II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kota Kota merupakan suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan, terletak pada posisi geografis tertentu dan merupakan otak dari daerah sekelilingnya (Richarson, 1977 dalam Affandi, 1994). Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar dari kepadatan penduduk nasional, dengan struktur mata pencaharian non agraris dan tata guna yang beraneka serta kerapatan pembangunan yang tinggi. Kota juga merupakan suatu kebulatan tatanan dari lingkungan sistem fisik, biologi, sosial dan ekonomi yang saling berintegrasi secara sederhana. Soeriaatmaja (1977) mengemukakan bahwa kota merupakan suatu sistem yang sifatnya sementara dan sewaktu-waktu sulit untuk dikontrol. Kota dipandang sebagai suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta mempunyai otoritas tertentu dalam suatu Negara, terletak pada posisi geografis tetap dan merupakan pusat dari daerah sekitarnya. Kota dapat dipelajari melalui berbagai fungsinya yang terorganisir dalam skala waktu dan ruang yang tertentu dalam alam. Kota yang baik merupakan suatu kesatuan organis yang diterapkan sesuai dengan keadaan kondisi teknologi dan cita-cita serta didasarkan pada masa lalu dan berorientasi masa depan. Kota pada akhirnya akan mati atau mundur apabila tidak merupakan suatu organisasi yang dapat berfungsi dan berkembang serta dapat menyediakan kebutuhan sumberdaya alam seperti air minum, listrik, sarana transportasi, sistem pembuangan sampah serta regenerasi kota bagi kesejahteraan penduduknya. 2.2. Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Lingkungan Perkembangan kota yang semakin pesat ditandai dengan semakin meningkatnya aktivitas manusia, seperti pengolahan lahan, permukiman, perindustrian, dan sebagainya, menyebabkan kualitas lingkungan hidup diperkotaan cenderung menurun. Menurunnya kualitas lingkungan merupakan 7 perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk perkotaan (Tarsoen, 1991 dalam Affandi, 1994). 2.3. Perlunya Pengembangan Hutan Kota Adanya berbagai kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam bentuk padat, cair, gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan kualitas lingkungan hidup di kota semakin lama semakin menurun. Pembangunan jalan dan pemukiman yang memberikan dampak penurunan kemampuan tanah untuk menyerap dan menampung air, transportasi yang memberikan gas karbondioksida, sulfurdioksida, serta kebisingan suara. Untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup di kota dapat secara efektif dan efisien dilakukan melalui pengembangan hutan kota. Adapun faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang harus diperhatikan (Purnomohadi, 1987), antara lain yaitu: 1. Kualitas udara yang sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya ruang terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara bagi setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan angin akan melindungi kualitas udara. 2. Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam suatu sistem, termasuk penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian dapat diproses melalui instalasi pemurnian air buangan. 3. Pengelolaan limbah padat di tempat yang khusus dan harus dipertimbangkan pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari buangan-buangan tadi. 4. Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan mengenali faktor yang mempengaruhinya seperti lalu lintas, kepadatan penduduk serta penumpukan fasilitas kota. 5. Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai satwa yang tidak berbahaya. 6. Adanya berbagai fasilitas umum seperti peninggalan sejarah kejayaan kota, energi listrik, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan, peristirahatan, rekreasi, dan sebagainya. 8 2.4. Pengertian Hutan Kota Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jendral Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1987) adalah lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus. Menurut Suwardi (1987) hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya ada di dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat pemukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan cabang khusus dari hutan yang pengelolaannya melalui pendekatan multi disiplin dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan dan kepentingan warga lota. Hutan kota merupakan suatu cara pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan (menurut Undang-undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967) yaitu lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal minimal 0,25 Ha berada di kota, tetapi juga dapat tersusun dari komponen hutan dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota seperti taman, jalur hijau, serta kebun dan pekarangan (Fakuara, 1987). Haeruman (1987) mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung terus-menerus. Ekosistem hutan kota dapat dibangun sedemikian sehingga secara ekologis sesuai dengan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari tegakan yang belapis-lapis dimana masing-masing fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya dengan lapangan olahraga dan taman-taman umum dengan skala luas yang sama. Secara rinci komposisi tegakan dalam hutan kota dijabarkan secara teknis sesuai dengan fungsinya, antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis, 9 sosial, serta sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dalam pembangunan kota jangka panjang (Purnomohadi, 1987). Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan dikelola sesuai dengan sifat hutan, yaitu tidak berdiri sendiri, hingga satu kelompok tegakan dengan yang lainnya terjadi dalam suatu komunitas yang sesuai atau, paling tidak, mirip dengan ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai "urbanity" maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama dengan perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan penduduk kota. Tanaman yang ada harus asosiatif, dimana akan terdapat saling interaksi dalam mencapai suatu keseimbangan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jenis minimum vegetasi yang tumbuh, baru dapat disebut sebagai hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia, tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah. 2.5. Pengelolaan Hutan Kota Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepentingan kesejahteraan fisiologis, sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup dalam rumusan tersebut ialah program komperhensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi berkayu (pohon) di dalam lingkungan perkotaan. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan dan kegunaan yang mencakup daerah-daerah perkotaan, silvikultur, dan produksi kayu serat (Society of American Foresters, 1974). Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan dan fungsinya terpelihara sepanjang masa. Pengelolaan hutan kota melibatkan 3 (tiga) unsur, yaitu individu, masyarakat, dan pemerintah kota. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertamanan Kota atau Dinas Kehutanan, harus membuat perencanaan hutan kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik pemerintah maupun lahan milik masyarakat atau individu. Setiap unit lahan yang berada pada suatu hutan kota harus dibuatkan perencanaannya oleh pemerintah, kemudian jika lahan itu milik 10 masyarakat, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat, dan jika lahan milik individu, maka pelaksanaannya dilaksanakan oleh individu dengan bimbingan teknis dari pemerintah agar dapat terlaksana secara benar (Fakuara, 1986). Menurut Grey dan Deneke (1978) ada tiga macam kegiatan dalam pengelolaan hutan kota, yaitu: 1. Penanaman Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama setelah kegiatan penebangan pohon-pohon yang sudah tua / mati. Kegiatan penanaman ini harus memperhatikan komposisi jenis, lokasi, dan desain. 2. Pemeliharaan Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai penerapan kebutuhankebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak, kekuatan, dan sesuai dengan lingkungan perkotaan. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan penyakit. 3. Pembersihan Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon yang mati dan membahayakan baik secara fisik berupa posisi yang tidak menguntungkan, maupun karena merupakan sumber penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu berdesakan. Dalam studi kajian perencanaan aspek yang diteliti meliputi: lokasi, fungsi dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur,arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain); (2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTK, RTH); serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya (Dahlan,1992). Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota terdiri dari tiga bagian (Dahlan, 1992), yakni: 1. Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya. 2. Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masingmasing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun, serta tata letaknya. 11 3. Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya. Penanggung Jawab • Kepala Wilayah (Walikota / Bupati) Pembina • Bapedalda Dibantu oleh: • Kanwil Dephut • Kanwil Deptan • Kanwil Depkes • Kanwil Dep. PU • Instansi Agraria • BKLH Pelaksana Dinas Tata Kota Dinas Pertamanan Dinas Perkebunan Dinas Kehutanan Perusahaan Negara • Swasta • Perorangan • • • • • Perencanaan • Bappeda • Bapedalda Sumber: Fakultas Kehutanan IPB (dalam Dahlan, 1992) Gambar 2 Organisasi pengelolaan hutan kota Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 2. Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II yang dibantu oleh tim pembina yang terdiri dari 12 Kanwil Departemen Kehutanan, Kanwil Departemen Pertanian dan Perkebunan, Kanwil Departemen Pekerjaan Umum, Kanwil Departemen Kesehatan, Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan yang lainnya menurut kebutuhan masing-masing kota dan daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya. Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanannya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan. 2.6. Pengertian Air Air merupakan suatu elemen dalam lanskap. Air dipandang sebagai tapak untuk tanaman dan jalan dengan median jalan, rumah institusi, resor hotel, dan usaha komersial lainnya. Air berguna bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti untuk mandi, makan, minum, mencuci, irigasi, industri, dan lainnya. Air juga sangat penting sebagai moderator iklim dunia. Uap air di atmosfer dan bentuk kondensasinya (awan) memantulkan dan menyerap bagian radiasi matahari yang masuk pada siang hari, dan membersihkan aliran energi yang terus menerus ke permukaan dalam bentuk radiasi gelombang panjang (Lee, 1988 dalam Yullyarty, 2004). Banyaknya volume air yang mengalir di permukaan bumi sehingga tidak terserap oleh saluran-saluran baik alami maupun buatan yang ada akan mengakibatkan banjir. Fenomena banjir banyak menimpa daerah perkotaan (urban). Daerah perkotaan memiliki karakteristik yang khas, dimana lebih dari 30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan, jembatan, perkerasan dan lainnya). 2.7. Siklus Air Siklus air atau siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang 13 berhubungan dengan air. Secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan sebagai berikut (Asdak, 1995): 1. Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah. Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu dingin dan terkondensasi. 2. Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh vegetasi tersebut. 3. Evaporasi, merupakan penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi matahari dan air. 4. Transpirasi, merupakan penguapan air dan cabang tanaman melalui pori-pori daun karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim dan fisiologis vegetasi disebut Evapotranspirasi. 5. Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan tertampung sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya mengalir ke tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai. 2.8. Kebutuhan Sumberdaya Air 2.8.1. Kebutuhan air domestik Kebutuhan air setiap individu berbeda-beda, hal ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah strata sosial, tingkat pendidikan, kebiasaan penduduk, dan letak geografis. Menurut Puslitbang LIPI, kebutuhan dasar air tiap individu digunakan untuk memenuhi keperluan minum, masak, mandi, dan mencuci. Kebutuhan air pada suatu daerah tergantung pada jumlah penduduk dan konsumsi per kapita, sehingga perkembangan penduduk di suatu wilayah tertentu sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan, 1994 dalam Adriyanto, 2007). Tabel 2 memuat hasil survey konsumsi rata-rata air bersih di Indonesia. 14 Tabel 2 Konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia Konsumsi (liter/orang/hari) 12 2 10,7 31,4 11,8 21,1 16,2 21,7 11,6 138,5 Keperluan Mandi, cuci, kakus Minum Masak Cuci pakaian Kebersihan rumah Taman Cuci kendaraan Wudlu Lain-lain TOTAL Presentase (%) 8,7 1,4 7,7 22,7 8,5 15,2 11,7 15,7 8,4 100 Sumber: Gupta (1989) dalam Adriyanto (2007) 2.8.2. Kebutuhan air industri Kegiatan industri dalam prosesnya membutuhkan air untuk membantu kelangsungan proses produksi maupun kebutuhan domestik karyawannya. Penggunaan air untuk industri diantaranya sebagai bahan mentah, pendingin, penggelontor kotoran, serta penggunaan lainnya (Sugiarto, 1995). Untuk menentukan jumlah air yang dibutuhkan, industri terlebih dahulu harus diklasifikasikan. Klasifikasi Industri menurut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi industri Jumlah Tenaga Kerja 1 - 4 orang 5 - 19 orang 20 - 99 orang > 100 orang Klasifikasi Industri Rumah Tangga Kecil Sedang Besar Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU, 2005. Besarnya kebutuhan air industri dapat diperkirakan dengan menggunakan standar kebutuhan air industri. Kebutuhan air industri ini berdasarkan pada proses atau jenis industri yang ada pada wilayah kawasan industri yang ada dan jumlah pekerja yang bekerja pada industri tersebut. Besarnya standar kebutuhan industri adalah sebagai berikut: 15 Tabel 4 Kebutuhan air industri berdasarkan beberapa proses industri Jenis Industri Industri rumah tangga Industri kecil Industri sedang Industri besar Industri tekstil Jenis Proses Industri Kebutuhan Air (liter/hari) Belum ada, rekomendasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan air rumah tangga. Minuman ringan 1.600 - 11.200 Industri es 18.000 - 67.000 Kecap 12.000 - 97.000 Minuman ringan 65.000 – 7.800.000 Industri pembekuan ikan 225.000 – 1.350.000 dan biota perairan lainnya Proses pengolahan tekstil 400 – 700 liter/kapita/hari Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU, 2005. Untuk pekerja industri, kebutuhan air merupakan kebutuhan air domestik yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pekerja pabrik. Adapun kebutuhan air tersebut adalah 60 liter/pekerja/hari. 2.8.3. Kebutuhan air ternak Kebutuhan air ternak merupakan tingkat kebutuhan air yang diperlukan untuk pengoperasian peternakan, yang meliputi pemberian air minum untuk ternak, tempat makan ternak, dan kebutuhan lainnya (Purwanto, 2006). Kebutuhan air untuk ternak berdasarkan jenisnya dapat dilihat pada Tabel 5: Tabel 5 Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari Jenis Ternak Sapi, Kerbau, Kuda Domba dan Kambing Babi Unggas (Ayam, Itik, dll) Intake air (liter/ekor/hari) 40 5 6 0,6 Sumber: Technical Report National Water Policy, 1992. 2.9. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengelolaan vegetasi atau tataguna lahan adalah agar daerah aliran sungai secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi manusia didalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya (Dahuri et al., 1996), sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika 16 kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi permasalahan yang mungkin terjadi. Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan, seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Perubahan dari satu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam suatu pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, peladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal perkebunan, padang rumput atau pemukiman adalah contoh kegiatan yang sering dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadinya perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen akan dapat mempengaruhi ketersediaan air. Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka panjang yang telah dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukkan bahwa pengaruh tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982 dalam Asdak, 1995): (1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang. (2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti penggembalaan yang intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan. Kegiatankeiatan tersebut dalam batas tertentu dapat meningkatkan volume dan waktu berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi diharapkan dapat memberikan pengaruh sebaliknya. 17 2.10. Ruang Terbuka Hijau Untuk Peresapan Air Ruang terbuka hijau kota sedikit banyak dapat mengatasi masalah limpasan air hujn. Ruang terbuka hijau memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini disebabkan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk, dan udara mudah keluar (Thohir, 1991 dalam Muis, 2005). Rongga tersebut terbentuk selama bertahun-tahun dari pembusukan akar tanaman maupun pergerakan hewan dalam tanah yang ikut hidup dalam ekosistem bersama pepohonan yang tumbuh di ruang terbuka hijau. Sering ketika hujan deras terjadi, saluran drainase dan sungai mendapatkan beban air limpasan yang terlampau tinggi sehingga melampaui ambang kapasitasnya. Debit air pada saluran drainase dan sungai pada umumnya dipengaruhi oleh 3 komponen utama, yaitu intensitas hujan, keadaan permukaan tanah, dan luas daerah pengaliran. Berfungsinya RTH sebagai peresapan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat hujan, sifat fisik kawasan dan pengelolaannya. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air (impervious), sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hidrologi kota seringkali menjadi masalah yang pelik bagi ahli hidrologi, karena urbanisasi meningkatkan luasan permukaan yang tertutup semen, paving, aspal, sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan (Urbanos, 1992). 2.11. Ketersediaan Air Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan seluruh makhluk hidup di dunia. Untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat, manusia membutuhkan air bersih. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk serta laju pertumbuhannya, semakin naik pula laju pemanfaatan sumber-sumber air. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu. 18 Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan, peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi. Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin bertambah banyak (Soerjani dkk, 1987). Sugiharto (1983) menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan air seharihari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan masyarakat. Selain jumlahnya yang cukup, air untuk keperluan rumah tangga juga harus memenuhi syarat kesehatan. Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh zat-zat yang bersifat racun, juga merupakan media dari berbagai kuman penyakit. Air minum yang juga disebut air bersih adalah salah satu kebutuhan utama manusia. Manusia memerlukan air untuk berbagai keperluan seperti MCK, produksi pangan, sandang dan papan. Air yang digunakan untuk rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan. Namun sampai dengan tahun 2000, berdasarkan data Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar 19% penduduk Indonesia, dimana 39%nya adalah penduduk perkotaan, yang dapat menikmati air bersih dengan sistem perpipaan. Sedangkan di daerah pedesaan, berdasarkan sumber yang sama, hanya sekitar 5% yang menggunakan sistem perpipaan, dan sisanya sebesar 47% penduduk desa menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak terlindungi (Parahita, 2005 dalam Muis, 2005).