5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Refrigerasi Refrigerasi adalah proses pengambilan kalor atau panas dari suatu benda atau ruang untuk menurunkan temperaturnya atau sebaliknya. Kalor salah satu bentuk dari energi, sehingga mengambil kalor suatu benda ekuivalen dengan mengambil sebagian energi dari molekul-molekulnya. Pada aplikasi tata sistem refrigerasi, kalor yang diambil berasal dari produk. Untuk mengambil kalor produk, maka harus ada media yang memiliki temperatur yang lebih rendah. 2.2 Sejarah Penemuan Refrigerasi Thermoelektrik Fenomena thermoelektrik pertama kali ditemukan tahun 1821 oleh ilmuan Jerman Thomas johan seebeck. Ia menghubungkan tembaga dan besi dalam sebuah rangkaian. Diantara kedua logam tersebut lalu diletakan jarum kompas. Ketika sisi logam tersebut dipanaskan , jarum kompas ternyata bergerak hal ini terjadi karena aliran listrik yang terjadi pada logam menimbulkan medan magnet. Medan magnet inilah yang menggerakan jarum kompas. Fenomena ini kemudian dikenal dengan efek seebeck. Gambar 2.1 : Efek Seebeck (Sumber : Oka Sugianto, 2006, halaman : 6) 6 Penemuan seebeck ini memberikan inspirasi pada jean Charles athanase Peltier untuk melihat kebalikan dari fenomena tersebut. Dia mengalirkan listrik pada dua buah logam yang direkatkan dalam sebuah rangkaian. Ketika arus listrik dialirkan terjadi penyerapan panas pada sambungan kedua logam tersebut dan pelepasan panas pada sambungan yang lain. Pelepasan dan penyerapan panas ini saling berbalik begitu arah arus dibalik. Penemuan yang terjadi di tahun 1834 ini kemudian dikenal denganefek peltier. Efek seebeck dan peltier inilah yang kenudian menjadi dasar teknologi thermoelektrik. 2.3 Cara Kerja Refrigerasi Thermoelektrik Refrigerasi thermoelektrik merupakan teknologi termoelektrik yang mengkonversi energy listrik tanpa harus memakai refrigerant untuk menimbulkan efek pendinginan.Efek peltier inilah yang menjadi dasar bagi refrigerasi thermoelektrik . Dengan menempatkan ujung dari sambungan yang menyerap kalor pada ruang yang akan didinginkan , maka ruangan tersebut lama-kelamaan akan menjadi dingin akibat kalornya dipindahkan ke tempat lain. gambar 2.2 : Rangkaian Refrigerasi Thermoelektrik yang berdasarkan efek peltier (Sumber : Ensiklopedia) 7 (a) (b) Gambar 2.3 : (a) Thermoelektrik sebagai pemanas, (b) Thermoelektrik sebagai pendingin (Sumber : Sugiyanto, 2008, halaman : 7) Salah satu rangkaian refrigerator thermoelektrik dengan menggunakan bahan semikoduktor diperlihatkan pada gambar 2.2 . Penggunaan bahan semikonduktor tipe -P dan tipe - N adalah untuk memperluas permukaan dari tempat penyerapan dan pelepasan kalor. Kalor diserap dari ruang yang didinginkan dan dilepaskan ke lingkungan. Gambar 2.4 : Penambahan sirip pada elemen peltier 8 Prinsip kerjanya adalah ketika arus DC dialirkan ke elemen peltier yang terdiri dari beberapa pasang sel semikonduktor tipe P (sel semikonduktor yang mempunyai tingkat energi yang lebih rendah) dan semikonduktor tipe N (semikonduktor dengan tingkat energi yang lebih tinggi) akan mengakibatkan salah satu sisi elemen peltier menjadi dingin(kalor diserap) dan sisi lainnya menjadi panas (kalor dilepaskan). Gambar 2.5 : Elemen Peltier Yang menyebabkan sisi elemen peltier menjadi dingin adalah mengalirnya elektron dari tingkat energi lebih rendah yaitu pada semikonduktor tipe-P menuju ke tingkat energi yang lebih tinggi yaitu semikonduktor tipe-N . Agar elektron tipe-P yang mempunyai tingkat energi lebih rendah dapat mengalir maka elektron akan menyerap kalor sehingga sisi tersebut menjadi dingin, sedangkan pelepasan kalor terjadi pada sisi panas. Setelah terjadi pelepasan panas , aliran elektron dari semikonduktor tipe-N kembali menuju semikonduktor tipe-P yang tingkat energinya lebih rendah dan kembali terjadi penyerapan kalor pada semikonduktor tipe-P dan begitu seterusnya. 2.4 Efek Thermoelektrik Pada Benda Padat Dalam analisa thermoelektrik lima efek harus diperhatikan, disamping konduksi kalor dan kerugian joule yang menyertai aliran arus listrik terhadap tahanan 9 medium penghantar juga perlu diperhatikan efek seebeck, Peltier, dan Thomson perlu dibahas. Dimana ketiga fenomena yang terakhir terjadi akibat ketidaksamaan potensial listrik yang dihasilkan dengan cara yang berbeda. 2.4.1 Perpindahan Kalor dengan Konduksi Dimana dalam analisa thermodinamik termoelektrik disini bahan penghantar yang digunakan adalah benda padat , maka perlu dilakukan pengamatan terhadap perpindahan kalor secara konduksi yang terjadi. Perpindahan kalor secara radiasi dan konveksi akan diabaikan. Perpindahan kalor sederhana yang laju perpindahan kalor diandaikan sebanding dengan gradient temperature sering disebut sebagai aliran kalor fourier karena perpindahan kalor ini mengikuti hukum fourier tentang konduksi kalor : dt ................................................................................................ (2.1) Q c KA dx dengan K adalah koefisien konduktivitas thermal yang biasanya dinyatakan dalam (watt/cmoK). Untuk batang penampang persegi panjang (ab) Q c K T watt..................................................................................(2.2) l Akan lebih mudah untuk memakai perbandingan luasan terhadap panjang (γ). Disini diandaikan bahwa λ tidak berubah terhadap temperatur , atau boleh juga bahwa nilai yang dipakai adalah nilai dalam jangka temperatur ∆T. T Q c T+∆T a Q c l b Gambar 2.6 : Perpindahan kalor dengan konduksi (Sumber : Oka Sugianto 2006. Halaman : 10) A (ab) l l 10 2.4.2 Kerugian Daya Joule Aliran arus listrik dalam sebarang tahanan diikuti oleh pembuangan energi listrik , dengan kata lain , transformasi energi listrik menjadi energi termal. Pembuangan energi ini akan menaikan temperatur bahan pengantar kecuali energi yang jumlahnya sama diambil oleh perpindahan kalor. Dengan hukum ohm , V=IR. Laju pemanasan Joule adalah Q j IV I 2 R ……………………………………………(2.3) Tahanan (R) ditentukan oleh ukuran bahan penghantar dan tahanan jenis bahan (ρ) dengan satuan ohm-cm. Kebalikan tahanan jenis adalah konduktivitas (σ) dengan demikian 1 (ohm-cm)-1 …………………………………………………………… (2.4) Untuk batang persegi panjang yang ditunjukan Gambar 2.6 , tahanan listrik adalah R l ohm ………………………………………………(2.5) (ab) Arus listrik lebih mudah dinyatakan sebagai kecepatan(densitas) arus (J) , yang berupa J I I A (ab) amp/cm2 ………………………………….(2.6) Maka Q j I = j2 (ab) watt ……………………………………………….(2.7) 11 2.4.3 Efek Seebeck Efek seebeck sudah lama dikenal oleh ahli teknik disebabkan oleh penggunaannya pada pengukuran temperatur secara termokople atau sepasang penghantar yang berbeda. Koefisien seebeck (α) disebut juga dengan daya thermoelektrik untuk suatu bahan relative terhadap bahan lainnya yang didefinisikan sebagai : dV dT volt/derajat …………………………………….(2.8) Diketahui bahwa tegangan seebeck tidak dipengaruhi oleh temperatur sekitar maupun oleh bahan yang dipakai untuk kawat-kawat penghubung peralatan( dalam hal ini tembaga). Dua bahan yang berbeda (katakanlah P1dan N) dibutuhkan untuk termokople , dan koefisien seebeck pada temperatur tertentu untuk gabungan tersebut ditentukan oleh: dVPN ( P N ) dT ………………………………………..(2.9) Apabila satu koefisien seebeck adalah positive dan yang laingnya negative terhadap bahan pembanding , koefisien gandengan(couple) adalah penjumlahan nilainilai numeriknya : dVPN P N PN volt/derajat ……………………...(2.10) dT 2.4.4 Efek Peltier Bila arus listrik mengalir dari satu bahan penghantar ke bahan lainnya melalui satu sambungan seperti yang ditunjukan Gambar 2.7 , energi dibawa oleh pembawa muatan kesambungan dari bahan A pada bagian kiri pada laju QA , dan energi dibawa dari sambungan ke bahan B pada bagian kanan pada laju QB. Karena tingkat energi pembawa muatan pada umumnya akan berbeda-beda pada kedua bahan tersebut , QA akan lebih besar atau lebih kecil dari QB . Untuk mempertahankan temperatur 12 sambungan yang konstan , kalor harus dipindahkan ke atau dari sekelilingnya seperti yang ditunjukan. Vab Q A Q B Bahan A Bahan B Q j Gambar 2.7 : Aliran arus melalui sambungan dua bahan yang berbeda (Sumber : Oka Sugianto, 2006. Halaman : 14) Perhatikan bahwa arah aliran arus yang ditunjukan adalah arah arus konvensional yang berlawanan dengan arah aktual aliran elektron , aliran ini dapat dibayangkan sebagai arah aliran lubang (hole) , disini lubang diartikan sebagai lowongan yang ditinggalkan oleh pengambilan satu elektron . Tingkat energi dan dengan demikian , jumlah energi yang diangkut adalah fungsi setiap bahan , koefisien Peltier didefinisikan sebagai Q watt/amp ………………………………………….(2.11) I Sambungan itu sendiri harus mempunyai tahanan listrik terhingga (finite) sehingga aliran arus melalui sambungan tersebut akan menghasilkan pembuangan daya joule yang biasa , yang besarnya sama dengan I2Rj atau IVAB. Tentu saja proses ini tidak bersifat reversible , tetapi akan selalu merupakan konversi energi listrik menjadi energi kalor. Neraca energi untuk sambungan mensyaratkan bahwa : Q j I ( A B ) I 2 R j = I ( AB ) I 2 R j ……………………………………...(2.12) 13 Tegantung pada besaran relative πA dan πB , efek peltier dapat positif maupun negative. Efek peltier dapat dibalik oleh pembalikan arah aliran arus listrik. Akan tetapi , Q j akan mempunyai nilai maksimum untuk nilai efek peltier yang negative karena suku I2R selamanya positif. 2.4.5 Efek Thomson Disebabkan oleh adanya pengacauan thermal pembawa muatan , sehingga memungkinkan untuk menciptakan gradient tegangan pada bahan yang homogeny bilamana terdapat gradient temperatur. Pada gambar 2.8 , diandaikan bahwa gradient tegangan yang dihasilkan oleh perbedaan temperatur adalah positif dalam arah yang sama dengan arah gradient temperatur tersebut . Koefisien Thomson untuk suatu bahan adalah : I Q 2 Q1 1 Q r 2 Gambar 2.8 : aliran arus melalui bahan homogen dengan gradient temperature (Sumber : Oka Sugianto, 2006. Halaman : 14) Jika laju energi Q1 , yang dipindahkan melalui penampang 1 oleh arus listrik , itu sama dengan Q 2 , yang dipindahkan melalui penampang 2, neraca energi untuk bahan tersebut diantara penampang 1 dan 2 mensyaratkan bahwa laju kehilangan kalor adalah : Q r IV I 2 R I T I 2 R …………………………………...(2.13) 14 Suku pertama pada sisi kanan merupakan kalor Thomson (atau tepatnya daya Thomson) , dan suku kedua biasanya merupakan kehilangan kalor joule dengan mengacu pada gambar 2.8 , aliran arus akan berlangsung dari temperatur yang lebih tinggi ke temperatur yang lebih rendah , seperti yang ditunjukan oleh bahan jenis -P. Perbedaan temperatur yang sama akan menciptakan perbedaan tegangan yang berlawanan dan aliran arus dari kanan ke kiri (berlawanan dengan arah aliran electron) pada bahan jenis –N. 2.5 Efek Thermoelektrik Dalam Refrigerator Thermoelektrik Karena efek seebeck, Peltier, dan Thomson bersifat reversible , susunan generator thermolektrik dapat dikonversi menjadi refrigerator thermoelektrik, dengan menggunakan persamaan yang digunakan sugiyanto (2008) maka dapat diketahui beberapa nilai yang menyatakan unjuk kerja dari sistem thermoelektrik : D-D Pin a b I Q H TH TH P N D TL D Q L r Gambar 2.9 : Rangkaian Refrigerator thermoelektrik (Sumber : Oka Sugianto, 2006. Halaman : 21) l 15 Bila kedua kaki refrigerator thermoelektrik pada gambar 2.9 diperhatikan, kalor dikonduksi melalui keduanya secara sejajar antara batas temperatur yang sama , dan arus listrik mengalir melalui keduanya secara berderet . Koefisien perpindahan kalor gabungan (K) untuk kedua kaki adalah : K N AN A P P N N P P ……………………………..(2.14) lN lP Tahanan listrik dalam gabungan (Ri) untuk kedua kaki adalah : Ri N lN l P P N P AN AP N P ……………………………….(2.15) Perbedaan temperatur yang dikenakan pada susunan termokople akan , tentu saja menghasilkan tegangan seebeck (α∆T) disamping tegangan-jatuh (IR) , jadi daya yang dibutuhkan dari sumber sama dengan : P = Iα∆T + I2R watt ………………………………………..(2.16) Kalor joule merupakan kerugian, dan akan didistribusikan secara merata pada kedua ujung. Jadi laju kalor yang dapat dipindahkan (dilepaskan/diserap) : 1 Q H ITL KT I 2 R 2 ………………………………………(2.17) sebagai sebuah refrigerator , koefisien prestasi (COP) sebagai berikut : 1 ITL KT I 2 R Q L 2 COP 2 P IT I R ………………………………(2.18) Pernyataan untuk daya pada persamaan diatas dapat diperiksa dengan penggunaan hukum pertama thermodinamika : P Q H Q L ……………………………………………………..(2.19) 16 2.6 Bahan-bahan Dalam Thermoelektrik Kesesuaian bahan-bahan yang di gunakan sebagai material semikonduktor terutama ditentukan oleh angka bajik (figure of merit) (Z). Semakin tinggi nilai ini akan semakin bagus bahan tersebut. Nilai-nilai komponen Z tersebut dihubungkan melalui saling ketergantungannya pada konsentrasi pembawa muatan , electron, dan ion pada bahan. Pembawa muatan untuk sebagian konduksi ion bisa saja ion yang bermuatan positive maupun yang bermuatan negative yang mempunyai kekurangan maupun kelebihan elektron. Tabel 2.1 : Angka Bajik (figure of merit) dari beberapa tipe semikonduktor Material Type Temperature (c) Figure of merit Z Bi2Te3 P 25 2,5 x 10-3 Bi2Te3 N 25 2,5 x 10-3 PbTe N 450 1,3 x 10-3 ZnSb P 175 1,4 x 10-3 CeTe P 450 1,7 x 10-3 MnTe P 900 0,4 x 10-3 CeS4 N 1100 1,8 x 10-3 AgSbTe2 P 400 1,8 x 10-3 InAs N 700 0,7 x 10-3 Sumber: Snyder. PE.”Chemistry for thermoelectric Material.”Chemical and Engineering News.March 13.1961.6 Reprinted with permission of The American Chemical Society 2.6.1 Semikonduktor Semikonduktor mempunyai susunan pita energi yang mirip dengan pita energi isolator. Pada suhu rendah, pita konduksi semikonduktor tida terisi oleh elektron. Sebuah modul termoelektrik tersusun dari pasangan-pasangan balok semikonduktor (thermocouple) berbahan Bismuth Telluride yang telah dikotori (doped). Semikonduktor Tipe-N telah dikotori oleh bahan-bahan yang memberikan elektron tambahan, sehingga jumlah elektronnya menjadi berlebih. Sebaliknya pada semikonduktor Tipe-P dikotori bahan-bahan yang mengurangi 17 jumlah elektron, sehingga terdapat lubang-lubang (holes) yang nantinya akan menerima elektron dari Tipe-N. Ketika terjadi beda potensial, elektron-elektron yang mengalir dari semikonduktor tipe-P ke tipe-N akan menyerap energi kalor dari sisi dingin. Ketika elektron-elektron mengalir dari semikonduktor tipe-N ke tipe-P akan dilepaskan energi kalor ke sisi panas . Sehingga daerah di sekitar sambungan dingin akan menjadi dingin dan daerah di sekitar sambungan panas akan menjadi panas. 2.6.2 Semikonduktor tipe-N Semikonduktor tipe-N dapat dibuat dengan menambahkan sejumlah kecil atom pengotor pentavalen (antimony, phosphorus atau arsenic) pada silikon murni. Atom-atom pengotor (dopan) ini mempunyai lima elektron valensi sehingga secara efektif memiliki muatan sebesar +5q. Saat sebuah atom pentavalen menempati posisi atom silikon dalam kisi kristal, hanya empat elektron valensi yang dapat membentuk ikatan kovalen lengkap, dan tersisa sebuah elektron yang tidak berpasangan . Dengan adanya energi thermal yang kecil saja, sisa elektron ini akan menjadi elektron bebas dan siap menjadi pembawa muatan dalam proses hantaran listrik. Material yang dihasilkan dari proses pengotoran ini disebut semikonduktor tipe-N karena menghasilkan pembawa muatan negatif dari kristal yang netral. Karena atom pengotor memberikan elektron, maka atom pengotor ini disebut sebagai atom donor. Secara skematik semikonduktor tipe-n digambarkan seperti terlihat pada gambar 2.10. Gambar 2.10 : Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi lima menggantikan posisi salah satu atom silikon pada semikonduktor tipe-N (Sumber : D.Chattopadhyay,1989.halaman :91) 18 2.6.3 Semikonduktor tipe-P Dengan cara yang sama seperti pada semikonduktor tipe-N, semikonduktor tipe-p dapat dibuat dengan menambahkan sejumlah kecif atom pengotor trivalen (aluminium, boron, galium atau indium) pada semikonduktor murni, misalnya silikon murni. Atom-atom pengotor (dopan) ini mempunyai tiga elektron valensi sehingga secara efektif hanya dapat membentuk tiga ikatan kovalen. Saat sebuah atom trivalen menempati posisi atom silikon dalam kisi kristal, terbentuk tiga ikatan kovalen lengkap, dan tersisa sebuah muatan positif dari atom silikon yang tidak berpasangan yang disebut lubang (hole). Material yang dihasilkan dari proses pengotoran ini disebut semikonduktor tipe-P karena menghasilkan pembawa muatan negatif pada kristal yang netral. Karena atom pengotor menerima elektron, maka atom pengotor ini disebut sebagai atom aseptor (acceptor). Secara skematik semikonduktor tipe-P digambarkan seperti terlihat pada gambar 2.11. Gambar 2.11 : Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi tiga menggantikan posisi salah satu atom silikon semikonduktor tipe-P (Sumber : D.Cattopadhyay,1989.halaman : 93) 19 2.7 Arus Searah (DC/ Direct Current) Arus listik adalah muatan- muatan listrik statis baik positif maupun negatif yang bergerak, dimana pergerakan tersebut disebabkan karena adanya beda potensial. Arus listrik disebabkan oleh mutan listrik yang berpindah atau muatan listrik yang bergerak. Arus listrik mengalir dari potensial yang tinggi ke arah yang rendah, pada umumnya muatan yang bergerak adalah muatan listrik negatif atau elektron. Untuk melaksanakan pemindahan muatan listrik diperlukan medan listrik. DC adalah jenis listrik yang dibuat oleh baterai (dengan terminal positif dan negatif pasti), atau jenis muatan yang dihasilkan dengan menggosokkan beberapa jenis bahan terhadap satu sama lain. Gambar 2.12 Akumulator atau ACCU Akumulator atau ACCU adalah sebuah sel listrik dimana didalamnya berlangsung proses elektrokimia yang reversibel (dapat berbalikan) dengan efisiensinya yang tinggi. Yang dimaksud dengan proses elektrokimia reversibel, adalah didalam baterai dapat berlangsung proses pengubahan kimia menjadi tenaga listrik (proses pengosongan), dan sebaliknya dari tenaga listrik menjadi tenaga kimia (pengisian kembali dengan cara regenerasi dari elektroda-elektroda yang dipakai), yaitu dengan melewatkan arus listrik dalam arah (polaritas) yang berlawanan didalam sel. Tiap sel baterai ini terdiri dari dua macam elektroda yang berlainan, yaitu elektroda positif dan elektroda negatif yang dicelupkan dalam suatu larutan kimia (H2SO4). 20 Kapasitas baterai adalah jumlah ampere jam (Ah = kuat arus/Ampere x waktu/hour), artinya baterai dapat memberikan/menyuplai sejumlah isinya secara rata-rata sebelum tiap selnya menyentuh tegangan/voltase turun (drop voltage) yaitu sebesar 1,75 V (ingat, tiap sel memiliki tegangan sebesar 2 V; jika dipakai maka tegangan akan terus turun dan kapasitas efektif dikatakan sudah terpakai semuanya bila tegangan sel telah menyentuh 1,75 V). Misal, baterai 12 V 75 Ah. Baterai ini bisa memberikan kuat arus sebesar 75 Ampere dalam satu jam artinya memberikan daya rata-rata sebesar 900 Watt (Watt = V x I = Voltase x Ampere = 12 V x 75 A). Secara hitungan kasar dapat menyuplai alat berdaya 900 Watt selama satu jam atau alat berdaya 90 Watt selama 10 jam. 2.8 Perpindahan Kalor Pada Sistem Refrigerasi Thermoelektrik Perpindahan kalor yang terjadi pada sistem refrigerasi thermoelektrik adalah secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan kalor yang terjadi secara konduksi berarti perpindahan kalor tanpa disertai perpindahan molekul benda tersebut. Konduksi juga dapat dikatakan transfer energi dari benda yang memiliki energi lebih tinggi menuju benda dengan energy lebih rendah. Persamaan yang digunakan untuk perpindahan kalor konduksi dikenal dengan hukum fourier : q K.A T0 T1 X ………………………………………………….(2.20) Untuk mencari nilai tahanan thermal dari suatu material padat digunakan rumus : RT T0 T1 l q K .A …………………………………………….(2.21) dimana : q = energy kalor (watt) K= Konduktivitas thermal (W/m.K) 21 A = Luas Permukaan (m2) ∆x= Tebal penampang permukaan (m) T0= Temperatur yang lebih tinggi (K) T1= Temperatur yang lebih rendah (K) Nilai minus (-) pada persamaan diatas menunjukan bahwa kalor selalu berpindah ke arah temperature yang lebih rendah. Perpindahan panas Konveksi adalah proses perpindahan kalor yang terjadi akibat adanya pergerakan molekul pada suatu zat, gerakan inilah yang menyebabkan adanya transfer kalor.Konveksi sendiri dapat dibagi dua yaitu , konveksi bebas atau konveksi alami dan konveksi paksa.Konveksi bebas atau alami terjadi akibat adanya pergerakan fluida akibat gaya apung (bouyancyforce) akibat perbedaan densitas fluida tersebut. Perbedaan kerapatan dapat diakibatkan oleh pebedaan temperatur akibat proses pemanasan. Sedangkan konveksi paksa terjadi akibat adanya gaya luar seperti kipas (fan) atau pompa. Pada perpindahan kalor konveksi berlaku hukum pendinginan newton yaitu : q h. A(Ts T ) ………………………………………………….(2.22) dimana : q= energy kalor (watt) h=koefisien perpindahan kalor konveksi(W/m2K) A= luas area permukaan(m2) Ts= Temperatur permukaan (K) T∞= Temperatur ambient (K) Dari penggunaan sistem refrigerasi thermoelektrik sebagai pemanas perpindahan panas secara konveksi terjadi dari lingkungan menuju pelat dingin dimana pengambilan kalor dari lingkungan terjadi, selanjutnya terjadi perpindahan panas secara konduksi melalui pelat menuju elemen peltier dan kemudian menuju 22 pelat panas dimana nantinya kalor akan dilepaskan ke ruang pemanas secara konveksi. Dalam pengujian performansi dari sistem refrigerasi thermoelektrik yang digunakan akan diberikan beban refrigerasi berupa air untuk mengetahui performansi dari sistem yang digunakan. Perpindahan kalor yang diterima oleh air sebagai beban refrigerasi adalah terjadi secara konduksi, karena media air yang dilalui oleh kalor tidak mengalami pergerakan (diam) dan kalor akan merambat secaca konduksi menuju bagian air paling bawah. + Pin Qkonveksi Tc N Qkonduksi P Th Qradiasi air Qkonveksi Qkonduksi Gambar 2.13 Skema alat Pengujian Dimana proses yang yang terjadi adalah kalor dari lingkungan akan diserap melalui sisi plat dingin (Tc) dan kemudian di buang pada ruang pemanas melalui sisi plat panas (Th). Kalor yang dilepaskan pada ruang pemanas kemudian akan ditransfer ke air sebagai media beban refrigerasi. 23 Dengan mengetahui besarnya perubahan temperatur air dari temperatur awalnya maka dapat diketahui laju pemanasan ( Q H ) yang terjadi dari alat yang digunakan dengan persamaan berikut: Q H m.c p .T (watt) ……………………………………...(2.23) t Jika sistem refrigerasi thermoelektrik digunakan sebagai pemanas maka ∆T merupakan selisih antara temperatur air akhir dengan temperatur air awal. 2.9 Performansi Sistem Refrigerasi Thermoelektrik Dalam pengukuran performa dari suatu sistem refrigerasi thermoelektrik dapat dikaji dari perbandingan antara energi listrik yang diberikan terhadap perubahan temperatur pelat, kemudian dapat merupakan perbandingan dari energi yang dilepaskan dari pelat menuju media beban refrigerasi. Listrik(Qin) Pelat Q pelat Q in air Q air Q pelat Daya yang diberikan merupakan perkalian dari tegangan (V) dan arus listrik yang mengalir ke system (I), dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: Pin = V . I (watt) ……………………………………….(2.24) 24 Dari energi listrik yang diberikan akan mengoperasikan elemen peltier dan akan terjadi perubahan temperatur pada pelat, sehingga laju pelepasan kalor pada pelat dapat diketahu dengan persamaan berikut: 1 Q HP ITH KT I 2 R 2 ……………………………………..(2.25) Dimana, I = arus listrik (ampere) α = koefisisen seebeck (volt/K) TH = Temperatur pelat panas (K) K = Koefisien perpindahan kalor gabungan ∆T = beda temperatur pelat panas dan pelat dingin (K) R = Tahanan listrik gabungan (ohm) Kalor yang yang ditransfer menuju air sebagai media beban refrigerasi akan mengakibatkan berubahnya temperatur air sehingga kalor yang diserap air dapat diketahui dengan persamaan berikut: Q HW m.c p .T t …………………………………………………..(2.26) Dimana, m = massa air (Kg) Cp = kalor spesifik air (KJ/Kg.K) t = waktu (dt) Dari persamaan diatas dapat diketahui efisiensi dari energi listrik yang diberikan kepada pelat dengan persamaan berikut: 25 pelat Q pelat Q …………………………………………………….(2.27) in Kemudian efisiensi dari pelat terhadap air beban refrigerasi dapat ditentukan dari persamaan berikut: pelat air Q air Q pelat …………………………………………………..(2.28) Untuk nilai COP sistem refrigerasi thermoelektrik dapat ditentukan dengan persamaan berikut : COP Q air Q in ……………………………………………………….(2.29)