1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Paradigma pelayanan kefarmasian saat ini telah meluas dari pelayanan
yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi
pada pasien (patient oriented) (Depkes RI, 2008). Pergeseran paradigma
pelayanan tersebut menuntut apoteker untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien (Kemenkes RI, 2004).
Home care merupakan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama
yang dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas
sebagai salah satu upaya agar tenaga kesehatan dapat berinteraksi langsung
dengan pasien. Puskesmas dalam melaksanakan upaya kesehatan juga harus
menyelenggarakan beberapa pelayanan salah satunya yaitu pelayanan kefarmasian
(Kemenkes RI, 2014c). Apoteker sebagai pelaksana pelayanan kefarmasian dapat
berpartisipasi dalam melaksanakan upaya kesehatan dengan home pharmacy care.
Home pharmacy care oleh apoteker adalah pendampingan pasien oleh apoteker
dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau
keluarganya (Depkes RI, 2008). Menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI nomor 9
tahun 2014 pasal 32, pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif,
1
2
kuratif, dan rehabilitatif dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap,
pelayanan satu hari (one day care) dan/atau home care (Kemenkes RI, 2014a).
Apoteker di dalam home pharmacy care dapat melaksanakan beberapa
pelayanan kefarmasian salah satunya melalui pemberian konseling. Konseling
sebagai bagian dari pelayanan farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker
merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan dan rawat inap
serta keluarga pasien (Kemenkes RI, 2014b). Konseling khususnya bagi pasien
yang rutin mengkonsumsi obat bertujuan untuk meningkatkan kesadaran (Kreitler
dkk., 2004) dan adherence (kepatuhan) pasien (Kreps dkk., 2011). Kepatuhan
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil terapi pasien terlebih
untuk pasien penyakit kronis yang membutuhkan terapi obat dalam jangka
panjang (Lewis dkk., 1997).
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah
meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih
keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh
(Depkes RI, 2006). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus
merujuk pada kriteria diagnosis JNC-7 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC7 2003 hanya berlaku untuk umur ≥18 tahun.
3
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 melaporkan bahwa
prevalensi
hipertensi pada umur ≥18 tahun di Indonesia sebesar 25,8%, tetapi yang
terdiagnosis oleh tenaga kesehatan atau mengkonsumsi obat hanya sebesar 9,5%
(Kemenkes RI, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pasien hipertensi di
Indonesia dalam mengkonsumsi obat masih cukup rendah. Prevalensi hipertensi di
Provinsi DIY juga cukup tinggi mendekati angka rata-rata yaitu sebesar 25,7%
(Kemenkes RI, 2013). Hasil seleksi survailans Dinkes Provinsi DIY tahun 2012
menempatkan hipertensi sebagai urutan ketiga penyakit yang banyak dijumpai di
Puskesmas di Provinsi DIY pada tahun 2011 (Dinkes DIY, 2012).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Puskesmas Jetis tahun 2014, hipertensi
primer merupakan peringkat pertama dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas
Jetis dengan persentase sebesar 14,07%. Kemudian peringkat selanjutnya
diduduki oleh penyakit infeksi saluran pernafasan atas (10,04%), diabetes mellitus
tipe dua (7,34%), myalgia (4,89%), pengawasan kehamilan normal (3,01%),
dyspepsia (2,85%), demam yang sebabnya yang tidak diketahui (2,26%), arthritis
tidak spesifik (2,24%), sakit kepala (2,11%), gangguan metabolisme lipoprotein
dan lipidal urin lain (2,04%), dan lain-lain (49,15%) (Puskesmas Jetis, 2015).
Salah satu masalah dalam terapi hipertensi adalah ketidakpatuhan pasien
terhadap terapi perubahan gaya hidup dan pengobatan farmakologi (Heisler dkk.,
2010; Williams, 2000). Kondisi pengetahuan pasien, kondisi penyakit pasien, dan
dukungan keluarga dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan pasien dan kemudian
4
dapat mempengaruhi keluaran klinik pasien (Morisky dkk., 2011). Diperlukan
konseling oleh apoteker pada pasien hipertensi karena hipertensi merupakan salah
satu penyakit yang memerlukan kesadaran dan keapatuhan pasien agar tekanan
darahnya terkontrol. Kaitannya dengan home pharmacy care, konseling dalam
pelayanan kefarmasian di rumah ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan
obat-obatan yang tepat (Rantucci, 2007). Konseling dalam home pharmacy care
diharapkan dapat memberikan pelayanan khusus yang sesuai dengan kondisi
pasien sehingga dapat meningkatkan kepatuhan dan hasil terapi pasien.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disajikan di latar belakang, rumusan
masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care
terhadap kepatuhan pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta?
2. Bagaimana pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care
terhadap hasil terapi pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta?
3. Bagaimana hubungan kepatuhan terhadap hasil terapi pasien hipertensi di
Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta?
5
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care
terhadap kepatuhan pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta.
2. Mengetahui pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care
terhadap hasil terapi pasien hipertensi di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta.
3. Mengetahui hubungan kepatuhan terhadap hasil terapi pasien hipertensi di
Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan informasi tentang pangaruh pemberian konseling melalui home
pharmacy care terhadap kepatuhan dan hasil terapi pasien hipertensi.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Puskesmas Jetis Kota
Yogyakarta dalam memberikan intervensi berupa konseling dalam home
pharmacy care khususnya pada pasien hipertensi.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran bagi peneliti mengenai
pengaruh pemberian konseling melalui home pharmacy care pasien hipertensi
sehingga dapat memotivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
6
E. Tinjauan Pustaka
1. Hipertensi
a.
Definisi Hipertensi
Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu
gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan
nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang
membutuhkannya. Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diamdiam) yang secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat
umum (Depkes RI, 2006). Terjadi suatu kondisi medis yang kronis pada
hipertensi dimana tekanan darah meningkat di atas tekanan darah yang
disepakati normal (Kabo, 2011). Nilai tekanan darah pada orang dewasa
normalnya berkisar dari 100/60 mmHg sampai 140/90 mmHg. Rata-rata
tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001).
Secara operasional, seorang diidentifikasi sebagai individu dengan
hipertensi jika tekanan darah sistoliknya ≥140 mmHg dan tekanan
diastoliknya ≥90 mmHg (Battegay dkk., 2005).
b.
Epidemiologi
Menurut data WHO, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang atau
26,4% penghuni bumi menderita hipertensi, angka ini kemungkinan akan
meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap
hipertensi, 333 juta berada di Negara maju dan 639 sisanya berada di
Negara sedang berkembang, termasuk Indonesia (Anna, 2007). Kasus
7
hipertensi sangat sering dijumpai diberbagai belahan dunia, prevalensi
hipertensi dunia mencapai 29,2% pada laki-laki dan 24,8 % pada
perempuan sedangkan di Indonesia prevalensi hipertensi pada laki-laki
sebanyak 32,5% dan pada wanita sebanyak 29,3% (World Health
Statistic, 2012). Laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding
perempuan sampai dengan umur 55 tahun. Pada umur 55-74 tahun,
sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita
hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥60 tahun), prevalensi untuk
hipertensi sebesar 65,4 % (Depkes RI, 2006).
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 melaporkan bahwa prevalensi
hipertensi pada umur ≥18 tahun di Indonesia sebesar 25,8% (Kemenkes
RI, 2013). Prevalensi hipertensi di Pulau Jawa 41,9%, dengan kisaran di
masing-masing provinsi 36,6% - 47,7%. Prevalensi di perkotaan 39,9%
(37,0% - 45,8%) dan di pedesaan 44,1 (36,2%-51,7%). Di Provinsi DIY
prevalensi hipertensi juga cukup tinggi mendekati angka rata-rata yaitu
sebesar 25,7% (Kemenkes RI, 2013). Hasil seleksi survailans Dinkes
Provinsi DIY tahun 2012 menempatkan hipertensi sebagai urutan ketiga
penyakit yang banyak dijumpai di Puskesmas di Provinsi DIY pada tahun
2011 (Dinkes DIY, 2012).
c.
Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi dan patofisiologinya tidak
8
diketahui (esensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan
persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai
hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder baik endogen
maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi,
hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial
(Dipiro dkk., 2009).
Lebih dari 90% pasien hipertensi mengalami hipertensi esensial.
Faktor genetik kemungkinan memainkan peran penting pada terjadinya
hipertensi esensial (Dipiro dkk., 2009). Multifaktor yang dapat
menimbulkan hipertensi primer adalah ketidaknormalan hormon meliputi
sistem
renin-angiotensin-aldosteron,
hormon
natriuretik
atau
hiperinsulinemia; masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut
saraf otonom, volume plasma, dan konstriksi arteriol; defisiensi senyawa
vasodilator
sintesis
lokal
pada
endotelium
vaskular,
misalnya
prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau terjadinya peningkatan
produksi senyawa vasokonstriktor seperti angiotensinogen II dan
endothelin I; asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon
natriuretik yang menginhibisi transport natrium intrasel, meghasilkan
peningkatan reaktivitas vaskuler dan tekanan darah; serta peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan vaskuler, fungsi otot
halus dan peningkatan resistensi vaskuler perifer (Sukandar dkk., 2013).
9
Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah serebrovaskuler,
kardiovaskuler, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian prematur ada
korelasinya dengan meningkatnya tekanan darah. Hipertensi sekunder
bernilai kurang dari 10% kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut
disebabkan oleh penyakit ginjal kronik atau renovaskuler (Sukandar dkk.,
2013).
d.
Patofisiologi
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding
arteri dalam milimeter merkuri (mmHg). Dua tekanan darah arteri yang
biasanya diukur yaitu tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah
diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD
diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi. Banyak faktor
yang mengontrol tekanan darah dan berkontribusi secara potensial dalam
terbentuknya hipertensi antara lain :
1) Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis
dan/atau
variasi
diurnal),
mungkin
berhubungan
dengan
meningkatnya respons terhadap stress psikososial dan lain-lain
2) Produksi
berlebihan
hormon
yang
menahan
vasokonstriktor
3) Asupan natrium (garam) berlebihan
4) Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
natrium
dan
10
5) Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya
produksi angiotensin II dan aldosteron
6) Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrit oksida (NO), dan
peptida natriuretik
7) Perubahan
dalam
ekspresi
sistem
kallikrein-kinin
yang
mempengaruhi tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
8) Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada
pembuluh darah kecil di ginjal
9) Diabetes mellitus, resistensi insulin, obesitas
10) Meningkatnya antifitas vascular growth factors
11) Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
12) Berubahnya transpor ion dalam sel (Vasan dkk., 2001).
e.
Faktor Risiko Hipertensi
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul
terutama karena interaksi faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor
risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah adalah faktor
risiko seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok,
genetik, sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi diurnal),
keseimbangan modulator vasodilatasi dan vasokontriksi, serta pengaruh
sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin-angiotensinaldosteron (Yogiantoro, 2006).
11
Tabel I. Faktor Risiko Kardiovaskular dan Kerusakan Organ Target pada Pasien
Hipertensi
Faktor Risiko Utama
Merokok
Obesitas (BMI≥30)
Dislipidemia
Diabetes Mellitus
Umur diatas 60 tahun
Jenis Kelamin (pria dan wanita pasca
menopause)
Riwayat penyakit kardiovaskular dalam
keluarga (wanita <65 tahun atau pria
<55tahun)
Kerusakan Organ Target
Penyakit jantung :
Hipertrofi ventrikel kiri
Angina/riwayat infark miokard
Riwayat revakularisasi koroner
Gagal jantung
Otak
Nefropati
Penyakit arteri perifer
Retinopati
Sumber : Susalit dkk., 2001
Pasien prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan
darah menjadi hipertensi. Mereka yang tekanan darahnya berkisar antara
130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali
risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular
daripada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur
lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg yang merupakan
faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular
daripada tekanan darah diastolik. Risiko penyakit kardiovaskular dimulai
pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat dua kali dengan tiap
kenaikan 20/10 mmHg. Risiko penyakit kardiovaskular ini bersifat
kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya. Individu
berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi
(Yogiantoro, 2006).
12
f.
Klasifikasi Hipertensi
Tekanan darah pada orang dewasa usia ≥18 tahun diklasifikasikan
dalam tekanan darah normal, prehipertensi, hipertensi stage 1, dan
hipertensi
stage
2.
The
Seventh
Joint
National
Committee,
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa seperti tertera pada
tabel II.
Tabel II. Klasifikasi Tekanan Darah Dewasa
Klasifikasi
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
< 120
Dan
< 80
Normal
120-139
Atau
80-89
Prehipertensi
140-159
Atau
90-99
Hipertensi stage 1
≥
160
Atau
≥ 100
Hipertensi stage 2
Sumber : Chobanian dkk., 2003
Prehipertensi tidak dikategorikan sebagai penyakit, hanya dapat
menjadi petunjuk untuk individu yang berisiko mengalami hipertensi.
Prehipertensi merupakan sinyal bagi pasien dan dokter untuk melakukan
pencegahan berkembangnya menjadi hipertensi derajat selanjutnya
(Chobanian dkk., 2003). Hipertensi krisis merupakan situasi klinik yaitu
nilai tekanan darah lebih besar dari 180/120 mmHg, dapat dikategorikan
hipertensi baik sebagai hipertensi emergensi atau urgensi. Hipertensi
emergensi merupakan kenaikan tekanan darah secara ekstrim yang
disertai berkembangnya kerusakan pada organ target secara akut meliputi
ansefalopati, perdarahan intrakranial, gagal jantung ventrikel kiri akut
dengan udem paru, dissecting aortic aneurys, angina tidak stabil,
eklamsia atau hipertensi berat selama kehamilan. Hipertensi emergensi
13
memerlukan penurunan tekanan darah segera tetapi secara bertahap
selama periode beberapa menit sampai beberapa jam menggunakan agen
antihipertensi intravena. Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan
darah tanpa kerusakan organ target. Situasi ini memerlukan penurunana
tekanan darah dengan agen antihipertensi oral sampai pada nilai
hipertensi stage 1 selama periode beberapa jam sampai beberapa hari
(Saseen, 2005).
g.
Komplikasi Hipertensi
Komplikasi dari hipertensi diantaranya rusaknya organ tubuh
seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi
adalah faktor risiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke,
transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,
angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Mortalitas dan
morbiditas penderita hipertensi yang memiliki faktor-faktor risiko
penyakit
kardiovaskular
dapat
meningkatkan
akibat
gangguan
kardiovaskularnya tersebut. Menurut studi Framingham, pasien dengan
hipertensi mempunyai peningkatan risiko yang bermakna untuk penyakit
koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Depkes RI,
2006). Ada dua jenis komplikasi hipertensi :
1) Komplikasi hipertensif, yakni komplikasi yang langsung disebabkan
oleh hipertensi itu sendiri, misalnya pendarahan otak, ensefalopati
hipertensif, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung kongestif, gagal
14
ginjal,
aneurisme
aorta,
dan
hipertensif
akselerasi/maligna
(pendarahan retina dengan atau tanpa udem pupil).
2) Komplikasi
aterosklerotik,
yakni
komplikasi
akibat
proses
aterosklerosis yang disebabkan tidak hanya oleh hipertensi sendiri
tetapi juga oleh banyak faktor lain, misalnya peningkatan kolesterol
serum, merokok, diabetes mellitus, dan lain-lain. Komplikasi
aterosklerosis ini berupa penyakit jantung koroner (PJK), infark
miokard, trombosis serebral, dan klaudikasio. (Setiawati dan
Bustami, 1995)
h.
Terapi Hipertensi
Secara keseluruhan tujuan terapi hipertensi adalah untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Morbiditas dan mortalitas ini
terkait dengan kerusakan organ lain, misalnya kardiovaskular, gagal
jantung, dan penyakit ginjal. Tujuan utama terapi hipertensi adalah
mengurangi risiko dan pemilihan obat spesifik yang digunakan pasien
(Dipiro dkk., 2009).
1) Terapi Non Farmakologi
Semua pasien prehipertensi dan hipertensi dianjurkan untuk
memodifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup pada prehipertensi
dapat mengurangi perkembangan hipertensi pada pasien. Modifikasi
gaya hidup yang dapat dilakukan termasuk penurunan berat badan,
melakukan diet makanan mengadopsi metode Dietary Approach to
15
Stop Hypertention (DASH) seperti pada tabel III, melakukan aktivits
fisik
seperti
aerobik,
mengurangi
konsumsi
alkohol
dan
menghentikan kebiasaan merokok (Sukandar dkk., 2013).
Tabel III. Modifikasi Gaya Hidup untuk Mencegah dan Mengontrol Tekanan
Perkiraan Penurunan
Modifikasi
Rekomendasi
Tekanan Darah Sistolik
(mmHg)
Menjaga dalam keadaan
Menurunkan berat
berat badan norman (body
5-20 tiap penurunan
badan
mass index 18,5-24,9
berat badan 10 kg
kg/m2
Memperbanyak konsumsi
buah-buahan,
sayuran,
dan produk susu rendah
Metode DASH
8-14
lemak dengan kandungan
lemak jenuh dan total
yang rendah
Mengurangi asupan
garam (natrium) dalam
makanan sehari-hari
Mengunrangi
sebanyak mungkin,
2-8
konsumsi garam
idealnya kurang lebih 65
mmol/hari (1,5 g
natrium/hari atau 3,8 g
natrium klorida/hari)
Aktivitas fisik atau
aerobik secara rutin
Aktivitas fisik
(paling tidak 30
4-9
menit/hari, setiap hari
dalam seminggu)
Membatasi konsumsi
Laki-laki ≤2 gelas/hari
2-4
alkohol
Perempuan ≤1 gelas/hari
Sumber : Dipiro dkk., 2009
2) Terapi Farmakologi
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis
hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 adalah:
a) Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron
Antagonist
16
b) Beta Blocker (BB)
c) Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d) Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
e) Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)
Terapi pada sebagian besar pasien hipertensi dimulai secara
bertahap dan target tekanan darah tercapai secara progresif dalam
beberapa
minggu.
Dianjurkan
untuk
menggunakan
obat
antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan
efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah
memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan
kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya
komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam
dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target,
maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut,
atau berpindah ke antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek
samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis
rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien
memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target
tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya
pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat
yang harus diminum bertambah (Yogiantoro, 2006).
17
Prinsip pengobatan hipertensi berdasarkan JNC-7 terdapat
pada gambar 1.
Modifikasi Gaya Hidup
Jika penurunan tekanan darah tidak tercapai
Pilih obat awal
Tanpa faktor risiko
Hipertensi Stage 1
Hipertensi Stage 2
TDS 140-159
mmHg atau TDD
90-99 mmHg
TDS > 160 mmHg
atau TDD > 100
mmHg
Diuretik-tiazid
untuk semua pasien.
Bisa
dipertimbangkan
dari kelas lain
ACEI, ARB, βblocker, dan CCB
Kombinasi dua obat
untuk semua pasien
(biasanya diuretiktiazid dan ACEI
atau ARB atau βblocker atau CCB)
Dengan faktor risiko
Obat-obat untuk
pasien dengan
faktor risiko (lihat
tabel I)
Obat-obat
antihipertensi
lainnya (Diuretik,
ACEI, ARB, βblocker, CCB) yang
dibutuhkan
Penurunan tekanan darah tidak tercapai
Optimalkan dosis atau berikan obat tambahan sampai target tekanan darah
tercapai. Pertimbangkan konsultasi dengan spesialis hipertensi
Gambar 1. Algoritma Prinsip Pengobatan Hipertensi Bersadarkan JNC-7
18
Ketika penggunaan obat tunggal dengan dosis adekuat gagal
mencapai tekanan darah target terlebih jika tekanan darah lebih dari
20/10
mmHg
di
atas
tekanan
darah
target,
maka
harus
dipertimbangkan pemberian terapi dengan dua kelas obat. Pemberian
obat dengan lebih dari satu kelas obat dapat meningkatkan
kemungkinan pencapaian tekanan darah target, namun harus tetap
memperhatikan resiko hipotensi ortostatik utamanya pada pasien
dengan diabetes, disfungsi autonom, dan pada beberapa orang yang
berumur lebih tua (Depkes RI, 2006).
2.
Monitoring Hasil Terapi Hipertensi
Menurut Depkes RI (2006), hal-hal berikut harus di monitor untuk
mengukur efektivitas terapi yaitu :
a.
Monitoring tekanan darah
Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk
pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di evaluasi
2-4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya perubahan terapi
(Depkes RI, 2006). Menurut James dkk. (2014) dalam JNC-8, target
tekanan darah pasien hipertensi setelah mendapatkan terapi seperti pada
tabel IV.
19
Tabel IV. Target Tekanan Darah Pasien Hipertensi setelah Terapi
Karakteristik pasien
Target tekanan darah (mmHg)
<60 tahun (30-59 tahun)
Diabetes
<140/90
CKD (Chronic Kidney Disesae)
≥60 tahun
<150/90
Sumber : James dkk., 2014
b.
Monitoring kerusakan target organ yaitu jantung, ginjal, mata, otak
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat
tanda-tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut.
Sejarah sakit dada, palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit kepala,
penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan
hilang keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk menilai
kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular. Parameter
klinis lainnya yang harus di monitor untuk menilai penyakit pada target
organ
termasuk
perubahan
funduskopik,
regresi
LVH
pada
elektrokardiogram atau ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan
fungsi ginjal (Depkes RI, 2006).
c.
Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping, dan interaksi
obat harus dinilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2-4
minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis.
Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau
substitusi dengan obat antihipertensi yang lain. Monitoring yang intensif
diperlukan bila terlihat ada interaksi obat (Depkes RI, 2006).
20
d.
Monitoring kepatuhan pasien dan konseling kepada pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan
darah yang dinginkan. Paling sedikit 50% pasien yang diresepkan obat
antihipertensi
tidak
mengkonsumsinya
sesuai
dengan
yang
direkomendasikan. Suatu studi menyatakan bahwa pasien yang
menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar kemungkinan
terkena stroke. Strategi konseling untuk meningkatkan kepatuhan terapi
obat antihipertensi adalah sebagai berikut :
1) Nilai adherence/kepatuhan pada setiap kunjungan.
2) Diskusikan dengan pasien motivasi dan pendapatnya.
3) Libatkan pasien dalam penanganan masalah kesehatannya.
4) Gunakan keahlian mendengarkan secara aktif sewaktu pasien
menjelaskan masalahnya.
5) Bicarakan keluhan pasien tentang terapi.
6) Bantu pasien dengan cara tertentu untuk tidak lupa mengkonsumsi
obatnya.
7) Sederhanakan regimen obat (seperti mengurangi frekuensi konsumsi
obat, mengunakan produk kombinasi).
8) Mengkonsumsi obat disesuaikan dengan kebiasaan sehari-hari
pasien.
9) Berikan informasi tentang keuntungan pengontrolan tekanan darah.
21
10) Beritahukan perkiraan efek samping obat yang mungkin terjadi.
11) Bila memungkinkan beritahukan informasi tertulis mengenai
hipertensi dan obatnya.
12) Petimbangkan penggunaan alat pengukur tekanan darah di rumah
supaya pasien dapat terlibat dalam penanganan hipertensinya.
13) Berikan pendidikan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan
regimen obatnya.
14) Libatkan keluarga dan kerabatnya tentang kepatuhan mengkonsumsi
obat serta terhadap gaya hidup sehat.
15) Yakinkan biaya regimen obat dapat dijangkau oleh pasien.
16) Bila memungkinkan telepon pasien untuk meyakinkan pasien
mengikuti rencana pengobatan selanjutnya.
Pasien yang telah mulai mendapat pengobatan harus datang kembali
untuk evaluasi lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan
darah tercapai. Setelah tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan
selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga
ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit
yang berhubungan seperti diabetes, dan kebutuhan akan hasil pemeriksaan
laboratorium (World Health Organization, 2003a).
Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah)
tidak tercapai, harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter
22
spesialis atau subspesialis. Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti
diabetes mellitus atau penyakit ginjal baik American Diabetic Association
(ADA) maupun International Society of Nephrology (ISN) dan National
Kidney Foundation (NKF) menganjurkan rujukan kepada dokter ahli jika laju
filtrasi glomerulus mencapai <60 ml/men/1,73 m2, rujukan dapat dilakukan
lebih awal jika pasien berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat
atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan (World Health Organization,
2003a).
Pengobatan dengan antihipertensi umumnya untuk selama hidup.
Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya
tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan antihipertensi.
Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah
obat antihipertensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya
sudah pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan non farmakologi. Tindakan
ini harus disertai dengan pengawasan tekanan darah yang ketat (Yogiantoro,
2006).
3.
Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker adalah pendampingan
pasien oleh apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan
persetujuan pasien atau keluarganya (Depkes RI, 2008). Pelayanan obat
secara home pharmacy care digambarkan sebagai sebuah layanan yang
23
memberikan persediaan obat-obatan yang sedang berlangsung, diprakarsai
oleh resep dokter, dan langsung ke rumah pasien dengan persetujuan mereka
(Royal Pharmaceutical Society, 2014).
Pelayanan kefarmasian di rumah diberikan terutama untuk pasien
yang tidak atau belum dapat menggunakan obat dan atau alat kesehatan
secara mandiri dan untuk pasien yang memiliki kemungkinan mendapatkan
risiko masalah terkait obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan
sosial, karateristik obat, pengobatan yang kompleks, penggunaan obat yang
kompleks, kebingungan atau kurangnya pengetahuan, dan keterampilan
tentang bagaimana menggunakan obat dan atau alat kesehatan agar tercapai
efek yang terbaik (Depkes RI, 2008).
Pelayanan kefarmsian di rumah memiliki tujuan umum yaitu
tercapainya keberhasilan terapi obat. Sedangkan tujuan khususnya yaitu
terlaksananya pendampingan pasien oleh apoteker untuk mendukung
efektifitas,
keamanan,
dan
kesinambungan
pengobatan;
terwujudnya
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dengan keluarga dalam
penggunaan obat dan atau alat kesehatan yang tepat; dan terwujudnya
kerjasama profesi kesehatan, pasien dan keluarga (Depkes RI, 2008).
Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada
semua pasien mengingat waktu pelayanan yang cukup lama dan
berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan seleksi pasien dengan
menentukan prioritas pasien yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan
24
kefarmasian di rumah. Pasien yang perlu mendapat pelayanan kefarmasian di
rumah antara lain :
a.
Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus
tentang penggunaan obat, interaksi obat, dan efek samping obat.
b.
Pasien dengan terapi jangka panjang misal pasien TB, HIV/AIDS, DM,
hipertensi, dan lain-lain.
c.
Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih
dengan salah satu kriteria atau lebih regimen obat yang kompleks
(Depkes RI, 2008).
Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh
Apoteker, meliputi :
a.
Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan.
b.
Identifikasi kepatuhan dan kesepahaman terapetik.
c.
Penyediaan obat dan/atau alat kesehatan.
d.
Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misal
cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin, dan lain-lain.
e.
Evaluasi penggunaan alat bantu pengobatan dan penyelesaian masalah
sehingga obat dapat dimasukkan ke dalam tubuh secara optimal.
f.
Pendampingan pasien dalam penggunaan obat melalui infus/obat khusus.
g.
Konsultasi masalah obat.
25
h.
Konsultasi kesehatan secara umum.
i.
Dispensing khusus (misalnya : obat khusus, unit dose).
j.
Monitoring pelaksanaan, efektifitas, dan keamanan penggunaan obat
termasuk alat kesehatan pendukung pengobatan.
k.
Pelayanan farmasi klinik lain yang diperlukan pasien.
l.
Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah (Depkes RI,
2008).
4.
Pelayanan Kefarmasian untuk Hipertensi
Pelayanan kefarmasian melibatkan identifikasi kebutuhan pasien yang
berhubungan dengan obat dan memecahkan masalah terapi obat melalui
proses yang terorganisir dan diprioritaskan berdasarkan kondisi medis pasien
dari segi risiko dan keparahan. Persiapan pelayanan kefarmasian dapat
berupa:
a.
Menentukan tujuan dari terapi
Untuk penyakit hipertensi tujuan dari terapi adalah :
1)
Mencegah atau memperlambat komplikasi dari hipertensi dengan
membantu pasien mematuhi regimen obatnya untuk memelihara
tekanan darah <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg untuk pasien
hipertensi dengan diabetes dan gangguan ginjal. Target tekanan
darah terbaru menurut JNC-8 yaitu <150/90 mmHg untuk pasien ≥60
tahun atau <140/90 mmHg untuk pasien ˂60 dan pasien hipertensi
dengan diabetes atau gangguan ginjal.
26
2)
Pasien mengerti pentingnya adherence dengan terapi obatnya.
b.
Mengidentifikasi kondisi medis yang memerlukan terapi obat
c.
Memecahkan masalah terapi obat : tujuan, alternatif, dan intervensi
d.
Mencegah masalah terapi obat
Rekomendasi apoteker dalam pemilihan obat untuk pasien dengan
hipertensi :
a.
Sarankan terapi antihipertensi untuk pasien-pasien pada klasifikasi
hipertensi stage 1 (TDS 140-159 mmHg) dan hipertensi stage 2 (TDS ≥
160 mmHg).
b.
Sangat disarankan terapi antihipertensi pada pasien-pasien dengan
kerusakan target organ atau dengan faktor risiko kardiovaskular lainnya
bila TDS > 140 mmHg atau TDD ≥ 90 mmHg.
c.
Bila memungkinkan sarankan pilihan awal untuk terapi antihipertensi.
d.
Sarankan terapi dislipidemi dengan statin untuk semua pasien dengan
hipertensi dan tiga atau lebih faktor risiko kardiovaskular, atau pada
pasien dengan penyakit aterosklerosis atau penyakit arteri perifer.
e.
Skrining semua pasien hipertensi untuk interaksi obat yang bermakna
(dengan obat, nutrien, dan lain-lain) (Depkes RI, 2006).
5.
Konseling
Konseling dari asal katanya didefinisikan sebagai memberi nasihat
tetapi juga melibatkan diskusi yang saling menguntungkan dan adanya
27
pertukaran opini antara pemberi dan penerima konseling (Rantucci, 2007).
Konseling pasien oleh apoteker merupakan konseling yang melibatkan faktor
psikologis sebagai aktivitas untuk memberikan edukasi kepada pasien sesuai
dengan situasi dan kebutuhan pasien dengan tujuan akhir terjadinya
perubahan progresif pasien yang mempengaruhi pengetahuannya, sikap dan
perilaku (Rantucci, 2007).
Tujuan dilakukan konseling pasien antara lain :
a.
Mewujudkan hubungan profesional antara apoteker dengan pasien.
b.
Mengenal dan menyelesaikan masalah penggunaan obat.
c.
Mengumpulkan informasi tentang cara dan tindakan pengambilan dan
penggunaan obat.
d.
Membimbing, mengarahkan, dan memberikan pengetahuan kepada
pasien tentang penggunaan obat secara rasional.
e.
Meningkatkan kualitas hidup pasien (Saragi, 2011).
Apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian juga bertanggung
jawab memastikan bahwa pasien menerima pendidikan dan konseling tentang
terapi pasien. Apoteker harus mudah dihubungi jika ada pertanyaan atau
munculnya permasalahan yang terkait obat (Depkes RI, 2008). Apoteker juga
menyediakan informasi tambahan dalam bentuk tulisan untuk memperkuat
informasi yang diberikan secara lisan. Apoteker membutuhkan pendapat dari
para professional kesehatan untuk menentukan informasi yang diberikan
dalam pendidikan dan konseling pasien meliputi:
28
a.
Gambaran pengobatan, mencakup obat, dosis, cara pemberian, interval
dosis, dan lama pengobatan
b.
Tujuan pengobatan dan indikator tujuan pengobatan
c.
Teknik penilaian untuk monitoring efektivitas terapi
d.
Pentingnya mengikuti rencana perawatan
e.
Teknik aseptis
f.
Perawatan peralatan untuk pembuluh darah, jika ada
g.
Petunjuk cara pemberian obat
h.
Pemeriksaan obat dan peralatan yang digunakan
i.
Peralatan yang digunakan dan cara perawatannya
j.
Manajemen inventarisasi di rumah dan prosedur penyelamatan peralatan
k.
Potensi munculnya efek samping obat, interaksi obat, interaksi obatmakanan, kontra indikasi, reaksi yang tidak diharapkan dan cara
mengatasinya
l.
Petunjuk penyiapan, penanganan dan pembuangan obat, peralatan dan
pembuangan biomedis
m. Informasi cara menghubungi tenaga kesehatan yang terlibat dalam
pengobatan pasien
n.
Prosedur emergensi
o.
Konseling dan pendidikan pasien didokumentasikan dalam catatan
penggunaan obat pasien (Depkes RI, 2008).
29
Baik apoteker maupun pasien, keduanya dapat merasakan manfaat
adanya konseling pasien yang dilakukan apoteker. Manfaat konseling bagi
pasien antara lain : mengurangi kesalahan dalam menggunakan obat,
mengurangi ketidakpatuhan, mengurangi reaksi obat yang merugikan,
menjamin obat yang diberikan aman dan afektif, mendapat penjelasan
tambahan mengenai sakitnya. Manfaat konseling bagi apoteker antara lain :
aspek perlindungan hukum, memperlihatkan status profesional sebagai bagian
dari tim pelayanan kesehatan, sebagai tambahan pelayanan untuk menarik
pasien dalam kompetisi pemasaran (Palaian dkk., 2006).
Apoteker harus memiliki kemampuan wawancara yang baik salah
satunya dengan metode open-ended question dalam melakukan pendidikan
dan konseling pasien. Penderita akan terstimulasi untuk menceritakan
keadaannya dengan menjawan pertanyaan yang diberikan apoteker.
Kemampuan lain yang harus dimiliki adalah kemampuan komunikasi seperti
menjunjung
tinggi
rasa
empati
terhadap
penderita,
kemampuan
mendengarkan dengan baik, kemampuan berbicara dan menulis dalam bahasa
yang mudah dimengerti oleh pasien. Apoteker juga harus dapat memberikan
motivasi dan inspirasi kepada penderita sehingga selain menerima terapi
secara farmakologi juga mendapatkan terapi non farmakologi (Surahman dan
Husein, 2011).
30
6.
Kepatuhan Pasien
Kepatuhan (adherence) adalah sejauh mana perilaku seseorang dalam
mengkonsumsi obat, mengikuti diet, dan/atau melaksanakan perubahan gaya
hidup, sesuai dengan rekomendasi yang telah disepakati dari penyedia
layanan kesehatan (World Health Organization, 2003b). Kesesuaian
(compliance) adalah lebih pada kepatuhan terhadap hal yang telah
disampaikan penyedia layanan kesehatan secara sepihak tanpa persetujuan
dari pasien (World Health Organization, 2003b). Perbedaan utama antara
kepatuhan dan kesesuaian adalah membutuhkan kesepakatan pasien dengan
rekomendasi (World Health Organization, 2003b). Pasien harus menjadi mitra
aktif dengan tenaga profesional kesehatan dalam perawatan mereka sendiri.
Komunikasi yang baik antara pasien dan profesional kesehatan adalah suatu
keharusan untuk praktek klinis efektif (World Health Organization, 2003b).
Kepatuhan memiliki sedikit hubungan dengan faktor-faktor sosiodemografi
seperti usia, jenis kelamin, ras, kecerdasan, dan pendidikan. Meskipun
kepatuhan yang rendah adalah masalah tersendiri bagi perawatan diri untuk
semua gangguan, pasien dengan masalah kejiwaan, dan pasien dengan cacat
fisik cenderung untuk lebih patuh karena penyakit tersebut lebih mungkin
untuk mematuhi. Selain itu, pasien cenderung melewatkan janji pemeriksaan
dan putus perawatan ketika ada waktu tunggu yang panjang di klinik atau
jarak waktu yang lama dengan janji pememeriksaan selanjutnya (McDonald
dkk., 2002).
31
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan :
a.
Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi
melalui indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba (Notoatmojo, 2003). Penelitian yang dilakukan
oleh Jin dkk. (2008) menyebutkan bahwa perlikau yang dilakukan atas
dasar pengetahuan dapat dikatakan akan lebih bertahan daripada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi pengetahuan sangat
dibutuhkan agar masyarakat dapat mengetahui mengapa mereka harus
melakukan suatu tindakan sehingga perilaku masyarakat dapat lebih
mudah untuk diubah ke arah lebih baik. Pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara yang menyatakan sesuatu yang ingin
diukur tentang pengetahuan dari subjek penelitian (Notoatmojo, 2003).
b.
Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Dapat
dikatakan bahwa sikap adalah tanggapan atau presepsi seseorang
terhadap apa yang diketahuinya. Pengetahuan berpikir, keyakinan, dan
emosi memegang peranan penting dalam penentuan sikap yang utuh.
Decision theory menganggap bahwa seorang pasien yang mengambil
keputusan artinya bahwa pasien yang harus memutuskan apakah mereka
melakukan suatu tindakan medis dan oleh petugas kesehatan memberi
32
tahu mengenai prosedur, risiko, dan efektifitas obat agar mereka bisa
mengambil keputusan yang tepat (Bart, 1994).
c.
Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi
suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang
terhadap stimulus dan bentuk nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003).
Empat tingkatan tindakan adalah :
1) Persepsi (Perception)
Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan
yang diambil.
2) Respon terpimpin (Guided Response)
Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar.
3) Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar
secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.
4) Adaptasi (Adaptation)
Suatu praktek tidakan yang sudah berkembang dengan baik, atrinya
tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
Sedangkan menurut Rapoff (2010) faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan tingkat kepatuhan dalam pengobatan antara lain:
33
a.
Faktor pasien atau keluarganya
Meliputi demografi (seperti umur dan jenis kelamin), sosial
ekonomi, ras (misalnya beberapa kaum minoritas biasanya memiliki
kepatuhan yang rendah), dan pengetahuan. Pedoman konseling
Departemen Kesehatan RI (2006) menyebutkan bahwa kepribadian,
motivasi
diri,
dukungan
keluarga,
dan
komunikasi
juga
bisa
mempengaruhi.
b.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan obat
Faktor yang berhubungan dengan penyakit seperti lamanya
menderita penyakit (perbedaan kepatuhan pada penyakit akut dan
kronis), lamanya terapi berlangsung (kepatuhan menurun seiring durasi
terapi yang bertambah), gejala atau keparahan penyakit (tingkat
keparahan penyakit yang lebih tinggi cenderung akan lebih patuh
terhadap pengobatan yang diberikan), persepsi pasien tentang tingkat
keparahan penyakit. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan obat
seperti bentuk sediaan dan kompleksitas penggunaannya, harga, efek
samping, efikasi pengobatan.
Pengukuran kepatuhan pasien dapat dilakukan dengan beberapa
kuesioner untuk melihat penyakit pasien yang berbeda. Kuesioner dibagi
menjadi 2 berdasarkan penyakit pasien, yaitu gangguan metabolik (diabetes,
hipertensi, dislipidemia) dan gangguan mental (schizophrenia, psychosis,
34
depresi). Kuesioner untuk mengukur kepatuhan pada pasien dengan penyakit
gangguan metabolik antara lain Medication Adherence Questionnaire
(MAQ), Self-Efficacy for Appropriate Medication Use Scale (SEAMS), Brief
Medication Questionnaire (BMQ), dan Hill-Bone Compliance Scale.
Kuesioner MAQ juga dikenal dengan Modified Morisky Adherence Scale
(MMAS). Pengukuran kepatuhan pada pasien dengan gangguan mental dapat
menggunakan Medication Adherence Rating Scale (MARS) dan BMQ (Lavsa
dkk., 2011).
Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8)
merupakan pengembangan dari kuesioner Morisky Medication Adherence
Scale 4 (MMAS-4) (Morisky dkk., 2011). Kuesioner MMAS-4 terdiri dari 4
item pertanyaan sedangkan kuesioner MMAS-8 terdiri dari 8 item
pertanyaan. Kuesioner MMAS-8 telah divalidasi pada 1367 responden
dengan α sebesar 0,83 (Morisky dkk., 2008). MMAS merupakan kuesioner
standar yang dibuat pada awal tahun 1986 oleh Donald E. Morisky dari
Universitas California. Kuesioner ini relatif sederhana dan praktis digunakan
pada kondisi klinik untuk melihat masalah kepatuhan pasien di awal dan
untuk memantau kepatuhan selama pelaksanaan terapi (Morisky dkk., 2008).
Uji validitas dan realibilitas kuesioner MMAS-8 untuk beberapa versi
bahasa telah dilakukan. Beberapa penelitian uji validitas dan realibilitas
kuesioner MMAS-8 pada pasien hipertensi yang dilaporkan yaitu versi Brazil
35
pada 937 pasien didapatkan α values sebesar 0,682 (de Oliveira-Filho dkk.,
2014), versi Perancis dilakukan pada 199 pasien didapatkan α values sebesar
0,540 (Korb-Savoldelli dkk., 2012), versi Persia dilakukan pada 200 pasien
didapatkan α values sebesar 0,697 (Moharamzad dkk., 2015), dan versi
Pakistan dilakukan pada 150 pasien didapatkan α values sebesar 0,700
(Saleem dkk., 2012).
Kuesioner MMAS-8 lebih spesifik untuk melihat tingkat kepatuhan
pasien. Setiap pertanyaan diberi skor 0 untuk jawaban “ya” dan 1 untuk
jawaban “tidak”. Kuesioner MMAS-8 mengukur kepatuhan dengan rentang
skor 0 sampai 8. Jika skor <6 maka responden tidak patuh sedangkan jika
skor 6-8 maka responden patuh. Keuntungan dan keterbatasan kuesioner
MMAS yaitu :
a.
Keuntungan
1) Mudah dan bersifat ekonomis untuk digunakan
2) Relatif sederhana dan praktis untuk digunakan pada pasien rawat
jalan
3) Data yang didapat bersifat langsung dari pasien dalam waktu yang
singkat
4) Dapat mengemukakan faktor-faktor potensial yang menyebabkan
rendahnya kepatuhan meliputi kondisi sosial, situasi, dan faktor
perilaku
36
5) Instrumen untuk identifikasi awal pasien dengan permasalahan
kepatuhan dan dapat digunakan untuk memonitor kepatuhan
terhadap pengobatan.
b.
Keterbatasan
Bias (penyimpangan) terkait daya ingat dari pasien (Morisky dkk., 2008).
7.
Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta
Puskesmas Jetis terletak di Jalan Pangeran Diponegoro nomor 91,
Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah kerja
Puskesmas Jetis seluas 156.000 Ha dan jumlah penduduk 27.939 jiwa.
Jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 13.625 jiwa dan
perempuan sebanyak 14.314 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di tiga kelurahan
yaitu Bumijo (10.405 jiwa), Cokrodiningratan (9.119 jiwa), dan Gowangan
(8.415 jiwa). Puskesmas Jetis merupakan Puskesmas ISO 9001 : 2008.
Produk pelayanan yang ada di Puskesmas Jetis adalah jasa pelayanan dasar
dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Jumlah apoteker
di Puskesmas jetis menurut data Profil Puskesmas Jetis tahun 2014 sebanyak
3 orang dan 2 diantaranya merupakan outsourcing. Sedangkan jumlah asisten
apoteker sebanyak 2 orang. (Puskesmas Jetis, 2015)
37
F. Landasan Teori
Penelitian Suryani dkk. (2013) di RSUD Wangaya selama bulan
November-Desember 2012 pada pasien DM Tipe 2 dengan riwayat hipertensi
menunjukkan adanya peningkatan skor kepatuhan pasien dan terdapat perbedaan
yang bermakna antara kepatuhan pasien dalam penggunaan obat sebelum dan
setelah pelaksanaan konseling dalam home pharmacy care. Penelitian yang
dilakukan oleh Raditya (2015) juga menunjukkan pemberian home pharmacy care
pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Srandakan Bantul dapat meningkatan
kepatuhan kelompok intervensi secara signifikan sebesar 1,322±1,653 (0,012).
Penelitian Dewi (2014) pada pasien hipertensi anggota program
pengelolaan penyakit kronis (PROLANIS) pada dokter keluarga di Kabupaten
Kendal periode November 2013-Januari 2014 menunjukkan konseling farmasi
memberikan perbedaan yang signifikan antara tingkat kepatuhan sebelum dan
setelah mendapatkan konseling dan hasil terapi pasien hipertensi. Konseling
farmasi terhadap pasien hipertensi di RSU Kardinah Tegal menunjukkan
perbaikan terhadap tekanan darah dan pasien hipertensi dapat mencapai target
tekanan darahnya (Kusumaningjati, 2008). Berdasarkan penelitian-penelitian
tersebut konseling dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dan hasil
terapi pasien hipertensi. Menurut Hairunisa dkk. (2014), terdapat hubungan
bermakna antara kepatuhan minum obat (p≤0,001) dengan terkontrolnya tekanan
darah.
38
G. Kerangka Konsep Penelitian
Pasien hipertensi di Puskesmas
Jetis Kota Yogyakarta yang
memenuhi kriteria penelitian
Kepatuhan
Konseling home
pharmacy care
Jenis kelamin
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Durasi hipertensi
Jenis antihipertensi
Tekanan darah
Keterangan :
= Tidak dianalisis hubungannya dengan kepatuhan
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori maka hipotesis yang dapat ditarik pada
penelitian, yaitu:
1.
Konseling melalui home pharmacy care dapat meningkatkan kepatuhan
pasien hipertensi.
2.
Konseling melalui home pharmacy care dapat meningkatkan hasil terapi
pasien hipertensi dengan menurunkan tekanan darah pasien.
3.
Kepatuhan berhubungan dengan hasil terapi pasien hipertensi berupa
penurunan tekanan darah.
Download