GEOLOGI DAERAH JIWO II I.Tinjauan Umum : Perbukitan Jiwo adalah daerah perbukitan rendah yang terletak diantara kota Klaten dengan Pegunungan Selatan. Perbuktian ini yang mencuat dari daerah rendah di sekitarnya, yang merupakan kaki selatan tenggara dari Gunung Merapi. Oleh karena kota kecamatan Bayat terletak pada kaki perbukitan Jiwo ini, daerah perbuktian Jiwo juga sering dikenal dengan daerah Bayat. Kota kecil Bayat sendiri terletak 14 km di selatan kota Klaten, dan dapat dicapai dengan kendaraan roda empat melewati jalur jalan raya Bendogantungan, Wedi, Birit ke Bayat. Dari Bayat, jalan raya ini menerus ke arah timur hingga ke Cawas, dan dari Cawas ini dapat meneruskan ke arah Pedan dan juga ke arah Semin, Wonosari di Gunung Kidul. Daerah Perbukitn Jiwo merupakan daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi geologi yang kompleks. Semua jenis batuan dapat dijumpai di daerah ini pada tempat-tempat singkapan yang mudah dicapai. Salah satuan batuan yang tertua di Jawa, yang berupa kompleks batuan metamorf dan batuan Paleogen yang banyak mengandung fosl juga tersingkapdi daerah ini. Adanya kompleksitas dan pencapaian yang mudah ini menjadikan daerah perbukita Jiwo merupakan daerah yang tepat untuk melakukan latihan geologi lapangan. Untuk keperluan itu, maka pada tahun 1984 Jurusan Teknik Geologi FT UGM dengan dukungan danan dari Pertamina mendirikan Stasiun lapangan Geologi Prof.R.Soeroso Notohadiprawiro. Sejak saat dibukanya, Stasiun Lapangan ini telah banyak digunakan untuk latihan lapangan dari mahasiswa geologi dan jurusan lain yang berkaitan dengan kajian kebumian dari sejumlah Universitas dan Perguruan Tinggi, baik daru Yogyakarta maupun tempat lain di Indonesia, bahkan dari beberapa Universitas di luar negeri. II.Geomorfologi Secara fisiografis Perbukitan Bayat merupakan suatu inlier dari batuan Pra Tersier dan Tersier di sekitar endapan Kuarter, yang terutama terdiri dari endapan flufio-vulkanik dari Merapi. Elevasi tertinggi dari Puncak-puncak yang ada tidak lebih dari 400 meter diatas muka laut, sehingga perbukitan tersebut dapat disebut perbukitan rendah. Perbukitan itu tersebar menurut jalur yang arahnya berbeda. Di bagian barat (Jiwo Barat), jalur puncak- puncak bukit berarah utara selatan, yang diwakili oleh puncak-puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran, Budo Sari, dan Tugu dengan di bagian paling utara membelok ke arah barat, yaitudaerah perbukitan Kampak. Di sebelah timur (Jiwo Timur) arah jalurnya adalah barattimur, dengan puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, dengan percabangan kearah utara, yang terwakili oleh puncak Jokotuo dan Bawak. Daerah perbukitan yang tersusun oleh batugamping menunjukkan perbukitan memanjang dengan pegunungan yang tumpul sehingga kenampakan puncak tidak begitu nyata. Tebingtebing perbukitannya tidak terlalu terbiku sehingga alur-alur tidak banyak dijumpai. Sebagai contoh adalah perbukitan Bawak-Temas di Jiwo Timur dan perbukitan Tugu-Kapak di Jiwo Barat. Untuk daerah yang tersusun oleh batuan metamorf, ini terisi oleh campuran endapan pasir Merapi, endapan lempung hitam dan endapan rombakan dari Pegunungan Selatan. Endapan lepas yang berumur kuater ini diduga menutup lembah sesar yang membatasi Pegunungan Selatan dengan perbukitan Jiwo. Jenis dan arah gerakan sesar ini belum diketahui dengan pasti karena singkapannya saat ini belum ditemukan. III.Stratigrafi Batuan tertua yang tersingkap didaerah Perbukitan Jiwo adalah kompleks batuan metamorf yang diduga berumur Pra Tersier. Kompleks Batuan ini merupakan basement dari cekungan sedimen Paleogen, dan merupakan salah satu batuan yang tertua di Jawa, serupa yang dijumpai di daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah dan Ciletuh di Jawa Barat. Endapan Paleogen yang dijumpai berupa batupasir dengan sisipan batugamping yang kaya akan foraminifera besar. Batuan tersebut diterobos oleh tubuh batuan beku yang terutama terdiri dari mikrodiorit. Penerobosan ini diduga terjadi pada Paleogen akhir. Secara tidak selaras di atas batuan beku dan batuan sedimen Paleogen tersebut terdapat batuan karbonat berumur Neogen yang dijumpai dlam bentuk 2 fasies yang berbeda, yaitu fasies laut dan fasies laut dangkal. Erosi yang terjadi pada Neogen atas berakibat bahwa batuan Kuarter menumpang secara tidak selaras pada batuan dibawahnya. Batuan yang terbentuk pada jaman Kuarter berturutturut adalah breksi vulkanik, endapan koluvial, endapan fluvio vulkanik dan endapan aluvial. Pra Tersier Batuan yang tertua di perbukitan Jiwo berupa kompleks batuan metamorf, terutama berupa filit, sekis dan marmer. Filit dan sekisnya menunjukkan foliasi yang secara umum mempunyai jurus barat-daya timur laut. Kedudukan filit terhadap sekis sangat sukar ditentukan karena kebanyakan singkapan sudah lapuk dan di banyak tempat terpotong oleh sesar yang sangat kompleks. Disamping itu dijumpai pula kuarsit yang mempunyai kedudukan baik memotong maupun sejajar atau mengisi celah diantara bidang foliasi. Erosi dari kuarsit ini menghasilkan butiran kuarsa susu, berukuran kerikil sampai berangkal dan merupakan penciri khas daerah batuan metamorf. Batuan metamorf ini tersebar membentuk perbukitan dengan relief yang kuat dan terbiku sedang sampai kuat, dengan puncak-puncak yang meruncing, beberapa diantaranya membentuk kerucut. Di daerah Jiwo Barat penyebaran batuan ini meliputi perbukitan Jabalkat di selatan hingga Sari di utara. Di lereng baratdaya Jabalkat, didaerah Pagerjurang, dijumpai Serpentinit diantara filit dan sekis, yang menunjukkan mineralisasi garnet. Di dekat puncak Cakaran, Kebo, dan Pegat batuan metamorf ini diterobos oleh tubuh diorit, mikrodiorit dan gabro. Intrusi gabro juga dijumpai lereng selatan dari G. Jabalkat. Sedangkan pada aliran sungai Kebo diantara puncak G.Kebo dengan G.Cakaran dan G.Merak, dijumpai batuan terobosan yang berupa diorit dan basalt. Pertanggalan absolut dari batuan beku di tempat ini menunjukkan umur 36 jtl., yaitu Oligosen (Soeria Atmaja,1991). Di daerah Jiwo Timur batuan metamorf dijumpai dari daerah G.Konang di ujung barat, membentuk bukit yang memanjang kearah timur. Perbukitannya menunjukkan relief yang lebih nyata, dengan tebing-tebing terbiku kuat. Kuatnya penorehan tebing tersebut berakibat bahwa di kaki perbukitan ini banyak teronggok endapan hasil erosi yang dikenal sebagai endapan colluvial. Puncak-puncak perbukitan yang tersusun oleh batuan metamorf ini kelihatan lebih menonjol dan beberapa diantaranya cenderung berbentuk kerucut, misalnya puncak Jabalkat dan puncak Semangu. Daerah dengan relief kuat ini dijumpai di Jiwo Barat antara daerah puncak Jabalkat ke utara hingga daerah puncak Sari, sedang di Jiwo Timur mulai dari daerah puncak Konang ke arah timur hingga puncak Semangu dan Jokotuo. Daerah sekitar puncak Pendul adalah satu-satunya tubuh bukit yang seluruhnya tersusun oleh batuan beku. Kondsi morfologinya cukup kasar mirip perbukitan batuan metamorf, namun relief yang ditunjukkan puncak-puncaknya tidak sekuat perbukitan metamorf. Di utara dan di tenggara Perbukitan Jiwo Timur terdapat bukit yang terisolir yang mencuat dari dataran aluvial yang ada di sekitarnya. Inlier atau isolated hills ini adalah bukit Jeto di utara dan bukit Lanang di Tenggara. Bukit Jeto secara umum tersusun oleh batugamping Neogen, yang bertumpu secara tidak selaras di atas batuan metamorf, sedangkan bukit Lanang secara keseluruhan tersusun oleh batugamping Neogen tersebut. Di daerah Jiwo Barat juga dijumpai inlier, masing-masing bukit wungkal (So) dan bukit Salam. Bukit Wungkal semakin lama semakin rendah akibat penggalian penduduk untuk mengambil batu asah (batu wungkal) yang terdapat di bukit tersebut. Daerah Jiwo Barat dan Jiwo Timur dipisahkan oleh aliran sungai Dengkeng, yang memotong deretan perbukitan secara anteseden. Sungai Dengkeng sendiri mempunyai aliran yang memutari kompleks Jiwo Barat, bermula mengalir ke arah selatan tenggara, berbelok kearah timur kemudian ke utara, memotong perbuktian untuk kemudian mengalir kearah timur laut. Sungai Dengkeng ini merupakan pengering utama dari dataran rendah di sekitar Perbukitan Jiwo. Dataran rendah ini semula merupakan rawa yang luas, akibat air yang mengalir dari Gunung Merapi tertahan oleh Pegunungan Selatan. Genangan air ini di daerah utara, yang lebih dekat ke arah Gunung Merapi mengendapkan pasir yang berasal dari lahar, sedangkan di bagian selatan atau pada lekukan antar bukit di Perbukitan Jiwo mengendapkan endapan air tenang yang berupa lempung hitam, suatu ciri khas suasana rawa. Pada pertengahan kedua abad ke 19, daerah rawa yang mengandung sedimen Merapi yang subur ini dikeringkan (direklamasi) oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk dijadikan daerah perkebunan, terutama untuk tanaman tembakau dan tebu. Reklamasi ini dilakukan dengan jalan membuat saluran-saluran sungai yang ditanggung cukup tinggi, sehingga air yang datang dari arah gunung Merapi tetap tertampung di sungai, sedang daerah rendahnya yang semula berupa rawa berubah menjadi tanah kering yang digunakan untuk perkebunan. Sebagian dari rawa yang semula lebar disisakan di daerah yang dikelilingi oleh puncak Sari, Tugu dan Kampak di Jiwo Barat, dan dikenal dengan nama Rowo Jombor. Rawa yang disisakan ini berfungsi sebagai tandon (reservoir) untuk keperluan irigasi daerah perkebunan di dataran di utara Perbkitan Jiwo Timur. Untuk menyalurkan air rawa tersebut, dibuat saluran buatan dari sudut tenggara rawa, menembus perbukitan batuan metamorf di Gunung Pegat mengalir ke timur melewati desa Sedan dan memotong sungai Dengkeng lewat aquaduct di selatan desa Jotangan terus ke arah timur laut melewati jalur yang hampir sejajar dengan kaki utara dari Perbukitan Jiwo Timur. Di selatan Perbukitan Jiwo, terdapat dataran rendah yang berarah memanjang barat-timur, sejajar dengan kaki Pegunungan Selatan yang berada di selatannya. Dataran Bukit ini terpotong oleh sesar dan singkapan batuan metamorf tergeser ke arah timur laut di daerah Padasan, G. Semangu dan berbelok ke utara hingga daerah Jokotuo, dijumpai marmer yang merupakan kantong diantara filit. Umur batuan metamorf secara tepat belum dapat diketahui. Bothe (1929) menyatakan bahwa di daerah Santren di kawasan Jiwo Timur dijumpai konglomerat yang mengandung fragmen marmer, dan di dalam marmer tersebut dijumpai fragmen foraminifera besar yang berupa Orbitolina. Atas dasar data ini maka ia menyatakan bahwa batuan metamorf tersebut berasal dari batugamping yang terbentuk pada jaman Kapur. Namun karena data ini merupakan satusatunya data yang tidak disertai dengan ilustrasi yang meyakinkan, maka kesimpulan asal jaman kapur tersebut belum dapat dipegang. Untuk amannya, karena batuan metamorf tersebut terletak tidak selaras di bawah batuan Tersier, maka secara umum dikatakan bahwa batuan metamorf tersebut berasal dari jaman Pra Tersier. Paleogen Secara tidak selaras di atas batuan metamorf terdapat seri batuan klastika dan karbonat yang kaya akan kandungan fosil foraminifera besar. Bothe (1929) menyebut batuan ini sebagai Wungkal Beds untuk bagian bawah dan Gamping Beds di bagian atas. Perbedaan diantara dua beds tersebut bukan atas dasar perbedaan Litologinya, melainkan lebih didasarkan pada perbedaan kandungan fosilnya, sehingga nama wungkal dan Gamping pada dasarnya adalah nama untuk satuan biostratigrafi. Walaupun batuan neogen ini tersingkap di beberapa tempat, namun posisi stratigrafi satu terhadap yang lain sangat sukar untuk ditetapkan. Singkapan utama dari batuan ini adalah di Watuprahu-Padasan, lereng selatan G.Pendul, di dekat desa Gamping Gede dan di daerah Dowo, keempat-empatnya terletak di kawasan Jiwo Timur. Di Jiwo Barat batuan Paleogen tersingkap di lereng timur G.Jabalkat, lereng barat G.Cakaran dan di dua perbuktian yang berupa inlier diantara endapan fluvio-vulkanik Merapi yaitu di G.Wungkal (G.So) dan di Salam. Rekonstruksi sementara dari hasil korelasi singkapan-singkapan yang terpencar tersebut menunjukkan bahwa lapisan terbawah berupa konglomerat kuarsa yang tersingkap di sekitar puncak Cakaran. Semakin ke atas, konglomerat ini berangsur berubah menjadi batupasir kuarsa. Di atas batupasir kuarsa ini terdapat batugamping yang kaya akan kandungan Numulites javanus, N. bagelensis, Assilina spira, seperti yang tersingkap di G.Wungkal dan G. Salam, menunjukkan umur Tb atau Eosen atas (Bothe,1929 ; Kurniawan, 1977). Singkapan serupa juga dijumpai pada singkapan di Dowo, lereng baratdaya dari G.Pendul. Semakin ke atas disamping fosil foraminivera juga dijumpai fosil coraline algae dan echinoid, seperti yang dijumpai pada singkapan di Padasan. Algae tersebut biasanya membentuk struktur lapisan yang konsentris seperti bola (oncoid) dengan inti foraminifera besar, menunjukkan hasil pengendapan laut dangkal. Ke arah atas, batugamping ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan dan mengandung fosil foraminifera plangton yang berjumlah sedikit dengan pengawetan yang buruk. Seluruh rangkaian batuan ini mulai konglomerat, batupasir kuarsa, batugamping berfosil hingga batupasir gampingan oleh Bothe disebut sebagai Wungkal Beds. Nama ini diberikan karena singkapannya yang khas dijumpai di daerah G.Wungkal. Di dekat desa Gamping Gede dijumpai singkapan batugamping lempungan dan napal, yang hanya sedikit mengandung Numulites javanus tetapi melimpah dengan kandungan Discocyclina dispansa, D. omphalus serta Orthophragmina sp. dan foraminifera plankton. Oleh Bothe batuan ini dianggap lebih muda dari Wungkal Beds dan disebut dengan Gamping Beds. Namun penetapan urutan stratigrafi ini sangat meragukan, karena kedudukan Gamping beds ini terhadap anggota dari Wungkal beds tidak diketahui secara pasti, letaknya berjauhan dan terpisah oleh sesar. Dari fosil foraminifera yang dijumpai masih menunjukkan umur yang sama, yaitu Tb atau Eosen Atas, sehingga diduga bahwa hubungan antara Wungkal beds dan Gamping beds bukan hubungan vertikal dengan umur yang berbeda dari dua formasi batuan yang berbeda (lihat Sumarso & Ismoyowati, 1973), tetapi lebih bersifat hubungan lateral dengan fasies yang berbeda. Numulites yang terbentuk lentikuler-eliptik bersama dengan oncoid alga mencirikan kondisi laut yang dangkal, jernih dan tertampi dengan baik, sedangkan Discocyclina dan Orthopragmina yang berbentuk pipih tipis dan agak melebar dan terdapat batugamping lempungan mencirikan zone laut dangkalyang lebih keruh tetapi lebih tenang (Hallock & Glenn, 1928). Dengan demikian untuk batuan Paleogen di Perbukitan Jiwo ini lebih tepat disebut sebagai fasies wungkal dan fasies gamping . Namun untuk kepentingan tatanama stratigrafi, sebelum urutan stratigrafi yang pasti dapat diperoleh, diusulkan agar kedua fasies tersebut dianggap sebagai satu formasi, dan untuk sementara disebut dengan Formasi Wungkal-Gamping, berumur Eosen Atas. Batuan metamorf Pra Tersier dan batuan Paleogen keduanya diterobos oleh tubuh batuan beku yang terutama terdiri dari mikrodiorit. Karena singkapan utama batuan beku ini terdapat di G.Pendul, maka untuk selanjutnya secara umum akan disebut sebagai Mikrodiorit Pendul atau Formasi Pendul. Selain berupa mikrodiorit, batuan beku ini menunjukkan variasi berupa diorit, dasit dan monzonit tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit. Didaerah Jiwo Barat yaitu di aliran S. Kebo dijumpai variasi yang berupa basalt sedang di selatan G. Jabalkat dijumpai dalam bentuk Gabbro. Batuan beku ini telah mengalami retakan dan pelapukan. Retakan kebanyakan telah mengalami pengisian yang berupa kalsit. Akibat retakan tersebut maka terjadi pelapukan mengulit bawang (sphaeroidal weathering) yang banyak dijumpai di lereng selatan dan timur G.Pendul. Di lereng utara dan timur laut G.Pendul dijumpai bongkah batupasir dari formasi WungkalGamping yang berada di dalam batuan beku sebagai xenolith. Sedangkan di kaki timur G. Pendul dijumpai efek bakar (baking effect) pada daerah kontak antara batuan beku ini dengan batupasir tersebut. Sedangkan di lereng G.Cakaran dijumpai batugamping Numulites telah mengalami rekristalisasi menjadi marmer pada daerah kontak antara singkapan batugamping ini dengan batuan beku. Di daerah G. Pegat di selatan G. Sari di Jiwo Barat dijumpai singkapan diorit memotong batuan metamorf pada arah yang hampir tegak lurus bidang foliasi. Atas dasar semua data tersebut diambil kesimpulan bahwa batuan beku yang termasukdalam Formasi Pendul tersebut bersifat menerobos batuan yang lebih tua. Neogen: Di bagian utara dari Jiwo Barat yaitu di G. Tugu, G. Kampak dan daerah Ngembel serta bagian utara, timur dan tenggara dari Jiwo Timur, msing-masing di G. Jeto, G. Bawak, G. Temas dan di G. Lanang, tersingkap batugamping yang menumpang secara tidak selaras di atas batuan yang lebih tua. Di bagian tenggara G. Kampak dan di G. Jeto, batugamping ini menumpang di atas batuan metamorf, sedang di Temas menumpang di atas batuan beku. Batugamping ini terdiri dari dua fasies yang berbeda. Fasies yang pertama terdiri dari batugamping algae, kenampakan perlapisan tidak begitu jelas. Algae membentuk struktur onkoid dalam bentuk bola-bola berukuran 2 hingga 5 cm. Fasies seperti ini dijumpai di G.Kampak, bagian selatan G.Tugu, G. Jeto, G. Bawak dan di bagian barat G.Temas. Fasies yang kedua berupa batugamping berlapis, yang merupakan perselingan antara kalkarenit dengan kalsilutit. Fasies batugamping berlapis ini dijumpai di Ngembel, utara G. Tugu, bagian timur G. Temas dan di G. Lanang. Di beberapa tempat kalsilutitnya menebal kearah lateral dan berubah menjadi napal, seperti yang terdapat di utara G. Tugu. Fasies ini tidak menunjukkan struktur alga dan kaya akan kandungan foraminifera plangon, kemungkinan diendapkan di dangkalan karbonat yang lebih dalam ditandai dengan adanya struktur nendatan (slump structures) seperti yang terlihat di bagian timur Temas dan di G. Lanang. Di selatan G. Temas dijumpai kontak antara batuan beku dengan batugamping. Batuan bekunya sudah sangat lapuk, menunjukkan tanda-tanda retakan yang kebanyakan telah terisi oleh oksida besi (limonit) dan sebagian terisi oleh kalsit. Retakan pada batuan beku tersebut tidak menerus pada batugamping. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pengendapan batugamping, batuan bekunya telah mengalami retakan, terisi oleh hasil pelapukannya sendiri yang berupa limonit. Setelah terjadi pengendapan batugamping, sebagian dari karbonatnya mengisi celah akibat retakan tersebut membentuk urat kalsit. Belakangan setelah batugamping terangkat dan tererosi, sebagian dari urat kalsit pada batuan beku ini bersama batuan bekunya tersingkap dan mengalami pelapukan, membentuk tanah. Urat kalsit yang ada mengalami pelarutan dan pengendapan kembalidalam bentuk caliche, seperti yang banyak dijumpaidi barat G. Temas dan lereng timur dan selatan G.Pendul. Berdasarkan kandungan fosilnya, batugamping neogen di Perbukitan Jiwo ini menunjukkan umur N12 atau Miosen Tengah (Sumarno & Ismoyowati, 1973, Resiwati, 1985). Berdasarkan atas umur ini maka batugamping tersebut dapat dikorelasikan dengan Formasi Wonosari untuk fasies batugamping algae , sedangkan fasies batugamping berlapis adalah sepadan dengan formasi Oya. Kuarter : Setelah pengendapan batugamping, di Perbukitan Jiwo tidak diketemukan lagi batuan lain yang berumur Tersier. Jaman Kuarter terwakili oleh breksi lahar, endapan pasir fluviovulkanik Merapi serta endapan lempung hitam dari lingkungan rawa. Breksi lahar dijumpai pada bagian utara dari perbukitan Ngembel, berupa breksi dengan fragmen andesit yang berukuran aneka ragam, mulai dari kerikil hingga bongkah. Fragmen tersebut tersebar umumnya mengapung pada matriks yang berukuran lanau sampai pasir halus, bersifat tufan. Gejala perlapisan dan fosil tida ditemukan pada breksi ini. Breksi ini diduga berasal dari aktifitas aliran lahar dari G. Merapi dari arah barat laut, yang berhenti karena membentur bukit batugamping Ngembel, dan terjadi pada kala Pleistosen.