdekaan Indonesia. Pergerakan adalah gerakan dalam bentuk
organisasi dalam mencapai kemerdekaan. Pergerakan menunjukkan
dinamika organisasi yan selalu bergerak positif, dinamis dan kontruktif
dalam mencapai kemerdekaan.
2) Merdeka adalah wujud dari kemerdekaan suatu bangsa dan negara
yang bebas dari campur tangan pihak asing dalam menentukan arah
dan kebijaksanaan pemerintahan negara.
3) Bersatu mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia adalah sukusuku bangsa yang ada di wilayah Nusantara yang menyatu dalam satu
wadah negara kesatuan Indonesia.
4) Berdaulat, adalah bentuk eksistensi kemerdekaan bangsa yang
merdeka
dengan
kekuasaan
untuk
mengatur
ke
dalam
dab
50
berhubungan dengan negara lain berdasarkan kesamaan derajat sesama
bangsa yang bernegara.
5) Adil, yang mengadung multidimensi, karena rasa keadilan yang
berbeda-beda. Adil dalam kehidupan bernegara adalah perlakuan yang
sama antarsesama warga baik dalam hubungannya dengan sesama
warga, atau hubungan antara warga dengan negara.
6) Makmur mengandung makna terpenuhinya kebutuhan manusia baik
materiil dan spiritual, tercapainya tingkatan pemenuhan kodrat cita-cita
manusia pada umumnya.
c. Alinea ke tiga yang berbunyi, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”. Alinea ini menunjukkan kemerdekaan Indonesia
dicapai dari hasil perjuangan yang mendapat rakhmat. Beberapa prinsip
mendasar pada alinea ke tiga adalah:
1) Berkat Rahmat Allah, adalah bentuk pengakuan bangsa bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan yang mendapatkan
ridha dari Allah Yang Maha Kuasa. Tanpa ridha Allah, bangsa
Indonesia berkeyakinan, meski perjuangan bangsa telah siap untuk
merdeka, tetapi semua itu Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa adalah
penentu segalanya termasuk Indonesia. Pengakuan ini menunjukkan
paham keseimbangan antara usaha, doa dan takdir. Ketentuan takdir
adalah hasil dari usaha dan doa, sehingga melahirkan ridha Allah
berupa takdir kepada bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
2) Allah Yang Maha Kuasa, adalah pengakuan bangsa Indonesia terhadap
segala kausa prima di dunia, dengan kekuasaan-Nya yang serba lebih
dari segala yang ada di dunia dan Maha Penentu bagi kehidupan
manusia di dunia dan di akhirat. Pernyataan kemerdekaan Indonesia
sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan penegasan
51
bangsa
Indonesia
terhadap
takdir
Tuhan,
bahwa
perjuangan
kemerdekaan itu berhasil bukan semata-mata perjuangan bangsa
Indonesia, tetapi perjuangan yang mendapatkan ridha dan rahmat
Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
3) Keinginan luhur, adalah cita-cita mulia bangsa Indonesia untuk
mewujudkan hak kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, bebas dari
penguasaan bangsa lain dan berhasil mewujudkan kemerdekaan
Indonesia.
d. Alinea ke empat adalah “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alinea ke empat, merupakan pernyataan yang menggambarkan cita-cita
bangsa Indonesia dalam mewujudkan Indonesia merdeka, yaitu:
1) Tentang tujuan negara yang akan dicapai negara Indonesia;
2) Negara Indonesia akan diatur dengan UUD;
3) Rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara;
4) Tentang dasar negara Indonesia Pancasila.
52
2. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945
Pembukaan UUD 1945, mengandung pokok-pokok pikiran yang
diciptakan dan dijelmakan dalam Batang Tubuh UUD ke dalam pasalpasalnya. Empat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 adalah:
a. Pokok Pikiran I, Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan
tumpah darah Indonesia, dengan berdasar atas persatuan dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok pikiran
ini sejalan dengan sila ketiga Pancasila, yakni mewujudkan negara
kesatuan, guna melindungi rakyat dan keutuhan negara Indonesia dalam
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
perkataan lain keadilan sosial bangsa dapat terwujud dalam kesatuan
negara Indonesia yang mampu melindungi keutuhan bangsa dan tanah air
Indonesia.
b. Pokok Pikiran II, Negara berkehendak mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pokok Pikiran yang hendak diwujudkan adalah
menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia
bukan kemakmuran kelompok atau golongan tertentu, apalagi orientasi
pada kepentingan individu.
c. Pokok Pikiran III, Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas
kerakyatan
dan
permusyawaratan/perwakilan.
Pokok
pikiran
ini
menegaskan tentang rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Sebelum amandemen pelaksanaan dalam praktik kenegaraan dilakukan
oleh lembaga permusyawaratan seperti MPR dan lembaga perwakilan
yang tercermin dalam DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Setelah pelaksanaan amandemen kedaulatan rakyat ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar, termasuk rakyat secara langsung memilih
Presiden dan Wakil Presiden serta memilih Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah adalah salah satu bentuk kedaulatan rakyat. Pokok pikiran
53
ketiga juga tercermin pada nilai sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
d. Pokok Pikiran IV, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
menurut kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran ini
memberikan arahan bahwa penyelenggara, atau pejabat negara, serta
warga negara, dalam segala tindak tanduk serta keputusan yang diambil
harus senantiasa berdasarkan pada dasar-dasar Ketuhanan serta nilai-nilai
moral kemanusiaan.
Bila kita cermati Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut
merupakan pencerminan dari Pancasila, yaitu:
a. Pokok Pikiran I cerminan sila ketiga.
b. Pokok Pikiran II cerminan sila kelima.
c. Pokok Pikiran III cerminan sila keempat.
d. Pokok Pikiran IV cerminan sila kesatu dan dua.
3. Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Amandemen
Sebelum amandemen UUD 1945 ketentuan tentang Sistem Pemerintahan
Indonesia dijelaskan secara rinci dalam pelaksanaan UUD 1945. Dengan
dilaksanakan amandemen, maka Penjelasan bukan lagi bagian dari UUD 1945
Amandemen, pada sisi lain terdapat perubahan pasal yang terkait dengan
ketentuan Sistem Pemerintahan, termasuk peniadaan DPA, serta penambahan
Mahkamah Konstitusi. Wacana penghapusan DPA yang tugasnya sebagai
lembaga konsultasi belaka bagi Presiden pernah disarankan oleh Bedjo
(1976). Perubahan Sistem Pemerintahan yang ada merupakan pencerminan
kedaulatan rakyat yang sekarang terus diperjuangkan, dengan harapan Sistem
Pemerintahan Indonesia tetap relevan dan perlu penyesuaian dengan
ketentuan pasal-pasal Batang Tubuh yang telah diubah dalam UUD 1945
Amandemen.
54
Sistem Pemerintahan yang selama ini dikenal dengan Tujuh Kunci Pokok
Sistem Pemerintahan Negara yang pernah dimuat dalam Penjelasan UUD
1945 Proklamasi dapat didiskusikan nilai-nilai positifnya dengan generasi
muda sebagai berikut:
a. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat)
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Hal ini mengandung arti
bahwa negara termasuk di dalamnya Pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun, harus dilandasi
oleh peraturan hukum atau harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Tekanan pada hukum (recht) di sini dihadapkan pada kekuasaan (macht).
Prinsip dari sistem ini di samping akan tampak dalam rumusan pasalpasalnya, juga akan sejalan dan merupakan pelaksanaan dari pokokpokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang
diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechsidee) yang menjiwai UUD 1945
dan hukum dasar yang tidak tertulis.
Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan UUD 1945,
jelas bahwa negara hukum yang dimaksud berarti negara bukan hanya
sebagai polisi atau penjaga malam saja, yang menjaga jangan sampai
terjadi pelanggaran dan menindak para pelanggar hukum. Pengertian
negara hukum baik dalam arti formal yang melindungi seluruh warga dan
seluruh tumpah darah, juga dalam pengertian negara hukum material
yaitu negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan
kecerdasan seluruh warganya.
Dengan landasan dan semangat negara hukum dalam arti material
itu, setiap tindakan negara haruslah mempertimbangkan dua kepentingan
atau landasan, ialah kegunaannya (doelmatogheid) dan landasan
hukumnya (rechtmatigheid). Dalam segala hal harus senantiasa
diusahakan agar setiap tindakan negara (pemerintah) itu selalu memenuhi
55
dua kepentingan atau landasan tersebut. Adalah suatu seni tersendiri
untuk mengambil keputusan yang tepat apabila ada pertentangan
kepentingan atau salah satu kepentingan tidak terpenuhi, sehingga harus
dilakukan secara bijaksana yang dengan sendirinya harus berlandasan atas
peraturan hukum yang berlaku.
b. Sistem Konstitusional
Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar),
tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Sistem ini
memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi
oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh
ketentuan-ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional,
Ketetapan MPR, Undang-Undang dan sebagainya. Dengan demikian
sistem ini memperkuat dan menegaskan lagi sistem negara hukum seperti
dikemukakan di atas.
Dengan landasan kedua sistem negara hukum dan sistem
konstitusional diciptakan sistem mekanisme hubungan dan hukum antar
lembaga negara, yang sekiranya dapat menjamin terlaksananya sistem itu
sendiri dan dengan sendirinya juga dapat memperlancar pelaksanaan citacita nasional.
c. Kekuasaan negara yang tertinggi ada di tangan rakyat
Dengan perubahan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Amandemen, yang
berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti terjadi pergeseran, bahwa
pelaksana kedaulatan yang sebelum amandemen dilakukan oleh MPR,
kembali diserahkan pada pengaturan dalam Undang-Undang Dasar,
meskipun esensinya sama, rakyatlah yang memiliki kedaulatan negara.
Pergeseran ini karena Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya
dipilih oleh MPR, sekarang Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung
oleh rakyat.
56
Kekuasaan MPR berdasar UUD 1945 Amandemen meliputi
kekuasaan merubah UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai dengan masa jabatan,
atau karena Presiden/ Wakil Presiden melanggar suatu Konstitusi.
Pergeseran lain adalah kedudukan Presiden bukan lagi di bawah MPR
tetapi sejajar dengan MPR karena sama-sama langsung dipilih oleh
rakyat.
d.
Presiden ialah penyelenggara pemerintahan tertinggi di samping MPR
dan DPR
Sebelum amandemen, Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi kedudukannya di bawah MPR, yang kemudian
dikenal dengan mandataris MPR. Setelah amandemen, Presiden sebagai
penyelenggara pemerintahan tertinggi di samping MPR dan DPR, dan
kedudukan Presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR, meskipun MPR
dapat memberhentikan Presiden sebelum masa jabatan terakhir, bila
Presiden nyata-nyata melanggar ketentuan UUD setelah keputusan dari
MK menyatakan bahwa Presiden telah melanggar UUD.
e.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR
Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk UndangUndang, dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara.
Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan Dewan, akan tetapi
Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan
Presiden tidak tergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden tidak
dapat membubarkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan
Presiden.
f.
Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri Negara tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
57
Presiden dalam menjalankan tugas pemerintahannya dibantu oleh
menteri-menteri negara. Presiden mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri negara. Menteri-menteri negara tidak bertanggungjawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan para menteri negara tidak
tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
g. Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas
Presiden yang bukan lagi sebagai Mandataris MPR, Presiden yang
tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
diktator, artinya kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Presiden tidak
dapat membubarkan DPR maupun MPR, kecuali itu Presiden harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat,
dalam banyak hal Presiden harus sejalan dengan mayoritas DPR,
mengingat banyak kebijakan Presiden yang harus mendapat persetujuan
DPR.
h. Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Amandemen
Sebelum amandemen UUD 1945 lembaga Negara dibagi menjadi
Lembaga Tertinggi Negara yang dipegang oleh MPR dan Lembaga
Tinggi Negara yang meliputi Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA.
Setelah amandemen tidak lagi dikenal Lembaga Tertinggi dan Lembaga
Tinggi Negara, melainkan disebut sebagai Lembaga Negara. Lembaga
tersebut adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) dan
Mahkamah Konstitusi (MK).
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Keberadaan MPR dalam UUD 1945 Amandemen diatur dalam
Pasal Bab II, pasal 2 dan pasal 3. MPR terdiri dari DPR dan DPD yang
dipilih melalui pemilihan umum yang diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 tahun di
58
ibukota negara. Tugas-tugas dan wewenang MPR diatur dalam UUD
1945 adalah:
a) Mengubah dan menetapkan UUD pasal 3 ayat (1);
b) MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden pasal 3 ayat (2);
c) MPR dapat memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut UUD, pasal 7;
d) Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat,
berhenti
atau
diberhentikan,
atau
tidak
dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatan, pasal 8 ayat (1);
e) Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatan, pasal 8 ayat (2);
f) Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti
secara bersamaan dalam masa jabatan, pasal 8 ayat (3).
Di samping tugas dan wewenang, MPR memiliki hak, yaitu:
a) Mengajukan usul perubahan pasal-pasal UUD, pasal 37.
b) Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
c) Hak imunitas.
d) Hak protokoler.
2) Presiden dan Wakil Presiden
Pengaturan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD 1945
Amandemen, diatur dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan
Negara, mulai pasal 4 sampai pasal 16, serta Bab V tentang
Kementrian Negara pasal 17. Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut UUD. Dalam melakukan tugasnya Presiden
dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Presiden berhak mengajukan
RUU dan menetapkan PP untuk menjalankan UU. Calon Presiden dan
Wakil Presiden harus Warga Negara Indonesia (WNI) dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain, karena kehendak sendiri.
59
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
Kekuasaan, tugas, dan wewenang Presiden meliputi menurut
UUD 1945 Amandemen adalah:
a) Memegang
kekuasaan
pemerintahanmenurut
UUD
1945
Amandemen, pasal 4 ayat (1);
b) Mengajukan RUU kepada DPR, meberikan persetujuan atas RUU
bersama DPR, serta mengesahkan RUU menjadi UU, pasa 5 ayat
(1);
c) Memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU, pasal 10;
d) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU, dalam
kegentingan yang memaksa, pasal 11 ayat (1);
e) Presiden menyatakan Negara dalam keadaan bahaya, pasal 12;
f) Presiden mengangkat duta dan konsul, pasal 13 ayat (1);
g) Presiden member grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan MA,
pasal 14 ayat (1);
h) Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan
DPR, pasal 14 ayat (2);
i) Presiden memberikan gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan, pasal 15;
j) Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri, pasal 17;
k) Meresmikan anggota BPK yang dipilih oleh DPR, pasal 23F ayat
(1);
l) Menetapkan Hakim Agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial dan disetujui DPR, pasal 24A ayat (3);
m) Mengangkat/ memberhentikan KY dengan persetujuan DPR, pasal
24B ayat (3);
n) Menetapkan Hakim Konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden,
DPR, dan MA, pasal 24C ayat (3).
60
3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Keberadaan DPR diatur dalam Bab VII, mulai pasal 19 sampai
dengan 22B UUD 1945 Amandemen. DPR dipilih melalui pemilihan
umum, dengan susunan DPR akan diatur dengan UU, DPR bersidang
sedikitnya sekali dalam setahun (pasal 19). Kekuasaan DPR meliputi
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Untuk menjalankan
fungsinya DPR memiliki tugas dan wewenang, antara lain:
a) Kekuasaan membentuk UU bersama dengan Pemerintah, termasuk
persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti UU, untuk
menjadi UU, pasal 20;
b) Bersama-sama
Presiden
menetapkan
APBN,
dengan
memperhatikan pertimbangan DPD, pasal 23 ayat (2);
c) Setiap
anggota
mempunyai
hak
mengajukan
pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas, pasal 20A
ayat (2);
d) Memilih calon BPK setelah memperhatikan pertimbangan dari
DPD, pasal 23F ayat (1);
e) Memberikan persetujuan calon Hakim Agung yang diajukan oleh
KY, pasal 24A ayat (2);
f) Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat
duta, menerima pengangkatan duta negara lain, dan memberikan
pertimbangan dalam amnesti dan abolisi, pasal 13;
g) Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain,
pasal 11 ayat (1);
h) Menyerap, menghimpun, dan menampung dan menindak lanjuti
aspirasi masyarakat.
61
4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum. Jumlah DPD dari setiap provinsi sama sebanyak 4 orang dan
tidak melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Jumlah anggota DPD
sebanyak 128 orang. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Kekuasaan terkait dengan fungsi DPD, adalah:
a) DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR terkait dengan UU
otonomi daerah, pasal 22D ayat (1);
b) Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU
terkait dengan pajak, pendidikan, dan agama, pasal 22D ayat (2);
c) Melakukan pengawasan atas pelaksanaan mengenai undang-undang
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
dan daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,
dan agama, pasal 22D ayat (3);
d) Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk
dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPD tentang RUU
yang berkaitan dengan APBN, pasal 23E ayat (2);
e) Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK, pasal 23F ayat (1).
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Pengaturan keberadaan BPK dalam UUD 1945 Amandemen
diatur dalam Bab VIIIA, mulai pasal 23E sampai dengan pasal 23G.
anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan
dari DPD dan diresmikan oleh Presiden. BPK adalah badan yang
bertugas memeriksa dan bertanggung jawab tentang keuangan negara
(pasal 23E ayat (1) dengan tugas bebas dan mandiri. Hasil
pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, pasal 23E
ayat (2). Sesuai dengan kewenangannya. BPK berkedudukan di
62
ibukota Negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi, pasal 23G
ayat (1).
6) Mahkamah Agung (MA)
Pengaturan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX UUD
1945 Amandemen, mulai dari pasal 24 sampai pasal 25. Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di wilayahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mewakili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU dan
wewenang lainnya yang diberikan oleh UU. Calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR
untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden.
Komisi
Yudisial
bersifat
mandiri
dan
berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Tugas dari MA
adalah:
a) Mengadili pada tingkat kasasi dan wewenang yang diberikan UU,
pasal 24A;
b) Mengajukan tiga orang Hakim Konstitusi, pasal 24A ayat (3);
c) Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi
dan amnesti, pasal 14 ayat (2).
7) Komisi Yudisial (KY)
Sebagaimana MK, keberadaan KY adalah lembaga negara baru
yang dibentuk setelah UUD 1945 Amandemen. KY merupakan
lembaga yang mandiri dan dalam melaksanakan wewenangnya bebas
63
dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial
memiliki wewenang untuk:
a) Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, pasal
24A ayat (2);
b) Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim, pasal 24B ayat (1).
Dalam melaksanakan wewenangnya, KY memiliki tugas lainnya,
yaitu:
a) Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b) Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c) Menetapkan calon Hakim Agung;
d) Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR;
e) Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
f) Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku
hakim;
g) Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang
disampaikan kepada MA dan tindasannya disampaikan kepada
Presiden dan DPR.
8) Mahkamah Konstitusi (MK)
Sebagaimana telah disebut dalam amandemen bahwa, di
samping MA terdapat Mahkamah Konstitusi. Menurut UUD 1945
Amandemen, MK berkewajiban dan berwenang untuk:
a) Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, pasal 24C
ayat (1);
b) Memutus
sengketa
kewenangan
lembaga
Negara
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai
politik, pasal 24C ayat (1);
64
c) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, pasal 24C
ayat (1);
d) Wajib memberikan putusan atas pendapat bahwa Presiden dan
atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden
dan atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud UUD 1945, pasal 7B ayat (5).
Agar penafsiran terhadap kemungkinan pelanggaran hukum
Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa, maka ditetapkan pengertian
pelanggaran tersebut adalah:
a) Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;
b) Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau
penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang;
c) Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam
pidana penjara 5 tahun atau lebih.
i.
Pemerintah Daerah
Pengaturan tentang Pemerintahan Daerah dalam UUD 1945
Amandemen, diatur dalam pasal 18, yaitu:
1) Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota, mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan.
65
3) Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten dan Kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
4) Gubernur,
Bupati,
Walikota
masing-masing
sebagai
kepla
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.
6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan
tugas pembantuan.
7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur
dalam undang-undang.
Pemerintah daerah dengan prinsip otonomi daerah dan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Otonomi
Daerah. Daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah
untuk member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan
masyarakat
yang
bertujuan
pada
peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, dilaksanakan pula
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi
nyata adalah prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan
berdasar
tugas,
wewenang,
dan
kewajiban
yang
seharusnya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan
66
demikian, isi dan jenis otonomi setiap daerah di Indonesia tidak selalu
sama.
Adapun
yang
dimaksud
dengan
otonomi
yang
dalam
penyelenggaraannya, harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama dari tujuan nasional. Dengan demikian otonomi seluasluasnya, bukan berarti daerah bebas melakukan apa saja yang
dikehendaki, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab dalam kerangka
negara kesatuan Indonesia.
1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemerintahan
daerah
adalah
pelaksanaan
fungsi-fungsi
pemerintah daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, yaitu
Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Kepala
Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara
demokratis. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara
langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan
dalam
peraturan
perundang-undangan
Gubernur,
Bupati
dan
Walikota, sebagai kepala daerah dan kepala pemerintah daerah
memiliki tugas dan wewenang:
a) Memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b) Mengajukan rancangan Perda;
c) Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD;
d) Menyusun dan mengajukan Rancangan Perda tentang APBD
kepada DPRD;
67
e) Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
f) Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Kepala Daerah yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
Wakil Kepala Daerah. Dalam membantu Kepala Daerah, Wakil
Kepala Daerah memiliki tugas:
a) Membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah;
b) Membantu Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan
instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan hasil
pengawasan
aparat
pegawasan,
melakukan
pemberdayaan
perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan
pelestarian sosial-budaya dan lingkungn hidup;
c) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah di
wilayah kecamatan dan, kelurahan, dan desa bagi wakil kepala
daerah kabupaten/ kota;
d) Memberikan saran kepada Kepala Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah;
e) Melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan oleh kepala
daerah;
f) Melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila
Kepala Daerah berhalangan.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, memiliki kewajiban:
a) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
UUD 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
NKRI;
68
b) Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d) Melaksanakan kehidupan demokrasi;
e) Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
f) Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah;
g) Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h) Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
i) Melaksanakan
dan
mempertanggungjawabkan
pengelolaan
keuangan daerah;
j) Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di
daerah dan semua perangkat daerah;
k) Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan
daerah dalam Rapat Paripurna DPRD.
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat di daerah dan
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah.
Ketentuan tentang DPRD, sepanjang tidak diatur dalam UndangUndang
Pemerintah
Daerah
No.
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah, berlaku ketentuan Undang-Undang tentang
Susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebagaimana
DPR, maka DPRD juga memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran
dan fungsi pengawasan. Sebagai unsur penyeleggaraan pemerintah
daerah, DPRD mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a) Membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk
mendapatkan persetujuan bersama;
b) Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD
bersama dengan Kepala Daerah;
69
c) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan
peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah,
APBD, serta kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah dan kerja sama internasional di
daerah;
d) Mengusulkan pengangkatan kepala daerah/ wakil kepala daerah
kepada Presiden melalui menteri dalam Negeri bagi DPRD
Provinsi dan Kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur
bagi DPRD Kabupaten/ Kota;
e) Memilih Wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan
jabatan Wakil Kepala Daerah;
f) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah
daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g) Meminta laporan keterangan pertanggungjawban Kepala Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah;
h) Membentuk panitia pengawas pemilihan Kepala Daerah;
i) Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
j) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah
dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Tentang jumlah anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
ditetapkan dalam UU No. 10 Tahun 2008 adalah:
a) Untuk anggota DPRD Provinsi sedikitnya 35 orang dan paling
banyak 100 orang.
b) Untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota sedikitnya 20 orang dan
paling banyak 50 orang.
Setelah UUD 1945 dilakukan amandemen, ternyata dalam
pelaksanaannya kemudian, masih menyisakan ketidakpuasan, karena
sistem pemerintahan yang dilaksanakan di era reformasi ini lebih
70
banyak didominasi oleh partai-partai politik, sehingga kebijakankebijakan yang dilahirkan berupa undang-undang lebih banyak
mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik dan kalangan
pengusaha.
Sementara
itu
aspirasi-aspirasi
daerah
yang
diperjuangkan DPD selalu kandas, baik karena kurang mendapat
dukungan dari kalangan partai politik, di samping secara normatif,
hak-hak DPD hanya sebatas mengajukan rancangan perundangundangan, tetapi belum punyai hak untuk menetapkan dan
mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Hal demikian sesuai dengan pasal 22D ayat (1) DPD dapat
mengajukan RUU kepada DPR terkait dengan UU otonomi daerah,
dan pasal 22D ayat (1); Memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU APBN dan RUU terkait dengan pajak, pendidikan, dan agama,
pasal 22D ayat (2). Kondisi ini kemudian memunculkan wacana
untuk melakukan Amandemen ke 5 terhadap UUD 1945.
71
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas kerjakan latihan
berikut ini:
1.
Jelaskan istilah dan pengertian konstitusi (Undang-Undang Dasar)
2.
Jelaskan keberadaan dan tujuan konstitusi
3.
Jelaskan tentang konstitusi atau Undang-Undang Dasar di Indonesia
4.
Jelaskan tentang amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Petunjuk Jawaban Latihan:
1. Pelajari kembali materi pada kegiatan belajar 1 dan 2
2. Diskusikan dengan teman-teman Anda
3. Kerjakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 3-5 orang anggota
TES FORMATIF
SOAL TEMATIK
1.
Jelaskan dasar pemikiran yang melatarbelakangi perubahan UUD 1945?
SOAL PILIHAN
1.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditinjau dari aspek sistematikanya
sebelum dilakukan perubahan, terdiri atas ...
Jawaban:
a. Pembukaan, Batang tubuh (pasal-pasal) dan penjelasan
b. Pembukaan dan pasal-pasal
2.
Bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tidak
dapat dilakukan perubahan, hal itu diamanatkan oleh....
Jawaban:
a. UUD 1945
b. Kesepakatan dasar MPR.
72
3.
Perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945, memfokuskan perubahan
kekuasaan dan wewenang pada dua lembaga negara. Kedua lembaga negara itu
adalah...
Jawaban:
a. MPR dan DPR
b. Presiden dan DPR
4.
DPR membahas Rancangan Undang-Undang APBN merupakan implementasi
dari...
Jawaban:
a. Fungsi DPR
b. Wewenang DPR
5.
Pengambilan keputusan oleh MPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945
adalah...
Jawaban:
a. Suara yang terbanyak (pasal 2 ayat 3)
b. Musyawarah mufakat dan suara terbanyak
73
Modul 3
DEMOKRASI DI INDONESIA
Dalam modul ini Anda akan diajak menganalisis konsep demokrasi di Indonesia.
Sehingga dengan mempelajari materi dalam modul ini Anda diharapkan memiliki
kemampuan sebagai berikut:
Kegiatan Belajar 1:
a. Dapat memahami istilah dan definisi demokrasi
b. Dapat memahami sejarah perkembangan demokras
Kegiatan belajar 2:
a. Dapat memahami prinsip-prinsip demokrasi
b. Dapat memahami bentuk–bentuk demokrasi
Kegiatan belajar 3:
a. Dapat memahami perkembangan demokrasi di indonesia
b. Dapat memahami demokrasi dan pemilihan umum
c. Dapat memahami pembangunan masyarakat demokrasi
Agar semua harapan di atas dapat terwujud maka di dalam modul ini disajikan
pembahasan dan latihan dengan butir uraian sebagai berikut:
a. Istilah dan Definisi Demokrasi
b. Sejarah Perkembangan Demokrasi
c. Prinsip-Prinsip Demokrasi
d. Bentuk–Bentuk Demokrasi
e. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
f. Demokrasi dan Pemilihan Umum
a. Pembangunan Masyarakat Demokrasi
Untuk membantu Anda dalam mencapai harapan kemampuan di atas ikutilah
petunjuk belajar sebagai berikut:
a. Bacalah petunjuk bagaimana mempelajari modul ini.
b. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci.
74
c. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui pemahaman
sendiri dan atau tukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen Anda.
d. Temukan prinsip, konsep, dan prosedur.
e. Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi mengenai pengalaman simulasi
dalam kelompok kecil atau klasikal.
75
Kegiatan Belajar 1
Istilah dan Definisi Demokrasi serta Sejarah Perkembangan Demokrasi
A. Istilah dan Definisi Demokrasi
Apa itu "demokrasi"? Istilah ini punya daya tarik yang sangat luar biasa.
Semakin banyak dibicarakan, semakin menarik dan tak ada habis-habisnya.
Sepintas demokrasi seolah bersifat elitis, tapi semakin dalam diselami,
semakin diketahui bahwa demokrasi adalah kehidupan kita sendiri. Itulah
yang sekarang dikenal dengan sebutan "living democracy". Tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa demokrasi merupakan produk pemikiran manusia yang
cerdas. Walaupun demikian, tak mudah untuk memaknai demokrasi secara
memuaskan. Lebih-lebih karena istilah demokrasi, memang tak pernah
dipahami secara monolitik. Mengambil satu arti, berarti kita terjebak ke dalam
satu arus pemikiran. Karena itu, diperlukan pemahaman substantif, agar
demokrasi bisa diterima sebagai suatu keniscayaan, untuk kemudian
diperjuangan, diperbaiki, dipertahankan dan disempurnakan (Bernard Lewis,
2002).
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani "demokratia" berarti
"kekuasaan dari rakyat" (rule of people), yang dirangkai dari kata "demos"
artinya "rakyat", dan "kratos" atau "cratein" berarti "kekuasaan". Demokrasi
adalah bentuk politis dari pemerintahan yang mengatur kekuasaan yang
diperoleh dari rakyat, baik melalui pemilihan langsung (direct democracy)
maupun perwakilan rakyat yang dipilih (representative democracy).
Sementara terhadap definisi demokrasi, terdapat beberapa kategori
definisi demokrasi, yakni definisi secara singkat, klasik dan modern. Kategorikategori definisi demokrasi nampaknya dipengaruhi oleh pendekatan sejarah.
76
1. Definisi Singkat Demokrasi
a. Abraham Lincoln (1809-1865), mendefinisikan demokrasi sebagai
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
(Government of the people, by the people, for the people)
b. Demokrasi menurut bahasa Yunani adalah pemerintah oleh rakyat
(Rule by the 'simple' people)
c. Demokrasi dalam pengertian orang-orang Athena dan Romawi Kuno
adalah bentuk pemerintahan yang muncul sebagai reaksi terhadap
pemusatan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa, dan para
filosof menentukan elemen-elemen esensial dari demokrasi berupa
pemisahan dari kekuasaan, hak-hak sipil/hak-hak manusia, kebebasan
beragama dan pemisahan gereja dan negara.
2. Definisi Klasik Demokrasi
Demokrasi
sering
dikemukakan
berlawanan
dengan
tipe-tipe
pemerintahan yang lain, seperti pemerintahan dari satu penguasa, berupa
raja, atau ratu maupun kaisar (monarki); pemerintahan oleh para
bangsawan atau keturunan (aristokrasi); pemerintahan oleh beberapa orang
(oligarki); pemerintahan berasal dari Tuhan, yang pada kenyataannya
dimaksudkan adalah pemerintahan oleh pemimpin-pemimpin religius
(theokrasi); dan pemerintahan berasal dari rakyat, direbut dengan kekuatan,
lazimnya dikenal sebagai kediktatoran militer (kediktatoran).
Mayoritas negara-negara demokrasi di dunia dikenal sebagai republikrepublik, yakni para pemimpin pemerintahannya dibentuk melalui
pemilihan. Bahkan terdapat beberapa negara yang dikenal sebagai negara
demokrasi yang dijalankan dengan baik, namun menganut Kerajaankerajaan Konstitusional, seperti Inggris, Spanyol Belgia, Nederland,
Luxemburg dan Skandanavia. Pada negara-negara tersebut, meskipun raja
atau ratu sebagai kepala negara, namun kepala pemerintahan dijabat oleh
perdana menteri. Raja atau ratu dijamin oleh konstitusi, dan membatasi
77
secara jelas kewajiban-kewajiban maupun kompetensi-kompetensi dari
kerajaan. Posisi raja hanya dipandang sebagai faktor stabilisator dari pada
sesuatu yang membahayakan demokrasi. Oleh karena itu definisi klasik
dari demokrasi adalah sedikit berguna, sedikitnya masih peduli dengan
monarki.
3. Definisi Modern Demokrasi
Definisi modern dari demokrasi juga sering dihadapkan dengan rezimrezim otoritarian, totaliter dan teokrasi. Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan yang menjamin hak-hak dasar pribadi dan politik, pemilihanpemilihan yang jujur dan bebas, serta lembaga peradilan yang bebas.
Rezim Totalitarian adalah pemerintahan oleh kelompok kecil dari para
pemimpin yang berbasis pada ideologi. Validitas tuntutan-tuntutan umum
untuk semua aspek dari kehidupan dan upaya-upaya biasanya untuk
menempatkan kembali rezim. Rezim tidak toleran terhadap penyimpangan
dari ideologi negara. Para penentang rezim dianiaya, disiksa, dan ditahan
dalam penjara dan kalangan minoritas etnis dibunuh secara massal
(genocide).
Rezim otoritarian adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh
sekelompok kecil pemimpin. Berbeda dengan rezim-rezim totalitarian,
rezim-rezim otoritarian memiliki ideologi negara yang tidak jelas dan
mengakui sejumlah kebebasan (misalnya ekonomi dan kultural) sepanjang
tidak membahayakan peraturan-peraturan mereka. Tujuan yang paling
penting dari rezim-rezim otoritarian adalah memelihara kekuasaan dan
memperkaya pribadi di atas negara dan penduduknya. Rezim Teokrasi
adalah
"Pemerintahan
oleh
Tuhan";
dalam
kenyataannya
adalah
pemerintahan oleh para pemimpin agama. Biasanya interpretasi tertentu
dari hukum-hukum agama religius secara murni ditempatkan kembali ke
dalam bentuk-bentuk modern dan diperkuat dan dilaksanakan sepenuhnya
dengan ketat. Misalnya, Republik Islam Iran.
78
Samuel P. Huntington (Bernard Lewis, 2002) mengemukakan bahwa
seseorang dapat menyebut sebuah negara itu demokrasi, jika negara
tersebut telah melaksanakan pergantian pemerintahan secara damai melalui
pemilihan umum. Jadi menurut Bernard Lewis (2002) demokrasi adalah
kebijakan pemerintah yang dapat diubah oleh pemilu, bukan sebaliknya
pemilihan umum dapat diubah oleh pemerintah.
Oleh karena itu, supaya berhak mendapatkan label demokrasi modern,
negara butuh untuk memenuhi beberapa persyaratan dasar, dan
membutuhkan tidak hanya tertulis dalam konstitusinya, tetapi harus dijaga
dalam kehidupan sehari-hari oleh kalangan politisi dan penguasa. Beberapa
persyaratan kunci yang harus dipenuhi oleh negara demokrasi modern
adalah:
a.
Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia terhadap setiap pribadi secara
individual berhadapan dengan negara dan penguasanya, seperti dengan
berbagai kelompok sosial (khususnya institusi-institusi religius) dan
berhadapan dengan pribadi-pribadi lain.
b.
Pemisahan kekuasaan di antara institusi-institusi negara, yaitu
Pemerintahan (kekuasaan eksekutif), Parlemen (kekuasaan legislatif)
dan Lembaga Kehakiman (kekuasaan yudikatif)
c.
Kebebasan berpendapat, berbicara, pers dan massmedia
d.
Kebebasan beragama
e.
Hak yang sama untuk memberikan suara (satu orang, satu suara)
f.
Pemerintahan yang baik (fokus pada kepentingan publik dan tidak ada
korupsi)
B. Sejarah Perkembangan Demokrasi
Dalam berbagai pustaka dalam kehidupan demokrasi telah terjadi jauh
pada abad ke 4 dan 5 sebelum masehi (SM) yang dipraktikkan sebagai sistemsistem politik pada zaman Yunani kuno, tepatnya di Negara Kota (polis)
79
Athena (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007). Dalam
pemahaman awal Yunani sendiri, seperti dijelaskan Aristoteles menyebut tiga
pemerintahan yang baik dan tiga pemerintahan yang buruk (Suhelmi, 2001;
Schmandt, 2002; Agustino, 2007), yakni demokrasi termasuk pemerintahan
orang banyak yang berorientasi pada kelompoknya sendiri. Sedang
pemerintahan orang banyak yang baik disebut timokrasi. Plato yang juga guru
Aristoteles menekankan perlunya orang terdidik menjadi bijak dalam
kehidupan demokrasi. Agar semakin banyak orang yang menjadi terdidik,
Plato mendirikan sekolah yang disebut dengan Academica (Suhelmi, 2001;
Schmandt, 2002). Sekolah ini bermaksud mendirikan kesempatan lebih
banyak pada warga, guna memberikan kesempatan lebih banyak pada warga
guna mempersiapkan orang–orang bijak untuk ikut berperan aktif dalam
pemerintahan Negara.
Kehidupan demokrasi mengalami pasang surut, dengan kehancuran
Yunani dan Romawi serta kokohnya kekuasaan monarkhi absolut di Eropa
sampai dengan dengan abad pertengahan, terjadi kondisi yang tidak
diharapkan dalam kehidupan demokrasi, yang dalam perkembangan sejarah
Eropa disebut zaman kegelapan (Dark Ages) yakni terjadinya akumulasi
kekuasaan absolut dari para raja yang mendapat restu dari para pemimpin
gereja. Pemerintahan absolut ini telah memasung kebebasan berfikir manusia,
sehingga menimbulkan reaksi para pemikir abad renainsance yang melahirkan
teori–teori tentang kekuasaan Negara, sampai dengan teori kedaulatan rakyat
yang mampu menopang perkembangan demokrasi meluas ke berbagai penjuru
dunia. Rose Wilder Lane penulis buku "Islam and the Discovery of Freedom"
(Bernard Lewis, 2002) menyebutkan, bahwa orang-orang Erofa banyak
mempelajari nilai dan pentingnya kebebasan dari kaum Muslim. Islam
memperkenalkan konsep kebebasan kepada dunia dan khususnya ke Erofa.
Sejak itu cita-cita kuno demokrasi dan pertanggungjawaban pemerintahan,
dikaji ulang dan dikembangkan.
80
Aristoteles adalah pemikir untuk kehidupan demokrasi yang baik, tetapi
ia tidak mendukung demokrasi di masanya. Aristoteles memimpikan dan
meramalkan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang akan
berkembang untuk kehidupan bernegara ke depan. Aristoteles memberikan
catatan untuk pemerintahan demokrasi yang akan menjadi pilihan tebaik di
masa datang. Untuk itu perlu dipersiapkan prakondisi yang akan mendukung
orang-orang terbaik menjadi pilihan dari masyarakat, apabila warga negara
yang akan memilih dalam pemerintahan demokrasi, telah memiliki pendidikan
dan kesadaran bernegara yang baik, serta kondisi ekonomi yang mapan. Bila
prakondisi belum seperti yang diharapkan, maka mungkin orang yang pintar
dan jujur, yang kurang atau tidak popular dan tidak memiliki kemampuan
finansial, akan kalah dengan orang kaya yang mampu mengambil kesempatan
dari kondisi masyarakat yang miskin dan tidak terdidik dengan berbagai
macam cara, akan terpilih dalam pemerintahan, meskipun orang tersebut
sebenarnya, tidak ada niat baik memimpin dan mensejahterakan rakyatnya.
Kondisi inilah yang sering terjadi di Negara berkembang, karena pemerintah
dikuasai oleh keinginan sosial, ekonomi, politik mayoritas yang mengabaikan
kemakmuran warga, seperti Nigeria tahun 1983, Sudan tahun 1989, oleh
Casper
dan
Taylor
dinyatakan
sebagai
demokrasi
serampangan
(Agustino,2007). Inilah bukti yang dikhawatirkan Aristoteles bahwa
kehancuran demokrasi, karena euphoria demokrasi yang bertumpu pada
pemilikan
kebebasan
semu,
yang
tanpa
disadari,
kebebasan
yang
diekspresikan berbenturan dengan kebebasan orang lain. Pengalaman aneh
dan menarik justru terjadi di Indonesia. Setelah Pemilihan Umum calon
legislatif (caleg) untuk anggota legislatif, justru tidak siap. Banyak caleg yang
tidak terpilih menderita penyakit jiwa, dan dapat menjadi bahan diskusi
kualitas caleg Indonesia mendatang.
Hal senada disampaikan oleh De Tocquiville (Charmim,dkk,2003) bahwa
demokrasi memerlukan moral menahan diri, tanpa kemampuan menahan diri,
81
demokrasi akan berubah menjadi democrazy yang melahirkan tirani. Gabriel
Almond yang melakukan penelitian tentang keberhasilan demokrasi, dalam
kaitannya dengan kultur dan struktur sosial politik menyimpulkan:
1.
Kultur
demokrasi
adalah
kultur
campuran,yaitu
antara
kebebasan/partisipasi di satu pihak dan norma-norma perilaku di pihak
lain,
2.
Kultur demokrasi bersumber pada kultur masyarakat secara umum, yang
mengandung social trust yang tinggi dan civicness, kecenderungan
hubungan kerja yang bersifat horizontal/sederajat,
3.
Kultur demokrasi senantiasa memerlukan dan berbasis masyarakat
madani,
4.
Seberapa jauh masyarakat memegang kultur demokrasi sangat tergantung
pada perilaku pemerintahan dalam berdemokrasi.
Tidaklah berlebihan bahwa demokrasi berjalan dengan baik, bila warga
bersikap arif dan masing-masing mampu mengendalikan diri demi
kepentingan bersama yang lebih besar di bawah keteladanan pemerintahan
demokratis. Sebaliknya demokrasi masyarakat akan mendukung kehidupan
demokrasi, bila pemerintahan dapat memberikan keteladan demokratis.
Pemerintahan demokratis tidak akan terbentuk di suatu di negara, jika suatu
kehidupan para elit negara tidak memberikan keteladanan dan melaksanakan
prinsip-prinsip demokratis. Sudahkah para elit politik Indonesia membrikan
contoh perilaku demokrasi yang sehat, baik dan benar?
82
Kegiatan Belajar 2
Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Bentuk–Bentuk Demokrasi
A. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Prinsip-prinsip demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang
diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokrasi. Berdasarkan
nilai atau kondisi inilah pemerintahan demokrasi dapat ditegakkan. Nilai atau
prinsip demokrasi tersebut adalah kebebasan (kebebasan, kelompok,
berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama,
persaingan dan kepercayaan (Charmin,2003). Nilai tersebut menurut
Supriatnoko (2008) merupakan prinsip-prinsip umum demokrasi,yang
meliputi, kebebasan, pluralism, paham individual, kesetaraan, dan keadilan.
Menurut Robet A. Dahl (Srijanty,dkk,2008) prinsip demokrasi mencakup;
adanya kontrol terhadap kebijakan pemerintah; adanya pemilihan yang jujur;
diakuinya hak memilih dan dipilih; kebebasan menyatakan pendapat;
kebebasan mengakses informasi; serta kebebasan berserikat. Esensi pendapatpendapat tersebut pada hakekatnya terdapat kesamaan mendasar sebagai
prinsip demokrasi. Hakekat kesamaan tersebut akan diuraikan pada paparan
sebagai berikut:
1.
Kebebasan
Kebebasan adalah keleluasaan seseorang untuk berbuat atau untuk
tidak berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan sendiri. Kebebasan adalah
hak dan kemampuan seseorang untuk menentukan sendiri apa yang
menjadi pilihan sepanjang hak dan kemampuan seseorang tersebut tidak
berbenturan dengan hak orang lain. Bentuk-bentuk kebebasan itu, antara
lain:
a. Kebebasan Menyatakan Pendapat
Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat/bernegara yang wajib dijamin olaeh
83
undang-undang dalam sistem demokratis. Kebebasan ini senantiasa
diperlukan, karena warga negara dalam kehidupan demokratis juga
berkewajiban dan bertanggungjawab atas proses kehidupan itu
sendiri. Warga negara dapat menyampaikan usulan atau kritik kepada
pejabat negara, anggota perwakilan, atau pandangan terhadap sesuatu
yang baik, atau menurutnya dianggap baik. Dalam negara diktator,
kebebasan berpendapat pada umumnya sangat terbatas atau justru
dilarang, karena membahayakan kelangsungan eksistensi kekuasaan
sang ditaktor.
b. Kebebasan Berkelompok
Kebebasan berkelompok adalah kebebasan untuk berorganisasi
bagi setiap warga negara sebagai makhluk sosial. Kehidupan
berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak mungkin
diingkari. Dalam kehidupan kelompok manusia sebagai individu
berharap akan memperoleh kemudahan dalam hidupnya, serta
perlindungan kolektif dari kelompoknya. Pada kehidupan demokrasi
kelompok-kelompok
warga
dapat
memperjuangkan
keinginan
kelompoknya, termasuk membentuk partai politik sampai pada
tingkat kegiatan dalam lingkup nasional. Pemerintahan demokrasi
akan memberikan alternatif untuk memberikan kebebasan kelompok
bagi warga negaranya.
c. Kebebasan Berpartisipasi
Kebebasan
berpartisipasi
merupakan
kebebasan
untuk
berperanserta dalam suatu kegiatan. Kebebasan ini sebagai
perwujudan gabungan kebebasan berpendapat dan kebebasan
berkelompok. Pada negara berkembang atau negara otoriter ada
kecenderungan untuk mewujudkan kebebasan partisipasi secara
berlebihan. Misalnya dalam pemilihan umum, partisipasi warga
cenderung diarahkan, sehingga tingkat partisipasi jumlah pemilih
84
terdaftar begitu tinggi. Harapan yang tinggi terhadap partisipasi
pemilih merupakan bentuk propaganda bagi penguasa diktator,
bahwa pemerintahan diktator tersebut mendapat dukungan penuh dari
rakyatnya.
Dalam
kebebasan
partisipasi,
tidak
membenarkan
seseorang
memaksa orang lain melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak
dikehendakinya. Kebebasan partisipasi juga dapat diberikan kepada
warga negara dalam bentuk kontrol terhadap jalannya pemerintahan suatu
negara. Dalam negara diktator tidak mungkin terjadi hal seperti. Gejala
ini pernah terjadi di Indonesia, bahkan dalam menghadapi pemilihan
umum 2009, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sampai memberikan fatwa
haram bagi warga negara yang mempunyai hak pilih, tetapi tidak ikut
dalam pemilihan umum atau tidak memilih calon yang ada. Warga
negara tersebut popular dengan sebutan Golongan Putih (Golput). Suatu
fatwa yang perlu mendapatkan renungan bagi semua insan demokrasi di
Indonesia, semoga tidak lagi muncul fatwa-fatwa sejenis yang dapat
membingungkan umat Islam di Indonesia. Fatwa MUI tentang golput
masih terdapat pro dan kontra, dan kelompok pro dan kontra ini terjadi di
antara kalangan umat Islam sendiri.
2.
Kesetaraan Antar Warga atau Individu
Kesetaraan atau persamaan kedudukan (egalitarianisme) merupakan
nilai dasar demokrasi. Kesetaraan dalam demokrasi adalah bentuk
pengkuan terhadap pribadi manusia, bahwa manusia di dunia ini
mempunyai kedudukan harkat dan martabat yang sama, karena manusia
sama-sama sebagai umat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Kesadaran ini
sangat penting, karena dalam sejarah manusia, sering terjadi perilaku
individu maupun kelompok yang tidak bisa memahami keadaan sesama
manusia.
85
Banyak di antara manusia di dunia yang tidak mendapatkan haknya
secara baik dan benar, karena perilaku manusia yang lain, baik secara
individu maupun kelompok. Bahkan suatu bangsa yang menganggap
dirinya sebagai manusia unggul atau bangsa pilihan, sedang manusia
lainnya sebagai manusia budak dengan martabat rendah. Dalam pergaulan
internasional perjuangan menuju kesetaraan manusia, bukan proses yang
mudah dan cepat. Perjuangan ini berlangsung bertahun-tahun, bahkan
berabad-abad lamanya. Pengakuan internasional dengan Deklarasi Hak
Asasi Manusia, posisi kesetaraan sesama manusia diakui oleh sebagian
besar bangsa-bangsa di dunia pada abad 20, setelah dunia dilanda perang
besar yang dikenal dengan Perang Dunia Kedua.
Kehidupan demokrasi harus dapat menjamin kesetaraan antar sesama
manusia, termasuk hak-haknya dalam bernegara. Bagi bangsa Indonesia
yang heterogen, kesadaran terhadap kesetaraan sesama manusia atau
warga Indonesia sangat diperlukan. Bangsa Indonesia pernah mengalami
penderitaan di bawah penguasaan bangsa lain. Semua ini memberikan
pelajaran berharga terhadap kesadaran bagi bangsa Indonesia, untuk
menempatkan kedudukan manusia di dunia pada derajat, harkat dan
martabat manusia yang sama. Bangsa Indonesia senantiasa harus dapat
menghargai sesama manusia dengan prinsip saling menghargai dan dapat
berbuat serta berperilaku untuk memanusiakan manusia.
3.
Pluralistik
Pluralis berarti majemuk, tidak tunggal. Sesuatu yang sifatnya plural
memiliki ciri tidak sama. Pluralistik dalam kehidupan manusia dapat
bermakna bahwa manusia di dunia itu tidak sama, namun dengan
ketidaksamaan tersebut, faham pluralis memberikan intensitas yang sama
sebagaimana adanya. Eksistensi individu diakui apa adanya. Perbedaan
individu merupakan perbedaan yang melekat pada diri pribadi, diakui dan
dihormati. Realisasi perwujudan pruralistik tidak dapat dipisahkan dengan
86
prinsip atau nilai kesetaraan. Dalam pergaulan global, individu atau
kelompok, bangsa tidak mungkin menghindar dari kehidupan pluralis.
Indonesia yang heterogen telah menyadari kondisi pluralis bangsa
Indonesia, sehingga para pemimpin bangsa telah menetapkan Pancasila
sebagai ideologi berbangsa dan bernegara serta menetapkan Garuda
Pancasila sebagai lambang negara dan membuat slogan Bhinneka
Tunggal Ika. Slogan Bhineka Tunggal Ika adalah pengakuan keberadaan
di dalam bangsa dan negara yang mengakui adanya pluralistik dalam
kesatuan negara Indonesia. Pengakuan derajat, harkat dan martabat
bangsa Indonesia juga dirumuskan dalam alenia pertama pembukaan
UUD 1945, dan sila kedua Pancasila.
4.
Paham Individualisme
Kehidupan berdemokrasi tidak dapat dipisahkan dengan paham
individualisme, yakni paham yang memposisikan dan menjunjung tingi
individu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kepentingan individu atau pribadi menjadi acuan utama dalam hidup
seseorang, Karena manusia sebagai ciptaan Tuhan pada dasarnya baik,
hanya lingkungan masyarakat yang menjadikan individu tidak baik.
Sebagai makhluk Tuhan, paham individu mendasari HAM, pluralisme,
serta kesetaraan. Secara ekstrim, individu hanya dibatasi oleh kebebasan
individu yang lain, tidak dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan atau
negara.
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pada dasarnya demokrasi di
Indonesia mengakui hak individu,
tetapi bukan yang bersifat ekstrim
atau mutlak tanpa batas sama sekali. Karena hak individu yang
berhadapan dengan hak Tuhan (sila kesatu), individu yang lain (sila
kedua dan sila ketiga) dan negara (sila keempat dan kelima), yang
berkaitan dengan kepentingan umum. Hak individu dapat dipaksakan dan
diambil alih oleh negara, meski harus ada jalan musyawarah atau
87
perundingan antar pihak. Namun demikian apabila perundingan atau
musyawarah gagal, negara dapat memaksakan dengan ganti rugi sesuai
dengan peraturan perundang–undangan berlaku. Pembangunan untuk
kepentingan umum sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi
pelaksana kepentingan umum ialah:
a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api, saluran air minum, dan saluran
pembuangan air/sanitasi,
b. Waduk, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya,
c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan,
d. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal,
e. Peribadatan,
f. Pendidikan,dan sekolah,
g. Pasar umum,
h. Fasilitas pemakaman umum,
i. Fasilitas keselamatan umum,
j. Pos dan telekomunikasi,
k. Sarana olahraga,
l. Stasiun radio, televisi, dan sarana pendukungnya,
m. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, PBB,
dan atau lembaga internasional di bawah naungan PBB,
n. Fasilitas TNI dan Polri sesuai dengan tugas dan fungsinya,
o. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan,
p. Rumah susun sederhana,
q. Tempat pembuangan sampah,
r. Cagar alam dan cagar budaya,
s. Pertamanan,
t. Panti sosial,
u. Pembangkit, transmisi, distribusi listrik.
88
5.
Keadilan
Kebebasan, kesetaraan, dan plualisme, adalah satu realisasi bentuk
keadilan. Karenanya, kehidupan praktik demokraksi tidak dapat
dipisahkan dengan nilai keadilan pada umumnya. Keadilan dalam
demokrasi tidak terbatas pada keadilan immaterial sebagaimana telah
disebut, tetapi juga menyangkut keadilan material bagi sesama warga
masyarakat. Bagi bangsa Indonesia, nilai keadilan adalah prinsip yang
sangat mendasar, sebagaimana tercermin pada sila kedua dan kelima dari
Pancasila. Keadilan yang menjadi dambaan bangsa, sejak awal
perjuangan kemerdekaan, sampai saat ini keadilan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat masih dalam proses usaha.
Keadilan
adalah
dambaan ideal
yang telah diupayakan
dalam
perwujudannya sejak zaman Plato maupun Aristoteles.
B. Bentuk–Bentuk Demokrasi
Kesepahaman tentang konsep demokrasi sebagai kekuasaan pemerintahan
di tangan rakyat, pada tingkat implementasinya dalam kehidupan bernegara,
terdapat berbagai pola kehidupan demokrasi, sesuai dengan paham ideologi
atau paham yang dianut dan dikembangkan masing–masing negara. Selain
pembedaan bentuk demokrasi, sistem demokrasi juga dikembangkan
berdasarkan prinsip filosofi atau ideologi yang dianutnya. Misalnya demokrasi
liberal, dan demokrasi komunis.
1.
Demokrasi Liberal
Prinsip demokrasi liberal didasarkan pada filosofi kenegaraan, bahwa
manusia adalah makhluk individu yang bebas. Kehidupan manusia
sebagai individu yang bebas ini, banyak menimbulkan benturan, sehingga
menjadikan individu-individu dalam masyarakat membentuk persekutuan
hidup bersama. Misalnya bagaimana teori pemimpin masyarakat dalam
suatu Negara yang dikembangkan Thomas Hobbes, John Locke, maupun
89
Rousseau. Meski ketiga tokoh tersebut teori dasar dan terbentuknya
masyarakat sama, tetapi dalam konsep tanggung jawab pemimpin
terhadap rakyatnya berbeda. Perbedaan mendasar dari teori Hobbes dan
Rousseau terletak pada dapat tidaknya mandat yang diberikan ditarik lagi
oleh pemberi mandat. Menurut Hobbes, pemimpin yang mendapatkan
penyerahan mandat tidak dapat diganggu gugat dan tidak dapat ditarik
lagi mandatnya, karena pemimpin yang mendapat mandat harus diberikan
kekuasaan mengatur, dan untuk mengatur yang baik, tidak terikat dengan
pihak-pihak yang diatur. Teori Hobbes mendorong bentuk kekuasaan
yang absolut. Kondisi absolut inilah yang ditentang Rousseau, dan teori
Rousseau dianggap paling sesuai dengan konteks demokrasi sekarang,
yakni rakyat yang memilih pemimpin sebenarnya, dan tidak otomatis
kehilangan hak kedaulatannya. Karenanya, pemimpin rakyat yang
mendapatkan mandat untuk memimpin, dan kepemimpinannya tidak
sesuai lagi dengan kehendak rakyat sebagai pemberi mandat, maka rakyat
dapat mencabut mandatnya kembali.
Pada dasarnya paham pemikiran demokrasi liberal merupakan reaksi
dari tekanan kekuasaan absolut para raja di Eropa abad pertengahan.
Untuk mewujudkan keseimbangan kekuasaan absolut, rakyat perlu
kekuatan penyeimbang dalam bentuk perwakilan. Bentuk perwakilan ini
merupakan manifestasi perlindungan serta jaminan akan kebebasan
individu, yang akhirnya berkembang, bahwa kekuatan rakyat bukan
sekedar penyeimbang, tetapi kekuatan rakyat adalah kekuatan yang
menentukan, sehingga Negara tidak dibenarkan mencampuri urusan
pribadi warga negaranya tidak lagi relevan. Tugas Negara sebagaimana
teori Van Valenhoven yang mengembangkan trias politika menjadi catur
praja, yakni Negara tidak ubahnya penjaga malam (nachtwachtersstaat)
bagi warga negaranya, telah mengalami perubahan dan perkembangan
90
dimana Negara berhak campur tangan dalam mewujudkan kesejahteraan
rakyatnya (welfare state, social service state)
Dampak perkembangan faham liberalis-kapitalis dalam demokrasi
liberal adalah munculnya kekuatan individu pemilik modal yang yang
berhasil mempengaruhi dan memenangkan melalui proses pemilihan
umum. Akibatnya kekuasaan kapital sangat menguasai kehidupan
Negara. Keadaan ini terbukti pada era global seperti sekarang ini, kaum
kapitalis dunia mampu menjalankan kapitalnya tanpa terkendala pada
batas-batas Negara, seperti perusahaan-perusahan korporasi internasional,
Freeport, dan lain-lain. Dengan kelebihan modal, kaum kapitalis dapat
menekan kelompok pekerja dalam lingkungannya.
Kaum kapitalis yang pada awalnya mencari kesimbangan, karena
tekanan kaum feodal, dalam proses perkembangannya juga melakukan
penekanan pada kelompok lain dengan pola dan gaya yang berbeda.
Ketidakseimbangan kondisi inilah yang memunculkan reaksi pada
gerakan sosialis dan komunis. Bentuk nyata contoh keberhasilan
perjuangan kaum liberalis dalam pemerintahan Negara memunculkan
sistem
pemerintahan
parlementer
sebagaimana
di
Inggris,
serta
pemerintahan presidensial sebagaimana dipraktikkan di Amerika Serikat.
Sistem pemerintahan parlementer, pada dasarnya terjadi pemisahan
kekuasaan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Kepala Negara
dapat dijabat seorang Presiden, bila berbentuk Republik atau Raja, bila
negara bentuk kerajaan, sedangkan Kepala Pemerintahan dalam sistem
parlementer dipimpin oleh Perdana Menteri. Keberadaan Perdana Menteri
dan para Menteri sangat tergantung pada DPR, karena sewaktu-waktu
DPR dapat menyampaikan mosi tidak percaya, baik secara kelembagaan
atau seluruh anggota kabinet atau orang-perorang sebagai Menteri
Negara. Untuk pemerintahan presidensial, berlaku pada negara Republik,
yakni Presiden merangkap sebagai Kepala Negara dan Kepala
91
pemerintahan. Para menteri diangkat oleh Presiden. Kabinet di bawah
pimpinan Presiden dan tidak dapat dijatuhkan atau dibubarkan oleh DPR.
2.
Demokrasi Komunis
Ideologi komunis yang dikembangkan Marx memiliki pengaruh
cukup meluas dan berhasil diterapkan dalam praktik kenegaraan oleh
beberapa negara di dunia, bahkan Uni Soviet pernah menjadi kekuatan
besar dalam bersaing dan perang dingin dengan kelompok liberalis di
bawah koordinasi kepemimpinan Amerika Serikat. Pada era terkini,
nampaknya Cina dengan pemerintahan di bawah Partai Komunis menjadi
pengganti Uni Soviet, sebagai negara pengusung ideologi komunis ala
Cina telah berhasil menunjukkan dirinya sebagai kekuatan besar di dunia.
Bila dalam demokrasi kapitalis, kebebasan politik tercermin dalam
keberadaan partai politik penguasa dan oposisi, sehingga partai politik
pada demokrasi liberal sedikitnya ada dua partai. Dalam demokrasi
komunis hanya dibenarkan hidup satu partai, yaitu partai komunis, tidak
mengenal adanya partai penguasa dan partai oposisi, karena persaingan
pemimpin didasarkan pada kemampuan persaingan individu dalam
internal partai komunis.
Demokrasi komunis sebagai wujud perjuangan ideologi komunis, ada
dan tumbuh melalui gerakan revolusioner, berada pada kondisi era
posliberalis. Dalam ideologi komunis, tidak akan ada toleransi terhadap
praktik-praktik liberal, termasuk sistem demokrasi dengan multipartai.
Pada era transisi kekuasaan liberal ke arah komunis, telah ditetapkan
seorang yang kuat dengan segala bentuk kekuasaan yang mutlak dengan
kewenangan penuh sebagai diktator proletariat, sehingga tidak relevan
lagi dalam kehidupan demokrasi komunis akan jaminan kebebasan
individu dalam kehidupan praktik demokrasi sebagaimana pada ideologi
dan demokrasi liberal. Pemimpin partai dengan para elitnya menentukan
92
pemimpin untuk menjalankan politik partainya, guna mewujudkan citacita dalam Negara komunis.
3.
Demokrasi dan Islam
Banyak kalangan Muslim mengatakan bahwa Islam dan demokrasi
adalah serasi, cocok (compatible), tetapi bagaimana keduanya bisa
compatible ? Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan demokrasi itu ?
Bagaimana demokrasi demokrasi bekerja dalam konteks Islam? Bentuk
demokrasi yang mana yang lebih diutamakan (preferable) ? Adalah
pertanyaan-pertanyaan yang dikumandang oleh Bernard Lewis (2002)
ketika membahas Islam, Liberalisme dan Demokrasi.
Bagi sebagian kalangan, ada persoalan antara Islam dan demokrasi.
Dari sekedar persoalan pengalaman demokrasi Islam yang terbatas hingga
persoalan serius menyangkut ketidakcocokan (incompatibility) Islam dan
demokrasi. Secara sederhana ada tiga kecendrungan besar mengenai pola
hubungan Islam dan demokrasi (Bernard Lewis, 2002), yaitu :
a. Islam dan demokrasi dipandang sebagai dua sistem politik yang
berbeda. Sebagai sistem politik, Islam tidak dapat disubordinasikan
kepada demokrasi.
b. Islam berbeda dengan demokrasi, apabila demokrasi dipahami secara
prosedural sebagaimana dipraktekkan di Barat. Tetapi Islam dapat
dianggap sebagai sistem politik demokratis, jika demokrasi dipahami
secara substantif.
c. Islam dipandang sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap
demokrasi yang didefinisikan secara prosedural dan dipraktekkan di
Barat. Kendati demikian, pandangan ini belum begitu mengkristal
dalam masyarakat Muslim, dan karenanya rezim demokrasi masih
menjadi fenomena yang jarang ditemui.
Menurut Bernard Lewis (2002) apapun alasannya, persoalanpersoalan yang mengganjal dalam hubungan Islam dan demokrasi harus
93
diselesaikan, sehingga dihasilkan pemahaman komprehensif yang
memungkinkan relasi Islam-demokrasi menyatu dalam format yang ideal.
Dalam upaya untuk menemukan suatu basis ideologis yang diterima oleh
semua kalangan di dunia Islam, para pemikir dari kalangan Islam maupun
sekular dari masyarakat Muslim, mulai merambah misi baru untuk
merekonsiliasi perbedaan-perbedaan antara berbagai kelompok politik.
Seiring dengan intensitas kajian tentang hubungan Islam dan demokrasi,
persoalannya kini mulai bergeser, bukan lagi menyangkut kompatibilitas
Islam dengan demokrasi, melainkan bagaimana demokrasi dapat built-in
dalam tradisi kaum Muslim, baik secara paradigmatik, etik maupun
epistemologi. Upaya ke arah itu merupakan tugas besar yang tak
terelakkan, agar Islam dapat bergumul dalam kehidupan modern.
Walaupun upaya merumuskan sintesis yang memungkinkan dalam
rekonsiliasi Islam-demokrasi sangat menantang, ternyata suara-suara
yang mengalunkan irama keharmonisan kian menggema jauh ke jantung
Islam dan Barat. Sebagaimana demokrasi tidak selalu dipahami secara
tunggal, Islam juga bukanlah tafsir yang monolitik. Karena itu, selalu ada
titik temu yang memungkinkan keduanya berhubungan secara dialektis.
Dengan kata lain, jika dikatakan bahwa Islam, tidak sesuai dengan
demokrasi, maka perlu dipertanyakan "Islam yang mana dan dengan
demokrasi apa?", atau jika demokrasi tidak Islami, pertanyaannya adalah
" Demokrasi yang mana dan dengan Islam apa?"
Pembahasan tentang format ideal Islam-demokrasi menjadi lebih
urgen di abad ke 21 ini. Karena kebangkitan agama dan demokratisasi
merupakan fenomena paling monumental di era globalisasi ini. Di
berbagai wilayah di dunia, gerakan-gerakan kebangkitan agama berjalan
seiring dan terkadang memperkuat sistem politik yang lebih demokratis.
Sementara di wilayah-wilayah lain, kedua dinamika itu saling
berlawanan. Di dunia Islam, isu-isu tersebut muncul ke permukaan secara
94
istimewa,
disebabkan
adanya
kekuatan
kebangkitan
Islam
dan
menguatnya tuntutan terhadap partisipai rakyat yang lebih besar dalam
proses politik pada tahun-tahun belakangan ini.
Bagaimanapun keanekaragaman pemahaman dan penggunaan konsep
demokrasi itu, tuntutan terhadap demokratisasi, partisipasi politik, dan
demokrasi Islam menunjukkannya diterimanya demokrasi di banyak
masyarakat Muslim kontemporer. Sementara sebagian orang masih tetap
yaknin bahwa demokrasi itu "tidak Islami" atau anti-Islam, atau bahwa ia
semata upaya Barat dalam era pasca Perang Dingin, untuk meraih
hegemoni ideologi dan politik, banyak pula kalangan Muslim yang
menjadikan dukungan pada demokrasi sebagai perangkat uji bagi
kredibiitas atau legitimasi rezim dan bagi partai politik serta oposisi.
95
Kegiatan Belajar 3
Perkembangan Demokrasi di Indonesia, Pemilihan Umum dan
Pembangunan Masyarakat Demokrasi
A. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Konsepsi demokrasi modern di Indonesia menurut Mahfud, MD (2000)
baru dikumandangkan awal tahun 1918 oleh HOS Cokroaminoto, di depan
Volksraad. Pada waktu itu Cokroaminoto mengajukan mosi tentang
pembentukan parlemen di negeri jajahan Hindia Belanda. Pada awalnya
demokrasi bangsa Indonesia adalah demokrasi tradisional yang berdasar
pada kelompok-kelompok dari marga (Batak), atau kehidupan kelompokkelompok masyarakat yang bersifat patron.
Kehidupan
demokrasi
tradisional
tersebut
tergoncang
dengan
kehadiran agama Hindu dan munculnya kerajaan-kerajaan Hindu, dengan
pengelompokkan kasta-kasta yang dianut dalam strata agama Hindu.
Kehidupan demokrasi mulai mengalami revitalisasi dan reaktualisasi dengan
berkembangnya pengaruh agama Islam. Agama Islam yang membawa
kesamaan derajat manusia di hadapan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, dan
memberikan nuansa demokrasi yang lebih kondusif. Kesamaan derajat
manusia inilah yang membawa perubahan besar dan menghidupkan kembali
prinsip kerakyatan tradisonal.
Perjuangan masyarakat Indonesia sebelum merdeka ke arah demokrasi
ditandai dengan berdirinya Budi Utomo, Organisasi-organisasi Politik,
Organisasi-organisasi Sosial Kepemudaan, serta Perhimpunan Pelajar
Indonesia sampai pada pelaksanaan Sumpah Pemuda. Nilai-nilai demokrasi
mulai tersosialisasi, bahkan pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno dalam
pidato di depan BPUPKI, yang memberikan konsep dasar negara, juga
menyinggung konsep geopolitik Indonesia, yang menggambarkan konsep
demokrasi kaitannya antara ruang, negara dan rakyat. Semua ini menandai
96
awal dan proses kehidupan demokrasi Indonesia modern yang dimulai awal
abad 20 (Mahfud MD., 2000). Nilai demokrasi seperti kebebasan
(berpendapat, berelompok, berpartisipasi), menghormati hak orang lain,
kesetaraan,
kerjasama,
persaingan,
dan
kepercayaan,
sesungguhnya
merupakan nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang
demokratis.
Berdasarkan
nilai-nilai
demokrasi
yang
ada,
sebuah
pemerintahan demokrasi dapat ditegakkan, sebaliknya tanpa adanya nilainilai demokrasi dalam negara, maka pemerintahan negara yang demokratis
tersebut sulit ditegakkan.
1. Demokrasi Liberal di Awal Proklamasi
Awal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Indonesia
masih disibukkan untuk menata negara yang baru berdiri, pada sisi lain
bangsa Indonesia harus berjuang mempertahankan kemerdekaan dari
penjajah Belanda yang masih ingin berkuasa lagi di Indonesia. Sistem
pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945 Proklamasi mengacu pada
sistem presidensial, hanya bertahan beberapa bulan dan berubah menjadi
sistem parlementer sebagai lambang demokrasi liberal yang banyak
dianut Negara-negara Eropa. Perubahan sistem presidensial ke parlemen
mulai tanggal 14 Nopember 1945. Perubahan ini atas inisiatif Sutan
Syahrir, sebagai tinak lanjut Maklumat Wakil Presiden 16 Oktober 1945,
karena menanggapi propaganda Belanda bahwa Indonesia adalah Negara
bentukan Jepang yang tidak sah, karena Jepang telah menyerah tanggal
14 Agustus 1945, dan Indonesia bentukan Jepang adalah Negara diktator
yang tidak sesuai dengan perkembangan negara kerakyatan atau
demokrasi. Hal ini terbukti, karena tidak adanya kekuasaan legislatif
maupun
Mahkamah
Agung
sebagai
lembaga
peradilan/lembaga
kehakiman, karena lembaga tersebut dirangkap Presiden, meskipun itu
bersifat darurat, sebab lembaga yang tetap belum terbentuk. Untuk
menanggapi propaganda Belanda yang dapat menyudutkan Indonesia,
97
Wakil Presiden Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden
Nomor. X Tahun 1945 yang isinya adalah: Mengubah kedudukan dan
fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berdasarkan Aturan
Peralihan pasal 4 berkedudukan sebagai Pembantu Presiden menjadi
sebuah lembaga Pembuat Undang-Undang bersama-sama Presiden, dan
berfungsi sebagai Lembaga yang menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, KNIP tidak
lagi sekedar Pembantu Pesiden, tetapi KNIP berubah status yang
berkedudukan sebagai DPR dan MPR sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945 Proklamasi.
Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember
1945, sistem Pemerintahan Indonesia berubah dari presidensial menjadi
sistem parlementer, dengan Perdana Menteri pertamanya adalah Sutan
Syahrir. Meski dalam sistem perundang-undangan kita tidak pernah
menye but adanya Maklumat, namun dalam kondisi perjuangan yang
serba darurat, sebagai generasi penerus kita perlu menghargai niat baik
perjuangan para pemimpin kemerdekaan yang tidak punya kesempatan
berpikir lama dan harus segera mengambil keputusan karena kondisi
serba darurat. Kita tidak boleh dengan semena-mena menganggap
tindakan tersebut dianggap inkonstitusional, karena tindakan tersebut
tidak terdapat niat untuk keuntungan pribadi maupun kelompok, tetapi
semata-mata untuk tetap tegaknya Negara Proklamasi. Adanya pendapat
yang menganggap bahwa tindakan tersebut inkonstitusional adalah
pernyataan egois yang tidak memahami kondisi, dan hanya untuk
kepentingan popularitas pribadi yang egois, mabuk kehormatan dan haus
kekuasaan.
Penegasan ini ditekankan, karena pada masa Orde Baru, pergeseran
ini dianggap sebagai penyelewengan konstitusional. Kita perlu menyadari
sebagai orang yang beragama, bahwa perbuatan seseorang tergantung
98
pada niatnya. Jadi bila kita tahu, niat pemimpin tujuannya baik harus
didukung, tetapi meskipun kebijakan pemimpin didasarkan pada undangundang, tetapi undang-undang itu ternyata dibuat untuk kepentingan
kelompok
tertentu,
kebijakan
yang
berdasarkan
undang-undang
sebenarnya perbuatan pembenaran belaka, karena undang-undang dibuat
untuk pembenaran kelompoknya. Semua itu terbukti Demokrasi Liberal
dengan sistem parlementer berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit 5 Juli
1959, dan sistem presidensial masih dipertahankan sampai sekarang.
2. Demokrasi Terpimpin
Di awal kemerdekaan, Mahfud MD. (2000) menyebut sebagai
pemikiran demokrasi Sukarno–Hatta, yang kemudian diupayakan lagi
setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak mempersiapkan Proklamasi,
Sukarno-Hatta yang berorientasi pada pluralistik dan cenderung
memisahkan negara dengan agama, tidak berarti negara, tidak
membolehkan agama masuk dalam konsep-konsep kenegaraan Indonesia.
Negara akan memberikan jaminan penganut agama, untuk tidak menutup
kemungkinan konsep agama masuk dalam perundingan Negara
sebagaimana dikutip Mahfud.MD (2000) yang mengutip pernyataan Bung
Karno ”…rakyatnya dapat memasukkan segala paham keagamaannya ke
dalam tiap-tiap tindakan Negara, ke dalam tiap-tiap undang-undang yang
dipakai dalam Negara, ke dalam tiap-tiap politik yang diadakan oleh
Negara, walaupun di situ agama dipisahkan dari Negara…”Agar sebagian
besar dari anggota parlemen politiknya politik Islam, maka tidak akan
dapat berjalanlah satu usul juapun yang tidak bersifat Islam”. Pada
kutipan lain dilanjutkan “…Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat
yang sebagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini
agama yang hidup berkobar-kobar di kalangan rakyat, marilah kita
pemimpin-pemimpin menggerakan segenap rakyat agar menggerakkan
sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini….
99
Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam
peraturan-peraturan Negara Indonesia memuat Injil, bekerjalah matimatian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk
Badan Perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil- fair play”.
Meskipun Sukarno mengutip kebebasan pluralistik ala Barat,
Sukarno tidak tertarik penerapan demokrasi demokrasi Barat di bidang
sosial ekonomi, karena Negara hanya bertindak sebagai penjaga malam.
Sukarno ingin mewujudkan faham welfare state, yaitu Negara berperan
aktif untuk membangun kesejahteraan sosial. Sukarno berusaha
membangun dua konsep yang berbeda, yang dalam praktiknya
menjadikan demokrasi terpimpin yang akhirnya menjurus pada otoriter.
Demokrasi
terpimpin
adalah
konsep
Presiden
Sukarno
untuk
menggantikan praktik demokrasi liberal parlementer di bawah UUDS
tahun 1950. Praktik demokrasi liberal tersebut, ternyata menjadikan
Pemerintahan Negara Indonesia tidak stabil, karena sering terjadi mosi
tidak percaya dari DPR terhadap pemerintah. Jatuh bangunnya
Pemerintahan Indonesia dalam waktu yang relatif singkat, Pemerintah
yang berkuasa tidak mampu melaksanakan pembangunan secara baik,
dengan masa periodisasi pemerintahan yang dilaksanakan terlalu singkat,
tidak terdapat partai mayoritas yang menguasai parlemen. Pada sisi lain,
tidak ada koalisi yang kuat, karena praktik politik dagang sapi yang
berorientasi pada kepentingan kelompok atau partai. Misalnya terdapat
pemerintahan yang periode kekuasaannya tidak sampai satu tahun, seperti
pada masa pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Kondisi
seperti ini jelas tidak menguntungkan jalannya pemerintahan Indonesia
yang baru merdeka, yang memerlukan stabilitas politik dalam
membangun bangsa dan Negara.
Keadaan yang tidak menguntungkan ini mendorong Presiden sukarno
berinisiatif, memberikan masukkan kepada Konstituante sebagai lembaga
100
yang bertugas membuat dan menetapkan UUD, agar bangsa Indonesia
kembali kepada dasar Negara proklamasi yang sekarang dikenal sebagai
UUD 1945. Tawaran Presiden Sukarno diterima baik oleh Konstituante,
namun tanggapan tawaran tersebut terbagi dalam dua kelompok, yaitu
kelompok yang menghendaki berlakunya kembali UUD 1945 tanpa
perubahan apapun, satu kelompok lainnya diberlakukan kembali dengan
beberapa perubahan. Perbedaan dua kelompok ini tidak pernah mendapat
kesepakatan mayoritas dalam Konstituante, bahkan ada beberapa anggota
Konstituante yang mengancam tidak akan hadir dalam penentuan dan
penetapan UUD baru guna menggantikan UUDS, sehingga kondisi ini
dianggap sebagai situasi yang membahayakan kepentingan nasional,
karena tidak segera terwujud UUD yang baru untuk menggantikan
UUDS. Keadaan inilah mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan
dekrit yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945, Presiden Sukarno tidak sekedar
kepala Negara tetapi merangkap sebagai Kepala Pemerintahan.
Konsep Demokrasi Terpimpin yang mengacu pada sila keempat
Pancasila, disampaikan Presiden Sukarno pada Sidang Konstituante
tanggal 22 April 1959, dengan pokok-pokok pemikiran Demokrasi
Terpimpin adalah:
a. Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator,
b. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi
yang cocok dengan
kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia, yaitu kekeluargaan dan
gotong royong,
c. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan
kemasyarakatan yang meliputi bidang politik, sosial dan ekonomi,
d. Inti pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah permusyawaratan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, serta
101
e. Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang
membangun diharuskan dalam Demokrasi Terpimpin.
Ide Presiden Sukarno tersebut akhirnya disepakati oleh MPRS,
kemudian dituangkan dalam ketetapan MPRS No. VIII/MPRS 1965, yang
mengatur tentang Prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi
Terpimpin. Menurut Demokrasi Terpimpin inti dari permusyawaratan
adalah musyawarah untuk mufakat, bilamana tidak tercapai, maka
musyawarah akan ditempuh salah satu jalan di antaranya adalah:
a. Persoalan diserahkan kepada pemimpin untuk mengambil kebijakan
dengan memperhatikan pendapat yang bertentangan,
b. Persoalannya ditangguhkan,
c. Persoalannya ditiadakan sama sekali.
Dalam praktik Demokrasi Terpimpin, peran Presiden sebagai
pemimpin nasional sangat dominan. Dengan kekuasaan yang ada, ide-ide
Presiden dalam pidato kenegaraan menjadi landasan kebijakan Negara
sebagai Garis Besar Haluan Negara. Kondisi inilah menjadian Presiden
Sukarno mampu mengendalikan sistem kenegaraan, dan Lembaga Negara
lainnya termasuk MPRS yang kedudukan formalnya berdasarkan hukum
positif saat itu berada di atas Presiden. Munculnya pengangkatan Presiden
Sukarno seumur hidup adalah kuatnya pengaruh Presiden dalam lembaga
MPRS.
3. Demokrasi Pancasila
Pada esensinya Demokrasi Pancasila adalah berasal dari pemikiran
politik Soekarno, yang kemudian dituangkan ke dalam UUD 1945
Proklamasi. Amat sulit kiranya untuk menolak andil pemikiran Soekarno
terhadap Pancasila dan sistem demokrasi yang memakai predikat
Pancasila adalah amat besar. Oleh karena itu, kejujuran sejarah kiranya
tidak mungkin bisa membenarkan penghapusan pengaruh dominan
pemikiran Soekarno dalam Demokrasi Pancasila (Alfian, 1981).
102
Secara teoritis kerangka pemikiran yang melandasi Demokrasi
Pancasila
ialah
membangun
sistem
politik
Indonesia
di
atas
keseimbangan yang wajar antara konsensus dan konflik. Namun menurut
Alfian (1981), pola tingkah laku politik masyarakat selama ini
menunjukkan dua sikap ekstrim yang bisa membahayakan, yaitu :
a. Kecendrungan untuk memiliki kebebasan tanpa batas, yang mudah
meningkatkan kadar politik menjadi tinggi dan berlarut-larut,
sehingga masyarakat tetap terpecah-pecah dalam kotak-kotak ikatan
subnasional dan primordial,
b. Kecendrungan untuk mematikan sama sekali konflik (kritik atau
perbedaan pendapaat) yang menjurus kepada sikap dan tingkah laku
diktator.
Demokrasi Pancasila sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar
1945 baik Proklamasi maupun Amandemen esensinya mengakui bahwa
kedaulatan atau kekuasaan berada di tangan rakyat, yang menghendaki
agar masyarakat Indonesia yang majemuk dapat mengemukakan aspirasi
dan keinginannya secara jujur dan murni. Persoalannya bagaimana
mengaturnya? Demikian pula secara ideal dan teoritis Demokrasi
Pancasila menghendaki antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
terwujud keseimbangan (check and balance), bagaimana mengusahakan
agar tingkah laku politik penguasa dan masyarakat dapat mendekati pola
"check and balance" yang proporsional, antara konsensus dan konflik,
atau di antara kecendrungan perilaku politik, kebebasan tanpa batas, atau
mematikan sama sekali konflik ?
Tampilnya Orde Baru di pentas politik Indonesia telah menggeser
kehidupan politik dari titik ekstrim otoriter ke sistem demokrasi Orde
Baru. Sebagai ganti sistem Demokrasi Terpimpin, ditetapkan Demokrasi
Pancasila, meski sumber demokrasi dimaksud tetap sama yakni sila
keempat
dari
Pancasila.
Konsep
Demokrasi
Pancasila
tetap
103
mengutamakan musyawarah mufakat, tetapi pemimpin tidak diberikan
hak untuk mengambil keputusan sendiri, dalam hal musyawarah tidak
mencapai
mufakat.
Sebagaimana
konsep
Demokrasi
Terpimpin,
Demokrasi Pancasila juga mendasarkan pada demokrasi berdasarkan
kekeluargaan dan gotong royong, yang ditujukan kepada kesejahteraan
rakyat, yang mengandung:
a.
Unsur-unsur kesadaran religious dan menolak atheism,
b.
Kebenaran, kecintaan, landasan budi pekerti luhur dan kepribadian
Indonesia,
c.
Keseimbangan dalam arti keseimbangan antara individu dan
masyarakat.
Penetapan Demokrasi Pancasila diatur dalam Tap MPRS No.
XXXVII/MPRS/1968, yakni bila mufakat tidak dapat dilakukan, maka
akan dilakukan voting (pemungutan suara, sesuai dengan pasal 6 ayat 2
UUD 1945. Ketetapan ini juga dicabut dengan Tap No.V/MPR/1973
bersama produk MPR lainnya yang dianggap tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, atau karena materinya sudah diatur oleh
ketetapan lain.
Awal Orde Baru sebagai konsep demokrasi lebih berlanggam liberal
di bidang politik, dan berusaha memberikan kepuasan kerakyatan di
bidang ekonomi. Langkah awal ini dapat diambil, karena Orde baru perlu
langkah legitimasi, dengan membuat antitesa sistem yang terjadi pada
Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Orde Baru setelah mendapatkan
legitimasi, dalam perjalanannya mengarah pada pola organis, yang
muncul sebagai kekuasaan Negara yang kuat dan mengatasi segala
kekuatan yang ada dalam masyarakat, termasuk kelembagaan Negara.
Pada perkembangannya, Orde Baru yang awalnya mengkritik
kekuasaan otoriter Sukarno, dalam praktiknya juga terjebak dalam
kondisi yang sama, yakni Suharto berhasil mengkondisikan kekuasaaanya
104
untuk mengontrol kekuasaan lain dan menempatkan kekuasaan Presiden
menjadi sangat dominan dalam penetapan kebijakan politik kenegaraan.
Format baru seperti kesatuan dan persatuan harus dijaga, apapun dampak
dan berapapun biaya, serta stabilitas politik merupakan prasyarat usahausaha lain, termasuk pembangunan ekonomi terus dipetahankan. Strategi
Orde baru tersebut menurut pandangan Mahfud MD (2000) adalah:
a. Orientasi program, dengan slogan pembangunan Yes, politik No.
b. Pergumulan menjelang Pemilu, bagaimana memperoleh suara
mayoritas dalam mengamankan komitmen Orde Baru
c. Pengangkatan anggota DPR
d. Penggarapan partai dan penguatan Golkar, termasuk penyederhanaan
sistem kepartaian, dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya azas.
Upaya Orde Baru cukup berhasil membangun birokratik otoritarian,
atau hegemonik birokratik yang menurut Mohtar Mas’oed (Mahfud MD,
2000) bercirikan:
a. Pemerintah dipimpin oleh militer sebagai lembaga yang bekerja sama
dengan teknorat sipil,
b. Pemerintah didukung oleh pemilik modal domestik yang bersamasama Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat internasional,
c. Pendekatan kebijakan didominasi oleh pendekatan teknokratik dan
menjauhi proses bargaining yang panjang antara kelompokkelompok kepentingan,
d. Masa dimobilisasi, termasuk dalam pemilu,
e. Pemerintah menggunakan tindakan represif untuk mengontrol oposisi.
Meskipun Orde Baru mampu bertahan sampai tiga dasawarsa, namun
pelaksanaan Demokrasi Pancasila hanya terbatas pada retorika, dan hanya
menguntungkan kelompok penguasa dan kroni-kroninya. Usaha monopoli
terselubung dibalut dengan usaha tata niaga yang memberikan hak kepada
pengusaha tertentu dalam usahanya, termasuk kepada yang dekat dengan
105
lingkungan istana Orde Baru. Banyaknya gagasan yang ada, tidak pernah
sampai pada tataran pelaksanaan. Orde Baru yang pada awalnya
mendapat dukungan mayoritas mengalami krisis kepercayaan. Dalam
perkembangan pemerintahan, akhir masa pemerintah penguasa Orde Baru
tidak memberikan ruang gerak bagi kehidupan demokrasi. Menurut M.
Rusli Karim (1998), Orde Baru ditandai oleh:
a. Dominannya peranan ABRI,
b. Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik,
c. Penggebirian peran dan fungsi partai politik,
d. Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan
publik,
e. Masa mengambang,
f. Monolitasi Ideologi Negara,
g. Inkorporasi lembaga nonpemerintah.
Praktik kenegaraan yang terjadi antara tatanan konsep yang berbeda
dengan pelaksanaan praktik kenegaraan pada masa Orde Baru
mengkristal dan berakhir bersamaan dengan adanya krisis multidimensi di
Indonesia tahun 1998. Ini semua menjadi pelajaran bagi kita bangsa
Indonesia, betapapun percaya diri yang kuat yang tidak didasarkan pada
hukum yang adil dalam kekuasaan yang hanya mementingkan diri dan
kelompoknya, dan melakukan represi pada kelompok lain yang dianggap
kelompok penghalang, dengan berbagai dalih mengganggu stabilitas,
merongrong wibawa pemerintah, padahal semua diciptakan untuk
kelesatrian kekuasaan pribadi atau kelompok, seperti permainan,
pemerintahan diktator pada akhirnya akan tumbang oleh kekuatan
demokrasi rakyat. Siapa menduga bahwa tahun 1998 kekuasaan
mayoritas Orde Baru yang baru memenangkan pemilu tahun 1997,
tumbang sebagaimana Orde Baru menumbangkan Orde Lama tahun
1966. Sekali lagi ini suatu pelajaran berharga yang patut direnungkan
106
oleh pemimpin dan para generasi penerus bangsa, semoga permainan
pembenaran untuk kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan
umum tidak lagi terjadi.
4. Demokrasi Era Reformasi
Akhir Orde Baru ditandai dengan tekanan kekuatan reformasi dan
pengunduran diri Presiden Suharto pada bulan Mei 1998. Bila demokrasi
di Indonesia pernah dikenalkan dengan label Demokrasi Terpimpin dan
Demokrasi Pancasilam maka sampai saat ini kita tidak lagi mendapatkan
label tentang pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Beberapa perubahan
mendasar dalam praktik kenegaraan di era reformasi adalah terjadinya
amandemen UUD 1945 yang telah berjalan empat kali, yang pada masa
Orde Baru perubahan ini sangat disakralkan sebagaimana telah dibahas
adanya ketentuan referendum, juga berdampak pada berbagai perubahan
dalam praktik politik kenegaraan Indonesia, seperti:
a. Perubahan keanggotaan MPR
Anggota MPR sebelum amandemen terdiri dari anggota DPR
ditambah dengan Utusan Daerah dan golongan-golongan, dan ada
sebagian anggota MPR maupun DPR yang diangkat, meskipun
dibenarkan oleh undang-undang Pemilihan Umum saat itu. Dari
kondisi ini terlihat ada upaya terstruktur menguntungkan golongan
tertentu dengan mencari pembenaran melalui undang-undang.
b. Tidak lagi anggota DPR dan MPR yang diangkat
Bedjo (1976), telah memberikan wacana perlunya semua anggota
perwakilan dan permusyawaratan dipilih langsung, bila kondisinya
seperti saat itu (1976), sebaiknya Undang-Undang Pemilihan Umum
diubah
namanya
menjadi
Undang-Undang
pemilihan
dan
Pengangkatan MPR, DPR dan DPRD. Setelah amandemen anggota
MPR hanya terdiri dari dari DPR dan DPD yang semuanya dipilih
melalui pemilihan umum, tidak lagi ada anggota MPR yang diangkat
107
sebagaimana masa Orde Baru. Terdapat ketidakadilan dalam
pelaksanaan pemilihan umum masa Orde Baru, seperti Golkar sebagai
peserta pemilihan umum mendapatkan tambahan wakil yang diangkat
dalam anggota DPR, sedang partai yang lain tidak mendapatkan
tambahan kursi sebagaimana diperoleh Golkar.
c. Penetapan Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR,
demikian juga Kepala Daerah dan Wakilnya tidak lagi dipilih oleh
DPRD, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Pemilihan umum yang memilih Presiden secara langsung pertama
dilaksanakan tahun 2004, dengan presiden terpilih adalah Susilo
Bambang Yudhoyono dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
d. Pembatasan masa kekuasaan Presiden
Sebelum amandemen tidak pernah ada masa pembatasan periode
masa jabatan Presiden, karena UUD 1945 hanya mengatur masa
jabatan Presiden lima tahun dan sesudahnya dapat dipilh kembali.
Inilah keluwesan UUD 1945, yang dapat ditafsirkan benar menurut
penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya. Masa Orde Lama,
banyak anggota MPRS berkeyakinan Bung Karno akan selalu terpilih
sebagai Presiden bila diadakan pemilihan presiden, maka akhirnya
ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup. Masa Orde Baru Presiden
Suharto selalu terpilh dalam enam periode, meski periode terakhir
harus lengser, karena tekanan rakyat yang sudah jenuh dengan
permainan politik Orde Baru. Untuk menghindari terulangnya kembali
kekuasaan Kepala Negara yang tidak terbatasi, maka periodisasinya
dibatasi menjadi dua periode. Demikian juga untuk menghindarkan
terulangnya kembali kekuasaan Kepala Negara yang sangat dominan
dalam keputusan politik kenegaraan, maka kekuasaan Presiden dalam
108
pemerintahan Negara beberapa kebijakan Presiden dalam era reformasi
harus memperhatikan suara DPR atau persetujuan DPR. Terhadap
praktik kenegaraan bahwa dalam banyak hal Presiden harus
berkonsultasi atau harus mendapat persetujuan DPR, maka sering
terjadi perdebatan politik kenegaraan Indonesia lebih dekat pada
praktik demokrasi parlementer.
e. Jaminan hak warga Negara dalam bidang politik lebih terakomodir,
era reformasi memunculkan kehidupan multipartai yang menjurus
pada euforia demokrasi. Satu sisi memberikan kelonggaran
berpolitik, pada sisi lain muncul euforia dan anarkisme yang
berlebihan dan kurang bertanggungjawab. Kebebasan mendirikan
partai politik, lebih terbuka, bahkan kebebasan politik yang bersifat
individual dalam memperebutkan jabatan politik lembaga eksekutif
telah menjadi wacana.
Suatu kebebasan yang perlu mendapat perhatian bersama adalah
kecenderungan warga berbuat anarkhis, atas nama demokrasi. Kebebasan
menjadi legitimasi kehidupan demokrasi yang ambisius. Kasus demo
warga dengan korban meninggal dunia Ketua DPRD di Sumatra Utara
tahun 2009, adalah benuk anarkis dampak euforia demokrasi. Kita pernah
mengecam dan mengkritik tindakan sewenang-wenang aparat Negara,
tetapi kenyataannya tindakan atas nama rakyat, justru membawa korban
wakil rakyat. Ironis memang, tapi itulah salah satu bentuk perilaku bangsa
Indonesia pada era reformasi yang perlu mnedapat perhatian semua pihak.
Banyaknya wakil rakyat di DPR yang terlibat KKN menambah daftar
panjang tindak penyimpangan dan euphoria di era reformasi, meski pada
satu sisi pemberantasan korupsi termasuk program prioritas era Presiden
Susilo bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sisi lain dari perjalanan demokrasi era Reformasi adalah muncul
gejala bahwa demokrasi justru melayani the tirani of minority. Tirani ini
109
menyusup lewat pintu belakang prosedur demokrasi, menguasainya dan
mengambil alih perangkat-perangkat demokrasi. Penelitian Demos (Fisip
UI, 2008) telah memperlihatkan bagaimana di dalam politik lokal,
demokrasi "dibajak" oleh kekuatan-kekuatan oligarikis melalui kekuatan
penetrasi modal. Kondisi ini menimbulkan keresahan terhadap sosok
ideal demokrasi, karena demokrasi di era Reformasi telah dikontaminasi
dan dibajak oleh "tirani modal", baik oleh kekuatan globalisasi maupun
kaum oligarki politik lokal. Keduanya bekerjasama melalui kekuatan
hukum pasar menyikirkan masyarakat dan rakyat ke tepian marginal kue
ekonomi
bangsa. Kondisi
inilah
yang menghasilkan reproduksi
kekerasan, kemiskinan, kemelaratan pendidikan dan kesehatan, dan yang
mnyangkut hajat hidup orang banyak.
B.Demokrasi dan Pemilihan Umum
Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi dalam mewujudkan hak
warga Negara atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Sebagian
besar Negara di dunia melaksanakan pemilihan umum guna memilih wakil
rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan,baik atas nama wakil rakyat
atau atas nama wakil daerah. Pemilihan umum juga dilaksanakan untuk
memilih kepala pemerintahan pada Negara dengan sistem Parlementer, tetapi
juga memilih kepala Negara dan merangkap kepala pemerinahan pada sistem
presidensial.
1. Pemilihan Umum di Indonesia
Sistem pemilihan umum yang banyak diselenggarakan dalam praktik
kenegaraan secara garis besarnya dapat dibedakan berdasar cara pemilihan
dan perwakilan yang dipilih.
a. Sistem pemilihan dilihat dari cara pemilihan:
110
Berdasarkan cara bagaimana pemilihan umum dalam menentukan
wakil-wakilnya dibedakan menjadi pemilihan langsung dan pemilihan
tidak langsung;
1) Pemilihan langsung adalah pemilihan yang dilakukan untuk
memilih wakil rakyat, yaitu pemilih akan memilih calon secara
langsung dari daftar calon wakil yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan perundangan dari masing-masing Negara. Pemilihan
umum di era Reformasi dapat dikategorikan dalam pemilihan
langsung.
2) Pemilihan tidak langsung adalah pemilihan yang dilakukan untuk
memilih wakil rakyat, caranya pemilih tidak memilih langsung
calon yang menjadi pilihannya, karena peraturan perundangundangan Negara, tidak semua warga dapat ikut memilih langsung
dalam pemilihan umum. Terdapat kelompok warga yang diwakili
oleh kelompok tertentu sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pemilihan pada era Orde Baru dapat dikategorikan pada pemilihan
langsung dan tidak langsung. Untuk wakil rakyat (DPR dan
DPRD) dapat dikatakan pemilihan langsung, sedang untuk
pemilihan Presiden yang dipilih dan diangkat oleh MPR, dan
Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD setempat masuk pada
pemilihan tidak langsung.
b. Sistem pemilihan dilihat dari jumlah dan wilayah pemilihan:
1) Sistem distrik (single member constituency) adalah sistem
pemilihan umum, yakni wilayah Negara atau wilayah pemilihan
dibagi-bagi dalam distrik atau wilayah pemilihan. Tiap wilayah
akan dipilih satu wakil atau calon wakil yang mendapatkan suara
terbanyak di wilayahnya.
2) Sistem proporsional (multy member constituency) adalah sistem
pemilihan umum, yakni wilayah Negara atau wilayah pemilihan
111
dibagi-bagi dalam daerah-daerah pemilihan yang dikenal dengan
singkatan dapil. Tiap-tiap daerah jumlah wakil yang akan duduk
dalam perwakilan lebih dari satu orang wakil.
Dalam pelaksanaannya, sistem pemilihan distrik dan sistem
proporsional, keduanya terdapat kelebihan dan kekurangan.
c. Kelebihan Sistem Distrik
1) Mendorong pada integrasi partai.
Dengan ketentuan hasil suara terbanyak dalam wilayah
pemilihan yang akan menjadi wakil, maka partai-partai kecil
mengalami kesulitan untuk memenangkan pemilihan di setiap
daerah pemilihan. Kondisi ini akan mendorong partai-partai kecil
untuk
bergabung
dengan
partai
besar,
sehingga
dapat
mempercepat integrasi partai. Bila partai yang sudah ada
berkecendrungan untuk bergabung, kemungkinan kelompok
masyarakat untuk mendirikan partai baru relatif sangat kecil.
2) Wakil adalah tokoh yang dikenal pemilih
Wakil-wakil yang terpilih dalam sistem distrik pada
umumnya adalah tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal baik di
wilayah pemilihan, dengan demikian antara wakil yang dipilih
dengan warga pemilih terdapat kedekatan emosional yang erat,
sehingga wakil terpilih akan berjuang dengan sungguh-sungguh
dalam memperjuagkan aspirasi rakyat atau warga yang memilih.
Wakil terpilih yang gagal memperjuangkan aspirasi pemilih, akan
ditinggalkan pemilihnya untuk periode pemilhan berikutnya,
karena akan muncul tokoh baru yang dianggap akan mampu
membawakan aspirasinya.
3) Partai lebih mudah mencapai kedudukan mayoritas
Dengan jumlah partai yang cenderung sedikit, maka partai
peserta pemilihan umum akan lebih mudah mendapatkan suara
112
mayoritas dibanding dengan jumlah partai yang relatif banyak.
Suara
mayoritas
sangat
diperlukan
dalam
pemerintahan
demokrasi, sehingga partai yang memperoleh suara terbanyak,
tidak perlu koalisi dengan partai politik lain, dalam mewujudkan
visi, misi dan program pembangunan yang dijanjikan kepada
warga atau rakyat sebagai pemilih. Resiko pemerintahan
mayoritas tanpa koalisi, bila pemerintahan yang dilakukan gagal
dan tidak dapat memenuhi aspirasi rakyat, maka partai berkuasa
akan sulit untuk memenangkan pemilihan umum periode
berikutnya. Dengan demikian partai yang berkuasa harus sungguhsungguh memperjuangkan program yang telah ditawarkan saat
kampanye, bila ingin memenangkan kembali pemilihan umum
berikutnya.
4) Sederhana dan ekonomis
Dengan cara perhitungan suara terbatas di wilayah pemilihan,
maka perhitungan suara dapat dilakukan serentak dan tidak perlu
lagi melakukan penjumlahan suara sampai tingkat nasional dalam
menentukan calon jadi. Dengan demikian perhitungan relatif cepat
dan tidak memakan banyak waktu, dengan waktu perhitungan
yang singkat, tentu akan lebih menghemat biaya dibanding dengan
perhitungan yang memerlukan waktu lama berhari-hari, bahkan
berminggu-minggu seperti Pemilu Indonesia 2009 yang banyak
mendapatkan kritik, tidak saja dari partai politik peserta pemilu,
tetapi masyarakat awam yang segera ingin mengetahui hasil
perhitungan akhir suara yang resmi.
d. Kekurangan Sistem Distrik:
1) Kurang memperhatikan partai kecil
Partai kecil dalam pemilihan distrik, aspirasinya kurang
mendapatkan perhatian, karena kalah dengan partai-partai besar.
113
Dengan demikian aspirasi kelompok-kelompok kecil yang tersebar
dalam wilayah nasional, tidak dapat menyuarakan aspirasinya,
meskipun dalam skala nasional sebenarnya cukup signifikan untuk
diperhitungkan. Kondisi ini saling terkait dengan keadaan yang
lain yang merupakan akumulasi dari sistem distrik.
2) Banyak suara hilang
Dalam sistem distrik suara yang diperhitungkan dalam
pemilihan umum adalah suara terbanyak di wilayah pemilihan,
sedang suara yang kalah tidak lagi diperhitungkan. Dengan
demikian, suara-suara yang secara kumulatif cukup banyak pada
tingkat nasional tidak diperhitungkan, karena jumlah setiap di
daerah pemilihan selalu kalah dengan partai yang lain yang lebih
besar. Karena suara yang kalah tidak diperhitungkan, maka
banyak suara pemilih yang hilang atau tidak dapat menyalurkan
aspirasinya dalam lembaga perwakilan Negara.
3) Kurang efektif dalam masyarakat yang plural
Dalam kondisi masayarakat yang plural, dengan peserta
pemilihan lebih dari dua partai dan kecenderungan hasil pemilihan
relatif berimbang, atau hanya terdapat perbeaan yang relatif kecil,
sehingga dapat terjadi calon yang menang dalam suatu wilayah
pemilihan, belum tentu menggambarkan suara mayoritas. Dengan
perkataan lain, calon terpilih yang mendapat suara terbanyak,
tidak memenuhi suara mayoritas (setengahnya lebih) dari total
pemilih di wilayahnya.
4) Wakil terlalu berorientasi pada daerah pemilih
Dengan keterikatan emosional antara pemilih dan yang
dipilih, wakil terpilih cenderung memperjuangkan wilayah
pemilihan secara berlebihan, sehingga wakil terpilih terlalu
berorientasi pada daerah pemilihannya. Kondisi ini kurang
114
menguntungkan dalam kehidupan nasional, karena kepentingan
nasional yang berorientasi pada kepentingan publik harus
mendapatkan perhatian yang utama.
e. Kelebihan Sistem Proporsional
Celah-celah kelemahan sistem distrik menjadi kelebihan dalam
sistem proporsional, demikian juga kelebihan sistem distrik menjadi
kelemahan pada sistem proporsional. Kelebihan sistem proporsional
antara lain:
1) Proporsional lebih representatif
Dalam sistem proporsional semua suara dijumlahkan sampai
pada tingkat nasional, dengan demikian semua suara pemilih
diperhitungkan untuk mendapatkan wakil-wakilnya sesuai dengan
tingkat perwakilan di daerah sampai level nasional. Dengan
demikian tidak ada suara yang hilang, dalam arti semua suara
diperhitungkan, sehingga aspirasi kelompok-kelompok kecil di
wilayah yang tidak terwakili, kemungkinan akan mendapatkan
wakil pada perwakilan tingkat pusat atau nasional. Karena semua
suara diperhitungkan untuk menentukan perwakilan nasional,
maka jumlah pemilh akan sebanding dengan proporsi perwakilan
yang diperebutkan dan akan diperoleh partai politik peserta
pemilihan
umum,
sehingga
perwakilan
dapat
lebih
mempresentasikan aspirasi pemilih.
2) Karena lebih representatif dianggap lebih demokratis
Karena semua suara diperhitungkan dan tidak banyak suara
yang hilang. Kehilangan suara terjadi, karena dalam perhitungan
akhir terdapat sisa suara yang tidak memenuhi proporsi untuk
perhitungan satu orang perwakilan, suara yang hilang akan relatif
kecil dibanding dengan sistem distrik. Pada sistem distrik, setiap
daerah pemilihan akan banyak suara yang hilang, karena suara
115
yang
kalah
di
masing-masing
wilayah
pemilihan
tidak
diperhitungkan.
f. Kelemahan Sistem Proporsional
1) Sulit terjadinya integrasi partai, karena partai cenderung
bertambah
Tanpa ada kesadaran nasional warga tentang perlunya
pembatasan partai politik, pada warga Negara dengan pemilu
sistem proporsional terdapat kecenderungan untuk untuk tumbuh
partai politik dalam Negara. Indonesia pada era reformasi yang
memadukan sistem proporsional dan distrik, jumlah partai
cenderung bertambah, karena berharap dari penjumlahan suarasuara daerah yang akan menguntungkan kelompok elit politik di
tingkat pusat maupun elit tingkat daerah.
2) Kader partai sulit berkembang, karena penentuan calon jadi
didasarkan nomor urut
Dengan sistem proporsional terdapat kecenderungan, bahwa
elit partai tetap bertahan dalam kepengurusan partai, sehingga
kader-kader muda sulit menembus dominasi kelompok tua yang
telah lama bertahan sebagai elit partai. Semua ini memberikan
keuntungan pada elit partai yang dalam perebutan kekuasaan,
perwakilan suara akan diurutkan sesuai dengan nomor urut, yang
didasarkan pada senioritas.
3) Wakil terpilih belum tentu orang dikenal pemilih secara baik
Dalam sistem ini, pemilih hanya memilih tanda gambar
partai, bukan memilih orang, maka wakil terpilih belum tentu
dikenal oleh pemilih yang diwakilinya, sehingga hubungan
emosional pemilih dengan yang mewakili, tidak terbina dengan
baik, bahkan pemilih tidak tahu pasti siapa yang terpilih, yang
akan mewakili daerahnya. Dalam era Orde Baru banyak wakil
116
yang
mengatasnamakan
daerah
pemilihan
tertentu
yang
didominasi atau diisi oleh kelompok elit politik yang tinggal di
Jakarta, sehingga pemilih banyak tidak kenal dengan orang yang
akan mewakilinya.
4) Karena banyak partai sulit mendapatkan suara mayoritas
Dengan banyaknya partai yang ikut dalam pemilihan umum,
maka sulit bagi partai peserta pemilihan mendapatkan suara
mayoritas. Pemilihan Umum di Indonesia era Reformasi, telah
membuktikan tidak satupun partai politik mampu mendapatkan
suara mayoritas mutlak sampai dengan Pemilu tahun 2009.
2. Sistem Pemilu di Indonesia
Sejak tahun 1955 sampai tahun 1997 Indonesia menggunakan sistem
proporsional. Pemilihan Umum 2004 menggunakan gabungan, antara
sistem distrik dan proporsional, namun dominasi proporsional lebih
mewarnai pelaksanaan pemilihan umum 2004, yaitu wilayah pemilihan
dibagi dalam daerah pemilihan, wakil lebih dari satu suara untuk masingmasing wakil jadi ditetapkan berdasar suara terbanyak, dan penetapan
untuk menjadi anggota DPR maupun DPRD, bila suara yang diperoleh
masing-masing calon tidak mencukupi, maka suara yang diperoleh dari
calon dalam partai tertentu, akan dikumpulkan berdasarkan daftar nomor
urut. Nuansa proporsional yang masih dominan ini terjadi, meskipun
nomor urut calon nomor 1 (satu), hanya mendapatkan suara paling sedikit
di antara calon lain dalam daftar calon partai peserta pemilihan umum, dan
tidak satupun calon memenuhi jumlah suara menjadi calon jadi, maka bila
suara gabungan itu memenuhi jumlah suara untuk menjadi DPR atau
DPRD, calon nomor urut 1 (satu), yang dinyatakan terpilih sebagai calon
jadi, meskipun dalam daftar perolehan suara, calon tersebut mendapatkan
suara paling sedikit.
117
Dalam pemilihan umum tahun 2009, sistem gabungan distrik dan
proporsional mengalami perubahan yang lebih dekat kepada penentuan
suara sistem distrik, karena bila dalam suatu daftar calon tidak memenuhi
suara untuk menjadi anggota DPR atau DPRD, maka calon yang
mendapatkan suara terbanyak yang akan mendapatkan pelimpahan suara
dari calon lain yang jumlahnya lebih sedikit.
Mulai pemilihan umum tahun 2004 dengan UUD 1945 Amandemen,
pemilihan umum di Indonesia, di samping memilih anggota DPR, juga
dipilih anggota DPD sebagai wakil daerah, yang pencalonannya dilakukan
secara individual dengan wilayah pemilihan pada tingkat Provinsi. Setiap
provinsi ditetapkan 4 orang wakil sebagai anggota DPD mewakili
daerahnya. Hasil pemilihan umum tahun 2004 telah melahirkan wacana
dengan menetapkan electoral threshold sebesar 3% mewakili wakil atau
perolehan suara di DPR 3% sebagai persyaratan partai politik untuk ikut
pemilihan umum tahun 2009. Namun dalam Undang-Undang yang akan
digunakan untuk pemilu 2009, menganulir lagi, yakni semua parpol yang
mendapatkan kursi di DPR dapat langsung ikut Pemilu
tanpa
memperhitungkan electoral threshold yang sebelumnya telah disepakati.
Kembali sikap tidak konsistennya pihak Pemerintah dan DPR sebagai
badan pembuat UU dipertontonkan kepada rakyat. Penetapan electoral
threshold sebesar 3% diharapkan dapat memperkecil partai politik peserta
pemilih, atas nama euphoria demokrasi jumlah partai politik peserta pemilu
tahun tahun 2009 menjadi lebih besar dibanding Pemilu tahun 2004.
C. Pembangunan Masyarakat Demokrasi
1. Pembangunan Masyarakat Demokrasi dalam RPJP
Pembangunan masyarakat demokrasi dalam Rencana Pembangunan
Jangka
Panjang
kelembagaan
(RPJP),
demokratis
mengamanatkan
yang
lebih
kokoh,
untuk
memantapkan
memperkuat
peran
118
masyarakat sipil, memperkuat peran masyarakat desentralisasi dan
otonomi daerah, menjamin pengembangan media dan kebebasan media,
dalam mengkomunikasikan kepentingan masyarakat dan melakukan
pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum, serta
menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan
memihak kepada rakyat kecil. Terwujudnya Indonesia yang demokratis,
berlandasan hukum dan berkeadilan ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
a. Terciptanya supremasi hukum dan penegakan HAM yang bersumber
pada Pancasila dan UUD 1945 serta tertatanya hukum nasional yang
mencerminkan
kebenaran,
keadilan,
akomodatif
dan
asosiatif.
Terciptanya penegakkan hukum tanpa memandang kedudukan,
pangkat, dan jabatan seseorang, demi supremasi hukum dan
terciptanya penghormatan pada HAM,
b. Menciptakan landasan konstitusional untuk memperkuat kelembagaan
demokrasi,
c. Memperkuat peran masyarakat sipil dan partai politik,
d. Memantapkan
kelembagaan
nilai-nilai
demokrasi
yang
menitikberatkan pada prinsip-prinsip toleransi, nondiskriminatif, dan
kemitraan,
e. Mewujudkan konsolidasi demokrasi pada berbagai aspek kehidupan
politik yang dapat diukur dengan adanya pemerintahan yang
berdasarkan pada hukum, birokrasi yang profesional dan netral,
masyarakat sipil, partai politik dan masyarakat ekonomi yang mandiri,
serta adanya kemandirian sosial.
2. Pembangunan Masyarakat Demokrasi dalam RPJM
a. Permasalahan
Pelaksanaan dan peningkatan kualitas kelembagaan demokrasi
yang sudah terbentuk akan terus dikembangkan, penyelesaian
persoalan sosial, pelanggaran HAM, serta pers, media komunikasi dan
119
informasi menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan konsolidasi
demokrasi. Berbagai masalah tersebut adalah:
1) Belum optimalnya implementasi peran dan fungsi lembaga politik.
2) Pola hubungan Negara dan masyarakat yang belum sesuai dengan
kebutuhan demokratisasi.
3) Masih belum optimalnya hubungan kelembagaan pusat dan
daerah.
4) Masih adanya persoalan-persoalan mengganjal pada masa lalu
yang belum tuntas, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakantindakan kejahatan politik.
5) Belum optimalnya media massa menjalankan fungsinya secara
otonom dan independen.
b. Sasaran
Sasaran pembangunan untuk mengatasi peramsalahan perwujudan
lembaga demokrasi yang semakin kokoh adalah:
1) Terlaksananya peran dan fungsi lembaga penyelenggara Negara
dan lembaga kemasyarakatan sesuai konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan kebijakan publik,
3) Terlaksananya pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil
pada tahun 2009.
c. Arah kebijakan
Arah kebijakan dari perwujudan Lembaga Demokrasi yang makin
kokoh ditempuh dengan kebijakan sebagai berikut:
1) Mewujudkan pelembagaan demokrasi yang lebih kokoh dengan
mempertegas tugas, wewenang dan tanggung jawab dari seluruh
kelembagaan Negara/pemerintahan yang berdasarkan mekanisme
checks and balances,
120
2) Memperkuat peran masyarakat sipil (civil society),
3) Memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah,
4) Mewujudkan
pelembagaan
dan
mendorong
berjalannya
rekonsiliasi nasional beserta segala kelengkapan kelembagaannya.
5) Menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam
mengkomunikasikan kepentingan masyarakat.
d. Program Pembangunan
1) Program Penyempurnaan Penguatan Kelembagaan Demokrasi
Kegiatan
pokok
yang
dilakukan
dalam
program
ini
mencakup:
a) Perumusan standar dan parameter politik terkait dengan
hubungan checks and balances di antara lembaga-lembaga
penyelenggara.
b) Peningkatan kemampuan lembaga eksekutif yang profesional
dan netral.
c) Perumusan kerangka politik yang lebih jelas mengenai
kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah
dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah.
d) Fasilitasi perumusan yang lebih menyeluruh terhadap semua
peraturan perundangan yang berkaitan dengan pertahanan
keamanan
Negara
untuk
mendorong
profesionalisme
POLRI/TNI dan menjaga netralitas politik kedua lembaga
tersebut.
e) Fasilitasi peningkatan kualitas fungsi dan peran lembaga
legislatif (DPR, DPD, dan DPRD).
f) Promosi dan sosialisasi pentingnya independensi, kapasitas dan
integritas lembaga Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
sebagai
upaya
memperkuat
wibawa
dan
kepastian
konstitusional dalam proses penyelenggaraan Negara.
121
g) Pelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
h) Fasilitas pemebrdayaan politik dan masyarakat sipil yang
otonom
dan
independen,
serta
memiliki
kemampuan
melakukan pengawasan terhadap proses pengambilan dan
pelaksanaan keputusan kebijakan publik.
i) Memfasilitasi
pemberdayaan
masyarakat
agar
dapat
menerapkan budaya politik demokratis.
2) Program Perbaikan Proses Politik
Kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan dalam program
perbaikan proses politik mencakup:
a) Perumusan standar dan parameter penyelenggaraan debat
publik yang berkualitas bagi calon pemimpin nasional,
b) Perumusan standar dan parameter uji kelayakan untuk merekrut
pejabat politik dan pejabat publik.
c) Perwujudan komitmen politik yang tegas terhadap pentingnya
memelihara dan meningkatkan komunikasi politik yang sehat,
bebas dan efektif,
d) Fasilitasi penyelenggaraan pemilu 2009 yang jauh lebih
berkualitas, demokratis, jujur dan adil,
e) Pengembangan mekanisme konsultasi publik sebagai sarana
dalam proses penyusunan kebijakan.
3) Program Pengembangan Komunikasi, Informasi dan Media Massa
Kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini
mencakup:
a) Fasilitasi
peninjauan
atas
aspek-aspek
politik
terhadap
peraturan perundangan yang terkait dengan pers dan media
massa.
122
b) Pengkajian dan penelitian yang relevan dalam rangka
pengembangan kualitas dan kuantitas implementasi dan
komunikasi.
c) Fasilitasi peningkatan profesionalisme di bidang komunikasi
dan informasi.
123
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas kerjakan latihan
berikut ini:
1.
Jelaskan istilah dan definisi demokrasi
2.
Jelaskan sejarah perkembangan demokrasi
3.
Jelaskan prinsip-prinsip demokrasi
4.
Jelaskan bentuk–bentuk demokrasi
5.
Jelaskan perkembangan demokrasi di Indonesia
6.
Jelaskan demokrasi dan pemilihan umum
7.
Jelaskan pembangunan masyarakat demokrasi
Petunjuk Jawaban Latihan:
1. Pelajari kembali materi pada kegiatan belajar 1, 2 dan 3
2. Diskusikan dengan teman-teman Anda
3. Kerjakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 3-5 orang anggota
TES FORMATIF
SOAL TEMATIK
1. Bagaimana proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden hingga dinyatakan
terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden?
SOAL PILIHAN
1. Pengambilan keputusan oleh MPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945
adalah...
Jawaban:
a. Suara yang terbanyak (pasal 2 ayat 3)
b. Musyawarah mufakat dan suara terbanyak
2.
Mahkamah konstitusi memiliki wewenang memutus sengketa hasil pemilihan
umum. Seperti apa sifat keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut...
Jawaban:
a. Keputusan MK bisa ditinjau kembali
b. Keputusan MK bersifat final
124
3.
Lembaga-lembaga negara yang terlibat dalam proses impechment adalah
menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah...
Jawaban:
a. DPR dan MPR.
b. MK,DPR dan MPR
4.
Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Rumusan ini
merupakan...
Jawaban:
a. Salah satu pasal UUD 1945 sebelum amandemen
b. Salah satu pasal UUD 1945 sesudah amandemen
5.
Di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam UUD 1945 juga disebut
adanya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perlu adanya DPD adalah ....
Jawaban:
a. untuk menyalurkan keanekaragaman aspirasi daerah (menampung prinsip
perwakilan daerah),
b. amanat dari UUD 1945
125
Modul 4
NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Dalam modul ini Anda akan diajak menganalisis konsep negara hukum dan hak
asasi manusia di Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi dalam modul ini
Anda diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
Kegiatan Belajar 1:
a. Dapat memahami istilah dan pengertian HAM
b. Dapat memahami sejarah perkembangan HAM
Kegiatan belajar 2:
a. Dapat memahami HAM dan pelaksanaan hukum di Indonesia
b. Dapat memahami upaya penegakan terhadap hukum dan HAM
Agar semua harapan di atas dapat terwujud maka di dalam modul ini disajikan
pembahasan dan latihan dengan butir uraian sebagai berikut:
a. Istilah dan Pengertian HAM
b. Sejarah Perkembangan HAM
c. HAM dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia
d. Upaya Penegakan terhadap Hukum dan HAM
Untuk membantu Anda dalam mencapai harapan kemampuan di atas ikutilah
petunjuk belajar sebagai berikut:
a. Bacalah petunjuk bagaimana mempelajari modul ini.
b. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci.
c. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui
pemahaman sendiri dan atau tukar pikiran dengan mahasiswa atau dosen
Anda.
d. Temukan prinsip, konsep, dan prosedur.
e. Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi mengenai pengalaman
simulasi dalam kelompok kecil atau klasikal.
126
Kegiatan Belajar 1
Istilah dan Pengertian HAM serta Sejarah Perkembangan HAM
A. Istilah dan Pengertian HAM
Hak adalah sesuatu yang tidak boleh diambil alih oleh orang lain,
karena seseorang berhak, mempunyai hak atas hal-hal yang mendasar yang
melekat dalam dan pada dirinya sebagai manifestasi eksistensinya sebagai
insan manusia sesuai dengan kemanusiannya, yaitu terdiri dari
susunan
kodratnya (jiwa dan raga), sifat kodratnya (makhluk individu dan makhluk
sosial), dan kedudukan kodratnya (makhluk pribadi yang mandiri dan hamba
Tuhan YME).
Hak asasi menurut Miriam Budiardjo (2008) adalah hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya
atau kehadirannya di dalam kehidupan mayarakat, tanpa perbedaan atas dasar
bangsa, ras, agama atau kelamin, dan bersifat asasi serta universal. Dasar dari
semua hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk
brkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Menurut Jan Materson dari Komisi HAM PBB, sebagaimana diikuti
Baharudin Lopa, (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), hak azasi manusia adalah
hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia tidak
dapat hidup sebagai manusia. HAM merupakan hak alamiah yang melekat
pada diri setiap manusia. Karena itu, tidak seorangpun diperkenankan
merampas hak-hak tersebut, HAM juga merupakan instrumen untuk menjaga
harkat, derajat dan martabat manusia sesuai dengan kodrat kemanusiaannya
sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia. Hal ini senada dengan
mukadimah Declaration of Human Rights, bahwa pengakuan atas martabat
yang luhur dan hak-hakyang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota
keluarga manusia merupakan dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian
dunia.
127
B. Sejarah Perkembangan HAM
Pada umumnya, dalam kajian literature Barat lahirnya pemikiran HAM
dimulai dengan lahirnya Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), Petition
of Right (1628), Habeas Corpus (1678), Petition of Right (1628), Declaration
of Independence (1776), Declaration des droit de I’hommes et du citoyen
(1789). Magna Charta (1215), yaitu suatu dokumen yang ditandatangani Raja
Joh Lockland karena desan kaum bangsawan (baron) dan Gereja (Paus dan
para klerus)
Inggris, bahwa raja tidak boleh berbuat sewenang-wenang,
seperti menghukum atau merampas hak seseorang oleh kerajaan. Petition of
Right (1628) adalah dokumen yang ditandatangi oleh Rajah Charles I atas
desakan para utusan rakyat di parlemen (House of Commons). Bill of Rights
(1689), suatu Undang-Undang yang diterima oleh Raja James II, esensinya
kekuasaan raja harus dibatasi, yang kemudian dikenal dengan istilah revolusi
tidak berdarah di Inggris. Declaration of Independence (1776), merupakan
pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat ini di dalamnya memuat hak-hak
dari Tuhan yang tidak dapat dialihkan,seperti hak hidup, hak kemerdekaan
dan hak memperoleh kebahagiaan. Declaration des droit de I’hommes et du
citoyen (1789), dalam pernyataan kemerdekaan Perancis telah disebutkan
adanya hak-hak warga yang harus dijamin oleh Negara, yaitu hak kebebasan,
hak milik, hak atas keamanan dan perlawanan terhadap penindasan.
Setelah Perang Dunia ke II, upaya mewujudkan perdamaian dunia juga
diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat Rosevelt, yang menggagas
perlunya ditegakkan HAM yang dikenal sebagai "The Four Freedom"
meliputi, kebebasan berbicara atau berpendapat, kebebasan beragama,
kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kemelaratan. Perjuangan
perlindungan terhadap HAM akhirnya disepakati PBB tanggal 10 Desember
1948, dengan ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights. HAM
dalam Universal Declaration of Human Rights yang menyangkut hak hukum,
hak politik, hak sipil, serta hak asasi yang menyangkut hak ekonomi, hak
sosial dan budaya. Hak asasi yang mencakup hak hukum, hak politik dan hak
sipil meliputi:
128
1.
Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi.
2.
Hak bebas dari perbudakan dan perhambaan.
3.
Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang
kejam,
hak
berperikemanusiaan
dan
merendahkan
martabat
kemanusiaan.
4.
Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi.
5.
Hak untuk pengampunan hukum secara efektif.
6.
Hak bebas dari penangkapan, penahanan dan pembuangan yang
sewenang-wenang.
7.
Hak untuk peradilan independen dan tidak memihak.
8.
Hak untuk praduga tidak bersalah sampai terbukti bersalah.
9.
Hak bebas dari campur tangan dan sewenang-wenang terhadap
kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat menyurat.
10. Hak bebas dari serangan kehormatan dan nama baik, dan perlindungan
hukumnya.
11. Hak untuk bergerak.
12. Hak memperoleh suaka.
13. Hak atas suatu kebangsaan.
14. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga.
15. Hak untuk mempunyai hak milik.
16. Hak bebas berfikir, menyatakan pendapat dan berkesadaran dari
beragama.
17. Hak untuk berkumpul dan berserikat.
18. Hak untuk mengambil bagian yang sama dalam pemerintahan dan hak
atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Untuk hak asasi yang menyangkut hak ekonomi, hak sosial dan budaya
meliputi:
1.
Hak atas jaminan sosial,
2.
Hak untuk bekerja,
3.
Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama,
4.
Hak untuk bergabung dalam serikat buruh,
129
5.
Hak atas istirahat dan waktu senggang,
6.
Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan
kesejahteraan,
7.
Hak atas pendidikan,
8.
Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari
masyarakat,
Untuk memperkuat kedudukan hukum perlindungan hak asasi manusia
di suatu negara, telah ditandatangani sejumlah kovenan yang diprakarsai
Majelis Umum PBB. Kovenan-kovenan ini akan mengikat negara anggota
PBB yang telah meratifikasinya dan mulai berlaku, bila 35 negara telah
meratifikasinya. Beberapa kovenan yang telah diterima baik oleh Majelis
Umum PBB adalah Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomis, Sosial dan
Kultural; Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik; dan Protokol
Manasuka pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik mengenai
Keluhan-keluhan yang diajukan individu-individu (Idrus dan Karim, 2006).
Kategori HAM juga dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno (Dirjen
Dikdasmen, 2004), yang mengelompokkan HAM menjadi empat kelompok,
yaitu hak asasi negatif, hak asasi aktif, hak asasi positif dan hak asasi sosial,
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Hak Asasi Negatif atau Liberal
Hak asasi ini pada dasarnya ingin melindungi kehidupan pribadi
manusia terhadap campur tangan Negara dan kekuatan sosial lainnya. Hak
ini didasarkan pada kebebasan dan hak individu mengurus diri sendiri, dan
oleh karena itu juga disebut hak kebebasan liberal. Dikatakan negatif,
karena prinsip yang dianutnya adalah kehidupan pribadi, tidak boleh
dicampuri pihak luar. Kehidupan pribadi adalah otonomi setiap orang yang
harus dihormati. Berbagai hak negatif atau liberal ini adalah:
a) Hak atas hidup,
b) Hak keutuhan jasmani,
c) Kebebasan bergerak,
d) Kebebasan memilih jodoh,
130
e) Perlindungan hak milik,
f)
Hak untuk mengurus rumah tangga sendiri,
g) Hak memilih tempat tinggal dan kebebasan beragama,
h) Hak mengikuti suara hati sejauh tidak bertentangan dengan kebebasan
orang lain,
i)
Kebebasan berfikir,
j)
Kebebasan berkumpul dan berserikat,
k) Untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang.
2) Hak Asasi Aktif atau Demokrasi
Hak ini didasari pada keyakinan akan kedaulatan rakyat yang
menuntut agar rakyat memerintah dirinya sendiri, sehingga pemerintah
harus dapat dikontrol oleh rakyat. Hak ini disebut aktif, karena merupakan
hak atau sesuatu aktivitas manusia untuk ikut menentukan arah
perkembangan masyarakat/negara. Termasuk hak aktif ini adalah:
a) Hak untuk memilih wakil dalam pemerintahan/badan pembuat
undang-undang,
b) Hak untuk mengangkat dan mengontrol pemerintah,
c) Hak untuk menyatakan pendapat,
d) Hak atas kebebasan pers,
e) Hak untuk membentuk perkumpulan politik.
3) Hak Asasi Positif
Hak positif adalah hak yang harus dipenuhi kepada warga negaranya.
Negara diadakan bukan untuk kepentingan negara sendiri, tetapi harus
merupakan lembaga yang diciptakan untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat atau publik, sehingga menjadi kewajiban negara, dan menjadi
hak warga untuk mendapatkan pelayanan umum dari negara. Termasuk
dalam hak positif ini adalah:
a) Hak atas perlindungan hukum,
b) Hak atas kewarganegaraan.
131
4) Hak Asasi Sosial
Hak asasi ini merupakan paham tentang kewajiban negara untuk
menjamin hasil kerja kaum buruh secara wajar dan merupakan kesadaran
kaum buruh melawan kaum borjuis. Hak ini mencerminkan kesadaran
bahwa setiap anggota masyarakat berhak atas bagian yang adil dari harta
benda material dan kultural bangsanya atas bagian yang wajar dari hasil
nilai ekonomis. Hak sosial ini harus dijamin dengan tindakan negara.
Termasuk hak sosial adalah;
a) Hak atas jaminan sosial,
b) Hak atas pekerjaan,
c) Hak membentuk serikat sekerja,
d) Hak atas pendidikan,
e) Hak ikut serta dalam kehidupan kultural masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia,
pelaksanaan HAM setelah Declaration of Human Rights ditetapkan, sampai
saat ini dapat dibedakan dalam 4 generasi, yaitu:
a.
Generasi pertama. Pada generasi ini substansi HAM berpusat pada aspek
hukum dan politik, hal ini sebagai dampak dari Perang Dunia ke II, sebab
banyak Negara baru merdeka dan menuntut jaminan perbaikan dalam hak
untuk hidup, hak tidak menjadi budak, hak tidak ditahan dan kesamaan
dalam hukum dan praduga tidak bersalah.
b. Generasi kedua, generasi kedua dipelopori oleh Negara-negara
berkembang yang menuntut pembangunan sosial, ekonomi, politik dan
budaya. Hal ini berarti perlunya perluasan horizontal HAM dalam
cakupan sosial , ekonomi, dan kebudayaan.
c.
Generasi ketiga merupakan penekanan dari generasi kedua, karena telah
terjadi ketidakseimbangan aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Dalam praktik tuntutan ini dari warga negara terhadap negara, sangat
tergantung kepada kondisi Negara, karena masih banyak Negara yang
mendominasi kegiatan diberbagai bidang kehidupan warga Negaranya.
132
d.
Generasi keempat, pada era ini banyak perjuangan untuk mengkritisi
peran Negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan, sehingga
telah mengabaikan hak-hak rakyat, termasuk mengabaikan kesejahteraan
rakyat. Tuntutan yang dipelopori Negara-negara Asia ini menuntut hak
azasi rakyatnya, karena urusan hak azasi bukan lagi urusan orangperorang, tetapi menjadi tugas Negara.
Dari
perkembangan
kehidupan
bangsa-bangsa
khususnya
yang
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, maka dapat ditarik benang merahnya
dari perspektif tipologi heuristik kewarganegaraan (heuristic typology of
citizenship), yakni terdiri dari empat konteks secara politik untuk
institusionalisasi
atau munculnya hak-hak kewargangaraan, (Arthur dan
Davies, ed, 2008) yaitu;
a.
Hak-hak kewarganegaraan diperoleh dalam konteks revolusioner
gabungan tuntutan dari bawah dengan dukungan kuat dari arena publik,
yang memandang dunia pribadi (private) dari individu dengan curiga.
Perjuangan-perjuangan secara revolusioner terhadap hak-hak sering
berakhir dalam bentuk-bentuk teror publik, dan gagal yang kemudian
menjadi totalitarianisme. Misalnya kasus Tradisi revolusioner Perancis;
b.
Dalam konteks pluralisme liberal, sementara pembentukan kelompok
kepentingan secara unik mengarah kepada gerakan-gerakan untuk hakhak berasal dari bawah, dorongan secara revolusioner melalui protes
sosial mungkin dimuati oleh tekanan-tekanan secara terus-menerus
terhadap hak-hak dari individu
yang secara pribadi ditolak. Dalam
pandangan liberal klasik terhadap politik
menuntut keragaman dan
kebebasan dari opini pribadi terhadap perlakuan penyeragaman
keyakinan. Contohnya, kasus Liberalisme Amerika.
c.
Dalam konteks demokrasi pasif yang mengakui fungsi legitimasi dari
institusi-intitusi perwakilan, pengadilan dan sistem negara kesejahteraan,
yang tidak membentuk tradisi perjuangan-perjuangan untuk hak-hak
warganegara. Hak-hak warganegara berasal dari atas, yakni dari institusiinstitusi negara, seperti kasus Inggris.
133
d.
Dalam konteks otoritarian dari demokrasi, maka hak-hak warganegara
datang dari atas, yaitu dari negara yang mengelola wilayah publik,
mengundang para warga negara secara periodik untuk memilih
pemimpin, yang kemudian bertanggungjawab kepada para pemilihnya,
antara lain kasus Fasis Jerman.
134
Kegiatan Belajar 2
HAM dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia serta Upaya Penegakan
terhadap Hukum dan HAM
A. HAM dan Pelaksanaan Hukum di Indonesia
Perkembangan
pengaturan
pelaksanaan
HAM
di
Indonesia
mengalami pasang surut dalam perumusannya, sejalan dengan dasar negara
yang diberlakukan serta kehidupan politik di Indonesia yang berubah-ubah,
mulai dari UUD 1945 Proklamasi, KRIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945
Dekrit, sampai dengan UUD 1945 Amandemen. Dalam era Reformasi terlihat
adanya upaya pemerintah Indonesia yang berusaha untuk mewujudkan dan
melindungi hak-hak azasi manusia yang lebih transparan, seperti dituntut
dalam Declaration of Human Rights sebagai dasar perlindungan HAM di
seluruh dunia.
1. Periode 1945 – 1949
Awal kemerdekaan bangsa Indonesia berhasil menyusun UUD yang
kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Dalam UUD ini, bangsa Indonesia
sangat menyadari penderitaan yang dialami bangsa Indonesia sebagai
akibat penjajahan di Indonesia. Meski PBB belum merumuskan HAM,
namun bangsa Indonesia telah memberikan penekanan pentingnya
kemerdekaan suatu bangsa dari penindasan bangsa lain. Pernyataan ini
dituangkan dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945
yang
menyatakan, bahwa kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pernyataan perlindungan HAM
juga diatur dalam pasal-pasal UUD 1945 misalnya:
a. Hak memilih pekerjaan untuk penghidupan yang layak,
b. Hak untuk berkumpul, dan berserikat, serta mengeluarkan pendapat,
baik secara lisan maupun tertulis,
c. Hak untuk memilih dan beribadah sesuai dengan agama yang
dianutnya,
135
d. Jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak terlantar yang akan
dipelihara oleh Negara,
e. Dalam praktik kenegaraan, karena lembaga perwakilan belum
terbentuk ditetapkan adanya lembaga KNIP, yang awalnya sebagai
pembantu Presiden, kemudian ditingkatkan perannya sebagai
lembaga perwakilan, pergeseran lain juga terjadi pada tanggung
jawab pemerintahan, tidak lagi pada Presiden, tetapi pada para
menteri Negara.
2. Periode 1949-1959
Dengan berlakunya KRIS 1949 dan UUDS 1950 dan lahir setelah
Declaration of Human Rights, maka dihimbau terhadap setiap Negara
anggota harus memasukkan HAM dalam konstitusi atau UUD Negara,
karena itu Indonesia juga memasukkan ketentuan HAM dalam KRIS 1949
maupun UUDS 1950. Bila UUD 1945 tidak lebih dari lima pasal dalam
mengatur HAM, maka KRIS mengatur cukup banyak mulai dari pasal 7
sampai pasal 33, sedang UUDS mulai pasal 7 sampai dengan 34.
3. Periode 1959-1966
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka pengaturan HAM
dalam UUD tetap sebagaimana berlaku pada periode 1945-1949.
Meskipun dalam KRIS 1949 maupun UUDS 1950 telah banyak mengatur
HAM, namun UUD 1945 tetap dipertahankan kemurniannya dengan
pemikiran bahwa UUD 1945 telah memuat pokok-pokok pikiran tentang
HAM, pada sisi lainnya, UUD 1945 lahir lebih dulu dibanding dengan
Declaration of Human Rights. Dalam era Demokrasi Terpimpin, karena
peran pemimpin sangat dominan, maka pelaksanaan HAM tidak berjalan
sebagaimana yang seharusnya, bahkan tidak berlebihan apa yang ditulis
Tim ICCE UIN Jakarta (2003), telah terjadi pemasungan HAM seperti hak
sipil maupun hak politik, misalnya, hak untuk berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
136
4. Periode 1966-1998
Dengan berakhirnya Demokrasi Terpimpin ke Demokrasi Pancasila,
pengaturan HAM dalam UUD 1945 ditambahkan aturan baru dengan
referendum. Referendum yang melibatkan rakyat dalam perubahan UUD
1945, sepertinya memberikan hak rakyat untuk ikut memikirkan tentang
keberadaan UUD Negara, namun pada sisi lain Referendum ini justru
sebagai upaya agar UUD 1945 tidak diwacanakan untuk diubah, karena
dalam Ketetapan MPR yang mengatur tugas dan kedudukan Lembaga
Negara, menyatakan bahwa MPR telah menyatakan untuk tidak merubah
UUD 1945.
Upaya memasukkan HAM dalam perundang-undangan Indonesia,
pernah diwacanakan oleh MPRS tentang perlunya pengaturan HAM, dan
pernah dibahas dalam Panitia Ad Hoc ke IV, namun hasil tersebut tidak
pernah tuntas. Jaminan HAM sebagaimana tercermin dalam UUD 1945
serta perundangan Partai Politik dan Pemilihan Umum dalam praktiknya
menyimpang dari HAM itu sendiri.
Kontrol pemerintah di bawah Presiden Suharto yang tercermin dalam
kehidupan Demokrasi Pancasila, yang aturan formalnya tidak sesuai
dengan kondisi empiris dalam realisasi HAM, misalnya adanya azas
monoloyalitas terhadap negara yang diarahkan pada monoloyalitas pada
pemerintah yang berkuasa, Pegawai negeri dan ABRI harus netral, dan
telah dikondisikan untuk mendukung pemerintah yang berkuasa, sehingga
kehidupan partai politik di luar Partai Pemerintah, tidak dapat bersaing
secara objektif. Tidaklah berlebihan dikatakan, bahwa kehidupan partai
politik di luar pemerintah sering mendapatkan sebutan dibonsai. Silahkan
partai politik ada dan hidup, tetapi kehidupannya dikontrol dan
dikendalikan, jangan sampai tumbuh menjadi besar. Sepertinya semua
berdasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Aturan
perundang-undang hanya bersifat formal, bukan material, ada dasar
hukumnya, tetapi melahirkan ketidakadilan. Inilah salah satu bentuk
137
pembenaran yang diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu sebagai
kelompok penguasa.
5. Periode 1998 – sampai sekarang
Pergantian pemerintahan Indonesia tahun 1998 memberikan dampak
besar pada pelaksanaan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada awal
Reformasi MPR berhasil menetapkan Ketetapan No.XVII/MPR 1998
tentang HAM, yang diikuti dengan ratifikasi beberapa konvensi seperti UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan
Kejam lainnya, UU No. 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Segala Bentuk
Diskriminasi, juga Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa
dengan UU No. 19 Tahun 1999, serta UU No. 20 Tahun 1999 tentang Usia
Maksimum untuk diperbolehkan bekerja.
Dalam amandemen UUD 1945, pengaturan HAM juga mendapatkan
penekanan lebih rinci dengan penambahan ayat-ayat pada pasal 28A-28J
yang mengatur:
a. Hak untuk hidup
b. Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
c. Hak mengembangkan diri
d. Hak atas hukum, hak bekerja, hak atas pemerintahan dan hak akan
status warga kewarganegaraan
e. Hak beragama, hak atas kepercayaan, hak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan hak mengeluarkan pendapat
f. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
g. Hak atas perlindungan pribadi dan keluarga
h. Hak atas kejejahteraan lahir dan batin
i. Jaminan pemenuhan tidak dapat dikurangi hak asasi manusia dalam
keadaan
apapun,
seperti
hak
hidup,
bebas
dan
perlakuan
diskriminatif, atas identitas budaya, hak atas masyarakat tradisional,
kewajiban
pemerintah
untuk
melakukan
perlindungan,
dan
pemenuhan hak asasi manusia
j. Kewajiban bagi setiap orang untuk menghormati hak asasi orang lain.
138
Untuk melakukan HAM lebih operasional ditetapkan Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menegaskan kebebasan dasar
manusia sebagai berikut:
1) Hak untuk hidup, misalnya hak:
a) Mempertanyakan hidup
b) Memperoleh kesejahteraan lahir batin
c) Memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat
2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3) Hak mengembangkan diri, misalnya hak:
a) Pemenuhan kebutuhan dasar
b) Meningkatkan kualitas hidup
c) Memperoleh manfaat dari iptek
d) Memperoleh informasi, melakukan pekerjaan sosial
4) Hak memperoleh keadilan, misalnya hak:
a) Kepastian hukum dan
b) Persamaan di depan hukum.
5) Hak atas kebebasan pribadi, misalnya:
a) Memeluk agama
b) Keyakinan politik
c) Memilih status kewarganegaraan
d) Berpendapat dan menyebarluaskan
e) Mendirikan partai politik
f) Mendirikan LSM dan organisasi lain
g) Bebas bergerak dan bertempat tinggal
6) Hak atas rasa aman, misalnya hak:
a) Memperoleh suaka politik
b) Perlindungan terhadap ancaman ketakutan
c) Melakukan hubungan komunikasi
d) Perlindungan terhadap penyiksaan
e) Perlindungan terhadap penghilangan dengan paksa
139
f) Perlindungan dari penghilangan nyawa
7) Hak atas kesejahteraan, misalnya hak:
a) Milik pribadi dan kolektif
b) Memperoleh pekerjaan yang layak
c) Mendirikan serikat kerja
d) Bertempat tinggal yang layak
e) Kehidupan yang layak
f) Jaminan sosial
8) Hak turut serta dalam pemerintahan, misalnya:
a) Memilih dan dipilih dalam pemilu
b) Partisipasi langsung dan tidak langsung
c) Diangkat dalam jabatan pemerintah
d) Mengajukan usulan kepada pemerintah
9) Hak wanita, misalnya hak:
a) Kesamaan yang tidak diskriminasi antar pria dan wanita, baik di
bidang politik, pekerjaan, dan status kewarganegaraan
b) Status dalam perkawinan/keluarga
10)
Hak anak, misalnya hak:
a) Perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara
b) Beribadah menurut agamanya
c) Berekspresi
d) Perlindungan khusus bagi anak cacat
e) Perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, dan pelecehan
seksual
f) Perlindungan perdagangan anak, penyalahgunaan narkoba dan zat
adiktif lainnya.
Di samping hak dasar, UU Nomor 39 Tahun 1999 juga mengatur
kewajiban dasar bagi warga Negara Indonesia. Kewajiban dasar adalah sisi
lainnya dari hak asasi manusia. Jika hak asasi lebih bertitik tolak pada
kepemilikan manusia secara pribadi (individual, private), maka kewajiban
asasi adalah pengakuan terhadap baik terhadap kepemilikan orang lain,
140
maupun yang bersangkut dengan dirinya sendiri tetapi ada kontribusi dan
pengaruh dari orang, bahkan bersangkut paut dengan hak Tuhan.
Kewajiban-kewajiban dasar atau asasi dalam perspektif Indonesia, antara
lain:
a. Setiap orang di wilayah Indonesia wajib patuh kepada peraturan
perundang-undangan, hukum tak tertulis dan hukum internasional
mengenai HAM yang telah diterima oleh Negara RI,
b. Setiap warga Negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
c. Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain, moral, etika,
agama dan tata tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara,
d. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain,
e. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
6. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM
Meski secara perundangan Indonesia telah mengatur perlindungan
HAM, namun dalam praktek kehidupan kenegaraan masih terjadi praktek
pelanggaran HAM. Penyebab tersebut antara lain:
a.
Belum ada kesepahaman tataran konsep HAM secara universal dan
partikularisme.
Aliran universal melihat penegakan HAM berdasarkan pada
sifat universal manusia di dunia. Karena itu penegakkan HAM
hendaknya mengacu
pada pengakuan HAM sebagaimana telah
disepakati bersama dalam Declaration of Human Rights, sehingga
tidak ada lagi kekhususan yang diberlakukan oleh suatu negara
dengan alasan apapun. Masing-masing negara tidak diperkenankan
menafsirkan HAM berdasarkan persepsi sendiri. Keadaan ini berbeda
dengan pandangan kedua atau partikularisme yang menganggap
bahwa HAM
harus dilihat dari beragam perspektif, karena
masyarakat dunia juga beragam, sehingga tidak ada salahnya masing-
141
masing memberikan penilaian terhadap HAM sesuai dengan konsep
dan pandangan masing-masing negara. Negara-negara berkembang
terutama Asia, termasuk Indonesia sampai dengan masa Orde Baru
cenderung menerapkan paham partikularisme.
b.
Adanya dikotomi antara individualisme dan kolektivisme.
Hak individu adalah hak yang melekat pada diri seseorang dan
orang lain tidak berhak mencampurinya, termasuk negara. Aliran
kolektif menganggap bahwa hak kolektif (kewajiban?) harus lebih
diutamakan dari pada kepentingan individu. Karenanya, dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, hak individu sering dihadapkan
pada hak kolektif, hak kolektif dianggap lebih harus diutamakan atau
diprioritaskan dari pada hak individu. Hak individu atau hak kolektif
kadang dalam posisi yang tak terpisahkan, misalnya dalam kebebasan
beragama dan beribadah, maka di sana melekat hak individu dan hak
kolektif. Tidaklah adil bila hak atas nama hak kolektif diutamakan
demi kepentingan umum, dan hak individu tidak diakomodir.
c.
Kurang berfungsinya penegak hukum.
Lembaga penegak hukum di Indonesia dinilai lambat terhadap
penanganan pelanggaran HAM. Meski hal ini sering dibantah oleh
para aparat yang berwenang dalam menegakkan hukum, namun dari
rasa keadilan warga sebagaimana dihimpun dalam jajak pendapat
Kompas 25 Maret 2002, terdapat 61, 2% menyatakan pemutusan
kasus pelanggaran HAM tidak yakin, artinya masih banyak putusan
terhadap
pelanggaran
HAM
yang
tidak
memenuhi
keadilan
masyarakat. Hal ini diperkuat Syahrir, yang pernah menjabat Ketua
Partai Perhimpunan Indonesia, menyoroti masih maraknya korupsi di
Indonesia. Kasus terakhir yang tentang permainan jual beli perkara
seperti
kasus
Jaksa
Urip,
meski
akhirnya
diketahui,
serta
pemberhentian Rahmadi sebagai Kajati di Sulawesi yang akan
memeras salah satu Bupati. Semua bantahan penegak hukum
sepertinya justru menjadi bumerang petugas, karena dengan
142
pembelaan yang asal-asalan menjadikan alasan tersebut seolah-olah
sebagai usaha menutupi kurang berfungsinya penegak hukum di
Indonesia.
d.
Pemahaman belum merata di kalangan sipil dan militer.
Tindakan militer yang sering bertindak represif menganggap
warga seperti musuh dalam perang, sering menimbulkan masalah
dengan HAM. Kasus orang hilang atau kasus Munir merupakan salah
satu bentuk penanganan terhadap orang-orang yang dianggap
pengkhianat bangsa adalah salah dalam penanganan, sehingga menjadi
sorotan sebagai kasus pelanggaran HAM. Di kalangan sipil, masih
sering juga terjadi tindakan anarkis, seperti pembakaran toko,
pemerkosaan massal terhadap etnis tertentu, yang dapat menjurus
pada tindakan pelanggaran HAM. Masyarakat sipil yang sering
menganggap militer bertindak represif, ternyata masyarakat sipil juga
melakukan, bahkan kadang lebih brutal dari tentara. Kasus
meninggalnya tokoh masyarakat Sumatera Utara yang berstatus ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara meninggal dalam peristiwa
demonstrasi yang dilakukan masyarakat sipil.
Dampak informasi, atau politik berbeda dengan dampak yang
dilakukan militer yang melaksanakan tugas sampai ada warga negara
yang terbunuh. Dalam hal ini nampak ada usaha menyudutkan tentara,
terhadap setiap tindakan yang menimbulkan korban manusia. Bila
korban terjadi, karena tindakan tentara langsung disorot sebagai
pelanggaran HAM, sedang korban, karena tindakan sipil dengan cara
anarkis tidak disorot sebagai pelanggaran HAM. Kasus dan fenomena
seperti ini perlu diwaspadai, agar bangsa Indonesia terjebak pada
skenario orang asing atau bangsa Indonesia sendiri yang tidak ingin
Indonesia aman, tenteram, dan damai, hanya karena kepentingan
sesaat pribadi atau kelompok tertentu. Untuk itu, baik kalangan militer
atau
sipil
hendaknya
tidak
gegabah
bertindak
yang
dapat
menimbulkan korban manusia, sehingga citra Indonesia, tidak terus
143
dianggap sebagai negara dan bangsa yang tidak menghargai HAM,
baik itu anggapan dari individu orang Indonesia sendiri atau
masyarakat
internasional
yang
mengatasnamakan
gerakan
perlindungan HAM.
7. Permasalahan HAM di Indonesia
Faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM, setidaknya
memberikan kontribusi terhadap berbagai masalah HAM yang terjadi di
Indonesia. Belum adanya kesepahaman tataran konsep HAM secara
universal dan partikularisme, masih sering terjadi perbedaan pendapat
diantara pejabat Pemerintah atau Pemerintah dengan aktivis HAM
terhadap kasus-kasus HAM.
Adanya dikotomi antara individualism dan kolektivisme, dan kurang
berfungsinya penegak hukum, menjadikan hak-hak individu kurang
mendapat perhatian yang seimbang dalam penanganannya, sehinggga
banyak pihak merasa dirugikan dan kurang mendapat perhatian
perlindungan dari pemerintah. Demikian juga masih adanya pemahaman
belum merata di kalangan sipil dan militer, meski diperlukan tindakan
hati-hati, namun perlu juga diperhatikan bahwa tindakan represif dari
aparat keamanan terhadap warga yang tidak melakukan perbuatan pidana
tidak seharusnya diperlakukan dengan sewenang-wenang. Sebaliknya bagi
masyarakat sipil, dengan atas nama demokrasi perlu juga diberikan
kesadaran bahwa demokrasi bukan berarti masyarakat bebas berbuat
semaunya sendiri tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku.
Demokrasi selain memberikan kebebasan, juga menuntut semua pihak
untuk dapat saling menghargai hak-hak orang lain, serta diperlukan
kesadaran untuk mengendalikan diri dan mematuhi peraturan perundangundangan dari hukum Negara.
Bangsa Indonesia perlu meningkatkan kesadaran bersama terhadap
perlindungan HAM, mengingat masih banyak permasalahan HAM yang
sadar atau tidak sadar masih terjadi di Indonesia. Menurut Priyanto (2003),
berbagai masalah HAM di Indonesia antara lain, adalah:
144
a. Banyaknya pelanggaran HAM yang tidak dapat dihukum,
b. Tidak berfungsinya institusi negara yang berwenang dan wajib
menegakan HAM,
c. Penegakan dan kepastian hukum belum dinikmati oleh masyarakat
Indonesia,
d. Penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas, dan masih diskriminatif,
e. Penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan Agung tidak secara
optimal dipublikasikan secara luas kepada masyarakat,
f. Besarnya harapan masyarakat terhadap kinerja KPK dan pengadilan
Tipikor untuk menegakan hukum dan kepastian hukum,
g. Tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi seringkali tidak
tuntas.
8. Indikator Pelaksanaan dan Pelanggaran HAM
Pelaksanaan praktik kenegaraan dalam melindungi HAM menurut
Lukman Sutrisno (Dirjen Dikdasmen, 2004) menunjukkan beberapa
indikator antara lain:
a. Dalam bidang politik, berupa kemauan pemerintah dan masyarakat
untuk
mengakui
pluralisme
pendapat
dan
kepentingan
dalam
masyarakat,
b. Dalam bidang sosial berupa, perlakuan sama dalam hukum bagi setiap
orang, toleransi dalam masyarakat terhadap perbedaan atau latar
belakang agama, dan ras warga negara,
c. Dalam bidang ekonomi, tidak adanya monopoli dalam sistem ekonomi
yang berlaku.
Meskipun perlindungan HAM telah diupayakan dengan penetapan
berbagai peraturan, dalam kehidupan sehari-hari masih sering terjadi
pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia. Beberapa indikator masih
terjadinya pelanggaran HAM menurut Mulyana W. Kusumah (Dirjen
Dikdasmen, 2004), antara lain:
145
a. Pembunuhan besar-besaran,
b. Rasialisme resmi,
c. Teroris berskala besar,
d. Pemerintahan otoriter,
e. Penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,
f. Perusakan lingkungan,
g. Kejahatan-kejahatan perang.
9. Sikap Positif Upaya Penegakan HAM
Seiring dengan perkembangan dunia, maka tuntutan untuk
menegakkan HAM lebih sering dikumandangkan, bahkan instrumen HAM
sering dijadikan indikator untuk kerjasama antar negara. Isu-isu
internasional yang sering dikaitkan dengan kebijakan negara berkembang
serta pelaksanaan HAM yang bersifat partikularisme memberikan aspirasi
dan dorongan bangsa Indonesia kembali menegaskan diri akan komitmen
untuk melaksanakan perlindungan HAM lebih kongkrit. Sikap positif
upaya Indonesia menegakan HAM di dalam negeri antara lain:
a. Penetapan Komnas HAM
Pada masa Presiden Suharto melalui Kepres No. 50 Tahun 1993,
menetapkan pembentukan Komnas HAM. Keberadaan Komnas HAM
ditegaskan kembali pada Pemerintahan Presiden B.J. Habibi, dalam UU
No. 39 Tahun 1999. Dengan pengaturan Komnas HAM secara lebih
tegas dan rinci, Komnas HAM lebih mendapat penegasan kembali,
dengan penegasan tujuan, fungsi, dan kewenangannya.
1) Tujuan Komnas HAM
Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah:
a) Membantu pengembagan yang kondusif bagi pelaksanaan hak
asasi manusia
b) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia
guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
146
2) Fungsi Komnas HAM
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM dipertegas
dalam fungsinya sebagai berikut:
a) Fungsi pengkajian dan penelitian
Dalam melaksanakan fungsi pengkajian dan penelitian
Komnas HAM berwenang:
 Melakukan pengkajian dan penelitian berbagai instrumen
internasional
dengan
tujuan
memberikan
saran-saran
mengenai kemungkinan-kemungkinan aksesi dan ratifikasi,
 Melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan
perundang-undangan
mengenai
untuk
pembentukan
memberikan
perubahan
dan
rekomendasi
pencabutan
peraturan perundang-undangan dan berkaitan dengan hak
asasi manusia.
b) Fungsi penyuluhan:
Dalam melaksanakan fungsi penyuluhan, Komnas HAM
berwenang:
 Menyebarluaskan wawasan mengenai hak asasi manusia
kepada masyarakat Indonesia,
 Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi
manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal
serta kalangan lainnya,
 Kerja sama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain baik
tingkat nasional, regional maupun internasional dalam
bidang hak asasi manusia.
c) Fungsi pemantauan:
Untuk melaksanakan fungsi pemantauan, Komnas HAM
berwenang:
 Pengamatan hak asasi manusia dan penyusunan laporan
hasil pengamatan tersebut,
147
 Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang
timbul dalam masyarakat yang patut diduga terhadap
pelanggaran hak asasi manusia,
 Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun
pihak yang diadukan untuk dimintai atau didengar
keterangannya,
 Pemanggilan
kesaksiannya
saksi
untuk
dan
kepada
dimintai
saksi
dan
didengar
pengadu
diminta
menyerahkan bukti yang diperlukan,
 Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu,
 Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan
keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang
diperluan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua
Pengadilan,
 Pemeriksaan
setempat
terhadap
rumah,
pekarangan,
bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki
pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan,
 Pemberian
pendapat
berdasarkan
persetujuan
Ketua
Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam
proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat
pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan
acara
pemeriksaan
oleh
pengadilan
yang
kemudian
pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh
hakim kepada para pihak.
d) Fungsi mediasi
Untuk melaksanakan fungsi mediasi, Komnas HAM
berwenang:
 Melakukan perdamaian kedua belah pihak
 Melakukan penyelesaian perkara melalui cara konsultasi,
negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli,
148
 Melakukan pemberian saran kepada para pihak untuk
menyelesaikan sengketa melalui pengadilan,
 Melakukan
penyampaian
rekomendasi
atas
kasus
pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk
ditindak lanjuti penyelesaiannya,
 Melakukan penyampain rekomendasi atas suatu kasus
pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR RI untuk
ditindak lanjuti.
10. Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi ini dibentuk berdasarkan Kepres No. 181 Tahun 1998.
Pembentukan komisi ini sebagai upaya mencegah terjadinya dan
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini bersifat
independen dan bertujuan:
a. Penyebarluasan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap
perempuan,
b. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk
kekerasan terhadap perempuan,
c. Meningkatkan upaya pencegaha dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan memiliki kegiatan sebagai berikut:
1) Penyebarluasan
pemahaman,
pencegahan,
penanggulangan,
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,
2) Pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai
perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan,
3) Pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan memberikan pendapat, saran dan pertimbangan
kepada pemerintah,
4) Penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya
kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat,
149
5) Pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.
11. Pengadilan HAM
Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000,
yang berwenang memutus perkara pelanggaran HAM berat seperti
kejahatan genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genoside merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok,
b. Mengakibatkan penderitaan fisik maupun mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok,
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan
kemusnahan fisik baik seluruh atau sebagian,
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok,
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
Kejahatan kemanusiaan merupakan perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan berupa:
a. Pembunuhan,
b. Pemusnahan,
c. Perbudakan,
d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa,
e. Perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar ketentuan pokok hukum internasional,
f. Penyiksaan,
150
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara,
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional,
i. Menghilangkan seseorang secara paksa,
j. Kejahatan apartheid.
12. Peran dan partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat, seperti Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
yang programnya terfokus pada Demokrasi dan pengembangan HAM
dapat memberikan laporan terjadinya pelanggaran HAM. Partsipasi
masyarakat dapat berbentuk sebagai berikut:
a. Setiap orang, kelompok, atau organisasi politik, sosial atau LSM
berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan
hak asasi manusia,
b. Masyarakat juga berhak menyampaikan laporan atas terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga
lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan
pemajuan hak asasi manusia,
c. Masyarakat berhak mengajukan usulan mengenai perumusan dan
kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas
HAM atau lembaga lainnya,
d. Masyarakat dapat bekerja sama dengan Komnas HAM melakukan
penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak
asasi manusia.
151
B. Upaya Penegakan terhadap Hukum dan HAM
Upaya penegakan HAM dalam RPJP menjadi satu kebijakan dalam
penegakan demokrasi yang berdasar hukum, sebagaimna telah disebut di
bagian demokrasi, sedang pengakan hukum dan HAM dalam RPJM secara
lebih rinci diatur dan diarahkan sebagai berikut:
1. Permasalahan
Berbagai permasalahan yang diangkat sebagai issue dalam RPJM
adalah:
a. Masih banyaknya pelanggaran HAM,
b. Banyaknya pelanggaran HAM yang tidak dapat bertanggung jawab dan
tidak dapat dihukum (imunitas),
c. Tidak berfungsinya institusi-institusi negara yang berwenang dan wajib
menegakan HAM,
d. Penegakan hukum dan kepastian hukum belum dinikmati oleh
masyarakat Indonesia,
e. Penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas dan diskriminatif,
f. Penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan Agung selama kurun
waktu 2001-2004 tidak secara optimal terinformasikan secara luas
kepada masyarakat,
g. Besarnya harapan masyarakat dan tuntutan terhadap kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) untuk menegakan hukum dan kepastian hukum,
h. Tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi seringkali tidak
tuntas.
2. Sasaran
Untuk mendukung upaya penghormatan dan pemenuhan serta
penegakan terhadap hukum dan hak asasi manusia, sasaran ke depan
adalah dilaksanakannya berbagai langkah-langkah Rencana Aksi yang
terkait dengan penghormatan, pemenuhan dan penegakan terhadap hukum
dan hak asasi manusia antara lain Rencana Aksi HAM 2004-2009.
152
3. Arah Kebijakan
Upaya penghormatan dan pemenuhan serta penegakan terhadap
hukum dan hak asasi manusia, diarahkan pada kebijakan untuk
meningkatkan pemahaman dan menciptakan penegakan dan kepastian
hukum yang konsisten terhadap HAM, perlu yang adil dan tidak
diskriminatif dengan langkah-langkah:
a. Meningkatkan upaya pemajuan, perlindungan, penegakan, pemenuhan
dan penghormatan hak asasi manusia,
b. Menegakan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan
memihak kepada rakyat kecil,
c. Menggunakan nilai-nilai budaya daerah sebagai salah satu sarana untuk
mewujudkan terciptanya kesadaran hukum masyarakat,
d. Meningkatkan kerjas sama yang harmonis antara kelompok atau
golongan dalam masyarakat, agar mampu saling memahami dan
menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing,
e. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
4. Program penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia
Program penegakan hukum dan hak asasi manusia bertujuan untuk
melakukan tindaka preventif dan korektif terhadap penyimpangan kaidah
hukum, norma sosial dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di
dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Untuk menegakan hukum dan hak asasi manusia harus
dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif, serta konsisten. Kegiatankegiatan pokok meliputi:
a. Penguatan upaya pemberantasan korupsi, melalui Rencana Aksi
Pemberantasan
Korupsi.
Penguatan
pelaksanaan
Rencana
Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia, Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan Program Nasional Bagi Anak
Indonesia,
153
b. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai
gerakan nasional,
c. Peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana
terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya,
d. Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum
maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas
korupsi,
e. Menegakan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun
lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakan hak asasi manusia,
f. Peningkatan upaya-upaya penghormatan persamaan setiap warga
negara di depan hukum, melalui keteladanan Kepala Negara dan
pimpinan lainnya untuk mematuhi hukum dan hak asasi manusia secara
konsisten dan konsekuen,
g. Penyelenggaraan audit regular atas kekayaan seluruh dasar dalam
rangka mewujudkan proses hukum yang sederhana, cepat, tepat dan
dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat,
h. Peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan hukum dan hak
asasi manusia dalam menyelenggarakan ketertiban sosial, agar
dinamika masyarakat dapat berjalan dengan sewajarnya,
i. Pembenahan sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin
akses public, pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan
akuntabel,
j. Pengembangan
sistem
manajemen
kelembagaan
hukum
yang
transparan,
k. Penyelamatan
bahan
bukti
akuntabilitas
kinerja
yang
berupa
dokumen/arsip lembaga Negara dan badan pemerintahan untuk
mendukung penegakan hukum dan hak asasi manusia,
l. Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektivitas
penegakan hukum dan hak asasi manusia,
m. Pembaruan materi hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi,
154
n. Peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas orang yang melakukan
perjalanan baik keluar maupun masuk wilayah Indonesia,
o. Peningkatan fungsi intelijen agar aktivis terorisme dapat dicegah pada
tahap yang sangat dini, serta meningkatkan berbagai operasi keamanan
dan ketertiban,
p. Peningkatan penanganan dan tindakan hukum terhadap penyalahgunaan
narkotika dan obat berbahaya melalui identifikasi dan memutus jaringan
peredarannya, peningkatan penyidikan, penyelidikan, penuntutan, serta
menghukum para pengedar secara maksimal.
155
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas kerjakan latihan
berikut ini:
1. Jelaskan tentang istilah dan pengertian HAM
2. Kemukakan sejarah perkembangan HAM
3. Jelaskan tentang HAM dan pelaksanaan hukum di Indonesia
4. Jelaskan upaya penegakan terhadap hukum dan HAM
Petunjuk Jawaban Latihan:
1. Pelajari kembali materi pada kegiatan belajar 1 dan 2
2. Diskusikan dengan teman-teman Anda
3. Kerjakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari 3-5 orang anggota
TES FORMATIF
SOAL TEMATIK
1. UUD 1945 tidak hanya mengatur tentang HAM tetapijuga memuat kewajiban
asasi manusia.Sebutkan kewajiban asasi menurut pasal 28J?
SOAL PILIHAN
1. Yang berwenang memberikan pengurangan masa hukuman atau pembebasan
adalah .
Jawaban:
a. Mahkamah Agung
b. Presiden
2. Makna alenia II Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah..
Jawaban:
a. Pernyataan kemerdekaan Indonesia
b. Pernyataan tentang cita-cita luhur bangsa Indonesia
3. Konflik hukum antara Undang-Undang dengan peraturan yang ada
dibawahnya penyelesaiannya ditangani oleh lembaga...
Jawaban:
a. Mahkamah Agung
b. Mahkamah Konstitusi
4. Dokumen HAM pertama yang diakui oleh masyarakat internasional ialah
156
Jawaban:
a. Piagam magna charta
b. Dokumen bill of rights
5. Secara implisit, HAM dalam Pembukaan UUD 1945 tercantum pada alinea
Jawaban:
a. Pertama
b. Kedua
157
Download