BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efusi pleura 1. Definisi Efusi Pleura

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Efusi pleura
1. Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura berasal dari dua kata, yaitu efusion yang berarti ekstravasasi
cairan ke dalam jaringan atau rongga tubuh, sedangkan pleura yang berarti
membran tipis yang terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Sehingga dapat disimpulkan efusi pleura merupakan ekstravasasi cairan
yang terjadi diantara lapisan viseralis dan parientalis. Efusi pleura dapat berupa
cairan jernih, transudat, eksudat, darah, dan pus (Diane, 2000).
Efusi Pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga pleura yang terletak
diantara permukaan viseral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi
tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Suzzane,
2002).
Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10-20 ml cairan yang
berfungsi sebagai pelumas agar paru-paru dapat bergerak dengan lancar saat
bernapas. Cairan yang melebihi normal akan menimbulkan gangguan jika tidak
bisa diserap oleh pembuluh darah dan pembuluh limfe (Syahruddin et al, 2009).
2. Anatomi rongga pleura
Rongga pleura dibentuk oleh membran serosa yang kuat dari mesodem.
Pleura parietalis terletak di luar dan membungkus rongga dada bagian dalam
sedangkan pleura viseralis membungkus paru. Tebal rongga pleura 10-20 mikron,
berisi cairan 25-50 cc yang berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak
5
http://repository.unimus.ac.id
6
leluasa saat bernapas. Pleura parientalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel
(yang memproduksi cairan), membran basalis, jaringan elastik dan kolagen,
pembuluh darah dan limfe, membran pleura bersifat semipermaebel. Sejumlah
cairan terus merembes keluar dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal.
Cairan ini yang diserap oleh pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke
pembuluh limfe dan kembali ke darah. Diantara kedua lapisan ini terdapat rongga
yang disebut cavum pleura. Cavum ini terdapat sedikit
cairan pleura yang
berfungsi agar tidak terjadi gesekan antar pleura pada saat pernapasan. Keluar
masuknya cairan dari dan kepleura harus seimbang agar nilai cairan pleura dapat
dipertahankan (Astowo, 2013).
Gambar 1. Anatomi pleura
(Astowo, 2013).
http://repository.unimus.ac.id
7
3. Klasifikasi Efusi pleura
Menurut (Mansjoer, 2001) secara umum diklasifikasikan sebagai transudat
dan eksudat, tergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan
efusi tersebut.
a. Efusi pleura Transudat
Pada
efusi
pleura
jenis
transudat
ini
keseimbangan
kekuatan
menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya
transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan onkotik
(hipoalbumin) dan tekanan negatif intra pleura yang meningkat. Biasa terjadi pada
penderita gagal jantung, sindroma nefrotik,hipoalbuminemia, dan sirosis hepatis.
Ciri-ciri cairan transudat serosa jernih, bj biasanya rendah (dibawah1.012),
terdapat limposit dan mesotel tetapi tidak ada netrofil, protein <3%.
b. Efusi pleura Eksudat
Eksudat ini terbentuk karena penyakit dari pleura itu sendiri yang
berkaitan dengan peningkatan permaebilitas kapiler atau drainase limfatik yang
kurang. Biasa terjadi pada penderita pneumonia bakterialis, karsinoma, infark
paru, dan pleuritis. Ciri-ciri eksudat berat jenis>1.015, kadar protein>3%, rasio
protein pleura berbanding LDH serum 0.6, warna keruh.
4. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2001) penatalaksanaan pada efusi pleura ini adalah
bertujuan untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan
kembali cairan dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dipsneu (sesak
napas).
http://repository.unimus.ac.id
8
a. Thorakosentasis adalah drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala
subyektif seperti nyeri, dispnea, dan lain-lain. Cairan dikeluarkan segera untuk
mencegah meningkatnya edema paru dan untuk keperluan analisis.
b. Pemberian antibiotik dengan pengawasan dokter.
c. Pleurodesis adalah tindakan untuk mengurangi penumpukan cairan pleura
dirongga pleura dengan menyatukan lapisan visceral dan lapisan pariental pleura
untuk mencegah pembentukan efusi berlebihan
dan mencegah pneumotoraks
berulang.
d. Tirah baring adalah pasien berbaring dalam jangka waktu yang lama (bed rest)
e. Biopsi dan aspirasi pleura untuk mengetahui adanya keganasan
5. Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus dengan jumlah cairan yang sedikit USG toraks sangat
membantu untuk memastikan cairan dan sekaligus sebagai penanda lokasi.
Apabila tidak terlihat pada foto toraks dapat dideteksi dengan CT-scan toraks.
Langkah pertama dalam analisa cairan pleura adalah pemeriksaan laboratorium
klinik untuk membedakan antara transudat atau eksudat kemudian dapat
dilanjutkan pada pemeriksaan kultur mikrobiologi. Tetapi pada stadium lanjut
yang perlu dilakukan adalah biopsi dan aspirasi pleura untuk pemeriksaan
patologi anatomi. Diagnosa efusi pleura ganas adalah dengan penemuan sel ganas
pada cairan pleura atau jaringan pleura (Syahruddin et al, 2009).
Evaluasi cairan pleura ganas dapat dilakukan dengan pemeriksaan patologi
anatomi dengan metode pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan histoblok sel.
Pemeriksaan sitologi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari dan
http://repository.unimus.ac.id
9
menilai setiap struktur sel yang ditemukan untuk deteksi kanker serta kelainan
genetik dan hormonal. Dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi bloksel dimana
pada tehnik pemeriksaan ini menggunakan bahan sisa dari pemeriksaan sitologi
(Boon &Drijver, 2006).
B. Formalin
Formalin merupakan senyawa yang paling sederhana dari kelompok
Aldehyde dengan jumlah rantai karbon hanya satu. Pembuatan formalin pertama
kali dilaporkan oleh ilmuwan asal Rusia bernama Alexander Butlerov (18281886) yang kemudian dikembangkan oleh August Wilhelm von Hofmann.
Formaldehyde membunuh bakteri dengan membuat jaringan
dalam bakteri
dehidrasi, sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di
permukaan (Hart H, 1983).
Formalin adalah larutan yang
tidak
berwarna dan baunya sangat
menusuk. Di dalam formalin mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air,
biasanya ditambah metanol hingga 15%. Nama lain formalin adalah formol,
Methylenealdehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyxymethyleneglycols,
Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith (Astawan,
2006).
Secara empiris terbukti untuk pemeriksaan rutin (morfologi) dan
imunohistokimia zat formalin 10% dengan ph sekitar 7 adalah yang optimum.
Untuk mempertahankan ph netral ditambahkan buffer pospat. Cara pembuatan
formalin buffer pospat
adalah 100 ml larutan formaldehyde 40%, 900 ml
http://repository.unimus.ac.id
10
akuades, 4 gr sodium dihidrogen fosfat monohidrat, 6,5 gr disodium hidrogen
fosfat anhidrat ( Nasar, 2008).
Salah satu sifat formaldehida adalah mudah teroksidasi menjadi asam
format yang bersifat asam. Namun formaldehida sendiri mempunyai sifat asam
dan mempunyai afinitas baik pada zat warna basa. Untuk mencegah ini terjadi
formalin sebaiknya disimpan dalam botol yang tertutup rapat, atau diletakkan
bubuk kalsium karbonat pada dasar botol untuk netralisasi asam format yang
terbentuk. Formaldehida tidak boleh dicampur dengan asam format atau osmium
teroksida (Suntoro, 1983).
Bahaya formalin ialah pada saat secara langsung terkonsumsi, baik itu
terhirup ataupun terkena pada makanan yang kita konsumsi. Pada konsentrasi
pekat dampak dari formalin dapat berupa iritasi pada saluran pernapasan, reaksi
alergi, pemicu kanker dan dapat pula mengakibatkan kulit terbakar (WHO, 2002).
Kelebihan dari cairan fiksatif formalin adalah sebagai cairan fiksatif
umum, lebih murah, lebih mudah disiapkan, dan merupakan cairan stabil.
Pengerutan dan kerapuhan tidak disebabkan oleh cairan fiksatif formalin. Baik
untuk sel lemak, sel protein dan paling baik untuk jaringan otak. PH cairan
mendekati netral, sehingga tidak terjadi interaksi dengan hemoglobin atau
produknya yang dapat membentuk pigmen formalin. Potongan jaringan atau organ
dapat ditinggalkan dalam cairan dalam jangka waktu yang lama.
Sedangkan kerugian dari cairan fiksatif formalin adalah potongan jaringan
membutuhkan waktu paling sedikit 24 jam untuk dapat diproses ke tahap
berikutnya, bersifat toksik, iritan, menyebabkan sinusitis, dan karsinogenik. Jika
http://repository.unimus.ac.id
11
disimpan lama khususnya pada tempat yang dingin formalin dapat membentuk
paraformaldehida yang menempel pada jaringan (Fox, 1985).
C. Alkohol
Alkohol adalah istilah yang umum untuk senyawa organik yang
mempunyai gugus hidroksil (OH) yang terikat pada atom karbon, dan juga terikat
pada atom hidrogen dan atom yang lain. Golongan yang paling sederhana adalah
metanol dan etanol (Pujaatmaka, 1982).
Alkohol yang sering digunakan sebagai pelarut adalah jenis metanol,
etanol, dan isopropanol. Metanol digunakan sebagai pelarut dalam cat, bahan anti
beku, dan senyawa kimia lainnya. Sedangkan etanol banyak digunakan sebagai
pelarut, antiseptik, campuran obat batuk, anggur obat, dan bahan minuman keras
dan minuman lain yang mengandung alkohol (Irianto, 2013).
Alkohol tidak secara rutin digunakan untuk mengawetkan jaringan karena
menyebabkan terlalu rapuh dan keras. Kemampuannya sangat bagus untuk apusan
sel karena kerjanya cepat dan memberi rincian nukleus yang bagus.
Untuk
keperluan fiksasi alkohol 96% untuk sediaan apus, etanol/metanol untuk asam
nukleat, dan alkohol 70% untuk cairan segar (Nasar, 2008).
Alkohol yang digunakan sebagai cairan fiksasi dalam histologi bloksel
akan lebih baik jika menggunakan alkohol dengan konsentrasi rendah agar tidak
merusak komponen protein dalam sel. Alkohol merupakan zat dengan
kemampuan penetrasi yang cepat, dapat mengkoagulasi protein dan presipitasi
glukogen serta melarutkan lemak (Luna, 2000).
http://repository.unimus.ac.id
12
Alkohol merupakan fiksatif umum jaringan yang kurang baik karena
tidak dapat memfiksasi bahan inti (kromatin) secara memadai. Bahan ini
merupakan koagulan sitoplasma yang baik tetapi tidak dapat digunakan untuk
memfiksasi lipida karena lipida larut dalam alkohol. Etil alkohol akan
mengeraskan jaringan tetapi kadang digunakan sebagai fiksatif untuk enzim
tertentu dan sangat baik untuk jaringan saraf terutama jika ingin mempelajari
badan Nissl (Suntoro, 1983).
D. Ketepatan diagnosis
Diagnosis histopatologi dan sitopatologi merupakan hasil interpretasi dari
pemeriksaan histopatologi dan sitopatologi yang merupakan “baku emas” bagi
diagnosis sebagian besar penyakit keganasan. Ketepatan diagnosis histopatologi
dan sitopatologi bergantung pada penanganan dan pengolahan bahan pemeriksaan
sehingga dapat diinterpretasikan serta dapat dikembangkan untuk pemeriksaan
lebih lanjut (pemeriksaan molekular dan genetik). Pengolahan dan penanganan
bahan pemeriksaan meliputi fase pre analitik dan fase analitik.
Fase pre analitik merupakan tanggung jawab pihak klinik, meliputi
kelengkapan administrasi identitas pasien dan keterangan klinik yang relevan,
cara mendapatkan bahan, lokasi bahan/organ, kondisi lesi dll. Fase analitik
dimulai sejak sampel diterima dilaboratorium Patologi Anatomi untuk dilakukan
pengolahan bahan sampai menjadi blok parafin, dan sediaan yang siap dibaca oleh
Spesialis Patologi Anatomi. Tahap ini dimulai dengan penerimaan sampel,
pencatatan makroskopik, pengolahan secara manual dan atau dengan mesin
(Nasar, 2008).
http://repository.unimus.ac.id
13
E. Tahap Pengolahan
Menurut Boon and Drijver (2006) tahap pengolahan histologi bloksel
efusi pleura meliputi fiksasi, dehidrasi, penjernihan, impregnasi, pembuatan blok
parafin, potong blok parafin, dan pewarnaan.
Tahap pengolahan diawali dengan proses fiksasi, yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya autolisis dan pengaruh bakteri, mempertahankan bentuk dan
isi jaringan mendekati kondisi sebelum fiksasi, memungkinkan proses pengolahan
jaringan selanjutnya berjalan dengan baik, mempertahankan komponen jaringan.
Pada pemeriksaan sitologi cairan fiksasi yang lazim digunakan adalah
alkohol 96% untuk apusan, untuk cairan segar menggunakan alkohol 70% atau
bnf 10%. Beberapa hal yang mempengaruhi fiksasi:
a. Dapar : larutan penyangga untuk formalin 10% yang biasa digunakan adalah
bufer pospat.
b. Konsentrasi : alkohol yang dipakai konsentrasi 70% dan formalin konsentrasi
10%.
c. Wadah penyimpan harus tertutup.
d. Volume cairan fiksasi 5-10x sampel.
e. Waktu 6-24 jam atau sampai jaringan berwarna tidak merah lagi.
f. Suhu lebih baik dalam suhu ruang jangan dipanaskan.
Proses berikutnya setelah fiksasi adalah dehidrasi, yaitu proses
mengeluarkan air dari dalam jaringan. Larutan yang digunakan dalam dehidrasi
ini adalah alkohol dari konsentrasi yang rendah sampai pada konsentrasi absolute
(70% ke 80% ke 90% ke 100%).
http://repository.unimus.ac.id
14
Penjernihan (clearing) adalah suatu tahap untuk mengeluarkan alkohol
dari jaringan dan menggantinya dengan suatu larutan yang dapat berikatan dengan
parafin. Jaringan tidak dapat langsung dimasukkan ke dalam parafin karena
alkohol dan parafin tidak bisa saling melarutkan, dan larutan yang biasa
digunakan adalah xylol.
Impregnasi adalah proses mengeluarkan xylol dari dalam jaringan untuk
digantikan dengan paraffin. Pada tahap impregnasi jaringan harus benar – benar
bebas dari xylol karena sisa cairan penjernih dapat mengkristal dan pada saat
dilakukan pemotongan blok parafin jaringan akan menjadi mudah robek.
Pengeblokan (embedding) adalah proses pembuatan blok parafin. Dengan
menanamkan atau memasukkan jaringan kedalam cetakan untuk memudahkan
proses pemotongan dengan mikrotom. Cetakan yang digunakan adalah base
mould , yaitu cetakan yang terbuat dari logam yang tidak berkarat. Tujuan dari
proses ini untuk membuat blok paraffin menjadi preparat permanen.
Pemotongan (Sectioning ) adalah proses pemotongan blok parafin dengan
menggunakan mikrotom untuk mendapatkan sediaan jaringan yang tipis, rata serta
tidak melipat ataupun terputus saat diletakkan pada gelas obyek. Dengan
menggunakan mikrotom, maka ketebalan potongan akan mencapai 5-7 mikron.
Pewarnaan merupakan proses pemberian warna pada jaringan yang telah
dipotong agar unsur jaringan mudah dikenali pada saat pengamatan dengan
menggunakan mikroskop. Sebelum dilakukan proses pewarnaan, obyek glass
yang telah direkatkan dengan pita parafin diletakkan pada hotplate/oven dengan
suhu 600C. Tujuan dari tahap ini untuk menghilangkan parafin sehingga hanya
http://repository.unimus.ac.id
15
jaringan yang akan diamati yang menempel pada obyek glass. Zat warna rutin
yang digunakan pada laboratorium patologi anatomi adalah Hematoxilyn –Eosin
(HE). Pada pewarnaan HE digunakan dua macam zat warna, yaitu Hematoxylin
yang berfungsi untuk memberikan warna biru ( basofilik) pada inti sel serta Eosin
yang berfungsi untuk memberikan warna merah muda pada sitoplasma sel dan
jaringan penyambung.
F. Gambaran mikroskopik histologi bloksel cairan pleura
Komposisi normal cairan pleura adalah sel mesothelial 3-70%, monosit
30-75%,limfosit 2-30%, granulosit 10%. Sel-sel patologis pada cairan pleura
antara lain sel nuetrofil (menunujukkan adanya infeksi akut), sel limfosit
(menunjukkan adanya infeksi kronis seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma
malignum), sel mesotel ( bila jumlahnya meningkat ini menunjukkan adanya
infark paru), sel mesotel maligna pada mesotelioma, sel-sel besar dengan banyak
inti pada arthritis rheumatoid, sel LE pada lupus erimatosus sistemik (Mescher,
2012).
http://repository.unimus.ac.id
16
G. Kerangka Teori
Sampel
Fiksasi
Dapar
Volume
Pengolahan
Waktu
Konsentrasi
si
Wadah
Suhu
Hasil
Gambar 2. Kerangka teori
http://repository.unimus.ac.id
17
H. Kerangka Konsep
Cairan
pleura
Alkohol
70%
aA
Bnf 10%
Pengolahan
Preparat
Gambar 3. Kerangka konsep
http://repository.unimus.ac.id
Download