‘Oksigen Potensial HIV/AIDS UNAIR NEWS – Hiperbarik’ Menjadi Terapi Inovasi pengobatan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) terus berkembang. Jika selama ini pengobatan HIV hanya mengandalkan obat antiretroviral (ARV), metode terapi penyakit tersebut kini mengarah pada perbaikan sistem imunitas. Konsumsi ARV secara terus menerus sebenarnya justru berdampak ‘toksik’ dalam tubuh penderita. Hal itu diungkapkan Retno Budiarti, dr., M.Kes dalam disertasinya berjudul Mekanisme Hambatan Replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam Biakan Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC) pada Kondisi Hiperoksia Hiperbarik. Disertasinya berhasil dipertahankan dalam ujian doktor terbuka, di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Selasa (27/12). Menurutnya, diperlukan novel therapy untuk mengatasi infeksi tersebut. Yaitu, melalui strategi pemberian terapi yang secara aman dapat menghilangkan virus residu dalam tubuh penderita melalui peningkatan respon imun terhadap HIV untuk menekan replikasi virus. Harapannya, terapi itu dapat mengurangi kebutuhan obat-obatan ARV. Seperti diketahui, HIV merupakan retrovirus penyebab AIDS yang telah menginfeksi jutaan orang di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, tahun 2013 diperkirakan 35,5 juta orang hidup dengan HIV/AIDS dan hingga tahun 2013 sebanyak 1,5 juta orang meninggal dengan penyakit yang terkait AIDS. Sejak pandemik, infeksi HIV-1 berlangsung lebih dari 25 tahun, transmisi HIV tetap berlangsung dan sebanyak 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap harinya. Sementara itu, saat ini pengobatannya HIV/AIDS masih bergantung pada obat ARV untuk menekan jumlah virus dalam tubuh, mencegah penularan, serta meningkatkan harapan hidup. Dampaknya, keharusan mengonsumsi ARV seumur hidup seringkali menimbulkan efek psikologis, depresi dan seringkali bersifat toksik. Dalam penelitiannya kali ini, perempuan kelahiran Februari 1974 itu mengembangkan terapi adjuvant untuk HIV/AIDS melalui pendekatan berbasis molekuler menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Oksigen hiperbarik merupakan suatu terapi dengan cara memberikan oksigen seratus persen dalam ruangan tertutup (isolated chamber) pada tekanan lebih dari satu atmosphere absolute (ATA). Retno terlebih dulu membuat biakan sel terinfeksi, sebelum dilakukan pemberian oksigen hiperbarik. Proses menginfeksinya sendiri dilakukan dengan melakukan co-culture biakan PBMC orang sehat dengan stok virus HIV-1/MT4 yang terdapat di laboratorium Bio Safety Level-3, Institute of Tropical Disease. Salah satu sel yang menjadi target sasaran virus adalah limfosit T CD4. Sel ini berperan mengontrol respon imun saat terjadi infeksi HIV. Kenaikan HIV sendiri ditandai dengan penurunan jumlah maupun fungsi dari sel ini. Berdasarkan prinsip HIV yang sifatnya menyerang sistem imun, maka diharapkan pemberian terapi oksigen hiperbarik dapat menghambat replikasi HIV. Terapi itu berhasil. Riset ini membuktikan, pemberian oksigen seratus persen pada tekanan 2,5 ATA pada penderita HIV/AIDS menunjukkan peningkatan T CD4 dan memperbaiki kondisi fisik penderita. “Temuan baru dari penelitian ini bahwa pemberian oksigen hiperbarik yang diberikan dalam periodik tertentu secara signifikan dapat menurunkan jumlah antigen p24 HIV-1,” ungkapnya. Retno mengatakan, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan objek binatang yang memiliki reseptor terhadap HIV. Sebab, respon imun terhadap paparan oksigen hiperbarik dapat melibatkan sistem yang lebih kompleks seperti sumsum tulang belakang, maupun kelenjar getah bening. Meskipun pada kenyataannya problem HIV/AIDS begitu kompleks, namun Retno optimis ingin melanjutkan penelitiannya tersebut. “Meskipun temuan saya kali ini belum mampu menyelesaikan problem HIV, namun saya ingin ikut berperan mencarikan solusi demi kemaslahatan manusia. Jika ada kesempatan, saya akan kembali melanjutkan penelitian ini dengan mengajak kerjasama para pakar HIV, maupun pakar oksigen hiperbarik,” ungkap Retno yang melakukan penelitian selama 18 bulan. (*) Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S