10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruisme 2.1.1 Pengertian

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Altruisme
2.1.1 Pengertian Altruisme
Altruisme pertama kali digunakan oleh seorang sosiologis yang bernama
Auguste Comte pada abad ke 19 dalam karyanya “Catechisme Positiviste”.
Altruisme berasa dari bahasa Yunani, “Alteri” yang berarti orang lain. Comte
menjelaskan bahwa seseorang memiliki tanggung jawab secara moral untuk
melayani umat manusia sepenuhnya. Menurut Campbell (2006), altruisme adalah
perhatian terhadap kesejahteraan orang
lain tanpa
sendiri.Sehingga
sebuah
altruisme
menjelaskan
memperhatikan diri
perhatian
yang
tidak
mementingkan diri sendiri untuk kebutuhan orang lain. Sebagian orang merasa
altruisme merupakan suatu kewajiban, namun sebagian yang lainnya tidak.
Altruisme murni memberi tanpa mengharapkan suatu ganjaran atau keuntungan
tertentu.Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat.
Definisi altruisme Menurut Myers (1996), altruism adalah salah satu
tindakan prososial dengan alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada kesadaran
akan timbal-balik (imbalan). Altruisme adalah tindakan sukarela untuk menolong
orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga
sebagai tindakan tanpa pamrih (Sears et.al., 1985).
10
11
Dari beberapa definisi diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa,
altruisme adalah suatu tindakan murni yang muncul karna adanya motivasi dalam
diri untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan.
2.1.2 Aspek-aspek Perilaku Altruisme
Aspek-aspek altruisme mengacu pada Cohen (dalam Staub, E., 1978)
menyatakan bahwa dalam altruisme terdiri dari 3(tiga) hal, yaitu :
1) Perilaku memberi . Perilaku ini bersifat menguntungkan bagi orang lain yang
mendapat atau yang dikenai perlakuan dengan tujuan memenuhi kebutuhan
atau keinginan orang lain, perilaku ini dapat berupa barang atau yang lainya.
2) Empati. Goleman, D (2000) menjelaskan empati merupakan kemampuan
untuk mengetahui perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan di
arena kehidupan, kesadaran terhadap perasaan kebutuhan dan kepentingan
orang lain, ciri empati yang tinggi adalah memahami orang lain dengan minat
aktif terhadap kepentingan mereka, orientasi pelayanan, mengembangkan
orang lain, dan menumbuh kembangkankan hubungan saling percaya. Empati
membutuhkan cukup banyak ketenangan dan kesediaan untuk menerima,
sehingga sinyal-sinyal perasaan halus dari orang lain dapat diterima dan
ditirukan oleh otak emosional orang itu sendiri.
3) Suka rela. Tidak adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan apapun
kecuali semata-semata dilakukan untuk kepentingan orang lain.
12
2.1.3 Faktor-faktor Yang Berpengaruh Dalam Perilaku Memberi Bantuan
Menurut Myers (2012) altruisme dapat dipengaruhi oleh 3(tiga) faktor
antara lain sebagai berikut, yaitu :
1)
Faktor situasional,merupakan faktor yang menggambarkan situasi, suasana
hati, pencapaian reward perilaku sebelum dan pengamatan langsung
tentang derajat kebutuhan yang ditolong serta beberapa pertimbangan yang
akan mengantar dinamika diri sendiri untuk melakukan tindakan altruistik
atau tidak seperti desakan waktu.
2)
Faktor interpersonal,mencakup jenis kelamin, kesamaan karakteristik,
kedekatan hubungan, dan daya tarik antar penolong dan yang ditolong.
3)
Faktor personal,merupakan faktor yang berasal dari dalam diri subyek
yang menolong, mencakup perasaan subyek dan religiusitas subyek.
Dari ketiga faktor yang mempengaruhi perilaku memberi bantuan (faktor
situasional, personal dan interpersonal), faktor situasional merupakan faktor yang
paling menentukan, sedangkan faktor personal dan kepribadian akan berperan
jika faktor situasionalnya jelas-jelas menuntut adanya pemberian bantuan (Allen
N.J., R. J. P. 1983).
Beberapa penelitian psikologi sosial melihat bahwa pemberian bantuan
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Sarwono, S.W., 1999).
1)
Kehadiran orang lain. Menurut Sarwono, S.W (1999), faktor utama dan
pertama yang berpengaruh pada perilaku menolong atau tidak menolong
adalah orang lain yang kebetulan ada di tempat kejadian. Latane dan Darley
13
(dalam Sears et.al., 1985) mengemukakan bahwa kehadiran penonton yang
begitu banyak mungkin memungkinkan tidak adanya usaha untuk
memberikan pertolongan. Semakin banyak orang lain, makin kecil
kemungkinan orang untuk menolong, sebaliknya orang yang sendirian
cenderung lebih bersedia menolong. Latane dan Nida (dalam Sarwono,
S.W., 1999) orang-orang yang menyaksikan suatu kejadian seperti
peristiwa pembunuhan, kecelakaan, perampokan, dan peristiwa-peristiwa
lainnya mungkin menduga bahwa sudah ada orang lain yang menghubungi
pihak yang berwajib sehingga kurang mempunyai tanggung jawab pribadi
untuk turun tangan. Mengapa kehadiran orang lain kadang menghambat
usaha untuk menolong. Analisis pengambilan keputusan tentang perilaku
sosial memberikan beberapa penjelasan. Baumeiter (dalam Sears et.al.,
1985) adalah penyebaran tanggung jawab yang timbul karena kehadiran
orang lain. Bila hanya satu orang yang menyaksikan korban yang
mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab penuh
untuk memberikan reaksi tersebut dan akan menimbulkan rasa salah dan
sesal bila tidak bertindak.
Bila orang lain juga hadir, pertolongan juga bisa muncul dari beberapa
orang. Kedua tentang efek penonton menyangkut ambiguitas dalam
menginterpretasi situasi.Analisis pengambilan keputusan menyatakan
bahwa kadang-kadang penolong tidak yakin apakah situasi tertentu dapat
benar-benar merupakan situasi darurat. Perilaku penonton yang lain dapat
mempengaruhi bagaimana reaksi seseorang.
14
2)
Kondisi lingkungan. Keadaan fisik juga mempengaruhi orang untuk
memberi bantuan. Sejumlah penelitian membuktikan pengaruh kondisi
lingkungan seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan terhadap
pemberian bantuan. Efek cuaca terhadap pemberian bantuan diteliti dalam
dua penelitian lapangan yang dilakukan oleh Conmingham (dalam Sears
et.al., 1985), Dalam penelitian pertama, para pejalan kaki dihampiri diluar
rumah dan diminta untuk membantu peneliti dengan mengisi kuesioner.
Orang lebih cenderung membantu bila hari cerah dan bila suhu udara
relatif menyenangkan relative hangat dimusim dingin dan relatif sejuk di
musim panas).
Dalam penelitian kedua yang mengamati bahwa para pelanggan memberi
tip yang lebih banyak bila hari cukup cerah. Menurut Ahmed (dalam Sears
et.al., 1985), bahwa orang lebih cenderung menolong pengendara motor
yang mogok dalam cuaca cerah dari pada dalam cuaca mendung pada siang
hari dan pada malam hari. Faktor lingkungan lainnya yang dapat
mempengaruhi tindakan menolong adalah kebisingan. Methews dan Canon
(dalam Sears et.al., 1985), bahwa suara bising yang keras menyebabkan
orang lain mengabaikan orang lain di sekitarnya dan memotivasi mereka
untuk meninggalkan situasi tersebut secepatnya sehingga menciptakan
penonton yang tidak begitu suka menolong.
3)
Tekanan waktu. Penelitian menyatakan bahwa kadang-kadang seseorang
berada dalam keadaan tergesa-gesa untuk menolong. Orang yang sibuk
cenderung untuk tidak menolong sedangkan orang yang santai lebih besar
15
kemungkinannya
untuk
memberikan
pertolongan
kepada
yang
memerlukannya. Bukti nyata efek ini berasal dari eksperimen yang
dilakukan oleh Darley dan Boston (dalam Sears et.al., 1985) dimana
ditemukan 10 % subyek yang diberikan tekanan waktu memberikan
bantuan dan 63 % subyek yang tidak diberikan tekanan waktu dapat
memberikan pertolongan. Dari hasil tersebut para peneliti menyatakan
bahwa tekanan waktu menyebabkan seseorang dapat mengabaikan
kebutuhan korban sehingga tindakan pertolongan tidak terjadi.
4)
Faktor kepribadian. Tampaknya ciri kepribadian tertentu mendorong orang
untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi yang lain.
Satow (dalam Sears et.al., 1985), mengamati bahwa orang yang
mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial lebih
cenderung untuk menyumbangkan uang bagi kepentingan amal daripada
orang yang mempumnyai tingkat yang rendah untuk diterima secara sosial,
tetapi hanya bila orang menyaksikannya. Orang yang mempunyai tingkat
kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial dimotivasi oleh keinginan
untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga bertindak lebih prososial
agar mereka lebih diperhatikan.
5)
Suasana hati. Ada sejumlah bukti bahwa orang cenderung untuk
memberikan bantuan bila mereka ada dalam suasana yang baik hati.
Suasana perasaan positif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk
membantu. Efek suasana hati tidak berlangsung lama hanya 20 menit,
suasana hati yang positif bisa menurunkan kesediaan untuk menolong bila
16
pemberian bantuan akan mengurangi suasana hati yang baik (Sears et.al.,
1985). Rupanya orang yang berada dalam suasana hati yang baik ingin
mempertahankan perasaan mereka. Efek suasana hati yang buruk, seperti
depresi. Suasana hati yang buruk menurut Thompson (dalam Sears et.al.,
1985), menyebabkan individu memusatkan perhatian pada diri individu
sendiri dan kebutuhan diri sendiri maka suasana ini akan mengurangi
suasana untuk membantu orang lain. Di lain pihak, bila individu berpikir
bahwa menolong orang lain bisa membuat individu merasa lebih baik
sehingga mengurangi suasana hati yang buruk, maka individu akan mudah
memberikan bantuan.
6)
Distress diri dan rasa empatik. Distress diri (personal distress) adalah
reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, perasaan terkejut, takut,
cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialami.
Sebaliknya yang dimaksud rasa atau empatik (emphatic concern) adalah
perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk
berbagai pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan
orang lain. Perbedaan utamanya adalah bahwa penderitaan diri terfokus
pada diri sendiri, sedangkan rasa empatik terfokus pada orang lain.
Distress diri memotivasi seseorang untuk mengurangi kegelisahan yang
dialami.Orang
bisa
melakukan
dengan
membantu
orang
yang
membutuhkan, tetapi orang juga dapat melakukannya dengan menghindari
situasi tersebut atau mengabaikan penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya,
rasa empatik hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada
17
dalam kesulitan. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan orang lain,
jelas bahwa rasa empatik merupakan sumber altruistik (Sears et.al., 1985).
Meskipun orang-orang kadang merasa terganggu, sedih dan marah oleh
cacat atau kekurangan umat manusia, namun individu mengalami ikatan
perasaan yang mendalam bagi sesamanya. Konsekwensinya adalah mereka
memiliki hasrat yang tulus untuk membantu sesamanya.
7)
Menolong orang yang disukai. Rasa suka pada orang lain dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti daya tarik fisik dan kesamaan. Penelitian tentang
perilaku sosial menyimpulkan bahwa karakteristik yang sama juga
mempengaruhi pemberian bantuan. Menurut Feldman (1985). kesediaan
untuk membantu akan lebih besar terhadap orang yang berasal dari daerah
yang sama dari pada terhadap orang lain.Bar-Tal (dalam Sears et.al., 1985)
mengemukakan bahwa perilaku membantu dipengaruhi oleh jenis
hubungan antar orang, seperti yang terlihat jelas dalam kehidupan seharihari. Tidak peduli apakah karena merasa suka, kewajiban sosial,
kepentingan diri, orang lebih suka menolong teman dekat dari pada orang
asing.
8)
Menolong orang yang pantas ditolong. Apakah seseorang akan
mendapatkan bantuan atau tidak sebagian bergantung pada manfaat kasus
tersebut. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa faktor sebab akibat
yang utama adalah pengendalian diri, individu lebih cenderung menolong
bila individu yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar
kendali orang tersebut. Mungkin seseorang merasa simpati dan prihatin
18
terhadap mereka yang mangalami penderitaan bukan karena kesalahan
mereka sendiri.
2.1.4 Tahap-Tahap Perilaku Altruistik
Dari adanya penjelasan konsep penumbuhan jiwa altruisme, maka berikut
ini adalah tahapan perilaku altruisme dapat muncul pada individu, yaitu:
1)
Perhatian dan observasi terhadap suatu kejadian
2)
Interpretasi apakah situasi tersebut darurat atau membutuhkan bantuan.
3)
Menerima tanggung jawab dari tindakan yang dilakukan.
4)
Keputusan untuk bertindak dan menentukan secara cermat aksi yang cocok.
5)
kesungguhan untuk betindak.
2.1.5 Karateristik Orang yang Altruis
Schroeder et.al (1995) menyebutkan beberapa perbedaan orang yang
penolong dengan yang tidak, dalam hal perbedaan kepribadian dan sosialisasi.
Orang yang altruis memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Empati; dalam hal ini adalah dispositional empathy, yaitu kecenderungan
yang konsisten untuk berespon secara emosional pada pengalaman
emosional orang lain dan memahami sudut pandang mereka. Empati juga
berhubungan dengan perilaku menolong jangka panjang. Orang yang lebih
memiliki kecenderungan empati, secara umum juga lebih mudah
menolong.
19
2. Memiliki rasa tanggung jawab; Berkowitz dan Daniel (dalam Schroeder
et.al., 1995) menemukan bahwa orang yang memiliki tanggung jawab
social yang tinggi lebih mungkin menolong orang lain yang tergantung
padanya. Orang yang
merasa bertanggung jawab untuk membantu
menyelesaikan masalah orang lain.
3. Extensivity (Oliner, dalam Schroeder et.al., 1995); yaitu perpaduan dari
empati, rasa tanggung jawab, kepedulian dan kelekatan dengan orang lain.
Orang yang memiliki extensivity tidak hanya memikirkan keadilan
ataupun perolehan untuk diri mereka, namun mereka juga memikirkan
orang lain meskipun di luar in-group mereka (Hunt, dalam Schroeder
et.al., 1995).
4. Self-efficacy; yaitu kepercayaan diri individu bahwa mereka dapat berhasil
mengatasi tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Seseorang tidak
cukup hanya mempunyai keinginan untuk menolong, melainkan juga
keyakinan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menolong orang lain.
5. Selain perbedaan karakteristik, Schroeder et.al (1995) juga menyebutkan
perbedaan sosialisasi sebagai hal yang membedakan orang yang penolong
dengan yang tidak. Perbedaan sosialisasi yang dimaksud adalah bagaimana
mereka dididik oleh orang tua mereka. Orang tua para penolong lebih
peduli dan memperhatikan orang lain, serta tidak suka menggunakan
hukuman fisik untuk mengontrol perilaku anaknya. Apabila anak-anaknya
melakukan kesalahan, orang tuanya menjelaskan perilaku seperti apa yang
mereka harapkan dari anak-anak mereka bahwa perilaku tersebut salah.
20
Perbedaan lain dalam hal sosialisasi orang tua para penolong adalah sangat
mengidentifikasikan diri pada orang tuanya yang sangat bermoral dan
memberikan contoh-contoh tingkah laku yang sesuai dengan norma.
2.1.6 Motif Altruisme
Menurut Baron & Byrne (2005) menjelaskan ada 4(empat) teori utama
motivasi altruisme, sebagai berikut :
1)
Hipotesis Empati-Altruisme, sebuah dugaan bahwa tingkah laku prososial
hanya dimotivasi oleh keinginan untuk menolong seseorang
yang
membutuhkan pertolongan.
2)
Model Mengurangi Keadaan Negatif, penjelasan yang menyatakan bahwa
perilaku prososial dimotivasi oleh keinginan bystander untuk mengurangi
emosi negative-nya sendiri.
3)
Hipotesis Kesenangan Empatik, Penjelasan yang menyatakan bahwa
perilaku prososial di motivasi oleh emosi positif yang diantisipasi penolong
untuk dimiliki sebagai hasil dari memiliki pengaruh menguntungkan pada
hidup seseorang yang membutuhkan.
4)
Model Determinisme Genetis, penjelasan yang menyatakan bahwa tingkah
laku didorong oleh atribut genetis yang berevolusi karena atribut tersebut
meningkatkan kemungkinan untuk mewariskan gen seseorang pada
generasi berikutnya.
21
2.2 Pola Asuh Orang Tua
2.2.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Sebagian besar orang tua selalu mengharapkan anak-anaknya dapat
tumbuh, berkembang dan berkepribadian baik serta memiliki sikap mental yang
positif dan sehat.Sudah seharusnya orang tua sebagai lingkungan terdekat bagi
anak untuk memberikan contoh dan menjadi suri tauladan yang baik. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Daradjat (1996), yakni “ Kepribadian orang tua, sikap
dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung
akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh”.
Pengasuhan merupakan bagian yang penting dalam sosialisasi, proses
dimana anak belajar untuk bertingkah laku sesuai harapan dan standar sosial.
Dalam konteks keluarga, anak mengembangkan kemampuan mereka yang
membantu mereka untuk hidup di dunia (Martin & Colbert, 1997). Menurut
Darling et.al (1993), pola asuh merupakan aktivitas kompleks yang mencakup
berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individual dan serentak dalam
mempengaruhi tingkah laku anak. Menurut Baumrind (dalam Darling et.al.,
1993), peran orang tua yang utama adalah mempengaruhi, mengajarkan serta
mengontrol anak.
Kata pola asuh itu sendiri berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia
terdiri dari dua kata yaitu “pola yang berarti corak, model, system cara kerja, dan
bentuk (struktur) yang tetap”. Sedangkan kata asuh berarti “ menjaga (merawat
dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih dan sebagainya).
Sehingga dalam kata asuh itu sendiri mencakup segala aspek yang berkaitan
22
dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan dan bantuan sehingga orang tetap
berdiri dan menjalani hidunya secara sehat.
Menurut Maccoby & Martin (dalam Darling et.al., 1993), pola asuh
menyangkut dua elemen yaitu parental responsive dan parental demandingness.
Menurut Baumrind (dalam Darling et.al., 1999), parental responsive menyangkut
hal-hal orang tua secara sengaja mengembangkan individualitas, membiarkannya
mengatur diri dan menampilkan dirinya sendiri, kemandirian dan asertivitas dan
dimensi ini diwujudkan dengan senantiasa mendengarkan, mendukung dan
menyetujui kebutuhan dan keinginan anak. Sedangkan parental demandingness
mencakup keinginan orang tua untuk membuat anak menjadi bagian dari keluarga
secara penuh dengan meminta mereka untuk bertindak dewasa, menunjukkan
kematangan, mengawasi usaha menerapkan disiplin dan kesediaan untuk
menghukum anak yang tidak patuh.
Jadi dapat disimpulkan oleh penulis bahwa pola asuh orang tua adalah
suatu interaksi yang relative konsisten dilakukan oleh orang tua terhadap anakanaknya dengan maksud memberi pengetahuan, menanamkan nilai-nilai positif
baik berupa cara pandang maupun tingkah laku yang diterapkan secara
berkesinambungan.
2.2.2 Kategori Pola Asuh Orang Tua
Ada berbagai pendapat dari para ahli dalam pengkategorian pola asuh orang
tua yang diterapkan kepada anak-anaknya, namun satu sama lain memiliki
23
kemiripan atau persamaan. Berikut adalah beberapa kategori yang dikemukakan,
yaitu :
Menurut Hurlock (1990) ada beberapa sikap orang tua yang khas di dalam
pola pengasuhan anak-anaknya, antara lain yaitu :
1.
Melindungi secara berlebihan
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan
pengendalian anak yang berlebihan.
2.
Permisivitas
Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat
sesuaka hati dengan sedikit pengendalian.
3.
Memanjakan
Permisivitas yang berlebih – memanjakan membuat anak egois, menuntut
dan sering tiranik.
4.
Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau
dengan menuntut teralu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang
terbuka.
5.
Penerimaan
Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada
anak,
orang
tua
yang
menerima,
memperhatikan
kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak.
perkembangan
24
6.
Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur,
sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah
dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif.
7.
Tunduk pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi
mereka dan rumah mereka.
8.
Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai anak dengan sama
rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka
leih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam
keluarga.
9.
Ambisi orang tua
Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali
sangat tinggi sehingga tidak realistis.Ambisi ini sering dipengaruhi oleh
ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak
mereka naik di tangga status sosial.
Beberapa kategori pola asuh yang dikemukakan oleh Yatim & Irwanto
(1991), sebagai berikut :
1.
Pola asuh otoriter
Pola ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang
tua.Kebebasan anak sangat di batasi.
25
2.
Pola asuh demokratik
Pola ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan
anaknya.
3.
Pola asuh Permisif
Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batasan pada anak
untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya.
4.
Pola asuhan dengan ancaman
Ancaman atau peringatan yang dengan keras diberikan pada anak akan
dirasa sebagai tantangan terhadap otonomi dan pribadinya. Ia akan
melanggarnya untuk menunjukkan bahwa ia mempunyai harga diri.
5.
Pola asuhan dengan hadiah
Orang tua mempergunakan hadiah yang bersifat material atau suatu janji
ketika menyuruh anak berprilaku seperti yang diinginkan.
Menurut pendapat Hardy & Heyes (1986), mengemukakan pola asuh
yang dilakukan orang tua dalam keluarga, sebagai berikut :
1.
Autokratis (otoriter)
Ditandai dengan adanya aturan-aturan kaku dari orang tua dan kebebasan
anak sangat dibatasi.
2.
Demokratis
Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak.
3.
Permisif
Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku
sesuai dengan keinginannya sendiri
26
4.
Laissez faire
Ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhada anaknya.
Menurut pendapat Yusuf (1986), terdapat 7 macam bentuk pola asuh
yang diterapkan orang tua, yaitu :
1.
Overprotection (terlalu melindungi)
2.
Permissivines (pembolehan)
3.
Rejection (penolakan)
4.
Acceptance (penerimaan)
5.
Domination (dominasi)
6.
Submission (penyerahan)
7.
Over discipline (terlalu disiplin)
Sedangkan menurut Baumrind (dalam Santrock, J., 2002) meyakini
bahwa orang tua berinteraksi dengan anaknya lewat salah satu dari tiga cara
berikut ini :
1.
Pola asuh otoritarian (Authoritarian Parenting)
Merupakan gaya pola asuh yang membatasi dan menghukum. Perintah
bukan untuk dipertanyakan. Sedikit pertukaran verbal.
2.
Pola asuh otoritatif (Authoritative Parenting)
Mendorong kemandirian anak pada batasan tertentu. Pertukaran verbal
dalam jumlah besar. Hangat dan penuh lingkungan.
27
3.
Pola asuh permisif (Permissive Parenting)
Merupakan gaya pola asuh dimana orang tua memberikan kebebasan pada
anak dalam mengambil keputusan tanpa adanya control dan perhatian
orang tua.
Dari berbagai macam pengkategorian yang dikemukakan oleh para ahli
diatas, maka agar lebih terfokus dan jelas maka untuk itu penulis hanya akan
mengemukakan 3(tiga) macam pola pengasuhan berdasarkan pengkategorian oleh
Baumrind (dalam Santrock, J., 2002) , yaitu Pola asuh otoritarian, otoritatif dan
permisif. Hal ini dikarenakan antara masing-masing bentuk pola asuh yang
dikemukakan oleh para tokoh pada intinya adalah hampir sama. Oleh karena
itulah penulis hanya akan membahas 3(tiga) macam kategori pola asuh yang
secara teoritis lebih dikenal apabila dibandingkan dengan pola asuh yang lainnya.
Meskipun pola pengasuhan terbagi dalam 3 macam, tetapi pembagian ini
bukan merupakan hal yang kaku. Tidak ada orang tua yang sempurna. Dalam
prakteknya di masyarakat, diakui bahwa orang tua tidak dapat menggunakan pola
asuh yang tunggal, dalam kenyataan tiga pola asuh tersebut digunakan secara
bersamaan di dalam mendidik, membimbing, dan mengarahkan anaknya,
adakalanya orang tua menerapkan pola asuh otoriter, otoritatif dan permisif.
Dengan demikian, secara tidak langsung tidak ada jenis pola asuh yang murni
diterapkan dalam keluarga, tetap orang tua cenderung menggunakan ketiga pola
pasuh tersebut.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Daryo (2004). bahwa
pola asuh yang diterapkan orang tua cenderung mengarah pada pola asuh
28
situasional, dimana orang tua tidak menerapkan salah satu jenis pola asuh tertentu,
tetapi memungkinkan orang tua menerapkan pola asuh secara fleksibel, luwes dan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Orang tua adalah
manusia yang bereaksi berbeda di berbagai situasi, tergantung mood dan
lingkungan mereka. Menurut Martin & Colbert (1997), pola pengasuhan
disimpulkan lewat reaksi orang tua di sebagian situasi. Pola pengasuhan
merupakan konsep yang penting, karena hal ini mungkin mempengaruhi sejumlah
aspek perkembangan anak.
Banyak peneliti yang berpendapat bahwa hasil yang didapat Baumrind
menunjukkan bahwa pola pengasuhan mempengaruhi tingkah laku anak (Berns,
R.M., 1997). Perbedaan pola pengasuhan berpengaruh pada jumlah dan
bagaimana interaksi di rumah terjadi serta sejumlah stimulasi verbal. Menurut
Portes, et al (dalam Martin & Colbert, 1997), hal ini menjadi pengantar informasi
yang dapat diterima anak .
2.2.3 Aspek-aspek Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2007) terdapat 4(empat) aspek di
dalam pola asuh orang tua, yakni :
1. Kehangatan atau Pengasuhan (Warmth or Nurturance)
Ungkapan orang tua dalam mengasuh anak dengan menunjukkan kasih
sayang, kehangatan, perhatian serta memberikan dorongan pada anak.
29
2. Tingkat Harapan (Level of Expectations)
Baumrind juga menyebutnya sebagai tuntutan kedewasaan, merupakan
sikap orang tua dalam memberikan tuntutan dan dorongan kepada anak
untuk mandiri, memiliki tantangan emosional dan tanggung jawab pada
tindakan.Kedewasaan pada anak merupakan sikap untuk menghadapi
lingkungan sekitar.
3. Kontrol (Control)
Merupakan wujud sikap orang tua dalam menghadapi tingkah laku anak
yang terkadang dianggap tidak sesuai dengn tuntutan orang tua.
4. Komunikasi antara Orang tua dan Anak (Communication between Parent
and Child)
Merupakan usaha orang tua dalam menciptakan komunikasi yang baik
dengan anak melalui hubungan timbal balik antara kedua belah pihak.
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Menurut pendapat Hurlock, B.E (1990) mengenai beberapa faktor utama
yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yakni sebagai berikut :
1.
Budaya
Orang tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua
merasa bahwa orang tua mereka berhasil mendidi mereka dengan baik,
maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuh
mereka.
30
2.
Pendidikan orang tua
Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh
anak, maka akan mengerti kebutuhan anak.
3.
Status Sosial Ekonomi
Orang tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras atau lebih
permisif dalam mengasuh anak.
2.3 Relawan
2.3.1 Pengertian Relawan
Relawan dapat diartikan yaitu orang yang memiliki keinginan untuk
menolong orang yang kurang beruntung, dengan memberikan perhatian khusus
baik kepada individu maupun kelompok, dengan menampilkan sikap sukarela
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, untuk mempelajari suatu
kejadian sosial, mengeksplorasi kekuatan personal, mengembangkan keterampilan
baru, dan belajar bekerja sama dengan berbagai macam orang.
2.3.2 Fungsi dan Peranan Relawan
Berdasarkan data riset teridentifikasi paling tidak enam fungsi relawan bagi
individu (Clary et.al., 1998), yaitu :
1)
Nilai, menjadi relawan memampukan seseorang untuk mengekspresikan
nilai-nilai personal seperti kasih sayang dan perhatian pada orang yang
kurang beruntung.
31
2)
Pemahaman, menjadi relawan memampukan seseorang memperoleh
pengetahuan baru, keterampilan baru dan pengalaman baru.
3)
Sosial, menjadi relawan adalah salah satu cara beraktivitas yang dihargai
orang lain, untuk mendapat persetujuan sosial, dan memperkuat hubungan
sosial.
4)
Karier,
menjadi
relawan
memberi
kesempatan
untuk
menambah
pengalaman untuk tujuan karir atau pekerjaan.
5)
Proteksi diri, menjadi relawan membantu seseorang mengalihkan perhatian
pada problemnya sendiri dan menghindari perasaan bersalah.
6)
Pengayaan diri, menjadi relawan menyediakan peluang untuk pertumbuhan
personal dan memperkuat harga diri.
2.3.3 Ciri-ciri Kepribadian Relawan
Selama bertahun-tahun , para psikolog sosial tidak dapat mengungkap suatu
sifat kepribadian tertentu yang memprediksi perilaku menolong dengan hal apa
pun yang dekat denga kekuatan yang memprediksi dari faktor situasional, rasa
bersalah dan mood. Hubungan terkecil ditemukan antara perilaku menolong
dengan variable-variable kepribadian tertentu.Namun
secara garis besar, tes
kepribadian tidak dapat mengidentifikasikan sifat penolong ini.
Baron & Byrne (1996) menyatakan terdapat 5(lima) komponen kepribadian
seseorang yang termasuk dalam kategori altruisme, yaitu :
32
1)
Siapapun orang yang pernah ditolong, baginya empati bukanlah suatu
bagian yang penting dari konsep dirinya, baginya jadi penolong juga
mendeskripsikan rasa tanggung jawab dan rasa sosial pengendalian dirinya.
Mereka juga menginginkan membuat kesan yang baik dan selalu ingin
berpartisipasi dan bertoleransi.
2)
Mereka yang berasumsi bahwa dalam memberikan pertolongan merupakan
tindakan baik yang harus dilakukan, sebaliknya mereka percaya bahwa
orang yang menolong orang lain akan mendapat tindakan yang setimpal.
Mereka percaya bahwa dunia itu adil dan merupakan tempat dimana
apabila kita melakukan tindakan yang baik maka akan mendapat tindakan
yang baik pula.
3)
Rasa bersosialisasi juga membedakan antara seseorang penolong dan yang
bukan penolong. Seseorang yang tinggi dalam dimensi ini percaya bahwa
kita sudah seharusnya melakukan yang terbaik untuk menolong orang lain.
4)
Individu yang altruis memiliki karakteristik sebagai seorang yang memiliki
pengendalian dan pengontrolan diri yang kuat. Mereka percaya bahwa
seseorang akan memiliki jalan yang baik apabila memperbanyak kebaikan
dan mengurangi keburukan, karena seorang individu dapat membuat suatu
perbedaan dan tidak bergantung pada keberuntungan yang terbatas dan
takdir serta semua yang tidak dapat diperkirakan.
5)
Rasa egosentrisme pada orang yang penolong biasanya lebih rendah
dibandingkan bukan penolong.
33
Sedangkan Karakteristik Individu Altruistik menurut Bierhoff et.al (dalam
Baron & Byrne, 2005) individu yang altruistic memiliki karakteristik sebagai
berikut :
1)
Memiliki konsep diri yang empati, bertanggung jawab dan bersosialisasi,
memiliki self control dan toleransi.
2)
Meyakini dunia sebagai mana adanya, mereka meyakini bahwa apabila
merekamelakukan yang terbaik maka orang yang mereka tolong akan
merasakan manfaat atau mendapat keuntungan dari perbuatan mereka
3)
Memiliki rasa tanggung jawab sosial. Individu yang memiliki rasa
tanggung jawab sosial yakin bahwa mereka harus melakukan yang terbaik
untuk orang lain
4)
Memiliki egosentrisme yang rendah, apabila mereka gagal dalam
melakukan pertolongan, mereka akan merasa tidak berguna
5)
Memiliki internal locus of control. Mereka yakin bahwa seseorang dapat
menentukan jalannya sendiri, berbuat hal yang terbaik maka otomatis hal
yang buruk akan berkurang, tidak tergantung pada takdir dan hal-hal yang
tidak pasti.
2.4 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang dapat digunakan dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
34
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Pola Asuh Orang Tua
(X)
Altruisme
(Y)
Tipe Pola Asuh Orang Tua :
Aspek Perilaku Altruisme :
1. Otoritarian
2. Otoritatif
3. Permisif
1. Empati
2. Perilaku Memberi
3. Sukarela
2.5 Hipotesis
Pada dasarnya hipotesis merupakan jawaban sementara yang masih harus
dibuktikan kebenarannya di dalam kenyataan, percobaan, atau praktek. Dari hasil
analisa teori diatas, dapat ditarik kesimpulan hipotesis penelitian ini dapat di
rumuskan sebagai berikut :
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan perilaku
altruisme pada diri relawan PMI DKI Jakarta.
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan
perilaku altruisme pada diri relawan PMI DKI Jakarta.
Download