BAB III PERUMUSAN MASALAH 3.1. Alasan Pemilihan Masalah untuk Dipecahkan Dalam bukunya yang berjudul ”Corporate Culture: Challenge to Excellence”, Moeljono mengungkapkan bahwa riset yang dilakukan oleh para pakar manajemen, seperti John Kotter, J.L. Heskett, Cameron, dan Quinn menunjukkan kegagalan inisiatif-inisiatif perubahan di banyak perusahaan (seperti restrukturisasi, TQM, downsizing) terutama disebabkan kegagalan dalam mengelola budaya perusahaan atau mengabaikan perusahaan. Budaya perusahaan yang menjadi wacana utama bisnis pada tahun 1980-an tetap menemukan jejak relevansinya pada era sekarang. Perkembangan dunia usaha yang terus berkembang saat ini tidaklah terlepas dari budaya perusahaan yang dianutnya. Perubahan politik, ekonomi, sosial demografi, teknologi dan peraturan-peraturan memicu adanya persaingan global di segala bidang. Keadaan lingkungan bisnis yang berubah dengan pesat dapat diantisipiasi dengan melakukan perubahan budaya yang sesuai dengan strategi pengelolaan bisnis sehingga mampu menjawab tantangan bisnis. Budaya perusahaan atau budaya organisasi dapat meliputi sikap, pengalaman, belief, dan nilai-nilai dalam suatu organisasi. Menurut Hill dan Jones (2001), budaya perusahaan dapat didefinisikan sebagai kumpulan nilai-nilai dan norma-norma yang spesifik yang disebarkan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok dalam sebuah organisasi dan mengendalikan cara mereka berinteraksi dengan yang lain dan dengan para stakeholder yang ada di luar organisasi. Sedangkan nilai-nilai organisasi dapat berupa ide atau beliefs tentang jenis tujuan apa dari setiap anggota organisasi yang harus dicapai dan ide tentang standar perilaku atau sikap apa yang harus dimiliki oleh setiap anggota organisasi dalam kegiatannya mengejar tujuan tersebut. Dari nilainilai organisasi yang ada maka akan membentuk norma-norma organisasi, yakni sebuah panduan atau ekspektasi yang menggambarkan jenis perilaku apa yang dirasakan pantas untuk dimiliki oleh setiap pekerja dalam situasi yang ada dan kontrol dari perilaku masing-masing anggota organisasi terhadap satu dengan yang lainnya. Yang terpenting adalah budaya perusahaan yang 38 dimiliki oleh sebuah perusahaan harus dapat mendukung visi dan misi, strategi, proses bisnis, dan karakteristik sumber daya manusia yang dimilikinya. Dalam kaitannya dengan entrepreneurship, budaya yang dimiliki oleh sebuah perusahaan seringkali bertolak belakang dengan semangat entrepreneurship. Menurut Neal Thornberry (2006) dalam bukunya “Lead Like An Entrepreneur” konteks corporate atau korporasi memiliki asosiasi yang sangat kuat dengan pengertian besar, terorganisasi, birokrasi, formal, kaku, dan hierarkis. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan semangat entrepreneurship yang menonjolkan asosiasi dengan pengertian kreatif, insentif, kecil, cepat, selalu bergerak, dan mengejar kemenangan. Padahal semangat entrepreneurship akan tetap selalu dibutuhkan oleh korporasi agar perusahaan dapat menemukan dan menggali peluang-peluang baru yang ada serta tidak terjebak dalam paradigma perusahaan yang hanya “doing things in the right way” namun “doing the right things”. Untuk mencapai hal itu, perusahaan harus menemukan dan membangkitkan kembali semangat entrepreneurship agar perusahaan senantiasa dapat menghadapi setiap perubahan yang terjadi di dalam lingkungan internal maupun eksternalnya. Dengan demikian, perusahaan dapat memiliki budaya yang mendukung dan sesuai dengan strategi pengelolaan bisnis sehingga mampu menjaga eksistensi perusahaan agar senantiasa profitable dan growth. Berikut gambar posisi Corporate Entrepreneurship dalam Entrepreneurhip secara umum: Gambar 3.1. Posisi Corporate Entrepreneurship dalam Entrepreneurship (Sumber : www.asso.nordnet.fr) 39 Untuk menganalisis keberadaan budaya dari perusahaan yang bersangkutan, maka kegiatan penelitian menjadi perlu untuk dilakukan agar keberadaan corporate entrepreneurship yang ada saat ini dapat diidentifikasi dan dipelajari sehingga perbaikan-perbaikan pada hal-hal yang masih kurang dapat segera dijalankan. Selain itu, kegiatan penelitian juga perlu dalam melakukan identifikasi antara perilaku entrepreneurial para manajer dan para personal top management yang dianggap penting terhadap frekuensi pelaksanaan yang mereka lakukan. Dengan demikian, perusahaan dapat menentukan perilaku manajerial yang tepat untuk memperkuat budaya perusahaan yang diinginkan serta turut meningkatkan kinerja perusahaan. 3.2. Posisi Permasalahan yang Dipecahkan Berdasarkan Laporan Tahunan BCA, dengan aset kira-kira sebesar $10 milyar dan 8 juta akun nasabah, BCA mampu menjelma sebagai bank swasta nasional terkemuka di Indonesia. Sebagai bank transaksional, BCA menawarkan rangkaian jasa yang luas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik para nasabah. Sebagai lembaga intermediari keuangan, BCA telah bekerja keras untuk memperkuat sisi kredit dengan mempersiapkan berbagai paket yang menarik bagi nasabah yang potensial. Di tengah kebijakan pengetatan likuiditas, BCA berhasil membukukan kinerja yang mantap dengan didukung oleh pertumbuhan kredit yang kuat dan struktur pendanaan yang kokoh. Selain itu, BCA juga berhasil menjalankan prinsip pengelolaan risiko, melalui penerapan standar pengelolaan risiko secara ketat untuk mempertahankan kualitas aktiva dan menjaga kecukupan likuiditas. (Laporan Tahunan BCA th.2005, hlm 12) Kendati kinerja BCA hingga saat ini cukup menjanjikan, namun adanya persaingan dalam dunia perbankan yang semakin ketat dengan perubahan perkonomian Indonesia yang semakin cepat tentu menuntut BCA untuk melakukan pembenahan pada berbagai aspek agar kinerja perusahaan yang sudah cukup baik dapat dipertahankan bahkan mungkin dapat ditingkatkan lagi. Budaya perusahaan yang sesuai dengan sumber daya manusia yang kompeten akan sangat dibutuhkan agar pengembangan usaha untuk masa yang akan datang dapat mencapai hasil yang optimal. Adapun budaya perusahaan yang dinilai perlu dimiliki oleh perusahaan dewasa ini adalah budaya perusahaan yang berjiwa entrepreneurial dan berdasarkan entrepreneurial leadership, di mana budaya ini akan mendorong perusahaan untuk dapat menangkap peluang40 peluang yang ada di pasar sehingga dapat menambah nilai yang tinggi (high value added) bagi perusahaan. Dalam penelitian ini akan dilakukan survei untuk mengukur orientasi lingkungan entrepreneurial secara keseluruhan di suatu perusahaan dan mempelajari perilaku entrepreneurial dari pihak manajemen maupun top management di perusahaan tersebut. 3.3. Tujuan Penelitian Dengan adanya permasalahan di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan antara lain untuk: • Melakukan penelitian secara komprehensif terhadap aspek-aspek budaya perusahaan yang berada berkaitan dengan prinsip-prinsip entrepreneurship di dalam tubuh perusahaan. • Melakukan identifikasi terhadap setiap aspek dari budaya entrepreneurial yang ada di dalam perusahaan, dan selanjutnya melakukan penilaian apakah perusahaan memiliki jiwa entrepreneurial yang rendah, sedang, ataukah tinggi. • Melakukan survey EOS dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami keadaan lingkungan internal perusahaan yang sebenarnya dalam kaitannya dengan corporate entrepreneurship melalui proses pengumpulan data, perhitungan, analisis, dan intepretasi data, berdasarkan skala Likert terhadap setiap dimensi-dimensi pokok yang telah dirumuskan oleh Neal Thornberry dalam bukunya Lead Like An Entrepreneur. • Melakukan survey ELQ dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami perilaku kepemimpinan entrepreneurial di BCA antara frekuensi pelaksanaannya oleh para manajer dan top management terhadap tingkat kepentingannya, yang dilakukan melalui proses pengumpulan data, perhitungan, analisis, dan intepretasi data, berdasarkan skala Likert dalam cakupan tipologi kepemimpinan yang telah dirumuskan oleh Neal Thornberry dalam bukunya Lead Like An Entrepreneur. • Memberikan rekomendasi kepada pihak perusahaan mengenai dimensi budaya perusahaan apa yang harus ditingkatkan agar perusahaan dapat meningkatkan budaya perusahaan secara keseluruhan yang berorientasi entrepreneurial, serta perilaku entrepreneurial dari manajer perusahaan khususnya yang berasal dari jajaran top management di suatu perusahaan dengan harapan agar tercapai peningkatan nilai tambah (value added) dari proses bisnisnya dan tercipta pertumbuhan berkesinambungan di masa sekarang dan yang akan datang. 41 3.4. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dilakukan agar kegiatan penelitian mengenai corporate entrepreneurship ini menjadi terfokus, gamblang, sistematis, dan tidak meluas menjadi permasalahan yang lebih kompleks. Adapun, pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh penulis adalah: 1. Kegiatan penelitian ini hanya menggunakan EOS dan ELQ sebagai kedua alat survey utama yang dirumuskan oleh Neal Thornberry. Adapun observasi, studi literatur (terutama dari Laporan Tahunan BCA), dan metode interview yang dilakukan oleh penulis hanya merupakan pelengkap dari kegiatan survey tersebut. 2. Kegiatan penelitian ini semata-mata hanya ditujukan untuk kepentingan akademik yang memanfaatkan riset sebagai medianya. 3. Kegiatan penelitian terhadap budaya perusahaan yang dimaksud adalah dilakukan hanya terhadap budaya perusahaan yang terkait yakni BCA cabang Bandung, sehingga penelitian maupun hasilnya menjadi bersifat spesifik. 4. Analisis yang dilakukan bersifat kuantitatif dengan memanfaatkan perhitungan berdasarkan skala Likert, dan juga kualitatif dengan memanfaatkan persepsi dan asumsi penulis terhadap hasil survey tersebut, sehingga hasil yang diperoleh nantinya diharapkan bersifat objektif walaupun sedikit banyak dipengaruhi pandangan yang mungkin subjektif. 5. Penelitian dilakukan di BCA kota Bandung dengan menyebarkan kuesioner pada karyawan dan jajaran manajerial BCA sebagai target responden di empat kantor cabang utama/pembantu yakni Setiabudi, Achmad Yani, Pasirkaliki, dan H.Juanda (Dago). 6. Kegiatan penelitian hanya sebatas pada tahap wacana penelitian saja, dan tidak sampai pada tahap implementasi ataupun aplikasi di dalam perusahaan tersebut. 3.5. Tinjauan Pustaka 3.5.1. Tinjauan Umum tentang Budaya Perusahaan Tantangan yang banyak terjadi di lingkungan perusahaan akibat perubahan zaman dan pergeseran paradigma seringkali menuntut perusahaan untuk bersikap fleksibel, bertindak cepat, serta tanggap kepada peluang yang ada. Salah satu faktor terpenting bagi perusahaan agar dapat 42 memenangkan kompetisi dan mampu mengimplementasikan sebuah strategi atau kebijakan yang tanggap terhadap perubahan yang dimaksud adalah dengan memiliki budaya perusahaan yang tepat. Sampai sejauh ini, budaya entrepreneurship dapat dikatakan sebagai sebuah formula atau panduan yang cocok untuk menghadapi berbagai tantangan sekaligus menangkap peluang yang ada di pasar. Pelaksanaan corporate entrepreneurship dapat berfungsi untuk meningkatkan kemampuan inovasi dari pegawai di suatu perusahaan sehingga dapat meningkatkan kesuksesan perusahaan secara keseluruhan. Salah satu kegagalan yang sering dihadapi oleh perusahaan untuk menghadapi perubahanperubahan dalam lingkungan bisnis seperti perubahan politik, ekonomi, sosial demografi, teknologi, dan peraturan-peraturan, disebabkan oleh kegagalan perusahaan/organisasi untuk menyesuaikan strateginya sesuai dengan kondisi yang dihadapinya (Patterson, 1997). Selain itu, budaya entrepreneurship seringkali mengalami resistensi yang sangat kuat ketika hendak diterapkan di dalam tubuh perusahaan. Akibatnya, penciptaan aktivitas korporasi berdasarkan corporate entrepreneurship juga sering mengalami kesulitan untuk dilaksanakan, karena harus mengubah perilaku internal organisasi secara radikal. Hambatan yang biasanya ditemui dapat berupa kentalnya budaya status quo, manajemen yang kaku, birokrasi yang terlalu panjang, dan ketidaksiapan organisasi terhadap perubahan yang akan terjadi. Karena hal inilah, para karyawan perlu berperilaku dan bersikap seperti layaknya entrepreneur agar perubahan ke arah yang lebih baik dapat dilakukan dan perusahaan siap menghadapi segala tantangan yang ada di depannya. Sebelum membahas budaya perusahaan, sebaiknya ditinjau terlebih dahulu definisi dari budaya itu sendiri. Menurut Gareth Morgan, budaya adalah suatu pola perkembangan yang direfleksikan oleh suatu sistem sosial dimana di dalamnya tercakup antara lain pengetahuan, ideologi, nilai-nilai, hukum dan kebiasaan sehari-hari (Nurhayati, 2002). Sedangkan menurut Edward Burnett Tylor, budaya adalah kumpulan yang kompleks di mana di dalamnya tercakup pengetahuan, kepercayaan, seni, adat, moral, hukum, dan berbagai macam kemampuan dan kebiasaan dari individu sebagai anggota dari suatu kelompok sosial (Ndraha, 1997). Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995) memberikan arti budaya sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk 43 menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu. Karena itu, budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Pengertian lain dari budaya yang dikemukakan oleh Krech (Graves, 1986) adalah sebagai suatu pola semua susunan, baik material maupun perilaku yang sudah diadopsi masyarakat sebagai suatu cara tradisional dalam memecahkan masalah-masalah para anggotanya. Budaya di dalamnya juga termasuk semua cara yang telah terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit, serta premis-premis yang mendasar dan mengandung suatu perintah. Beberapa pemikir dan penulis telah mengadopsi tiga sudut pandang berkaitan dengan budaya (Graves, 1986), yaitu sebagai berikut: a. Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi beroperasi, peraturan yang menekan, dan sebagainya. b. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi berbeda dengan organisasi yang terdesentralisasi. c. Budaya merupakan produk sikap orang-orang dalam pekerjaan mereka, hal ini berarti produk perjanjian psikologis antara individu dan organisasi. Budaya organisasi memiliki makna yang luas. Menurut Luthans (1998), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasinya. Setiap anggota biasanya berusaha untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Kreitner dan Kinicki (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai perekat organisasi yang mengikat anggota organisasi melalui nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbolik, dan cita-cita sosial yang ingin dicapai. Sementara itu, Mondy (1993) memperjelas dengan mengartikan budaya organisasi sebagai sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan bersama dalam organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal untuk menghasilkan norma perilaku. Dapat juga diartikan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah sistem informasi untuk mempertahankan dan mentransmisikan pengetahuan, kepercayaan, mitosmitos, dan tingkah laku. 44 Sejalan dengan Mondy (1993), Matsumoto (1996) mendefinisikan budaya organisasi sebagai seperangkat sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku yang dipegang oleh sekelompok orang dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya. Titik tekan kedua tokoh ini terletak tidak hanya pada sistem nilai-nilai yang diyakini, tetapi juga diajarkan untuk semua anggota organisasi. Lebih lanjut, budaya perusahaan didefinisikan sebagai sebuah sistem dari nilai kebersamaan yang dianut oleh para anggota atau pegawai dari sebuah perusahaan yang membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya (Robbins, 2005). Sedangkan menurut Schein (1992), budaya perusahaan juga dapat didefinisikan sebagai sistem dari shared beliefs dan value yang dibangun dalam sebuah perusahaan dan memandu perilaku anggotanya. Budaya perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan harus dapat mendukung visi dan misi dari perusahaan, strategi, proses bisnis, dan karakteristik sumber daya manusia. Lebih jauh, Hartanto mengatakan bahwa budaya organisasi dapat mempertinggi kemampuan dari organisasi untuk kelangsungan hidup dan beradaptasi eksternal menjadi lebih berarti untuk siapa saja yang terlibat (Nurhayati, 2002). Hal ini ditegaskan oleh hasil penelitian Harvard Business School (Kotter dan Heskett, 1992) yang menunjukkan bahwa budaya mempunyai dampak yang kuat dan besar pada prestasi kerja organisasi. Penelitian itu mempunyai empat kesimpulan, sebagai berikut: • Budaya perusahaan dapat membantu dampak signifikan pada prestasi kerja ekonomi perusahaan dalam jangka panjang. • Budaya perusahaan bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau kegagalan perusahaan dalam dekade mendatang. • Budaya perusahaan yang dapat menghambat prestasi keuangan dalam jangka panjang dapat saja terjadi, bahkan dalam perusahaan yang penuh dengan sumber daya manusia yang kompeten. • Walaupun sulit diubah, budaya perusahaan dapat dibuat untuk lebih meningkatkan prestasi. 45 Budaya perusahaan sering kali tercermin dalam perilaku keseharian anggotanya, berarti pula merupakan praktik sehari-hari di tempat kerja. Budaya perusahaan akan memberikan suasana psikologis bagi semua anggota, bagaimana mereka bekerja, bagaimana berhubungan dengan atasan maupun rekan kerja, bagaimana menyelesaikan masalah, dan banyak lagi yang merupakan wujud budaya yang khas bagi setiap perusahaan. Hal inilah yang mendorong gagasan pentingnya keberadaan budaya yang kuat untuk diterapkan, karena nantinya akan sangat mempengaruhi kinerja organisasi atau perusahaan baik untuk sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Penelitian terhadap budaya perusahaan dilakukan untuk dapat mengamati bagaimana karyawan suatu perusahaan melihat atau menilai perusahaan di mana mereka bekerja. Penilaian atau identifikasi budaya perusahaan sangat penting karena budaya perusahaan berhubungan erat dengan strategi bisnis perusahaan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari seberapa besar dukungan seluruh karyawan terhadap strategi yang dijalankan oleh perusahaan. Menurut Schein (1992), budaya yang kuat menyebabkan kinerja yang kuat, tetapi sebaliknya ternyata terjadi juga, kinerja yang kuat dapat membantu menciptakan budaya yang kuat. 3.5.2. Tinjauan Umum tentang Corporate Entrepreneurship Perubahan lingkungan bisnis menuntut kemampuan suatu organisasi untuk menyikapinya. Bahkan, perubahan tersebut semakin besar dan semakin kompleks di masa kini. Perlu disadari bahwa budaya perusahaan atau organisasi dapat menjadi sumber kekuatan namun dapat pula menjadi sumber kelemahan bagi sebuah organisasi dalam menghadapi tantangan yang ada. Karena itu menurut Winardi dalam karya tulisnya “Peran Pemimpin Membangun Perusahaan” dari buku “Corporate Culture: Challenge to Excellence”, Smircich (1983) mengungkapkan bahwa budaya perusahaan yang kuat dapat berperan sebagai: 1. Variabel yang mempengaruhi praktik-praktik manajemen dan sikap pegawai; 2. Sebagai variabel intern yang berperan untuk mengonseptualisasikan organisasi dalam proses produksi atau jasanya. 46 Adanya budaya kewirausahaan di dalam tubuh perusahaan diyakini dapat menjawab tantangan-tantangan tersebut. Dengan budaya perusahaan yang berbasis pada kewirausahaan, perusahaan diharapkan mampu untuk menemukan dan menangkap peluang yang ada serta mengubahnya menjadi value bagi perusahaan, customer, dan para stakeholder. Budaya kewirausahaan di dalam perusahaan dikenal sebagai corporate entrepreneurship atau sering disebut juga sebagai intrapreneurship. Istilah ini sudah dikenal sejak tahun 1980-an. Menurut Pinchot (1985), intrapreneurship ini secara luas diartikan sebagai suatu usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan (entrepreneurship) yang berasal dari perusahaan baru di dalam perusahaan yang telah ada, baik itu perusahaan menengah maupun perusahaan besar. Selanjutnya pada tahun 1992, istilah intrapreneurship telah ditambahkan pada The American Heritage Dictionary, yang didefinisikan sebagai: “a person within a large corporation who takes direct responsibility for turning an idea into a profitable finished product through assertive risktaking and innovation” (Kautz,1999). Di dalam membangun visi untuk masa depan, manajemen harus secara jelas mengerti tipe dari mekanisme atau proses yang harus diimplementasikan di dalam tubuh organisasi atau perusahaan. Sebuah organisasi yang entrepreneurial mempunyai karakter yang sangat didasarkan proses di dalam organisasi tersebut, dan bukan didasarkan atas struktur, produk, ataupun teknologi yang dimilikinya. Proses yang selalu dilandasi oleh semangat “doing the right things” merupakan ciri utama dari perusahaan yang entrepreneurial dalam melihat, menangkap, dan mengubah peluang menjadi sebuah nilai tambah. Semangat inilah yang diharapkan akan mampu menghidupkan kembali budaya perusahaan yang berbasis pada entrepreneurship. Menurut Fry (1993), intrapreneurship dapat didefinisikan sebagai: “innovative products or processes are developed by creating an entrepreneurial culture within an already existing organization”. Intrapreneur dapat mengambil gagasan baru dan mengubahnya menjadi kenyataan yang menguntungkan. Intrapreneur adalah entrepreneur yang berada di dalam suatu organisasi yang sudah mapan. Ia mampu bertindak di tengah-tengah keterbatasan yang ada dalam suatu organisasi. Mengembangkan filosofi intrapreneurial dalam organisasi menghasilkan keuntungan yang beragam, termasuk perkembangan dari ukuran dan atau diversitas dari produk 47 dan jangkauan jasa yang dihasilkan, dan membantu organisasi tersebut untuk berkembang dan tumbuh. Hal tersebut juga membantu terciptanya kreasi tenaga kerja yang dapat membantu mempertahankan persaingan dan mempromosikan sebuah kondisi yang kondusif untuk terciptanya pencapaian yang tinggi (Kuratko & Hodgetts, 1995). Tanpa semangat dan filosofi intrapreneurship di dalam tubuh perusahaan, biasanya perusahaan tidak dapat tumbuh dan menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan. Hal ini tentunya akan menyebabkan perusahaan tidak bisa bertahan dalam dunia bisnis untuk waktu yang lama di tengah kompetisi global yang semakin ketat. Karena itu, perusahaan seharusnya dapat menumbuhkan kembali jiwa entrepreneurial untuk meningkatkan ketajaman bisnis dan menciptakan inovasi agar tercipta competitive advantage yang diinginkan perusahaan. Hisrich dan Peters (2004) menyatakan bahwa untuk menciptakan iklim yang berbasis intrapreneurship, sebuah perusahaan perlu mengembangkan lingkungan yang intrapreneurial (intrapreneurial environment) dan karakteristik kepemimpinan (leadership characteristics). Lingkungan intrapreneurial ini dapat dicapai melalui pendekatan budaya perusahaan sedangkan karakteristik kepemimpinan yang berjiwa intrapreneurial berkaitan dengan kompetensi sumber daya manusia yang dimilikinya. Kepemimpinan yang entrepreneurial-pun perlu disesuaikan dengan kebutuhan dari perusahaan yang ditempatinya berdasarkan sifat-sifat dari peran yang dimilikinya. Untuk mewujudkan dasar-dasar nilai entrepreneurial di dalam perusahaan, Thornberry (2006) menyatakan bahwa perusahaan harus memiliki tujuh sifat dasar, yang di dalam bukunya dikenal sebagai The 7 Fs dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Fast Kecepatan merupakan salah satu keunggulan yang harus dimiliki oleh perusahaan dalam menangkap dan memanfaatkan peluang yang ada di pasar. Perusahaan yang memperkenalkan produk andalannya untuk pertama kali biasanya memiliki peluang sukses yang lebih besar daripada pesaingnya, karena ia selangkah lebih maju dalam menangkap pangsa pasar yang ada. 48 Kecepatan juga dapat berarti kemampuan yang dimiliki perusahaan untuk mengambil keputusan, mengalokasikan sumber daya, dan delivery yang cepat ke tangan pelanggan. 2. Flexible Dalam persaingan pasar yang semakin ketat, fleksibilitas merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri lagi sebagai sebuah faktor penting yang perlu dimiliki oleh perusahaan. Fleksibilitas dalam perusahaan dapat digambarkan sebagai sebuah kemampuan untuk menempatkan atau menggerakkan orang dan sumber daya yang ada secara efektif untuk menangkap peluang pasar. Fleksibel dapat juga berarti bahwa perusahaan harus bersifat agile. Maksudnya adalah perusahaan perlu memiliki respon yang cepat dan koordinasi yang lancar antar divisi atau departemen di dalamnya ketika menghadapi tantangan perubahan ataupun ketika hendak menangkap peluang yang ada di pasar. 3. Focused Selain harus cepat dan fleksibel, perusahaan perlu juga memiliki rencana dan struktur yang kuat di dalamnya. Karena peluang yang ada begitu banyak, tidaklah mungkin bagi perusahaan untuk mengejar semua peluang tersebut dengan sumber daya dan waktu yang terbatas. Tentunya perusahaan membutuhkan rencana yang jelas dan terarah dalam menangkap peluang tersebut. Perusahaan juga sebaiknya memfokuskan diri dalam menciptakan produk ataupun jasa yang didasarkan pada core capabilities yang dimilikinya. 4. Friendly Faktor penting lainnya yang seharusnya ditemukan dalam perusahaan yang entrepreneurial adalah keramahan (friendliness). Untuk sukses, perusahaan harus memiliki sikap yang bersahabat baik terhadap pelanggan maupun karyawan. Sikap bersahabat yang ditunjukkan oleh perusahaan terhadap karyawannya akan membuat karyawan lebih puas dan memiliki perasaan yang lebih dalam terhadap tempat di mana mereka bekerja. Karyawan yang puas tentu akan memberikan service yang lebih baik kepada pelanggan dari perusahaan tersebut. 49 5. Frugal Frugality bukan berarti cheapness. Menjadi frugal berarti menggunakan uang dengan bijaksana sesuai dengan strategi yang hendak dijalankan. Bagi perusahaan yang entrepreneurial, frugality memiliki arti yaitu berfokus secara konsisten dalam mempertahankan biaya di bawah pengendalian ketika sedang mengambil keuntungan dari peluang baru yang ada di pasar. Hal ini juga berarti perusahaan seharusnya dapat mengurangi biaya untuk area-area yang memiliki sedikit atau hampir tidak ada peluang sambil menginvestasikan dananya ke dalam area yang berpeluang untuk memiliki potensi besar yang sedang bertumbuh. 6. Far-reaching Far-reaching di sini memiliki kaitan erat dengan pasar dan distribusinya. Perusahaan yang entreprenerial sebaiknya selalu melihat secara luas area yang hendak perusahaan tuju. Perusahaan juga perlu memandang bahwa dunia global sebagai satu kesatuan dan tidak membatasi usaha mereka hanya pada wilayah geografis lokal saja. Berangkat dari pengertian inilah, far-reaching bagi perusahaan memiliki makna untuk menjangkau banyak pelanggan atau pasar yang berbeda-beda dengan produk atau jasa yang hendak ditawarkannya. 7. Futuristic Perusahaan sebaiknya tidak hanya memperhatikan pelanggan yang sudah ia miliki, namun perlu memiliki rencana ke depan untuk menjangkau pelanggan baru. Perusahaan seharusnya dapat menangkap pasar atau pelanggan baru ketika ia mengembangkan produk atau teknologi baru. Karena itulah, kemampuan perusahaan dalam menemukan kebutuhan dari pelanggan yang mereka sendiri tidak menyadarinya menjadi hal yang penting untuk menggali potensi dari peluang yang ada di pasar. Berdasarkan perannya, Thornberry (2006) menggolongkan tipe kepemimpinan suatu perusahaan menjadi dua kelompok yaitu pemimpin yang berperan aktif dan pemimpin yang berperan sebagai katalis. Berdasarkan fokus, Thornberry juga menggolongkan tipe pemimpin menjadi dua yaitu pemimpin yang berfokus pada keadaan di luar perusahaan (external focus) dan pemimpin yang berfokus pada aset perusahaan (internal focus). Untuk lebih jelasnya, perhatikan matriks berikut ini: 50 Gambar 3.2. Karakteristik Kepimimpinan Entrepreneurial (Sumber: Thornberry, 2006) Tipe aktivis adalah tipe yang melakukan sendiri inovasi untuk mewujudkan value creation bagi perusahaan. Mereka mendorong organisasi pada arah baru sehingga mampu memberikan value added bagi perusahaan. Sebaliknya, tipe katalis tidak terlibat kangsung dalam penciptaan nilai tambah bagi perusahaan. Mereka biasanya menolong menciptakan dan mendukung lingkungan dalam perusahaan yang mendorong adanya inovasi dan terbentuknya ideide baru untuk merealisasikan peluang yang muncul. Selain keempat tipe tersebut, terdapat satu tipologi yaitu General Entrepreneurial Leadership (GEL), yang merupakan suatu tipe yang secara umum memotong keseluruhan tipologi di atas. Berikut deskripsi peran dari masing-masing tipologi yang ada: Tabel 3.1. Tipologi Peran Kepimimpinan Entrepreneurial Menurut Thornberry (2006) Tipologi Explorer Deskripsi Peran • Terlibat langsung dengan value-creating activity yang bertujuan untuk mengembangkan pasar baru, produk dan servis baru atau keduanya. • Pada umumnya sangat jeli dalam melihat peluang pasar dan berani mengambil risiko bahkan jalan pintas apabila dirasa perlu dalam menangkap peluang pasar. 51 Miner • Memiliki titik fokus dalam efisiensi di perusahaan. • Melihat peluang untuk value creation dengan cara merampingkan proses atau memperbaiki penggunaan aset yang ada sehingga dapat meningkatkan daya saing. Accelerator • Biasanya memimpin suatu unit, divisi atau anak perusahaan. • Dapat memotivasi karyawannya untuk lebih inovatif dan berlaku entrepreneurial. • Mendukung karyawannya dalam mengambil risiko dan merealisasikan ide-ide mereka apabila ide tersebut dirasa akan memberi nilai tambah pada perusahaan. Integrator • Biasanya dalam struktur organisasi perusahaan berada di tingkat senior level management. • Dapat menciptakan strategi yang bersifat entrepreneurial serta membangun sumber daya manusia, struktur, proses dan budaya yang menunjang strategi tersebut. 52