BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepatuhan 2.1.1 Pengertian Kepatuhan Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Kepatuhan atau ketaatan (compliance/ adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Smeltzer, 2002). Menurut Sacket (dalam Niven, 2002: 192), mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan sebuah terapi pada pasien yang mengikuti ketentuanketentuan kesehatan profesional. Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan atau melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (WHO, 2003). Kepatuhan terhadap pengobatan pasien membutuhkan partisipasi yang aktif dari pasien sehingga proses pengobatan medis yang telah ditentukan berjalan sesuai dengan sistem manajemen perawatannya. Penderita hemodialisa yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan. Penderita hemodialisa dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 kali berturut-turut dari tanggal 7 Universitas Sumatera Utara 8 perjanjian dan dikatakan Droup Out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes RI, 2000). Dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh Saran et al (2003), pasien dianggap tidak patuh jika mereka sudah melewatkan satu atau lebih sesi dialisis dalam satu bulannya, memperpendek waktu dialisis dengan satu atau lebih sesi dengan lebih dari 10 menit setiap terapi, memiliki tingkat kalium serum lebih besar dari 6 mEq/L, kadar fosfat serum lebih besar dari 7,5 mg/ dl, atau IDWG lebih besar dari 5,7 % dari berat badan. Melewatkan satu atau lebih dialisis dalam sebulan dihubungkan dengan 30 persen peningkatan risiko kematian, dan memperpendek waktu dialisis dikaitkan dengan 11 % lebih tinggi Risiko Relatif (RR) dari kematian (Kamerrer, 2007). Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan perawatan dari pemberi pelayanan kesehatan adalah penting untuk kesuksesan suatu intervensi. Sayangnya, ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar terutama pada pasien yang menjalani hemodialisis. Dan dapat berdampak pada berbagai aspek perawatan pasien, yaitu termasuk konsistensi kunjungan, regimen pengobatan serta pembatasan makanan dan cairan. Secara keseluruhan, telah diperkirakan bahwa sekitar 50 % pasien HD tidak mematuhi setidaknya sebagian dari regimen hemodialisis mereka (Kamerrer, 2007). Pasien yang menjalani hemodialisis kronis beresiko memiliki banyak masalah, termasuk dalam retensi garam dan air, retensi fosfat, hiperparatiroidisme sekunder, hipertensi, anemia kronik, hiperlipidemia dan penyakit jantung. Hampir setengah dari pasien dialysis memiliki diabetes, dan lebih jauh mengarah pada Universitas Sumatera Utara 9 komplikasi tambahan. Untuk mengatasi semua masalah ini, pasien mungkin memerlukan pembatasan cairan, pengikat fosfat, vitamin D, agen calcimimetik, obat antihipertensi, agen hipoglikemik, eritropoetin, suplemen zat besi, dan berbagai obat-obat lain. Belum lagi pengaturan diet serta rutinitas mendatangi unit hemodialisis. Hal ini menimbulkan kejenuhan yang luar biasa dari pasien karena harus banyak merubah pola hidupnya. (Loghman-Adham 2003; Saran et al 2003 dalam Kamerrer, 2007). Banyak penelitian yang dikhususkan untuk memahami ketidakpatuhan pasien hemodialisis, walaupun pada umumnya gagal untuk menunjukkan bahwa karakteristik demografi atau psikologis pasien menjadi prediktor yang konsisten dari kepatuhan (Cvengros, Christiansen, & Lawton, 2004; dalam Kamerrer, 2007). Seberapa baik pasien hemodialisis mengelola perawatan mereka dapat dinilai dengan menggunakan banyak parameter. Selain kepatuhan terhadap obat yang diresepkan dan kehadiran rutin di sesi hemodialisis, peneliti dapat juga menggunakan parameter kenaikan berat badan interdialitik atau interdialytic weightgain (IDWG), fosfor serum dan kadar potassium. (Kammerer, 2007). Terdapat 2 (dua) karakteristik yang berbeda mengenai kepatuhan pada pasien dengan model perawatan akut dan model perawatan kronik. Pada model perawatan akut, intervensi cenderung berfokus pada gejala dengan tujuan „menyembuhkan/ mengobati. Dalam model ini pengetahuan terutama dikuasai dari pemberi pelayanan kesehatan. Sedangkan pada model perawatan kronis berfokus pada upaya pengendalian perkembangan kondisi, meningkatkan kelangsungan hidup serta meningkatkan kualitas hidup. Pada model perawatan Universitas Sumatera Utara 10 kronis mengharuskan para professional perawatan kesehatan, pasien dan keluarga berbagi pengetahuan untuk mengatasi berbagai masalah kronis secara efektif (Sabate, 2001 dalam Kamerrer, 2007). Definisi kepatuhan WHO cenderung menggambarkan kondisi untuk penyakit kronis sehingga sangat tepat diterapkan pada pasien hemodialisis. Riset yang dilakukan Block et al (2004); Saran et al.,( 2003); Sezer et al, (2002); Szczech et al., (2003); dalam Kim, (2010), mengenai kepatuhan klien ERSD (End Stage Renal Disease) yang mendapat terapi hemodialisis didapatkan pasien yang tidak patuh terhadap semua regimen hemodialisis tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup, meningkatnya biaya perawatan kesehatan, meningkatnya morbiditas, dan mortilitas pasien. Pasien yang diharuskan melaksanakan hemodialisa, harus merubah seluruh aspek kehidupannya. Pasien harus mendatangi unit hemodialisa secara rutin 2-3 kali seminggu, konsisten terhadap obat-obatan yang harus dikonsumsinya, memodifikasi dietnya secara besar-besaran, mengatur asupan cairan hariannya serta mengukur balance cairan setiap harinya, penurunan hemoglobin, pengaturan kalium, kalsium, Fe dan lain-lain. Kondisi ini menjadi beban berat bagi pasien yang menjalani hemodialisis, termasuk masalah psikososial dan ekonomi yang berdampak penyebab kegagalan terapi dan memperburuk kondisi pasien (Kim, 2010). The End- Stage Renal Disease Adherence Questionnaire (ESRD-AQ) dari Kim (2010) berisi pernyataan tentang perilaku kepatuhan (6 item), meliputi perilaku kehadiran HD, perilaku kebiasaan mempercepat frekuensi dan waktu Universitas Sumatera Utara 11 durasi HD, perilaku kebiasaan minum obat, perilaku restriksi cairan, dan perilaku diet makanan. Tabel 2.1 Skore Perilaku Kepatuhan ERSD-AQ Pertanyaan nomor Rentang Skore #14 : Frekuensi ketidakhadiran HD 0-300 #17 : Frekuensi memperpendek waktu HD 0-200 # 18 : Durasi waktu HD yang diperpendek 0-100 # 26 : Kepatuhan terhadap minum obat 0-200 #31 : Kepatuhan terhadap pembatasan cairan 0-200 #46 : Kepatuhan terhadap pembatasan diet 0-200 Sumber : ESRD-AQ, (Kim, 2010) Skore Mean ± SD 284.80 ± 52.80 186.70 ± 34.50 91.40 ± 21.80 179.47 ± 30.15 154.97 ± 48.56 143.38 ± 47.50 Kebanyakan pasien menyadari pentingnya HD karena mereka memiliki pengetahuan tentang penyakit mereka (95,4%). Beberapa pasien (2,6%) melaporkan belajar pentingnya HD dari pengalaman pribadi sehingga menjadi tidak patuh, dan 79,5% peserta lainnya tidak menjelaskan banyak kesulitan dalam menjalani seluruh sesi dialisis mereka. Secara keseluruhan, tingkat kehadiran mereka ke HD selama sebulan dievaluasi adalah 90,7%, dan persentase sesi selesai HD setiap episode terapi mengalami pemendekan 84,1%. Angka ini setara dengan nilai rata-rata ESRD-AQ dari frekuensi ketidakhadiran HD 284,80 ± 52.80; memperpendek waktu HD 186,70 ± 34,50; dan serta durasi waktu HD 91,40 ± 21.80 (lihat Tabel 1). Kebanyakan pasien merasakan pentingnya minum obat sebagai yang sudah dijadwalkan atau diresepkan tetapi ada beberapa pasien meminum obat hanya jika merasa sesak nafas sehingga pasien tidak rutin meminum obat yang sudah diresepkan oleh dokter. Beberapa pasien ( 19,9 % ) mengalami kesulitan mengambil obat yang diresepkan, sedangkan sebagian besar peserta ( 80,1 % ) Universitas Sumatera Utara 12 mengakui tidak mengalami kesulitan akan hal tersebut. Tingkat kepatuhan terhadap asupan obat selama seminggu 68,2 %, yang menyebabkan ESRD - AQ memiliki skor 179.47 ± 30.15. Kepatuhan terhadap pembatasan cairan selama seminggu 79,5 % mengakibatkan ESRD - AQ memiliki skor 154,97 ± 48,56 ( lihat Tabel 1 ). Sembilan puluh lima persen ( 95 % ) pasien menyadari pentingnya cairan pembatasan terutama mengurangi mengkonsumsi jenis buah yang mengandung banyak air dan mengatur asupan cairan harian karena mereka memiliki pengetahuan tentang penyakit mereka. Enam puluh dua persen ( 62 % ) dari beberapa pasien melaporkan kesulitan mengikuti pedoman pembatasan cairan dan 36 % dari 62 % mengeluh banyak atau ekstrim kesulitan dengan pembatasan asupan cairan. Dua peserta menyatakan mereka benar-benar tidak dapat mengikuti rekomendasi pembatasan cairan mereka apalagi dengan pembatasan diet makanan, seperti memodifikasi diet, menurunkan konsumsi protein, mengurangi jenis makanan yang berkelium dan diukur ESRD - AQ berarti skor dalam diet pembatasan kepatuhan pada peserta studi adalah 143,38 ± 47,50 ( lihat Tabel 2.1). 2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Menurut Green (dikutip dari Notoadmojdo, 2003) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku klien untuk menjadi taat/tidak taat terhadap program pengobatan, yang diantaranya dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pendukung serta faktor pendorong, yaitu : Universitas Sumatera Utara 13 1. Faktor Predisposisi Faktor presisposisi merupakan faktor utama yang ada didalam diri individu yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, persepsi, kepercayaan dan keyakinan, nilai-nilai serta sikap. 2. Faktor Pendukung Faktor pendukung merupakan faktor yang diluar individu seperti : a. Pendidikan Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif dalam hal ini sekolahsekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang menggunakan buku-buku dan penggunaan kaset secara mandiri. b. Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan, sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa dia dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga dia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan dan jika tingkat ansietas terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka kepatuhan pasien akan berkurang. c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan Universitas Sumatera Utara 14 terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, membatasi asupan cairan, dan menurunkan konsumsi protein. d. Perubahan model terapi Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponenkomponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks. e. Meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien Suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Suatu penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana pengobatannya, dapat membantu meningkatkan kepercayaan pasien. Untuk melakukan konsultasi selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh seorang perawat. Sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien (Niven, 2000). 3. Faktor Pendorong Faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain. Menurut Brunner & Suddarth (2002) dalam buku ajar keperawatan medikal bedah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah : Universitas Sumatera Utara 15 1. Faktor Demografi seperti usia, jenis kelamain, suku bangsa, status sosial, ekonomi dan pendidikan. 2. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi. 3. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya financial dan lainnya yang termaksud dalam mengikuti regimen. Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: a. Faktor Komunikasi Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasaan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasaan terhadap obat yang diberikan. b. Pengetahuan Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian dalam pemberian antibiotik. Karena sering sekali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis. c. Fasilitas Kesehatan fasilitas Kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari Universitas Sumatera Utara 16 tenaga keesehatan yang meliputti: jumlah tenaga t keseehatan, geddung serba guna untuk penyyuluhan dan n lain-lain. 2.1.3 Keepatuhan Hemodialisi H is dalam Model M Kameerrer Faaktor–faktorr yang m mempengaru uhi kepatu uhan pasieen hemodiialisis digambarkkan dalam sebuah s inteeraksi komp pleks (Kamerrer, 2007)), dengan model m interaksi pada p gambaar berikut. Prov vide Patient r Helath Care C System Faaktor- faktorr yang mem mpengaruhi kepatuhan k pasien p hemoodialisis meenurut Kamerrer adalah : P 1. Faktor Pasien Faaktor-faktor yang berhhubungan dengan d pasiien meliput uti sumber daya, pengetahuuan, sikap, keyakinan,, persepsi dan d harapan pasien. FFaktor-fakto or ini analog denngan Faktorr Predisposiisi (Predisp posing factorrs) dari Greeen. 2. Sistem Pelayanan Kesehatan K Faasilitas pelay yanan hem modialisis daapat dikaitk kan dengan ketidakpattuhan. Dalam haal ini, kom munikasi ddengan passien adalah h komponeen penting dari perawatann, sehingga pemberi peelayanan keesehatan harrus mempunnyai waktu yang cukup unttuk berbagii dengan paasien dalam m diskusi teentang perillaku merekaa dan Universitas Sumatera Utara 17 motivasi untuk perawatan diri. Fasilitas hemodialisis yang besar dengan beberapa perubahan dan pergantian cepat pasien dapat membuat situasi yang lebih sulit untuk memberikan perawatan pribadi. Tampaknya sistem pelayanan kesehatan sendiri menjadi tantangan yang paling berat untuk kemampuan pasien berpartisipasi secara efektif dalam perawatan mereka sendiri dan pengobatan. Banyak penyedia layanan kesehatan cenderung untuk menekankan kepatuhan yang ketat dan mungkin mempercayai bahwa pasien hemodialisis mampu mengelola dirinya sendiri. Pada model perilaku Green, faktor-faktor ini analog dengan faktor-faktor pemungkin (enabling factors). 3. Petugas Hemodialisis (Provider) Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan adalah hubungan yang dijalin oleh anggota staf hemodialisis dengan pasien, dimana staf hemodialisis memberikan edukasi kepada pasien untuk meningkatkan kepatuhan. Edukasi yang dapat dilakukan oleh staf hemodialisis atau petugas kesehatan lainnya dengan cara memberikan penjelasan mengenai pengaturan diet nutrisi seperti batasan makanan yang rendah kalium, kalsium, Protein, Fe dan lain-lain, pembatasan cairan harian serta mengukur balance cairan setiap harinya, konsistensi terhadap obat yang dikonsumsinya, dan rutinitas mendatangi unit hemodialisa sesuai dengan jadwal terapi. Hal ini dapat dilakukan staf hemodialisis melalui komunikasi yang dilakukan langsung kepada pasien saat melakukan hemodialisa. DOPPS menunjukkan hubungan antara kehadiran seorang ahli diet di fasilitas tersebut kemungkinan akan lebih rendah dalam hal ketidakpatuhan kelebihan IDWG. Waktu yang didedikasikan perawat untuk konseling pasien Universitas Sumatera Utara 18 dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Selain itu, kehadiran ahli diet terlatih (teregistrasi) tampaknya juga menurunkan kemungkinan kelebihan interdialytic weightgain (IDWG). 2.1.4 Strategi Untuk Meningkatkan Kepatuhan Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah : 1) Dukungan profesional kesehatan Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik Dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien. 2) Dukungan sosial Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi. 3) Perilaku sehat Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi. Universitas Sumatera Utara 19 4) Pemberian informasi Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. Secara umum, hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan adalah 1. Pasien memerlukan dukungan, bukan disalahkan. 2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tidak tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan. 3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat. 4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas suatu system kesehatan. 5. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam selalu dapat penanganan secara efektif suatu penyakit kronis 6. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar menghadapiberbagai tantangan baru 7. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah ketidakpatuhan (Badan POM RI,2006). 2.1.5 Ketidakpatuhan 2.1.5.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Faktor – faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian menurut Niven (2002) antara lain : Universitas Sumatera Utara 20 1. Pemahaman tentang intruksi Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya. 2. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. 3. Isolasi sosial dan keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. 4. Keyakinan, sikap dan kepribadian Becker et al (1979) dalam Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. 2.1.5.2 Mengurangi Ketidakpatuhan Niven (2002) mengusulkan lima titik rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien : 1. Pasien harus mengembangkan tujuan kepatuhan serta memiliki keyakinan dan sikap yang positif terhadap suatu penatalaksanaan, dan keluarga serta teman juga harus mendukung keyakinan tersebut. 2. Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, maka dari itu perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku, tetapi juga untuk mempertahankan perubahan tersebut. Universitas Sumatera Utara 21 Perilaku disini membutuhkan pemantau terhadap diri sendiri, evaluasi diri dan penghargaan terhadap perilaku yang baru tersebut. 3. Pengontrolan terhadap perilaku sering tidak cukup untuk mengubah perilaku itu sendiri. Faktor kognitif juga berperan penting. 4. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain, teman dapat membantu mengurangi ansietas, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan, dan mereka sering menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. 5. Dukungan dari professional kesehatan, terutama berguna saat pasien menghadapi perilaku sehat yang penting untuk dirinya sendiri. Selain itu tenaga kesehatan juga dapat meningkatkan antusias terhadap tindakan tertentu dan memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya. 2.2 Hemodialisa 2.2.1 Pengertian Hemodialisa Hemodialisa adalah proses difusi melintasi membrane semipermeabel untuk menyingkirkan substansi yang tidak diinginkan dari darah sementara menambahkan komponen yang diinginkan. Aliran konstan darah dari satu sisi membrane dan larutan dialisat pembersih disisi lain menyebabkan penyingkiran produk buangan dalam cara serupa dengan filtrasi glomerulus (Harrison,2000). Hemodialisa adalah suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Brunner & Suddarth,2002). Universitas Sumatera Utara 22 Menurut Nursalam (2006) hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat. Biasanya hemodialisa dilakukan terhadap pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat, dimana ginjal tidak mampu lagi mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit serta memproduksi hormon-hormon. Ketidakmampuan ginjal mengeluarkan produkproduk sisa metabolisme menimbulkan gejala uremia. Hemodialisa dilakukan bila tes kliren kreatinin < 15 ml/menit. Pada proses hemodialisis, aliran darah ke ginjal dialihkan melalui membran semipermiabel dari ginjal tiruan (mesin cuci ginjal) sehingga produk-produk sisa metabolisme dapat dikeluarkan oleh tubuh (Almatser,2006). Hemodialisa diindikasikan pada klien dalam keadaan akut yang memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau klien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan terapi jangka panjang/permanen (Smeltzer et al,2002). Hemodialisis di Indonesia biasanya dilakukan 2 kali seminggu dengan lama hemodialisis 5 jam, atau dilakukan 3 kali dalam seminggu dengan lama hemodialisis 4 jam (Raharjo,Susalit & Suharjono,2006). Pasien Hemodialisa (HD) rutin diartikan sebagai pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan hemodialisis dengan 2 atau 3 kali seminggu, sekurang- Universitas Sumatera Utara 23 kurangnya sudah berlangsung selama 3 bulan secara berlanjut atau yang telah menjalani hemodialisa lebih dari setahun (Susalit, E, 2003). 2.2.2 Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisa Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2002). Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dilaisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat. Air yang belebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai Universitas Sumatera Utara 24 kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengeksresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan). Sistem dapar (buffer system) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh vena pasien. Pada akhir terapi dialisis, banyak zat limbah dikeluarkan, keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan sistem dapat juga telah diperbaharui (Smeltzer, 2001). 2.2.3 Komplikasi Hemodialisa Meskipun hemodialisa dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi. Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut (Brunner & Suddarth, 2002) : a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan. b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien. c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh. d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit. Universitas Sumatera Utara 25 e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat. f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel. g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi. 2.3 Kualitas Hidup 2.3.1 Pengertian Kualitas Hidup Menurut Unit Penelitian Kualitas Hidup Universitas Toronto, kualitas hidup adalah tingkat dimana seseorang menikmati hal-hal penting yang mungkin terjadi dalam hidupnya. Masing-masing orang memiliki kesempatan dan keterbatasan dalam hidupnya yang merefleksikan interaksinya dan lingkungan. Sedangkan kenikmatan itu sendiri terdiri dari dua komponen yaitu pengalaman dari kepuasan dan kepemilikan atau prestasi (Universitas Toronto, 2004). Menurut WHO tahun 1994 (dalam Desita,2010) kualitas hidup adalah sebagai persepsi individu sebagai laki-laki ataupun perempuan dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal, hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka . Universitas Sumatera Utara 26 Kualitas hidup akan mewakili kedalaman pribadi seseorang. Dalam pelayanan kesehatan, peneliti mencoba membuat ukuran kualitas hidup untuk menjelaskan secara ilmiah nilai dan intervensi media terkini. Ilmuwan sosial telah mengajukan formula atau ukuran objektif lainnya sesuai dengan situasi klien. Semua formula tersebut diperhitungkan ke dalam usia klien, kemampuan klien dalam beradaptasi dengan masyarakat dalam berbagai cara. Suatu ukuran kualitas hidup membantu klien dan keluarga dalam memutuskan keuntungan yang didapat dari intervensi berisiko terkini, seperti transplantasi organ atau manajemen obatobatan eksprimental (Potter & Perry,2005). 2.3.2 Aspek dalam Kualitas Hidup Menurut Ventegodt, Merriek, Anderson (2003) kualitas hidup dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yang berpusat pada aspek hidup yang baik, yaitu : a. Kualitas hidup subjektif yaitu suatu hidup yang baik yang dirasakan oleh masing-masing individu yang memilikinya. Masing-masing individu secara personal mengevaluasi bagaimana mereka menggambarkan sesuatu dan perasaan mereka. b. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang merupakan level yang berhak untuk dihormati dan dimana individu dapat hidup dalam keharmonisan. c. Kualitas hidup objektif yaitu bagaiman hidup seseorang dirasakan oleh dunia luar. Kualitas hidup objektif dinyatakan dalam kemampuan Universitas Sumatera Utara 27 seseorang untuk beradaptasi pada nilai-nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya. 2.3.3 Komponen Kualitas Hidup University of Toronto (2004) menyebutkan kualitas hidup dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu kesehatan (fisik, psikologis, spiritual), kepemilikan (hubungan individu dengan lingkungan) dan harapan (prestasi dan aspirasi individu). a. Kesehatan Kesehatan dalam kualitas hidup dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu secara fisik, psikologis dan spiritual. Secara fisik yang terdiri dari kesehatan fisik, personal higiene, nutrisi, olah raga, pakaian dan penampilan fisik secara umum. Secara psikologis yang terdiri dari kesehatan dan penyesuaian psikologis, kesadaran, perasaan, harga diri, konsep diri dan kontrol diri. Secara spiritual terdiri dari nilai-nilai pribadi, standar-standar pribadi dan kepercayaan spiritual. Sedangkan menurut WHOQOL mengidentifikasi kualitas hidup dalam enam domain, tiga diantaranya yaitu domain fisik, domain psikologis, dan domain spiritual. b. Kepemilikan Kepemilikan (hubungan individu dengan lingkungannya) dalam kualitas hidup di bagi menjadi 2 bagian yaitu secara fisik dan sosial. Secara fisik terdiri dari rumah, tempat kerja/sekolah, tetangga/lingkungan dan masyarakat. Secara sosial dekat dengan orang lain, keluarga, teman/rekan kerja, lingkungan dan masyarakat. Sedangkan menurut WHOQOL mengidentifikasi kualitas hidup Universitas Sumatera Utara 28 dalam enam domain, dua diantaranya yaitu domain tingkat kebebasan dan domain hubungan sosial. c. Harapan Merupakan keinginan dan harapan yang akan dicapai sebagai perwujudan dari individu seperti terpenuhinya nilai (prestasi dan aspirasi individu) sehinggaa individu tersebut merasa berharga atau dihargai di dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya melalui suatu tindakan nyata yang bermanfaat dari hasil karyanya. Sedangkan menurut WHOQOL mengidentifikasi kualitas hidup dalam enam domain, dua diantaranya yaitu domain tingkat kebebasan dan domain lingkungan. 2.3.4 Pengukuran Kualitas Hidup Pengukuran kualitas hidup meliputi tiga komponen kualitas hidup yaitu kesehatan, kepemilikan, dan harapan. Komponen kesehatan yaitu terdiri dari kesehatan fisik, psikologis dan spiritual. Komponen kepemilikan meliputi hubungan dengan lingkungan serta hubungan dengan teman-teman atau tetangga. Komponen harapan yaitu bagaimana seseorang itu merasa dihargai dalam kehidupan sehari-hari (Anonimous, 2004 dalam Kurtus, 2005). Pengukuran kualitas hidup tersebut dibuat dalam bentuk kuisioner yang dimodifikasi dari WHOQOL-SRPB Field Test Instrument ( Saxena, 2002), The World Health Organitation Quality of Life (WHOQOL)-BREF (Anonimous,2004) dan WHOQOL User Manual Division of Menthal Health (Anonimous, 1998). Universitas Sumatera Utara 29 2.3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Avis (2005) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dimana faktor ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah sosio demografi yaitu jenis kelamin, umur, suku/ etnik, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan. Bagian kedua adalah medis yaitu lama menjalani hemodialisa, stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang dijalani. Universitas Sumatera Utara