BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tidaklah dilihat

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tradisi tidaklah dilihat sebagai barang antik yang harus diawetkan, yang
beku, berasal dari masa lalu, dan tidak pernah akan dan boleh berubah yang
kemudian diagungkan dan diabadikan. Justru sudut pandang seperti ini akan
mengangkat tradisi, khususnya tradisi lisan seperti yang telah diungkapkan dalam
berbagai penelitian, dalam sejarah kegemilangan masa lalunya saja tanpa
mengaktualkannya dalam situasi masa kini (Pedoman KTL, 2009: 2; Pudentia
MPSS, 2013: 7). Masyarakat yang kebudayaannya diwarnai oleh tradisi,
cenderung untuk menengok ke masa lampau apabila harus memecahkan suatu
masalah yang terjadi di dalam suatu lingkungan masyarakat. Tradisi yang ada
selalu mengalami transformasi akibat penyesuaiannya dengan konteks zaman.
Kehidupan sebuah tradisi pada hakikatnya berada pada proses transformasi itu
karena sebuah tradisi tidak akan hidup kalau tidak mengalami transformasi.
Tradisi di Indonesia lebih umum dikenal adat. Tradisi menjadi pedoman di
dalam mengatur tata hidupnya dalam keluarga, di dalam masyarakat, dan
hubungannya dengan pemerintah dan orang-orang lain dari luar masyarakat. Adat
itu menjadi bertambah kuat karena menurut pendapat masyarakat mengandung
restu dari para leluhurnya karena dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh semua
anggota masyarakat (Soemardjan, 1993: 104). Oleh karena itu, tidak
mengherankan kalau adat itu sukar sekali diubah atau diganti dengan unsur-unsur
2
yang lain. Tradisi dan budaya yang mengalami transformasi terdapat inovasi
akibat persinggungan sebuah tradisi dengan “modernisasi” atau akibat
penyesuaiannya dengan konteks zaman.
Tradisi merupakan adat atau kebiasaan (custom or habbit) sebagai penanda
identitas, baik secara pribadi maupun kolektif masyarakat pendukungnya.
Identitas
adalah
penciptaan
konstansi
dalam
perjalanan
waktu,
yang
menghubungkan masa lalu dengan masa depan masyarakat pewarisnya dengan
realitas identitas sosial yang lebih luas (Giddens, 2003: 48--50). Melalui nilai-nilai
tradisi ini manusia belajar mengadaptasikan dirinya dengan keadaan lingkungan
agar tercipta keharmonisan dan keselarasan antara manusia, lingkungan, dan Sang
Pencipta. Hubungan manusia dengan tradisi merupakan suatu kesatuan yang tidak
bisa terpisahkan karena di dalamnya manusia mengalami proses pembelajaran.
Dalam catatan sejarah Indonesia, salah satu tanda masuknya zaman modern
adalah ditemukannya tulisan. Padahal, jauh sebelum adanya tulisan manusia
sudah mempunyai kebudayaan, yakni tradisi lisan. Sebelum adanya tulisan
manusia sudah berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya, baik secara
lisan maupun kata-kata. Sangat mudah untuk menyadari bahwa kita tengah hidup
pada masa perubahan sosial yang berlangsung cepat dan radikal. Hal ini seolah
menegaskan bahwa suatu keadaan yang lama tergantikan oleh keadaan yang baru.
Keadaan yang lama di sini adalah tradisi lisan yang kemudian bergeser menjadi
tradisi yang baru, yakni tradisi yang lebih modern dan kompleks, yakni tulisan.
Banyak tradisi lama yang ada di lingkungan masyarakat kini kurang diperhatikan
lagi, mengingat adanya teknologi dan kemajuan zaman (Suastika, 2013: 33).
3
Berdasarkan pertanyaan Rymer sebenarnya apa yang hilang ketika “suarasuara” itu senyap? Ketika budaya lisan mulai terpinggirkan atau tertindih budaya
tulis. Tulisan dengan kemajuan (cetak dan elektronik) dan kemampuan yang
menakjubkan telah mengubah struktur kesadaran manusia. Ada beberapa ciri
penting tradisi lisan yang kian hari tersisih oleh tradisi tulis. Pertama, kedekatan
gagasan dan ucapan dalam kegiatan sehari-hari tanpa adanya jarak dari realitas
kekinian. Kedua, kelisanan tidak mengenal pembakuan makna. Kata-kata selalu
mendapatkan maknanya dari habitat nyata yang mencakup gerak tubuh, infleksi
vokal, ekspresi wajah, dan seluruh latar kehidupan manusia tempat kata itu
berucap (Ong, 2013: xvi).
Tradisi lisan memegang peranan penting sebelum adanya tulisan. Tradisi
lisan merupakan salah satu budaya lokal yang memiliki hubungan batin dengan
pewarisnya sehingga dapat menjadi perekat dan adanya saling menghargai dalam
masyarakat. Melalui nilai-nilai tradisi manusia belajar dan mengadaptasikan
dirinya dengan keadaan lingkungan supaya tetap dapat menjaga keharmonisan
dalam lingkup sosial dan hubungannya dengan Tuhan. Hal-hal yang terkait
dengan tradisi lisan dapat diaktualisasikan ke dalam sastra dan seni pertunjukan,
religi dan upacara, pengetahuan tradisional serta sistem kognitif lainnya, manusia
dan lingkungannya, dan sebagainya (Pedoman KTL, 2009: 15--27).
Modernisasi selanjutnya banyak merombak tatanan sistem sosio budaya,
pandangan, dan ekonomi masyarakat tradisional. Sehubungan dengan itu, pola
gaya hidup serta tingkah laku masyarakat hampir sama (identik) dengan gaya
hidup masyarakat kapitalis, yang profit oriented dan mengagungkan budaya barat.
4
Parahnya percampuran dua model kebudayaan ini sedikit demi sedikit, tetapi pasti
menggeser tata letak budaya lokal ke arah pinggir dan subordinat. Banyak tradisi
lama yang ada di lingkungan masyarakat, kini kurang diperhatikan lagi. Salah satu
di antaranya adalah tradisi kaombo (pingitan) dalam masyarakat Buton di
Kecamatan Mawasangka.
Rustam (2009: 104) menjelaskan bahwa kaombo merupakan suatu prosesi
upacara peralihan status perempuan dari remaja (kabuabua) menjadi dewasa
(kalambe). Ritual ini dilakukan khusus untuk anak perempuan berusia 10--14
tahun. Namun, kini ritual kaombo dilakukan ketika perempuan akan menikah.
Ritual kaombo pada masyarakat Buton menunjuk pada pengertian larangan atau
dilarang. Maksud larangan atau dilarang dalam ritual ini adalah ketika perempuan
memasuki usia dewasa banyak larangan atau aturan yang mengikat dalam
kehidupan sehari-hari yakni dalam pergaulan dan bertingkah laku.
Tradisi ritual kaombo yang paling nyata dalam masyarakat Buton
merupakan
tradisi yang mengandung nilai-nilai yang berpengaruh langsung
terhadap kehidupan anak perempuan yang memasuki usia dewasa. Salah satu di
antaranya adalah nilai-nilai moral yang termasuk dalam ritual kaombo ini, yakni
selama beberapa hari gadis-gadis remaja dikurung dalam rumah kemudian
diberikan nasihat-nasihat dalam kehidupan bagaimana layaknya seorang wanita
dalam berperilaku dan bergaul dengan lawan jenis. Suatu masyarakat tentunya
mempunyai tatanan nilai-nilai tersendiri dalam suatu kelompok masyarakat seperti
halnya masyarakat
Buton di Kecamatan Mawasangka seluruhnya beragama
Islam. Dalam ajaran Agama Islam melakukan hubungan seksual diluar pernikahan
5
merupakan perbuatan zinah atau dilarang. Dengan dilaksanakannnya ritual
kaombo, diharapkan anak perempuan yang akan beranjak dewasa lebih menjaga
pergaulan, apalagi ketika mereka sudah ada ketertarikan dengan laki-laki.
Sibarani (2012: 103) menjelaskan bahwa kebudayaan lokal adalah
kebudayaan komunitas pada suatu tempat tertentu yang didasarkan ada tidaknya
daerah (lokasi) yang mendukung kebudayaan itu. Kebudayaan yang ada tersebut
merupakan kebiasaan yang secara turun-temurun diwariskan sebagai pedoman
hidup. Tampak jelas bahwa kebudayaan sudah tidak mampu lagi meng-counter
dengan munculnya kebiasaan lain di luar kebiasaan yang ada, akhirnya ada yang
hilang tanpa proses pewarisan. Ritual kaombo merupakan salah satu tradisi lisan
yang mencakup kebudayaan lokal yang ada di masyarakat Buton Provinsi
Sulawesi Tenggara. Ketidakmampuan ritual kaombo
dalam meng-counter
kebudayaan yang berasal dari luar, seakan tradisi ini mulai terkikis karena
pewarisan yang tidak berjalan alamiah atau sebagaimana mestinya.
Kaombo yang merupakan tradisi lokal masyarakat Buton tentunya memiliki
nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya. Karakter yang dimaksud di sini
adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seorang anak perempuan.
Kepribadian seseorang terbentuk dari hasil internalisasi kebajikan yang diyakini
dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang berpikir, bersikap, dan
bertindak, dapat dipercaya atau hormat kepada orang lain. Nilai-nilai moral yang
terkandung salah satu di antaranya adalah nilai moral dalam ritual kaombo ini
sangat kental dengan agama yang dianut oleh masyarakat Buton yakni agama
6
Islam. Tradisi ini memberikan porsi yang lebih terhadap kedudukan perempuan di
Buton.
Perempuan merupakan calon ibu bagi anak-anaknya kelak ketika sudah
menikah. Sehubungan dengan itu, perlu diadakan ritual kaombo ini agar tetap
dipertahankan dalam masyarakat Buton. Hal ini penting karena dalam ritual ini
diadakan pembinaan mental bagi seorang perempuan untuk bekal ketika berumah
tangga (menikah) nantinya. Dalam konteks pembinaan mental, Giddens (2003:
48--50) menjelaskan bahwa tradisi merupakan adat atau kebiasaan (custom or
habbit), yang merupakan penanda identitas, baik secara pribadi maupun kolektif
masyarakat pendukungnya. Identitas adalah penciptaan konstansi dalam
perjalanan waktu, yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan
masyarakat pewarisnya dengan realitas identitas sosial yang lebih luas, dalam hal
ini disebut dengan perhatian psikologis. Sebagaimana tradisi dulu memegang
peranan penting dalam mengatur manusia terhadap lingkungannya.
Menurut Arkinson (dalam Dove, 1985: xliii), dalam menanggapi tekanan,
baik dari dalam maupun luar, masyarakat tradisional tidak statis, tetapi melakukan
suatu penyesuaian dan perubahan terus-menerus. Kontak antarbudaya tidak
terhindarkan lagi. Hal ini berdampak pada cara berpikir, bersikap, dan berperilaku
masyarakat terlebih generasi muda. Masyarakat Buton yang dulunya memegang
tradisi ritual kaombo sebagai tradisi yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
kini perlahan mulai terabaikan. Sairin (2002: 50) menjelaskan bahwa kehadiran
teknologi, akibat globalisasi terjadi pergulatan dalam sistem nilai masyarakat yang
pada akhirnya menyeret terjadinya krisis nilai-nilai budaya lokal seperti yang
7
dirasakan masyarakat pada saat ini. Demikian pula dengan nilai-nilai tradisional
dalam sebuah ritual tradisi sebagai warisan budaya tidak luput dari modernisasi.
Kondisi masyarakat Buton di Sulawesi Tenggara dalam pelaksanaan ritual
kaombo telah mengalami ketepinggiran dari segi bentuk pelaksanaan dan
pemahaman makna. Ritual ini sudah semakin jarang ditemukan pelaksanaannya.
Ini diakibatkan oleh kurangnya pemahaman makna dan nilai ritual tradisi pada
generasi muda terhadap ritual kaombo. Padahal secara substansial kearifan lokal
tersebut mengandung nilai dan norma budaya yang berlaku dalam menata
kehidupan masyarakat. Bahkan, nilai dan norma tersebut yang diyakini
kebenarannya menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat
setempat.
Ritual pingitan yang dilakukan oleh masyarakat (khususnya Jawa)
kebanyakan biasa dilakukan ketika seorang wanita akan melangsungkan
pernikahan. Biasanya calon pengantin wanita dipingit dalam rumah selama
beberapa hari dan tidak boleh bertemu dengan calon pengantin laki-laki sebelum
hari pernikahan tiba. Menarik, bahwa pingitan (kaombo) yang terjadi di
masyarakat Buton justru dilakukan jauh sebelum seorang wanita akan menikah.
Ritual kaombo ditujukan kepada anak-anak perempuan yang baru menanjak
(dalam bahasa Buton disebut kabua-bua) menuju perempuan dewasa (kalambe).
Hal ini ditandai dengan menstruasi pada anak perempuan yang menandakan telah
memasuki usia aqil baligh. Pada usia inilah anak-anak perempuan telah memiliki
rasa ketertarikan terhadap lawan jenis dan proses pembentukan karakter sebagai
perempuan dewasa.
8
Rustam (2009: 104--105) menjelaskan bahwa ritual kaombo dimaksudkan
sebagai salah satu proses pembinaan mental dan fisik yang dilakukan oleh bhisa
(dukun). Pembinaan mental terhadap anak perempuan berupa pemberian petuah
yang berisi nasihat-nasihat, etika, dan akhlak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam
dalam pergaulan sehari-hari. Dalam ritual ini diberikan pemahaman tentang status
sebagai perempuan dewasa yang sebaiknya dalam bersikap dan bertindak dalam
keluarga, bahkan dalam lingkungan masyarakat. Pada usia baligh (memasuki usia
dewasa) seperti inilah anak-anak perempuan masih belum bisa mengontrol emosi
sehingga cenderung labil. Contoh yang banyak terjadi di masyarakat saat ini
seperti hamil di luar nikah. Oleh sebab itulah, dengan adanya kaombo ini, seorang
perempuan tahu batas-batas dirinya dalam bergaul. Sehingga nantinya ketika
menikah dan menjadi seorang ibu bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Realitas dalam masyarakat Buton dewasa ini menunjukkan bahwa para ahli
waris yang menguasai tradisi ritual kaombo yang sarat akan makna semakin
terpinggirkan sehingga diasumsikan terjadi kemunduran pengetahuan tentang
ritual kaombo. Sama halnya yang terdapat dalam pedoman KTL (2009: 2) para
penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini terjadi akibat
proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan,
sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada
kenyataan tersebut, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan
sebagai sumber ilmu pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang
adalah perubahan sistem pewarisannya.
9
Selain pengaruh globalisasi, ajaran agama Islam yang diyakini masyarakat
setempat ikut memengaruhi keberadaan ritual-ritual tradisi yang dimililki
masyarakat. Seluruh masyarakat Buton sudah beragama Islam, tetapi masih
menjalankan tradisi-tradisi leluhur. Artinya, tidak bisa dimungkiri masuknya
kelompok Islam reformis turut memengaruhi keberadaan ritual ini. Islam yang
reformis tidak melakukan ritual-ritual yang bersumber dari tradisi atau leluhur.
Mereka hanya melakukan ritual yang bersumber dari Alqur’an dan alhadis yang
pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Ajaran
agama yang dianut kelompok masyarakat sering dijumpai bertolak belakang
dengan ritual tradisi sehingga menyebabkan orang per orang atau kelompok
tertentu menentang ritual-ritual tradisi masyarakat lokal yang dianggap mistik dan
syirik. Kondisi ini mempercepat hilangnya tradisi-tradisi lisan di Nusantara.
Konsep pembangunan dan modernisasi serta aturan-aturan agama yang
berimplikasi kepada kehidupan masyarakat tradisional menyebabkan kaburnya
nilai-nilai tradisional masyarakat. Hal ini dipertegas oleh Sibarani (2012: 131)
bahwa dalam kenyataannya kini, implementasi kearifan lokal itu semakin
menurun. Di samping itu, minimnya pengetahuan mengenai pentingnya nilai-nilai
tradisi merupakan faktor utama mengapa tradisi budaya, nilai dan norma budaya,
dan kearifan lokal tidak mendapat perhatian dalam pembagunan. Masih ada orang
yang menganggap bahwa tradisi tidak relevan dengan kehidupan modern ini.
Berdasarkan fenomena yang ada pada latar belakang penelitian ini, selanjutnya
setelah menggali informasi di masyarakat dan menghimpun data penelitian
budaya masyarakat Buton, yaitu (1) peneliti yang mendeskripsikan ritual kaombo
10
secara khusus, sistematis, dan mendalam yang dapat dijadikan informasi ilmiah,
baik sebagai referensi keilmuan maupun sebagai bahan pembelajaran generasi
muda berkaitan dengan tradisi lokal; (2) pentingnya penelitian ini dilakukan
dengan alasan-alasan yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal, nilai moral, dan
makna dalam ritual kaombo. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
suatu penelitian dengan topik “Keterpinggiran Ritual Kaombo pada Masyarakat
Buton Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan
yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Rumusan masalah tersebut
adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah bentuk keterpinggiran ritual kaombo pada masyarakat
Buton, Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara?
2.
Faktor-faktor apakah yang menyebabkan keterpinggiran ritual kaombo
pada masyarakat Buton,Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi
Tenggara?
3.
Bagaimanakah dampak dan makna keterpinggiran ritual kaombo pada
masyarakat
Buton,
Kecamatan
Mawasangka,
Provinsi
Sulawesi
Tenggara?
4.
Bagaimanakah strategi pewarisan ritual kaombo pada masyarakat Buton,
Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara?
11
1.3 Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan yang mendasar dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini
terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami,
dan mendeskripsikan proses lokal tradisi ritual kaombo pada masyarakat Buton di
Kecamatan Mawasangka. Tradisi ini merupakan modal budaya yang dimiliki dan
diturunkan secara lisan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka secara
khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1.
Mengetahui bentuk keterpinggiran ritual kaombo pada masyarakat Buton,
Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
2.
Memahami faktor-faktor yang menyebabkan keterpinggiran ritual kaombo
pada masyarakat Buton, Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi
Tenggara.
3.
Menginterpretasi dampak dan makna keterpinggiran ritual kaombo pada
masyarakat Buton, Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
4.
Mendapatkan solusi strategi pewarisan ritual kaombo pada masyarakat
Buton, Kecamatan Mawasangka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
12
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dibedakan atas dua, yakni
manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan dan bermanfaat sebagai sumbangan informasi ilmiah, terutama yang
berkaitan dengan kebudayaan masyarakat lokal. Selain itu, hasil penelitian itu
dapat bermanfaat sebagai pengembangan cakrawala keilmuan dari kajian budaya,
khususnya dalam pengkajian tradisi lisan yang ada di Nusantara yang kini mulai
terlupakan oleh masyarakat.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi (1)
pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan yang
tepat dalam pelestarian budaya-budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat
setempat, (2) pihak-pihak yang peduli dengan pelestarian budaya lokal, terutama
yang berkaitan dengan ritual yang dimiliki oleh masyarakat yang kian hari kian
punah, (3) temuan penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan
menambah pengetahuan untuk memaknai ritual tradisi yang merupakan bagian
dari masa lalu, (4) menambah wawasan masyarakat, khususnya masyarakat Buton
tentang pelestraian budaya leluhur sebagai identitas dan jati diri etnis secara
khusus, dan (5) sebagai langkah inventarisasi tradisi lisan yang kian hari
keberadaannya semakin punah pada masyarakat pendukungnya.
Download