bab ii tinjauan pustaka - Perpustakaan Universitas Mercu Buana

advertisement
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Film merupakan sebuah karya berupa audio-visual yang dapat dinikmati oleh
segala kalangan masyarakat. Film adalah salah satu bentuk karya seni yang menjadi
fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai objek seni abad ini, film dalam proses
berkembang menjadi salah satu bagian dari kehidupan sosial, yang tentunya memiliki
pengaruh yang cukup signifikan pada manusia sebagai penonton. Film berperan
sebagai pembentuk budaya massa (McQuail, 1987:13). Gambar bergerak atau film
adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Lebih dari
ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video laser setiap
minggunya. Di Amerika Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual
setiap tahunnya (Agee, et. al. 2001: 364).5
Film Amerika diproduksi di Hollywood. Film yang dibuat di sini membanjiri
pasar global dan memengaruhi sikap, perilaku dan harapan orang-orang di belahan
dunia. Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi.
Menonton film ke bioskop ini menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada
5
Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekamata Media,
2004, Hal 134.
11
12
tahun 1920-an sampai 1950-an.6 Televisi sering menayangkan film sebagai salah satu
jenis program yang masuk dalam kelompok atau kategori drama. Adapun yang
dimaksud film di sini adalah film layar lebar yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan
film. Biasanya film baru bisa ditayangkan di televisi setelah terlebih dahulu
dipertunjukan di bioskop atau bahkan setelah film itu didistribusikan atau dipasarkan
dalam bentuk VCD atau DVD.7
Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam
sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature, lahir
pula bintang film serta pusat perfilman yangkita kenal sebagai Hollywood. Periode
ini juga disebut sebagai the age of Griffith karena David Wark Griffith-lah yang telah
membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The Adventures of
Dolly (1908) dan puncaknya film The Birith of a Nation (1915) serta film Intolerence
(1916). Griffith mempelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi cerita
yang makin baik, dan yang paling utama mengangkat film sebagai media yang
memiliki karakteristik unik, dengan gerakan-gerakan kamera yang dinamis, sudut
pengambilan gambar yang baik, dan teknik editing yang baik (Hiebert, Ungurait,
Bohn, pada Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999). 8
6
Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekamata Media,
2004, Hal 134.
7
Morissan, Manajemen Media Penyiaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, Hal 214.
8
Elvinaro Ardianto, OpCit Hal 134-135.
13
Pada periode ini pula perlu dicatat nama Mack Sennett dengan Keystone
Company-nya yang telah membuat film komedi bisu dengan bintang legendaris
Charlie Chaplin. Apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun
1927 di Broadway Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun
belum sempurna (Effendy, pada Komala, dalam Karlinah. 1999).9
Sebagaimana media massa umumnya film merupakan cermin atau jendela
masyarakat di mana media massa itu berada. Nilai, norma, dan gaya hidup yang
berlaku pada masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Film juga
berkuasa menetapkan nilai-nilai budaya yang “penting” dan perlu dianut oleh
masyarakat, bahkan nilai-nilai yang merusak sekalipun.10
Film juga merupakan sebuah karya seni pada abad 20 yang dapat menghibur,
mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pikiran, dan memberikan dorongan
terhadap penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton ini lebih
jauh, misalnya sebuah film dapat menjadi media untuk menghibur masyarakat dalam
bentuk komedi, atau bisa juga untuk mendidik masyarakat melalui film dokumenter,
dan lain sebagainya (Irawanto, 1999 : 45). Dalam banyak penelitian tentang dampak
film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami
secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat
berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya.
9
Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekamata Media,
2004, Hal 135.
10
Deddy Mulyana, Komunikasi Massa: Kontroversi, Teori dan Aplikasi, Bandung: Widya Padjajaran,
2008, Hal 89.
14
Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film
adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya
ke atas layar (Irwanto, 1999: 13).11
Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan
orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang diproduksi secara
kreatif dan memenuhi imaginasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika
(keindahan) yang sempurna. Meski pun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni,
industri film adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi
mesin uang yang seringkali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri
(Dominick. 2000: 306).12
2.2 Konstruksi Realitas
Istilah konstuksi sosial atas realitas (social construction of relity) menjadi
terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman (dalam
Burhan Bungin: 2008). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan
11
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Hal 127.
Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekamata Media,
2004, Hal 134.
12
15
interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus menerus realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.13
Burger dan Luckmaan (dalam Alex Sobur: 2004) melalui penjelasan sosial
dengan
memisahkan
pemahaman
“kenyataan”
dan
“pengetahuan”.
Mereka
mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang
diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita
sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitasrelitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.14 Menurut Alex
Sobur, realitas merupakan pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan
berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran, umum, wacana publik, sebagai
hasil dari konstruksi realitas.15
Menurut Berger (dalam Eriyanto: 2004) 16:
“Realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga yang diturunkan
oleh Tuhan, tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan
pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda atau plural. Setiap
orang bisa mempunyai konsruksi yang berbeda-beda atas atas suatu
realitas”.
13
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta: Kencana, 2008, Hal 15.
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan
Analisis Framing, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 91.
15
Ibid, Hal 186.
16
Eriyanto, Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LkiS, 2004, Hal
53.
14
16
Realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan
berkambang di masyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik sebagai
hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksi melalui tiga proses stimulan
(moment), yakni17:
1. Ekternalisasi, yaitu ada pencurahan atau ekspresi diri manusia di
dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun dalam kegiatan fisik
yang ditandai oleh hubungan antar manusia dengan lingkungan dan
dengan dirinya sendiri. Melalui eksternalisasi manusia menemukan
dirinya dengan cara membangun dan membentuk dunia sekelilingnya.
2. Objektivasi, yaitu suatu proses di mana obyek yang memiliki makna
umum sebelum seorang individu lahir di dunia. Hasil obyektivasi ini
kemudian dikenal
dengan nama pengetahuan. Sebagian dari
pengetahuan ini dianggap sesuai dengan realitas yang ada, sebagian
lagi hanya dianggap sesuai dengan realitas tertentu saja. Melalui
proses objektivasi, masyarakat menjadi sebuah realitas yang alami dan
diterima apa adanya. Objektivasi merupakan hasil yang telah dicapai,
baik mental maupun fisik dari kegiaan eksternalisasi manusia.
17
Burhan Bungin, Imagi Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam
Masyarakat, Jakarta: Jendela, 2001, Hal 15.
17
3. Internalisasi, yaitu proses yang mana individu terlahir tidak langsung
menjadi anggota masyarakat. Hanya saja ia dilahirkan dengan
kecenderungan ke arah kemasyarakatan. Melalui internalisasi itulah
manusia menjadi produk masyarakat.
Realitas sosial menurut Max Waber (dalam Burhan Bungin: 2008) adalah
“melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karena
itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi.”18
2.3 Psikopat
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan perilaku manusia yang
aneh-aneh, baik melihatnya dengan mata kepala sendiri maupun dari berita di media
massa seperti surat kabar dan televisi. Misalnya seseorang yang tega membunuh
temannya secara sadis karena masalah sepele, serta berbagai kasus kriminalitas
lainnya. Bisa jadi perilaku kejahatan tersebut dilakukan oleh seorang psikopat.
2.3.1 Definisi Psikopat
Singgih Dirgagunarsa (dalam Kuntjojo. 2009) menyatakan bahwa
psikopat merupakan hambatan kejiwaan yang menyebabkan penderita mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap norma-norma sosial yang ada di
18
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta: Kencana, 2008, Hal 12.
18
lingkungannya. Penderita psikopat memperlihatkan sikap egosentris yang besar,
seolah-olah patokan untuk semua perbuatan dirinya sendiri saja. Menurut Kartini
Kartono (dalam Kuntjojo. 2009), Psikopat adalah bentuk kekalutan mental yang
ditandai dengan tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi,
orangnya tidak pernah bisa bertanggung jawab secara moral selalu konflik dengan
norma sosial dan hukum yang diciptakan oleh angan-angannya sendiri. 19
Selanjutnya Kartini Kartono (dalam Kuntjojo. 2009) menyebutkan gejalagejala psikopat antara lain sebagai berikut20:
1. Tingkah laku dan realasi sosial penderita selalu asosial, eksentrik dan kronis
patologis, tidak memiliki kesadaran sosial dan inteligensi sosial.
2. Sikap penderita psikopat selalu tidak menyenangkan orang lain.
3. Penderita psikopat cenderung bersikap aneh, sering berbuat kasar bahkan
ganas terhadap siapapun.
4. Penderita psikopat memiliki kepribadian yang labil dan emosi yang tidak
matang.
Bersadarkan pendapat yang dikemukakan oleh Singgih Dirgagunarsa dan
Kartini Kartono tersebut dapat disimpulkan pengertian mengenai psikopat sebagai
berikut:21
19
Kuntjojo, E-book: Psikologi Abnormal, Universitas Nusantara PGRI Kediri, 2009, Hal 32.
Ibid.
21
Ibid, Hal 32-33.
20
19
1. Bahwa psikopat merupakan kelainan atau gangguan jiwa dengan
2. ciri utamanya ketidak mampuan penderita dalam menyesuaikan
3. diri dengan norma yang berlaku di lingkungan sosialnya.
4. Bahwa penderita psikopat tidak memiliki tanggung jawab moral
5. dan sosial.
6. Bahwa perbuatan penderita psikopat dilakukan dengan acuan
7. Egonya.
8. Bahwa penderita psikopat memiliki kepribadian yang labil dan
9. emosi yang tidak matang.
Psikopat disebut juga pribadi sosiopatik atau pribadi antisosial atau
pribadi antisosial/asosial/dissosial, yang merupakan perilaku psikopatologis
dengan ditandai ketidakmampuan menghayati nilai-nilai antarpribadi, sosial dan
moral. Defisiensi moral merupakan perilaku yang selalu melakukan kejahatan
atau kriminalitas, dan perilakunya antisosial/asosial, tetapi tidak mengalami
gangguan intelektual. Psikopat atau psikopati disebut juga sosiopatik karena dari
perbuatannya masyarakat menderita dan dirugikan. Penderita psikopat pada
umumnya tidak menyadari bahwa dirinya ada kelainan, dan tidak merasakan
sendiri penyakitnya. Penderita psikopat seolah-olah tidak memiliki hati nurani
dan suka berbuat seenaknya tanpa memedulikan kepentingan orang lain.22
22
Sunaryo, Psikologi Untuk Keperawatan, Jakarta: Buku Kedokteran, 2004, Hal 231.
20
Sifat
utama
kepribadian
psikopat
mencakup
kefasihan
dalam
berkomunikasi dan penampilan luar yang menarik, rasa penghargaan diri yang
sangat besar, kecenderungan menyampaikan kebohongan, kurang empati terhadap
orang lain, tidak ada penyesalan, dan keinginan untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya. Sifat dari gaya hidup antisosial meliputi impulsif, suatu sifat yang
membawa kepada gaya hidup yang tidak menentu, tidak memiliki tujuan jangka
panjang, dan selalu membutuhkan rangsangan (dalam Hare&Neumann, 2005).23
Psikopat cenderung mengganggu bahkan membahayakan orang-orang
disekitarnya. Uniknya kebanyakan psikopat tidak menyadari bahwa ia
menyimpang. Penderita psikopat sering dikaitkan dengan berbagai kasus
kriminalitas seperti pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Tidak jarang aksi
tersebut dilakukan secara sadis, seperti pembunuhan beruntun. Seperti halnya
Dennis Lynn Rader pembunuh beruntun asal Amerika Serikat yang telah
membunuh 10 orang di kota Sedgwick antara 1974 hingga 1991. Di mana setelah
melakukan pembunuhan ia mengirimkan surat ke koran maupun polisi tentang
detail pembunuhan yang ia lakukan. Di mana ia diduga penderita psikopat.24
23
Richard P. Halgin, dkk, Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada Gangguang Psikologis, Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika, 2011, Hal 85.
24
Agustinus Sipayung, Hati-hati Mengatakan Anda Tidak Sakit Jiwa, Jakarta: Pt Alex Media
Komputindo, 2010, Hal 91.
21
2.3.2 Psikopat Sebagai Psikologi Abnormal
Psikologi abnormal kadang-kadang disebut juga psikopatologi. Dalam
bahasa Inggris dinyatakan dengan istilah Abnormal Psychology. Menurut Kartini
Kartono (dalam Kuntjojo. 2009), psikologi abnormal adalah salah satu cabang
psikologi yang menyelidiki segala bentuk gangguan mental dan abnormalitas
jiwa. Singgih Dirgagunarsa (dalam Kuntjojo. 2009) mendefinisikan psikologi
abnormal atau psikopatologi sebagai lapangan psikologi yang berhubungan
dengan kelainan atau hambatan kepribadian, yang menyangkut proses dan isi
kejiwaan. Secara statistik suatu gejala dinyatakan sebagai abnormal bila
menyimpang dari mayoritas. Dengan demikian seorang yang jenius sama-sama
abnormalnya dengan seorang idiot, seorang yang jujur menjadi abnormal diantara
komunitas orang yang tidak jujur.25
Psikologi abnormal (abnormal psychology) merupakan salah satu cabang
psikologi yang berupaya untuk memahami pola perilaku abnormal dan cara
menolong orang-orang yang mengalaminya. Psikologi abnormal mencakup sudut
pandang yang lebih luas tentang perilaku abnormal dibandingkan studi tentang
gangguan mental (atau psikologis). Sebagai contoh, pemerkosaan tentu saja
merupakan suatu bentuk perilaku abnormal.26
25
26
Kuntjojo, E-book: Psikologi Abnormal, Universitas Nusantara PGRI Kediri, 2009, Hal 6.
Jeffrey S.Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, Universitas Indonesia: Erlangga, 2003, Hal 4.
22
Psikologi
abnormal
dipelajari
dengan
harapan
dapat
diperoleh
pengetahuan dan pemahaman tentang seluk beluk kelainan jiwa (jenis, gejala,
penyebab, cara mencegah dan menanganinya, dst.). Pengetahuan dan pemahaman
mengenai hal tersebut diperlukan dalam bidang psikiatri dan bimbingan
konseling.27
Perilaku abnormal mempengaruhi setiap orang dalam berbagai cara. Pola
perilaku abnormal yang meliputi gangguan fungsi psikologis atau gangguan
perilaku diklasifikasikan oleh ahli kesehatan mental sebagai gangguan psikologis
(psychological disorder) atau gangguan mental (mental disorder).28 Para ahli
kesehatan mental menggunakan berbagai kriteria dalam membuat keputusan
tentang apakah suatu perilaku adalah abnormal atau tidak. Kriteria yang paling
umum digunakan adalah29:
1. Perilaku yang tidak biasa. Perilaku yang tidak biasa sering dikatakan
abnormal. Misal, merasakan panik yang berlebihan ketika memasuki suatu
departemen store atau ketika berada dalam lift yang penuh sesak merupakan
hal yang tidak umum dan dianggap abnormal dalam budaya kita.
2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma
sosial. Satu implikasi dari mendasarkan definisi perilaku abnormal pada
27
Kuntjojo. OpCit, Hal 7.
Jeffrey S.Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, Universitas Indonesia: Erlangga, 2003, Hal 3.
29
Ibid, Hal 5-7.
28
23
norma sosial adalah bahwa norma-norma tersebut merefleksikan standar
yang relatif, bukan kebenaran universal.
3. Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas. Biasanya sistem
sensori dan proses kognitif memungkinkan kita untuk membentuk
representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar. Namun melihat
sesuatu ataupun mendengar suara yang tidak ada objeknya akan disebut
sebagai halusinasi (hallucination), di mana dalam budaya kita sering
dianggap sebagai tanda-tanda yang mendasari suatu gangguan.
4. Orang-orang tersebut berada dalam stres personal yang signifikan. Kondisi
stres personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi, seperti kecemasan,
ketakutan, atau depresi dapat dianggap abnormal. Perasaan distres yang
tepat tidak dapat dikatakan abnormal kecuali apabila perasaan tersebut
menjadi berkelanjutan atau bertahan lama setelah sumbernya sudah tidak
ada atau jika perasaan itu sangat intens sehingga merusak kemampuan
individu untuk berfungsi kembali.
5. Perilaku maladaptif atau ‘self-defeating’. Perilaku yang menghasilkan
ketidakbahagiaan dan bukan self-fulfillment dapat dianggap sebagai
abnormal. Perilaku yang membatasi kemampuan kita untuk berfungsi dalam
peran yang diharapkan atau untuk beradaptasi dengan lingkungan kita juga
dapat disebut sebagai abnormal.
6. Perilaku berbahaya. Perilaku yang menimbulkan bahaya bagi orang itu
sendiri ataupun orang lain dapat dikatakan abnormal.
24
Dengan demikian, perilaku abnormal memiliki definisi ganda. Tergantung
pada kasusnya, beberapa kriteria mungkin dapat lebih ditekankan daripada
kriteria lainnya. Namun pada kebanyakan kasus, kombinasi dari kriteria-kriteria
tersebut digunakan untuk mendefinisikan abnormalitas.
2.3.3 Teori Psychopathy Checklist Revised (PCL-R) Robert Hare
Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di Universitas
British Columbia, Vancouver, Kanada bernama Robert D. Hare telah melakukan
penelitian psikopat selama 25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat
selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan
kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri. Dalam
kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor.
Namun, ini hanyalah 15-20% dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang
berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya
tarik luar biasa dan menyenangkan. 30
Berlandaskan pekerjaan deskriptif Robert Hare, dan rekan-rekan
sejawatnya dalam meneliti sifat psychopathy, ditemukanlah sebuah instrumen
baru dalam mendeskripsikan ciri-ciri psikopat dan perilakunya. Instrumen itu
30
Novalia Hoberan, Psikopatik Dalam Keseharian, (http://www.scribd.com/doc/24899231/Psikopatik
dalam-Keseharian) diakses 01 April 2014, Pukul 13:53 WIB.
25
adalah Psychopathy Checklist Revised, atau PCL-R. Benar, psikopat memiliki
sebagian bahkan keseluruhan ciri-ciri perilaku yang terdapat dalam Psychopathy
Checklist Revised (PCL-R) milik Robert Hare.31 Enam kriteria yang dimaksudkan
oleh Hare (1991) dalam Revised Psychopathy Checklist (PCL-R) adalah32:
1. Pesona palsu/superfisial
2. Rasa harga-diri yang kebesaran
3. Rentan terhadap kebosanan/membutuhkan stimulasi
4. Bohong patologis
5. Menipu/manipulatif
6. Kurang/tidak ada penyesalan
Psikopat dikenal dengan kepribadiannya yang antisosial, penderita
antisosial personality disorder (gangguan kepribadian antisosial) adalah orangorang paling dramatik yang ditemui klinisi dalam praktiknya. Mereka ditandai
oleh adanya riwayat tidak mau mematuhi norma-norma sosial. Mereka melakukan
tindakan-tindakan yang bagi kebanyakan orang tidak dapat diterima, seperti
mencuri dari teman dan keluarga sendiri. Mereka juga cenderung tidak
bertanggung jawab, impulsif dan pembohong. Individu-individu dengan
31
32
Robert Hare dkk, E-book: Snakes In Suits: When Psychopath Go To Work, 2006, Hal 24.
V. Mark Durand, Intisari Psikologi Abnormal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, Hal 196.
26
gangguan kepribadian antisosial cenderung memiliki riwayat panjang untuk
pelanggaran hak-hak orang lain (Widiger dan Corbitt, 1995).33
2.4 Semiotika
Semiotika adalah studi mengenai tanda, atau cara-cara tanda digunakan dalam
menafsirkan peristiwa-perisiwa. Semiotika melihat pada cara pesan disusun, jenisjenis tanda yang digunakan, dan makna dari tanda-tanda yang dimaksudkan dan
dipaham oleh produsen dan konsumen. Pendeknya semiotika merupakan sebuah alat
untuk menganalisis apa makna isi pesan media.34
Kata “Semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti
“tanda”, atau seme yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika adalah ilmu yang
mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua yang hadir dalam
kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.35
Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotika (semiotical
analysis) merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan maknamakna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan
atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem
lambang (signs) baik yang terdapat pada media massa (seperti berbagai paket
tayangan televisi, karikatur media cetak, film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk
33
V. Mark Durand, Intisari Psikologi Abnormal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, Hal 193.
Heru. P. Winarso, Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta: Prestasi Pusaka, 2005, Hal 62.
35
Ibid, Hal 7.
34
27
iklan) maupun yang terdapat di luar media massa (seperti karya lukis, patung, candi,
monumen, fashion show, dan menu masakan pada suatu food festival). Urusan
analisis semiotika—adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks berupa
lambang-lambang (signs). Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang
dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik.36
Charles Morris (dalam J.D Parera. 2004) mengatakan bahwa bahasa sebagai
satu sistem sign dibedakan atas signal dan symbol. Akan tetapi, semiotik bukan hanya
berhubungan dengan isyarat bahasa, melainkan juga berhubungan dengan isyaratisyarat nonbahasa dalam komunikasi antarmanusia. Kita dapat mengatakan bahwa
semiotika adalah ilmu isyarat komunikasi yang bermakna. Ilmu-ilmu lain yang telah
mengembangkan semiotika sebagai syarat komunikasi adalah filsafat, psikologi,
sosiologi, antropologi.37
Pusat dari konsentrasi ini adalah tanda. Kajian mengenai tanda dan cara tandatanda tersebut bekerja disebut semiotik atau semiologi. Semiotika, sebagaimana kita
menyebutkan memiliki tiga wilayah kajian38:
1. Tanda itu sendiri. Wilayah ini meliputi kajian mengenai berbagai jenis
tanda yang berbeda, cara-cara berbeda dari tanda-tanda tersebut
berhubungan dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah
konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami di dalam kerangka
36
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LkiS, 2007, Hal 155-156.
J.D. Parera, Teori Semantik, Jakarta: Erlangga, 2004, Hal 41.
38
John Fiske, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012, Hal 79-80.
37
28
penggunaan atau konteks orang-orang yang menempatkan tanda-tanda
tersebut.
2. Kode-kode atau sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan. Kajian
ini melingkupi bagaimana beragam kode telah dikembangkan atau
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
atau
budaya,
atau
untuk
mengeksplorasi saluran-saluran komunikasi yang tersedia bagi
pengirim kode-kode tersebut.
3. Budaya tempat di mana kode dan tanda-tanda beroperasi. Hal ini pada
gilirannya bergantung pada penggunaan dari kode-kode dan tandatanda untuk eksistensi dan bentuknya sendiri.
2.5 Teori Charles Sanders Peirce
Siapa tidak mengenal Charles Sanders Peirce, seperti kata Aart van Zoest
(1993:8), adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan
multidimensional. “Peirce adalah seorang pemikir yang argumentatif”, begitu
komentar Paul Cobley dan Litza Jansz (1999: 20). Namun ironisnya, di tengah-tengah
kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkan dia hidup dalam kesusahan
sampai meninggal, tahun 1914.39
Peirce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun 1839 (ayahnya,
Benjamin adalah seorang profesor matematika di Harvard). Pada tahun 1859, 1862
dan 1863 secara berturut-turut ia menerima gelar B.A, M.A., dan B.Sc dari
39
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Hal 39.
29
Universitas Harvard). Selama lebih dari tiga puluh tahun (1859-1860, 1861-1891)
Peirce banyak melaksanakan tugas astronomi dan geodesi untuk Survei Pantai
Amerika Serikat (United States Coast Survey).40 Namun, Peirce paling dikenal
melalui sistem filsafatnya, yang kemudian dinamakan pragmatisme. Menurut sistem
ini signifikansi sebuah teori atau model terletak pada efek praktis penerapannya.
Model tanda yang dibangunnya menjadi sangat berpengaruh, dan membentuk
sebagian besar karya kontemporer mengenai semiotika kontemporer.41
Charles Sanders Peirce (dalam Segers, 2005:5) menyebut semiosis sebagai “a
relationship among a sign, an object,and a meaning (suatu hubungan di antara tanda,
objek, dan makna)”.42 Menurut Charles Sanders Peirce semiotika atau semiotik
merujuk kepada “doktrin formal tetang tanda-tanda”.
Peirce terkenal karena teori tandanya. Peirce mengatakan bahwa tanda itu
sendiri merupakan contoh dari Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan
penafsirannya—unsur pengantara—adalah contoh Keketigaan. Keketigaan yang ada
dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas,
selama suatu penafsiran (gagasan) yang membaca tanda sebagi tanda yang lain bisa
ditangkap oleh penafsiran lainnya. Bagi Peirce (Pateda, 2001:44) tanda “is something
40
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Hal 39-40.
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra, 2012, Hal 32.
42
Alex Sobur. OpCit, Hal 16.
41
30
which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang
digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground.43
Semiotika untuk studi media massa ternyata hanya terbatas sebagai kerangka
teori, namun sekaligus juga bisa sebagai metode analisis (Hamad, 2000:83). Kita,
misalnya, dapat menjadikan teori segi tiga makna (triangle meaning) Peirce yang
terdiri atas sign (tanda), object (objek), dan interpretant (interpretan). Menurut
Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang
dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu
berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang
diwakili oleh tanda tersebut. Yang dikupas teori segitiga makna adalah persoalan
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada
waktu berkomunikasi. Hubungan segitiga makna Peirce lazimnya ditampilkan
sebagai tampak dalam gambar berikut ini (Fiske, 1990:42):44
43
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Hal 41.
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan
Analisis Framing, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 114-115.
44
31
Gambar 2.1:
Elemen Makna Charles Sanders Peirce (Tanda Piercean)
Sign/Representamen (X)
Objek (Y)
Interpretan (X=Y)
Sumber: Marcel Danesi. Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika
dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Tahun 2012.
a.
Tanda (Sign)
Adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk hal ini
diluar tanda itu sendiri.
b.
Acuan Tanda (Objek)
Adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau
sesuatu yang dirujuk tanda.
32
c.
Pengguna Tanda (Interpretant)
Adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna ada dalam
benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.45
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks),
dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan
petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah
hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret
dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang
langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda
adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti
itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda
yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petanda. Hubungan di
antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian)
masyarakat.46 Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign).
Dalam wawasan Peirce (dalam Alex Sobur. 2009), tanda (sign) terdiri atas ikon
45
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public
Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006, Hal 267.
46
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Hal 41-42.
33
(icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Hubungan butir-butir tersebut oleh Peirce
digambarkan sebagai berikut:47
Gambar 2.2
Ikon, Indeks, dan Simbol
Icons
Signs:
Index (Indices)
Symbols
Sumber: Charles Sanders Peirce. 1982. “Logic as Semiotic: The Theory as Signs” dalam
Semiotics, An Introductory Anthology. Robert E. Innis (ed.) Bloomington:
Indiana Univerity Press
47
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Hal 157-158.
34
Tabel 2.1
Penjelasan Ikon, Indeks, Simbol
Jenis
Hubungan antara Tanda dan
Sumber Acuan
Tanda
Ikon
Contoh
Tanda
dirancang
untuk Segala macam gambar
merepresentasikan sumber acuan (bagan, diagram, dan lainmelalui simulasi atau persamaan lain), photo, kata-kata
(artinya,
sumber
acuan
dapat onomatopoeia, dan
dilihat, didengar, dan seterusnya, seterusnya.
dalam ikon).
Indeks
Tanda
dirancang
mengindikasikan
atau
saling
sumber
untuk Jari yang menunjuk, kata
acuan keterangan seperti di sini,
menghubungkan di sana, kata ganti seperti
sumber acuan.
aku, kau, ia, dan
seterusnya.
Simbol
Tanda
dirancang
menyandikan
melalui
persetujuan.
sumber
kesepakatan
untuk Simbol sosial seperti
acuan mawar, simbol
atau matematika, dan
seterusnya.
Sumber: Marcel Danesi. Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika
dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Tahun 2012.
Download