BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kemampuan matematika merupakan kemampuan dalam bidang akademik yang sangat penting, tidak hanya di sekolah melainkan juga dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari. Matematika dipandang sebagai salah satu bidang yang sangat penting karena berkontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menunjang berbagai aktivitas keseharian umat manusia (Suhendra, 2010). Menurut Gie (1999) matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan berperan penting dalam memajukan daya pikir manusia. Keberadaan matematika membantu manusia dalam memahami dan menguasai berbagai permasalahan dan membentuk pola berpikir. Matematika melibatkan penelusuran, hubungan, dan kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, penemuan, serta kegiatan penyelesaian masalah. Matematika merupakan suatu bidang ilmu yang tidak hanya terbatas pada pemecahan masalah dengan menggunakan formula-formula yang kompleks, tetapi juga merupakan batu pijakan mengenai cara seseorang berpikir dan menerapkan hal yang dipelajari dalam kehidupan nyata. Matematika memberi siswa bekal kemampuan memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, berpikir logis dan analitis sistematis (Artzt & Thomas, 1992). Matematika merupakan salah satu di antara mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan persentase jam pelajaran yang lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Kenyataannya, banyak siswa yang kurang berhasil dalam memahami matematika dan kurang menaruh perhatian terhadap matematika (Abadi, 2010). Para siswa tersebut takut akan pelajaran matematika karena menurut mereka matematika itu suatu pelajaran yang sulit dipahami (Cahyani, 2008). Salah satu indikator kesulitan siswa terhadap pelajaran matematika adalah nilai rata-rata matematika siswa di sekolah yang masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai pelajaran lainnya (Abadi, 2010). Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti. Hasil survei pada beberapa sekolah dasar di sebuah kecamatan di Kabupaten Kudus menunjukkan nilai rata-rata matematika yang lebih rendah dibanding nilai mata pelajaran yang lain, yaitu 6,01 dengan kriteria ketuntasan minimal adalah 6,14. Tabel 1 Data nilai rata-rata dan kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial Pendidikan Bahasa Kewarganegaraan Indonesia Matematika Nilai Ratarata 6,85 Nilai Ratarata 6,01 KKM 6,63 Nilai Ratarata 6,72 KKM 6,61 KKM 6,14 Ilmu Pengetahuan Alam Nilai KKM Ratarata 6,62 6,51 Ilmu Pengetahuan Sosial Nilai KKM Ratarata 6,42 6,37 Hasil survei tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa guru sekolah dasar di Kabupaten Kudus. Guru-guru tersebut menyatakan bahwa nilai mata pelajaran matematika merupakan nilai yang paling rendah dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa banyak siswa yang merasa tidak memahami atau merasa kesulitan dengan pelajaran matematika, sementara matematika merupakan materi yang perlu dikuasai oleh siswa sejak pendidikan dasar. Keberhasilan penguasaan matematika berkaitan erat dengan faktor-faktor metakognitif. Penelitian yang dilakukan oleh Lucangeli dan Cornoldi (1997) menunjukkan bahwa pelatihan metakognitif meningkatkan kompetensi matematika dan bermanfaat bagi siswa-siswa yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran matematika. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suhendra (2010) yang menunjukkan bahwa pembelajaran yang berbasis metakognitif lebih efektif dalam mengembangkan kompetensi matematika siswa. Konsep metakognisi merujuk pada pengetahuan seseorang dan kemampuan yang dimilikinya untuk mengontrol sistem kognitif mereka (Flavell, 1987). Istilah metakognisi merujuk pada pengetahuan seseorang mengenai proses kognisinya dan kemampuannya untuk mengontrol serta memonitor proses tersebut sebagai fungsi dari umpan balik yang diterima oleh individu melalui hasil belajar (Metcalfe & Shimamura, 1996). Dua bagian penting dari metakognisi adalah pengetahuan dan keterampilan (Ozsoy, 2011). Pengetahuan metakognisi merujuk pada sesuatu yang dipahami dan dipercayai seseorang mengenai suatu hal atau tugas tertentu, dan penilaian yang dibuatnya dalam mengalokasikan sumber-sumber kognitif sebagai hasil dari pengetahuan tersebut. Keterampilan metakognisi merujuk pada taktik dan strategi yang dimiliki seseorang untuk meraih tujuan spesifik pembelajaran dan pengorganisasian yang dilakukannya, melakukan monitoring, dan memodifikasi operasi-operasi tersebut untuk memastikan bahwa pembelajarannya efektif. Oleh karena itu penting bagi seseorang untuk menggunakan metakognisi dalam aktivitas pembelajaran supaya performa akademik dapat ditingkatkan. Menurut Magno (2009) metakognisi penting digunakan untuk memecahkan suatu persoalan matematika, sebab metakognisi memastikan individu untuk tetap berada pada jalur mengenai sesuatu yang mereka kerjakan dan hal-hal yang mungkin akan dilakukan selanjutnya. Metakognisi juga membantu individu membuat hubungan antara pengetahuan matematika yang sudah diakumulasi dengan persoalan matematika yang hendak dipecahkan. Secara luas telah dipercaya bahwa semakin sering individu memecahkan menggunakan proses persoalan-persoalan metakognitif, dalam semakin matematika. baik individu Anak-anak dengan keterampilan metakognitif yang baik dapat meningkatkan pembelajaran dan memori mereka, misalnya dengan melakukan strategi kognitif yang efektif melalui perencanaan dan monitoring sehingga menyadari ketika ada sesuatu yang tidak dipahami kemudian mencari bantuan. Dari sudut pandang perkembangan, ada peningkatan substansial dalam perkembangan metakognisi selama tahun-tahun sekolah dasar sebagai fungsi dari usia dan pengalaman, serta berkembang selama masa sekolah dasar (Ozsoy, 2011, Whitebread, D., Almeqdad, Q., Bryce, D., Demetriou, D., Grau, V., & Sangster, C., 2010). Stel, Veenman, Deelen, dan Haenen (2010) juga menyebutkan bahwa secara umum diperkirakan bahwa perkembangan keterampilan metakognitif dalam konteks pendidikan dimulai sekitar usia delapan sampai sepuluh tahun. Ini menunjukkan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang penting bagi perkembangan metakognitif. Perkembangan metakognisi sendiri dapat ditingkatkan melalui kegiatan bermain, yang merupakan salah satu kegiatan yang terkait erat dengan kehidupan anak. Bruner (dalam Whitebread, Coltman, Jameson, & Lander, 2009) berpendapat bahwa bermain merupakan sarana untuk mengembangkan fleksibilitas pikiran. Bermain memberikan kesempatan untuk mencoba kemungkinan, meletakkan elemen-elemen yang berbeda ke dalam suatu situasi yang bervariasi dan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang berbeda. Bermain berdampak pada proses metakognisi dan efek bermain muncul dengan jelas pada tugas-tugas dan aspek-aspek perkembangan yang melibatkan pemecahan masalah dan kreativitas (Whitebread & Jameson, 2010). Fox dan Riconscente (2008) menuliskan bahwa salah satu jenis permainan yang merangsang perkembangan metakognisi adalah permainan imajinatif. Stephens (2009) menyatakan bahwa anak-anak yang terlibat dalam permainan imajinatif memiliki perkembangan fungsi-fungsi eksekutif yang bagus, sementara proses eksekutif sendiri merupakan karakteristik yang ada dalam konstruk metakognitif (Kluwe, 1987). Bentuk permainan yang merupakan permainan imajinatif adalah dongeng dan permainan pura-pura (Ariel, 2002; Singer, 1994; Singer & Bellin, 2006). Dongeng telah digunakan dalam pembelajaran matematika di sekolah (Schiro, 2004), begitu pula halnya dengan permainan pura-pura (Haylock & Thangata, 2007). Di Indonesia sendiri, penggunaan dongeng dan permainan pura-pura untuk mempelajari matematika telah dilakukan meskipun masih di luar pembelajaran di sekolah. Sebagai contoh adalah Nggermanto (2008) yang menuliskan mengenai beberapa dongeng pendek yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, dan Lubis (2011) yang menuliskan bahwa permainan pura-pura dapat menjadi salah satu sarana untuk mempelajari matematika melalui aktivitas sehari-hari. Pembelajaran matematika melalui dongeng dan permainan pura-pura tersebut dilakukan sebagai bentuk kegiatan bermain, sebab dua hal tersebut merupakan aktivitas menyenangkan yang dekat dengan kehidupan anak. Yudhistira (2008) menuliskan bahwa dongeng menjadi sarana pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Tidak jauh berbeda, Istiyanto (2011) juga menuliskan bahwa permainan pura-pura merupakan cara yang kreatif dan menyenangkan bagi anak untuk mempelajari matematika. Terkait dengan metakognisi, dongeng berfungsi sebagai jembatan antara teori dan praktek, dan proses dalam dongeng itu sendiri mendukung perkembangan metakognisi (Brill, 2008; Kokkotas, Malamitsa, & Rizaki, 2008). Melalui dongeng, anak-anak diajak untuk berimajinasi. Stimulasi imajinasi yang diberikan akan membantu anak mengembangkan intelektualnya, sebab hal-hal yang berhubungan dengan interpretasi dan konstruksi dari sesuatu yang baru sangat memerlukan peran imajinasi. Imajinasi merupakan dasar dari semua aktivitas kreatif, dan membantu perkembangan pemikiran serta pemahaman konsep abstrak yang penting bagi pembelajaran matematika. Mendengarkan dongeng yang diceritakan memberi kesempatan pada anak-anak untuk mempraktekkan visualisasi (Greene, 1996). Menurut Greene, pada saat anakanak mendengarkan, mereka membentuk adegan, tindakan dan karakter. Kemampuan untuk memvisualisasikan, berfantasi, merupakan hal mendasar dari imajinasi yang berperan positif bagi perkembangan kognitif. Pada saat dongeng diceritakan, pendongeng menjaga anak untuk tetap fokus pada cerita dan mungkin juga pendongeng berhenti bercerita untuk bertanya pada anak-anak mengenai apa yang terjadi, atau yang mungkin akan dapat dilakukan. Begitu juga, setelah orang tua atau guru menceritakan dongeng, seringkali terjadi interaksi dengan anak-anak melalui pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang mendorong rasa ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan anak atau pernyataan-pernyataan yang muncul menunjukkan pada pendongeng mengenai hal-hal yang anak-anak perlu ketahui dalam rangka untuk memahami isi cerita. Melalui keterlibatan dalam proses dongeng yang terstruktur dan menganalisa dongeng yang diceritakan, anak-anak dapat mengintegrasikan pengalaman sebelumnya dengan pengalaman yang baru, merefleksikan hal yang baru diperoleh dan mengidentifikasikan hasil yang berhubungan dengan perilaku mereka (Brill, 2008; Loukia, 2006). Melalui mekanisme tersebut, dongeng memfasilitasi dan menstimulasi perkembangan metakognisi. Seperti halnya proses yang terjadi dalam dongeng, ketika melakukan permainan pura-pura anak mengembangkan imajinasi mereka secara umum, dan penggunaan imajinasi ini sangat penting dalam proses-proses kognitif (Smith, 2010). Beberapa ahli perkembangan menyatakan perkembangan metakognisi bahwa (Seifert, permainan 2006). pura-pura Goswami dan menstimulasi Bryant (2007) mennjelaskan bahwa pada saat bermain, anak menyadari bahwa mereka sedang bermain, bahkan ketika mereka belum dapat mengatakannya secara verbal (kesadaran intuitif). Pengalaman pada saat bermain akan membawa kesadaran intuitif ke dalam kesadaran. Kesadaran pada saat bermain pura-pura merupakan bentuk aktivitas metakognisi terkait dengan kesadaran mengenai „mengetahui apa yang dikatakan, dilakukan atau dipikirkan‟. Permainan pura-pura merupakan bentuk awal dari aktivitas simbolik. Melalui permainan pura-pura, anak memanipulasi relasi kognitifnya ke suatu informasi dan mengambil representasi sebagai objek dari kognisi (membentuk metarepresentasi). Kemampuan untuk merefleksikan dan memahami mental representasi yang dimiliki seseorang, melabel sumber internal supaya kenyataan sekarang maupun yang lalu disimpan bersama-sama dalam pikiran, merupakan metakognisi. Gumley (2010) menegaskan bahwa permainan pura-pura mendorong perkembangan keterampilan metakognisi terkait dengan keterlibatan proses mental yang dilakukan oleh anak pada saat melakukan permainan pura-pura. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai pengaruh permainan imajinatif terhadap metakognisi dalam matematika pada anak. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat pengaruh permainan imajinatif terhadap metakognisi dalam matematika pada anak? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh permainan imajinatif terhadap metakognisi dalam matematika pada anak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menambah wacana dalam kajian psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan mengenai permainan imajinatif, yaitu dongeng dan permainan purapura serta pengaruhnya terhadap metakognisi dalam matematika pada anak. Selain itu, bagi orang tua, pendidik, dan siswa, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan akan pentingnya metakognisi dalam matematika pada anak, serta memberi masukan mengenai pengaruh permainan imajinatif terhadap metakognisi. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan tema penelitian ini. Ozsoy (2011) melakukan penelitian mengenai hubungan antara metakognisi dengan prestasi matematika pada siswa kelas lima sekolah dasar. Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara metakognisi dengan prestasi matematika. Penelitian yang dilakukan oleh Ozsoy merupakan penelitian korelasional yang melihat hubungan antara dua variabel, yaitu metakognisi dan prestasi matematika, sementara penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian eksperimental (kuasi) yang hendak meneliti mengenai pengaruh permainan imajinatif terhadap metakognisi dalam matematika pada anak usia sembilan sampai sepuluh tahun. Desoete (2001) melakukan penelitian eksperimental untuk melihat efektivitas matematika problem solving dilihat dari kondisi metakognitif dibandingkan dengan empat kondisi lain (algoritmik langsung, instruksi kognitif, program motivasi dan kontrol). Penelitian tersebut dilakukan pada anak-anak kelas tiga sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kondisi metakognitif mencapai hasil yang signifikan dalam keterampilan metakognitif, dibandingkan dengan empat kondisi lain. Penelitian yang akan dilakukan juga merupakan penelitian eksperimentral (kuasi), namun perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah dongeng dan permainan pura-pura. Jika dilihat dari tujuan penelitian maka penelitian Desoete hendak mengungkap mengenai efektivitas matematika problem solving, sementara penelitian ini hendak melihat pengaruh permainan imajinatif terhadap metakognisi dalam matematika pada anak usia sembilan sampai sepuluh tahun. Penelitian eksperimental mengenai dongeng telah dilakukan oleh Kokkotas, Malamitsa dan Rizaki (2008). Kokkotas, Malamitsa dan Rizaki melakukan penelitian eksperimental mengenai dongeng sebagai strategi untuk mengembangkan keterampilan metakognitif dalam memahami konsep elektrik dan elektromagnetisme. Penelitian dilakukan dengan subjek siswa kelas enam sekolah dasar. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok eksperimen lebih mampu untuk mengeksplorasi hipotesis, menginterpretasi dan secara umum mengembangkan keterampilan metakognitif. Penelitian yang hendak dilakukan juga merupakan penelitian eksperimental (kuasi) dengan menggunakan dongeng sebagai perlakuan dalam penelitian, namun penelitian ini juga menggunakan permainan pura-pura sebagai bentuk perlakuan yang lain. Selain itu penelitian Kokkotas, Malamitsa dan Rizaki berfokus pada area sains (elektrik dan elektromagnetism), sedangkan penelitian ini lebih melihat pada area matematika. Penelitian eksperimental lain mengenai dongeng dilakukan oleh Lam (2005), Ahyani (2010) dan Aprianawati (2011). Lam melakukan penelitian eksperimen kuasi mengenai pengaruh dongeng terhadap kreativitas dan keterampilan penyelesaian masalah pada anak. Penelitian ini melibatkan siswa taman kanak-kanak, dengan guru sebagai eksperimenternya. Hasilnya menunjukkan bahwa dongeng berpengaruh terhadap kreativitas dan keterampilan penyelesaian masalah pada anak. Ahyani meneliti mengenai pengaruh metode dongeng dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah. Hasilnya menunjukkan ada perbedaan tingkat pencapaian kecerdasan moral anak usia prasekolah antara yang mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral melalui metode dongeng dengan yang tidak. Aprianawati melakukan penelitian kuasi eksperimental mengenai pengaruh dongeng terhadap kecerdasan emosi anak prasekolah usia enam tahun. Hasilnya menunjukkan ada peningkatan kecerdasan emosi anak prasekolah pada kelompok eksperimen yang mendapatkan perlakuan berupa dongeng. Penelitian yang hendak dilakukan juga merupakan penelitian eksperimental (kuasi) dengan menggunakan dongeng sebagai perlakuan, namun selain dongeng penelitian ini juga menggunakan permainan pura-pura sebagai bentuk perlakuan yang lain. Jika dilihat dari tujuan penelitian, maka Lam meneliti mengenai dongeng dan pengaruhnya terhadap kreativitas dan penyelesaian masalah, Ahyani meneliti mengenai dongeng dan pengaruhnya terhadap perkembangan kecerdasan moral, sedangkan Aprianawati meneliti mengenai dongeng dan pengaruhnya terhadap kecerdasan emosi anak. Berbeda dari penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini hendak meneliti mengenai permainan imajinatif dengan menggunakan dongeng dan permainan pura-pura sebagai variasi perlakuan serta melihat pengaruhnya terhadap metakognisi dalam matematika. Ketiga penelitian tersebut menggunakan subjek anak-anak prasekolah dasar, sedangkan penelitian ini menggunakan subjek anak usia sembilan sampai sepuluh tahun. Upaya meningkatkan metakognisi dilakukan oleh Kelleher (1997) melalui penelitian yang dilakukannya, yaitu mengenai reader theatre dan metakognisi pada siswa kelas enam sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses membaca, menulis, berbicara dan mendengarkan dapat mengembangkan metakognisi. Penelitian yang hendak dilakukan juga akan mengungkap mengenai metakognisi, namun menggunakan variabel penelitian lain yaitu permainan imajinatif. Selain itu subjek penelitian Kelleher adalah siswa kelas enam sekolah dasar, sedangkan subjek pada penelitian ini adalah anak usia sembilan sampai sepuluh tahun. Dalam hal tersebut penelitian ini berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Kelleher. Penelitian mengenai permainan pura-pura antara lain dilakukan oleh Suminar (1997). Suminar melakukan penelitian eksperimental mengenai pengaruh permainan pura-pura terhadap perkembangan bahasa dan kematangan sosial anak-anak prasekolah. Hasilnya menunjukkan ada peningkatan perkembangan bahasa dan kematangan sosial pada kelompok eksperimen yang mendapatkan perlakuan permainan pura-pura. Penelitian yang hendak dilakukan juga merupakan penelitian eksperimental (kuasi) dengan menggunakan permainan pura-pura sebagai perlakuan, namun selain meneliti mengenai permainan pura-pura penelitian ini meneliti dongeng sebagai bentuk perlakuan yang lain. Jika dilihat dari tujuan penelitian, maka Suminar meneliti mengenai permainan pura-pura dan pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa dan kematangan sosial, sedangkan penelitian ini hendak meneliti mengenai permainan imajinatif dan pengaruhnya terhadap metakognisi dalam matematika pada anak usia sembilan sampai sepuluh tahun. Selain Suminar, Kelly dan Hammond (2011) melakukan penelitian untuk melihat hubungan permainan pura-pura dengan fungsi eksekutif pada 20 anak usia empat sampai tujuh tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa permainan pura-pura berhubungan dengan fungsi eksekutif anak. Penelitian yang dilakukan oleh Kelly dan Hammond tersebut merupakan penelitian korelasional yang melihat hubungan antara dua variabel, yaitu permainan pura-pura dan fungsi eksekutif, sementara penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian eksperimental (kuasi) yang hendak meneliti mengenai pengaruh permainan imajinatif terhadap metakognisi dalam matematika pada anak usia sembilan sampai sepuluh tahun, dengan menggunakan variasi perlakuan berupa dongeng dan permainan pura-pura. Secara keseluruhan nampak bahwa penelitian yang hendak dilakukan berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada subjek penelitian dan penyertaan variabel yang digunakan dalam penelitian. Jadi dapat dinyatakan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.