KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG

advertisement
KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN
INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis)
PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI
LAURENSIUS YUVIANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ABSTRAK
LAURENSIUS YUVIANTO. B04104185. 2008. Kajian Faktor Risiko Endogen
Infeksi Cacing Jantung pada Berbagai Anjing di Wilayah Jawa dan Bali.
Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan YUSUF RIDWAN.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan
dengan tingkat kejadian dirofilariasis di wilayah Jawa dan Bali. Studi ini
merupakan studi cross-sectional, untuk mengetahui hubungan tingkat kejadian
dengan faktor risiko. Sampel berupa serum darah anjing, diambil secara
purposif di wilayah Jawa dan Bali. Keberadaan antigen Dirofilaria immitis
dideteksi dengan menggunakan metode ELISA dan kemudian dianalisis untuk
mengetahui hubungan faktor risiko dengan tingkat kejadian dirofilariasis dengan
analisis statistika chi-square dan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan
18 sampel positif mengandung antigen D. immitis dari 235 sampel serum yang
diperiksa. Hasil uji tingkat kejadian dirofilariasis keseluruhan sampel mencapai
7.66% dengan perincian pada Jakarta sebesar 2.12%, Jawa Barat sebesar
16.12%, Jawa Tengah sebesar 4.54%,dan Bali sebesar 8.77%. Berdasarkan
analisis chi-square, daerah, umur dan jenis anjing berpengaruh nyata terhadap
tingkat kejadian dirofilariasis. Anjing di daerah Jawa Barat mempunyai risiko
terinfeksi D. immitis 8.58 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing dari daerah
Jakarta. Anjing di daerah Jawa Tengah dan Bali mempunyai risiko terinfeksi
lebih tinggi dibandingkan dengan anjing dari daerah Jakarta tetapi tidak berbeda
nyata. Anjing yang berumur lebih dari enam tahun mempunyai risiko 9.84 kali
terinfeksi dibandingkan dengan anjing yang berumur kurang dua tahun dan pada
anjing yang berumur 2-6 tahun mempunyai risiko 4.79 kali terinfeksi
dibandingkan dengan anjing yang berumur kurang dari dua tahun. Sedangkan
anjing lokal mempunyai risiko 1.60 kali terinfeksi dibandingkan dengan anjing ras
murni.
Kata kunci: Dirofilaria immitis, tingkat kejadian, dan faktor risiko.
ABSTRACT
LAURENSIUS YUVIANTO. B04104185. 2008. Study on endogenous risk
factors of heartworm infection in various dogs in Java and Bali area. Under
the supervision of FADJAR SATRIJA and YUSUF RIDWAN.
This study was objected to know the relation between risk factors and
incident level of dirofilariasis in Java and Bali areas. This was cross-sectional
study in order to observe the relations between incident level and risk factors.
The samples which blood serum of dogs took from purposive method in Java and
Bali areas. The existence of antigent from Dirofilaria immitis was detected by
ELISA method and than analize to know the relation of risk factors with incident
level of dirofilariasis using chi-square and logistic regression. The result of this
study showed that 18 of 235 samples were positive of D. immitis antigen.
Overall, the prevalence level was 7.66% and divided into several areas: 2.12% at
Jakarta, 16.12% at West Java, 4.45% at Central Java and 8.77% at Bali. Based
on chi-square statistical analysis, areas, age, and breed of dogs affect
dirofilariasis incident level. Dogs from West Java was risks 8.58 times bigger than
dogs from Jakarta areas to be infected by D. immitis. Dogs from Central Java and
Bali areas had risked more than dogs from Jakarta areas. Moreover, dogs with
more than six years old had risked 9.84 times bigger than dogs with less two
years old and dogs with 2-6 years old had risked 4.79 times bigger than dogs
with less two years old. Local dogs had risked 1.60 times bigger than pure breed
to be infected.
Keywords: Dirofilaria immitis, incident level, and risk factors
KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN
INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis)
PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI
LAURENSIUS YUVIANTO
B04104185
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Skripsi : Kajian Faktor Risiko Endogen Infeksi Cacing Jantung (Dirofilaria
immitis) pada Berbagai anjing di wilayah Jawa dan Bali
Nama
: Laurensius Yuvianto
NIM
: B04104185
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
drh. Yusuf Ridwan, M.Si
drh. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph.D
NIP: 131 760 864
NIP: 132 045 529
Diketahui,
Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini, M.Si
NIP: 131 669 943
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah perjalanan panjang
yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak drh. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph. D dan bapak drh. Yusuf Ridwan,
M.Si selaku pembimbing, atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik,
dan kesabarannya dalam membimbing penulis.
2. Ir. Etih Sudarnika, M.Si sebagai dosen penilai dalam seminar hasil
penelitian atas masukan dan penjelasan untuk perbaikan tulisan ini.
3. Dr. drh. Denny W L, M.Si sebagai moderator dalam seminar hasil
penelitian atas masukan dan penjelasan untuk perbaikan tulisan ini.
4. Dr. drh. Ekowati Handharyani, MS selaku pembimbing akademik.
5. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph. D selaku dosen penguji.
6. drh. Cucu Kartini beserta staff, para dokter hewan di klinik dan RSHJ atas
bantuan selama pengambilan sampel di lapangan.
7. Rekan-rekan sepenelitian (Rita dan Fitria).
8. Keluarga tercinta (Alm papa, Mama, Ade, Itioh & Tuaih, koko Aan, Iih
syeni) atas segala dukungan, doa, perhatian dan cinta yang tanpa batas
kepada saya
9. Teman-teman yang membantu (Aang, Kung&Cung, Indra, Trezna, Dian &
Dinul, Yuyu, Monez & Lolo, Chipo, Nini & Opvink, Checz & Sari, Ai, Bdutz,
dan Vin).
10. Seluruh pihak yang telah membantu saya selama di FKH IPB.
Bogor, Agustus 2008
LAURENSIUS YUVIANTO
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1986 dari ayah Y.
Djaya Kartika Ruslim dan ibu F. Susi Wijaya. Penulis merupakan putra pertama
dari dua bersaudara.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Fons Vitae I Jakarta dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota Himpunan
Minat Profesi (Himpro) Satwa Liar 2005-2006, anggota himpro Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) 2005-2006, Ketua Divisi Hewan Kecil
HKSA 2006-2007, dan anggota Persekutuan Fakultas FKH selama 2004-2008.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………....... iv
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… v
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………...
vi
PENDAHULUAN …………….………………………………………… 1
Latar Belakang ………………………………………………... 1
Tujuan ………………………………………………………….. 2
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 3
Klasifikasi Anjing …..………………………………………….
3
Dirofilaria immitis ………………………………………………. 8
Daur Hidup ………..…………………………………………..
9
Patogenesis Dirofilariasis ……..……………………………..
11
Gejala Klinis …………………………………………………… 12
Diagnosa ……………….……………………………………..
13
Prognosa ….…………………………………………………..
14
Pencegahan dan Pengobatan ..……………………………..
14
MATERI DAN METODE ….………………………………………….
16
Waktu dan Tempat …..……………………………………….
16
Rancangan Studi …...………………………………………… 16
Metode Pengambilan Sampel ……….………………………
16
Metode Pemeriksaan Sampel dan Interpretasi ….………..
17
Analisis Data ……………………………………….…………
18
HASIL dan PEMBAHASAN ……………..…………………………..
19
Hasil Penelitian .................................................................
19
Pembahasan .....................................................................
22
KESIMPULAN dan SARAN ………………………………………….
25
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 26
LAMPIRAN …………………………………………………………….
29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jenis anjing Rhodesian Ridgeback …………………………….
Jenis anjing Golden Retriever …………………………………..
Jenis anjing Shih Tzu ……………………………………………
Jenis anjing Rottweiler …………………………………………..
Jenis anjing Yorkshire Terrier …………………………………..
Jenis anjing lokal (campuran)……………………………………
Bentuk mikrofilaria dan bentuk anatomi D. immitis …………..
Berbagai jenis vektor D. immitis pada anjing …………………
Siklus hidup Dirofilaria immitis ………………………………...
4
5
6
6
7
8
9
10
11
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil analisis dengan metode chi-square pemeriksaan
D. immitis pada anjing daerah Jawa dan Bali .................................19
2 Hasil analisis dengan regresi logistik pemeriksaan
D. immitis pada anjing daerah Jawa dan Bali .................................21
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Perkembangan stadium D. Immitis............................................... 30
2 Model umum regresi logistik ……………………………………..
31
3 Model umum odds ratio …………………………………………
31
4 Model umum chi-square ………………………………………..
31
5 Kuesioner survey dirofilariasis ………………………………….
32
6 Hasil positif dirofilariasis
setelah dilakukan pemeriksaan ELISA ..................................... 34
Pendahuluan
Latar Belakang
Anjing (Canis familiaris) merupakan mamalia karnivora pertama yang
didomestikasi manusia.
Disamping sebagai hewan kesayangan (pet animal),
anjing digunakan manusia untuk berbagai tujuan antara lain sebagai anjing
pekerja (penuntun tunanetra, pelayan, dan penarik kereta salju), penjaga,
penggembala ternak, pelacak, bahkan ada olahraga yang memamerkan
kemampuan alami anjing (Anonim 2006). Kedekatan hubungan antara manusia
dan anjing tentunya juga menimbulkan suatu risiko yang tak dapat dihindari yaitu
kemungkinan terjadinya penularan penyakit yang berasal dari anjing ke manusia,
maupun sebaliknya (zoonosis).
Berbagai parasit anjing, baik yang hidup di luar tubuh (ektoparasit)
maupun di dalam tubuh (endoparasit) bersifat zoonosis.
Salah satu jenis
penyakit akibat parasit tersebut adalah dirofilariasis. Dirofilariasis adalah suatu
kondisi serius dan berpotensi fatal yang disebabkan oleh cacing parasit yang
hidup di dalam arteri paru-paru dan terkadang di dalam jantung anjing, kucing,
dan spesies mamalia lainnya (American Heartworm Society 2004). Meskipun
mempunyai tingkat kejadian dirofilariasis yang cukup rendah, namun hal itu tidak
boleh diabaikan karena penyakit ini memiliki daya mortalitas yang tinggi dan
bersifat zoonosis. Seekor anjing yang telah terinfeksi Dirofilaria immitis dapat
mengeluarkan mikrofilaria yang akan menjadi sumber infeksi bagi anjing lain
maupun manusia. Cacing jantung dapat hidup di dalam tubuh anjing selama
tujuh tahun (Anonim 2004).
Pada manusia penyakit ini dikenal dengan nama Human Pulmonary
Dirofilariasis (HPD) atau Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE) (Yamagata et al.
1992).
Kasus HPD telah banyak dilaporkan dan setiap tahun cenderung
meningkat, namun demikian hingga kini masih dianggap sebagai accidental host,
hal ini disebabkan karena pada sistem kekebalan manusia dapat mengeleminasi
mikrofilaria (Genchi 2005). Tarish dan Atwell (1991) diacu dalam Karmil (1996)
mengatakan bahwa HPD ditandai dengan perubahan pada paru-paru dan arteri
pulmonalis yang cukup luas, hal ini disebabkan oleh reaksi inang terhadap
antigen D. immitis dan terhadap kejadian sekunder seperti trombosis.
Studi tentang tingkat kejadian infeksi D. immitis di Indonesia masih
jarang.
Studi yang pernah dilakukan sebelumnya adalah perkembangan
mikrofilaria D. immitis temuan lokal di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti strain
Liverpool yang diinfeksi secara in vitro terkendali yang dilakukan oleh Karmil
(1996). Di Indonesia dirofilariasis masih jarang dilaporkan dan kurang mendapat
perhatian dari si pemilik anjing. Kurangnya perhatian pemilik dapat disebabkan
karena pemilik tidak mengetahui tentang penyakit ini akibat dari tidak adanya
sosialisasi tentang bahaya dari penyakit ini.
Kejadian dirofilariasis itu juga tak lepas dari dukungan beberapa faktor
pendukung baik eksogen maupun endogen, adapun faktor endogen antara lain
jenis kelamin, umur, jenis anjing, dan ketebalan bulu sedangkan untuk faktor
eksogen antara lain lingkungan dan perawatan anjing. Oleh karena itu informasi
maupun pengetahuan tentang faktor pendukung sangat diperlukan dalam
penyusunan metode pengendalian efektif dirofilariasis.
Tujuan
Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko antara lain asal anjing,
jenis kelamin anjing, umur anjing, jenis anjing dan ketebalan bulu pada anjing ras
yang berhubungan dengan tingkat kejadian dirofilariasis pada anjing di wilayah
Jawa dan Bali.
Tinjauan Pustaka
Klasifikasi Anjing
Anjing
(Canis
familiaris)
merupakan
hewan
yang
pertama
kali
didomestikasi dalam kehidupan manusia. Sejak 15.000 tahun yang lalu proses
domestikasi anjing telah dilakukan dari serigala, dugaan ini diperkuat dengan
bukti genetika menjelaskan bahwa anjing telah ada sejak 100.000 tahun yang
lalu berdasarkan penemuan fosil dan tes DNA (Anonim 2006). Vilà (1997) diacu
dalam Anonim (2006) menyimpulkan bahwa anjing merupakan percabangan dari
serigala yang terjadi sekitar 75.000 sampai 135.000 tahun yang lalu. Analisis
lebih lanjut yang dilakukan Savolainen (2002) diacu dalam Anonim (2006)
menunjukkan populasi anjing berasal dari sumber gen (gene pool) tunggal
bersama-sama dari serigala.
Pada masa sekarang anjing dapat dijadikan sahabat setia sekaligus
dapat pula membantu di dalam kehidupan sehari - hari
manusia semenjak
zaman purbakala (Dharmojono 2003). Seiring dengan perjalanan waktu dan
perkembangan peradaban manusia, anjing mengalami berbagai perubahan
fungsi, yaitu sebagai anjing penggembala, anjing penjaga, anjing perang, dan
anjing pelacak (Sianipar et al 2004).
Data yang dihimpun oleh FCI (Federation Cynologique Internationale)
yang bermarkas di Brussel menunjukkan di dunia telah dikenal lebih dari empat
ratus jenis anjing. Pengelompokkan anjing yang dilakukan oleh para ahli ini telah
dilakukan sejak abad ke-17, dengan mengelompokkan tiga puluh jenis anjing
berdasarkan bentuk dan posisi telinga (Untung 1999). Linnaeus pada tahun 1758
mengklasifikasikan anjing sebagai Canis familiaris, namun pada tahun 1993,
Lembaga Smithsonian dan Asosiasi Ahli Mamalia Amerika menetapkan anjing
sebagai subspesies serigala abu-abu Canis lupus (Anonim 2006). Di Indonesia,
anjing hutan yang asli pulau Sumatra dan Jawa disebut ajag.
Pembagian anjing ras adalah berdasarkan karakteristik dari seekor
anjing. FCI mengelompokkan jenis anjing menurut penampilan fisik, sifat, dan
kegunaannya. Berdasarkan pengelompokkan ini, anjing dapat di bagi menjadi
enam kelompok, yaitu Hounds, Gundogs, Terrierrs, Utility, Working, dan Toy
(Rachmatdi 2003 diacu dalam Samosir 2007). Tetapi di beberapa negara lain
dibagi menjadi tujuh kelompok yaitu Sporting, Hounds, Working, Terrierrs, Toy,
Non – Sporting dan Herding. Alokasi ras pada kelompok tidak selalu mudah dan
sangat bervariasi diantara klub kennel di negara yang berbeda.
Hounds
Anjing yang termasuk dalam kelompok ini digunakan sebagai anjing
pemburu karena karakteristiknya yang khas. Anjing-anjing tersebut juga memiliki
penciuman dan penglihatan yang tajam serta dapat mengerti dan mematuhi
perintah yang diberikan pemiliknya (termasuk anjing dengan tingkat kecerdasan
yang tinggi). Di Indonesia, kelompok anjing ini banyak dipelihara karena
bentuknya yang lucu dan unik (Budiana 2006 diacu dalam Samosir 2007). Ciri
khas anjing ras ini adalah berbulu pendek dengan ukuran tubuh sedang (Samosir
2007). Contoh dari anjing ini antara lain Greyhound, Beagle, Basenji, Basset
Hound, Borzoi, Dachshund, dan Rhodesian Ridgeback (Scanziani 1985).
Gambar 1 Jenis anjing Rhodesian Ridgeback1
Sumber 1 :http://www.petplanet.co.uk/breeds/rr [25 Juli 2008]
Gundogs
Anjing jenis ini merupakan anjing yang paling terkenal di antara kelompok
anjing lainnya. Kegunaan dari setiap ras di dalam kelompok ini sebagai
pembantu dalam memburu dan bermain lempar tangkap. Anjing ini memiliki bulu
tipis dan tebal. Ciri khas anjing ini mempunyai tempramen yang cepat akrab
dengan lingkungan sekitar yang baru dikenalnya. Karakteristik dari anjing ini
mempunyai kepintaran dan kesetiaan yang tinggi terhadap pemiliknya. Contoh
dari anjing kelompok ini antara lain English Setter, Irish Setter, Pointer, Golden
Retriever, Labrador Retriever, American Cocker Spaniel, dan English Cocker
Spaniel (Scanziani 1985 ).
Gambar 2 Jenis anjing Labrador Retriever2
Sumber 2 :http://www.thegoldenretrieverclub.com/image/Lb [25 Juli 2008]
Terriers
Kelompok ini merupakan kelompok anjing yang mempunyai kemampuan
sebagai pengontrol hama dari anjing, digunakan untuk menemukan dan
membunuh semua rodentia.
Anjing ini memiliki tempramen yang agak
berlebihan, sehingga dapat digunakan sebagai ‘alarm’ penjaga, senang bermain,
dan akan puas bila menemukan sesuatu. Ciri khas anjing ini memiliki moncong
yang agak panjang pada setiap ras. Kelompok anjing ini banyak dipelihara
sebagai anjing pemburu, karena mempunyai kelebihan dengan daya gigitan yang
sangat kuat (Scanziani 1985). Contoh dari kelompok ini antara lain Airedale
Terrier, Australian Terrier, Border Terrier, Bull Terrier, Smooth dan Wire Fox
Terrier, Parson Jack Russel, dan Welsh Terrier (Scanziani 1985).
Salah satu anjing yang populer dari kelompok ini adalah Jack Russel.
Anjing ini tidak terdaftar di dalam British atau American kennel club, karena
anjing ini telah mengalami persilangan baik dengan anjing satu kelompok
maupun anjing dari kelompok lain.
Utility (Non – Sporting)
Kelompok Utility memasukkan semua bentuk, ukuran dan fungsi, dari
yang besar hingga yang kecil (dari Dalmatian sampai Tibetan Spaniel). Kelompok
ini mempunyai dua karakteristik yang berbeda dari semua komposisi pada
kelompok ini. Pertama, ras ini tidak dapat disatukan dengan ras yang berasal dari
kelompok lain.
Gambar 3 Jenis anjing Shih Tzu3
Sumber :http://www.apetvilla.com/image/shihtzu.jpg [17 Juni 2008]
3
Sedangkan yang kedua anjing ini bersifat ‘companion dogs’ dimana
anjing ini mempunyai kepercayaan kepada pemilik. Contoh dari kelompok ini
antara lain Boston Terrier, Bulldog, Chow Chow, Dalmatian, Japanese Akita,
Japanese Shiba Inu, Miniature Schnauzer, Poodles, Schnauzer, Shar Pei, dan
Shih Tzu (Scanziani 1985).
Working
Kelompok working merupakan kelompok yang terdiri dari anjing ras besar
dan mempunyai banyak ras yang termasuk ke dalam kelompok ini. Untuk alasan
tersebut maka di Amerika dan beberapa negara membagi kelompok ini menjadi
dua, yaitu Working and Herding.
Gambar 4 Jenis anjing Rottweiler4
Sumber 4 :http://www.rottweiler-gifts.com/breed/image/Rw [25 Juli 2008]
Sesuai dengan namanya anjing ini memang diperuntukan untuk
melakukan pekerjaan berat, seperti menarik kereta salju. Ras dari kelompok ini
mempunyai ukuran tubuh yang dapat dikatakan “raksasa” karena sangat besar
untuk ukuran suatu anjing. Kelompok ini juga mempunyai sifat yang tak terduga,
setia, dan berani mati. Karena alasan itu banyak orang yang menggunakan
anjing anggota kelompok ini sebagai anjing penjaga dan mempunyai tanggung
jawab yang yang tinggi bila diberikan tugas (Budiana 2006 diacu dalam Samosir
2007). Contoh kelompok anjing ini antara lain Alaskan Malamute, Australian
Shepherd Dog, Bearded Colie, Border Collie, Boxer, Bullmastiff, Rough dan
Smooth Collie, Dobermann, Eskimo Dog, German Shepherd Dog (Alsatian),
Giant Schnauzer, Great Dane, Komondor, Mastiff, Newfoundland, Pinscher,
Rottweiler, St Bernard, Samoyed, Siberian Husky, dan Welsh Corgi (Cardigan
dan Pembroke) (Scanziani 1985).
Toy
Kelompok Toy merupakan anjing yang “dibuat” kecil dan paling kecil
diantara kelompok anjing lain. Karena ukuran tubuh anjing ini maka
memudahkan untuk digendong dan dibawa kemana saja. Ukuran yang paling
besar Cavalier King Charles Spaniel, The Chinese Crested Dog dan Lowchan,
sedangkan untuk anjing yang paling kecil adalah Pomeranian dan Chihuahua
Anjing ini sesuai dengan namanya hanya digunakan untuk kesenangan semata.
Serta memiliki sifat yang curiga terhadap suatu lingkungan yang baru. Contoh ras
dari kelompok ini antara lain Australian Silky Terrierr, King Charles Spaniel,
Maltese, Miniature Pinscher, Maltese, Pekingese Pomeranian, Pug, Yorkshire
Terrier (Scanziani 1985).
Gambar 5 Jenis anjing Yorkshire Terrier5
Sumber 5 :http://www.dogs-y2U.co.uk/toy_dogs/Yt [25 Juli 2008]
Anjing lokal (campuran)
Anjing campuran atau anjing mongrel adalah anjing yang tidak tergolong
ke dalam ras tertentu, dan merupakan campuran dari dua ras atau lebih dalam
berbagai persentase. Anjing campuran (anjing kampung), atau anjing tanpa asalusul ras murni sama sekali tidak lebih bagus atau lebih jelek dibandingkan anjing
ras untuk digunakan sebagai sahabat, binatang peliharaan, anjing pekerja, atau
bertanding dalam olahraga anjing. Dari seluruh jenis anjing ras yang ada di dunia
belum ada satu pun anjing ras asli Indonesia.
Gambar 6 Jenis anjing lokal (campuran)6
Sumber 6 :http://www.kaskus.com/anjing kampong/img/Ak [12 Juli 2008]
Anjing Kintamani adalah anjing ras pertama asli Indonesia yang diakui
Perkumpulan Kinologi Indonesia (PERKIN), tapi belum diakui FCI sebagai anjing
ras kelas dunia.
Dirofilaria immitis
Secara ilmiah Dirofilaria immitis diklasifikasikan menurut Levine (2003),
sebagai berikut:
Kingdom
:
Animalia
Filum
:
Nemathelminthes
Kelas
:
Secernentea
Subkelas
:
Spiruria
Ordo
:
Spirurida
Superfamilia :
Filarioidea
Familia
:
Onchocercidae
Genus
:
Dirofilaria
Spesies
:
Dirofilaria immitis
Dirofilaria immitis atau yang lebih dikenal dengan nama cacing jantung
termasuk dalam filum Nemathelminthes (Levine 2003). Cacing ini merupakan
agen penyebab Heartworm disease pada anjing dan kucing. Cacing dewasa
mempunyai bentuk tubuh bulat, panjang, langsing, berwarna putih dan habitatnya
di dalam pembuluh darah dan jantung pada inang definitif (ventrikel kanan, arteri
pulmonalis, dan vena cava posterior) (Collive 1991 diacu dalam Karmil 1996).
Cacing jantan memiliki ukuran 12
12-18
18 cm sedangkan cacing betina 25-30
25
cm,
cacing betina lebih besar dan panjang daripada cacing jantan karena mereka
memproduksi telur (Anonim 2004).
Gambar 7 Bentuk m
mikrofilaria dan bentuk anatomi D. immitis
mmitis8
Sumber 8 :http://www.Americanheartwormsociety [11 November 2007]
Cacing Dirofilaria immitis termasuk
rmasuk kedalam ordo spirurida yang
mempunyai dua inang yaitu iinang antara dan inang definitif dan mempunyai dua
bibir.. Inang antara yaitu nyamuk sedangkan inang definitif yaitu mamalia (anjing
maupun kucing). Dirofilaria sp termasuk di dalam famili filaridae
ae dikarenakan
memiliki bucal kapsul dan pada cacing jantan terdapat spikula berbentuk pipih
dan pada ekor cacing jantan berbentuk spi
spiral
ral yang khas untuk filaroids (Gambar
(G
6).
). Sedangkan untuk ukuran mikroskopis
mik
(mikrofilaria) 307 – 322 µm,
m, lebar 6.8
µm,
m, mikrofilaria dalam darah tidak mempunyai selubung, ujung anterior panjang,
ujung posterior tumpul.
Daur hidup.
Di dalam siklus hidupnya, cacing ini memiliki dua fase perkembangan
yaitu fase larva (L1 sampai L5) dan fase dewasa. Fa
Fase
se larva dapat berlangsung
pada inang antara dan inang definitif. Pada inang antara dalam hal ini adalah
nyamuk (Aedes aegypti
aegypti, Aedes albopictus, Culex quinquefasciatus, dan
Armigeres subalbatus) berlangsung fase larva L1 hingga L3 (B pada gambar 9),
9)
lalu pada perkembangan L3 larva akan berpindah ke kelenjar ludah pada
nyamuk, lalu selama itu larva akan menunggu saat nyamuk menggigit inang
definitif (anjing dan kucing) (C pada gambar 9).
Armigeres subalbatus
Cx. quinquefasciatus
Cx. fusocephalus
Cx. tritaeniorhyncus
Gambar 8 Berbagai vektor Dirofilaria immitis pada anjing8
Sumber 8 :http://www.abcbirds.org/image/mosquitoes [20 Juli 2008]
Inang definitif cacing ini dapat bermacam-macam seperti anjing, kucing,
rubah (Carlson dan Nielsen 1983 diacu dalam Boreham & Atwell 1997), musang
(Parrott, Griener & Parrott 1984 diacu dalam Boreham & Atwell 1997), anjing
hutan (Jones, Meisch & Farmer 1993 diacu dalam Boreham & Atwell 1997),
serigala, berang-berang (anjing air), tikus air (muskrat), singa laut dan rakun
(Procyon lotor) (Neafie, Connor & Meyes 1984 diacu dalam Boreham & Atwell
1997), kuda (Thurman, Johnson & Lichtenfels 1984 diacu dalam Boreham &
Atwell 1997). Menurut Smith (1972) diacu dalam Karmil (1996), D. immitis juga
telah ditemukan di dalam subkutis manusia.
Pada inang definitif larva akan mengalami perkembangan lebih lanjut,
setidaknya membutuhkan waktu selama 6 sampai 7 bulan untuk mengalami
perkembangan kedua dan perkembangan menuju kematangan seksual sebelum
dapat di deteksi dengan detektor oleh Heartworm test. Pada anjing larva akan
mengalami pekembangan lebih lanjut L3 menjadi L4 dalam waktu 15 hari setelah
dua sampai lima hari anjing digigit nyamuk yang mengandung larva D. immitis.
Perkembangan selanjutnya dari L4 menjadi L5 tersembunyi selama dua bulan ke
depan (D pada gambar 9). Pada L5 sudah dianggap dewasa muda dan sudah
menyerang jaringan inang definitif pada jantung selama 70 hari setelah cacing
masuk kedalam inang definitive (E pada gambar 9). Mayoritas L5 akan sampai
ke jantung dalam 90 hari (F pada gambar 9). Di jantung, cacing akan menetap
dan berkembang cepat dari panjang sampai ukuran tubuh. Cacing akan tinggal
dan dapat hidup selama 5 sampai 7 tahun.
Siklus Hidup Dirofilaria immitis
Gambar 9 Siklus hidup D. Immitis (Marcel et al. 2004)
Pematangan seksual membutuhkan waktu selama tiga bulan setelah tiba
di jantung. Cacing ini terus bertambah panjang setelah mencapai kematangan
seksual dan cacing betina akan memulai pelepasan mikrofilaria di dalam darah.
Secara singkat siklus dari D.
berperan
yaitu
inang
immitis setidaknya ada beberapa faktor yang
antara,
keadaan
lingkungan
yang
mendukung
perkembangan larva, keberadaan dari inang definitif baik sebagai sumber infeksi
maupun individu yang tertular.
Patogenesis Dirofilariasis.
Secara umum patogenesa dari penyakit cacing jantung dimulai dari
infeksi cacing jantung yang akan menjadi penyakit cacing jantung. Infeksi cacing
jantung merupakan infeksi pada inang definitif sehat yang diinfeksi oleh salah
satu tahapan dari Dirofilaria immitis. Sedangkan untuk penyakit cacing jantung,
pada awalnya inang definitif memang menderita atau mempunyai cacing jantung
di dalam pembuluh darah inang tersebut.
Yang mempengaruhi tingkat patogenesa penyakit ini adalah jumlah
Dirofilaria immitis di dalam darah. Jika jumlah cacing D. immitis sedikit maka
gejala yang ditimbulkan tidak tampak. Sedangkan untuk jumlah yang banyak
maka gejala yang ditimbulkan berupa penyumbatan sistem sirkulasi jantung
sehingga akan menyebabkan gagal jantung bagian kanan sehingga jantung akan
menyebabkan
kongesti
yang
menyebabkan endokarditis
kronis.
Cacing
yang
masih
aktif
dapat
pada katub jantung dan endoateritis pulmoner
proliferatif yang diakibatkan adanya respon terhadap produk – produk yang
diekskresikan oleh cacing tersebut.
Gumpalan cacing yang mati atau hidup dapat menyebabkan emboli pada
paru–paru. Emboli yang berlangsung selama ± 9 bulan menyebabkan terjadinya
hipertensi pulmoner yang dikompensasi dengan terjadinya hipertrofi ventrikel
kanan sehingga dapat menyebabkan gagal jantung kongestif yang ditandai
dengan terjadinya edema dan asites. Pada kasus berat muncul tanda-tanda
gangguan sirkulasi akibat gangguan mekanik dan endokarditis progresif.
Gumpalan cacing D. immitis dewasa yang menyumbat di vena cava posterior
menyebabkan
sindroma
vena
cava
yang
ditandai
dengan
hemolisis,
hemoglobinuria, bilirubinemia, ikterus, anoreksia, collaps dan dalam 2–3 hari
dapat menyebabkan kematian (Busch & Noxon 1992 diacu dalam Karmil 1996).
Penyumbatan mikrofilaria pada pembuluh darah di ginjal jarang terjadi.
Gejala Klinis.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh D. immitis bervariasi tergantung dari
tingkat infeksinya. Tetapi biasanya anjing dan karnivora lain yang terinfeksi D.
immitis sering tidak memperlihatkan gejala klinik (subklinik), kecuali ditemukan
adanya mikrofilaria dalam darah. Ketika anjing terinfeksi awal dalam hal ini
jumlah mikrofilaria masih sedikit, maka tidak akan terdeteksi gejala klinisnya.
Perubahan
akan
terjadi
pada
anjing
dimulai
ketika
larva
mengalami
perkembangan terakhir dan L5 yang sudah matang, yang hidup pada ventrikel
kanan dan pembuluh darah. Pembuluh arteri tidak bekerja dengan baik bila
terdapat mikrofilaria didalamnya. Pembuluh arteri akan mengalami kerusakan
selama beberapa hari ke depan, maka tubuh akan merespon oleh kerusakan
yang menyebabkan peradangan, peradangan tersebut dinamakan endarteritis.
Peradangan ini masih dapat disembuhkan dengan sendiri oleh tubuh.
Pada infeksi berat, gejala klinis yang ditimbulkan anjing akan terlihat
lemah dan tidak aktif, batuk ringan tapi sifatnya kronis, pada stadium berikutnya
akan menyebabkan batuk disertai darah, sesak nafas, edema, asites, sindrom
vena cava akut, hemoglobinuria, ikterus, dan kollaps.
Diagnosa.
Untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan beberapa
metode antara lain dengan metode langsung (natif), teknik mikrohematokrit,
teknik Knoot, teknik filter. Pada metode langsung (natif) darah sampel diambil
sedikit lalu dicampur dengan cairan saline fisiologis, akan terlihat di mikroskop
mikrofilaria yang motil dan aktif bergerak (filaria dance). Tetapi untuk melakukan
metode ini diperlukan pengalaman yang cukup agar dapat menghasilkan hasil
yang baik. Teknik mikrohematokrit menggunakan hematokrit darah sampel yang
telah disentrifuse, mikrofilaria akan ditemukan pada plasma darah (buffy coat).
Teknik Knoot menggunakan satu milimeter darah ditambahkan dengan 9
ml formalin 2%. Kemudian dicampur hingga darah terhemolisis lalu disentrifuse
dengan 1500 rpm selama 5 menit. Lalu endapan didasar diambil sebanyak 0.5
atau 1 ml, maka akan terlihat mikrofilaria. Mikrofilaria kan terlihat dan mudah
untuk dihitung. Teknik filter menggunakan darah sebanyak 1 ml yang dicampur
dengan larutan pelisis (biasanya 9 ml) untuk melisiskan sel darah merah. Setelah
itu dilakukan penyaringan dengan filter mebran, hasil filtrate tersebut kemudian
diperiksa di bawah mikroskop.
Metode yang mudah dan efektif dalam hasil adalah teknik filter dan teknik
Knott. Keduanya memiliki keuntungan masing – masing dan tergantung dari
inang dan parasitnya. Selain metode diatas dapat pula dilakukan metode yang
lebih modern antara lain dengan melakukan X-rays dan Heartworm antigen test.
Pada X-rays dilakukan pada daerah pembuluh darah yang diduga merupakan
habitat dari mikrofilaria, tekniknya dinamakan angiografi. Sedangkan untuk
Heartworm antigen test menggunakan serum yang berasal dari sampel darah
yang kemudian akan ditambahkan reagen khusus, metode ini menggunakan
prinsip ELISA. Selain metode yang dijelaskan sebelumnya, kita dapat juga
melakukan pemeriksaan patologi klinis, pemeriksaan yang dianjurkan antara lain
pemeriksaan laju endap darah (LED), yang akan meningkat pada kasus cacing
jantung lalu elektrokardiografi (EKG) untuk mengenali gangguan impuls oleh
kelainan katub jantung, dan dapat pula dilakukan pemeriksaan darah lengkap
agar dapat dilihat derajat keparahan dari kasus ini.
Prognosa.
Prognosa D. Immitis adalah dubius sampai dengan infausta. Pada
kejadian kronis sering timbul thromboemboli sampai dengan pneumonia
thromboemboli dan syok pulmonum (Kirk et al. 1977 diacu dalam Boreham &
Atwell 1997). Kegagalan ginjal pada umumnya mengiringi kasus infeksi D.
Immitis sehingga pengobatan dengan adultsida preparat arsen menjadi
problematis (Ettinger 1989 diacu dalam Karmil 2002).
Pencegahan dan Pengobatan.
Secara umum lebih baik mencegah daripada mengobati. Pencegahan
dirofilariasis pada anjing dapat diberikan obat cacing yang mengandung pyrantel
dan praziquatel, selain itu dapat dilakukan dengan pemberian ivermectin maupun
milbemycin dengan kandungan 136 µg setiap satu bulan sekali. Sedangkan
untuk pengobatan infeksi cacing jantung dapat diberikan obat – obatan untuk
gangguan
jantung
seperti
thiacetarsamide
(Caparsolate®)
dengan
pengaplikasian intravena sebanyak dua kali sehari selama 2-4 hari dengan dosis
2.2 mg/kg, obat ini dapat membunuh cacing dewasa, lalu anjing harus
diistirahatkan selama 2 – 6 minggu, apabila anjing juga menderita gangguan
jantung maka dapat pula diberikan misalnya digoxin dan pemberian diuretikum
misal lasix Obat yang kedua yaitu levamisole, obat ini baik untuk cacing dewasa
dan larvanya. Obat ini diaplikasikan secara intramuskular, dengan dosis yang
dianjurkan 10-15 mg/kg diikuti dengan 2.5 mg/kg selama dua minggu, diteruskan
5 mg/kg selama dua minggu. Seluruh pengobatan sekurang-kurangnya
diperlukan waktu enam minggu. Dapat juga dengan dosis 2.5 mg/kg selama satu
minggu, lalu 5 mg/kg selama tiga minggu, kemudian 10 mg/kg selama tiga
minggu.
Seiiring dengan perkembangan ilmu kedokteran hewan penggunaan
levamizole sudah tidak dianjurkan, karena levamizole tidak membunuh cacing
secara konsisten, meskipun masih mampu membunuh cacing jantan dan
mungkin mensterilkan cacing betina. Pengapliasian obat ini secara intramuskular
pada daerah lumbal (L3 dan L5) diulangi setelah 24 jam, yang dilakukan
kontralateral dari suntikan sehari sebelumnya. Penderita perlu istirahat minimum
selama 4-6 minggu. Bagi penderita berat, pengobatan dilakukan satu kali seperti
dimuka, satu bulan kemudian diulangi dua kali lagi dengan interval 24 jam.
Dengan obat-obatan yang mampu membunuh cacing di dalam sistem
peredaran darah, dapat diantisipasi timbulnya bahaya tromboemboli, karena
cacing yang mati dan hancur dapat membentuk trombus, yang dapat menyumbat
pembuluh kapiler dan pembuluh darah lainnya. Untuk profilaksis dapat juga
digunakan dietilkarbamasin (Caricide®) dengan dosis 3.3 mg/kg di daerah infeksi
ringan dan 7-11mg/kg di daerah endemik, diberikan selama satu bulan.
MATERI DAN METODE
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilakukan sejak bulan Juli 2007 sampai dengan September
2007.
Sampel diambil dari wilayah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah
(Semarang-Yogyakarta), dan Bali. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium
Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Rancangan Studi
Studi kasus ini dilakukan dengan metode studi cross-sectional. Sebanyak
235 sampel serum anjing pelihara berumur di atas enam bulan dari empat
wilayah yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali diambil secara
purposif.
Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan bahwa tingkat
kejadian dirofilariasis sebesar 10%, 20%, dan 30% tiap daerah. Keberadaan
antigen D. immitis dalam serum dideteksi dengan menggunakan metode ELISA.
Informasi tentang berbagai faktor risiko infeksi D. immitis yang terkait dengan
faktor-faktor endogen seperti umur, jenis anjing, dan jenis kelamin anjing
diperoleh dari pengisian kuesioner yang dilakukan melalui wawancara atau diisi
sendiri oleh pemilik anjing (responden).
Untuk menghitung besaran sampel digunakan rumus sebagai berikut (Selvin
2004)
n ≈
4Þ (1-Þ)
L2
Keterangan : n : Besaran sampel serum darah anjing yang akan diambil.
Þ : Asumsi dugaan tingkat kejadian dirofilariasis pada anjing.
L : Tingkat kesalahan 5% (0.05).
Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel secara aseptis
dengan pengambilan darah
sebanyak dua ml pada Vena saphena (kaki belakang) maupun Vena cephalica
anti brachii (kaki depan) menggunakan syringe tiga ml. Setelah darah
didapatkan, lalu didiamkan di dalam syringe selama dua jam pada suhu ruang
(250C) dengan tuas syringe ditarik.
Setelah serum terpisah dengan plasma
darah, maka serum ditempatkan ke dalam tabung mikro. Untuk penanda sampel
ditempelkan label yang berisi nomor yang sesuai dengan kuesioner.
Untuk
mencegah sampel rusak, maka ditempatkan di dalam coolbox yang berisi
icepack. Sebelum diuji, sampel disentrifuse dengan alat sentrifuse selama lima
menit agar serum benar-benar terpisah dengan plasma darah.
Metode Pemeriksaan Sampel (Metode ELISA) dan Interpretasi
Uji ELISA digunakan untuk mendiagnosa dirofilariasis. Kit ELISA yang
digunakan yaitu Antigen Test Kit Canine Heart Worm (DiroCHEK®). Prosedur
pemeriksaan dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: microtitration plate
ELISA yang telah dilapisi dengan antibodi anti D. immitis disiapkan, cairan kontrol
diteteskan pada sumur pertama (botol merah, kontrol positif) dan sumur kedua
(botol abu-abu, kontrol negatif) masing-masing satu tetes, kemudian sampel
(serum) diisikan sebanyak 0.05 ml pada sumur ketiga sampai terakhir.
Kemudian reagen pengkonjugasi (botol biru, Horseradish peroxidase (HRP)
antibody conjugate) ditetesi seluruh sumur lalu ditunggu 15 detik. Pada setiap
tahapan selalu dilakukan pencucian dengan aquabidest hingga bersih. Setelah
bersih lalu dikeringkan dengan tissue dan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu
perkembangan, dalam proses ini ditambahkan masing-masing dua tetes reagen
dua (botol ungu, chromogenic substrate buffer), lalu diratakan dengan cara
digoyang-goyangkan selama 15 detik dan dibiarkan selama lima menit. Setelah
lima menit maka hasil dapat diintrepretasikan, reaksi positif ditandai dengan
perubahan warna menjadi biru berarti terdapat antigen di dalam sampel yang
diuji, sedangkan negatif akan tetap berwarna bening. Kemudian dibaca dengan
ELISA plate reader dengan panjang gelombang 490 nm.
Uji ini mempunyai
sensitivitas 90.3%, spesifisitas 99.1%, dan akurasi 94.8% (Otto 1986 diacu dalam
Boreham & Atwell 1997).
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode chi-square dan regresi logistik
untuk melihat pengaruh dan risiko faktor terhadap hasil pemeriksaan ELISA.
Untuk menghitung tingkat prevalensi digunakan rumus sebagai berikut (Selvin
2004):
Tingkat prevalensi hewan positif = Jumlah hewan positif X 100%
Populasi berisiko
Keterangan: Populasi berisiko adalah keseluruhan sampel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Besaran sampel yang diambil selama penelitian adalah 235 sampel yang
terdiri dari 94 sampel berasal dari Jakarta, 62 sampel berasal dari Jawa Barat, 22
sampel berasal dari Jawa Tengah, dan 57 sampel berasal dari Bali. Dari 235
sampel (jumlah keseluruhan) setelah diuji dengan metode ELISA maka
didapatkan hasil sebanyak 18 sampel (7.66%) dari uji tersebut positif
mengandung antigen D. immitis.
Hasil analisis dengan metode chi-square didapatkan bahwa pada faktor
daerah, umur, dan jenis anjing mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat
kejadian infeksi D. immitis, sedangkan untuk faktor berdasarkan jenis kelamin
dan ras berdasarkan bulu tidak memiliki pengaruh yang nyata (Tabel 1).
Tabel 1 Hasil analisis dengan metode chi-square pemeriksaan D. immitis pada
anjing daerah Jawa dan Bali
Pearson chi-square
Nilai-p
Daerah
10.401
0.015*
Jenis kelamin
0.714
0.398
Umur
9.759
0.008*
Jenis anjing
7.369
0.025*
Ketebalan bulu
0.345
0.557
Faktor
*: berbeda nyata pada taraf uji 5%
Hasil analisis regresi logistik memperlihatkan bahwa daerah Jawa Barat,
umur 2-6 tahun, umur > 6 dan anjing ras mempunyai risiko berbeda nyata
terhadap kasus dirofilariasis, hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai-p pada regresi
logistik (Tabel 2).
Pada faktor daerah, anjing di Jawa Barat mempunyai risiko terinfeksi 8.58
kali dibandingkan dengan Jakarta (OR = 8.58; SK 95% 1.81-40.67), anjing di
daerah Jawa Tengah mempunyai risiko terinfeksi 2.17 kali dibandingkan dengan
Jakarta (Tingkat prevalensi daerah Jawa Tengah 4.54%), dan pada anjing di Bali
mempunyai risisiko 4.37 kali dibandingkan dengan daerah Jakarta (Tabel 2).
Pada anjing jantan mempunyai risiko terinfeksi 1.58 kali dibandingkan
dengan anjing betina (OR = 1.58; SK 95% 0.54-4.59) (Tabel 2).
Pada anjing umur lebih dari enam tahun lebih berisiko terinfeksi 9.84 kali
dibandingkan dengan umur kurang dari dua tahun (OR = 9.84; SK 95% 1.9449.86) dan untuk umur 2-6 tahun mempunyai risiko 4.79 kali dibandingkan
dengan umur kurang dari dua tahun(OR = 4.79; SK 95% 1.02-22.45)(Tabel 2)
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari kuesioner, umur anjing termuda
tujuh bulan dan tertua sembilan tahun.
Anjing lokal mempunyai risiko terinfeksi 1.66 kali dibandingkan dengan
anjing ras dan untuk anjing campuran mempunyai risiko terinfeksi 0.4 kali
dibandingkan dengan anjing ras (Tabel 2).
Pada ketebalan bulu, anjing ras yang memiliki bulu pendek lebih berisiko
0.49 kali dibandingkan dengan anjing ras bulu panjang (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil analisis dengan regresi logistik pemeriksaan D. immitis pada anjing
daerah Jawa dan Bali
Odds
95% CI
ratio
lower upper
0.007*
8.58
1.81
40.67
95.46
0.536
2.17
0.19
25.03
52
91.23
0.084
4.37
0.82
23.35
5.75
82
94.25
13
8.78
135
91.22
0.401
1.58
0.54
4.59
<2
1
1.09
91
98.91
2-6
10
26.64
29
74.36
0.047*
4.79
1.02
22.45
>6
7
6.73
97
93.27
0.006*
9.84
1.94
49.86
Anjing ras
2
2.17
90
97.83
Anjing
3
9.67
28
90.33
0.532
0.40
0.05
3.57
13
11.61
99
88.39
0.392
1.60
0.54
4.74
1
2.22
44
97.78
1
2.12
46
97.88
0.565
0.49
0.04
5.59
Anjing
positif
Anjing
negatif
Jumlah
%
Jumlah
%
Jakarta
2
2.12
92
97.88
Jawa Barat
10
16.12
52
83.88
Jawa Tengah
1
4.54
21
Bali
5
8.77
Betina
5
Jantan
Faktor
Nilai p
Daerah
Jenis kelamin
Umur (tahun)
Jenis anjing
campuran
Anjing lokal
Ketebalan bulu
(anjing ras)
Bulu
panjang
Bulu
pendek
*: berbeda nyata pada taraf uji 5%
CI: Confident interval; selang kepercayaan 95%
Pembahasan
Hasil dari pemeriksaan dari 235 sampel didapatkan tingkat kejadian
dirofilariasis pada Jawa dan Bali sebesar 7.66%.
Hasil studi ini masih lebih
rendah apabila dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh karmil tahun
2002 sebesar 62.66% pada daerah Jakarta dan Bogor. Perbedaan ini
dikarenakan adanya perbedaan metode yang digunakan untuk mendeteksi,
Karmil menggunakan metode uji serologis, yaitu untuk melihat antibodi D.
immitis pada anjing sehingga hasil yang diperoleh lebih tinggi dikarenakan
adanya antibodi yang meningkat sejalan dengan kejadian infeksi. Sedangkan
pada negara lain seperti Kuala Lumpur
tingkat prevalensi sebesar 9.6%
(Rajamanickam 1985, diacu Boreham & Atwell 1977), lalu pada negara yang
lebih maju seperti Amerika, penyakit ini juga telah ada dan menyerang hampir
seluruh negara bagian, sebagai contoh pada negara Colorado, sebesar 3.3%
(WHO 1983, diacu Boreham & Atwell 1997). Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan karena adanya perbedaan iklim geografis yang akan mempengaruhi
stadium pertumbuhan larva.
Karmil (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan
larva membutuhkan waktu 15-17 hari pada daerah subtropis dan 8-10 hari untuk
daerah tropis. Karmil (2002) juga menyatakan bahwa perkembangan selama 1213 hari setelah infeksi. Hal tersebut merupakan salah satu kemungkinan dari
penyebab tingginya tingkat kejadian pada daerah Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis diatas pada faktor daerah khususnya Jawa
Barat mempunyai tingkat kejadian dirofilariasis paling besar (16.12%) dan
mempunyai hubungan yang nyata serta risiko lebih besar 8.58 kali dibanding
dengan Jakarta. Hal itu kemungkinan disebabkan karena pemilik anjing pada
wilayah Jawa Barat kurang memperhatikan manejemen pemeliharaan anjing
diantaranya anjing dibiarkan pada lingkungan yang terbuka sehingga risiko
keterpaparan semakin besar.
Selain itu dapat juga dikarenakan adanya
lingkungan yang mendukung keberadaan vektor (nyamuk). Nyamuk dapat hidup
dan berkembang biak di tundra Kutub Utara sama baiknya seperti di hutan hujan
tropis (Foster & Edward 2002). Karmil (2002) juga berpendapat bahwa kasus
dirofilariasis kemungkinan besar terkait dengan kepadatan populasi anjing di
suatu daerah tertentu, salah satu faktor yang mendukung tingkat tingkat kejadian
tersebut adalah peningkatan populasi anjing resevoir. Daya tahan hidup vektor
juga berperan, semakin lama larva terinkubasi didalam vektor maka semakin
tinggi tingkat kematian vektor (Karmil 2002).
Pada faktor umur didapatkan hasil pemeriksaan bahwa pada anjing
berumur lebih dari enam tahun mempunyai risiko 9.84 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan umur kurang dari dua tahun. Pada anjing tua biasanya
memiliki keterpaparan oleh lingkungan yang lebih lama dibandingkan dengan
umur yang muda, sehingga akan membuat anjing tua mudah terinfeksi D. immitis
dan biasanya infeksi tersebut bersifat kronis.
Pada anjing muda (2-6 tahun)
kejadian dirofilariasis juga cukup tinggi hal ini dikarenakan anjing dengan umur
tersebut biasanya sudah ditempatkan ditempat terbuka sehingga nyamuk akan
mudah menghisap darah anjing dan terjadi penularan infeksi. Selain itu pada
anjing tua juga memiliki kekebalan yang menurun sejalan dengan bertambahnya
usia, sehingga anjing lebih mudah untuk menderita suatu penyakit.
Menurut
Georgi (1985) diacu dalam Karmil (2002) daya tahan tubuh terhadap infeksi
kecacingan berhubungan dengan
umur, preimunitas, dan imunitas dapatan.
Oleh sebab itu pada umur mempunyai pengaruh yang nyata terhadap infeksi
cacing jantung.
Hasil pemeriksaan sampel memperlihatkan pada anjing lokal lebih tinggi
tingkat kejadian infeksinya dibandingkan dengan anjing campuran maupun anjing
ras murni. Pada anjing lokal mempunyai pengaruh yang nyata terhadap infeksi,
hal ini kemungkinan dikarenakan perbedaan genetika. Genetika dalam tubuh
anjing mempunyai hubungan yang mendasar dengan sistem immunitas anjing
tersebut (Anonim
2006).
Sprent (1979) diacu dalam Soulsby (1982)
mengatakan bahwa makin jauh perbedaan taksonomi antara hospes dengan
parasit, yang berarti makin tinggi derajat keasingannya, maka makin kuat pula
reaksi penolakan yang diberikan oleh hospes terhadap parasit tersebut. Reaksi
penolakan yang diberikan oleh hospes berkaitan erat dengan reaksi antibodi
pada jenis spesies yang berbeda.
Ini dikarenakan bahwa masing–masing
spesies hewan mempunyai runutan asam basa nukleat yang berbeda, sehingga
reaksi antibodi pada jenis spesies berbeda pula. Menurut Kimball (1998), bahwa
antibodi adalah protein dan semua bukti yang menunjukkan bahwa bahan itu
disintesis oleh mekanisme yang sama, yaitu DNA, RNA, dan polipeptida yang
juga digunakan untuk semua protein lainnya. Hal tersebut dapat menjelaskan
bahwa pengaruh infeksi cacing terhadap ras anjing mempunyai hubungan erat,
walaupun tingkat kejadian dirofilariasis berdasarkan perbedaan genetik sulit
diuraikan secara pasti.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi infeksi cacing terhadap ras anjing
adalah manajemen pemeliharaan.
Manajemen pemeliharaan meliputi tempat
tinggal anjing, sanitasi kandang, dan program pemberian obat cacing. Anjing
lokal umumnya mendapat perawatan yang buruk dari pemiliknya, salah satu
contoh
biasanya
pemilik
anjing
lokal
tidak
memperhatikan
gizi
anjing
peliharaanya, anjing tersebut diberikan makanan seadanya yang mengakibatkan
anjing kekurangan gizi. Gizi buruk merupakan dampak dari pemberian nutrisi
(makanan) yang buruk, kemungkinan hal itu akan berdampak pada sistem
kekebalan terhadap infeksi menjadi menurun oleh sebab itu anjing mudah
terinfeksi oleh D. immitis. Menurut Karmil (2002), pada umumnya anjing ras
besar paling sering terinfeksi oleh D. immitis. Anjing gembala Jerman (Herder)
dan Boxer mempunyai risiko paling tinggi terhadap dirofilariasis dan kebanyakan
infeksi lebih tinggi pada anjing jantan (Karmil 2002).
Pada penelitian ini ketebalan bulu dan jenis kelamin tidak berpengaruh
yang nyata terhadap infeksi cacing jantung, tetapi pada anjing jantan mempunyai
risiko sebesar 1.58 kali untuk terinfeksi. Hal itu menunjukkan bahwa kejadian
dirofilariasis dapat menyerang anjing jantan maupun betina serta pada anjing ras
murni yang memiliki bulu panjang maupun pendek.
Menurut Jonstone et al.
(1997) diacu Karmil (2002) ketebalan bulu pada anjing ras tertentu dan gender
tidak berkaitan dengan faktor risiko.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tingkat kejadian dirofilariasis pada daerah Jawa dan Bali sebesar 7.66%.
2. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi tingkat kejadian dirofilariasis adalah
daerah, umur, dan jenis anjing.
Saran
1. Perlu dilakukan tindakan pencegahan dengan memperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhi status kesehatan anjing yaitu daerah, umur, dan jenis
anjing.
2. Perlu dilakukan sistem informasi kepada pemilik anjing tentang bahaya
cacing jantung khususnya di Indonesia.
3. Perlu dilakukan studi kasus lanjutan terhadap kucing dan satwa liar lainnya
yang merupakan inang definitif dari D. immitis.
DAFTAR PUSTAKA
[AHS]
American
Heartworm
Society.
2004.
Heartworm
disease.
http://www.americanheartwormsociety.com [11 November 2007].
[Anonim]. 2004. Important facts about heartworm. http://www.fooddirect.com [17
November 2007].
[Anonim]. 2006. Anjing. http://id.wikipedia.org/wiki/anjing [24 juli 2008].
Atkins CE. 2003. Comparison of results of three commercial heartworm antigen
test kits in dogs with low heartworm burdens. J Am Vet Med Assoc.
222(9):1221-1223.
Boreham PFL & Atwell RB. 1997. Dirofilariasis. Quensland: CRC Pr.
Boring JG. 1977. Heartworm Disease. Di dalam: Kirk RW, editor. Current
Veterinary Therapy Small animal Practice VI. Philadelphia: Saunders Co.
360-387.
Bowman DD. Lynn RC. Eberhad ML. Alcaraz A. 1999. Georgi’s Parasitology for
Veterinary. Philadelphia: Saunders.
Charles HM dan Robinson ED. 1998. Diagnostic Parasitology for Veterinary
Technician Third Edition. Philadelphia. USA.
Dharmojono. 2003. Anjing Permasalahan dan Pemecahan. Jakarta. Penebar
Swadaya.
Karmil TF. 1996. Perkembangan mikrofilaria Dirofilaria immitis temuan lokal di
dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti strain liverpool yang diinfeksi secara in
vitro terkendali [tesis]. Pascasarjana, IPB. Bogor: Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Karmil TF. 2002. Studi biologis dan potensi vektor alami Dirofilaria immitis
sebagai landasan penyiapan bahan hayati [disertasi]. Pascasarjana, IPB.
Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Kimball JW. 1998. Biologi. edisi ke-5.
Tjitrosomo SS, Sugiri N, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology. 5th edition.
Kusharyoto W. 2007. Produksi Fragmen Antibodi Terhadap Virus Dengue Di
Eschericia Coli. Jawa Barat: LIPI.
Levine ND. 2003. Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta:
Gadjah Mada Pr. Terjemahan dari: Parasitologi Veteriner.
Marcel et al.
2004. Incident the Dirofilaria immitis. http:// www. Veterinaria.
org/association/vet-uy/articles [14 September 2008]
Mccurnin DM dan Joanna MB. 2006. Clinical Textbook for Veterinary Technicians
Sixth Edition. Elsevier Saunders. Lousiana.
Mc Fadzen JA. 1952. Investigation Into The Cause of Microfilarial Periodicity. J
Brit Med . 1: 1106.
Noble ER. Noble GA. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan edisi kelima.
Wardiarto, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada Pr.
Terjemahan dari : Parasitology :The Biology of Animal Parasites 5th edition.
Panton
AA.
2004.
Waspada
Penyakit
Zoonosis.
Waspada
Online.
Http://www.waspada.co.id [25 juni 2008].
Samosir TP. 2007. Kecacingan Ancylostoma sp pada anjing ras [skripsi].
Sarjana, IPB. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor .
Scanziani P. 1985. The World Encyclopedia of Dogs. London: Orbis Publish
Limited.
Selvin S. 2004. Statistical Analysis of Epidemiology Data. London: Oxford
University Pr
Sianipar ND et al. 2004. Merawat dan Melatih Anjing penjaga. Depok: Agromedia
Pustaka.
Soulsby EJL. 1972. Immunity to Animal Parasites. New York and London:
Academic Pr.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Gajah Mada University Pr. Yogyakarta.
Suweta IGP. 1993. Prevalensi Infeksi Cacing Ascaris Suum Pada Babi di Bali
Dampaknya Terhadap Babi Penderita dan Upaya Penanggulangannya. Bali:
Udayana.
Untung O. 1999. Merawat dan Melatih Anjing. Jakarta: Penebar Swadaya.
Verginelli F. 2005. Mithochondrial DNA From Prehistoric Canides Highlights
Realitionships Between Dogs and South East European Wolves. Mol Biol
Evol. 22 : 2541-2551.
Whitlock JH. 1960. Diagnostic of Veterinary Parasitism. Philadelphia: Lea &
Febiger.
[WHO/FAO/OIE] World Health Organization, Food and Agriculture Organization,
Organization International des Epizooties. 1984. Animal Health Yearbook
1983. Roma: Animal product and Health div.
Yamagata et al. 1992. Immunoglobulin E recognition of Dirofilaria immitis
antigens is more specific than immunoglobulin G. J Am Vet Parasitol 44:223245.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perkembangan stadium D. immitis (Kotani 1982 diacu dalam
Boreham & Atwell 1997)
Waktu
Stadium
(hari)
Panjang
Inang
Lokasi
(Cm)
0
Mikrofilaria
0.03
Anjing
Darah
1
Mikrofilaria
0.03
Nyamuk
Mid-gut
5
L2
0.015
Nyamuk
Sel tubulus malphigi
10
L3
0.05
Nyamuk
Lumen tubulus
malphigi
15
L3
0.12
Nyamuk
Probosis
15(0)*
L3 infektif
0.12
Anjing
Subkutan
18(3)*
L4
0.12
Anjing
Subkutan
85(70)*
L5 dewasa
2.4
Anjing
Seluruh tubuh
115(100)*
L5 dewasa
5.9
Anjing
Jantung
211(196)*
L5 Gravid
26.8
Anjing
Jantung
*: terjadi pada anjing yang terinfeksi
Lampiran 2 Model umum regresi logistik (Selvin 2004)
Log (pi) = β0 + β1 * X
pi = exp (β0 + β1 * X)
Keterangan:
pi : Rasio munculnya kategori sukses dari peubah respon dengan peluang tidak
sukses
β0: Intersep model garis regresi.
Β1: Slope model garis regresi.
X : Peubah penjelas.
Lampiran 3 Model umum Odds ratio (Selvin 2004)
Odds ratio = Odd kelompok 1
Odd kelompok 2
Keterangan:
Kelompok 1: Kelompok yang akan dibandingkan.
Kelompok 2: Keompok yang dijadikan pembanding.
Lampiran 4 Model umum chi-square (Selvin 2004)
f(u) = K x u ½ V -1 x e - ½ u
Keterangan:
u: X2; u > 0
V: Derajat kebebasan
K: Bilangan tetap yang bergantung pada V
e: 2.7183
Lampiran 5 Kuesioner survey dirofilariasis
KUISONER SURVEY DIROFILARIASIS
Pewawancara
:
Tanggal
:
No. kuisioner/sample
:
DAFTAR ISIAN UNTUK RESPONDEN
A. Informasi Pemilik Hewan
1. Nama
:
………………………………………………………………..
2. Alamat
:
………………………………………………………………..
………………………………………………………………..
3. Pekerjaan
:
………………………………………………………………..
B. Informasi Hewan Peliharaan
1. Nama hewan
:
………………………………………………………………..
2. Ras/breed
:
………………………………………………………………..
3. Warna bulu
:
………………………………………………………………..
4. Janis kelamin
: Jantan/Betina (coret yang tidak perlu)
5. Umur
:
…………………………………………………………….....
.
6. Berat badan
:
………………………………………………………………..
C. Manajemen Pemeliharaan Hewan
1. Berapa jumlah anjing yang Anda pelihara?
a. 1 ekor
c. >2
b. 2 ekor
2. Tujuan Anda memelihara anjing adalah…
a. hewan kesayangan
c. komersial/untuk dijual
b. penjaga rumah
d. lain-lain
3. Berapa lama Anda sudah memelihara anjing?
a. 6 bulan
c. >1 tahun-2 tahun
b. >6 bulan-1 tahun
d. >2 tahun
4. Bagaimana cara Anda memelihara anjing?
a. siang dikandangkan malam dilepas
b. dilepas keluar rumah
c. dilepas di dalam rumah
d. lainnya, sebutkan………….
5. Berapa kali anjing Anda dibawa ke dokter hewan?
a. kalau anjing sakit
c. rutin setiap tahun
b. rutin setiap 6 bulan
d.tidak pernah
6. Apakah anjing sering dibawa jalan-jalan keluar rumah?
a. tidak pernah
c. sekali sebulan
b. sekali seminggu
d. lainnya, sebutkan…
7. Jika dibawa keluar rumah, kemana?
a. taman
c. luar kota
b. daerah sekitar rumah
d. lain-lain,……..
8. Pemberian obat cacing pada anjing Anda
a. tidak pernah
d. rutin setiap 6 bulan
b. apabila ada gejala kecacingan e. rutin setiap tahun
c. rutin setiap 3 bulan
f. lainnya, sebutkan……
9. Apabila anjing diberi obat cacing, sebutkan apa jenis obat yang
diberikan…………….
Lampiran 6 Hasil positif dirofilariasis setelah dilakukan pemeriksaan ELISA
Daerah
Breed
Lokasi
Umur (tahun)
pemeliharaan
Jenis
Kelamin
Jakarta
Campuran
Dalam rumah
14
Betina
Jakarta
Lokal
Luar rumah
>6
Jantan
Jawa Barat
Campuran
Luar rumah
1
Jantan
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
1
Jantan
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
5
Betina
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
1
Jantan
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
1.4
Jantan
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
5
Jantan
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
5
Jantan
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
5
Jantan
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
5
Betina
Jawa Barat
Lokal
Luar rumah
1
Jantan
Jawa Tengah
Lokal
Luar rumah
7 bulan
Betina
Bali
Labrador
Dalam rumah
5
Jantan
Bali
Lokal
Dalam rumah
5
Betina
Bali
Lokal
Luar rumah
2
Jantan
Bali
Campuran
Luar rumah
4 tahun 8 bulan
Jantan
Bali
Golden
Luar rumah
5
Jantan
retriever
Download