21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Uraian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama
asing, morfologi tumbuhan dan khasiat tumbuhan.
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan poguntano adalah sebagai berikut (Anonim, 2009):
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Asteridae
Ordo
: Scrophulariales
Famili
: Scrophulariaceae
Genus
: Picria
Spesies
: Picria fel-terrae Lour.
Sinonim
: Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss., Curania
amara R&S., Gratiola amara Roxb., Curanga fel-terrae
Lour., dan Torenia cardiosepala Benth.
2.1.2 Nama daerah
Nama daerah dari tumbuhan ini adalah poguntano, pugun tana, pogon
tanoh (Dairi), tamah daun kukurang, raheut (Sunda), (Maluku) dan papaita
(Ternate) (Anonim, 2009).
21
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Nama asing
Pada beberapa negara lain tumbuhan ini dikenal dengan nama hempedu
tanah, gelumak susu, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), kong
sadden (Laos) dan thanh (Vietnam) (Anonim, 2007).
2.1.4 Morfologi tumbuhan
Herba tahunan, tinggi lebih dari 40 cm, batang dengan cabang yang
jarang, tegak atau melata, segiempat, berakar di buku-buku, berbulu halus yang
padat. Daun tunggal berhadapan, bundar telur, pangkal daun membaji sampai
membundar, ujung daun agak melancip, tepi daun beringgitan, berbulu halus.
Pembungaan berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, daun
gagang kecil, melanset, mahkota bunga menabung, berbibir rangkap, gundul
bagian luar, bagian dalam ada kelenjar bulu, bibir atas berwarna coklat kemerahmerahan, bibir bagian bawah berwarna putih. Buah kapsul lonjong, padat,
berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji membulat, diameter sekitar 0,6 mm
(Anonim, 2009).
2.1.5 Khasiat tumbuhan
Tumbuhan ini digunakan sebagai obat pencahar, mengobati kolik (mulas
mendadak dan hebat), malaria, diuretik, demam, amenorrhea dan gangguan pada
kulit (Perry, 1980). Di Cina Selatan puguntano digunakan untuk pengobatan
demam, infeksi herpes, kanker dan inflamasi (Zhong, et al., 1979).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dari pelarut cair. Simplisia
yang diekstraksi mengandung senyawa aktif yang dapat larut. Ada beberapa
22
Universitas Sumatera Utara
metode yang umum digunakan, diantaranya maserasi, perkolasi, sokletasi dan
refluks. Salah satu metode yang banyak digunakan adalah maserasi.
2.2.1 Maserasi
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti
daun dan bunga tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari
simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan
yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh. Pada penyarian dengan cara
maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk menghomogenkan konsentrasi
larutan di luar serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap
terjaga adanya derajat perbedaan kosentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan
di dalam sel dengan larutan di luar sel.
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.
Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel,
sehingga larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi secara
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel.
Maserasi dapat dilakukan dengan cara menurut Farmakope Indonesia Edisi
III (1979):
Sebanyak 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok
dimasukkan kedalam sebuah bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan
penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering
23
Universitas Sumatera Utara
diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan
penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam
bejana tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2
hari. Dienaptuangkan dan disaring.
Maserasi dilakukan juga secara umum dengan merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari yang sesuai selama 3-5 hari pada temperatur kamar
terlindung dari cahaya, sambil diaduk berulang-ulang lalu filtrat disaring dan
diuapkan. Demikian seterusnya dilakukan sampai filtrat jernih.
2.3 Kanker
Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel yang tidak normal,
yaitu suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme
normal sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak
terkendali. Kanker dapat menyusup ke jaringan tubuh normal dan menekan
jaringan tubuh normal sehingga mempengaruhi fungsi tubuh (Diananda, 2009).
Ciri-ciri yang menggambarkan perubahan tumor jinak menjadi kanker ganas
adalah kemampuan menyerang sel secara lokal, menyebarkan melalui sel limfa,
dam metastatis dari organ ke seluruh tubuh (Ruddon, 2007).
Adapun ciri-ciri sel kanker secara khusus yang membedakan dengan sel
normal, antara lain sebagai berikut.
a. Sel kanker mampu mencukupi kebutuhan sinyal pertumbuhannya sendiri
Sinyal pertumbuhan eksternal (mitogenic growth factor) dibutuhkan oleh
sel normal untuk berproliferasi. Pada kondisi normal terdapat mekanisme regulasi
terhadap rangsangan sinyal pertumbuhan sehingga proses perkembangan sel dapat
dikontrol. Namun, sel kanker dapat memproduksi growth factor sendiri sehingga
24
Universitas Sumatera Utara
tidak bergantung pada rangsangan sinyal pertumbuhan dari luar untuk melakukan
proliferasi. Mutasi yang terjadi pada sel kanker memungkinkan sel tersebut untuk
memperpendek growth factor pathway. Dengan demikian, sel kanker dapat
tumbuh menjadi tidak terkendali (Pecorino, 2005; Kumar, 2005).
b. Sel kanker tidak sensitif terhadap sinyal antiproliferatif
Sinyal antiproliferatif adalah sinyal anti pertumbuhan yang dibutuhkan
oleh sel untuk mengontrol dan menjaga keteraturan sel serta homeostasis jaringan.
Pada keadaan normal, regulasi sinyal pertumbuhan ini menjadi faktor penentu
bagi sel untuk berproliferasi atau istirahat. Sinyal ini akan mengatur
perkembangan sel dengan memblok proliferasi melalui dua mekanisme, yaitu sel
dipaksa keluar dari fase proliferasi yang aktif menuju fase istirahat G0 atau sel
diinduksi untuk melepaskan potensi proliferasi secara permanen dengan diinduksi
untuk memasuki fase post mitotic. Sel kanker memiliki kemampuan untuk
menghindar dari sinyal anti pertumbuhan yang berhubungan dengan daur sel. Hal
ini disebabkan oleh adanya mutasi pada beberapa gen (proto-onkogen) (Pecorino,
2005; Kumar, 2005).
c. Sel kanker mampu menghindar dari mekanisme apoptosis
Apoptosis merupakan suatu mekanisme fisiologis pengurangan sel untuk
perbaikan jaringan dan pelepasan sel yang rusak yang dapat membahayakan tubuh
(Ruddon, 2007). Resistensi kanker terhadap mekanisme apoptosis dapat terjadi
dengan melibatkan protein regulator apoptosis antara lain: p53 dan Bcl-2. Protein
ini memiliki kemampuan untuk mencegah replikasi DNA yang rusak dan
mendorong penghancuran sel yang mengandung DNA abnormal. Mutasi gen pada
25
Universitas Sumatera Utara
protein regulator ini menyebabkan sel kehilangan kontrol proliferasi (Kumar, et
al., 2005).
d. Kemampuan angiogenesis yang dimiliki oleh sel kanker
Sel kanker memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan pembuluh
darah baru yang disebut angiogenesis. Kemampuan tersebut diinisiasi oleh sinyal
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Fibroblas Growth Factor
(FGF). Faktor-faktor angiogenensis dapat mengaktifkan angiogenic switch,
sehingga pertumbuhan pembuluh darah baru menjadi tidak terkendali (Kumar, et
al., 2005).
e. Sel kanker mampu menginvasi jaringan di sekitarnya dan membentuk anak
sebar (metastasis)
Kebanyakan kanker pada manusia akan membentuk massa tumor primer
yang mampu membebaskan diri dari jaringan awalnya untuk memasuki aliran
darah atau pembuluh limfa dan membentuk tumor sekunder (metastasis) di bagian
tubuh yang lain. Hal ini dapat terjadi akibat mutasi yang memungkinkan
peningkatan aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam invasi sel kanker dan
berkurangnya adhesi antar sel oleh molekul addisi sel (Pecorino, 2005).
f. Sel kanker memiliki potensi yang tak terbatas untuk mengadakan replikasi
Adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sinyal pertumbuhan dan
kemampuan menghindar dari mekanisme apoptosis, sel kanker memiliki
kemampuan tak terbatas untuk bereplikasi. Kemampuan replikasi tak terbatas ini
berkaitan dengan adanya enzim telomerase yang menjaga integritas telomer pada
kromosom, sehingga sel tetap memiliki kemampuan untuk membelah diri. Pada
kondisi normal, telomer akan mengalami degradasi (pemotongan) pada saat sel
26
Universitas Sumatera Utara
mengalami replikasi. Ketidakmampuan sel untuk meregulasi degradasi telomer
inilah yang menyebabkan sel kanker memiliki kemampuan tidak terbatas untuk
bereplikasi (Kumar, et al., 2005).
2.3.1 Siklus sel
Siklus sel merupakan proses perkembangbiakan sel yang memperantarai
pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Setiap sel baik sel normal
maupun sel kanker mengalami siklus sel. Siklus sel memiliki dua fase utama,
yakni fase S (sintesis) dan fase M (mitosis). Fase S merupakan fase terjadinya
replikasi DNA kromosom dalam sel, sedangkan pada fase M terjadi pemisahan 2
set DNA kromosom tersebut menjadi 2 sel (Nurse, 2000).
Selain itu, terdapat fase yang membatasi kedua fase utama tersebut yang
dinamakan Gap. G1 (Gap-1) terdapat sebelum fase S dan setelah fase S
dinamakan G-2 (Gap-2). Pada fase G1, sel melakukan persiapan untuk sintesis
DNA. Fase ini merupakan fase awal cell cycle progression yang diatur oleh faktor
ekstraselular seperti mitogen dan molekul adhesi. Penanda fase ini adalah adanya
ekspresi dan sintesis protein sebagai persiapan memasuki fase S. Pada fase G2, sel
melakukan sintesis lebih lanjut yang memadai untuk proses pembelahan, sehingga
sel siap melakukan pembelahan pada fase M (Ruddon, 2007).
Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator
positif dan negatif. Kelompok cyclin khususnya cyclin D, E, A dan B merupakan
protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. Cyclin bersama dengan
kelompok cyclin dependent kinase (CDK), khususnya CDK 4, 6 dan 2, bertindak
sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia
ekspresi kinase (CDK4, CDK2 dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan
27
Universitas Sumatera Utara
ekspresi cyclin (D, E, A dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus
sel (G1-S-G2-M) (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif
siklus sel, yakni CDK inhibitor (CKI), yang terdiri dari Cip/Kip protein (meliputi
p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi p16, p18, p19). Selain itu, tumor
suppressor protein yaitu p53 dan pRb juga bertindak sebagai protein regulator
negatif (Foster, et al., 2001).
Aktivasi CDK memerlukan ekspresi cyclin (Cyc). Kompleks Cyclin-CDK
dengan protein CKI dan adanya fosforilasi oleh Wee1 (tyrosin15)/ Myt1
(threonin14) dapat menyebabkan inaktivasi CDK. Aktivasi kompleks Cyc-CDK
diawali dengan proteolisis CKI oleh ubiquitin, kemudian fosforilasi CDK oleh
CDK-activating kinase (CAK) pada threonin161 dan penghilangan fosfat
(defosforilasi) oleh Cdc25 fosfatase pada target fosforilasi Wee1 (tyrosin15)/Myt1
(threonin14). CDK bekerja pada awal G1 untuk mengaktifkan E2F-dependent
transcription gen yang diperlukan untuk fase S (di akhir G1 untuk menginisiasi
fase S) dan juga di akhir G2 untuk menginisiasi mitosis (M) (Nurse, 2000).
Checkpoint pada G2 terjadi ketika ada kerusakan DNA yang akan
mengaktivasi beberapa kinase termasuk ataxia telangiectasia mutated (ATM)
kinase. Hal tersebut menginisiasi dua kaskade untuk menginaktivasi Cdc2-CycB
baik dengan jalan memutuskan kompleks Cdc2-CycB maupun mengeluarkan
kompleks Cdc-CycB dari nukleus atau aktivasi p21.
Checkpoint pada fase G1 akan dapat dilalui jika (1) ukuran sel memadai;
(2) ketersediaan nutrien mencukupi; dan (3) adanya faktor pertumbuhan (sinyal
dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G2 dapat dilewati jika ukuran sel
memadai dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna, sedangkan
28
Universitas Sumatera Utara
checkpoint pada metaphase (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel
pada gelendong (spindle) mitotik (Ruddon, 2007).
Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitosis,
sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang spindle tidak
terbentuk atau jika semua kromosom tidak dalam posisi yang benar dan tidak
menempel dengan sempurna pada spindle. Checkpoint tersebut bekerja dengan
memonitor apakah kinetokor dan mikrotubul terhubung secara benar. Jika tidak,
kohesi kromatid akan tetap berlangsung dan mikrotubul gagal untuk memendek
sehingga kromatid tidak bergerak menjauh ke kutub yang berlawanan (Ruddon,
2007).
Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik.
Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak
meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau
kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan
genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses regulasi
siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).
2.3.2 Karsinogenesis
Karsinogenesis merupakan suatu proses terjadinya kanker melalui
mekanisme multitahap dengan adanya perubahan neoplastik pada jaringan normal
yang disebabkan oleh akumulasi multimutasi genetik dan menyebabkan
transformasi progresif sel normal menjadi sel malignan (ganas) (Tsao, et al.,
2004). Perubahan ini diawali dari mutasi somatik satu sel tunggal yang
mengakibatkan perubahan dari normal menjadi hiperplastik, displastik dan pada
akhirnya menjadi suatu keganasan atau malignansi (memiliki kemampuan
29
Universitas Sumatera Utara
metastasis atau menginvasi jaringan di sekelilingnya). Perubahan genetik ini
termasuk perubahan seluler mendasar pada sel kanker yang dipengaruhi oleh
beberapa gen seperti: tumor suppresor genes (pRb, p53,PTEN, E-cadherin) dan
proto-oncogenes (ras, c-myc, Bcl-2). Karsinogenesis dapat dibagi menjadi empat
tahap utama, yaitu tahap inisiasi, promosi, progresi dan metastasis (Gambar 2.1).
Tahap inisiasi adalah tahap pertama pada karsinogenesis ketika sel normal
mulai mengalami mutasi oleh karsinogen (Diandana, 2009). Tahap karsinogenesis
selanjutnya adalah promosi, merupakan tingkat lanjutan dari tahap inisiasi. Pada
tahap ini, sel mulai mengalami hiperplastik pada inti sel.
memperoleh
beberapa
keuntungan
selektif
untuk
Sel-sel akan
tumbuh
sehingga
pertumbuhannya menjadi cepat dan berubah menjadi tumor jinak. Tahap promosi
tidak melibatkan perubahan struktural dari genom secara langsung, tetapi biasanya
terjadi perubahan ekspresi gen yang terinisiasi (Tsao, et al., 2004)
Gambar 2.1. Multitahap karsinogenesis (dimodifikasi dari Tsao, et al., 2004)
30
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap progresi, kemampuan pembelahan yang tinggi menuntun
terbentuknya koloni sel yang lebih besar melalui perubahan genetik lebih lanjut
dan munculnya keistimewaan-keistimewaan lain seperti peningkatan mobilitas
dan angiogenesis (Kumar, et al., 2005). Pada tahap ini, sel-sel tumor dikatakan
sebagai sel malignan. Pada fase ini juga akan terjadi karsinoma dan metastasis
melalui aktivasi onkogen dan malfungsi dari enzim topoisomerase (Pecorino,
2005). Tahap metastasis merupakan tahap akhir dalam karsinogenesis. Pada tahap
ini, sel kanker melakukan invasi ke jaringan-jaringan lain di dalam tubuh melalui
pembuluh darah, pembuluh limpa, atau rongga tubuh (Gambar 2.2) (Kumar, et al.,
2005). Sel malignan yang bermetastasis ini masuk melalui basement membran
menuju saluran limpoid. Sel tersebut akan berinteraksi dengan sel limpoid yang
digunakan sebagai inangnya. Selanjutnya, sel kanker akan masuk ke jaringan
lainnya
membentuk
tumor
sekunder
dengan
didukung
kemampuan
neoangiogenesis yang dimilikinya (Kumar, et al., 2005).
Payudara normal
Kanker payudara
Gambar 2.2 Kanker payudara (dimodifikasi dari Kumar, et al., 2002).
Tahap metastasis dapat berlangsung karena melemahnya ikatan antarsel
yang disebabkan oleh terdegradasinya CAMs (Cell-cell Adhesion Molocules) dan
31
Universitas Sumatera Utara
E-cadherin sebagai molekul yang menjaga pertautan antarsel. Molekul-molekul
tersebut diketahui sudah sangat sedikit bahkan tidak ditemukan lagi pada sel
kanker, sehingga proses metastasis dapat terus terjadi (Kumar, et al., 2005).
Adanya mutasi pada satu sel tunggal normal sebagai akibat terpapar oleh
karsinogen (inisiasi), akan menyebabkan progresi sel menjadi hiperplasi
(promosi), diplasi (progresi) dan pada akhirnya memiliki kemampuan invasi ke
jaringan sekitarnya (metastasis) (Tsao, et al., 2004).
2.3.3 Kanker payudara
Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial
payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar, sehingga kanker payudara
tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling
umum diderita oleh wanita, di samping kanker serviks. Penyebab kanker payudara
sangat beragam, antara lain (Torosian, 2002):
a. Kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi genetik. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh radiasi yang berlebihan
b. Kegagalan immune surveillance dalam pencegahan proses malignan pada fase
awal
c. Faktor pertumbuhan yang abnormal
d. Malfungsi DNA repairs seperti : BRCA1, BRCA2 dan p53.
Kanker payudara terjadi ketika sel-sel pada payudara tumbuh tidak
terkendali dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan
organ tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan.
Semua tipe jaringan pada payudara dapat berkembang menjadi kanker, namun
pada umumnya kanker muncul baik dari saluran (ducts) maupun kelenjar
32
Universitas Sumatera Utara
(glands). Perkembangannya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahuntahun sampai tumor tersebut cukup besar untuk dirasakan pada payudara. Deteksi
dapat dilakukan dengan mammograms yang kadang-kadang dapat mendeteksi
tumor sejak dini (Dolinsky, 2002).
Faktor resiko kanker payudara dapat dibedakan menjadi faktor yang dapat
diubah (reversible) dan yang tidak dapat diubah (irreversible). Faktor-faktor yang
tidak dapat diubah termasuk jenis kelamin, bertambahnya umur, ada-tidaknya
riwayat keluarga menderita kanker, pernah-tidaknya menderita kanker payudara,
pernah-tidaknya mendapat terapi radiasi pada bagian dada, suku bangsa
Kaukasian, orang yang mengalami menstruasi pertama pada usia sangat muda
(sebelum 12 tahun), yang mengalami menopause terlambat (setelah 50 tahun),
yang tidak pernah melahirkan atau melahirkan di usia lebih dari 30 tahun dan
yang mengalami mutasi genetik. Dari berbagai macam faktor tersebut, 3%-10%
penyebab kanker payudara diduga berkaitan dengan perubahan baik gen BRCA1
maupun gen BRCA2 (Dolinsky, 2002).
Beberapa faktor yang menaikkan resiko menderita kanker payudara yang
dapat diubah, yakni mendapatkan terapi pengganti hormon (penggunaan estrogen
dan progesteron dalam jangka waktu lama untuk mengatasi gejala menopause),
menggunakan pil antikontrasepsi (pil KB), tidak menyusui, mengonsumsi
minuman beralkohol 2-5 gelas per hari, menjadi gemuk terutama setelah
menopause dan tidak berolahraga (Dolinsky, 2002). Perlu diingat bahwa faktorfaktor resiko tersebut hanyalah berdasarkan pada kemungkinan. Seseorang tetap
dapat terkena kanker payudara walaupun ia tidak mempunyai satu pun faktor
33
Universitas Sumatera Utara
resiko tersebut. Menghindari faktor resiko tersebut dan deteksi awal adalah cara
terbaik untuk mengurangi kematian berkaitan dengan kanker ini.
Peningkatan insidensi kanker payudara disebabkan oleh kegagalan terapi
terhadap kanker itu sendiri. Kegagalan ini diakibatkan oleh adanya multidrug
resistance (MDR) dan terjadi hingga 71% dibandingkan dengan faktor penyebab
lainnya (Mechetner, et al., 1998). Multidrug resistance atau resistensi obat ini
diakibatkan oleh adanya breast cancer resistance protein (BCRP) yang salah
satunya adalah P-glycoprotein (P-gp) (Imai, et al., 2005). Aktivasi P-gp dan
peningkatan ekspresinya dapat menurunkan efikasi dari beberapa agen kemoterapi
seperti taxol dan doxorubicin (Mechetner, et al., 1998). Penekanan aktivitas P-gp
dan ekspresinya mampu meningkatkan efektivitas agen kemoterapi (Zhou, et al.,
2006).
Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat
berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker
payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30%
kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs,
2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalan metastasis, juga berperan
dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development).
Proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi
berlebih beberapa protein, misalnya Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles,
2001). Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan
memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu
ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti cyclin D1, CDK4 (cyclin-
34
Universitas Sumatera Utara
dependent kinase 4), cyclin E dan CDK2. Selain itu, aktivasi reseptor estrogen
mampu mengaktivasi beberapa onkoprotein yang berperan utama dalam sinyal
pertumbuhan, misalnya Ras, Myc dan cycD1 (Foster, et al., 2001). Aktivasi
protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan yang berlebihan melalui aktivasi
onkoprotein yang lain seperti P13K, AKT, Raf, ERK dan MAP kinase (Hahn, et
al., 2002). Di lain pihak, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan
memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2 dan
p53.
2.3.4 Sel MCF-7
Sel MCF-7 pertama kali diperoleh pada tahun 1973 di Michigan Cancer
Foundation. Sel ini banyak dimanfaatkan secara luas sebagai sel yang sensitif
terhadap kehadiran hormon esterogen (ER), sehingga menjadi model yang ideal
untuk penelitian (Holliday, et al., 2011). Sel ini berasal dari pleural effusion breast
adenocarcinoma seorang pasien wanita Kaukasian berumur 69 tahun, golongan
darah O (Crawford, 2002). Sel ini termasuk sel adherent (melekat) yang dapat
ditumbuhkan dalam media penumbuh DMEM yang mengandung foetal bovine
serum (FBS) 10% dan antibiotik penisilin-streptomicin 1% (Anonim, 2008). Sel
ini mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α), memiliki sifat resisten
terhadap doxorubicin (Zampieri, et al., 2002) dan tidak mengekspresikan caspase3 (Bouker, 2005). Pada sel MCF-7, P-gp diekspresikan tinggi, sehingga
sensitivitas terhadap agen kemoterapi seperti doxorubicin rendah (Wong, et al.,
2006). Penurunan konsentrasi ini dapat mengurangi efektivitas senyawa
kemoterapi pada sel MCF-7. Salah satu cara untuk meningkatkan sensitivitas
35
Universitas Sumatera Utara
MCF-7 adalah dengan menghambat ekspresi dan aktivasi P-gp (Zhou, et al.,
2006).
2.3.5 Sel T47D
Sel T47D (Human ductal breast epithelial tumor cell line) adalah sel yang
mengekspresikan tumor yang telah termutasi pada protein p53. Sel ini dapat
kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan esterogen pada jangka
waktu lama selama percobaan in vitro (Anonim, 2013). Sel ini berasal dari ductal
carcinoma dan mengekspresikan caspase 3 (Mooney, et al., 2002). Oleh karena itu
sel ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan
tumor payudara p53 mutan (Anonim, 2013).
2.3.6 P-glycoprotein
P-glycoprotein (P-gp) merupakan protein ABC-transporter pada manusia
yang termasuk dalam subfamili MDR/TAP (Allen, et al., 2002) P-gp dikenal
dalam beberapa sebutan yakni ABCB1, ATP-binding cassette sub-family B
member 1, MDR1 dan PGY1 (Choi, 2005). ABCD1 atau P-gp termasuk dalam
ATP-dependent efflux pump yang memiliki substrat spesifik antara lain: obat
(colchicine dan tacrolimus), agen kemoterapi (etoposide, adrimycin dan
vinblastine), lipid, steroid, xenobiotik, peptide, bilirubin, cardiac glycoside
(digoxin), glucocorticoids (dexamethasone) dan agen terapi HIV tipe 1 (inhibitor
protease dan nonnucleoside reverse transcriptase) (Kitagawa, 2006). Di dalam
tubuh, P-gp ini dapat ditemukan pada sel usus, hati, tubula ginjal dan capillary
endothelial (Deng, et al., 2001).
P-glycoprotein adalah sebuah glikoprotein transmembran yang memiliki
10 - 15 kDa N-terminal glycosylation dengan bobot 170-kDa dikode oleh gen
36
Universitas Sumatera Utara
MDR1 (Kitagawa, 2006). Gen ini dicirikan dengan pompa efflux obat dan
anggota dari keluarga ATP-binding transport (Choi, 2005). Dalam sistem organ,
P-gp berpengaruh terhadap absorbsi, distribusi dan eliminasi obat (Matheny, et al.,
2001). Kemampuan P-gp sebagai pompa efflux berguna dalam detoksifikasi
senyawa-senyawa yang masuk ke dalam sel. Senyawa yang termasuk substrat dari
P-gp akan diikat dan dikeluarkan dari dalam sel (Gambar 2.3). Aktivitas P-gp
sangat bergantung pada aktivasi P-gp oleh ATP melalui pembentukkan kompleks
P-gp-ATP. Hidrolisis ATP oleh ATPase memberikan energi aktivasi pada P-gp
(Choi, et al., 2005). Aktivasi P-gp akan menurunkan intake agen kemoterapi
sehingga menurunkan efikasi agen tersebut terhadap sel kanker. Pada kondisi
ekspresi yang berlebihan, P-gp dapat menyebabkan resistensi obat terutama agen
kemoterapi pada kanker payudara seperti doxorubicin (Mechetner, et al., 1998). Pgp akan mengikat doxorubicin sebagai salah satu substratnya untuk dikeluarkan
dari dalam sel (Wong, et al., 2006). P-gp atau ABCD1 pertama kali diujikan
sebagai multidrug resistance dan terbukti sebagai penyebab resistensi obat
kemoterapi (Juliano, 1976).
Penghambatan aktivasi dan ekspresi P-gp memegang peranan penting
dalam keberhasilan terapi kanker (Zhou, et al., 2006). Penghambatan aktivitas Pgp dapat melalui dua mekanisme yakni dengan menghambat substrat P-gp secara
langsung dengan berikatan pada P-gp-binding domain dan menghambat hidrolisis
ATP oleh ATase melalui ikatan substrat dengan ATP (Kitagawa, 2006).
Penghambatan ini dapat dilakukan menggunakan senyawa flavonoid dan polifenol
melalui dua sisi ikatan pada ATP-binding sites dan steroid interacting region
dimana ATPase berikatan dengan P-gp cytosolic domain (Kitagawa, 2006).
37
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Mekanisme pemompaan oleh P-gp
(dimodifikasi dari Matheny, et al., 2001).
P-gp memompa senyawa-senyawa (2a, 2b, 2c) yang termasuk substratnya
untuk dikeluarkan dari dalam sel. Ekspresi berlebih dari P-gp ini dapat
menyebabkan resistensi obat pada terapi kanker payudara (Matheny, et al., 2001).
Penekanan ekspresi P-gp dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme antara lain
aktivasi jalur sinyal transduksi c-Jun NH2-terminal kinase (JNK) dan inaktivasi
NF-κB transcriptional factor, c-Jun NH2-terminal kinase (JNK) merupakan
protein kinase yang berikatan dengan NH2-terminal yang merupakan sisi aktif
pada c-Jun transcriptional factor dan protein ini mampu memfosforilasi c-Jun.
Fosforilasi c-Jun akan menstimulasi pembentukan ikatan dengan AP-1, suatu
elemen pada gen MDR1. Pembentukan ikatan ini akan mencegah ekspresi mRNA
MDR1 dan pada akhirnya akan menghambat ekspresi P-gp. Fosforilasi c-Jun
tersebut dapat dilakukan oleh salvicine (quinine diterpenoid sintetik) (Zhou, et al.,
2006). Penelitian yang dilakukan oleh Deng, et al., (2001), melaporkan bahwa
aktivasi NF-κB sebagai akibat adanya stimulus dari lingkungan berupa stress,
paparan agen sitotoksik, heat shock, iradiasi, genotoxic stress, inflamasi, paparan
sitokin dan faktor pertumbuhan dapat meningkatkan ekspresi P-gp. NF-κB yang
38
Universitas Sumatera Utara
aktif mampu berikatan dengan promoter gen MDR1 sehingga proses ekspresi Pgp dapat berjalan. Inaktivasi NF-κB mampu menghambat ekspresi P-gp.
2.3.7 Resistensi doxorubicin terhadap sel kanker payudara
Doxorubicin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi
dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doxorubicin telah digunakan secara luas
untuk mengobati kanker payudara dan menunjukkan kemampuan yang kuat dalam
melawan kanker. Senyawa ini telah digunakan sebagai obat kemoterapi kanker
sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et al., 1998; Rock, et al., 2003).
Doxorubicin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S
dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan
pasti. Mekanisme aksi doxorubicin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA
melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan
RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan
mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang
akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II
membentuk kompleks pemotong DNA (Rock, et al., 2003).
Aplikasi doxorubicin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai
jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et al., 2004). Efek
samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doxorubicin adalah mual,
imunosupresi dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat dikontrol dengan
obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan
doxorubicin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti
dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian
restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doxorubicin
39
Universitas Sumatera Utara
merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang
memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya
spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan
ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak (Wattanapitayakul,
et al., 2005).
Permasalahan yang sering timbul dalam terapi kanker terutama kanker
payudara menggunakan doxorubicin adalah resistensi obat dan menjadi penyebab
kegagalan terapi kanker payudara (Mechetner, et al., 1998).
Resistensi ini
diperantarai oleh berbagai mekanisme antara lain: mutasi pada target obat,
kegagalan inisiasi apoptosis dan pengeluaran obat oleh protein transporter pada
membran sel (Notobartolo, et al., 2005). Pengeluaran obat yang disebabkan oleh
adanya pompa efflux P-gp menjadi salah satu sebab utama resistensi obat ini
(Mechetner, et al., 1998).
Doxorubicin termasuk obat golongan antrasiklin yang merupakan substrat
P-gp (Mechetner, et al., 1998; Wong et al., 2006). Doxorubicin akan dikenali
oleh P-gp dan selanjutnya segera dikeluarkan dari dalam sel sehingga menurunkan
konsentrasi efektif doxorubicin dalam sel kanker. Mekanisme pemompaan oleh
P-gp sangat bergantung pada aktivasi protein tersebut dan penekanan ekspresi Pgp (Zhou, et al., 2006).
Oleh karena itu, inaktivasi P-gp dan penekanan
ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker terhadap
doxorubicin (Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006).
2.3.8 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT
Uji sitotoksisitas dilakukan secara in vitro, yaitu untuk menentukan
potensi sitotoksik suatu senyawa seperti obat antikanker. Toksisitas merupakan
40
Universitas Sumatera Utara
kejadian kompleks secara in vivo yang menimbulkan kerusakan sel akibat
penggunaan obat antikanker yang bersifat sitotoksik. Respon sel terhadap agenagen sitotoksik dipengaruhi oleh kerapatan sel (Kupcsik, 2011).
Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]
adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan
pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme
suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik, 2011).
Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja
enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem
reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup
(Kupcsik, 2011).
Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air
sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanool atau 10% SDS
dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan
spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif
melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase
viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
2.3.9 Combination Index (CI)
Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi
(ko-kemoterapi) dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel
kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin. Terapi
kombinasi hingga saat ini dikembangkan secara empiris.
Namun demikian,
41
Universitas Sumatera Utara
sampai saat ini belum ada terapi pengobatan untuk kanker payudara yang telah
metastasis. Selain itu, berbagai permasalahan seperti resistensi obat dan timbulnya
toksisitas yang tinggi pada jaringan normal oleh beberapa agen kemoterapi,
menjadi semakin sulit menemukan terapi kanker payudara yang efektif.
Hal
tersebut menuntut pengembangan cara pengobatan baru bagi kanker payudara
(Tyagi, et al., 2004).
Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi
melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan
agen kemoterapi (Sharma, et al., 2004, Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu,
berbagai metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi
kombinasi terapi yang tepat.
Isobologram dan combination index (CI) merupakan metode yang umum
digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama
kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004).
Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan
menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC50) dari masing-masing obat
ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan
Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif.
Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang
sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif, atau antagonis
diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di
bawah, pada, atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004).
Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis
dengan CI (combination index). Analisis CI menghasilkan suatu nilai parameter
42
Universitas Sumatera Utara
kuantitatif yang menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut.
I= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)2
I adalah CI. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang dibutuhkan
untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC50 terhadap pertumbuhan sel
kanker payudara. (D)1 dan (D)2 adalah besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk
memberikan efek yang sama. Nilai CI kurang, sama, atau lebih dari 1
mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif, atau antagonis (Zhao, et
al., 2004; Reynolds, et al., 2005).
Uji efek kombinasi dengan kedua metode tersebut biasanya dilakukan
secara in vitro. Metode uji in vitro dapat digunakan sebagai uji praklinik awal
untuk menggambarkan interaksi kombinasi, sehingga ketika dilakukan uji in vitro
hasilnya akan lebih efisien.
2.3.10 Apoptosis dan nekrosis
Kematian sel dapat didefinisikan sebagai kehilangan irreversibel dari suatu
membran plasma. Secara historis, ada tiga jenis kematian sel pada sel mamalia
dengan kriteria morfologi. Type I, dikenal sebagai apoptosis. Apoptosis adalah
perubahan karakteristik dalam morfologi, termasuk kondensasi kromatin
(pyknosis) dan fragmentasi (karyorrhexis), perubahan minor dalam organel
sitoplasma dan penyusutan sel secara keseluruhan. Pecahnya membran plasma
dan pembentukan badan-badan apoptosis yang mengandung inti sel atau
sitoplasma. Semua perubahan ini terjadi sebelum membran plasma lisis.
Tipe II ditandai dengan akumulasi besar dua membran vakuola dalam
sitoplasma. Kematian sel tipe III dikenal sebagai nekrosis, sering didefinisikan
43
Universitas Sumatera Utara
secara negatif seperti kematian yang tidak memiliki ciri-ciri proses tipe I dan tipe
II. Nekrosis didasarkan pada kriteria morfologi kehancuran membran plasma
secara awal dan dilatasi organel sitoplasma, khususnya mitokondria (Golstein,
2006).
a. Apoptosis
Apoptosis adalah kematian sel melalui mekanisme genetik dengan
kerusakan/fragmentasi kromosom atau DNA. Apoptosis dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
1. Apoptosis fisiologis
Apoptosis fisiologis adalah kematian sel yang diprogram (programmed
cell death). Proses kematian sel erat kaitannya dengan enzim telomerase. Pada sel
embrional, enzim ini mengalami aktivasi sedangkan pada sel somatik enzim ini
tidak mengalami aktivasi, kecuali sel bersangkutan mengalami transformasi
menjadi ganas. Telomer yang terletak pada ujung kromosom merupakan faktor
yang sangat penting dalam melindungi kromosom. Pada sel normal, telomer akan
memendek pada saat pembelahan diri. Apabila ukuran telomer mencapai ukuran
tertentu (level kritis) akibat pembelahan berulang, maka sel tersebut tidak dapat
melakukan pembelahan diri lagi. Selanjutnya sel akan mengalami apoptosis secara
fisiologis. Pada sel ganas, pemendekan telomerase sampai pada level kritis tidak
terjadi karena pada sel ganas terjadi aktivasi dari enzin ribonukleoprotein
(telomerase) secara terus menerus. Enzim ini sangat berperan pada sintetis
telomeric DNA, sehingga berbagai elemen yang dibutuhkan pada pembentukan
telomer dapat dibentuk secara terus menerus dan ukuran telomer pada ujung
44
Universitas Sumatera Utara
kromosom dapat dipertahankan. Oleh karena itu, sel ganas dapat bersifat immortal
(Sudiana, 2011).
2. Apoptosis patologis
Apoptosis patologis adalah kematian sel karena adanya suatu rangsangan. Proses
kematian sel (apoptosis) dapat melalui beberapa jalur, antara lain sebagai berikut:
a) Aktivitas p-53
Apoptosis ini dipicu oleh aktivitas p-53 karena sel yang bersangkutan
memiliki gen yang cacat (gene defect) yang dipicu oleh bangak faktor, antara lain
bahan kimia, radikal bebas, maupun virus (oncovirus). Gen yang cacat dapat
memicu aktivitas beberapa enzim seperti PKC (protein kinase-C) dan CPK-K2
(cystein protein kinase-K2), dimana kedua enzim in dapat memicu aktivitas p-53.
p-53 adalah fraktor transkripsi terhadap pembentikan p-21. Peningkatan p-21 akan
menekan semua CDK (Cyclin Dependent-protein Kinase) dengan cyclin, dimana
siklus pembelahan sel sangat tergantung pada ikatan kompleks antara CDK
dengan cyclin.
Apabila terjadi pengikatan p21, maka semua CDK akan ditekan, baik pada
CDK-1 pada fase M, CDK-4 dan CDK-6 pada fase S. Dengan terjadinya
penekanan semua CDK pada semua fase siklus sel, maka siklus sel akan berhenti
sehingga p-53 akan memicu aktivitas BAX. Protein BAX akan menekan aktivitas
BCL-2 sehingga terjadi peribahan membran permeabilitas dari mitokondria.
Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pelepasan cytokrom-C ke sitosol
sehingga akan mengaktivasi kaskade kaspase dan kaspase aktif ini akan
mengaktifkan DNA-se. DNA-se yang aktif akan menembus membran inti dan
merusak DNA, sehingga DNA sel akan terfragmentasi dan mengalami apoptosis.
45
Universitas Sumatera Utara
b) Jalur sitotoksik
Apoptosis dipicu oleh adanya sel yang memiliki gen cacat (gene defect)
sehingga sel akan mengekspresiakn protein asing. Protein asing yang dhasilkan
dapat bersifat imunogenik sehingga memicu pembentukan antibodi. Antibodi
akan menempel di permukaan sel killer dan akan memicu pelepasan enzim yang
disebut sebagai sitotoksin. Sitotoksin tersebut mengandung perforin dan
granzyme, dimana perforin dapat memperforasi membran sel yang memiliki gen
cacat sedangkan granzyme akan masuk ke dalam sel dan mengaktivasi kaspase
kaspade. Kaspase yang aktif ini akan mengaktivasi DNA-se sehingga sel
mengalami kematian (apoptosis).
c) Disfungsi mitokondria
Disfungsi mitokondria adalah gangguan ekspresi protein pada mitokondria
yang tidak seimbang baik ekspresinya yang berlebihan, maupun protein yang
diekspresikan adalah protein abnormal.
d) Kompleks fas dan ligan
Terjadinya apoptosis melalui jalur ligan dan fas dapat terjadi karena dipicu
oleh adanya sel yang terinveksi virus, dimana di permukaan sel terekspresi suatu
protein yang disebut fas. Fas yang terdapat pada membran sel yang terinfeksi
virus akan diikat oleh ligan yang berada di permukaan NK-cell atau CTL
(cytotoxic T lymfosit). Adanya ikatan antar fas-ligan akan mengaktifase suatu
protein yang disebut Fas Associated Protein Death Domain (FADD) yang dapat
mengaktivasi
kaspase
kaskade.
Selanjutnya,
kaspase
yang
aktif
akan
mengaktifkan DNA-se sehingga sel akan mengalami apoptosis (Sudiana, 2011).
46
Universitas Sumatera Utara
b. Nekrosis
Nekrosis didefinisikan sebagai kematian sel yang tidak memiliki ciri-ciri
seperti apoptosis dan autophagy. Nekrosis sering dihubungkan dengan sesuatu
yang bersifat negatif, namun nekrosis dapat mencakup tanda-tanda proses yang
terkontrol seperti disfungsi mitokondria, peningkatkan generasi spesies oksigen
reaktif, pengurangan ATP, proteolisis oleh calpains dan cathepsins dan kerusakan
membran plasma awal. Selain itu, penghambatan spesifik protein yang terlibat
dalam mengatur apoptosis atau autophagy dapat mengubah jenis kematian sel
menjadi nekrosis (Golstein, 2006).
2.3.11 Selectivity index
Untuk memperoleh nilai selectivity index digunakan sel yang berasal dari
ginjal monyet hijau afrika (vero) menggunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5diphenyltetrazolium bromide (MTT). Selektivitas indeks (SI) diperoleh dari rasio
IC50 sel Vero sel dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai SI lebih tinggi
dari 3 menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas yang tinggi
(Prayong, 2008).
47
Universitas Sumatera Utara
Download