Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 PERANAN NEGARA DALAM PENGAWASAN PELAKSANAAN ALIH TEKNOLOGI DI INDONESIA Oleh : Siti Zulaekhah, SH Abstrak : Peralihan teknologi dari negara maju ke negara berkembang berlangsung melalui serangkaian proses dan tidak terjadi secara otomatis. Salah satu cara pengalihan tekonologi tersebut adalah dengan cara perjanjian tertulis. masingmasing negara diberikan hak untuk sampai pada derajad tertentu mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menunjang pengalihan teknologi yang sesuai denga kebutuhan, keadaan, dan kondisi masing-masing negara peserta TRIPs. permasalahan alih teknologi sudah menjadi perhatian serius negaranegara di dunia, karena Indonesia telah mratifikasi WTO yang menjadi landasan dari TRIPs pada tahun 1994, maka demi hukum harus melaksanakan ketentuan yang ada dalam TRIPs dan wajib untuk melaksanakan pengawasannya. Kata Kunci : Alhi Teknologi, Penanaman Modal, Pengawasan A. Latar Belakang Permasalahan Zaman renaissance atau masa pencerahan yang bergelora di Eropa, telah menempatkan negara-negara di dunia pada pihak yang saling berseberangan. Di satu sisi, terdapat negara-negara yang memiliki perkembangan teknologi yang sedemikian pesat yang biasa disebut dengan negara maju (developed countries) dan pada sisi yang lain terdapat negara-negara yang sangat lamban dalam hal penguasaan teknologi, yang sering disebut dengan negara berkembang (underdeveloped/developing countries). Terminologi yang kedua ini sering disebut dengan negara-negara 70 dunia ketiga (third world 1 countries). Posisi yang lain juga menampilkan dua hal yang saling berkebalikan. Negara-negara maju sudah menggunakan teknologi mutakhir untuk mengembangankan industrinya, sementara sebaliknya, masih banyak produk-produk negara berkembang yang hanya menduduki posisi penghasil bahan-bahan mentah seperti minyak sawit, kayu, karet, timah, minyak bumi, dan mineral lainnya untuk diekspor ke negara-negara 1 Gunawan Wijaya, LISENSI, Edisi 1, Cetakan ke-1 ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), hal.95 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 maju atau negara-negara industri. Negara-negara ini juga mengimpor produk-produk yang berasal dari bahan logam dan campuran logam, bahan plastik, bahan makanan dan sebagainya, yang sebenarnya dapat diproduksi sendiri di dalam negerinya. 2 Negara-negara maju terus menerus menemukan proses serta mesin-mesin baru yang lebih rumit dan ekonomis. Sedangkan negara-negara yang sedang berkembang masih berada pada tataf mencoba dengan segala upaya untuk memperkecil jarak keterbelakangant eknologinya dengan negara-negara maju yang hasilnya belum begitu berarti.3 Teknologi, bagi semua negara di dunia, telah berubah dari sarana percobaan dan penelitian menjadi komoditas atas dasar asumsi bahwa tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak membutuhkan teknologi. Komoditas atau pasar teknologi ternyata tidak hanya terjadi antara negara maju dengan negara berkembang, akan tetapi yang paling gencar justru terjadi 2 Amir Pamuntjak, dkk, SISTEM PATEN ; Pedoman Praktek dan Alih Teknologi (Jakarta : Djambatan, 1994 ), hal. 6 3 Ibid. antarnegara maju. Ekspor teknologi dari Amerika ke Jepang, Jerman, dan negara eropa lainnya cukup mempengaruhi neraca pembayaran negara-negara 4 tersebut. Kondisi tersebut, dalam perkembangan selanjutnya, tidak mungkin memisahkan satu kelompok negara pada satu sisi dengan kelompok negara yang lainnya pada sisi yang lain. Namun, kedua kelompok Negara ini harus membaur menjadi satu dalam bentuk global village, menciptakan satu hubunganhubungan tertentu dengan menerbitkan landasan yuridis bersama dalam bidang perdagangan. Status ini terlihat jelas setelah peristiwa perang dunia kedua dan berawal dari Bretton Words ini telah menjadi cikal bakal lahirnya World Trade Organisation pada tahun 1994 yang bisa dikatakan sebagai jembatan kepentingan kedua belah pihak dengan negosiasinegosiasi yang terjadi.5 Pada saat yang bersamaan, negara-negara dunia ketiga sedang 4 Sumantoro, Masalah Pengaturan Alih Teknologi, EDISI I, Cetakan ke-1 (Bandung : Alumni, 1993 ), hal.15 5 Gunawan, 2001, Loc. cit. 71 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 gencar melaksanakan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan, dan melepaskan diri dari kemiskinan dan kesengaraan hidup bangsanya. Meskipun demikian, pada umumnya negara-negara dunia ketiga adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alam dan padat penduduk namun sangat miskin dalam hal penguasaan teknologi pengolahan dan pengelolaan sumber daya alam serta rendahnya sumber daya manusia terkait dengan keterampilan dan keahlian dalam mengolah dan mengelola teknologi yang bersangkutan. Padahal, jika diolah dengan teknologi modern serta dikelola oleh tenaga-tenaga yang memiliki kualitas SDM, maka kekayaan alam sebenarnya sangat mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan bisa diekspor karena memiliki daya saing secara internasional. Untuk mencapai hal tersebut, pada awal pemerintahan Orde Baru, Indonesia merubah haluan politikekonominya, dari yang sebelumnya politik pintu tertutup menjadi politik pintu terbuka, yakni dengan diterbitkannya 72 Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang tujuan pokoknya adalah merubah ekonomi potensial menjadi ekonomi riil.6 Fase kebiajkan pintu terbuka ini dianggap sangat penting karena investasi dan teknologi secara bebas dan gencar-gencaran masuk ke Indonesia. Peralihan teknologi dari negara maju ke negara berkembang berlangsung melalui serangkaian proses dan tidak terjadi secara otomatis. Salah satu cara pengalihan tekonologi tersebut adalah dengan cara perjanjian tertulis sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten.7 Mekipun Indonesia telah mengatur secara yuridis tentang mekanisme pengalihan teknologi yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun dalam praktek pelaksanaan 6 Etty Susilowati, KONTRAK ALIH TEKNOLOGI PADA INDUSTRI MANUFAKTUR, Cetakan Pertama ( Yogyakarta : Genta Press, 2007 ), hal. 2005 7 Baca selengkapnya pasal 66 ayat ( 1 ) bahwa hak ekslusif atas invensi di bidang teknologi dapat beralih melalu beberapa cara, yakni pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau cara lain yang dibenarkan oleh peratuan perundangundangan. Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 tersebut masih menemui berbagai masalah. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana prinsip dasar alih teknologi dan kontrak alih teknologi, baik secara kebiasaan Internasional maupun nasional ? 2. Bagaimana pengaturan tentang alih teknologi dan kontrak alih teknologi di Indonesia ? 3. Bagaimanakah peranan negara dalam pengawasan tersebut terhadap pelaksanaan alih teknologi di Indonesia? C. Pembahasan Masalah alih teknologi menjadi perhatian pokok dalam Trips8 sebagaimana diatur dalam article 7 dan article 8 Article 7 Objectives “The protection and enforcement of Intelectual Property Rights should contribute to the promotion of technological innovation and to the transfer and dissemination of technology to the mutual advantage of producer and users of technological 8 knowledge in a manner conductive to social and economic welfare and to balance of rights and obligation.” Dari redaksi pasal tersebut tersurat bahwa perlindungan dan pelaksanaan hak kekayaan intelektual juga meliputi pelaksanaan alih teknologi yang menguntungkan kedua belah pihak dengan diikuti oleh prinsip keseimbangan hak dan kewajiban dengan tujuan untuk mengarahkan kesejahteraan, baik secara ekonomi maupun secara social semua Negara-negara anggota TRIPs. Selanjutnya dalam artikel 8 juga disebutkan : Article 8 Principles 1. Members may in formulating or amending their national laws and regulation, adopt measures necessary toprotect public health and nutrition, and to promote the public interest in sector of vital importance in their social economic and technological development, provided that such measures are consistent with the provision of this agreement. Gunawan Wijaya, Op. cit, 2001, hal. 97-98 73 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 2. Appropriate measures, provided that they are consistent with the provison of this agreement, may be needed to prevent the abuse of intellectual property rights by right holders or the resort of practices, with unreasionably restrain trade or adversely affect the international transfer of technology. Pasal selanjutnya, Negaranegara anggota TRIPs sebaiknya memformulasikan dalam hukum positif di maisng-masing Negara anggota untuk melindungi kesejahteraan dan gizi masyarakat serta untuk menggalakkan sektorsektor yang vital untuk kepentingan publik yang dilaksanakan dalam rangka pengembangan teknologi dan sosioekonomis dan pengembangan teknologi masingmasing peserta TRIPs, masingmasing negar diberikan hak untuk sampai pada derajad tertentu mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk menunjang pengalihan teknologi yang sesuai denga kebutuhan, keadaan, dan kondisi masingmasing negara peserta TRIPs. Dari dua pengaturan tentang alih teknologi dalam aturan 74 internasional tersebut, permasalahan alih teknologi sudah menjadi perhatian serius negara-negara di dunia. Karena Indonesia telah mratifikasi WTO yang menjadi landasan dari TRIPs pada tahun 1994, maka demi hukum maka aturan tersebut juga menjadi hukum positif bagi Indonesia. Karena perbedaan keadaan masing-masing kelompok negara di dunia, format hukum dasar yang merupakan cara peralihan tekonogi juga berbeda-beda sebagaimana disebut dalam Backgroud Reading Material on yang Intelectual Property diterbitkan oleh WIPO, disebutkan ada tiga macam format hukum dasar yang bisa ditempuh untuk melaksanakan alih 9 teknologi ; 1. Dalam bentuk penjualan atau pengalihan alih teknologi 2. Melalui pemberian lisensi 3. Dengan know how agreements Sedangkan untuk negaranegara berkembang, menurut terbitan yang sama, setidaknya ada lima macam cara lain yang dapat dilakukan oleh negara 9 Gunawan Wijaya, Ibid, 2001, hal.98 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 berkembang untuk melakukan alih teknologi ; 1. Melalui importasi barangbarang modal 2. Dengan waralaba (franchising) dan program distribusi (distributorship) 3. Perjanjian manajemen dan konsultasi (consultation agreements) 4. turn key project dalam bentuk kerjasama pabrikasi yang melibatkan penyertaan modal yang cukup besar dengan satu sumber teknologi yang bertanggung jawab sepenuhnya atas keberhasilan jalannya proyek tersebut 5. Joint venture agreements. Jika dalam consultation agreements, negara berkembang harus memainkan peran yang aktif agar mereka memperoleh secara optimum teknologi yang ingin diserap, dan dalam turn key project, beban tersebut dialihkan pada pemilik teknologi, maka dalam joint venture agreements diharapkan dapat terjadi keseimbangan peran diantara keduanya hingga dapat diperoleh hasil yang lebih optimum atas teknologi yang dihasilkan. Menurut Sumantoro10, regulasi tentang alih teknologi di suatu negara sangat berpengaruh terhadap proses alih teknologi di negara yang bersangkutan. Peraturan itu bisa berupa aturan umum seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden maupun Keputusan Menteri maupun bisa berupa anjuran dalam bentuk petunjuk, instruksi atau pedoman. Aturan dan anjuran tersebut dapat merupakan aturan yang terperinci atau kebijakan umum. Namun dari sisi sifatnya, peraturan itu bisa bersifat tidak langsung atau langsung berpengaruh terhada alih teknologi. Peraturan yang bersifat tidak langsung tersebut antara lain GBHN, REPELITA, peraturan tentang devisa, peraturan di bidang perbankan serta peraturan di bidang ekonomi lainnya. Sedangkan peraturan yang bersifat langsung antara lain peraturan perundang-undangan tentang Penanaman Modal Asing dan peraturan perundangundangan tentang Hak Kekayaan Intelektual. Dalam praktek, sangat sulit memisahkan antara teknologi 10 Sumantoro, 1993, Op. cit. hal. 47 75 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 dengan investasi, sebab bagian dari modal dan kekuatan investasi banyak dipengaruhi oleh masukan teknologi.11 Meskipun praktek mendahului pengaturan alih teknologi, hukum positif Indonesia telah mengakomodasi pengaturan tersebut, meskipun masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1967, teknologi merupakan salah satu komponen modal, disamping fresh capital.12 11 12 Sumantoro, 1993,Ibid., hal.14 Lihat selengkapnya teks pasal 2 huruf ( b ) UU PMA No. 1 tahun 1967. Secara umum, UU tersebut mengatur modal selain dalam bentuk fresh capital sebagai bentuk investasi langsung ( direct investment ). Dalam undang-undang ini yang termasuk penanaman modal asing termasuk alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuanpenemuan baru milik orang asing dna bahan-bahan yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dengan kekayaan Devisa Indonesia. ( lihat juga C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2001, hal. 384 ). Bandingkan dengan undang-undang terbaru tentang Penanaman Modal, UU No 25 tahun 2007. Undang-undang ini hanya menyebutkan secara general ( tidak sepesifik seperti modal alngsung, alat-alat perusahaan, barang modal serta teknologi milik asing ) yakni bahwa yang dimaksud dengan modal adalah asset dalam bentuk uang atau dalam bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang bernilai ekonomis. Dengan demikian, terminologi modal diperluas dengan katakata ,….segala sesuatu yang bernilai ekonomis,… 76 Di negara manapun, teknologi merupakan komponen yang sangat menentukan dalam industri manufaktur. Dengan dilengkapinya prasarana pabrik secara modern, maka akan meningkatkan, baik kualitas maupun kuantitas, produktivitas, efisiensi, dan kemampuan bersaing atas produk nasional dengan produk-produk Internasional. Dengan diterimanya produk manufaktur Indonesia dalam pasar Internasional, maka secara otomatis akan terjadi peningkatan devisa yang akan berdapak langsung pada meningkatnya devisa negara13. UU. No. 1 tahun 1967 sebagai pintu masuk teknologi ke Indonesia hanya mengatur masalah teknologi sebagai bagian dari penanaman modal asing tetapi tidak menyebutkan bagaimana teknologi itu dialihkan dari pemilik/negara asal ke Indonesia sebagai pengguna teknologi. Praktek di negara manapun selalumenggunakan perjanjian tertulis dalam alih teknologi. Karena hukum tentang perjanjian masih mengadopsi 13 Etty Susilowati, Op.cit, 2007, hal.204-205 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 peninggalan kolonial yakni Kitab Udang-undang Hukum Perdata (KUHPerd/BW), khususnya Buku III yang berisi tentang perjanjian. Adapun pasal-pasal tersebut antara lain pasal 1313, 1320, 1338 serta 1340. Sifat buku III BW adalah terbuka sehingga permasalahan perjanjian, termasuk perjanjian tertulis/kontrak diserahkan kepada masing-masing pihak. Disamping itu, menurut Huala Adolf,14 sifat keterbukaan buku III tersebut memungkinkan lahirnya perjanjian-perjanjian baru sesuai dengan perkembangan dunia perdagangan. Menurut penulis, tidak serta merta bahwa setiap perjanjian secara otomatis hanya semata-mata tunduk pada pasalpasal tersebut. Sebab, jika konsepsi BW adalah warga negara yang saling berhadap-hadapan, sedangkan dalam kontrak alih teknologi, melibatkan subyek 14 Huala Adolf, DASAR-DASAR HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL, Cetakan ke-2 ( Bandung : PT. Refika Aditama, 2008 ), hal. 118. Lihat juga selengkapnya kasus Gallaher Ltd melawan PT. Asia Indonesia Tobacco ( 1983 ) ( Putusan MA No. 3051 K/Sip/1981, tanggal 28 Desember 1983). Dalam putusan tersebut, MA mengakui adanya perjanjian-perjanjian lain diluar KUHPer sesuai dengan perkembangan dalam dunia usaha. ( Huala Adolf, 2008, Ibid.) hukum dari berbagai negara, sehingga alih teknologi sebenarnya lebih banyak terkait dengan praktek kontrak Internasional. Karena bersifat lintas negara, maka negara tidak bisa membiarkan begitu saja setiap warga negaranya berhadapan dengan warga negara lain tanpa adanya proteksi dari pemerintah dalam bentuk pengawasan pelaksanaan kontrak. Sebagai penyelaras TRIPs, Indonesia juga sudah mempertegas lagi pengaturan masalah alih teknologi dan perjanjian tertulis tentang alih teknologi dalam Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten. Menurut pasal 66 ayat ( 1 ) UU No. 14 tahun 2001, paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena : a. pewarisan b. hibah c. wasiat d. perjanjian tertulis e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan. Dengan demikian, maka UU Paten secara jelas menyebutkan kontrak/perjanjian lisensi sebagai salah satu cara 77 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 beralihnya teknologi dari pemilik kepada pengguna teknologi yang bersangkutan. UU tersebut juga telah melakukan restriksi-restriksi terhadap perjanjian lisensi dengan maksud untuk melindungi kepentingan perekonomian nasional. Sebagaimana diatur dalam pasal 71 bahwa perjanjian lisensi tidak boleh memuat, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat merugikan perekonomian Indonesia yang bisa menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. UU ini juga mewajibkan pencatatan dan publikasi paten pada Direktorat Jenderal HKI dengan ancaman kebatalan dan tidak berakibat hukum terhadap pihak ketiga jika syarat itu tidak terpenuhi. Pencatatan dan publikasi merupakan bentuk pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan alih teknologi di Indonesia. Sayangnya, Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang kontrak lisensi sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2001 ternyata sampai sekarang belum juga terbit sehingga praktik 78 kontrak lisensi alih teknologi diluar pengendalian pemerintah dan sangat mungkin klausulklausul yang merugikan kepentingan perekonomian nasional serta penghambat penguasaan teknologi terjadi. Sebab pada prinsipnya, setiap orang yang merumuskan klausulklausul perjanjian pasti didasarkan atas sesuatu yang tidak merugikan dirinya serta menghindarkan diri dari resiko-resiko yang mungkin terjadi. Bahkan tidak jarang memasukkan ketentuan yang justru memojokkan pihak lawan. D. Penutup Permasalahan alih teknologi tidak semata terkait dengan pelaksanaan kontrak, akan tetapi karena menyangkut hubungan lintas negara, maka peranan negara menjadi sangat penting dalam melakukan pengawasan terhadap pelakasanaan alih teknologi. Pelaksanaan itu bisa bersifat preventif maupun represif. Pengawasan preventif terkait dengan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang alih teknologi. Dengan demikian, maka segala syarat, kondisi dan pertimbangan-pertimbangan serta Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 antisipasi terhadap resiko yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dapat diantisipasi. Pengawasan represif berkaitan dengan tindakan langsung oleh pemerintah, jika pemilik teknologi tidak mematuhi apa yang diharuskan oleh pemerintah misalnya kewajiban untuk mendaftarkan kontrak lisensi kepada Dirjen HKI sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten.Namun sayangnya, hingga saat ini belum terbit Peraturan Pemerintah terntang hal tersebut, sehingga aktifitas kontrak lisensi pihak asing di Indonesia lepas dari kontrol pemerintah. Permasalahan alih teknologi berawal dari bagaimana teknologi itu dialihkan. Perjanjian merupakan hukum bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana diatur dalam buku III BW. Hasil perjanjian diperoleh melalui proses negosiasi. Masingmasing pihak dalam negosiasi mempunyai kekuatan. Ketidakseimbangan kekuatan dalam negosiasi akan menghasilkan kesepakatan atas perjanjian yang tidak adil. Karena itu, hukum perjanjian harus dipahami oleh para pihak yang membuatnya. Jika perjanjian itu berkaitan dengan teknologi, maka para pihak khususnya calon penerima teknologi harus memahama tentang teknologi yang bersangkutan secara detail. Meskipun BW Bersifat terbuka, namun pemerintah tidak bisa lepas tangan dalam pengawasan pelaksanaan kontrak. Sebab, dengan adanya pengawasan dari pemerintah, maka pelaksanaan kontrak alih teknologi akan berjalan secara seimbang dan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Atas kenyataan tersebut, maka menurut penyusun paper, permasalahan bisa diatasi dengan cara menyusun peraturan perundang-undangan khusus di bidang alih teknologi secara khusus termasuk pengaturan kontrak alih teknologi dengan batasan-batasn kontrak yang jelas dan tidak menimbulkan tafsir ambigu serta tidak membuka peluang dilaksanakannya kecurangan dalam penyusunan kontrak tersebut. 79 Pena Justisia Volume VII No.13, tahun 2008 DAFTAR PUSTAKA Adolf, Huala, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Cetakan ke-2 (Bandung : PT. Refika Aditama, 2008) Susilowati, Etty, Kontrak Alih Tekonolgi Pada Industri Manufaktur, Cetakan I (Yogyakarta : Genta Press, 2007) Pamuntjak, Amir, Sistem Paten ; Pedoman Praktik dan Alih Teknologi (Jakarta : Djambatan, 1994) Widjaya, Gunawan, Lisensi, Ed.1, Cetakan 1 (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, Cetakan I (Bandung : Nuansa Aulia, 2007) Sumantoro, Masalah Pengaturan Alih Teknologi, Cetakan I (Bandung : Alumni, 1993) 80 Peraturan Perundang-undangan 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata 2. UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing 3. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal 4. UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten