Kajian Spasial Kebutuhan Hutan Kota Berbasis

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kota
Kota merupakan suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas
ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan, terletak pada posisi geografis tertentu
dan merupakan otak dari daerah sekelilingnya (Richarson, 1977 dalam Affandi,
1994). Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih
besar dari kepadatan penduduk nasional, dengan struktur mata pencaharian non
agraris dan tata guna yang beraneka serta kerapatan pembangunan yang tinggi.
Kota juga merupakan suatu kebulatan tatanan dari lingkungan sistem fisik,
biologi, sosial dan ekonomi yang saling berintegrasi secara sederhana.
Soeriaatmaja (1977) mengemukakan bahwa kota merupakan suatu sistem yang
sifatnya sementara dan sewaktu-waktu sulit untuk dikontrol.
Kota dipandang sebagai suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat
aktivitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta mempunyai otoritas
tertentu dalam suatu Negara, terletak pada posisi geografis tetap dan merupakan
pusat dari daerah sekitarnya. Kota dapat dipelajari melalui berbagai fungsinya
yang terorganisir dalam skala waktu dan ruang yang tertentu dalam alam. Kota
yang baik merupakan suatu kesatuan organis yang diterapkan sesuai dengan
keadaan kondisi teknologi dan cita-cita serta didasarkan pada masa lalu dan
berorientasi masa depan. Kota pada akhirnya akan mati atau mundur apabila tidak
merupakan suatu organisasi yang dapat berfungsi dan berkembang serta dapat
menyediakan kebutuhan sumberdaya alam seperti air minum, listrik, sarana
transportasi, sistem pembuangan sampah serta regenerasi kota bagi kesejahteraan
penduduknya.
2.2. Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Lingkungan
Perkembangan kota yang semakin pesat ditandai dengan semakin
meningkatnya aktivitas manusia, seperti pengolahan lahan, permukiman,
perindustrian, dan sebagainya, menyebabkan kualitas
lingkungan hidup
diperkotaan cenderung menurun. Menurunnya kualitas lingkungan merupakan
7
perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk
perkotaan (Tarsoen, 1991 dalam Affandi, 1994).
2.3. Perlunya Pengembangan Hutan Kota
Adanya berbagai kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam
bentuk padat, cair, gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan
kualitas lingkungan hidup di kota semakin lama semakin menurun. Pembangunan
jalan dan pemukiman yang memberikan dampak penurunan kemampuan tanah
untuk menyerap dan menampung air, transportasi yang memberikan gas
karbondioksida, sulfurdioksida, serta kebisingan suara. Untuk memperbaiki mutu
lingkungan hidup di kota dapat secara efektif dan efisien dilakukan melalui
pengembangan hutan kota.
Adapun faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang
harus diperhatikan (Purnomohadi, 1987), antara lain yaitu:
1. Kualitas udara yang sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya ruang
terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara bagi
setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan angin akan
melindungi kualitas udara.
2. Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah
penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam suatu sistem, termasuk
penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian dapat
diproses melalui instalasi pemurnian air buangan.
3. Pengelolaan limbah padat di tempat yang khusus dan harus dipertimbangkan
pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari buangan-buangan tadi.
4. Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan
mengenali faktor yang mempengaruhinya seperti lalu lintas, kepadatan
penduduk serta penumpukan fasilitas kota.
5. Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai
satwa yang tidak berbahaya.
6. Adanya berbagai fasilitas umum seperti peninggalan sejarah kejayaan kota,
energi listrik, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan,
peristirahatan, rekreasi, dan sebagainya.
8
2.4. Pengertian Hutan Kota
Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jendral Departemen Kehutanan
bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1987) adalah
lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang
memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam
kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus.
Menurut Suwardi (1987) hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya
ada di dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat
pemukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan
cabang khusus dari hutan yang pengelolaannya melalui pendekatan multi disiplin
dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan
dan kepentingan warga lota.
Hutan kota merupakan suatu cara pendekatan dan penerapan salah satu atau
beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai
tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan
penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan
(menurut Undang-undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967) yaitu
lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal
minimal 0,25 Ha berada di kota, tetapi juga dapat tersusun dari komponen hutan
dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota seperti taman, jalur hijau,
serta kebun dan pekarangan (Fakuara, 1987).
Haeruman (1987) mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di
luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota
dengan hutan tersebut berlangsung terus-menerus. Ekosistem hutan kota dapat
dibangun sedemikian sehingga secara ekologis sesuai dengan lingkungan
perkotaan, artinya terdiri dari tegakan yang belapis-lapis dimana masing-masing
fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya
dengan lapangan olahraga dan taman-taman umum dengan skala luas yang sama.
Secara rinci komposisi tegakan dalam hutan kota dijabarkan secara teknis
sesuai dengan fungsinya, antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis,
9
sosial, serta sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
kota dalam pembangunan kota jangka panjang (Purnomohadi, 1987).
Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa
tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan dikelola sesuai dengan sifat
hutan, yaitu tidak berdiri sendiri, hingga satu kelompok tegakan dengan yang
lainnya terjadi dalam suatu komunitas yang sesuai atau, paling tidak, mirip dengan
ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai "urbanity" maka ada
keterbatasan
dalam
pembentukan
hutan
kota
tersebut
seirama
dengan
perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut
kehidupan penduduk kota. Tanaman yang ada harus asosiatif, dimana akan
terdapat saling interaksi dalam mencapai suatu keseimbangan. Oleh karena itu
perlu ditentukan berapa jenis minimum vegetasi yang tumbuh, baru dapat disebut
sebagai hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena
jika tidak ada manusia, tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi
langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah.
2.5. Pengelolaan Hutan Kota
Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan
mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepentingan kesejahteraan fisiologis, sosial
dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup dalam rumusan tersebut ialah
program komperhensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi
berkayu (pohon) di dalam lingkungan perkotaan. Dalam pengertian yang lebih
luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan dan kegunaan yang
mencakup daerah-daerah perkotaan, silvikultur, dan produksi kayu serat (Society
of American Foresters, 1974).
Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan dan
fungsinya terpelihara sepanjang masa. Pengelolaan hutan kota melibatkan 3 (tiga)
unsur, yaitu individu, masyarakat, dan pemerintah kota. Pemerintah dalam hal ini
Dinas Pertamanan Kota atau Dinas Kehutanan, harus membuat perencanaan hutan
kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik pemerintah maupun lahan milik
masyarakat atau individu. Setiap unit lahan yang berada pada suatu hutan kota
harus dibuatkan perencanaannya oleh pemerintah, kemudian jika lahan itu milik
10
masyarakat, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat, dan jika lahan milik
individu, maka pelaksanaannya dilaksanakan oleh individu dengan bimbingan
teknis dari pemerintah agar dapat terlaksana secara benar (Fakuara, 1986).
Menurut Grey dan Deneke (1978) ada tiga macam kegiatan dalam
pengelolaan hutan kota, yaitu:
1. Penanaman
Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama setelah kegiatan
penebangan pohon-pohon yang sudah tua / mati. Kegiatan penanaman ini harus
memperhatikan komposisi jenis, lokasi, dan desain.
2. Pemeliharaan
Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai penerapan kebutuhankebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak, kekuatan, dan sesuai dengan
lingkungan
perkotaan.
Kegiatan
pemeliharaan
meliputi
pengendalian
pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan penyakit.
3. Pembersihan
Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon yang mati dan
membahayakan baik secara fisik berupa posisi yang tidak menguntungkan,
maupun karena merupakan sumber penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu
berdesakan.
Dalam studi kajian perencanaan aspek yang diteliti meliputi: lokasi, fungsi
dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur,arsitektur lansekap, sarana dan
prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan
dalam studi meliputi: (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain);
(2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3)
Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah
(RUTR, RTK, RTH); serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya (Dahlan,1992).
Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota terdiri dari tiga
bagian (Dahlan, 1992), yakni:
1. Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang
dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.
2. Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masingmasing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun, serta tata letaknya.
11
3. Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.
Penanggung Jawab
• Kepala Wilayah
(Walikota / Bupati)
Pembina
• Bapedalda
Dibantu oleh:
• Kanwil
Dephut
• Kanwil
Deptan
• Kanwil
Depkes
• Kanwil Dep.
PU
• Instansi
Agraria
• BKLH
Pelaksana
Dinas Tata Kota
Dinas Pertamanan
Dinas Perkebunan
Dinas Kehutanan
Perusahaan
Negara
• Swasta
• Perorangan
•
•
•
•
•
Perencanaan
• Bappeda
• Bapedalda
Sumber: Fakultas Kehutanan IPB (dalam Dahlan, 1992)
Gambar 2 Organisasi pengelolaan hutan kota
Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung
kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian
pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 2. Walikota
atau Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan
pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan pengendalian
dipegang oleh Bappeda Tingkat II yang dibantu oleh tim pembina yang terdiri dari
12
Kanwil Departemen Kehutanan, Kanwil Departemen Pertanian dan Perkebunan,
Kanwil Departemen Pekerjaan Umum, Kanwil Departemen Kesehatan, Biro
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan yang lainnya menurut kebutuhan
masing-masing kota dan daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk dinas-dinas
yang berada di wilayahnya.
Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan
kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk
dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanannya
perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah
kepada yang bersangkutan.
2.6. Pengertian Air
Air merupakan suatu elemen dalam lanskap. Air dipandang sebagai tapak
untuk tanaman dan jalan dengan median jalan, rumah institusi, resor hotel, dan
usaha komersial lainnya. Air berguna bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya seperti untuk mandi, makan, minum, mencuci, irigasi, industri, dan
lainnya. Air juga sangat penting sebagai moderator iklim dunia. Uap air di
atmosfer dan bentuk kondensasinya (awan) memantulkan dan menyerap bagian
radiasi matahari yang masuk pada siang hari, dan membersihkan aliran energi
yang terus menerus ke permukaan dalam bentuk radiasi gelombang panjang (Lee,
1988 dalam Yullyarty, 2004).
Banyaknya volume air yang mengalir di permukaan bumi sehingga tidak
terserap oleh saluran-saluran baik alami maupun buatan yang ada akan
mengakibatkan banjir. Fenomena banjir banyak menimpa daerah perkotaan
(urban). Daerah perkotaan memiliki karakteristik yang khas, dimana lebih dari
30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan,
jembatan, perkerasan dan lainnya).
2.7. Siklus Air
Siklus air atau siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang
keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang
13
berhubungan dengan air. Secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan
sebagai berikut (Asdak, 1995):
1. Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah.
Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu
dingin dan terkondensasi.
2. Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai
permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh
vegetasi tersebut.
3. Evaporasi, merupakan penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk
permukaan vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi
matahari dan air.
4. Transpirasi, merupakan penguapan air dan cabang tanaman melalui pori-pori
daun karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke
atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim dan
fisiologis vegetasi disebut Evapotranspirasi.
5. Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler
atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan tertampung
sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya mengalir ke
tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai.
2.8. Kebutuhan Sumberdaya Air
2.8.1. Kebutuhan air domestik
Kebutuhan air setiap individu berbeda-beda, hal ini tergantung pada
beberapa faktor, diantaranya adalah strata sosial, tingkat pendidikan, kebiasaan
penduduk, dan letak geografis. Menurut Puslitbang LIPI, kebutuhan dasar air tiap
individu digunakan untuk memenuhi keperluan minum, masak, mandi, dan
mencuci. Kebutuhan air pada suatu daerah tergantung pada jumlah penduduk dan
konsumsi per kapita, sehingga perkembangan penduduk di suatu wilayah tertentu
sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan, 1994
dalam Adriyanto, 2007). Tabel 2 memuat hasil survey konsumsi rata-rata air
bersih di Indonesia.
14
Tabel 2 Konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia
Konsumsi
(liter/orang/hari)
12
2
10,7
31,4
11,8
21,1
16,2
21,7
11,6
138,5
Keperluan
Mandi, cuci, kakus
Minum
Masak
Cuci pakaian
Kebersihan rumah
Taman
Cuci kendaraan
Wudlu
Lain-lain
TOTAL
Presentase (%)
8,7
1,4
7,7
22,7
8,5
15,2
11,7
15,7
8,4
100
Sumber: Gupta (1989) dalam Adriyanto (2007)
2.8.2. Kebutuhan air industri
Kegiatan industri dalam prosesnya membutuhkan air untuk membantu
kelangsungan proses produksi maupun kebutuhan domestik karyawannya.
Penggunaan air untuk industri diantaranya sebagai bahan mentah, pendingin,
penggelontor kotoran, serta penggunaan lainnya (Sugiarto, 1995). Untuk
menentukan jumlah air yang dibutuhkan, industri terlebih dahulu harus
diklasifikasikan. Klasifikasi Industri menurut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi industri
Jumlah Tenaga Kerja
1 - 4 orang
5 - 19 orang
20 - 99 orang
> 100 orang
Klasifikasi Industri
Rumah Tangga
Kecil
Sedang
Besar
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU, 2005.
Besarnya kebutuhan air industri dapat diperkirakan dengan menggunakan
standar kebutuhan air industri. Kebutuhan air industri ini berdasarkan pada proses
atau jenis industri yang ada pada wilayah kawasan industri yang ada dan jumlah
pekerja yang bekerja pada industri tersebut. Besarnya standar kebutuhan industri
adalah sebagai berikut:
15
Tabel 4 Kebutuhan air industri berdasarkan beberapa proses industri
Jenis Industri
Industri rumah tangga
Industri kecil
Industri sedang
Industri besar
Industri tekstil
Jenis Proses Industri
Kebutuhan Air
(liter/hari)
Belum ada, rekomendasi dapat disesuaikan dengan
kebutuhan air rumah tangga.
Minuman ringan
1.600 - 11.200
Industri es
18.000 - 67.000
Kecap
12.000 - 97.000
Minuman ringan
65.000 – 7.800.000
Industri pembekuan ikan
225.000 – 1.350.000
dan biota perairan lainnya
Proses pengolahan tekstil
400 – 700 liter/kapita/hari
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU, 2005.
Untuk pekerja industri, kebutuhan air merupakan kebutuhan air domestik
yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pekerja pabrik. Adapun kebutuhan air
tersebut adalah 60 liter/pekerja/hari.
2.8.3. Kebutuhan air ternak
Kebutuhan air ternak merupakan tingkat kebutuhan air yang diperlukan
untuk pengoperasian peternakan, yang meliputi pemberian air minum untuk
ternak, tempat makan ternak, dan kebutuhan lainnya (Purwanto, 2006). Kebutuhan
air untuk ternak berdasarkan jenisnya dapat dilihat pada Tabel 5:
Tabel 5 Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari
Jenis Ternak
Sapi, Kerbau, Kuda
Domba dan Kambing
Babi
Unggas (Ayam, Itik, dll)
Intake air (liter/ekor/hari)
40
5
6
0,6
Sumber: Technical Report National Water Policy, 1992.
2.9. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air
Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengelolaan
vegetasi atau tataguna lahan adalah agar daerah aliran sungai secara keseluruhan
dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi
manusia didalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya (Dahuri et
al., 1996), sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika
16
kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan
dapat mengantisipasi permasalahan yang mungkin terjadi.
Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup
lahan, seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Perubahan dari
satu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam suatu
pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, peladangan berpindah, atau
perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal perkebunan, padang rumput atau
pemukiman adalah contoh kegiatan yang sering dijumpai pada wilayah yang
sedang bertumbuh. Terjadinya perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi
tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen akan dapat mempengaruhi
ketersediaan air.
Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan
penyebaran aliran air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang
kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna
lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka
panjang yang telah dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukkan bahwa
pengaruh tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat
terjadi dengan cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982 dalam Asdak, 1995):
(1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan
tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat
meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan untuk
mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini terjadi
ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan karenanya
daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang.
(2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti penggembalaan yang
intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan. Kegiatankeiatan tersebut dalam batas tertentu dapat meningkatkan volume dan waktu
berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian memperbesar debit puncak.
Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi diharapkan dapat memberikan pengaruh
sebaliknya.
17
2.10. Ruang Terbuka Hijau Untuk Peresapan Air
Ruang terbuka hijau kota sedikit banyak dapat mengatasi masalah limpasan
air hujn. Ruang terbuka hijau memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang
tertutup oleh tanaman memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini disebabkan
tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur
yang lebar sehingga air mudah masuk, dan udara mudah keluar (Thohir, 1991
dalam Muis, 2005).
Rongga tersebut terbentuk selama bertahun-tahun dari pembusukan akar
tanaman maupun pergerakan hewan dalam tanah yang ikut hidup dalam ekosistem
bersama pepohonan yang tumbuh di ruang terbuka hijau. Sering ketika hujan
deras terjadi, saluran drainase dan sungai mendapatkan beban air limpasan yang
terlampau tinggi sehingga melampaui ambang kapasitasnya. Debit air pada
saluran drainase dan sungai pada umumnya dipengaruhi oleh 3 komponen utama,
yaitu intensitas hujan, keadaan permukaan tanah, dan luas daerah pengaliran.
Berfungsinya RTH sebagai peresapan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh
sifat-sifat hujan, sifat fisik kawasan dan pengelolaannya. Pengalihan fungsi lahan
di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang
tidak
tembus
air
(impervious),
sehingga
mengakibatkan
terganggunya
keseimbangan hidrologi. Hidrologi kota seringkali menjadi masalah yang pelik
bagi ahli hidrologi, karena urbanisasi meningkatkan luasan permukaan yang
tertutup semen, paving, aspal, sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam
tanah dan menjadi limpasan permukaan (Urbanos, 1992).
2.11. Ketersediaan Air
Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan seluruh makhluk hidup di
dunia. Untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat, manusia
membutuhkan air bersih. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk serta
laju pertumbuhannya, semakin naik pula laju pemanfaatan sumber-sumber air.
Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting
bagi setiap individu.
18
Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila
dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan,
peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi.
Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus
hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu
bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin
bertambah banyak (Soerjani dkk, 1987).
Sugiharto (1983) menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan air seharihari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan masyarakat. Selain jumlahnya yang
cukup, air untuk keperluan rumah tangga juga harus memenuhi syarat kesehatan.
Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh zat-zat yang bersifat racun, juga
merupakan media dari berbagai kuman penyakit.
Air minum yang juga disebut air bersih adalah salah satu kebutuhan utama
manusia. Manusia memerlukan air untuk berbagai keperluan seperti MCK,
produksi pangan, sandang dan papan. Air yang digunakan untuk rumah tangga
harus memenuhi syarat kesehatan. Namun sampai dengan tahun 2000,
berdasarkan data Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar
19% penduduk Indonesia, dimana 39%nya adalah penduduk perkotaan, yang
dapat menikmati air bersih dengan sistem perpipaan. Sedangkan di daerah
pedesaan, berdasarkan sumber yang sama, hanya sekitar 5% yang menggunakan
sistem perpipaan, dan sisanya sebesar 47% penduduk desa menggunakan air yang
bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak terlindungi (Parahita, 2005
dalam Muis, 2005).
Download