TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Sawah Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi sawah, baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.Tanah sawah di Indonesia saat ini umumnya ditemukan pada tanah yang cukup baik di daerah datar maupun perbukitan yang diteraskan. Umumnya tanah sawah terdapat di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Menurut data yang dikemukakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS, 2001), luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 2000 adalah 7.787.339 ha. Dari luas tersebut, sebagian besar berada di P. Jawa yaitu 3.34 juta ha, Sumatera 2.11 juta ha, kalimantan 0.97 juta ha dan Sulawesi 0.96 juta ha. Di Nusa Tenggara dan Bali luas lahan sawah hanya 0.4 juta ha dari laus total lahan sawah di Indonesia (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Ciri khas tanah sawah antara lain memiliki lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2 setebal 0-1 cm, selanjutnya lapisan reduksi setebal 25-30 cm dan diikuti lapisan bajak yang kedap air. Selain itu selama pertumbuhan tanaman padi akan terjadi sekresi O2 oleh akar padi yang menimbulkan kenampakan yang khas pada tanah sawah (Sanchez, 1993). Profil tanah sawah dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 1. Profil tanah sawah Padi sawah dibudidayakan pada kondisi tanah tergenang. Peggenangan tanah akan mengakibatkan perubahan-perubahan sifat kimia tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Menurut Puslittanak, (2000) perubahan-perubahan tanah sawah yang terjadi setelah penggenangan antara lain: - Penurunan kadar oksigen dalam tanah Pada waktu tanah digenangi, air masuk ke dalam pori-pori menggantikan udara yang ada di dalamnya. Pada kondisi ini mikroorganisme tanah menggunakan bahan-bahan teroksidasi dalam tanah dan beberapa metabolit organik untuk mengganti oksigen sebagai penerima elekton di dalam respirasi sehingga mengakibatkan kondisi reduksi dalam tanah. - Penurunan potensial redoks Penurunan Eh yang disebabkan oleh penggenangan berpengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan padi. Pengaruh positifnya antara lain meningkatkan pasokan N, P, K, Fe, Mn, Mo, dan Si. Pengaruh negatifnya antara lain: hilangnya nitrogen karena denitrifikasi, menurunnya ketersediaan sulfur, tembaga dan seng. - Perubahan pH tanah Perubahan pH tanah setelah penggenangan disebabkan oleh: perubahan Fe3+ menjadi Fe2+, penumpukan amonium, perubahan sulfat menjadi sulfit, dan perubahan CO2 menjadi gas methan. - Reduksi besi dan mangan Pada tanah tergenang reduksi Mn4+ hampir sejalan dengan proses denitrifikasi. Mangan lebih mudah tereduksi dari pada besi. - Peningkatan suplai dan ketersediaan nitrogen Suplai nitrogen pada tanah sawah sebagian besar berasal dari : amonium dan nitrat, nitrogen dari bahan organik dan sisa-sisa tanaman yang termineralisasi dalam kondisi tergenang, dan nitrogen yang difiksasi oleh bakteri heterotrof lainnya. - Peningkatan ketersediaan fosfor Fosfor lebih mudah tersedia bagi padi sawah karena pada kondisi tergenang besi lebih banyak berada dalam bentuk ferro daripada ferri, dimana ferro-fosfat lebih mudah tersedia dari pada ferri-fosfat. Penurunan Eh akibat penggenangan akan menghasilkan Fe2+ dan Mn2+ yang dalam jumlah besar dapat menggantikan kalium yang diadsorbsi liat sehingga K dilepaskan ke dalam larutan tanah dan tersedia bagi tanaman. Oleh sebab itu penggenangan dapat meningkatkan ketersediaan K tanah. Pada tanah sawah yang berdrainase buruk maka potensial redoksnya sangat rendah sehingga dapat terjadi kekahatan K. Hal ini terjadi karena daya oksidasi akar sekitar rizosfer sangat rendah serta adanya akumulasi asam-asam organik dalam larutan tanah yang dapat menghambat serapan K oleh akar (Prasetyo et al., 2004). Nitrogen Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur hara yang sangat penting dan dapat disediakan melalui pemupukan. Tanaman menyerap unsur ini terutama dalam bentuk NO3- namun bentuk lain yang juga dapat diserap adalah NH4+ dan urea (CO(NH2)2). Dalam keadaan aerasi yang baik senyawa-senyawa N akan diubah kedalam bentuk NO3- . N yang tersedia bagi tanaman dapat mempengaruhi pembentukan protein selain itu unsur ini juga merupakan bagian yang integral dari klorofil (Nyakpa, dkk 1988). N di dalam tanah berasal dari bahan organik, hasil pengikatan N dari udara oleh mikroba, pupuk, dan air hujan. Nitrogen yang dikandung tanah pada umumnya rendah, sehingga harus selalu ditambahkan dalam bentuk pupuk atau sumber lainnya pada setiap awal pertanaman. Selain rendah, Nitrogen di dalam tanah mempunyai sifat yang dinamis (mudah berubah dari satu bentuk ke bentuk lain seperti NH4 menjadi NO3, NO, N2O dan N2) dan mudah hilang tercuci bersama air drainase. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya, pupuk N dalam bentuk urea atau ZA harus diberikan 2-3 kali untuk satu musim tanam, serta dimonitor tingkat kecukupannya dengan Bagan Warna Daun (Balitpa-IRRI). Namun bila pupuk N yang digunakan adalah pupuk yang zat haranya tersedia lambat seperti urea tablet/briket/granul, maka pemberiannya cukup satu kali untuk satu kali musim tanam (Adiningsih dan Agus, 2005). Tanaman padi menyerap unsur hara N dalam bentuk NO3- dan NH4+. Sebenarnya tanaman padi menggunakan kedua bentuk ini sama baiknya tetapi tidak mungkin mempertahankan NO3- dalam bentuk tanah tergenang. Kehilangan NO3- melalui perlindian dan denitrifikasi sekitar 20-50 % kadang sampai 70% dari keseluruhan yang diberikan dan bentuk NH4+ akan mengalami kehilangan yang berarti bila dijumpai pada tanah-tanah berpermeabilitas tinggi dan KTK rendah ( sanchez, 1993). Pada tanah tergenang, tidak adanya oksigen dapat menghambat aktivitas Nitrosomonas untuk mengoksidasi NH4+ sehingga mineralisasi berhenti sampai ke bentuk NH4+. Karena pada tanah sawah yang tergenang air ditemukan lapisan tanah tipis di permukaan yang bersifat aerobik sehingga pada lapisan tersebut terjadi proses nitrifikasi sehingga terbentuk senyawa NO3- yang stabil dalam keadaan oksidatif. Karena kadar NO3- lapisan dibawahnya dengan anaerob lebih rendah, maka terjadi proses difusi NO3- ke lapisan bawah tersebut. Di lapisan bawah pada kondisi tersebut, NO3- mengalami proses denitrifikasi menjadi gas (N2 atau N2O) yang hilang dari tanah. Karena kadar NH4+ yang lebih tinggi di lapisan bawah yang anaerobik dari pada lapisan atas yang aerobik maka difusi NH4+ ke lapisan atas juga terus terjadi (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Fosfat Didalam tanah fosfor sebagian besar berada dalam bentuk kalsium fosfat (Ca 3(HPO4) 2) yang sulit larut. Karena adanya asam di dalam tanah, maka dapat dibentuk kalsium fosfat asam primer (Ca(HPO4) 2) yang mudah larut. Karena itu fosfor boleh dikatakan diserap seluruhnya dalam bentuk H2PO4 -. Namun konsentrasi ion di dalam air tanah hanya sedikit, dibandingkan dengan seluruh jumlah fosfat yang berada di dalam tanah. Tanaman juga dapat menyerap persenyawaan fosfat organik tertentu (Rinsema, 1993). Fosfor (P) dalam tanah terdiri dari P-anorganik dan P-organik yang berasal dari bahan organik dan mineral yang mengandung P (apatit). Unsur P dalam tanah tidak bergerak (immobile), P terikat oleh liat, bahan organik, serta oksida Fe dan Al pada tanah yang pHnya rendah (tanah masam dengan pH 4-5,5) dan oleh Ca pada tanah yang pH-nya tinggi (tanah netral dan alkalin dengan pH 7-8). Tanah mineral yang disawahkan pada umumnya mempunyai pH netral antara 5,5-6,5 kecuali untuk tanah sawah bukaan baru, sehingga ketersediaan P tidak menjadi masalah (Adiningsih dan Agus, 2005). Fosfat didalam tanah dapat digolongkan pada beberapa bentuk yaitu P dalam bentuk organik, anorganik dan P yang ada dalam larutan tanah. P di dalam tanah dapat pula dibagi dalam bentuk terikatannya yaitu dalam bentuk Ca-P, Fe-P, dan Al-P. Ketersediaan P di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh perubahan pH tanah, artinya semakin naik pH sampai pada batas tertentu (netral) maka ketersediaan P akan meningkat pula. Senyawa P yang dapat diambil oleh tanaman terdapat dalam berbagai bentuk seperti H2PO4-, HPO4-2 dan PO4-3. Permasalahan Fosfor (P) pada kesuburan tanah lapisan atas adalah jumlah total P di dalam tanah relatif rendah, yaitu 200 untuk 2000 kg P/ha tanah di kedalaman 15 cm, P yang ditemukan di lapisan atas tanah memiliki kelarutan yang rendah atau benar-benar tidak dapat larut sehingga sebagian besar tidak tersedia untuk diserap oleh tanaman, sumber P yang berasal dari pupuk yang ditambahkan ke tanah, akan menyediakan unsur P untuk tanaman namun pada waktunya akan membentuk campuran yang benar-benar tidak dapat larut ( Foth, 1994). Pada awal penggenangan konsentrasi P dalam larutan tanah meningkat kemudian menurun untuk semua jenis tanah, tetapi nilai tertinggi dan waktu terjadinya bervariasi tergantung sifat tanah. Peningkatan ketersediaan P akibat penggenangan disebabkan oleh pelepasan P yang dihasilkan selama reduksi. Mekanismenya sebagai berikut : 1. P hanya dilepaskan apabila Ferrifosfat (Fe3+) tereduksi menjadi ferrofosfat (Fe2+) yang lebih mudah larut. Reduksi ferri oksida merupakan sumber yang dominan bagi pelepasan P selama penggenangan, walaupun sejumlah P yang dilepaskan akan diserap kembali. Pelepasan P yang berasal dari senyawa ferri terjadi setelah reduksi mangan oksida. 2. Pelepasan occluded P akibat reduksi ferri oksida yang menyelimuti P menjadi ferro oksida yang lebih larut selama penggenangan. Penyelimutan P oleh ferri oksida berada dalam liat dan zarah liat membentuk occluded P. 3. Adanya hidrolisis sejumlah fosfat terikat besi dan Al dalam tanah masam menyebabkan dibebaskannya P terjerap pada pH tanah yang lebih tinggi (Kyuma, 2004). Peningkatan pH tanah masam akibat penggenangan telah meningkatkan kelarutan Strengit dan Vaariscit dan selanjutnya terjadi peningkatan ketersediaan P. Sebaliknya ketika pH tanah alkalin rendah dengan adanya penggenangan, stabilitas mineral kalsium fosfat akan rendah, akibatnya senyawa Ca-P larut. 4. Asam organik yang dilepaskan selama dekomposisi anaerob dari bahan organik pada kondisi tanah tergenang dapat meningkatkan kelarutan dari senyawa Ca-P maupun Fe-P dan Al-P melalui proses khelasi ketiga kation tersebut (Ca, Fe dan Al). 5. Difusi yang lebih besar dari ion H2PO4- ke larutan tanah melalui pertukaran dengan anion organik (Prasetyo, dkk, 2004). Kalium Kalium dapat dipertukarkan terdapat pada muatan negatif liat tanah dan tapak pertukaran bahan organik. Besarnya kalium dapat ditukar dalam tanah biasanya berkisar antara 40-500 mg/kg tanah. Komponen K dapat tukar secara terus menerus tergantung pada pelepasan K terfiksasi dan pelapukan K seperti mika dan feldspar. Peningkatan K-dapat ditukar pada fase pertumbuhan generatif berkaitan dengan terjadinya mineralisasi dari bentuk-bentuk organik, kelarutan bentuk K tidak dapat ditukar dan hasil pencucian dari lapisan diatasnya. Prosesproses yang menurunkan K-dd yaitu serapan oleh tanaman, immobilisasi dalam bentuk tidak dapat ditukar dan terjadinya pencucian K (Wihardjaka, 2002). Untuk kepentingan pertumbuhan tanaman, kalium dalam tanah berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman digolongkan kedalam bentuk (1) kalium relatif tidak tersedia, (2) kalium lambat tersedia dan (3) kalium segera tersedia. Kalium tidak tersedia dan tidak dapat diserap tanaman meliputi kalium terfiksasi dan kalium dalam tanah mineral primer. Kalium tersedia meliputi kalium dapat dipertukarkan dan kalium larut (langsung dan mudah diserap tanaman). Diagram keseimbangan kalium dalam tanah disajikan pada gambar K-relatif tidak tersedia Terdapat dalam mineral primer (90-98 % dari total K ) K-lambat tersedia (1-10 % dari total K) K-segera tersedia (1-2 % dari total K) 90 % K-tidak dapat dipertukarkan 10 % K-dapat dipertukarkan K-larutan tanah Gambar 2. Diagram Keseimbangan K Tanah (Hakim, dkk, 1988). Secara umum dapat disimpulkan bahwa kalium memegang peranan penting dalam peristiwa-peristiwa fisiologis yaitu: (1) metabolisme karbohidrat, pembentukan, pemecahan dan translokasi zat pati, (2) metabolisme protein dan sintesis protein, (3) mengawasi dan mengatur aktivitas berbagai unsur mineral, (4) mengaktifkan berbagai enzim, (5) mempercepat pertumbuhan jaringan meristematik, (6) menetralisasi asam-asam organik bagi proses fisiologis, (7) membuka dan menutup stomata dan hal-hal yang berkaitan dengan air (Damanik, dkk, 2010). Nyakpa dkk, (1988) menyatakan bahwa didalam tanah dikenal empat macam bentuk kalium, yaitu (1) kalium mineral primer, (2) kalium terfiksasi mineral sekunder, (3) kalium dipertukarkan dan (4) kalium dalam larutan. Tetapi untuk kepentingan pertumbuhan tanaman dapat digolongkan dalam (1) kalium relatif tidak tersedia, (2) kalium lambat tersedia dan (3) kalium segera tersedia. Ketersediaan kalium di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (1) tipe koloid tanah, (2) temperatur, (3) keadaan basah dan kering, (4) pH tanah dan (5) pelapukan tanah. Kalium tidak dapat ditukar terdapat pada kisi-kisi lembar liat yang tidak segera digantikan oleh kation-kation dalam larutan tanah. Pemberian K selalu meningkatkan cadangan K tersedia dalam bentuk K tidak dapat ditukar, tetapi tidak selalu memberikan kenaikan terhadap ketersediaan K (K dapat ditukar dan K dalam larutan) karena tergantung pada daya sangga K dalam tanah. Kalium terfiksasi merupakan K yang menempati posisi internal dari kisi-kisi dalam mineral liat tipe 2:1 seperti illit dan vermikulit pada peristiwa mengembang dan mengerut (Nyakpa, dkk, 1988). Kondisi tanah tergenang menyebabkan Fe2+, Mn2+ dan kation tereduksi lainnya meningkat di larutan tanah, tingginya ketersediaan Fe2+ dapat menggantikan K-dd pada tapak pertukaran dan melepaskannya kelarutan tanah. Adapun bahan organik yang terdekomposisi menghasilkan asam-asam organik yang akan berikatan dengan Fe2+ dan kation tereduksi lain membentuk khelat dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman sehingga mengurangi pertukaran dengan Kdd di kompleks pertukaran dan mengurangi pelepasan K-dd menjadi K larutan ( Wihardjaka, 2002). Jerami Padi Bahan organik merupakan salah satu penyusun tanah yang berperan penting dalam merekatkan butiran tanah primer menjadi butiran sekunder untuk membentuk agregat tanah yang mantap. Kondisi seperti ini besar pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi, dan suhu tanah. Bahan organik dengan C/N tinggi, seperti jerami dan sekam berpengaruh besar terhadap perbaikan sifat fisika tanah. Bahan organik memiliki peran penting seperti: (1) penyedia hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan hara mikro (Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe), meskipun jumlahnya relatif sedikit; (2) meningkatkan kapasitas tukar kation; dan (3) dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn (Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Pengembalian jerami setiap musim dapat mendistribusi pupuk K, memperbaiki lingkungan tumbuh tanaman termaksuk struktur tanah, memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan efisiensi serapan hara dan pupuk. Keadaan tersebut memungkinkan karena penambahan jerami pada tanah anaerob akan meningkatkan produksi CH4, kandungan C-organik, memperlambat pola pelepasan N meningkatkan N-total tanah (Abdulrachman dan Supriadi, 2000). Secara tidak langsung jerami juga mengandung senyawa N dan C yang berfungsi sebagai substrat metabolisme mikriba tanah, termaksuk gula, pati, selulosa, hemiselulosa, pectin, lemak dan protein. Senyawa tersebut menduduki 40 % (sebagai C) berat kering jerami (Sutanto, 2002). Penambahan jerami akan menambah kandungan bahan organik tanah. Pemakaian jerami yang konsisten dalam jangka panjang akan dapat menaikkan kandungan bahan organik tanah dan mengembalikan kesuburan tanah. Bahan organik tanah menjadi salah satu indikator kesehatan tanah karena memiliki beberapa peranan kunci di tanah. Fungsi jerami kompos adalah: menyediakan makanan dan tempat hidup (habitat) untuk organisme (termasuk mikroba) tanah, menyediakan energi untuk proses-proses biologi tanah, memberikan kontribusi pada daya pulih (resiliansi) tanah, merupakan ukuran kapasitas retensi hara tanah penting untuk daya pulih tanah akibat perubahan pH tanah, menyimpan cadangan hara penting, khususnya N dan K (Munif, 2009). Sumber dan susunan unsur hara bahan organik dari jerami dapat dilihat Tabel 1. Kadar Unsur Hara dalam Jerami. Unsur Hara Jerami ............................%............................ N 0.64 P 0.05 K 2.03 Ca 0.29 Mg 0.14 Zn 0.02 Si 8.8 Sumber : Dinas Pertanian (2008) dalam Perdana (2008) Sumber pupuk organik yang bersal dari dari jerami padi sangat baik untuk dikelola dan dimanfaatkan di lahan sawah. Apabila dihitung dalam 1.5 ton jerami padi dapat mensubsidi 20 kg Urea, 5.5 kg SP-36, 30 kg Ca(NO3)2 dan 7.4 kg kiserit (Dinas Pertanian, 2008). Metode SRI SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%. Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI. SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar. Perbedaan sistem konvensional dan sistem SRI dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan Sistem K onvensional dan Sistem SRI Komponen Konvensional Metode SRI 1. 2. 3. 4. kebutuhan benih pengujian benih umur di persemaian Pengolahan tanah 30-40 kg/ha tidak dilakukan 20-30 HSS 2-3 kali (Struktur lumpur) 5-7 Kg/ha dilakukan pengujian 7-10 HSS 3 kali (struktur lumpur dan rata) 5. jumlah tanaman perlubang 6. posisi akar waktu tanam 7. pengairan rata-rata 5 pohon 1 pohon/lubang tidak teratur 8. pemupukan mengutamakan pupuk 9. penyiangan Kimia 10. rendemen diarahkan kepada pemberantasan gulma 5060 % posisi akar horozontal (L) disesuaikan dengan kebutuhan hanya dengan pupuk organik diarahkan kepada pengelolaan perakaran 60-70 % terus digenangi ( Mutakin, 2005). Pada metode SRI merupakan metode yang dapat menghasilan produksi yang lebih banyak dibandingakan dengan metode konvensional. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode varietas padi lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI. Metode ini juga bisa diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani. Praktek SRI memberi dampak pada struktur tanaman padi yang berbeda dibandingkan praktek tradisional. Dalam metode SRI, tanaman padi memiliki lebih banyak batang, perkembangan akar lebih besar, dan lebih banyak bulir pada malai. Untuk menghasilkan batang yang kokoh, diperlukan akar yang dapat berkembang bebas untuk mendukung pertumbuhan batang di atas tanah. Untuk ini akar membutuhkan kondisi tanah, air, nutrisi, temperatur dan ruang tumbuh yang optimal (Berkelaar, 2002).