Corporate Culture: C

advertisement
BAB III
PERUMUSAN MASALAH
3.1. Alasan Pemilihan Masalah untuk Dipecahkan
Dalam bukunya yang berjudul ”Corporate Culture: Challenge to Excellence”, Moeljono
mengungkapkan bahwa riset yang dilakukan oleh para pakar manajemen, seperti John Kotter,
J.L. Heskett, Cameron, dan Quinn menunjukkan kegagalan inisiatif-inisiatif perubahan di banyak
perusahaan (seperti restrukturisasi, TQM, downsizing) terutama disebabkan kegagalan dalam
mengelola budaya perusahaan atau mengabaikan perusahaan. Budaya perusahaan yang menjadi
wacana utama bisnis pada tahun 1980-an tetap menemukan jejak relevansinya pada era sekarang.
Perkembangan dunia usaha yang terus berkembang saat ini tidaklah terlepas dari budaya
perusahaan yang dianutnya. Perubahan politik, ekonomi, sosial demografi, teknologi dan
peraturan-peraturan memicu adanya persaingan global di segala bidang. Keadaan lingkungan
bisnis yang berubah dengan pesat dapat diantisipiasi dengan melakukan perubahan budaya yang
sesuai dengan strategi pengelolaan bisnis sehingga mampu menjawab tantangan bisnis.
Budaya perusahaan atau budaya organisasi dapat meliputi sikap, pengalaman, belief, dan
nilai-nilai dalam suatu organisasi. Menurut Hill dan Jones (2001), budaya perusahaan dapat
didefinisikan sebagai kumpulan nilai-nilai dan norma-norma yang spesifik yang disebarkan oleh
orang-orang atau kelompok-kelompok dalam sebuah organisasi dan mengendalikan cara mereka
berinteraksi dengan yang lain dan dengan para stakeholder yang ada di luar organisasi.
Sedangkan nilai-nilai organisasi dapat berupa ide atau beliefs tentang jenis tujuan apa dari setiap
anggota organisasi yang harus dicapai dan ide tentang standar perilaku atau sikap apa yang harus
dimiliki oleh setiap anggota organisasi dalam kegiatannya mengejar tujuan tersebut. Dari nilainilai organisasi yang ada maka akan membentuk norma-norma organisasi, yakni sebuah panduan
atau ekspektasi yang menggambarkan jenis perilaku apa yang dirasakan pantas untuk dimiliki
oleh setiap pekerja dalam situasi yang ada dan kontrol dari perilaku masing-masing anggota
organisasi terhadap satu dengan yang lainnya. Yang terpenting adalah budaya perusahaan yang
38
dimiliki oleh sebuah perusahaan harus dapat mendukung visi dan misi, strategi, proses bisnis, dan
karakteristik sumber daya manusia yang dimilikinya.
Dalam kaitannya dengan entrepreneurship, budaya yang dimiliki oleh sebuah perusahaan
seringkali bertolak belakang dengan semangat entrepreneurship. Menurut Neal Thornberry
(2006) dalam bukunya “Lead Like An Entrepreneur” konteks corporate atau korporasi memiliki
asosiasi yang sangat kuat dengan pengertian besar, terorganisasi, birokrasi, formal, kaku, dan
hierarkis. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan semangat entrepreneurship yang
menonjolkan asosiasi dengan pengertian kreatif, insentif, kecil, cepat, selalu bergerak, dan
mengejar kemenangan. Padahal semangat entrepreneurship akan tetap selalu dibutuhkan oleh
korporasi agar perusahaan dapat menemukan dan menggali peluang-peluang baru yang ada serta
tidak terjebak dalam paradigma perusahaan yang hanya “doing things in the right way” namun
“doing the right things”.
Untuk mencapai hal itu, perusahaan harus menemukan dan membangkitkan kembali
semangat entrepreneurship agar perusahaan senantiasa dapat menghadapi setiap perubahan yang
terjadi di dalam lingkungan internal maupun eksternalnya. Dengan demikian, perusahaan dapat
memiliki budaya yang mendukung dan sesuai dengan strategi pengelolaan bisnis sehingga
mampu menjaga eksistensi perusahaan agar senantiasa profitable dan growth. Berikut gambar
posisi Corporate Entrepreneurship dalam Entrepreneurhip secara umum:
Gambar 3.1. Posisi Corporate Entrepreneurship dalam Entrepreneurship
(Sumber : www.asso.nordnet.fr)
39
Untuk menganalisis keberadaan budaya dari perusahaan yang bersangkutan, maka
kegiatan penelitian menjadi perlu untuk dilakukan agar keberadaan corporate entrepreneurship
yang ada saat ini dapat diidentifikasi dan dipelajari sehingga perbaikan-perbaikan pada hal-hal
yang masih kurang dapat segera dijalankan. Selain itu, kegiatan penelitian juga perlu dalam
melakukan identifikasi antara perilaku entrepreneurial para manajer dan para personal top
management yang dianggap penting terhadap frekuensi pelaksanaan yang mereka lakukan.
Dengan demikian, perusahaan dapat menentukan perilaku manajerial yang tepat untuk
memperkuat budaya perusahaan yang diinginkan serta turut meningkatkan kinerja perusahaan.
3.2. Posisi Permasalahan yang Dipecahkan
Berdasarkan Laporan Tahunan BCA, dengan aset kira-kira sebesar $10 milyar dan 8 juta
akun nasabah, BCA mampu menjelma sebagai bank swasta nasional terkemuka di Indonesia.
Sebagai bank transaksional, BCA menawarkan rangkaian jasa yang luas untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan spesifik para nasabah. Sebagai lembaga intermediari keuangan, BCA telah
bekerja keras untuk memperkuat sisi kredit dengan mempersiapkan berbagai paket yang menarik
bagi nasabah yang potensial. Di tengah kebijakan pengetatan likuiditas, BCA berhasil
membukukan kinerja yang mantap dengan didukung oleh pertumbuhan kredit yang kuat dan
struktur pendanaan yang kokoh. Selain itu, BCA juga berhasil menjalankan prinsip pengelolaan
risiko, melalui penerapan standar pengelolaan risiko secara ketat untuk mempertahankan kualitas
aktiva dan menjaga kecukupan likuiditas. (Laporan Tahunan BCA th.2005, hlm 12)
Kendati kinerja BCA hingga saat ini cukup menjanjikan, namun adanya persaingan dalam
dunia perbankan yang semakin ketat dengan perubahan perkonomian Indonesia yang semakin
cepat tentu menuntut BCA untuk melakukan pembenahan pada berbagai aspek agar kinerja
perusahaan yang sudah cukup baik dapat dipertahankan bahkan mungkin dapat ditingkatkan lagi.
Budaya perusahaan yang sesuai dengan sumber daya manusia yang kompeten akan sangat
dibutuhkan agar pengembangan usaha untuk masa yang akan datang dapat mencapai hasil yang
optimal. Adapun budaya perusahaan yang dinilai perlu dimiliki oleh perusahaan dewasa ini
adalah budaya perusahaan yang berjiwa entrepreneurial dan berdasarkan entrepreneurial
leadership, di mana budaya ini akan mendorong perusahaan untuk dapat menangkap peluang40
peluang yang ada di pasar sehingga dapat menambah nilai yang tinggi (high value added) bagi
perusahaan. Dalam penelitian ini akan dilakukan survei untuk mengukur orientasi lingkungan
entrepreneurial
secara
keseluruhan
di
suatu
perusahaan
dan
mempelajari
perilaku
entrepreneurial dari pihak manajemen maupun top management di perusahaan tersebut.
3.3. Tujuan Penelitian
Dengan adanya permasalahan di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan antara lain
untuk:
•
Melakukan penelitian secara komprehensif terhadap aspek-aspek budaya perusahaan yang
berada berkaitan dengan prinsip-prinsip entrepreneurship di dalam tubuh perusahaan.
•
Melakukan identifikasi terhadap setiap aspek dari budaya entrepreneurial yang ada di dalam
perusahaan, dan selanjutnya melakukan penilaian apakah perusahaan memiliki jiwa
entrepreneurial yang rendah, sedang, ataukah tinggi.
•
Melakukan survey EOS dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami keadaan lingkungan
internal perusahaan yang sebenarnya dalam kaitannya dengan corporate entrepreneurship
melalui proses pengumpulan data, perhitungan, analisis, dan intepretasi data, berdasarkan
skala Likert terhadap setiap dimensi-dimensi pokok yang telah dirumuskan oleh Neal
Thornberry dalam bukunya Lead Like An Entrepreneur.
•
Melakukan survey ELQ dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami perilaku
kepemimpinan entrepreneurial di BCA antara frekuensi pelaksanaannya oleh para manajer
dan top management terhadap tingkat kepentingannya, yang dilakukan melalui proses
pengumpulan data, perhitungan, analisis, dan intepretasi data, berdasarkan skala Likert dalam
cakupan tipologi kepemimpinan yang telah dirumuskan oleh Neal Thornberry dalam bukunya
Lead Like An Entrepreneur.
•
Memberikan rekomendasi kepada pihak perusahaan mengenai dimensi budaya perusahaan
apa yang harus ditingkatkan agar perusahaan dapat meningkatkan budaya perusahaan secara
keseluruhan yang berorientasi entrepreneurial, serta perilaku entrepreneurial dari manajer
perusahaan khususnya yang berasal dari jajaran top management di suatu perusahaan dengan
harapan agar tercapai peningkatan nilai tambah (value added) dari proses bisnisnya dan
tercipta pertumbuhan berkesinambungan di masa sekarang dan yang akan datang.
41
3.4. Pembatasan Masalah
Pembatasan
masalah
dilakukan
agar
kegiatan
penelitian
mengenai
corporate
entrepreneurship ini menjadi terfokus, gamblang, sistematis, dan tidak meluas menjadi
permasalahan yang lebih kompleks. Adapun, pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh
penulis adalah:
1. Kegiatan penelitian ini hanya menggunakan EOS dan ELQ sebagai kedua alat survey utama
yang dirumuskan oleh Neal Thornberry. Adapun observasi, studi literatur (terutama dari
Laporan Tahunan BCA), dan metode interview yang dilakukan oleh penulis hanya
merupakan pelengkap dari kegiatan survey tersebut.
2. Kegiatan penelitian ini semata-mata hanya ditujukan untuk kepentingan akademik yang
memanfaatkan riset sebagai medianya.
3. Kegiatan penelitian terhadap budaya perusahaan yang dimaksud adalah dilakukan hanya
terhadap budaya perusahaan yang terkait yakni BCA cabang Bandung, sehingga penelitian
maupun hasilnya menjadi bersifat spesifik.
4. Analisis yang dilakukan bersifat kuantitatif dengan memanfaatkan perhitungan berdasarkan
skala Likert, dan juga kualitatif dengan memanfaatkan persepsi dan asumsi penulis terhadap
hasil survey tersebut, sehingga hasil yang diperoleh nantinya diharapkan bersifat objektif
walaupun sedikit banyak dipengaruhi pandangan yang mungkin subjektif.
5. Penelitian dilakukan di BCA kota Bandung dengan menyebarkan kuesioner pada karyawan
dan jajaran manajerial BCA sebagai target responden di empat kantor cabang
utama/pembantu yakni Setiabudi, Achmad Yani, Pasirkaliki, dan H.Juanda (Dago).
6. Kegiatan penelitian hanya sebatas pada tahap wacana penelitian saja, dan tidak sampai pada
tahap implementasi ataupun aplikasi di dalam perusahaan tersebut.
3.5. Tinjauan Pustaka
3.5.1. Tinjauan Umum tentang Budaya Perusahaan
Tantangan yang banyak terjadi di lingkungan perusahaan akibat perubahan zaman dan
pergeseran paradigma seringkali menuntut perusahaan untuk bersikap fleksibel, bertindak cepat,
serta tanggap kepada peluang yang ada. Salah satu faktor terpenting bagi perusahaan agar dapat
42
memenangkan kompetisi dan mampu mengimplementasikan sebuah strategi atau kebijakan yang
tanggap terhadap perubahan yang dimaksud adalah dengan memiliki budaya perusahaan yang
tepat. Sampai sejauh ini, budaya entrepreneurship dapat dikatakan sebagai sebuah formula atau
panduan yang cocok untuk menghadapi berbagai tantangan sekaligus menangkap peluang yang
ada di pasar. Pelaksanaan corporate entrepreneurship dapat berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan inovasi dari pegawai di suatu perusahaan sehingga dapat meningkatkan kesuksesan
perusahaan secara keseluruhan.
Salah satu kegagalan yang sering dihadapi oleh perusahaan untuk menghadapi perubahanperubahan dalam lingkungan bisnis seperti perubahan politik, ekonomi, sosial demografi,
teknologi, dan peraturan-peraturan, disebabkan oleh kegagalan perusahaan/organisasi untuk
menyesuaikan strateginya sesuai dengan kondisi yang dihadapinya (Patterson, 1997). Selain itu,
budaya entrepreneurship seringkali mengalami resistensi yang sangat kuat ketika hendak
diterapkan di dalam tubuh perusahaan. Akibatnya, penciptaan aktivitas korporasi berdasarkan
corporate entrepreneurship juga sering mengalami kesulitan untuk dilaksanakan, karena harus
mengubah perilaku internal organisasi secara radikal. Hambatan yang biasanya ditemui dapat
berupa kentalnya budaya status quo, manajemen yang kaku, birokrasi yang terlalu panjang, dan
ketidaksiapan organisasi terhadap perubahan yang akan terjadi. Karena hal inilah, para karyawan
perlu berperilaku dan bersikap seperti layaknya entrepreneur agar perubahan ke arah yang lebih
baik dapat dilakukan dan perusahaan siap menghadapi segala tantangan yang ada di depannya.
Sebelum membahas budaya perusahaan, sebaiknya ditinjau terlebih dahulu definisi dari
budaya itu sendiri. Menurut Gareth Morgan, budaya adalah suatu pola perkembangan yang
direfleksikan oleh suatu sistem sosial dimana di dalamnya tercakup antara lain pengetahuan,
ideologi, nilai-nilai, hukum dan kebiasaan sehari-hari (Nurhayati, 2002). Sedangkan menurut
Edward Burnett Tylor, budaya adalah kumpulan yang kompleks di mana di dalamnya tercakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, adat, moral, hukum, dan berbagai macam kemampuan dan
kebiasaan dari individu sebagai anggota dari suatu kelompok sosial (Ndraha, 1997).
Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995) memberikan arti budaya sebagai gabungan kompleks
asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk
43
menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu. Karena itu, budaya telah menjadi
konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama.
Pengertian lain dari budaya yang dikemukakan oleh Krech (Graves, 1986) adalah sebagai
suatu pola semua susunan, baik material maupun perilaku yang sudah diadopsi masyarakat
sebagai suatu cara tradisional dalam memecahkan masalah-masalah para anggotanya. Budaya di
dalamnya juga termasuk semua cara yang telah terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai
budaya implisit, serta premis-premis yang mendasar dan mengandung suatu perintah.
Beberapa pemikir dan penulis telah mengadopsi tiga sudut pandang berkaitan dengan
budaya (Graves, 1986), yaitu sebagai berikut:
a. Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi beroperasi, peraturan yang
menekan, dan sebagainya.
b. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam organisasi, misalnya
organisasi yang tersentralisasi berbeda dengan organisasi yang terdesentralisasi.
c. Budaya merupakan produk sikap orang-orang dalam pekerjaan mereka, hal ini berarti
produk perjanjian psikologis antara individu dan organisasi.
Budaya organisasi memiliki makna yang luas. Menurut Luthans (1998), budaya
organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota
organisasinya. Setiap anggota biasanya berusaha untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang
berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Kreitner dan Kinicki (1992) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai perekat organisasi yang mengikat anggota organisasi melalui nilai-nilai yang
ditaati, peralatan simbolik, dan cita-cita sosial yang ingin dicapai. Sementara itu, Mondy (1993)
memperjelas dengan mengartikan budaya organisasi sebagai sistem nilai-nilai, keyakinan, dan
kebiasaan bersama dalam organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal untuk
menghasilkan norma perilaku. Dapat juga diartikan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah
sistem informasi untuk mempertahankan dan mentransmisikan pengetahuan, kepercayaan, mitosmitos, dan tingkah laku.
44
Sejalan dengan Mondy (1993), Matsumoto (1996) mendefinisikan budaya organisasi
sebagai seperangkat sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku yang dipegang oleh sekelompok
orang dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya. Titik tekan kedua tokoh ini
terletak tidak hanya pada sistem nilai-nilai yang diyakini, tetapi juga diajarkan untuk semua
anggota organisasi.
Lebih lanjut, budaya perusahaan didefinisikan sebagai sebuah sistem dari nilai
kebersamaan
yang dianut oleh para anggota atau pegawai dari sebuah perusahaan yang
membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya (Robbins, 2005). Sedangkan menurut
Schein (1992), budaya perusahaan juga dapat didefinisikan sebagai sistem dari shared beliefs dan
value yang dibangun dalam sebuah perusahaan dan memandu perilaku anggotanya. Budaya
perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan harus dapat mendukung visi dan misi dari perusahaan,
strategi, proses bisnis, dan karakteristik sumber daya manusia. Lebih jauh, Hartanto mengatakan
bahwa budaya organisasi dapat mempertinggi kemampuan dari organisasi untuk kelangsungan
hidup dan beradaptasi eksternal menjadi lebih berarti untuk siapa saja yang terlibat (Nurhayati,
2002).
Hal ini ditegaskan oleh hasil penelitian Harvard Business School (Kotter dan Heskett,
1992) yang menunjukkan bahwa budaya mempunyai dampak yang kuat dan besar pada prestasi
kerja organisasi. Penelitian itu mempunyai empat kesimpulan, sebagai berikut:
•
Budaya perusahaan dapat membantu dampak signifikan pada prestasi kerja ekonomi
perusahaan dalam jangka panjang.
•
Budaya perusahaan bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting dalam
menentukan sukses atau kegagalan perusahaan dalam dekade mendatang.
•
Budaya perusahaan yang dapat menghambat prestasi keuangan dalam jangka panjang
dapat saja terjadi, bahkan dalam perusahaan yang penuh dengan sumber daya manusia
yang kompeten.
•
Walaupun sulit diubah, budaya perusahaan dapat dibuat untuk lebih meningkatkan
prestasi.
45
Budaya perusahaan sering kali tercermin dalam perilaku keseharian anggotanya, berarti
pula merupakan praktik sehari-hari di tempat kerja. Budaya perusahaan akan memberikan
suasana psikologis bagi semua anggota, bagaimana mereka bekerja, bagaimana berhubungan
dengan atasan maupun rekan kerja, bagaimana menyelesaikan masalah, dan banyak lagi yang
merupakan wujud budaya yang khas bagi setiap perusahaan. Hal inilah yang mendorong gagasan
pentingnya keberadaan budaya yang kuat untuk diterapkan, karena nantinya akan sangat
mempengaruhi kinerja organisasi atau perusahaan baik untuk sekarang maupun untuk masa yang
akan datang.
Penelitian terhadap budaya perusahaan dilakukan untuk dapat mengamati bagaimana
karyawan suatu perusahaan melihat atau menilai perusahaan di mana mereka bekerja. Penilaian
atau identifikasi budaya perusahaan sangat penting karena budaya perusahaan berhubungan erat
dengan strategi bisnis perusahaan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari seberapa besar
dukungan seluruh karyawan terhadap strategi yang dijalankan oleh perusahaan. Menurut Schein
(1992), budaya yang kuat menyebabkan kinerja yang kuat, tetapi sebaliknya ternyata terjadi juga,
kinerja yang kuat dapat membantu menciptakan budaya yang kuat.
3.5.2. Tinjauan Umum tentang Corporate Entrepreneurship
Perubahan lingkungan bisnis menuntut kemampuan suatu organisasi untuk menyikapinya.
Bahkan, perubahan tersebut semakin besar dan semakin kompleks di masa kini. Perlu disadari
bahwa budaya perusahaan atau organisasi dapat menjadi sumber kekuatan namun dapat pula
menjadi sumber kelemahan bagi sebuah organisasi dalam menghadapi tantangan yang ada.
Karena itu menurut Winardi dalam karya tulisnya “Peran Pemimpin Membangun
Perusahaan” dari buku “Corporate Culture: Challenge to Excellence”, Smircich (1983)
mengungkapkan bahwa budaya perusahaan yang kuat dapat berperan sebagai:
1. Variabel yang mempengaruhi praktik-praktik manajemen dan sikap pegawai;
2. Sebagai variabel intern yang berperan untuk mengonseptualisasikan organisasi dalam
proses produksi atau jasanya.
46
Adanya budaya kewirausahaan di dalam tubuh perusahaan diyakini dapat menjawab
tantangan-tantangan tersebut. Dengan budaya perusahaan yang berbasis pada kewirausahaan,
perusahaan diharapkan mampu untuk menemukan dan menangkap peluang yang ada serta
mengubahnya menjadi value bagi perusahaan, customer, dan para stakeholder.
Budaya kewirausahaan di dalam perusahaan dikenal sebagai corporate entrepreneurship
atau sering disebut juga sebagai intrapreneurship. Istilah ini sudah dikenal sejak tahun 1980-an.
Menurut Pinchot (1985), intrapreneurship ini secara luas diartikan sebagai suatu usaha untuk
menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan (entrepreneurship) yang berasal dari perusahaan baru
di dalam perusahaan yang telah ada, baik itu perusahaan menengah maupun perusahaan besar.
Selanjutnya pada tahun 1992, istilah intrapreneurship telah ditambahkan pada The American
Heritage Dictionary, yang didefinisikan sebagai: “a person within a large corporation who takes
direct responsibility for turning an idea into a profitable finished product through assertive risktaking and innovation” (Kautz,1999).
Di dalam membangun visi untuk masa depan, manajemen harus secara jelas mengerti tipe
dari mekanisme atau proses yang harus diimplementasikan di dalam tubuh organisasi atau
perusahaan. Sebuah organisasi yang entrepreneurial mempunyai karakter yang sangat didasarkan
proses di dalam organisasi tersebut, dan bukan didasarkan atas struktur, produk, ataupun
teknologi yang dimilikinya. Proses yang selalu dilandasi oleh semangat “doing the right things”
merupakan ciri utama dari perusahaan yang entrepreneurial dalam melihat, menangkap, dan
mengubah peluang menjadi sebuah nilai tambah. Semangat inilah yang diharapkan akan mampu
menghidupkan kembali budaya perusahaan yang berbasis pada entrepreneurship.
Menurut Fry (1993), intrapreneurship dapat didefinisikan sebagai: “innovative products
or processes are developed by creating an entrepreneurial culture within an already existing
organization”. Intrapreneur dapat mengambil gagasan baru dan mengubahnya menjadi
kenyataan yang menguntungkan. Intrapreneur adalah entrepreneur yang berada di dalam suatu
organisasi yang sudah mapan. Ia mampu bertindak di tengah-tengah keterbatasan yang ada dalam
suatu organisasi. Mengembangkan filosofi intrapreneurial dalam organisasi menghasilkan
keuntungan yang beragam, termasuk perkembangan dari ukuran dan atau diversitas dari produk
47
dan jangkauan jasa yang dihasilkan, dan membantu organisasi tersebut untuk berkembang dan
tumbuh. Hal tersebut juga membantu terciptanya kreasi tenaga kerja yang dapat membantu
mempertahankan persaingan dan mempromosikan sebuah kondisi yang kondusif untuk
terciptanya pencapaian yang tinggi (Kuratko & Hodgetts, 1995).
Tanpa semangat dan filosofi intrapreneurship di dalam tubuh perusahaan, biasanya
perusahaan tidak dapat tumbuh dan menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan. Hal ini
tentunya akan menyebabkan perusahaan tidak bisa bertahan dalam dunia bisnis untuk waktu yang
lama di tengah kompetisi global yang semakin ketat. Karena itu, perusahaan seharusnya dapat
menumbuhkan kembali jiwa entrepreneurial untuk meningkatkan ketajaman bisnis dan
menciptakan inovasi agar tercipta competitive advantage yang diinginkan perusahaan.
Hisrich dan Peters (2004) menyatakan bahwa untuk menciptakan iklim yang berbasis
intrapreneurship, sebuah perusahaan perlu mengembangkan lingkungan yang intrapreneurial
(intrapreneurial environment) dan karakteristik kepemimpinan (leadership characteristics).
Lingkungan intrapreneurial ini dapat dicapai melalui pendekatan budaya perusahaan sedangkan
karakteristik kepemimpinan yang berjiwa intrapreneurial berkaitan dengan kompetensi sumber
daya manusia yang dimilikinya. Kepemimpinan yang entrepreneurial-pun perlu disesuaikan
dengan kebutuhan dari perusahaan yang ditempatinya berdasarkan sifat-sifat dari peran yang
dimilikinya.
Untuk mewujudkan dasar-dasar nilai entrepreneurial di dalam perusahaan, Thornberry
(2006) menyatakan bahwa perusahaan harus memiliki tujuh sifat dasar, yang di dalam bukunya
dikenal sebagai The 7 Fs dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Fast
Kecepatan merupakan salah satu keunggulan yang harus dimiliki oleh perusahaan dalam
menangkap dan memanfaatkan peluang yang ada di pasar. Perusahaan yang memperkenalkan
produk andalannya untuk pertama kali biasanya memiliki peluang sukses yang lebih besar
daripada pesaingnya, karena ia selangkah lebih maju dalam menangkap pangsa pasar yang ada.
48
Kecepatan juga dapat berarti kemampuan yang dimiliki perusahaan untuk mengambil keputusan,
mengalokasikan sumber daya, dan delivery yang cepat ke tangan pelanggan.
2. Flexible
Dalam persaingan pasar yang semakin ketat, fleksibilitas merupakan hal yang tidak dapat
dipungkiri lagi sebagai sebuah faktor penting yang perlu dimiliki oleh perusahaan. Fleksibilitas
dalam perusahaan dapat digambarkan sebagai sebuah kemampuan untuk menempatkan atau
menggerakkan orang dan sumber daya yang ada secara efektif untuk menangkap peluang pasar.
Fleksibel dapat juga berarti bahwa perusahaan harus bersifat agile. Maksudnya adalah
perusahaan perlu memiliki respon yang cepat dan koordinasi yang lancar antar divisi atau
departemen di dalamnya ketika menghadapi tantangan perubahan ataupun ketika hendak
menangkap peluang yang ada di pasar.
3. Focused
Selain harus cepat dan fleksibel, perusahaan perlu juga memiliki rencana dan struktur
yang kuat di dalamnya. Karena peluang yang ada begitu banyak, tidaklah mungkin bagi
perusahaan untuk mengejar semua peluang tersebut dengan sumber daya dan waktu yang
terbatas. Tentunya perusahaan membutuhkan rencana yang jelas dan terarah dalam menangkap
peluang tersebut. Perusahaan juga sebaiknya memfokuskan diri dalam menciptakan produk
ataupun jasa yang didasarkan pada core capabilities yang dimilikinya.
4. Friendly
Faktor
penting
lainnya
yang
seharusnya
ditemukan
dalam
perusahaan
yang
entrepreneurial adalah keramahan (friendliness). Untuk sukses, perusahaan harus memiliki sikap
yang bersahabat baik terhadap pelanggan maupun karyawan. Sikap bersahabat yang ditunjukkan
oleh perusahaan terhadap karyawannya akan membuat karyawan lebih puas dan memiliki
perasaan yang lebih dalam terhadap tempat di mana mereka bekerja. Karyawan yang puas tentu
akan memberikan service yang lebih baik kepada pelanggan dari perusahaan tersebut.
49
5. Frugal
Frugality bukan berarti cheapness. Menjadi frugal berarti menggunakan uang dengan
bijaksana sesuai dengan strategi yang hendak dijalankan. Bagi perusahaan yang entrepreneurial,
frugality memiliki arti yaitu berfokus secara konsisten dalam mempertahankan biaya di bawah
pengendalian ketika sedang mengambil keuntungan dari peluang baru yang ada di pasar. Hal ini
juga berarti perusahaan seharusnya dapat mengurangi biaya untuk area-area yang memiliki
sedikit atau hampir tidak ada peluang sambil menginvestasikan dananya ke dalam area yang
berpeluang untuk memiliki potensi besar yang sedang bertumbuh.
6. Far-reaching
Far-reaching di sini memiliki kaitan erat dengan pasar dan distribusinya. Perusahaan
yang entreprenerial sebaiknya selalu melihat secara luas area yang hendak perusahaan tuju.
Perusahaan juga perlu memandang bahwa dunia global sebagai satu kesatuan dan tidak
membatasi usaha mereka hanya pada wilayah geografis lokal saja. Berangkat dari pengertian
inilah, far-reaching bagi perusahaan memiliki makna untuk menjangkau banyak pelanggan atau
pasar yang berbeda-beda dengan produk atau jasa yang hendak ditawarkannya.
7. Futuristic
Perusahaan sebaiknya tidak hanya memperhatikan pelanggan yang sudah ia miliki, namun
perlu memiliki rencana ke depan untuk menjangkau pelanggan baru. Perusahaan seharusnya
dapat menangkap pasar atau pelanggan baru ketika ia mengembangkan produk atau teknologi
baru. Karena itulah, kemampuan perusahaan dalam menemukan kebutuhan dari pelanggan yang
mereka sendiri tidak menyadarinya menjadi hal yang penting untuk menggali potensi dari
peluang yang ada di pasar.
Berdasarkan perannya, Thornberry (2006) menggolongkan tipe kepemimpinan suatu
perusahaan menjadi dua kelompok yaitu pemimpin yang berperan aktif dan pemimpin yang
berperan sebagai katalis. Berdasarkan fokus, Thornberry juga menggolongkan tipe pemimpin
menjadi dua yaitu pemimpin yang berfokus pada keadaan di luar perusahaan (external focus) dan
pemimpin yang berfokus pada aset perusahaan (internal focus). Untuk lebih jelasnya, perhatikan
matriks berikut ini:
50
Gambar 3.2. Karakteristik Kepimimpinan Entrepreneurial
(Sumber: Thornberry, 2006)
Tipe aktivis adalah tipe yang melakukan sendiri inovasi untuk mewujudkan value
creation bagi perusahaan. Mereka mendorong organisasi pada arah baru sehingga mampu
memberikan value added bagi perusahaan. Sebaliknya, tipe katalis tidak terlibat kangsung dalam
penciptaan nilai tambah bagi perusahaan. Mereka biasanya menolong menciptakan dan
mendukung lingkungan dalam perusahaan yang mendorong adanya inovasi dan terbentuknya ideide baru untuk merealisasikan peluang yang muncul. Selain keempat tipe tersebut, terdapat satu
tipologi yaitu General Entrepreneurial Leadership (GEL), yang merupakan suatu tipe yang secara
umum memotong keseluruhan tipologi di atas. Berikut deskripsi peran dari masing-masing
tipologi yang ada:
Tabel 3.1. Tipologi Peran Kepimimpinan Entrepreneurial Menurut Thornberry (2006)
Tipologi
Explorer
Deskripsi Peran
•
Terlibat langsung dengan value-creating activity yang bertujuan untuk
mengembangkan pasar baru, produk dan servis baru atau keduanya.
•
Pada umumnya sangat jeli dalam melihat peluang pasar dan berani
mengambil risiko bahkan jalan pintas apabila dirasa perlu dalam
menangkap peluang pasar.
51
Miner
•
Memiliki titik fokus dalam efisiensi di perusahaan.
•
Melihat peluang untuk value creation dengan cara merampingkan
proses atau memperbaiki penggunaan aset yang ada sehingga dapat
meningkatkan daya saing.
Accelerator
•
Biasanya memimpin suatu unit, divisi atau anak perusahaan.
•
Dapat memotivasi karyawannya untuk lebih inovatif dan berlaku
entrepreneurial.
•
Mendukung
karyawannya
dalam
mengambil
risiko
dan
merealisasikan ide-ide mereka apabila ide tersebut dirasa akan
memberi nilai tambah pada perusahaan.
Integrator
•
Biasanya dalam struktur organisasi perusahaan berada di tingkat
senior level management.
•
Dapat menciptakan strategi yang bersifat entrepreneurial serta
membangun sumber daya manusia, struktur, proses dan budaya yang
menunjang strategi tersebut.
52
Download