BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruisme 2.1.1 Pengertian Altruisme Altruisme pertama kali digunakan oleh seorang sosiologis yang bernama Auguste Comte pada abad ke 19 dalam karyanya “Catechisme Positiviste”. Altruisme berasa dari bahasa Yunani, “Alteri” yang berarti orang lain. Comte menjelaskan bahwa seseorang memiliki tanggung jawab secara moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya. Menurut Campbell (2006), altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa sendiri.Sehingga sebuah altruisme menjelaskan memperhatikan diri perhatian yang tidak mementingkan diri sendiri untuk kebutuhan orang lain. Sebagian orang merasa altruisme merupakan suatu kewajiban, namun sebagian yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa mengharapkan suatu ganjaran atau keuntungan tertentu.Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat. Definisi altruisme Menurut Myers (1996), altruism adalah salah satu tindakan prososial dengan alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada kesadaran akan timbal-balik (imbalan). Altruisme adalah tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga sebagai tindakan tanpa pamrih (Sears et.al., 1985). 10 11 Dari beberapa definisi diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa, altruisme adalah suatu tindakan murni yang muncul karna adanya motivasi dalam diri untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan. 2.1.2 Aspek-aspek Perilaku Altruisme Aspek-aspek altruisme mengacu pada Cohen (dalam Staub, E., 1978) menyatakan bahwa dalam altruisme terdiri dari 3(tiga) hal, yaitu : 1) Perilaku memberi . Perilaku ini bersifat menguntungkan bagi orang lain yang mendapat atau yang dikenai perlakuan dengan tujuan memenuhi kebutuhan atau keinginan orang lain, perilaku ini dapat berupa barang atau yang lainya. 2) Empati. Goleman, D (2000) menjelaskan empati merupakan kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan di arena kehidupan, kesadaran terhadap perasaan kebutuhan dan kepentingan orang lain, ciri empati yang tinggi adalah memahami orang lain dengan minat aktif terhadap kepentingan mereka, orientasi pelayanan, mengembangkan orang lain, dan menumbuh kembangkankan hubungan saling percaya. Empati membutuhkan cukup banyak ketenangan dan kesediaan untuk menerima, sehingga sinyal-sinyal perasaan halus dari orang lain dapat diterima dan ditirukan oleh otak emosional orang itu sendiri. 3) Suka rela. Tidak adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan apapun kecuali semata-semata dilakukan untuk kepentingan orang lain. 12 2.1.3 Faktor-faktor Yang Berpengaruh Dalam Perilaku Memberi Bantuan Menurut Myers (2012) altruisme dapat dipengaruhi oleh 3(tiga) faktor antara lain sebagai berikut, yaitu : 1) Faktor situasional,merupakan faktor yang menggambarkan situasi, suasana hati, pencapaian reward perilaku sebelum dan pengamatan langsung tentang derajat kebutuhan yang ditolong serta beberapa pertimbangan yang akan mengantar dinamika diri sendiri untuk melakukan tindakan altruistik atau tidak seperti desakan waktu. 2) Faktor interpersonal,mencakup jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, dan daya tarik antar penolong dan yang ditolong. 3) Faktor personal,merupakan faktor yang berasal dari dalam diri subyek yang menolong, mencakup perasaan subyek dan religiusitas subyek. Dari ketiga faktor yang mempengaruhi perilaku memberi bantuan (faktor situasional, personal dan interpersonal), faktor situasional merupakan faktor yang paling menentukan, sedangkan faktor personal dan kepribadian akan berperan jika faktor situasionalnya jelas-jelas menuntut adanya pemberian bantuan (Allen N.J., R. J. P. 1983). Beberapa penelitian psikologi sosial melihat bahwa pemberian bantuan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Sarwono, S.W., 1999). 1) Kehadiran orang lain. Menurut Sarwono, S.W (1999), faktor utama dan pertama yang berpengaruh pada perilaku menolong atau tidak menolong adalah orang lain yang kebetulan ada di tempat kejadian. Latane dan Darley 13 (dalam Sears et.al., 1985) mengemukakan bahwa kehadiran penonton yang begitu banyak mungkin memungkinkan tidak adanya usaha untuk memberikan pertolongan. Semakin banyak orang lain, makin kecil kemungkinan orang untuk menolong, sebaliknya orang yang sendirian cenderung lebih bersedia menolong. Latane dan Nida (dalam Sarwono, S.W., 1999) orang-orang yang menyaksikan suatu kejadian seperti peristiwa pembunuhan, kecelakaan, perampokan, dan peristiwa-peristiwa lainnya mungkin menduga bahwa sudah ada orang lain yang menghubungi pihak yang berwajib sehingga kurang mempunyai tanggung jawab pribadi untuk turun tangan. Mengapa kehadiran orang lain kadang menghambat usaha untuk menolong. Analisis pengambilan keputusan tentang perilaku sosial memberikan beberapa penjelasan. Baumeiter (dalam Sears et.al., 1985) adalah penyebaran tanggung jawab yang timbul karena kehadiran orang lain. Bila hanya satu orang yang menyaksikan korban yang mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab penuh untuk memberikan reaksi tersebut dan akan menimbulkan rasa salah dan sesal bila tidak bertindak. Bila orang lain juga hadir, pertolongan juga bisa muncul dari beberapa orang. Kedua tentang efek penonton menyangkut ambiguitas dalam menginterpretasi situasi.Analisis pengambilan keputusan menyatakan bahwa kadang-kadang penolong tidak yakin apakah situasi tertentu dapat benar-benar merupakan situasi darurat. Perilaku penonton yang lain dapat mempengaruhi bagaimana reaksi seseorang. 14 2) Kondisi lingkungan. Keadaan fisik juga mempengaruhi orang untuk memberi bantuan. Sejumlah penelitian membuktikan pengaruh kondisi lingkungan seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan terhadap pemberian bantuan. Efek cuaca terhadap pemberian bantuan diteliti dalam dua penelitian lapangan yang dilakukan oleh Conmingham (dalam Sears et.al., 1985), Dalam penelitian pertama, para pejalan kaki dihampiri diluar rumah dan diminta untuk membantu peneliti dengan mengisi kuesioner. Orang lebih cenderung membantu bila hari cerah dan bila suhu udara relatif menyenangkan relative hangat dimusim dingin dan relatif sejuk di musim panas). Dalam penelitian kedua yang mengamati bahwa para pelanggan memberi tip yang lebih banyak bila hari cukup cerah. Menurut Ahmed (dalam Sears et.al., 1985), bahwa orang lebih cenderung menolong pengendara motor yang mogok dalam cuaca cerah dari pada dalam cuaca mendung pada siang hari dan pada malam hari. Faktor lingkungan lainnya yang dapat mempengaruhi tindakan menolong adalah kebisingan. Methews dan Canon (dalam Sears et.al., 1985), bahwa suara bising yang keras menyebabkan orang lain mengabaikan orang lain di sekitarnya dan memotivasi mereka untuk meninggalkan situasi tersebut secepatnya sehingga menciptakan penonton yang tidak begitu suka menolong. 3) Tekanan waktu. Penelitian menyatakan bahwa kadang-kadang seseorang berada dalam keadaan tergesa-gesa untuk menolong. Orang yang sibuk cenderung untuk tidak menolong sedangkan orang yang santai lebih besar 15 kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya. Bukti nyata efek ini berasal dari eksperimen yang dilakukan oleh Darley dan Boston (dalam Sears et.al., 1985) dimana ditemukan 10 % subyek yang diberikan tekanan waktu memberikan bantuan dan 63 % subyek yang tidak diberikan tekanan waktu dapat memberikan pertolongan. Dari hasil tersebut para peneliti menyatakan bahwa tekanan waktu menyebabkan seseorang dapat mengabaikan kebutuhan korban sehingga tindakan pertolongan tidak terjadi. 4) Faktor kepribadian. Tampaknya ciri kepribadian tertentu mendorong orang untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi yang lain. Satow (dalam Sears et.al., 1985), mengamati bahwa orang yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial lebih cenderung untuk menyumbangkan uang bagi kepentingan amal daripada orang yang mempumnyai tingkat yang rendah untuk diterima secara sosial, tetapi hanya bila orang menyaksikannya. Orang yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga bertindak lebih prososial agar mereka lebih diperhatikan. 5) Suasana hati. Ada sejumlah bukti bahwa orang cenderung untuk memberikan bantuan bila mereka ada dalam suasana yang baik hati. Suasana perasaan positif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk membantu. Efek suasana hati tidak berlangsung lama hanya 20 menit, suasana hati yang positif bisa menurunkan kesediaan untuk menolong bila 16 pemberian bantuan akan mengurangi suasana hati yang baik (Sears et.al., 1985). Rupanya orang yang berada dalam suasana hati yang baik ingin mempertahankan perasaan mereka. Efek suasana hati yang buruk, seperti depresi. Suasana hati yang buruk menurut Thompson (dalam Sears et.al., 1985), menyebabkan individu memusatkan perhatian pada diri individu sendiri dan kebutuhan diri sendiri maka suasana ini akan mengurangi suasana untuk membantu orang lain. Di lain pihak, bila individu berpikir bahwa menolong orang lain bisa membuat individu merasa lebih baik sehingga mengurangi suasana hati yang buruk, maka individu akan mudah memberikan bantuan. 6) Distress diri dan rasa empatik. Distress diri (personal distress) adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialami. Sebaliknya yang dimaksud rasa atau empatik (emphatic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Perbedaan utamanya adalah bahwa penderitaan diri terfokus pada diri sendiri, sedangkan rasa empatik terfokus pada orang lain. Distress diri memotivasi seseorang untuk mengurangi kegelisahan yang dialami.Orang bisa melakukan dengan membantu orang yang membutuhkan, tetapi orang juga dapat melakukannya dengan menghindari situasi tersebut atau mengabaikan penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, rasa empatik hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada 17 dalam kesulitan. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan orang lain, jelas bahwa rasa empatik merupakan sumber altruistik (Sears et.al., 1985). Meskipun orang-orang kadang merasa terganggu, sedih dan marah oleh cacat atau kekurangan umat manusia, namun individu mengalami ikatan perasaan yang mendalam bagi sesamanya. Konsekwensinya adalah mereka memiliki hasrat yang tulus untuk membantu sesamanya. 7) Menolong orang yang disukai. Rasa suka pada orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik dan kesamaan. Penelitian tentang perilaku sosial menyimpulkan bahwa karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian bantuan. Menurut Feldman (1985). kesediaan untuk membantu akan lebih besar terhadap orang yang berasal dari daerah yang sama dari pada terhadap orang lain.Bar-Tal (dalam Sears et.al., 1985) mengemukakan bahwa perilaku membantu dipengaruhi oleh jenis hubungan antar orang, seperti yang terlihat jelas dalam kehidupan seharihari. Tidak peduli apakah karena merasa suka, kewajiban sosial, kepentingan diri, orang lebih suka menolong teman dekat dari pada orang asing. 8) Menolong orang yang pantas ditolong. Apakah seseorang akan mendapatkan bantuan atau tidak sebagian bergantung pada manfaat kasus tersebut. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa faktor sebab akibat yang utama adalah pengendalian diri, individu lebih cenderung menolong bila individu yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut. Mungkin seseorang merasa simpati dan prihatin 18 terhadap mereka yang mangalami penderitaan bukan karena kesalahan mereka sendiri. 2.1.4 Tahap-Tahap Perilaku Altruistik Dari adanya penjelasan konsep penumbuhan jiwa altruisme, maka berikut ini adalah tahapan perilaku altruisme dapat muncul pada individu, yaitu: 1) Perhatian dan observasi terhadap suatu kejadian 2) Interpretasi apakah situasi tersebut darurat atau membutuhkan bantuan. 3) Menerima tanggung jawab dari tindakan yang dilakukan. 4) Keputusan untuk bertindak dan menentukan secara cermat aksi yang cocok. 5) kesungguhan untuk betindak. 2.1.5 Karateristik Orang yang Altruis Schroeder et.al (1995) menyebutkan beberapa perbedaan orang yang penolong dengan yang tidak, dalam hal perbedaan kepribadian dan sosialisasi. Orang yang altruis memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Empati; dalam hal ini adalah dispositional empathy, yaitu kecenderungan yang konsisten untuk berespon secara emosional pada pengalaman emosional orang lain dan memahami sudut pandang mereka. Empati juga berhubungan dengan perilaku menolong jangka panjang. Orang yang lebih memiliki kecenderungan empati, secara umum juga lebih mudah menolong. 19 2. Memiliki rasa tanggung jawab; Berkowitz dan Daniel (dalam Schroeder et.al., 1995) menemukan bahwa orang yang memiliki tanggung jawab social yang tinggi lebih mungkin menolong orang lain yang tergantung padanya. Orang yang merasa bertanggung jawab untuk membantu menyelesaikan masalah orang lain. 3. Extensivity (Oliner, dalam Schroeder et.al., 1995); yaitu perpaduan dari empati, rasa tanggung jawab, kepedulian dan kelekatan dengan orang lain. Orang yang memiliki extensivity tidak hanya memikirkan keadilan ataupun perolehan untuk diri mereka, namun mereka juga memikirkan orang lain meskipun di luar in-group mereka (Hunt, dalam Schroeder et.al., 1995). 4. Self-efficacy; yaitu kepercayaan diri individu bahwa mereka dapat berhasil mengatasi tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Seseorang tidak cukup hanya mempunyai keinginan untuk menolong, melainkan juga keyakinan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menolong orang lain. 5. Selain perbedaan karakteristik, Schroeder et.al (1995) juga menyebutkan perbedaan sosialisasi sebagai hal yang membedakan orang yang penolong dengan yang tidak. Perbedaan sosialisasi yang dimaksud adalah bagaimana mereka dididik oleh orang tua mereka. Orang tua para penolong lebih peduli dan memperhatikan orang lain, serta tidak suka menggunakan hukuman fisik untuk mengontrol perilaku anaknya. Apabila anak-anaknya melakukan kesalahan, orang tuanya menjelaskan perilaku seperti apa yang mereka harapkan dari anak-anak mereka bahwa perilaku tersebut salah. 20 Perbedaan lain dalam hal sosialisasi orang tua para penolong adalah sangat mengidentifikasikan diri pada orang tuanya yang sangat bermoral dan memberikan contoh-contoh tingkah laku yang sesuai dengan norma. 2.1.6 Motif Altruisme Menurut Baron & Byrne (2005) menjelaskan ada 4(empat) teori utama motivasi altruisme, sebagai berikut : 1) Hipotesis Empati-Altruisme, sebuah dugaan bahwa tingkah laku prososial hanya dimotivasi oleh keinginan untuk menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan. 2) Model Mengurangi Keadaan Negatif, penjelasan yang menyatakan bahwa perilaku prososial dimotivasi oleh keinginan bystander untuk mengurangi emosi negative-nya sendiri. 3) Hipotesis Kesenangan Empatik, Penjelasan yang menyatakan bahwa perilaku prososial di motivasi oleh emosi positif yang diantisipasi penolong untuk dimiliki sebagai hasil dari memiliki pengaruh menguntungkan pada hidup seseorang yang membutuhkan. 4) Model Determinisme Genetis, penjelasan yang menyatakan bahwa tingkah laku didorong oleh atribut genetis yang berevolusi karena atribut tersebut meningkatkan kemungkinan untuk mewariskan gen seseorang pada generasi berikutnya. 21 2.2 Pola Asuh Orang Tua 2.2.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Sebagian besar orang tua selalu mengharapkan anak-anaknya dapat tumbuh, berkembang dan berkepribadian baik serta memiliki sikap mental yang positif dan sehat.Sudah seharusnya orang tua sebagai lingkungan terdekat bagi anak untuk memberikan contoh dan menjadi suri tauladan yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Daradjat (1996), yakni “ Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh”. Pengasuhan merupakan bagian yang penting dalam sosialisasi, proses dimana anak belajar untuk bertingkah laku sesuai harapan dan standar sosial. Dalam konteks keluarga, anak mengembangkan kemampuan mereka yang membantu mereka untuk hidup di dunia (Martin & Colbert, 1997). Menurut Darling et.al (1993), pola asuh merupakan aktivitas kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individual dan serentak dalam mempengaruhi tingkah laku anak. Menurut Baumrind (dalam Darling et.al., 1993), peran orang tua yang utama adalah mempengaruhi, mengajarkan serta mengontrol anak. Kata pola asuh itu sendiri berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia terdiri dari dua kata yaitu “pola yang berarti corak, model, system cara kerja, dan bentuk (struktur) yang tetap”. Sedangkan kata asuh berarti “ menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih dan sebagainya). Sehingga dalam kata asuh itu sendiri mencakup segala aspek yang berkaitan 22 dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidunya secara sehat. Menurut Maccoby & Martin (dalam Darling et.al., 1993), pola asuh menyangkut dua elemen yaitu parental responsive dan parental demandingness. Menurut Baumrind (dalam Darling et.al., 1999), parental responsive menyangkut hal-hal orang tua secara sengaja mengembangkan individualitas, membiarkannya mengatur diri dan menampilkan dirinya sendiri, kemandirian dan asertivitas dan dimensi ini diwujudkan dengan senantiasa mendengarkan, mendukung dan menyetujui kebutuhan dan keinginan anak. Sedangkan parental demandingness mencakup keinginan orang tua untuk membuat anak menjadi bagian dari keluarga secara penuh dengan meminta mereka untuk bertindak dewasa, menunjukkan kematangan, mengawasi usaha menerapkan disiplin dan kesediaan untuk menghukum anak yang tidak patuh. Jadi dapat disimpulkan oleh penulis bahwa pola asuh orang tua adalah suatu interaksi yang relative konsisten dilakukan oleh orang tua terhadap anakanaknya dengan maksud memberi pengetahuan, menanamkan nilai-nilai positif baik berupa cara pandang maupun tingkah laku yang diterapkan secara berkesinambungan. 2.2.2 Kategori Pola Asuh Orang Tua Ada berbagai pendapat dari para ahli dalam pengkategorian pola asuh orang tua yang diterapkan kepada anak-anaknya, namun satu sama lain memiliki 23 kemiripan atau persamaan. Berikut adalah beberapa kategori yang dikemukakan, yaitu : Menurut Hurlock (1990) ada beberapa sikap orang tua yang khas di dalam pola pengasuhan anak-anaknya, antara lain yaitu : 1. Melindungi secara berlebihan Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengendalian anak yang berlebihan. 2. Permisivitas Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuaka hati dengan sedikit pengendalian. 3. Memanjakan Permisivitas yang berlebih – memanjakan membuat anak egois, menuntut dan sering tiranik. 4. Penolakan Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut teralu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang terbuka. 5. Penerimaan Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak, orang tua yang menerima, memperhatikan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak. perkembangan 24 6. Dominasi Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif. 7. Tunduk pada anak Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi mereka dan rumah mereka. 8. Favoritisme Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka leih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga. 9. Ambisi orang tua Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali sangat tinggi sehingga tidak realistis.Ambisi ini sering dipengaruhi oleh ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka naik di tangga status sosial. Beberapa kategori pola asuh yang dikemukakan oleh Yatim & Irwanto (1991), sebagai berikut : 1. Pola asuh otoriter Pola ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua.Kebebasan anak sangat di batasi. 25 2. Pola asuh demokratik Pola ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya. 3. Pola asuh Permisif Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batasan pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya. 4. Pola asuhan dengan ancaman Ancaman atau peringatan yang dengan keras diberikan pada anak akan dirasa sebagai tantangan terhadap otonomi dan pribadinya. Ia akan melanggarnya untuk menunjukkan bahwa ia mempunyai harga diri. 5. Pola asuhan dengan hadiah Orang tua mempergunakan hadiah yang bersifat material atau suatu janji ketika menyuruh anak berprilaku seperti yang diinginkan. Menurut pendapat Hardy & Heyes (1986), mengemukakan pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, sebagai berikut : 1. Autokratis (otoriter) Ditandai dengan adanya aturan-aturan kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat dibatasi. 2. Demokratis Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. 3. Permisif Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri 26 4. Laissez faire Ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhada anaknya. Menurut pendapat Yusuf (1986), terdapat 7 macam bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua, yaitu : 1. Overprotection (terlalu melindungi) 2. Permissivines (pembolehan) 3. Rejection (penolakan) 4. Acceptance (penerimaan) 5. Domination (dominasi) 6. Submission (penyerahan) 7. Over discipline (terlalu disiplin) Sedangkan menurut Baumrind (dalam Santrock, J., 2002) meyakini bahwa orang tua berinteraksi dengan anaknya lewat salah satu dari tiga cara berikut ini : 1. Pola asuh otoritarian (Authoritarian Parenting) Merupakan gaya pola asuh yang membatasi dan menghukum. Perintah bukan untuk dipertanyakan. Sedikit pertukaran verbal. 2. Pola asuh otoritatif (Authoritative Parenting) Mendorong kemandirian anak pada batasan tertentu. Pertukaran verbal dalam jumlah besar. Hangat dan penuh lingkungan. 27 3. Pola asuh permisif (Permissive Parenting) Merupakan gaya pola asuh dimana orang tua memberikan kebebasan pada anak dalam mengambil keputusan tanpa adanya control dan perhatian orang tua. Dari berbagai macam pengkategorian yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka agar lebih terfokus dan jelas maka untuk itu penulis hanya akan mengemukakan 3(tiga) macam pola pengasuhan berdasarkan pengkategorian oleh Baumrind (dalam Santrock, J., 2002) , yaitu Pola asuh otoritarian, otoritatif dan permisif. Hal ini dikarenakan antara masing-masing bentuk pola asuh yang dikemukakan oleh para tokoh pada intinya adalah hampir sama. Oleh karena itulah penulis hanya akan membahas 3(tiga) macam kategori pola asuh yang secara teoritis lebih dikenal apabila dibandingkan dengan pola asuh yang lainnya. Meskipun pola pengasuhan terbagi dalam 3 macam, tetapi pembagian ini bukan merupakan hal yang kaku. Tidak ada orang tua yang sempurna. Dalam prakteknya di masyarakat, diakui bahwa orang tua tidak dapat menggunakan pola asuh yang tunggal, dalam kenyataan tiga pola asuh tersebut digunakan secara bersamaan di dalam mendidik, membimbing, dan mengarahkan anaknya, adakalanya orang tua menerapkan pola asuh otoriter, otoritatif dan permisif. Dengan demikian, secara tidak langsung tidak ada jenis pola asuh yang murni diterapkan dalam keluarga, tetap orang tua cenderung menggunakan ketiga pola pasuh tersebut. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Daryo (2004). bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua cenderung mengarah pada pola asuh 28 situasional, dimana orang tua tidak menerapkan salah satu jenis pola asuh tertentu, tetapi memungkinkan orang tua menerapkan pola asuh secara fleksibel, luwes dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Orang tua adalah manusia yang bereaksi berbeda di berbagai situasi, tergantung mood dan lingkungan mereka. Menurut Martin & Colbert (1997), pola pengasuhan disimpulkan lewat reaksi orang tua di sebagian situasi. Pola pengasuhan merupakan konsep yang penting, karena hal ini mungkin mempengaruhi sejumlah aspek perkembangan anak. Banyak peneliti yang berpendapat bahwa hasil yang didapat Baumrind menunjukkan bahwa pola pengasuhan mempengaruhi tingkah laku anak (Berns, R.M., 1997). Perbedaan pola pengasuhan berpengaruh pada jumlah dan bagaimana interaksi di rumah terjadi serta sejumlah stimulasi verbal. Menurut Portes, et al (dalam Martin & Colbert, 1997), hal ini menjadi pengantar informasi yang dapat diterima anak . 2.2.3 Aspek-aspek Pola Asuh Orang Tua Menurut Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2007) terdapat 4(empat) aspek di dalam pola asuh orang tua, yakni : 1. Kehangatan atau Pengasuhan (Warmth or Nurturance) Ungkapan orang tua dalam mengasuh anak dengan menunjukkan kasih sayang, kehangatan, perhatian serta memberikan dorongan pada anak. 29 2. Tingkat Harapan (Level of Expectations) Baumrind juga menyebutnya sebagai tuntutan kedewasaan, merupakan sikap orang tua dalam memberikan tuntutan dan dorongan kepada anak untuk mandiri, memiliki tantangan emosional dan tanggung jawab pada tindakan.Kedewasaan pada anak merupakan sikap untuk menghadapi lingkungan sekitar. 3. Kontrol (Control) Merupakan wujud sikap orang tua dalam menghadapi tingkah laku anak yang terkadang dianggap tidak sesuai dengn tuntutan orang tua. 4. Komunikasi antara Orang tua dan Anak (Communication between Parent and Child) Merupakan usaha orang tua dalam menciptakan komunikasi yang baik dengan anak melalui hubungan timbal balik antara kedua belah pihak. 2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua Menurut pendapat Hurlock, B.E (1990) mengenai beberapa faktor utama yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yakni sebagai berikut : 1. Budaya Orang tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa bahwa orang tua mereka berhasil mendidi mereka dengan baik, maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuh mereka. 30 2. Pendidikan orang tua Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak, maka akan mengerti kebutuhan anak. 3. Status Sosial Ekonomi Orang tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras atau lebih permisif dalam mengasuh anak. 2.3 Relawan 2.3.1 Pengertian Relawan Relawan dapat diartikan yaitu orang yang memiliki keinginan untuk menolong orang yang kurang beruntung, dengan memberikan perhatian khusus baik kepada individu maupun kelompok, dengan menampilkan sikap sukarela untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, untuk mempelajari suatu kejadian sosial, mengeksplorasi kekuatan personal, mengembangkan keterampilan baru, dan belajar bekerja sama dengan berbagai macam orang. 2.3.2 Fungsi dan Peranan Relawan Berdasarkan data riset teridentifikasi paling tidak enam fungsi relawan bagi individu (Clary et.al., 1998), yaitu : 1) Nilai, menjadi relawan memampukan seseorang untuk mengekspresikan nilai-nilai personal seperti kasih sayang dan perhatian pada orang yang kurang beruntung. 31 2) Pemahaman, menjadi relawan memampukan seseorang memperoleh pengetahuan baru, keterampilan baru dan pengalaman baru. 3) Sosial, menjadi relawan adalah salah satu cara beraktivitas yang dihargai orang lain, untuk mendapat persetujuan sosial, dan memperkuat hubungan sosial. 4) Karier, menjadi relawan memberi kesempatan untuk menambah pengalaman untuk tujuan karir atau pekerjaan. 5) Proteksi diri, menjadi relawan membantu seseorang mengalihkan perhatian pada problemnya sendiri dan menghindari perasaan bersalah. 6) Pengayaan diri, menjadi relawan menyediakan peluang untuk pertumbuhan personal dan memperkuat harga diri. 2.3.3 Ciri-ciri Kepribadian Relawan Selama bertahun-tahun , para psikolog sosial tidak dapat mengungkap suatu sifat kepribadian tertentu yang memprediksi perilaku menolong dengan hal apa pun yang dekat denga kekuatan yang memprediksi dari faktor situasional, rasa bersalah dan mood. Hubungan terkecil ditemukan antara perilaku menolong dengan variable-variable kepribadian tertentu.Namun secara garis besar, tes kepribadian tidak dapat mengidentifikasikan sifat penolong ini. Baron & Byrne (1996) menyatakan terdapat 5(lima) komponen kepribadian seseorang yang termasuk dalam kategori altruisme, yaitu : 32 1) Siapapun orang yang pernah ditolong, baginya empati bukanlah suatu bagian yang penting dari konsep dirinya, baginya jadi penolong juga mendeskripsikan rasa tanggung jawab dan rasa sosial pengendalian dirinya. Mereka juga menginginkan membuat kesan yang baik dan selalu ingin berpartisipasi dan bertoleransi. 2) Mereka yang berasumsi bahwa dalam memberikan pertolongan merupakan tindakan baik yang harus dilakukan, sebaliknya mereka percaya bahwa orang yang menolong orang lain akan mendapat tindakan yang setimpal. Mereka percaya bahwa dunia itu adil dan merupakan tempat dimana apabila kita melakukan tindakan yang baik maka akan mendapat tindakan yang baik pula. 3) Rasa bersosialisasi juga membedakan antara seseorang penolong dan yang bukan penolong. Seseorang yang tinggi dalam dimensi ini percaya bahwa kita sudah seharusnya melakukan yang terbaik untuk menolong orang lain. 4) Individu yang altruis memiliki karakteristik sebagai seorang yang memiliki pengendalian dan pengontrolan diri yang kuat. Mereka percaya bahwa seseorang akan memiliki jalan yang baik apabila memperbanyak kebaikan dan mengurangi keburukan, karena seorang individu dapat membuat suatu perbedaan dan tidak bergantung pada keberuntungan yang terbatas dan takdir serta semua yang tidak dapat diperkirakan. 5) Rasa egosentrisme pada orang yang penolong biasanya lebih rendah dibandingkan bukan penolong. 33 Sedangkan Karakteristik Individu Altruistik menurut Bierhoff et.al (dalam Baron & Byrne, 2005) individu yang altruistic memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Memiliki konsep diri yang empati, bertanggung jawab dan bersosialisasi, memiliki self control dan toleransi. 2) Meyakini dunia sebagai mana adanya, mereka meyakini bahwa apabila merekamelakukan yang terbaik maka orang yang mereka tolong akan merasakan manfaat atau mendapat keuntungan dari perbuatan mereka 3) Memiliki rasa tanggung jawab sosial. Individu yang memiliki rasa tanggung jawab sosial yakin bahwa mereka harus melakukan yang terbaik untuk orang lain 4) Memiliki egosentrisme yang rendah, apabila mereka gagal dalam melakukan pertolongan, mereka akan merasa tidak berguna 5) Memiliki internal locus of control. Mereka yakin bahwa seseorang dapat menentukan jalannya sendiri, berbuat hal yang terbaik maka otomatis hal yang buruk akan berkurang, tidak tergantung pada takdir dan hal-hal yang tidak pasti. 2.4 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang dapat digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : 34 Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Pola Asuh Orang Tua (X) Altruisme (Y) Tipe Pola Asuh Orang Tua : Aspek Perilaku Altruisme : 1. Otoritarian 2. Otoritatif 3. Permisif 1. Empati 2. Perilaku Memberi 3. Sukarela 2.5 Hipotesis Pada dasarnya hipotesis merupakan jawaban sementara yang masih harus dibuktikan kebenarannya di dalam kenyataan, percobaan, atau praktek. Dari hasil analisa teori diatas, dapat ditarik kesimpulan hipotesis penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut : Ha : Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan perilaku altruisme pada diri relawan PMI DKI Jakarta. Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan perilaku altruisme pada diri relawan PMI DKI Jakarta.